Fitur Pemeringkatan ICRA Indonesia September 2014
Metodologi Pemeringkatan untuk Transaksi Pembiayaan Proyek*
Ikhtisar Infrastruktur memainkan peran penting dalam pengembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Atas dasar ini, pemerintah Indonesia telah membentuk master plan untuk tahun 2011-2015 yang telah memasukkan visi pengembangan infrastruktur dalam jangka menengah. Selain itu, pemerintah telah menyusun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011-2025. Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan investasi dalam proyek-proyek infrastruktur dan baru-baru ini telah mengumumkan 56 proyek infrastruktur senilai USD 35 miliar. Untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur diperlukan pendanaan dalam jumlah besar. Berbagai skema seperti kemitraan pemerintah dengan swasta atau public-private partnership (PPP) dan skema bangun-kelola-serah atau build operate and transfer (BOT) telah diajukan dan berbagai insentif telah ditawarkan untuk investasi swasta dalam bidang infrastruktur. MP3EI 2011-2025 sebenarnya diharapkan akan didanai sebagian besar oleh sektor swasta. Diperkirakan bahwa lebih dari 70% investasi dalam MP3EI senilai USD 468 miliar akan dilakukan melalui kemitraan antara pemerintah dan swasta. Dengan demikian, dalam jangka menengah hingga jangka panjang, partisipasi sektor swasta akan meningkat dalam proyek-proyek tersebut. Pembiayaan proyek umumnya melibatkan pembentukan suatu entitas khusus atau special purpose vehicle (SPV) -- dengan matriks kontraktual yang mengikat berbagai peserta proyek-- yang akan menerbitkan hutang dan melakukan pembayaran atas hutang tersebut dari arus kas proyek itu sendiri, tanpa pengalihan (recourse) kepada para sponsor. Struktur seperti ini memiliki paparan atas berbagai risiko, dan pertumbuhan terbatas atas bentuk pembiayaan ini, menurut pendapat ICRA Indonesia, disebabkan terutama oleh persepsi tingginya risiko dari pemodal proyek dan ketidakmampuan entitas proyek untuk menawarkan struktur yang sesuai, yang dapat mengurangi risiko ini. Tujuan dari catatan ini adalah untuk menggarisbawahi beberapa risiko kunci yang menjadi karakter dari transaksi pembiayaan proyek dan pendekatan ICRA Indonesia untuk mengevaluasi risiko kredit proyek-proyek infrastruktur tersebut. Lain halnya dengan corporate finance yang utamanya menilai perusahaan yang sudah beroperasi setidaknya tiga tahun, pembiayaan proyek dapat mencakup proyek yang baru mulai (start up) atau entitas yang belum memiliki rekam jejak operasional.
Kerangka analisis untuk evaluasi risiko dalam pembiayaan proyek Struktur proyek dengan pengalihan terbatas atau tanpa pengalihan dapat terpapar banyak risiko. Pendekatan pemeringkatan ICRA Indonesia memiliki fokus terutama pada fundamental ekonomi dari proyek dan efektivitas struktur kontrak dan struktur keuangan untuk dapat memitigasi risiko-risiko tersebut.
ICRA Indonesia
Evaluasi atas risiko dalam proyek Dari perspektif kredit, penilaian proyek memiliki tantangan dalam hal investor atas hutang memiliki akses arus kas hanya dari satu sumber, jauh berbeda dengan transaksi keuangan perusahaan ataupun structured finance, di mana beragam sumber arus kas mungkin tersedia. Dengan demikian, kekuatan pembiayaan proyek terletak terutama pada kemampuan proyek untuk menghasilkan dan mempertahankan arus kas, di mana hal ini terpapar risiko-risiko berikut: ‐ Risiko penyelesaian ‐ Risiko pendanaan dan pembiayaan ‐ Risiko operasi dan teknologi ‐ Risiko pasar ‐ Risiko pihak lawan ‐ Risiko politik dan regulasi ‐ Risiko force majeure Masing-masing risiko ini, bersama dengan upaya mitigasinya, dibahas dalam bagian di bawah ini.
