METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di empat desa utama, yakni: Desa Jabiren, Desa Mentaren II, Desa Tumbang Nusa, yang termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kelurahan Kalampangan, yang termasuk wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Keempat desa tersebut dipilih sebagai desa utama dalam penelitian ini karena jelutung rawa telah dikembangkan dengan berbagai pola agroforestri khas masing-masing tipologi lahan. Selain keempat desa tersebut, Kelurahan Kereng Bangkirai, yang termasuk wilayah Kota Palangkaraya juga dipilih menjadi lokasi penelitian karena terdapat para penyadap getah jelutung dari hutan alam dan para pengumpul getah jelutung. Lokasi penelitian tercantum pada Lampiran 4. Penelitian ini dibagi ke dalam 3 tahapan, yakni: tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap penyusunan laporan. Tahap persiapan penelitian adalah penyusunan rencana penelitian dan orientasi lapang yang dilakukan pada bulan Desember 2010 dan bulan Januari 2011. Orientasi lapang dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian dan pendalaman masalah penelitian. Tahap pelaksanaan penelitian mencakup kegiatan berikut. Pertama, Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan melalui tiga tahapan, yakni: (a) FGD tingkat petani di Kelurahan Kalampangan, (b) FGD tingkat peramu dan pengumpul getah jelutung di Kelurahan Kereng Bangkirai, dan (c) FGD tingkat provinsi yang dilaksanakan di Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Kedua, wawancara dengan informan kunci. Ketiga, pengambilan sampel tanah dan abu amelioran. Keempat, pembuatan kompos. Kelima, pengukuran dimensi jelutung rawa di empat lokasi terpilih. Keenam, pengukuran parameter iklim
mikro.
Ketujuh,
analisis
makrofauna
tanah.
Kedelapan,
analisis
laboratorium untuk sampel tanah, abu amelioran dan kompos. Tahap pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari – Juli 2011. Tahap penyusunan laporan hasil penelitian dilakukan pada bulan Agustus – September 2011.
37
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: contoh tanah, contoh abu amelioran, kotoran sapi, akar pakis kering, serasah daun rambutan dan daun jelutung rawa, jerami padi, aktivator EM4, dedak halus, kapur pertanian, kantong plastik, karung goni, ember plastik ukuran diameter atas 15,5 cm, tinggi 12 cm dan diameter bawah 11 cm, bahan-bahan kimia dalam analisis laboratorium, daftar pertanyaan (kuesioner), tally sheet. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (a) pita ukur, untuk mengukur luas lahan, (b) phiban, untuk mengukur diameter pohon, (c) galah ukur, untuk mengukur tinggi pohon, (d) GPS, untuk penentuan koordinat plot penelitian, (e) bor gambut, untuk mengambil sampel tanah gambut, (f) termohigrometer, untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, (g) termometer tanah, untuk mengukur suhu tanah, (h) fluxmeter, untuk mengukur intensitas sinar matahari, (i) kamera digital, untuk dokumentasi kegiatan penelitian, (j) kalkulator dan komputer untuk pengolahan data, (k) tape recorder untuk merekam informasi audio, dan (l) alat tulis menulis untuk mencatat data.
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data tersebut berdasarkan sumbernya, dibedakan menjadi data primer dan sekunder, yang dipilah ke dalam empat (4) aspek, yaitu aspek teknis, aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara dengan informan, wawancara mendalam dengan informan kunci, observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders. Jenis data, sumber dan cara pengumpulan data ditunjukkan pada Tabel 6.
38
Tabel 6 Jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data dan keluaran No.
Jenis Data
Aspek Teknis 1. Teknik silvikultur pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestri
Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data
Keluaran
Primer
Observasi lapang, wawancara Laporan penelitian, jurnal, dokumen
Informasi Teknik silvikultur pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri.
Pengukuran di lapangan Laporan penelitian, jurnal, dokumen Metode Diagnosis & Design (D&D) Laporan penelitian, jurnal, dokumen
Informasi riap pertumbuhan jelutung pada berbagai pola agroforestri
Sekunder
2.
Performansi pertumbuhan jelutung rawa dengan sistem agroforestri
Primer Sekunder
3.
Unsur-unsur penyusun design agroforestri berbasis jelutung rawa.
Primer Sekunder
Aspek Sosial 4. Potensi getah jelutung sebagai HHBK unggulan (sesuai Permenhut RI No. P.21/Menhut-II/2009)
Primer
Focus Group Discussion (FGD), wawancara key person Laporan penelitian, jurnal, dokumen
Informasi kondisi existing: potensi getah jelutung sebagai HHBK unggulan, kebijakan terkait dan perbaikan yang diperlukan.
Primer Sekunder
Wawancara Laporan penelitian, jurnal, dokumen
Informasi rantai pemasaran dan margin pemasaran getah jelutung
Primer Sekunder
Wawancara Laporan penelitian, jurnal, dokumen
Informasi kelayakan finansial agroforestri jelutung
Primer
Pengambilan contoh dan analisis laboratorium.
Hasil analisis laboratorium kesuburan tanah (fisika, kimia dan biologi) ketiga tipologi lahan.
Primer
Pengukuran di lapangan Data BMG Palangkaraya
Data iklim mikro pada ketiga tipologi penutupan lahan.
Pengukuran di lapangan dan analisis laboratorium.
Data berat gambut yang hilang akibat kegiatan pembuatan abu dan data hasil analisis laboratorium kandungan hara abu dan amelioran alternatif (kompos bahan organik lokal)
Sekunder
Aspek Ekonomi 5. Rantai pemasaran dan margin pemasaran getah jelutung
6.
Analisis finansial pegembangan jelutung dengan sistem agroforestri
Aspek Lingkungan 7. Kesuburan tanah (fisika, kimia dan biologi) pada tiga tipologi penutupan lahan: (a) lahan agroforestri jelutung, (b) lahan pertanian monokultur dan (c) lahan terlantar. 8.
