Fitur Pemeringkatan ICRA Indonesia April 2014
Metodologi Pemeringkatan untuk Perusahaan Jalan Tol*
Latar Belakang Panjang dan kualitas jaringan jalan merupakan indeks penting dari pembangunan infrastruktur di suatu negara dan merupakan faktor kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Jaringan jalan di Indonesia yang mencakup 82% transportasi penumpang dan 70% transportasi barang dari total transportasi dalam negeri (WEF global competitiveness report, 2010-11), jelas menunjukkan kontribusi penting bagi kemajuan sosial-ekonomi negara. Pemerintah juga telah fokus pada perluasan jalan raya di dalam negeri. Selama 2005-2012, panjang jaringan jalan nasional telah berkembang menjadi 501.969 km dari 391.009 km (Badan Pusat Statistik/ www.bps.go.id). Namun demikian, pertumbuhan jalan raya ini gagal mengimbangi pertumbuhan jumlah kendaraan di jalan. Kemacetan lalu lintas di berbagai pusat perkotaan dan perdagangan termasuk Jakarta adalah contoh nyata. Kenaikan yang tajam atas jumlah kendaraan di jalan berperan besar terhadap kondisi ini. Sebagai contoh, tabel berikut adalah perbandingan antara pertumbuhan kilometer jalan yang dibangun oleh berbagai instansi pemerintah dan pertumbuhan berbagai jenis kendaraan selama periode 2008-2011. Tabel 1 – Pertumbuhan jalan dan jumlah kendaraan Tahun % Peningkatan jalan yang dibangun % Peningkatan jumlah kendaraan di jalan
2008 3,8 12,6
2009 8,8 9,2
2010 2,3 14,2
2011 1,0 11,3
(Sumber: BPS, www.censere.com. Kendaraan termasuk kendaraan umum, bis, truk dan sepeda motor)
Statistik ini hanya berfungsi untuk menekankan bahwa peningkatan pengeluaran tidak hanya untuk jalan-jalan baru, tetapi juga pemeliharaan jalan yang ada adalah sangat penting untuk mengurangi kemacetan yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Keterbatasan anggaran khususnya telah menyebabkan dana tidak memadai untuk mencapai keduanya yakni pemeliharaan dan perluasan sehingga membutuhkan pendanaan dari pihak swasta untuk jalan tol dan alternatif transportasi lainnya. Jalan tol pertama di Indonesia, Jagorawi, mulai beroperasi pada tahun 1978 dari Jakarta ke Bogor. Saat ini Indonesia memiliki lebih dari 784 km jalan tol yang beroperasi, sementara jalan tol lain sepanjang 555 km masih dalam tahap tender dan pembangunan (Badan Pengatur Jalan Tol/Kementerian Pekerjaan Umum-www.bpjt.pu.go.id). Jalan tol terbuka bagi sektor swasta sejak tahun 2004 berdasarkan UU No 38/2004 ketika BUMN PT Jasa Marga bergeser peran dari regulator menjadi operator dan kemudian menjadi perusahaan publik pada tahun 2007. Pembangunan jalan tol diperkirakan akan terus berlanjut mengingat kesenjangan yang signifikan jika hanya mengandalkan pada jalan yang didanai negara. Dengan demikian partisipasi swasta dalam kontruksi jalan dan jalan tol khususnya terus menjadi peluang investasi yang menarik, meskipun proses yang panjang dalam hal pembebasan lahan, konstruksi dan pengembalian investasi. ICRA Indonesia
Ke depan, ICRA Indonesia mengharapkan partisipasi sektor swasta dalam pembiayaan, operasi dan pemeliharaan proyek-proyek sektor jalan meningkat secara signifikan. Sebagian besar dari investasi tersebut berupa proyek dimana pihak swasta diharapkan untuk mengambil risiko pasar beserta risiko konstruksi serta operasi dan pemeliharaan. Investasi cukup besar yang diajukan oleh sektor swasta selama beberapa tahun ke depan sebagian akan didanai dari pinjaman baik sebagai pinjaman berjangka atau dari pasar modal. Penjelasan berikut ini mencoba untuk menyoroti elemen kunci dari risiko dalam proyek jalan tol, dan pendekatan ICRA Indonesia untuk mengevaluasi risiko tersebut.