1. Risiko Penyelesaian Risiko penyelesaian mengacu pada ketidakmampuan sebuah proyek untuk beroperasi secara komersial dengan tepat waktu dan sesuai dengan biaya yang direncanakan. Mengingat bahwa pemodal proyek sering enggan untuk menanggung risiko penyelesaian proyek , struktur proyek biasanya menyertakan pengalihan (recourse) kepada para sponsor selama tahap konstruksi. Namun, pilihan ini akan gugur setelah proyek mulai menghasilkan arus kas sendiri. Oleh karena itu , selama masa konstruksi , persepsi risiko ICRA Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh kualitas kredit dan rekam jejak dari para sponsor dan kemampuan dan kesediaan mereka untuk mendukung proyek melalui ekuitas kontinjen/hutang subordinasi untuk mendanai pembiayaan dan keterlambatan proyek, jika ada. Risiko juga tergantung pada kerumitan konstruksi, di mana semakin tinggi tingkat kerumitan (misalnya dalam kasus pabrik petrokimia), lebih tinggi lagi risiko yang timbul. Selain itu, untuk proyek dengan hubungan vertikal yang kuat, ketidaktersediaan infrastruktur hulu dan hilir merupakan faktor penting dalam risiko penyelesaian. Contoh umum dari proyek semacam itu adalah proyek gas alam cair, gas alam dan jalan tol. Dalam jenis proyek tertentu, seperti pelabuhan dan jalan raya, penyelesaian proyek juga merupakan fungsi dari risiko perizinan yang terkait dengan pembebasan lahan yang diperlukan, izin lingkungan dan persetujuan pemerintah. Risiko penyelesaian biasanya dimitigasi oleh biaya kontrak yang tetap, kepastian tanggal, kontrak turn-key dengan kontraktor yang kualitas kreditnya baik dan pencadangan yang memadai untuk ganti rugi atas keterlambatan dalam konstruksi, yang perlu dilihat dalam kaitannya dengan komitmen pembayaran hutang. Saat menilai risiko penyelesaian juga perlu diperhatikan pengalaman perusahaan rekayasa, kontraktor pengadaan dan konstruksi (Engineering, Procurement & Construction/EPC) dan rekam jejaknya dalam membangun proyek-proyek serupa, tepat waktu dan sesuai biaya dianggarkan. Lebih jauh lagi, ICRA Indonesia juga melihat kewajaran atas waktu yang tersedia untuk penyelesaian proyek, dan jadwal yang agresif untuk penyelesaian proyek, yang tidak memberikan ruang bagi kontinjensi yang memadai, seringkali akan dipandang negatif.
2. Risiko Pendanaan dan Pembiayaan Struktur keuangan perusahaan pelaksana proyek dan kemampuannya untuk mendapatkan pembiayaan yang dibutuhkan adalah fokus analisis di sini. Struktur pembiayaan biasanya ditinjau atas: Struktur modal proyek, yang dievaluasi untuk menilai apakah rasio hutang terhadap modal selaras dengan risiko bisnis yang mendasari dan relatif dalam kisaran yang sama untuk proyekproyek lain yang memiliki ukuran dan tingkat kompleksitas atau kerumitan yang serupa. Perlindungan yang diberikan kepada pemegang obligasi atau surat hutang seperti rasio cakupan minimum (minimum coverage ratio) yang harus dipenuhi sebelum distribusi kepada pemegang saham dilakukan, dan ketersediaan cadangan yang substansial untuk pembayaran hutang dalam menghadapi kondisi yang tak terduga. Kecocokan antara arus kas proyek (dalam berbagai skenario sensitivitas) dengan arus pembayaran hutang dan potensi ketidakcocokan antara arus kas tersebut. ICRA Indonesia
Halaman 2 dari 6
Struktur harga yang diberlakukan untuk surat hutang dan eksposur hutang tersebut terhadap risiko suku bunga dan risiko mata uang. Risiko tersebut sangat signifikan terutama jika proyek didanai oleh hutang atau kewajiban yang bersifat variabel dalam mata uang yang berbeda dari pendapatan. Keberadaan wali amanat yang berpengalaman untuk mengontrol arus kas dan memantau kinerja proyek atas nama pemegang obligasi. Keterbatasan pada kemampuan perusahaan proyek untuk menerbitkan hutang baru. Rata-rata biaya hutang, mengingat bahwa biaya pendanaan akan menjadi kunci penentu dari kelayakan proyek, pada saat bahwa perbedaan dalam kemampuan teknis dan kemampuan operasional telah hampir tidak bisa dibedakan.