9.
Iklim mikro pada tiga tipologi penutupan lahan: (a) agroforestri jelutung, (b) pertanian monokultur dan (c) lahan terlantar. Berat gambut yang hilang akibat kegiatan pembuatan abu sebagai sumber amelioran dan alternatif sumber amelioran lain yang berasal dari pengkomposan bahan organik setempat.
Design agroforestri berbasis jelutung di lahan gambut.
Sekunder Primer
39
Teknik Pengambilan Contoh Penelitian lapangan dilakukan di empat desa utama, yakni: Desa Jabiren dan Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, dan Desa Mentaren II, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau serta Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa di keempat desa tersebut terdapat petani yang telah membudidayakan jelutung rawa dengan sistem agroforestri. Selain keempat desa tersebut, Kelurahan Kereng Bangkirai, yang termasuk wilayah Kota Palangkaraya juga dipilih menjadi lokasi penelitian karena di desa ini terdapat para penyadap getah jelutung dari hutan alam dan para pengumpul getah jelutung. Informan dalam penelitian ini terdiri atas kelompok berikut. Pertama, petani yang telah membudidayakan jelutung rawa dengan sistem agroforestri di empat desa terpilih, sebanyak 4 orang yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan mereka telah membudidayakan jelutung rawa dengan sistem agroforestri. Kedua, masyarakat petani di Kelurahan Kalampangan yang lahannya terletak satu hamparan dengan petani yang telah membudidayakan jelutung rawa dengan sistem agroforestri, sebanyak 16 orang. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa Kelurahan Kalampangan merupakan salah satu desa di lahan gambut yang pertaniannya, utamanya tanaman sayur-sayuran, telah berkembang dengan baik. Pemilihan 16 orang tersebut berasal dari 50% anggota + ketua kelompok tani “Sepakat Maju” yang berjumlah 30 orang. Kelompok tani ini dipilih karena ada beberapa anggotanya yang telah membudidayakan jelutung dengan sistem agroforestri. Pemilihan anggota kelompok tani “Sepakat Maju” yang menjadi informan dilakukan secara acak (random sampling) dengan cara diundi. Ketiga, peramu getah jelutung dari hutan alam, sebanyak 6 orang dari total jumlah populasi 60 orang (10% dari populasi), yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan ketentuan pekerjaan utama sebagai penyadap getah jelutung dan telah ditekuni lebih dari 5 tahun.
40
Keempat, pedagang pengumpul getah jelutung di Kelurahan Kereng Bangkirai, sebanyak 4 orang dari jumlah populasi 4 orang pengumpul yang masih aktif. Kelima, para pengembang persemaian jelutung di Desa Tumbang Nusa dan Desa Jabiren, sebanyak 5 orang yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan telah memproduksi bibit lebih dari 300.000 batang dan telah beroperasi selama minimal 5 tahun. Keenam, kelompok birokrat (Dinas Kehutanan Kota Palangkaraya, Dinas Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, BPDAS Kahayan, Balai Perbenihan Tanaman Hutan Kalimantan (BPTH), Taman Nasional Sebangau, Balai Penyuluh Pertanian, dan Pemerintah Desa setempat), sebanyak 13 orang yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) terkait dengan topik penelitian. Ketujuh, kelompok perusahaan yang menampung getah jelutung, sebanyak 2 perusahaan, yakni PT. Sumber Alam Sejahtera (PT. SAS) dan PT. Sampit. Jumlah total informan adalah 50 orang.
Pengumpulan dan Analisis Data
Kelayakan teknis Parameter kelayakan teknis yang diteliti meliputi teknik silvikultur pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestri yang telah dipraktekan oleh para praktisi dan performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai pola agroforestri. Teknik silvikultur yang dikaji mencakup 2 aspek, yaitu: pengadaan bibit jelutung rawa dan design agroforestri berbasis jelutung rawa yang dapat dikembangkan untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi. Faktor yang diteliti pada aspek pengadaan bibit meliputi dua hal, yakni: perbanyakan dengan biji (generatif) dan perbanyakan dengan cara cangkok dan stek pucuk (vegetatif). Halhal terkait dengan pengadaan bibit secara generatif yang diteliti mencakup: (a) potensi ketersediaan polong buah dan pemanenannya, (b) teknik ekstraksi dan
41
seleksi biji, (c) teknologi penyimpanan biji, (d) penyemaian, (e) proses pengerasan (hardening) batang semai jelutung rawa. Pengumpulan data untuk menyusun design agroforestri berbasis jelutung rawa menggunakan metode diagnosis & design (metode D&D). Metode ini digunakan untuk mengungkap permasalahan penggunaan lahan serta untuk menyusun rancangan pemecahannya dalam sistem agroforestri. Tahapan D&D untuk agroforestri dapat diuraikan sebagai berikut (Raintree, 1990). Pertama, tahap prediagnosis. Tahap ini dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: (a) mendefinisikan sistem dan mendeskripsian lokasi (sistem apa yang menjadi sasaran?); (b) menguraikan secara jelas kombinasi dari sumberdaya, teknologi dan tujuan dari pengelola (land-user); (c) menggambarkan bagaimana sistem bekerja, yang mencakup: organisasi, tujuan dan strategi produksi, serta susunan komponen sistem. Kedua, tahap diagnosis. Tahap ini menjelaskan bagaimana kinerja sistem, yang mencakup: apa saja masalahnya, hambatan dan keterbatasan, akar permasalahan dan kemungkinan intervensi, permasalahan sehubungan dengan tujuan (rendahnya produksi, permasalahan keberlanjutan). Ketiga, rancangan dan evaluasi. Tahap ini menjelaskan bagaimana memperbaiki kinerja sistem, yang mencakup: apa saja yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sistem ini, spesifikasi pemecahan masalah atau deskripsi kinerja setelah ada intervensi. Keempat, perencanaan. Tahap ini mengembangkan dan menyebarluaskan sistem yang sudah disempurnakan, yang mencakup: kebutuhan penelitian dan pengembangan serta penyuluhan. Kelima, penerapan (implementasi). Tahap ini berupaya untuk menyesuaikan dengan informasi yang baru. Pengukuran performansi pertumbuhan jelutung rawa di empat lokasi desa terpilih dilakukan dengan ketentuan berikut. 1.