Kerangka Analisis Risiko untuk Proyek Jalan Tol Dari perspektif kredit, tantangan yang terjadi dalam pengembangan dan pembiayaan proyek jalan adalah sama dengan yang dihadapi oleh proyek-proyek infrastruktur lainnya (silakan lihat Metodologi Pemeringkatan Pembiayaan Proyek ICRA Indonesia pada www.icraindonesia.com). Namun, isu-isu penting dalam kasus proyek jalan tol mencakup risiko yang terkait dengan akuisisi segmen jalan tol yang akan memberikan hak konsesi untuk periode yang panjang, kelebihan biaya dan waktu dalam hal pelaksanaan proyek antara lain karena kondisi cuaca yang tak terduga dan, yang lebih penting, risiko pasar yang timbul dari kesulitan dalam memperkirakan volume lalu lintas dan sensitivitasnya terhadap tarif tol. Namun demikian, ICRA Indonesia mengakui bahwa proyek-proyek tersebut mengalami perubahan yang signifikan dalam profil risikonya ketika proyek tersebut telah berubah dari pra-penyelesaian ke tahap pasca-penyelesaian. Sementara risiko perijinan dan risiko yang terkait dengan penyelesaian tepat waktu proyek mendominasi periode pra-penyelesaian, risiko utama pada periode pasca-penyelesaian berkaitan dengan kemampuan mencapai jumlah lalu lintas yang diperlukan, dan biaya tol yang harus dibayar oleh pengguna jalan tol. Saat ini, setiap proyek yang layak secara ekonomi dan keuangan ditawarkan kepada badan swasta, sementara proyek-proyek lain di mana kelayakan finansial mungkin tidak sepenuhnya tercapai akan dieksekusi oleh pemerintah dan dapat dioperasikan oleh swasta. Struktur kontrak suatu jalan tol dapat digambarkan dalam diagram berikut: Gambar 1 – Struktur kontrak proyek jalan tol (diadaptasi dari ICRA India)
Investor strategis/sponsor Badan pengatur Jalan Tol (BPJT): – Tarif – Ijin/ Persetujuan – Hibah – Perubahan Hukum – Faktor Politik – Penghentian
Kontraktor EPC
ICRA Indonesia
Perjanjian konsesi
Pemberi Pinjaman/ Pemegang obligasi
Pendanaan Ekuitas Jangka waktu pinjaman/ Perjanjian pengganti
Konsesi (Pengembang Proyek)
Perjanjian konstruksi
Perjanjian O&M
Kontraktor O&M
Page 2 of 7
Seperti dapat dilihat dari bagan di atas, perjanjian konsesi (perjanjian pengusahaan jalan tol) antara Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan pemegang konsesi menjelaskan kerangka kerja operasionalisasi proyek tersebut. Proyek-proyek tersebut biasanya diimplementasikan melalui perusahaan yang dibentuk khusus untuk proyek tersebut. Masa konsesi untuk proyek-proyek tersebut adalah jangka menengah dan panjang (bahkan sampai 40-45 tahun), dan biasanya merupakan fungsi dari koleksi tol yang diharapkan sepanjang masa konsesi; karena terkumpulnya pungutan tol mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk membayar hutang dan juga memberikan sponsor imbal hasil yang wajar atas investasi mereka. Struktur kontrak secara luas menjelaskan alokasi risiko. Sementara risiko konstruksi, operasi dan pasar berada di pihak pemegang konsesi, risiko politik dan perijinan umumnya berada di pihak pemilik proyek. Beberapa karakteristik yang menonjol dari perjanjian konsesi adalah: Perjanjian konsesi menyebutkan pemegang konsesi merancang, mengatur, mendanai, membangun, mengoperasikan dan memelihara proyek selama masa konsesi serta memungut dan mengumpulkan biaya tol dari kendaraan yang menggunakan jalan atas proyek jalan tersebut atau bagian daripadanya Perjanjian konsesi paling tidak berisi: a. Cakupan konsesi b. Periode konsesi c. Tarif & mekanisme penyesuaian d. Hak & kewajiban termasuk alokasi risiko e. Keadaan memaksa (force majeure) Perjanjian konsesi dilakukan antara pemegang konsesi dan pemerintah yang diwakili oleh menteri. Sebagaimana disebutkan di atas, perjanjian konsesi biasanya menetapkan bahwa tarif tol akan ditetapkan oleh suatu badan pemerintah dan menjelaskan batasan-batasan kenaikan tarif. Risiko lalu lintas sebagian besar ditanggung oleh pemegang konsesi dan jalan tol harus tunduk pada pengawasan rutin selama masa konsesi. Perjanjian konsesi biasanya