MERINTIS KEMBALI DINDING SELATAN MERAPI
Dinding selatan Merapi Dinding selatan itu tegak berdiri menusuk langit saat terpandang dari Jogja. Ada sebuah jurang menganga dari puncak yang turun membentuk garis meliuk-liuk hingga hutannya. Jurang itu adalah jurang kali Gendol yang baru terbentuk setelah letusan gunung Merapi bulan Juni 2006. Sejak saat itu puncak tertinggi Merapi tak dapat dicapai dari sisi selatan. Mendaki gunung Merapi dari sisi selatan adalah mendaki santunnya budaya, pengetahuan dan alam. Orang-orang berbudaya selalu mendaki Merapi, mereka mempersembahkan berbagai ubo rampe dalam upacara Labuhan Merapi. Para ilmuwan selalu mendaki Merapi, mereka memasang berbagai peralatan geologi untuk mengawasi aktifitas Merapi yang tinggi. Demi keselamatan para penduduk yang tinggal di lerengnya.. Sementara para pemuda selalu mendaki Merapi, karena Merapi adalah guru terbaik bagi sekolah alam mereka. Sekolah alam tanpa kata-kata, hanya bebatuan dan dedaunan yang mengolah mental mereka. Dan rasa rindu untuk bercengkerama dengan Merapi selatan ada, setelah beberapa waktu lamanya puncak Garuda (puncak tertinggi Merapi) tak dapat dicapai dari sisi selatan. Pada tanggal 13-15 Oktober ini kami mencoba melakukannya.
Kami telah siap melakukannya, beberapa petuah dari Mbah Maridjan dalam rumah sederhananya di dusun Kinahredjo menjadi bekal berharga bagi perjalanan ini. 7 orang pendaki telah siap dengan 4 orang summiter yang akan mencoba merintis jalur pemanjatan di dinding selatan Merapi.
Berjalan di hutan pinus yang berselimut halimun Hari pertama adalah pendakian menuju kendhit (batas vegetasi-batuan) sebagai basecamp induk selama 3 hari percobaan summit attack. Kami berangkat dari dusun selepas jam 2 siang dengan segala logistik dan perlengkapan yang kami angkut sendiri. Tak lupa peralatan panjat yang lengkap untuk membuka jalur di dinding selatan Merapi. Termasuk beberapa botol oksigen, karena yang akan kami hadapi di atas bukan hanya batuan vertical, namun gas H2S yang mungkin beracun bagi tubuh manusia. Dengan beban di atas 20 kilogram, kami mencapai kendhit dalam waktu yang cukup lama. Hampir 7 jam perjalanan menembus hutan di sore hari yang selalu diselimuti rintik kecil dan halimun. Kami mencintai suasana seperti ini. Hampir pukul 9 malam kami mencapai kendhit, salah satu tempat dengan view paling eksotis di Merapi. Di sini kami bisa melihat gemerlap kota Jogja dari atas ketinggian. Tak ada pepohonan lagi yang menutupi pandangan ke bawah, hanya rimbunnya cantigi, edelweiss dan tumbuhan paku di atas bebatuan. Di sini kami akan tinggal selama 2 malam, beristirahat, membuka peta sambil mengatur rencana menembus dinding selatan Merapi. Tak lupa untuk bercanda, karena senyum akan mencairkan segala ketegangan.
Sang timur mengintip terlihat dari kendhit Percobaan pertama summit attack kami lakukan pada hari kedua, 14 Oktober. Selepas menatap sunrise dari balik punggungan di timur sambil menikmati sarapan roti. Segala peralatan panjat telah menempel di badan, dengan daypack di punggung yang berisi logistic, jaket, oksigen dan peralatan bivaking darurat jika sewaktu-waktu cuaca tak mengijinkan kami untuk melangkah. Untunglah pagi itu cuaca terlihat bersahabat bagi kami. 4 orang pendaki akan mencoba menembus dinding selatan Merapi, sementara 3 orang pendaki tetap tinggal di basecamp induk dengan alur komunikasi melalui walky talkie dan HT. Kernmantel masih belum diperlukan untuk saling mengikat kami, batuan yang kami pijak di awal masih batuan keras yang ditumbuhi cantigi di retakannya. Masih seperti dulu, tak ada perubahan akibat letusan di sisi ini hingga mencapai dinding Ismed Memoriam. Sebuah dinding dengan plakat bertuliskan in memoriam Ismed Husin yang meninggal di dinding selatan Merapi tahun 1980. Selepas Ismed Husin, medan mulai rapuh. Tampak di atas kami, longsoran akibat letusan Merapi yang tampak rapuh kekuningan dan mengeluarkan asap. Sesekali kabut menghalangi pandangan dan menyejukkan kepala yang sudah mulai kepanasan di balik helm ini. Kernmantel masih belum terpasang, kami berempat berjalan scrambling ke atas. Sudah tak ada cantigi yang tumbuh di retakan batuan.