Plot penelitian di Desa Mentaren II terdapat tiga (3) pola pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestri. Pola I, agrosilvofishery, dengan komponen penyusun tanaman pertanian
berupa salak pondoh, tanaman pohon terdiri atas jelutung rawa, gaharu, durian, mangga kueni dan kolam ikan. Jelutung rawa ditanam di sekeliling tepi kolam ikan dan batas lahan dengan jarak tanam 3 m dalam satu jalur tanam. Jelutung rawa yang diukur hanya yang terdapat di sekeliling kolam ikan dengan jumlah
42
populasi awal 320 batang. Pada setiap baluran terdapat 40 batang yang terbagi dalam 2 jalur, terletak di kanan-kiri baluran. Pada setiap baluran dipilih 10 pohon tertinggi, sehingga jumlah total pohon yang diukur sebanyak 10 x 8 = 80 batang (25% dari jumlah populasi). Pola II, alleycropping dengan teknik surjan. Komponen penyusun terdiri atas: padi dan jeruk (tanaman pertanian) dan jelutung rawa (tanaman keras). Jelutung rawa ditanam dibagian kanan-kiri baluran dengan jarak tanam dalam jalur 3 m. Ukuran baluran 8 m x 130 m dengan jumlah tanaman jelutung rawa 80 batang per baluran. Jumlah baluran ada 5 buah, jadi total jumlah populasi tanaman jelutung rawa 400 pohon. Pengukuran dimensi pohon jelutung dilakukan dengan cara memilih 5 pohon tertinggi per jalur, sehingga pada setiap baluran dipilih 10 pohon tertinggi. Jumlah pohon yang diukur adalah 10 x 5 = 50 batang (12,5% dari jumlah populasi). Pola III, mixcropping dengan teknik surjan. Komponen penyusun terdiri atas: padi yang ditanam dibagian tabukan dan komponen tanaman berkayu yang terdiri atas karet dan jelutung rawa yang ditanam di bagian baluran dengan jarak tanam 3 m dalam jalur. Jumlah baluran ada 8 buah, dengan ukuran masing-masing baluran 1,7 m x 190 m. Jumlah jelutung rawa per baluran 30 batang. Jumlah populasi jelutung rawa 30 x 8 = 240 batang. Pengukuran dimensi pohon jelutung dilakukan dengan cara memilih 10 pohon tertinggi per jalur, sehingga jumlah pohon yang diukur adalah 10 x 8 = 80 batang (33,3% dari jumlah populasi). 2.
Plot penelitian di Desa Jabiren. Pola yang dikembangkan di lokasi ini adalah mixcropping dengan
komponen penyusun karet dan jelutung rawa yang ditanam secara selang-seling per jalur. Jelutung rawa ditanam dalam jalur dengan jarak dalam jalur 4 m. Jarak jalur jelutung dengan jalur karet 5 m. Jumlah jelutung dalam 1 jalur ada 30 batang. Jumlah jalur sebanyak 10 buah, jadi total jumlah jelutung sebanyak 30 x 10 = 300 batang. Pengukuran dimensi pohon jelutung dilakukan dengan cara memilih 5 pohon tertinggi per jalur, sehingga jumlah pohon yang diukur adalah 5 x 10 = 50 batang (16,67% dari jumlah populasi).
43
3.
Plot Penelitian di Desa Tumbang Nusa Pola yang dikembangkan di lokasi ini adalah mixcropping dengan
komponen terdiri atas jelutung rawa, rambutan dan nenas. Jelutung rawa ditanam dengan jarak 7 m x 7 m. Jumlah jalur tanaman jelutung rawa 6 jalur dengan jumlah jelutung rawa 21 batang per jalur. Jumlah total populasi jelutung rawa 6 x 21 = 126 batang. Pengukuran dimensi pohon jelutung dilakukan dengan cara memilih 10 pohon tertinggi per jalur, sehingga jumlah pohon yang diukur adalah 6 x 10 = 60 batang (47,62% dari jumlah populasi). 4.
Plot penelitian di Kelurahan Kalampangan Pola yang dikembangkan di lokasi ini adalah alleycropping dengan
komponen jelutung rawa dan tanaman semusim seperti: jagung, sawi, kacang panjang, daun bawang, dan lain-lain sesuai musim. Jelutung rawa ditanam dengan jarak 5,25 m x 3 m. Penanaman jelutung dilakukan dalam bentuk petak-petak tanaman yang berjumlah 14 petak (Petak A – Petak N), tiap petak terdiri atas 3 jalur tanam yang masing-masing jalur terdapat 16 batang tanaman jelutung rawa. Penanaman jelutung pada petak A – D dilakukan Tahun 2004 dan Petak E – N pada Tahun 2005. Jumlah total populasi jelutung rawa tahun tanam 2004 adalah 4 x 3 x 16 = 192 batang. Jumlah total populasi jelutung rawa tahun tanam 2005 adalah 10 x 3 x 16 = 480 batang. Pengukuran dimensi pohon jelutung pada petak A – D dilakukan dengan cara memilih 10 pohon tertinggi per petak, sehingga jumlah pohon yang diukur sebanyak 4 x 10 = 40 batang (20,83% dari jumlah populasi). Pengukuran dimensi pohon jelutung pada petak E – N dilakukan dengan cara memilih 5 pohon tertinggi per petak, sehingga jumlah pohon yang diukur sebanyak 5 x 10 = 50 batang (10,42% dari jumlah populasi). Pengukuran dilakukan pada batang jelutung rawa setinggi 10 cm dari permukaan tanah. Selain pengukuran dimensi pohon, juga dilakukan pencatatan terhadap jumlah pohon yang terserang penggerak batang (Batocera rubus) dan jumlah sulaman. Pengukuran dimensi pertumbuhan jelutung rawa juga dilakukan pada tegakan monokultur jelutung rawa. Hal ini dilakukan sebagai pembanding dengan jelutung rawa yang ditanam dengan sistem agroforestri. Keluaran dari kegiatan pengukuran performansi jelutung rawa adalah informasi riap diameter dan riap tinggi tanaman jelutung rawa pada berbagai pola agroforestri.
