67
MEREVITALISASI KEPEMIMPINAN PANCASILA DALAM BIDANG PENDIDIKAN Imam Gunawan Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Kota Malang Jawa Timur E-mail:
[email protected]
Abstrak: Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa yang menjadi acuan universal nilai-nilai kehidupan. Kepemimpinan pendidikan juga harus mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kepemimpinan kepala sekolah yang menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila mutlak harus dilakukan. Guru sebagai pemimpin siswa di kelas memiliki kewajiban menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada siswa, dengan memasukkan kandungan nilai-nilai Pancasila dalam kegiatan pembelajaran. Jika mengacu pada sila-sila Pancasila, maka ada lima pilar nilai kepemimpinan yang harus diimplementasikan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan, yakni: (1) transendensi; (2) humanisasi; (3) kebhinekaan; (4) liberasi; dan (5) keadilan. Lima pilar nilai kepemimpinan Pancasila tersebut menjadi ruh kepemimpinan pendidikan yang ditampilkan oleh kepala sekolah dalam memimpin sekolahnya. Kata kunci: revitalisasi, kepemimpinan pancasila, pendidikan Abstract: Pancasila is the philosophy of life of the nation is the universal reference values of life. Educational leadership should also refer to the values of Pancasila. Leadership principals who internalize the values of Pancasila absolutely must be done. Teachers as leaders of students in the class have a duty to instill the values of Pancasila to students, by incorporating the content of the values of Pancasila in learning activities. When referring to the principles of Pancasila, the five pillars of leadership values that must be implemented by the principal as educational leaders, namely: (1) transcendence; (2) humanization; (3) diversity; (4) liberation; and (5) justice. The five pillars of the Pancasila leadership values become the spirit of educational leadership shown by the principals in leading the school. Keywords: revitalization, Pancasila leadership, education
Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inti sila-sila Pancasila menjadi norma dan tolak ukur bagi kegiatan kenegaraan, kemasyarakatan, dan perseorangan. Perbuatan manusia dianggap bermoral (beretika) atau mempunyai nilai etik, jika memenuhi tolak ukur Pancasila. Gunawan (2012:75) menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila digunakan sebagai parameter tingkah laku pemerintah, masyarakat, dan individu. Pancasila memiliki kedudukan yang jelas dan tegas. Jika memperhatikan hal-hal tersebut, maka sudah sepatutnya penyelenggaraan bidang 67
68
pendidikan dan pembelajaran juga mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Kepemimpinan pendidikan pun juga sepatutnya mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Sehingga landasan kepemimpinan pendidikan dibangun, dikembangkan, dan dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Kepemimpinan pendidikan memiliki peran yang krusial dalam tata kelola dan penyelenggaraan bidang pendidikan. Hal yang menjadi ciri khas dan juga pembeda antara konsep kepemimpinan pendidikan dengan kepemimpinan dalam bidang lain ialah bahwa inti dari kepemimpinan pendidikan adalah mendidik. Hal ini dipertegas oleh Gunawan (2015:304) yang menyatakan bahwa kepemimpinan pendidikan pada dasarnya hampir sama dengan kepemimpinan pada bidang lainnya, yakni upaya untuk memengaruhi orang lain, namun yang membedakan ialah bidang kerjanya dan tujuannya. Kepemimpinan pendidikan dilakukan pada lembaga pendidikan, dengan tujuan mempengaruhi semua warga sekolah melaksanakan tugas dan pekerjaannya dengan baik dan benar sesuai dengan tanggung jawab masing-masing, guna mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien, dan pada akhirnya bertujuan untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Kepemimpinan pendidikan yang berlandaskan pada Pancasila berarti upaya seorang pemimpin pendidikan menginternalisasi nilai-nilai Pendidikan dalam menjalankan fungsi pemimpin di lembaga pendidikan, guna mempengaruhi para bawahannya agar bekerja dalam organisasi pendidikan secara efektif dan efisien. Sehingga dengan demikian akan terwujud kepemimpinan pendidikan yang berdasarkan pada kepemimpinan Pancasila.