Scrambling di sisa erupsi Merapi, tampak pyramid solfatara di atas Hampir 90 menit berjalan ketika langkah kami dihentikan oleh sepasang pyramid runcing berbatu solfatara. Di sebelah timur/kanan kami kami adalah jurang kali Gendol yang sangat dalam. Ya, inilah sisa reruntuhan Geger Boyo. Tak ada lagi dinding vertical yang dulu kami lalui dengan merayap, sekarang mewujud pyramid dan jurang yang sangat dalam. Matahari menyengat panas pagi itu, kami menghentikan langkah lalu berpikir sambil membasahi mulut dengan beberapa teguk air. Ada 2 pilihan saat itu, turun ke jurang atau melangkah terus ke utara, di sebelah barat/kiri puncakan pyramid ini.
Moving together diselimuti halimun
Kami memutuskan, akan terus berjalan naik ke utara. Melewati batuan-batuan baru sisa letusan Merapi yang sangat rapuh, kali ini kernmantel sudah saatnya terikat di pengaman pinggang kami. Kami akan berjalan moving together ke atas. Saat itu kabut mulai menghalangi pandangan ke depan, berbaur dengan aroma solfatara yang kadang tercium. Melangkah dengan hati-hati sambil menjaga jarak antar orang, menghindari longsoran batuan dari pijakan kaki yang akan mengenai teman di bawahnya. Sesekali kami terhalang oleh dinding hampir vertical, yang dapat dilalui dengan pelanpelan, saling belay antar tim hingga kaki berada pada titik yang stabil.
Puncak Dinding Selatan Merapi Langkah kami berhenti di sebuah igir-igir yang sangat tipis, jurang menganga berada di depan kami yang dipagari oleh 2 sisi tebing vertical. Langit biru bebas terlihat dengan gunung Sumbing dan Sindoro menusuk di kejauhan. Di sebelah kanan kami adalah igir-igir yang mewujud sebuah puncakan runcing yang hampir mustahil untuk dipanjat. Di baliknya adalah asap solfatara yang semerbak menghalangi pandang, dan mungkin juga beracun bagi manusia. Jauh di timur laut terlihat kubah lava baru yang menusuk langit, di baliknya adalah puncak Garuda yang menjadi target perjalanan kami. GPS kami telah melakukan ploting, kami berempat telah berdiri di sebuah puncakan igir-igir berketinggian 2775 meter dpl. Sebuah pasak telah kami tancapkan di sini, kami namakan Puncak Dinding Selatan Merapi. Menjadi titik akhir percobaan pertama merintis dinding selatan Merapi.
Turun ke basecamp induk Berjalan turun dari Puncak Dinding Selatan Merapi mempunyai tingkat kesulitan yang sama dengan proses naiknya. Bahkan menjadi lebih sulit di beberapa step yang vertical. Beberapa kali kami terperosok ke bawah, untunglah seuntai kernmantel selalu menjaga keseimbangan langkah kami. Kabut yang mulai menghalangi pandangan selepas pukul 10 cukup menyejukkan kepala yang sepanjang pagi tadi bergumul dengan panas, debu dan solfatara.