44
Pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestri untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara teknis dapat diterapkan jika persyaratan parameter seperti di atas terpenuhi.
Kelayakan sosial Parameter
yang
digunakan
untuk
menganalisis
kelayakan
sosial
pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestri adalaha kriteria Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Unggulan menurut Permenhut No. P.21/MenhutII/2009. Matrik kriteria dan indikator penetapan jenis HHBK Unggulan tersaji pada Lampiran 32. Metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan sosial adalah Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara dengan informan kunci. Kegiatan FGD dilakukan melalui tiga tahapan, yakni: (a) FGD tingkat petani, (b) FGD tingkat peramu dan pengumpul getah jelutung dan (c) FGD tingkat Provinsi Kalimantan Tengah. Peserta FGD tingkat provinsi adalah para pihak terkait dari unsur-unsur pemerintahan, akademisi, praktisi, LSM setempat dan petani. Jumlah peserta 30 orang dengan pertimbangan ukuran kelompok tersebut cukup ideal dan efektif untuk menggali informasi dan wahana untuk saling tukar pengalaman. Aspek yang dikaji dalam FGD tingkat petani dapat dilihat pada Lampiran 18. Aspek yang dikaji dalam FGD tingkat peramu dan pengumpul getah jelutung dapat dilihat pada Lampiran 19. Peserta yang diundang pada kegiatan FGD seperti terdapat pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3. Aspek yang dikaji dalam kegiatan FGD tingkat provinsi dapat dilihat pada Tabel 7. Pengolahan dan analisis data kuantitatif yang dikumpulkan dari lapangan dilakukan dengan menggunakan metoda Statistik Non Parametrik (description scoring). Data disusun dalam tabulasi dari tiap daerah penghasil getah jelutung selanjutnya pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1.
Kuantifikasi data pengukuran tiap indikator untuk tiap kriteria dalam data kategorik dan dinyatakan dalam 3 (tiga) selang nilai. Nilai 3 mencerminkan nilai kategori tinggi, 2 menunjukan nilai kategori sedang dan nilai 1 menunjukkan kategori rendah dalam menentukan tingkat keunggulan.
45
Tabel 7 Rincian aspek yang dikaji dalam FGD tingkat provinsi Indikator Kriteria Ekonomi Nilai perdagangan
Pertanyaan Kunci
Mata rantai pemasaran dan margin pemasaran
Siapa sajakah pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran getah jelutung? Apakah masing-masing pihak yang terlibat dalam pemasaran sudah puas dengan tingkat harga yang berlaku sekarang?
Cakupan pengusahaan
Apakah pengusahaan yang berlangsung sudah mencakup industri hulu, tengah dan hilir? Kendala yang dihadapi pada peningkatan dari industri hulu ke industri tengah (setengah jadi)? Berapa jumlah badan usaha yang sudah berinvestasi dalam pengusahaan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah?
Berapakah nilai perdagangan ekspor getah jelutung per tahun untuk wilayah Provinsi Kalimantan Tengah?. Berapakah nilai perdagangan lokal getah jelutung per tahun untuk wilayah Provinsi Kalimantan Tengah?. Seperti apakah lingkup pemasaran getah jelutung yang telah dilakukan? Bagaimana potensi pasar internasional getah jelutung?
Mikrofinansial
Bagaimana mekanisme penyaluran kredit? (aturan pinjaman/pengembalian, kriteria penerima kredit) Bagaimana persepsi/tanggapan dan kesiapan dari lembaga keuangan formal (bank) terhadap kredit untuk usaha pengembangan getah jelutung? Kriteria Biofisik dan Lingkungan Potensi tanaman Berapa perkiraan jumlah populasi jenis jelutung rawa di hutan alam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah? Berapa perkiraan jumlah populasi tanaman jelutung rawa di lahan milik masyarakat (hutan rakyat)? Bagaimana kondisi persebaran jenis jelutung rawa di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah? Bagaimana kondisi pembudidayaannya? Kriteria Kelembagaan Kemitraan Bagaimana bentuk kemitraan antara para pihak yang terkait dengan pengembangan komoditas getah jelutung? Hal-hal apa sajakah yang menganggu proses kemitraan? Bagaimana benefit sharing yang adil? Bagaimana sistem pengelolaan kemitraan dijalankan? (pembagian kerja, hak dan wewenang petani dan mitra, proses pengambilan keputusan dan mekanisme kontrol). Bagaimana bentuk dokumen kontrak kemitraan yang ada? Peran institusi Bagaimana dukungan berbagai institusi (Pemda, UPT, LSM, dll) terhadap pengembangan komoditas getah jelutung? Aturan tentang Apakah terdapat peraturan yang mengatur tentang komiditas getah jelutung komoditas getah jelutung Kriteria Sosial Pelibatan masyarakat Berapa persentase masyarakat lokal yang terlibat dalam pengembangan komoditas getah jelutung di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah? Kepemilikan usaha Bagaimana kepemilikan usaha getah jelutung? Konflik kepentingan Apakah terdapat konflik kepentingan terkait dengan usaha pengembangan getah jelutung? Teknologi Bagaimanakah status teknologi budidaya (silvikultur) jenis jelutung rawa? Bagaimanakah status teknologi pengolahan hasil?