Biasanya, sebagian besar proyek memiliki tingkat hutang yang tinggi, dan sementara permodalan diatur secara individual dari sponsor, proyek akan bergantung pada lembaga keuangan dan perbankan untuk mengatur komponen hutang. Dalam menilai risiko pendanaan, ICRA Indonesia menilai sejauh mana pendanaan sudah tersedia dan kemungkinan pendanaan yang akan tersedia pada waktunya, sehingga kemajuan proyek tidak tertunda. Ini juga mengasumsikan pentingnya hal tersebut, mengingat bahwa biasanya bank dan lembaga keuangan mencairkan uang secara proporsional dengan permodalan yang disetorkan, dan karenanya keterlambatan/ketidakmampuan dalam menyuntikkan modal dapat sangat mempengaruhi kemampuan proyek untuk mencapai penutupan keuangan (financial closure).
3. Risiko Operasi dan Teknologi Risiko operasi dan teknologi mengacu pada ketidakmampuan proyek untuk berfungsi secara berkelanjutan pada tingkat produksi yang diinginkan dan dalam parameter yang telah dirancang. Risiko tersebut biasanya muncul dalam proyek-proyek yang menggunakan teknologi kompleks (pembangkit listrik atau proyek kilang, misalnya); untuk proyek-proyek jalan, pelabuhan, dan bandara, risiko tersebut biasanya berada dalam tatanan yang lebih rendah. Risiko teknologi biasanya timbul karena tingkat barunya atau kemungkinan akan usangnya teknologi, yang sering terlihat dalam proyek-proyek telekomunikasi. Apabila teknologi yang digunakan bersifat mapan, fokus analisis biasanya menentukan kehandalan dan keberlanjutan dari platform teknologi selama masa tenor hutang. ICRA Indonesia biasanya mengkaji Laporan Rekayasa Independen (Independent Engineering Report/IER) dan menilai apakah temuan teknis sejalan dengan pandangan para sponsor dan kontraktor EPC. ICRA Indonesia melengkapi hasil kaji dari IER dengan kunjungan ke tempat untuk berdiskusi dengan tim manajemen proyek, konsultan dan kontraktor EPC. Risiko teknologi, apabila mendesak, biasanya dimitigasi melalui jaminan kinerja/garansi dari produsen, kontraktor atau operator, dan ketersediaan cadangan dana yang memadai untuk menutupi akibat gangguan operasi . ICRA Indonesia akan melakukan due diligence untuk menentukan kualitas kredit dari pemasok/operator teknologi dan kemampuan dari para partisipan ini untuk membayar kompensasi atas kegagalan teknologi yang diadopsi. Risiko yang terkait dengan gangguan dalam operasi karena gangguan mekanis peralatan biasanya dimitigasi melalui kontrak pengoperasian dan pemeliharaan (O&M). Di sini, sekali lagi ICRA Indonesia mengevaluasi kualitas/pengalaman kontraktor O&M, tingkat pengenalan kontraktor O&M dengan teknologi yang digunakan, dan kecukupan dari garansi kinerja kontraktor O&M.