mengalokasikan risiko yang terkait dengan perijinan dan akuisisi lahan kepada pemilik proyek. Klausa keadaan memaksa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian konsesi dengan jenis keadaan memaksa dan konsekuensi berbagai risiko tersebut bagi pemerintah dan pemegang konsesi disebutkan dengan jelas. Selain itu, ICRA Indonesia juga membahas skenario di mana penangguhan hak-hak konsesi atau penghentian perjanjian dapat terjadi (peristiwa gagal bayar). Selain kecukupan kompensasi atas penangguhan/penghentian bagi pemegang konsesi dalam kaitannya dengan kewajiban pembayaran hutang, kemampuan dan track record dari instansi pemerintah terkait untuk memenuhi kewajiban yang sama juga dinilai. Struktur kontrak biasanya menyediakan perjanjian pengganti, yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengganti pemegang konsesi jika terjadi gagal bayar dan juga menggunakan dana terminasi untuk pembayaran hutang yang masih berjalan. Selain rincian struktur kontrak, ICRA Indonesia juga menilai proyek ini pada parameter berikut: Risiko Sponsor Risiko Penyelesaian Risiko Pasar Risiko Operasional Risiko Pendanaan dan Keuangan Risiko Struktur
ICRA Indonesia
Page 3 of 7
Risiko Sponsor Kekuatan keuangan dari sponsor merupakan faktor kunci penentu kredit, mengingat bahwa selain memberikan kontribusi modal dan hutang subordinasi, sponsor juga secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab dalam penutupan keuangan (financial closure) proyek ini. Selanjutnya, selama tahap penyelesaian, sebagian besar proyek ini umumnya melibatkan sponsor untuk membayar hutang (recourse). Risiko Penyelesaian Salah satu komponen kunci dari risiko penyelesaian adalah risiko perijinan yang mengacu pada kemampuan proyek untuk mendapatkan semua perijinan sebelum dimulainya kegiatan konstruksi. Biasanya, untuk proyek jalan, perijinan ini akan mencakup akuisisi lahan, rehabilitasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena penggusuran, izin dari Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dan perjinan lainnya seperti untuk memindahkan semua utilitas yang terletak di jalan. Seperti telah dibahas sebelumnya, pemilik proyek biasanya menanggung risiko perizinan dan juga menyanggupi untuk mengganti kerugian perusahaan pelaksana proyek terhadap risiko kerugian yang timbul dari perselisihan sehubungan dengan keterlambatan dalam akuisisi lahan. Risiko perijinan biasanya rendah untuk proyek yang hanya melakukan perbaikan atas proyek yang telah ada, namun tinggi untuk proyek yang merupakan konstruksi baru yang membutuhkan lahan yang luas untuk diakuisisi. Terlepas dari risiko perijinan, ICRA Indonesia juga mengevaluasi kerentanan proyek terhadap kelebihan biaya dan waktu yang dibutuhkan, serta pengaturan dana untuk kelebihan ini. Faktor ini perlu diperhatikan mengingat untuk proyek yang berupa build-operate-transfer (BOT), design-buildoperate- maintenance (DBOM), build-own-operate-transfer (BOOT), rehabilitate-operate-transfer (ROT) atau build-own-operate (BOO), kelebihan biaya harus ditanggung oleh perusahaan pelaksana proyek, yang dapat mempengaruhi tingkat hutang proyek dan pengembalian ke investor. Proyek pembangunan jalan sering dihadapkan dengan tantangan yang berkaitan dengan mobilisasi tenaga kerja dan peralatan konstruksi yang diperlukan. Selanjutnya, faktor-faktor seperti medan yang sulit, penggunaan teknologi yang tidak sesuai, tidak memadainya peralatan konstruksi, cuaca dan masalah ketenagakerjaan juga berkontribusi terhadap keterlambatan konstruksi dan kenaikan biaya. Risiko ini sebagian dapat diatasi melalui harga tetap, tanggal tertentu kontrak EPC dengan pihak terkait dan dengan pembayaran ganti rugi atas ketidaksesuaian kinerja. Namun demikian, ICRA Indonesia juga mencoba untuk menilai kemampuan keuangan dan operasional kontraktor EPC dan kemampuannya untuk memenuhi komitmen kontraknya. Masalah lain yang dievaluasi adalah kualitas konstruksi dan kekokohan desain. Pemilik