2.
Scoring yakni pemberian nilai tiap indikator dengan nilai 3, 2 dan 1 sesuai dengan ukuran standar yang ditetapkan.
46
3.
Penghitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT). NIT suatu kriteria (NITk) adalah hasil bagi antara bobot suatu kriteria (Bk) dengan jumlah indikator pada kriteria tersebut (JIk) dikali dengan jumlah hasil pembagian antara nilai indikator dengan nilai indikator maksimal (dalam hal ini 3) yang ada dalam kriteria bersangkutan. Secara matematis, perhitungan dilakukan dengan rumusan berikut:
4.
Perhitungan Total Nilai Unggulan (TNU) suatu jenis HHBK dilakukan dengan menjumlahkan semua nilai indikator tertimbang dari semua kriteria. TNU = NIT ekonomi + NIT Biofisik + NIT Kelembagaan + NIT Sosial + NIT Teknologi.
5.
Penetapan Nilai Unggulan. Berdasarkan Total Nilai Unggulan (TNU) jenis HHBK dikelompokan ke dalam tiga kelas Nilai Unggulan (NU) sebagai berikut: (a) nilai unggulan 1, yakni jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 78 – 100, (b) nilai unggulan 2, yakni jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 54 – 77, (c) nilai unggulan 3, yakni jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 30 – 53.
6.
Penetapan Jenis HHBK Unggulan dilakukan berdasarkan besarnya skor Nilai Unggulan dan mempertimbangkan frekuensi penyebaran jenis komoditas tersebut di wilayah Indonesia. Selanjutnya Jenis HHBK Unggulan dikelompokkan dalam 4 kelas, yakni: HHBK Unggulan Nasional, HHBK Unggulan Provinsi, HHBK Unggulan Kabupaten dan HHBK Bukan Unggulan. Penentuan sebagai berikut: (a) unggulan nasional, yakni jenis HHBK yang termasuk NU 1 dan tersebar minimal di 5 provinsi, (b) unggulan provinsi, yakni jenis HHBK yang termasuk NU 1 yang tersebar kurang dari 5 provinsi dan atau NU 2 yang tersebar minimal di 2 kabupaten, (c) unggulan kabupaten, yakni jenis komoditas HHBK yang termasuk minimal dalam NU2
47
dan (d) tidak unggul, yakni jenis komoditas HHBK yang termasuk dalam NU3.
Kelayakan ekonomi Parameter yang digunakan untuk menganalisis kelayakan ekonomi adalah margin pemasaran getah jelutung dan analisis finansial pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri. Analisis yang paling tepat untuk mengetahui sejauh mana suatu usaha agroforestri memberikan keuntungan adalah analisis yang berbasis finansial. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Kelayakan finansial meliputi struktur penerimaan, biaya dan pendapatan. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk menentukan hal tersebut adalah seperti uraian berikut (Suharjito et al. 2003). a)
Net Present Value (NPV). Kriteria ini merupakan nilai saat ini yang mencerminkan nilai keuntungan
yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Hal ini diperlukan karena jangka waktu kegiatan usaha agroforestri berbasis jenis jelutung memerlukan waktu yang cukup panjang, sehingga tidak seluruh biaya dapat dikeluarkan pada saat yang sama, selain itu hasil yang diperoleh juga berbeda waktunya. Oleh karena itu, untuk mengetahui nilai uang di masa yang akan datang dihitung pada saat ini, maka biaya dan pendapatan agroforestri di masa yang akan datang harus dikalikan dengan faktor diskonto yang besarnya tergantung kepada tingkat suku bunga bank yang berlaku di pasaran. Sistem agroforestri berbasis jelutung yang dikembangkan akan dikatakan menguntungkan dan sebagai implikasinya akan diadopsi oleh masyarakat atau dapat berkembang, jika nilai NPV-nya positif. Makin besar nilai NPV maka makin baik ukuran kelayakan usaha tersebut.
48
n
Bt - Ct
NPV = ∑
t=1 (1+i)t
b)
Bt Ct t i n
= benefit (keuntungan) = cost (biaya, termasuk investasi) = tahun dari proyek = discount rate = jangka waktu kegiatan atau proyek
Benefit Cost Ratio (BCR). Kriteria ini membandingkan antara pendapatan dan pengeluaran selama
jangka waktu pengusahaan, dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang. n
BCR =
t=1 (1+i)t n
∑
t=0
c)
Bt Ct t i n
Bt - Ct
∑
Ct (1+i)t
= benefit (keuntungan) = cost (biaya, termasuk investasi) = tahun dari proyek = discount rate = jangka waktu kegiatan atau proyek
Internal Rate of Return (IRR). Kriteria ini menunjukkan tingkat suku bunga maksimum yang dapat dibayar
oleh usaha agroforestri berbasis jelutung atau merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan. Dalam perhitungan, IRR adalah tingkat suku bunga apabila BCR yang terdiskonto sama dengan nol. Usaha agroforestri jelutung dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut. n
∑
Bt - Ct
t=1 (1+i)t
=0
Bt Ct t i n
= benefit (keuntungan) = cost (biaya, termasuk investasi) = tahun dari proyek = discount rate = jangka waktu kegiatan atau proyek
Data harga yang digunakan untuk menghitung margin pemasaran pada penelitian ini adalah harga di tingkat peramu getah jelutung dan harga di tingkat lembaga pemasaran. Rumus-rumus yang digunakan dapat dijelaskan sebagai berikut (Triyono, 2000; Basri, 2001): Mm = Pe – Pf. (Keterangan: Mm = marjin pemasaran di tingkat peramu getah jelutung, Pe = harga di tingkat kelembagaan pemasaran tujuan pemasaran dari petani, Pf = harga di tingkat petani).