4. Risiko Pasar Risiko pasar biasanya muncul karena ketidakcukupan permintaan untuk produk/jasa, perubahan struktur industri, atau volatilitas harga (untuk input dan juga output). Mengingat sifat jangka panjang dari pembiayaan proyek, sumber utama dari risiko pasar adalah kemungkinan perubahan dramatis dalam pola permintaan untuk produk, baik karena usangnya produk tersebut atau karena terciptanya kapasitas mendadak dan besar, yang bisa sangat mempengaruhi tingkat ekonomis proyek. Untuk kemudahan analisis, proyek dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: pertama, yang memproduksi komoditas (contoh: proyek-proyek gas alam cair dan proyek kilang), dan kedua, proyek di mana monopoli alami tertentu ada (misalnya jalan, pelabuhan, bandara atau proyek transmisi listrik atau gas). Sementara kategori pertama proyek terpapar sebagian besar risiko yang teridentifikasi di atas, risiko pasar untuk proyek jenis kedua lebih kepada masalah sisi permintaan, dengan harga biasanya tergantung kepada peraturan atau masalah politik. ICRA Indonesia
Halaman 3 dari 6
Sampai saat ini, implementasi dari beberapa proyek komoditas, seperti proyek gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) di pasar internasional didukung oleh kontrak off-take jangka panjang, yang memberikan tingkat keamanan yang cukup bagi investor. Namun, dengan perkembangan pasar spot untuk komoditas, pelanggan proyek-proyek tersebut tidak bersedia terikat kontrak jangka panjang, ini akan meningkatkan risiko pasar terkait dengan proyek-proyek tersebut. Dalam keadaan ini, daya saing biaya beserta sifat dan kecukupan permintaan (dalam skala regional ataupun global) telah muncul sebagai faktor penentu dari kelayakan jangka panjang proyek. Misalnya, meskipun proyek pembangkit listrik didukung oleh komitmen off-take dan mekanisme keamanan pembayaran yang memadai, ada banyak contoh di mana daya saing biaya telah muncul sebagai faktor mitigasi utama terhadap risiko pasar yang terkait dengan sektor listrik. Jadi fokus saat menilai risiko pasar untuk proyek-proyek yang menghasilkan komoditas biasanya adalah struktur biaya proyek, yang merupakan fungsi dari biaya modal yang dikeluarkan untuk mendanainya, biaya input dan juga biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan dan merawat aset . ICRA Indonesia biasanya mengukur patokan biaya modal dari proyek dengan infrastruktur serupa di seluruh dunia untuk memastikan tingkat kompetitifnya secara global. Ini, dalam pandangan ICRA Indonesia, merupakan penentu kelayakan ekonomi proyek dalam jangka panjang. Di sisi input, ICRA Indonesia membahas isu-isu yang berkaitan dengan kepastian pasokan, kemampuan pemasok untuk memenuhi komitmen kontrak selama umur proyek, struktur harga barang-barang tersebut dan kemampuan proyek untuk mentransfer variasi dari biaya input ke harga jual. Dalam situasi di mana input utama adalah langka atau tidak aktif diperdagangkan, ICRA Indonesia mencoba untuk mengevaluasi implikasi biaya untuk mengisi kekurangan pasokan dan ketersediaan ganti rugi dalam kontrak pasokan untuk melakukan kompensasi atas biaya tersebut. Untuk kategori kedua, fokus utama adalah pada evaluasi kecukupan permintaan yang ada, potensi pertumbuhan permintaan dan kemungkinan aset alternatif (misalnya rute alternatif untuk jalan tol) yang dibuat, yang dapat melemahkan permintaan untuk proyek yang dibiayai. Menilai pola permintaan untuk proyek-proyek tersebut, terutama proyek jalan, sering merupakan tugas yang sulit karena dalam banyak kasus, permintaan dapat sangat elastis terhadap harga dan merupakan fungsi dari pola pembangunan sosial ekonomi di wilayah sekitarnya. ICRA Indonesia mengacu pada studi independen mengenai lalu lintas/permintaan dari lembaga yang memiliki reputasi baik untuk mencocokkan dengan estimasi dari sponsor proyek. Namun, estimasi tersebut hanya digunakan sebagai acuan dan biasanya disesuaikan oleh ICRA Indonesia saat menyusun perkiraan arus kas.
5. Risiko Pihak Lawan Seperti dibahas sebelumnya, proyek melibatkan sejumlah pihak yang terikat dengan struktur kontrak. Oleh karena itu, evaluasi kekuatan dan kehandalan partisipan dalam proyek tersebut penting dalam memastikan kualitas kredit proyek. Pihak lawan proyek biasanya meliputi pemasok bahan baku, offtakers utama, dan kontraktor EPC. Bahkan sponsor bisa menjadi sumber risiko karena kebutuhan untuk menyediakan modal selama tahap konstruksi. Karena proyek pada dasarnya memiliki struktur yang kompleks, masalah di pihak lawan dapat menempatkan kelayakan proyek dalam posisi berisiko. Risiko pihak lawan biasanya ditangani melalui jaminan kinerja, letter of credit dan mekanisme keamanan pembayaran (seperti penggunaan escrow), paling umum terlihat dalam kasus proyek pembangkit listrik. Namun, telah diamati bahwa upaya pengendalian risiko melalui kontrak, seberapapun kuatnya, mungkin tidak efektif dalam mengisolasikan proyek dari risiko ini, kecuali proyek secara fundamental kompetitif dalam hal biaya dan masuk akal secara komersial untuk semua peserta proyek.