proyek biasanya mendasarkan desain dan parameter kualitas sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian konsesi. Parameter ini perlu ditaati oleh pemegang konsesi, dan disertifikasi oleh otoritas/ahli teknik independen yang ditunjuk sebelum pengoperasian jalan tol. ICRA Indonesia percaya bahwa kecukupan desain untuk menahan volume lalu lintas yang meningkat dan kualitas sistem drainase serta kerentanan jalan terhadap banjir akan menentukan persyaratan pemeliharaan dan operasi (O&M) di masa depan serta frekuensi pemeliharaan periodik yang perlu dilakukan. Untuk menilai kerentanan proyek terhadap risiko ini, jika diperlukan ICRA Indonesia dapat berkonsultasi dengan ahli independen di bidang ini. Risiko Komersial dan Lalu Lintas Pasca penyelesaian kegiatan konstruksi, investor dalam proyek-proyek jalan tol terutama terpapar terhadap risiko yang terkait dengan kemampuan jalan tol untuk menarik lalu lintas, dan untuk mengumpulkan tol sesuai dengan tarif yang ditentukan. ICRA Indonesia percaya bahwa risiko lalu lintas yang terkait dengan fasilitas tersebut terutama tergantung pada faktor-faktor berikut: • Utilitas ekonomi rute jalan tol. Dalam konteks ini ICRA Indonesia percaya bahwa proyek yang memiliki pasar tersendiri seperti yang terhubung ke pelabuhan atau jalan tembus ke kota yang mengurangi tingkat kemacetan memiliki risiko lalu lintas yang relatif lebih rendah. ICRA Indonesia
Page 4 of 7
• • • •
Ketersediaan alternatif jalan raya dan persaingan dengan moda transportasi lainnya, yang memungkinkan pengalihan lalu lintas bisa terjadi. Kondisi ekonomi dan demografi yang berada dalam daerah jangkuan jalan. Komposisi pengguna lalu lintas di sepanjang rute dan sensitivitas berbagai segmen pengguna terhadap tarif tol. Nilai ekonomi yang disediakan oleh jalan dalam kaitannya dengan tarif tol yang dikenakan.
Mengukur risiko pasar yang terkait dengan proyek-proyek tersebut bisa sangat menantang karena tidak adanya data historis lalu lintas yang handal dan cukup lama yang dapat digunakan untuk meramalkan tingkat lalu lintas di masa depan. Oleh karena itu, ICRA Indonesia bergantung pada studi lalu lintas yang dilakukan secara independen untuk menilai potensi pendapatan masa depan atas rute jalan tol. Namun demikian, sensistivitas hasil studi lalu lintas tersebut perlu dilakukan untuk menilai proteksi arus kas yang tersedia bagi investor dalam kasus kekurangan dalam tingkat lalu lintas. Kasus-kasus proyek jalan tol di dunia yang menghadapi kekurangan yang cukup besar dalam hal pungutan tol dibandingkan dengan perkiraan mengharuskan pendekatan tersebut. Isu lain yang mempersulit analisis tersebut adalah memperkirakan sensitivitas lalu lintas ke depan sejalan dengan tarif tol, mengingat bahwa pengguna jalan sejauh ini memiliki akses bebas ke jalan/daerah tertentu sebelum jalan tol dibangun. Untuk menilai risiko ini, ICRA Indonesia berusaha menilai kerentanan lalu lintas dengan mengevaluasi nilai ekonomi yang disediakan oleh jalan dibandingkan dengan tarif tol dan keberlanjutan penghematan waktu/biaya tersebut selama periode tertentu dengan asumsi biaya pengangkutan dan harga bahan bakar yang berbeda. Secara keseluruhan, ICRA Indonesia percaya bahwa proyeksi lalu lintas untuk perbaikan jalan yang ada memiliki prediktabilitas moderat, sedangkan untuk jalan baru prediksi tingkat lalu lintas bisa sangat sulit, karena penilaian subyektif perlu dibuat tentang kemampuan rute jalan untuk menghasilkan lalu lintas baru dengan menarik lalu lintas dari alternatif jalan yang ada. Selanjutnya, masalah lain yang dievaluasi saat menilai kerentanan proyek terhadap risiko pasar adalah akses proyek untuk sumber pendapatan alternative, terutama dari pengembangan dan pengelolaan lahan di sepanjang koridor jalan. Risiko Operasional Risiko operasi adalah risiko bahwa proyek tidak akan sesuai dengan parameter kinerja yang dipersyaratkan selama periode konsesi. Biasanya, parameter kinerja yang