49
Marjin pada setiap tingkat lembaga pemasaran diketahui dari menghitung selisih antara harga jual dengan harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Hal ini dirumuskan sebagai berikut. Mmi = Ps – Pb. (Keterangan: Mmi = marjin pemasaran pada setiap tingkat lembaga pemasaran, Ps = harga jual pada setiap tingkat lembaga pemasaran, Pb = harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran). Pada marjin pemasaran terdapat dua komponen, yaitu komponen biaya dan komponen keuntungan lembaga pemasaran. Kedua hal tersebut dirumuskan sebagai berikut. Mm = c + ∏. Pe – Pf = c + ∏. Pf = Pe – c - ∏ (Keterangan: c = biaya pemasaran, ∏ = keuntungan lembaga pemasaran) Bagian harga yang diterima peramu getah jelutung (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima oleh peramu dengan harga di tingkat lembaga pemasaran yang dinyatakan dalam persentase. Hal ini dirumuskan sebagai berikut.
Fs (Keterangan: Fs = farmer’s share, Pf = harga di tingkat peramu, Pr = harga di tingkat lembaga pemasaran).
Kelayakan lingkungan Parameter yang dianalisis untuk kelayakan lingkungan adalah: kesuburan tanah, kondisi iklim mikro dan teknologi amelioran ramah lingkungan. Unsur kesuburan tanah yang dianalisis adalah sebagai berikut. Pertama, sifat kimia tanah yang terdiri atas: pH H2O, N Total, C organik, K dapat dipertukarkan (dd), Na dd, Ca dd, Mg dd, Kapasitas Tukar Kation (KTK), Al dd, H dd, Kejenuhan Basa (KB), Kejenuhan Al, Kejenuhan H, P total, K Total, P tersedia, Fe dan SO4. Kedua, sifat fisik tanah, yakni tingkat kematangan gambut. Ketiga, sifat biologi tanah, yakni kelimpahan makro fauna tanah. Unsur iklim mikro yang dianalisis mencakup: (a) suhu dan kelembaban udara, (b) suhu tanah, (c) intensitas sinar matahari yang sampai ke permukaan
50
tanah. Aspek yang dianalisis dari sumber amelioran adalah: (a) berat gambut yang terbawa akibat proses pembakaran untuk memperoleh abu, (b) analisis pembuatan kompos berbahan baku bahan organik lokal sebagai sumber amelioran alternatif, (c) analisis kandungan hara kompos dan abu hasil pembakaran gambut pada amelioran lokal, yang mencakup unsur berikut: pH H2O, P2O5, N total, K2O, C organik, Ca, Mg, S, C/N, dan Fe. Selanjutnya hasil analisis laboratorium tersebut dibandingkan dengan Standart Nasional Indonesia (SNI) untuk kompos. Pengambilan sampel makrofauna tanah dilakukan dengan dua metoda. Pertama, metode Perangkap Sumuran (PSM) atau pitfall trap, digunakan untuk makrofauna yang aktif pada permukaan tanah. Kedua, metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) atau hand sortir, digunakan untuk makrofauna yang berada di dalam tanah (Rahmawaty, 2004). Penempatan titik sampel pengambilan makrofauna tanah dilakukan dengan prosedur berikut. Menentukan titik tengah plot penelitian, kemudian di bawah pohon jelutung diletakkan sampel 1, penempatan sampel 2 sampai dengan sampel 5 dilakukan secara sistematis dengan jarak 5 m memotong jalur tanaman peratanian untuk lahan agroforestri dengan masing-masing 2 sampel pada arah yang berlawanan, atau Barat-Timur untuk tipologi lahan pertanian monokultur dan lahan terlantar, sehingga dalam setiap plot ukur untuk masing-masing tipologi lahan terdapat 5 sampel. Pada setiap sampel diletakkan pitfall trap untuk mendapatkan makrofauna permukaan tanah dan dibuat monolith untuk mengambil makrofauna tanah pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm. Total PSM yang dibuat adalah 30 buah dengan rincian 10 buah pada lahan agroforestri jelutung di Kelurahan Kalampangan, 10 buah pada lahan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan, 5 buah pada lahan agroforestri jelutung di Desa Tumbang Nusa dan 5 buah pada lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa. Metode PSM dilakukan dengan prosedur berikut (Suin, 1997): (a) pitfall trap terbuat dari ember plastik dengan ukuran diameter atas 15,5 cm, tinggi 12 cm dan diameter bawah 11 cm yang ditanam dengan permukaannya sejajar dengan tanah, (b) kedalam ember pitfall trap diisi air sabun deterjen dicampur larutan formalin 4% setinggi 5 cm dan pada bagian atasnya dipayungi dan selanjutnya dibiarkan selama 7 hari, (c) makrofauna yang terjebak di dalam ember pitfall trap
51
diambil kemudian dicuci sampai bersih dan dimasukkan ke dalam botol spesimen yang berisi larutan formalin 4%, (d) makrofauna tanah dapat diidentifikasi dengan menggantikan larutan formalin 4% dengan alkohol 70%. Gambar 6 menjelaskan tentang metode PSM. Makrofauna
pada
berbagai
kedalaman
tanah
diperoleh
dengan
menggunakan monolith yaitu menggali tanah berukuran 25 x 25 cm pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm pada setiap sampel dengan jumlah 5 sampel pada masing-masing plot penelitian (lahan agaroforestri di Kalampangan dengan kode AFKL, lahan pertanian monokultur di Kalampangan dengan kode PMKL, lahan agroforestri di Tumbangnusa dengan kode AFTN dan lahan terlantar di Tumbangnusa dengan kode LTTN), sehingga total jumlah sampel adalah 5 x 4 = 20 sampel. Makrofauna tanah yang terdapat pada setiap kedalaman diambil dan dipisahkan dari tanahnya, kemudian dimasukkan dalam botol spesimen dan diawetkan dalam larutan formalin 4% diberi label dengan mencantumkan tanggal pengumpulan, nama kolektor dan tempat pengumpulan. Sampel fauna tanah siap diidentifikasi dengan mengganti larutan formalin 4% dengan alkohol 70% dan dihitung jumlah masing-masing jenis. Individu makrofauna tanah yang sudah disiapkan di botol koleksi selanjutnya diidentifikasi sampai tingkat ordo, famili dengan menggunakan kunci identifikasi serangga mengacu pada Lilies (1991), Borror dan De Long (2005). Pada beberapa serangga seperti Coleoptera, jika ditemukan bentuk larva dan dewasa maka semuanya dihitung. Bentuk dewasa dan larva dihitung sebagai jumlah individu serangga tersebut. Makrofauna tanah yang sudah diidentifikasi selanjutnya dihitung jumlahnya (jumlah individu dan jumlah jenis). Metode PSM dan PCT makrofauna tanah dapat dilihat pada Lampiran 23 dan Lampiran 24.