6. Risiko Politik dan Peraturan Risiko politik dan peraturan akan memainkan peran penting dalam perkembangan bisnis pembiayaan proyek di Indonesia. Kebanyakan transaksi pembiayaan proyek membawa unsur risiko politik berdasarkan fakta bahwa mereka sering berhubungan dengan pembangunan infrastruktur yang padat modal dan barang/jasa yang dihasilkan akan dikonsumsi oleh masyarakat luas, baik langsung maupun tidak langsung. Risiko politik dan peraturan bisa datang dalam berbagai bentuk, dan sangat mempengaruhi ekonomi proyek, misalnya: Kurangnya transparansi dan prediktabilitas di badan regulasi yang biasanya terlibat dalam pemberian izin, menetapkan syarat dan kondisi untuk penggunaan infrastruktur dalam basis “common carrier” dan pemberlakuan tarif. ICRA Indonesia
Halaman 4 dari 6
Resistensi terhadap kenaikan retribusi untuk utilitas umum seperti biaya air, tarif tol dan biaya energi, meskipun klausul kenaikan tarif ada di proyek. Perubahan dalam norma lingkungan, yang dapat mempengaruhi proyek pembangkit listrik dan kilang dengan mengharuskan untuk berinvestasi secara substansial dalam memenuhi normanorma tersebut. Permasalahan dalam pembebasan dan akuisisi lahan, hal yang tipikal dalam kasus proyek jalan.
Seperti terlihat dari pembahasan sebelumnya, risiko peraturan dan politik seringkali sulit untuk diukur dan dimitigasi. Saat menilai risiko tersebut, umumnya ada usaha untuk memahami kerentanan proyek terhadap risiko tersebut dan juga sifat hubungan antara pemerintah daerah/pusat dengan proyek yang dikaji.
7. Risiko Force Majeure Transaksi pembiayaan proyek berbeda dari corporate finance atau structured finance karena ketergantungan mereka pada aset tunggal untuk menghasilkan arus kas berpotensi rentan terhadap risiko force majeure. Doktrin hukum force majeure mengecualikan pihak-pihak terkait dari tanggung jawabnya ketika mereka dihadapkan oleh kejadian tak terduga di luar kendali mereka. Sebuah analisis yang cermat dari peristiwa force majeure sangat penting dalam pembiayaan proyek karena kejadian seperti itu, jika tidak ditanggulangi dengan baik, bisa mencederai alokasi risiko di mana pembiayaan proyek ini bergantung. Bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, gangguan sipil dan pemogokan dapat berpotensi mengganggu operasi proyek dan akhirnya arus kas. Selain itu, kegagalan mekanis yang fatal/katastrofik, baik karena kesalahan manusia atau kegagalan mesin dapat menjadi bentuk force majeure yang dapat mengecualikan proyek dari kewajiban kontraknya. Proyek biasanya tidak mampu mengatasi peristiwa force majeure seperti perusahaan besar yang memiliki portofolio aset yang beragam. Menurut opini ICRA Indonesia, semakin luas definisi dari peristiwa ini, semakin lemah dan semakin kurang dapat diandalkan struktur kontrak dari proyek tersebut. Oleh karena itu penting bahwa peristiwa force majeure didefinisikan dengan rinci, dan bahwa risiko tersebut diamankan dari proyek melalui asuransi yang sesuai yang diambil dari perusahaan asuransi dengan profil finansial yang kuat. ICRA Indonesia biasanya mempelajari sifat, cakupan dan ketepatan kebijakan asuransi yang diambil dan juga mengevaluasi kecukupan cadangan hutang untuk memenuhi pembayaran hutang dalam keadaan force majeure.