ditentukan dalam perjanjian konsesi mengatur kualitas jalur lalu lintas, standar keselamatan, kepatuhan terhadap jadwal pemeliharaan, dan standar-standar lain yang disebutkan dalam perjanjian konsesi. Hal-hal yang tidak sesuai dengan parameter kinerja dapat menjadi kejadian wan-prestasi (event of default) dan dapat berdampak pada kemampuan pengembang untuk mengumpulkan tarif tol. Selain itu, dalam hal pemeliharaan yang buruk, daya tarik jalan dapat berkurang yang membuat pengguna tol beralih ke jalan alternatif (jika ada). Dengan demikian kemampuan pemegang konsesi untuk mengestimasi biaya operasi dan menjadwalkan program pemeliharaan jalan tol penting untuk melindungi aliran pendapatan masa depan untuk pembayaran hutang. Biaya operasional dan pemeliharaan untuk proyek jalan terutama terdiri dari dua jenis: • pemeliharaan periodik, yang merupakan pemeliharaan besar, biasanya melibatkan pengaspalan/pembetonan ulang, bisa sekali setiap 3 tahun - dijelaskan dalam kontrak. • pemeliharaan rutin, yang melibatkan perbaikan retak, penggantian balok keamanan di sepanjang jalan raya, pembersihan puing-puing setelah kecelakaan, memastikan fungsi tanda yang dipasang, pemeliharaan keamanan, dan kegiatan lainnya. Mengingat bahwa kompleksitas kerja O&M cukup rendah, ICRA Indonesia tidak memperkirakan bahwa kontraktor O&M memiliki banyak kesulitan dalam pelaksanannya, dan dalam banyak kasus mereka memiliki pengalaman yang diperlukan dalam bisnis konstruksi dan pemeliharaan jalan. ICRA Indonesia
Page 5 of 7
Dengan demikian , terlepas dari kemampuan operasi dan kekuatan keuangan kontraktor O&M , isuisu lain yang diamati ICRA Indonesia pada saat mengevaluasi risiko O&M di proyek jalan tersebut adalah : • Mekanisme pendanaan biaya O&M: Biaya O&M cenderung memuncak setiap 3 tahun, ketika pemeliharaan periodik yang membutuhkan perbaikan permukaan jalan. Oleh karena itu, ICRA Indonesia percaya bahwa proyek harus menyediakan cadangan O&M yang bisa dibentuk secara bertahap, baik dari pendapatan tol sendiri atau melalui mekanisme bantuan likuiditas eksternal (surat kredit/jaminan, dan lain-lain) sehingga tersedia dana yang memadai untuk membiayai pengeluaran puncak ini. • Sensitivitas inflasi dari perkiraan biaya O&M: Perkiraan biaya O&M akan sangat sensitif terhadap inflasi, dan karena itu akan sulit untuk menganggarkan selamanya. ICRA Indonesia percaya bahwa dalam hal perkiraan yang sebenarnya melebihi biaya yang dianggarkan, insentif bagi kontraktor O&M untuk mempertahankan jalan sesuai dengan persyaratan bisa berkurang, sehingga berdampak pada kualitas jalan dan juga koleksi tol. Risiko Pendanaan dan Keuangan Seperti kebanyakan proyek infrastruktur lainnya, proyek-proyek sektor jalan juga ditandai dengan tingkat intensitas modal yang cukup tinggi. Namun demikian, intensitas modal proyek tersebut tergantung pada sejumlah variabel, termasuk sifat permukaan (misalnya aspal/non-aspal), medan jalan, dan jumlah konstruksi seperti jembatan, gorong-gorong, rel di atas jembatan, yang perlu dibangun. Proyek-proyek ini biasanya didanai dengan ketergantungan yang cukup besar pada hutang eksternal, meskipun dalam beberapa kasus konsesi/hibah dari pemilik proyek dapat diberikan. Struktur pembiayaan juga ditinjau untuk eksposur suku bunga dan risiko pembiayaan kembali (refinancing). Struktur suku bunga mengambang berpotensi mempengaruhi pembayaran hutang, terutama selama periode kenaikan tingkat suku bunga. Struktur permodalan juga ditinjau dari struktur pembayaran hutang - profil jatuh tempo lebih panjang biasanya dianggap lebih baik untuk proyek-proyek tersebut mengingat bahwa tarif tol biasanya meningkat selama 8-10 tahun pertama masa konsesi. Seperti telah dibahas sebelumnya, perjanjian konsesi untuk sebagian besar proyek jalan ini biasanya menyediakan investor akses ke pembayaran penghentian proyek (terminasi) dari pemilik proyek, dalam hal terjadi default oleh perusahaan pelaksana proyek sebagaimana yang