52
Gambarr 6 Metode PSM pada analisis maakrofauna taanah Jum mlah total famili ataau ordo per unit saampling diigunakan untuk u menghitunng indeks diversitas d shhanon dan indeks kesaamaan kom munitas Morrisita, sedangkann jumlah tottal individuu dan biomaassa per unitt sampling ddigunakan untuk u menghitunng kelimpaahan. Keanekaragaman n jenis fauuna tanah ddihitung deengan menggunaakan indeks keragamaan Shanno on (1949) dalam d Rahhmawaty (2 2004) dengan peersamaan seebagai berikkut:
Keterangaan: Pi=ni/N Ni= jumlaah individu suku ke-i N= total juumlah indivvidu S= total juumlah suku dalam samppel Nilaai H’ berkisaar antara 1,55 -3,5. Nilaai 1,5 menunnjukkan keaanakeragam man yang rendah. Nilai 1,5-3,5 menuunjukkan keeanekaragam man sedangg dan nilai 3,5 menunjukkkan keanekkaragaman yang y tinggi. Kom mposisi makkrofauna taanah domin nan diketahhui dari nillai Indeks Nilai Penting ( INP). Nilaii INP maksiimum makrrofauna perm mukaan tannah adalah 100% 1 yang diperroleh dari nilai n Kerapaatan Relatif (KR), sedanngkan pada monolith adalah a 200%
yaang
diperooleh
dari
KR+DR.
Domboiss
dan
Ellenberg
(1 1974)
mengemukkakan rumuus untuk meenghitung niilai DR dann KR sebagaai berikut: a.
Dom minasi (D) = jumlah bioomasa suatu u jenis : jum mlah luas sem mua unit co ontoh
53
b.
Dominasi Relatif (DR) = (D suatu jenis : D seluruh jenis) x 100%
c.
Kerapatan (K) = jumlah individu suatu jenis : jumlah luas semua unit contoh
d.
Kerapatan Relatif (KR) = (K suatu jenis : K semua jenis) x 100% Pengambilan sampel tanah dilakukan pada masing-masing tipologi
penutupan lahan, yakni: (a) lahan untuk pertanian monokultur (PM), (b) lahan penanaman jelutung dengan sistem agroforestri (AF), dan (c) lahan gambut terlantar (LT). Sampel tanah yang digunakan untuk analisis sifat kimia tanah berasal dari metode PCT. Contoh tanah yang diambil merupakan contoh tanah yang terganggu pada kedalaman 0 – 15 cm dan 15 – 30 cm. Contoh tanah terganggu diperoleh dari hasil komposit (setiap lubang monolith diambil sedikit contoh tanah dan dicampur dengan tanah dari monolith lainnya dari kedalaman yang sama) kemudian diambil sebanyak ± 1 kg untuk dianalisis di laboratorium. Penetapan tingkat kematangan gambut dilakukan dengan prosedur berikut (BB Litbang SDLP, 2008). Pertama, mengambil segenggam gambut segar dan memasukkannya ke dalam syringe bervolume 10 ml atau 25 ml. Kedua, menekan pompa syringe dan mencatat volume sewaktu gambut tidak bisa lagi dimampatkan sebagai volume 1. Ketiga, memindahkan gambut dari dalam syringe ke dalam ayakan dengan ukuran lubang 150 µm atau 0, 0059 inci. Keempat, menggunakan botol semprot atau semprotan air atau aliran kran air untuk membilas gambut yang halus. Kelima, sesudah serat halus lolos dari ayakan, pindahkan serat kasar ke dalam syringe, memampatkannya dan mencatat volume serat kasat sebagai volume 2. Keenam, kadar serat dihitung dengan rumus berikut: Kadar Serat = V V
100%. Ketujuh, tingkat kematangan gambut ditentukan berdasarkan
berdasarkan kriteria berikut: (a) gambut saprik (matang): adalah gambut yang sudah melapuk dan kadar seratnya < 15%, (b) gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk dan kadar seratnya 15 – 75%, (c) gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk dan kadar seratnya >75%. Proses tersebut seperti terlihat pada Gambar 7 berikut.