Mengevaluasi struktur kontrak Sebuah proyek dapat dilihat secara konseptual sebagai rangkaian kontrak dan perjanjian yang mempertemukan berbagai pihak untuk tujuan tunggal untuk menciptakan dan mengoperasikan aset. Jika proyek tersebut dibiayai secara tanpa pengalihan atau dengan pengalihan terbatas kepada sponsornya, kegunaan dari perjanjian proyek berada terutama pada kemampuan mereka untuk secara kontraktrual mentransfer/mengalokasikan risiko kepada partisipan yang paling siap untuk menangani. Oleh karena itu, ICRA Indonesia mengevaluasi kontrak ini untuk kecukupan dan kekuatannya dalam konteks teknologi proyek dan paparan terhadap risiko pasar dan risiko kredit pihak lawan. Kontrak juga dipelajari untuk konsistensi (antar-kontrak) dan juga untuk memastikan apakah kewajiban yang dibuat dalam setiap kontrak telah mengatasi masalah karakteristik operasi yang unik dalam proyek. Akan tetapi perlu dinyatakan bahwa meskipun kontrak proyek telah diteliti secara cermat, tujuan utama saat mengevaluasi proyek-proyek tersebut adalah untuk menetapkan kelayakan proyek-proyek itu secara masing-masing. Pendekatan ini dipengaruhi terutama oleh pengamatan ICRA Indonesia bahwa ada insentif yang kuat memenuhi kontrak proyek hanya selama proyek secara komersial menguntungkan untuk semua peserta. Ini juga telah terlihat bahwa kontrak ini secara implikatif terbuka terhadap negosiasi ulang setelah proyek tidak lagi memiliki nilai ekonomi, dan negosiasi ulang semacam itu bisa sangat mempengaruhi ketertarikan investor terhadap proyek.
Kesimpulan Walaupun ada keengganan dari pemberi pinjaman domestik dan internasional untuk membiayai proyek-proyek atas dasar tanpa pengalihan atau pengalihan terbatas kepada sponsor, ICRA ICRA Indonesia
Halaman 5 dari 6
Indonesia merasa bahwa ada cukup potensi untuk struktur proyek yang tepat dengan fundamental ekonomi yang kuat. Permintaan untuk struktur pembiayaan tersebut akan didorong terutama oleh kebutuhan yang besar untuk investasi pada sektor infrastruktur di Indonesia, intensitas permodalan untuk proyek-proyek tersebut, dan ketidakmampuan/keengganan pengembang proyek untuk memakai neraca mereka untuk pendanaan. Proyek-proyek tersebut terpapar berbagai risiko, di mana ini dapat dimitigasi dengan mengalokasikannya kepada setiap peserta proyek sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam menangani risiko tersebut. Namun ICRA Indonesia melihat bahwa efektivitas mekanisme alokasi risiko tersebut, yang dicapai melalui struktur kontrak yang sesuai, akan bergantung pada tingkat ekonomi proyek dan daya tarik komersialnya untuk berbagai pihak.
© Copyright, 2014, ICRA Indonesia. All Rights Reserved. Semua informasi yang tersedia merupakan infomasi yang diperoleh oleh ICRA Indonesia dari sumber-sumber yang dapat dipercaya keakuratan dan kebenarannya. Walaupun telah dilakukan pengecekan dengan memadai untuk memastikan kebenarannya, informasi yang ada disajikan 'sebagaimana adanya' tanpa jaminan dalam bentuk apapun, dan ICRA Indonesia khususnya, tidak melakukan representasi atau menjamin, menyatakan atau menyatakan secara tidak langsung, mengenai keakuratan, ketepatan waktu, atau kelengkapan dari informasi yang dimaksud. Semua informasi harus ditafsirkan sebagai pernyataan pendapat, dan ICRA Indonesia tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami oleh pengguna informasi dalam menggunakan publikasi ini atau isinya.
* Dimodifikasi dan diterjemahkan dari Rating Methodolgy for Project Finance Transactions dari ICRA Limited
ICRA Indonesia
Halaman 6 dari 6