Basecamp induk Hampir pukul 1 siang kami kembali ke basecamp induk. Tim basecamp telah menyambut dengan makan siang sederhana di batas vegetasi ini. Kami menikmatinya sambil mengevaluasi apa yang telah kami lalui sepanjang hari ini. Untuk kemudian memutuskan apa yang harus kami lakukan besok
pagi di percobaan kedua summit attack. Halimun di sore hari mengiringi suasana canda di basecamp induk, mendinginkan dramatisnya hati oleh perjalanan yang sangat panas beberapa jam sebelumnya. Api-api Merapi takkan pernah padam, hangatnya ada di balik api kayu bakar malam mini. Sambil memandang mesra Jogja bergemintang jauh di selatan sana. Percobaan kedua summit attack kami lakukan di hari ketiga/terakhir perjalanan. Jalur yang akan kami lalui hari ini akan berbeda dengan jalur hari kemarin. Kali ini kami akan menuruni kali Gendol untuk mencoba kemungkinan apakah dinding selatan Merapi dapat ditembus dari sisi tersebut. Perjalanan yang akan lebih berat dan mendebarkan dibanding hari kemarin, karena kami akan menyeberang punggungan-punggungan tebing sebelum menuruni kali Gendol yang sangat curam. Kali Gendol yang menjadi pusat segala reruntuhan lahar dingin selepas letusan tahun 2006.
Siluet pendaki di atas awan putih 30 menit pertama masih sama dengan jalur yang kami lalui kemarin. Cuaca masih bersahabat seperti pada saat percobaan pertama, hawa dingin tadi malam perlahan menjadi panas seiring mentari yang mulai melambung ke atas. Hampir mencapai dinding Ismed Memoriam sebelum kami berempat memutuskan untuk langsung traverse ke arah timur, ke arah jurang kali Gendol. Masih berjalan merayap tanpa terikat oleh tali, karena kami masih merasa aman dengan medan tersebut. Saat kami merasa tercekat oleh ketakutan, pandangan awan putih yang terhampar menutupi Jogja menjadi penawar yang menyejukkan suasana. Ada beberapa punggungan sebelum mencapai tebing barat kali Gendol, yang harus kami lalui dengan sesekali merayap di tebing. Kadang terselip edelweisz dan cantigi di antara bebatuannya.
Dan menghentikan langkah kami, karena menjadi sesuatu yang pantas diabadikan oleh bidikan kamera.
Merayap di dinding Mendekati kaIi Gendol, batuan yang dipijak semakin rapuh, semakin curam dan semakin tidak masuk akal untuk dituruni. Kami mencari celah-celah di mana kami bisa menuruninya dengan aman. Naik turun sambil memilih, kira-kira batuan mana yang tak runtuh jika dipijak. Ada sebuah sisi dinding yang hampir vertical mendekati kali Gendol, dan kami harus merayap dengan badan selalu condong ke arah batuan. Kaki pun harus menapak sedikit demi sedikit, agar tak seketika ambrol ke bawah. Dan jika ada sebuah batu yang ambrol, maka batu-batu yang lain akan mengikutinya turun ke bawah mewujud suara longsoran yang bergemuruh.
Tebing sebelah timur kali Gendol, dengan ketinggian hampir 40 meter Kali Gendol yang akan kami turuni akhirnya terhampar lebar di depan. Dipagari oleh tebing vertical di kiri kanannya dengan ketinggian sekitar 20-40 meter. Di tengah kali Gendol adalah materialmaterial vulkanis sisa erupsi. Dari batuan berdiameter 10 meter, batuan kecil, kerikil, hingga pasir yang beterbangan. Material-material ini akan selalu turun ke bawah, mewujud aliran lahar dingin ketika diguyur hujan deras. Menjadi berkah bagi para penambang pasir di permukiman. Kami akan menuruni tebing ini, mengintip celah untuk menembus dinding selatan lalu berpacu melawan guguran batuan dari puncak. Beristirahat sebentar di punggungan sebelah barat kali Gendol, celah untuk turun ke bawah sudah ditemukan. Kami harus menuruni tebing sebelah barat ini dengan tali. Tebing ini mempunyai ketinggian hampir 20 meter, dengan beberapa pijakan kaki di celah-celahnya. Mula-mula curam lalu menjadi vertical ketika hampir mencapai dasarnya. Sebatang pasak dengan panjang 30 cm telah diselipkan di sela-sela retakan batuan, menjadi anchor yang akan menahan beban pendaki untuk rappelling-an ke dasar kali Gendol.
Menuruni tebing barat kali Gendol Kami mulai menuruni tebing barat kali Gendol satu per satu. Mempercayai segala peralatan yang telah terpasang di badan dan tebing, serta mempercayai teman yang akan membelay diri kita. Semangat dan rasa ingin tahu tentang apa yang sebenarnya terhampar di dasar kali Gendol mengalahkan segala ketakutan kami. Begitulah, kami berhasil menuruni tebing barat kali Gendol dengan tali. Dan apa yang terhampar di kali yang lebar ini benar-benar dramatis.