tercantum dalam komitmen kontraknya. Dalam mengevaluasi profil risiko kredit dari proyek-proyek ini, ICRA Indonesia melihat kemampuan pemilik proyek untuk melakukan pembayaran tersebut dan juga kecukupan pembayaran ini untuk memenuhi komitmen hutang proyek. Unsur kunci dari analisis tersebut adalah penilaian terhadap kecukupan aliran pendapatan untuk memenuhi biaya operasional dan kewajiban hutang. Skenario sensitivitas kunci yang dibuat mencakup variabilitas dalam volume lalu lintas dan tarif tol, kelebihan waktu dan biaya selama fase konstruksi dan variabilitas dalam biaya operasi dan pemeliharaan pasca penyelesaian. Tes sensitivitas menjadi lebih penting jika pertumbuhan lalu lintas dan pendapatan yang signifikan diperlukan untuk mendukung proyek tersebut. Risiko Struktur Dalam banyak kasus, pendapatan tol dan (dalam beberapa kasus) pendapatan dari pengelolaan/pengembangan lahan sepanjang koridor, merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang tersedia bagi perusahaan proyek untuk pembayaran hutang. Jadi, selain melihat kelayakan ekonomi proyek, ICRA Indonesia juga mengkaji aspek struktural tertentu proyek-proyek ini, yang meliputi proses dimana aliran pendapatan ini dikumpulkan dalam rekening pengumpulan dan selanjutnya ditransfer ke rekening cadangan hutang setelah mendanai cadangan O&M. ICRA Indonesia juga mengkaji persyaratan rasio kecukupan minimum (minimum coverage ratio) yang harus dipenuhi sebelum pembayaran dividen, dan penciptaan bantalan likuiditas minimum baik melalui kolateral yang lebih tinggi atau melalui instrumen seperti letter of credit/bank garansi, untuk memenuhi kekurangan pendapatan akibat gangguan operasi. ICRA Indonesia Page 6 of 7
Kesimpulan Dengan aktivitas proyek jalan berdasarkan kemitraan publik-swasta yang diperkirakan cukup besar, penerbitan hutang oleh perusahaan pelaksana proyek kemungkinan akan meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang. Menurut ICRA Indonesia, risiko kredit yang terkait dengan proyek-proyek jalan tol, dengan karakteristik tingkat hutang yang tinggi di satu sisi dan tidak adanya arus masuk pendapatan yang tetap di sisi lain, relatif tinggi. Risiko selanjutnya diperparah oleh terbatasnya ketersediaan data lalu lintas historis untuk beberapa rute jalan raya yang ada, yang membuat proyeksi tingkat lalu lintas selama periode jangka waktu yang panjang sangat sulit. Namun demikian, ICRA Indonesia memiliki pandangan positif terhadap proyek-proyek telah didanai secara konservatif, dipromosikan oleh sponsor yang kuat, dan yang memiliki akses ke rute lalu lintas yang menguntungkan. Untuk proyek-proyek tersebut, ICRA Indonesia juga akan memperhatikan keberadaan unit pengumpul tol yang kuat dan alokasi risiko O&M ke kontraktor yang mapan dengan pengalaman yang diperlukan dalam operasi dan pemeliharaan rute tersebut. Selanjutnya, ICRA Indonesia juga akan memperhatikan ketersediaan bantalan yang memadai atas rekening O&M dan cadangan pembayaran hutang untuk jika terjadi kekurangan pendapatan yang bersifat sementara.
*Diadopsi dan dimodifikasi dari ICRA’s Approach to Rating Toll Road Projects oleh ICRA Limited © Copyright, 2014, ICRA Indonesia. All Rights Reserved. Semua informasi yang tersedia merupakan infomasi yang diperoleh oleh ICRA Indonesia dari sumber-sumber yang dapat dipercaya keakuratan dan kebenarannya. Walaupun telah dilakukan pengecekan dengan memadai untuk memastikan kebenarannya, informasi yang ada disajikan 'sebagaimana adanya' tanpa jaminan dalam bentuk apapun, dan ICRA Indonesia khususnya, tidak melakukan representasi atau menjamin, menyatakan atau menyatakan secara tidak langsung, mengenai keakuratan, ketepatan waktu, atau kelengkapan dari informasi yang dimaksud. Semua informasi harus ditafsirkan sebagai pernyataan pendapat, dan ICRA Indonesia tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami oleh pengguna informasi dalam menggunakan publikasi ini atau isinya.
ICRA Indonesia
Page 7 of 7