54
Gambar 7 Prosedurr penentuan tingkat kem matangan gaambut Penggambilan saampel iklim m mikro dilakukan padda plot agrooforestri jelu utung di dua lokkasi, yakni: Desa Tum mbang Nusa (jelutung+rambutan)) dan Kelurrahan Kalampanngan (Jelutuung+jagungg). Kondisi lingkungaan di luar pplot agrofo orestri juga diukkur sebagai pembandinng, yakni untuk u lokassi Kelurahaan Kalampaangan dibandinggkan dengaan lahan pertanian p monokultur m r, sedangkaan untuk Desa Tumbang Nusa dibbandingkann dengan lahan terlaantar. Wakktu penguk kuran dilakukan pada saat yang y bersam maan, yaknii pada pagi hari (08.000 – 09.00), siang hari (12.00 – 13.00) dan sore haari (16.00 – 17.00). Penngukuran ddilakukan deengan k (3 hari pengamatan p n secara bertturut-turut). ulangan seebanyak 3 kali Anaalisis sumbeer ameliorann lokal (abu u hasil pem mbakaran gaambut dan gulma g pertanian)) dilakukan dengan prosedur berik kut (seperti pada p Gambaar 8). Perttama, menngukur kettebalan gam mbut yangg terbawa pada keg giatan pencangkuulan gulma pertanian (besik). Hal ini dilakuukan dengann ulangan petani p sebanyak 6 orang. Haasil pencanggkulan keen nam petani tersebut t seccara acak diaambil sebanyak 10 buah unntuk diukur ketebalann nya. Kedua,, membuat ubinan uku uran 2 m x 2 m untuk dilaakukan pencangkulan sesuai kegiiatan yang petani seteempat u mempperoleh abu. Petani yan ng melakukkan kegiatann ini adalah h satu lakukan untuk orang dippilih secara acak dari 6 petani yang y telah ditentukan di atas. Ub binan diulang sebanyak s 5 kali denngan jenis gulma yaang berbedda-beda. Ketiga, Ke
55
mem misahkan gaambut yangg terbawa pada prosees pencangkkulan denggan bagian tumbbuhan gulm ma dan masiing-masing bagian diccatat beratnnya. Keempaat, gambut dan tumbuhan t g gulma hasil pencangkulan dijadikaan satu untuuk selanjutnnya dibakar agar menjadi abbu sebagai sumber am melioran. Kelima, K menncatat beratt abu yang dihassilkan. Keeenam, mem mbawa samppel abu ku urang lebihh seberat 1 kg untuk dianaalisis kanduungan unsurr haranya di laboratoriu um.
Ubinaan ukuran 2 x 2 m
Hasil pembesikan p
Pemisahaan gambut darii rumput
Gambut G dan rum mput siap ditiimbang
Gambutt dan rumput dibakar d
Abu hasiil pembakarann
Gambbar 8 Prosess memperolleh abu sebaagai sumberr ameliorann
56
Anaalisis sumbeer amelioraan alternatiff dilakukann dengan m membuat ko ompos yang beraasal dari bahan b organnik lokal. Kompos K yaang dibuat berbahan baku sebagai beerikut. Perttama, komppos untuk lokasi l Desaa Mentaren II (kode BKM) B terdiri atass jerami paddi, serasah daun d rambu utan, serasahh daun jeluttung dan ko otoran sapi. Keduua, komposs untuk lokasi Desa Tu umbang Nuusa (kode B BKT) terdirri atas akar pakis, serasah daun jeluttung, serasaah daun raambutan daan kotoran sapi. K Kalampanga K an (Kode B BKK) terdirii atas Ketiga, koompos untuuk lokasi Kelurahan rumput Leeptaspis urceolata, serrasah daun rambutan, serasah daaun jelutung g dan kotoran saapi.
Gaambar 9 Tahhap penghallusan bahan n organik seebelum dikoomposkan Prosses pembuattan komposs melalui tah hapan berikkut. Pertamaa, bahan organik berupa daaun jelutungg, daun ram mbutan, jeraami padi, akkar pakis, ruumput Lepttaspis urceolata dan kotoraan sapi dihaaluskan den ngan cara diimasukkan ke dalam mesin m pencacah, seperti paada Gambarr 9. Kedua a, bahan yaang telah hhalus selanju utnya dimasukkaan ke dalaam karung sesuai deengan jenissnya masinng-masing untuk u memudahkkan dalam proses p penccampuran. Ketiga, K mem mbuat komppos sebanyak k 500 kg untuk masing-mas m sing kode dengan d cam mpuran bahaan sebagai bberikut: (a) Kode
57
BKM terdiri atas 200 kg jerami, 100 kg serasah daun rambutan, 100 kg serasah daun jelutung, 100 kg kotoran sapi, 10 kg dedak, 10 kg kapur pertanian, 10 sendok makan (sdm) gula pasir, 20 sdm EM4 dan air secukupnya, (b) Kode BKT terdiri atas 200 kg akar pakis, 100 kg serasah daun rambutan, 100 kg serasah daun jelutung, 100 kg kotoran sapi, 10 kg dedak, 10 kg kapur pertanian, 10 sendok makan (sdm) gula pasir, 20 sdm EM4 dan air secukupnya, (c) Kode BKK terdiri atas 200 kg rumput Leptaspis urceolata, 100 kg serasah daun rambutan, 100 kg serasah daun jelutung, 100 kg kotoran sapi, 10 kg dedak, 10 kg kapur pertanian, 10 sendok makan (sdm) gula pasir, 20 sdm EM4 dan air secukupnya. Keempat, larutan EM4 + gula + air dicampur merata. Kelima, bahan sesuai dengan kode masing-masing dicampur secara merata. Keenam, campuran larutan pada tahap keempat disiramkan pada campuran bahan pada tahap kelima. Pencampuran dilakukan secara perlahan-lahan dan merata hingga kandungan air ± 30 – 40%. Kandungan air yang diinginkan diuji dengan cara menggenggam bahan. Kandungan air 30 – 40% ditandai dengan tidak menetesnya air bila bahan digenggam dan akan mekar bila genggaman dilepaskan. Ketujuh, bahan yang telah dicampur sesuai dengan kodenya masing-masing sebanyak 480 kg di letakkan kedalam terpal plastik yang dilipat dengan rapat pada keempat sisinya dan ditutup dengan terpal plastik lagi (dua lapis) dan sisanya sebanyak 20 kg dimasukkan ke dalam ember plastik. Kedelapan, suhu bahan kompos dipertahankan antara 40 – 500C dengan cara melakukan pembalikan bahan kompos 3 hari sekali selama 21 hari.