Waterfall di hulu kali Gendol dengan tinggi hampir 50 meter
Berempat kami berjalan pelan di lautan pasir dan batuan yang runtuh tiap kali dipijak oleh kaki. Dipagari oleh tebing-tebing tinggi di pinggir kali, sementara di utara sana tampak waterfall setinggi hampir 50 meter sisa erupsi 2006 yang memadat. Di atasnya lagi, asap solfatara berembus tebal ke arah barat. Di balik asap itulah puncak Garuda bersembunyi dengan sederhana. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat dramatis, sebuah pemandangan mewah teruntuk manusia sederhana seperti kami. Kami menuju ke tengah-tengah kali Gendol, di situ banyak batu-batu besar yang lumayan kokoh untuk dipijak dengan kaki. Lalu mencoba untuk orientasi medan, di mana kami akan melangkah setelah ini. Sungguh, sesuatu yang sangat sulit untuk diputuskan. Satu-satunya jalan masuk ke arah puncak telah tertutup oleh waterfall tinggi itu. Apakah kami harus memanjatnya? Lalu ada kemungkinan lagi bahwa kami bisa saja menyeberang ke punggungan sebelah timur kali Gendol dan menembus puncak dari sisi itu. Sebuah kemungkinan yang masuk akal dan bisa diterima secara teknis, sebelum sebuah suara gemuruh datang setelah ini.
Foto berempat sebelum guguran batu dari waterfall terjadi Ya, tak berapa lama setelah kami mengabadikan foto di tengah-tengah kali Gendol, tiba-tiba suara gemuruh datang bersahut-sahutan dari atas. Benar-benar tak disangka, beberapa batuan lepas turun dari waterfall menuju ke arah kami. Kami segera mencari perlindungan di balik batuan besar, untunglah longsoran batu ini tak berlangsung lama, hanya berlangsung selama 1 menit. Namun cukup membuat keberanian kami ciut setelah itu, rencana untuk meneruskan langkah ke arah timur akhirnya dihentikan. Kami harus segera turun ke basecamp induk secepat mungkin.
Memanjat dinding hampir vertical tanpa anchor Berjalan moving together menuruni kali Gendol, sebelum longsoran batu kembali terjadi. Mencari celah di mana kami dapat menaiki tebing tanpa harus memasang pasak. Memasang peralatan panjat akan memakan banyak waktu. Daya ingat mutlak diperlukan di sini, kami harus mengingat tebingtebing yang pernah kami lihat ketika berangkat tadi. Untuk kemudian memanjatnya dengan saling back-up antar teman. Tak perlu pasak untuk ini. Dan untunglah, hamparan bebatuan masih dapat dijangkau oleh jarak pandang pun sesekali kabut menyapa dinding selatan Merapi.
Dinding selatan Merapi, masih menjadi misteri
Begitulah, kami menempuh perjalanan turun untuk mengakhiri 2 kali percobaan menembus dinding selatan Merapi. Hampir pukul 1 siang, kami berhasil mencapai basecamp induk dengan kondisi yang baik. Puncak Garuda masih bersembunyi dengan sederhana di atas sana, segala usaha telah kami lakukan selama 3 hari ini. Namun, kesadaran akan keselamatan diri pula yang mengurungkan diri kami untuk terus memaksakan ego mencapai puncak. Dukungan dari saudara-saudara kami Satubumi di Jogja benar-benar luar biasa, terima kasih tak terhingga teruntuk kalian. Hatur terima kasih pula untuk keluarga Mbah Udi di Kinahredjo yang telah menjadi basecamp selama kami berada di lereng Merapi. Teruntuk Mbah Maridjan yang telah membekali kami dengan doa, kami haturkan terima kasih. Semoga perjalanan beserta seluruh dokumentasi ini dapat menjadi bahan untuk ekspedisi dinding selatan Merapi yang selanjutanya. Demi sebutir solfatara itu. Api-api Merapi takkan pernah padam, ajari kami tegar dalam kesederhanaan, taman kami Merapi. Terima kasih.
_Jarody Hestu
Ekspedisi Satubumi-Dinding Selatan Merapi 2009 Dokumentasi oleh : Sobri Salman dan Jarody Hestu