PEMBAHASAN Kepemimpinan Pancasila Pancasila merupakan inti dari karakter bangsa Indonesia. Pancasila dapat disebut sebagai reduksi nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila merupakan norma dasar dan dasar negara Indonesia. Pancasila merupakan sebuah konsepsi dan cita-cita bangsa Indonesia. Soekarno (1989:64) mengemukakan arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya. Pentingnya cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa, dipertegas oleh Gardner yang berpendapat no nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great
69
civilization (Latif, 2011:42). Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensidimensi moral guna menopang peradaban besar. Kepemimpinan Pancasila berarti kepemimpinan yang mengacu kepada sila-sila Pancasila. Seorang pemimpin berbagai level dan bidang harus mengacu kepada sila-sila Pancasila. Seorang pemimpin yang berjiwa Pancasila selalu berupaya menerapkan fungsi kepemimpinannya dengan berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang diterapkan oleh seorang pemimpin, pada nantinya akan diinternalisasi kepada segenap bawahannya. Nilai-nilai Pancasila menjadi parameter dalam berperilaku setiap warga negara. Nilai-nilai Pancasila menjadi seperangkat moral dan etika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (2013:vi) menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas: (1) nilai dasar; (2) nilai instrumental; dan (3) nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai instrumental merupakan penjelasan dari nilai dasar, dengan kata lain semua perangkat perundang-undangan haruslah merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila yang terdapat pada pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945. Para penyusun peraturan perundang-undangan (legal drafter) di lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dari tingkat pusat hingga daerah adalah orang-orang yang bertugas melaksanakan penjabaran nilai dasar Pancasila menjadi nilai-nilai instrumental. Jika seluruh warga bangsa taat asas pada nilai-nilai instrumental, taat pada semua peraturan perundang-undangan yang betul-betul merupakan penjabaran dari nilai dasar Pancasila, maka sesungguhnya nilai praksis Pancasila telah wujud pada amaliyah setiap warga. Jika mengacu pada sila-sila Pancasila, maka seorang pemimpin yang berlandaskan Pancasila harus menerapkan sila-sila Pancasila. Hal senada juga dikemukakan oleh Tandiasa (2015) yang menyatakan kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan yang membawa masyarakat dalam kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kepemimpinan Pancasila berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan merupakan kriteria sosok pemimpin bangsa Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Sutrisno (2013:4) yang berpendapat bahwa setiap bangsa
70
harus mampu menentukan sendiri kriteria sosok pemimpinnya, agar bangsa tersebut mampu mengembangkan dan mencapai tujuannya secara berkelanjutan. Kriteria sosok pemimpin nasional, haruslah ditetapkan berdasarkan undang-undang, sehingga dapat ditampilkan sosok pemimpin yang tepat sesuai harapan masyarakat luas di dalam mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, sudah seharusnyalah kriteria tersebut merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam bentuk karakter seseorang. Untuk itu, menurut Sutrisno (2013:6) seorang pemimpin yang ideal diharapkan memenuhi kriteria: (1) seorang yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) seorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) seorang yang memiliki rasa persatuan Indonesia yang tinggi tanpa membedakan seseorang berdasarkan kepentingan
tertentu;
(4)
seorang
yang
mampu
mengembangkan
semangat
musyawarah/mufakat secara baik demi kepentingan bangsa dan negara; dan (5) seorang yang mampu mengembangkan pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila sesungguhnya harus menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk bisa menjadi instrumen menangkal krisis yang bersifat multidimensional. Mengembalikan Pancasila sebagai landasan hidup harus dimulai dari kepemimpinan yang bisa memberi dan menjadi contoh untuk membuktikan bahwa nilainilai Pancasila masih sangat relevan, yaitu kepemimpinan yang betul-betul dipercaya oleh masyarakat. Purnama (2010) menyatakan hanya kepemimpinan yang bersih, transparan, dan profesional yang bisa dipercaya masyarakat. Sehingga dengan demikian untuk mengembalikan Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara, dibutuhkan kepemimpinan yang bersih, transparan, dan profesional. Pancasila seringkali dianggap sekedar wacana, nilai-nilanya tidak termanifestasikan secara nyata dalam kehidupan, dan tidak bisa jadi solusi bangsa. Pancasila sering dianggap sebagai bagian dari masalah, karena dianggap sebagai instrumen dari Orde Baru untuk memanipulasi dan menindas rakyat. Namun di sisi lain, rakyat sudah tidak percaya siapapun, terutama yang sudah berkuasa dan jadi pemimpin, karena mereka dianggap sudah gagal memenuhi janji proklamasi dan tidak perduli kepada rakyat. Ketika para pemimpin ini bicara soal Pancasila, rakyat semakin antipati terhadap Pancasila itu sendiri. Hanya dengan kepemimpinan yang betul-betul bersih, transparan, dan profesional, nilai-nilai luhur Pancasila bisa betul-betul menjadi landasan hidup yang nyata
71
dan membawa kesejahteraan bagi bangsa dan negara. Azra (2008) menegaskan berbagai upaya perlu dilakukan guna mengembangkan relevansi Pancasila sebagai dasar wawasan kebangsaan dan identitas nasional Indonesia di tengah berbagai tantangan yang dihadapi negara-bangsa Indonesia.
Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Peran seorang pemimpin dalam organisasi menjadi hal yang penting dan krusial. Berhasil dan tidaknya organisasi mencapai tujuan ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpin dan kepemimpinan yang dilakukan oleh seorang leader menentukan roda organisasi. Organisasi yang baik dipimpin oleh seorang pemimpin yang baik, dan begitu pula sebaliknya. Tak jarang organisasi yang gagal, berubah menjadi sukses manakala dipimpin oleh seorang pemimpin yang baik dan berkualitas, dan begitu pula sebaliknya. Kepemimpinan dalam pendidikan juga berlaku sama. Lembaga pendidikan yang baik dipimpin juga oleh seorang pemimpin yang baik dan berkualitas pula. Kualitas pemimpin pendidikan tercermin pada sifat dan kinerjanya dalam memimpin lembaga pendidikan. Banyak perspektif untuk mendefinisikan pemimpin yang baik dan berkualitas dalam bidang pendidikan. Pemimpin yang baik ialah seorang pemimpin yang mengindahkan nilai, moral, dan etika dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang baik menurut Gunawan (2015:309) adalah pemimpin yang mampu menempatkan orang sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya yang membuat orang mampu bertanggung jawab atas pekerjaannya. Sedangkan pemimpin yang baik menurut Widdah, dkk., (2012:8) adalah seorang pemimpin yang mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan perilaku atas pengambilan keputusan yang dilakukannya. Pemimpin yang berkualitas adalah pemimpin yang mampu menggerakkan segenap sumber daya organisasi guna mencapai visi, misi, tujuan, dan target organisasi secara efektif dan efisien. Kepemimpinan pendidikan pada hakikatnya sama dengan kepemimpinan pada umumnya, yakni yang memiliki esensi bahwa memimpin adalah upaya mempengaruhi orang lain agar mau bekerja demi tercapainya tujuan organisasi. Gunawan (2015:304) menyatakan bahwa kepemimpinan pendidikan dilakukan pada lembaga pendidikan, dengan tujuan mempengaruhi semua warga sekolah melaksanakan tugas dan pekerjaannya dengan baik dan benar sesuai dengan tanggung jawab masing-masing, guna mencapai
72
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien, dan pada akhirnya bertujuan untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Kepemimpinan
yang
dilakukan kepala
sekolah
harus
berdasarkan pada
pertimbangan misi luhur sekolah, yang tentu saja berbeda karakteristiknya dengan organisasi lain (Komariah, 2015:83). Sekolah dengan misi utama menanamkan karakter dan mengajarkan moral sangat lekat dengan orientasi perilaku kepemimpinan yang didasarkan pada kesadaran diri, panggilan jiwa, dan tanggung jawab intrinsik untuk memimpin dengan hati yang menjadi jati dirinya. Timbul suatu kesadaran untuk kembali kepada fitrah kepemimpinan, yaitu berangkat dari pusatnya kesucian diri yakni hati yang terjaga secara ikhlas yang dituntun sistem nilai, terutama sistem nilai agama dan moral. Seluruhnya berasal dari kesadaran diri, bukan karena ingin dipuji dan mendapat dukungan semata. Kepemimpinan dengan nilai berarti seorang pemimpin memimpin organisasi dengan hati. Pemimpin pendidikan pada tataran sekolah ialah kepala sekolah. Orang yang memegang jabatan kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan (Soetopo, 1982:40). Namun demikian hal yang perlu diketahui adalah bahwa kepemimpinan itu sendiri bukanlah jabatan. Keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya, banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan merupakan faktor yang paling penting dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi sekolah. Peran kepala sekolah dalam menampilkan sifat-sifat dan perilaku kepemimpinan menjadi faktor penentu keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan. Kepala sekolah merupakan tokoh kunci dalam mengembangkan sekolah. Sehingga jika kepala sekolah itu baik, maka sekolah juga akan memiliki guru, staf, dan peserta didik yang baik pula. Begitu pula sebaliknya, jika kepala sekolah kurang baik, maka guru, staf, dan peserta didik tidak mau baik. Kepemimpinan yang ditampilkan kepala sekolah menjadi teladan bagi semua warga sekolah. Jika ingin memajukan pendidikan, maka kepala sekolah harus dibenahi dan dikembangkan terlebih dahulu. Jika memperhatikan pembahasan di atas, maka dapat diketahui bahwa pemimpin dalam organisasi sekolah adalah kepala sekolah. Wahjosumidjo (2007) menyatakan kepala sekolah merupakan dua gabungan kata, yaitu kepala dan sekolah. Kata kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedangkan sekolah adalah sebuah lembaga dimana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah adalah seorang yang ditunjuk sebagai
73
pemimpin di satuan pendidikan. Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah harus dapat memainkan peran, memahami fungsi, dan mampu melaksanakan tugas yang diembannya. Kepala sekolah yang efektif terwujud dalam sekolah yang efektif. Kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah yang mampu menggerakkan segenap guru, staf, dan siswa dalam mencapai tujuan sekolah.
Revitalisasi Kepemimpinan Pancasila dalam Bidang Pendidikan Jika memperhatikan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, yang semakin mudahnya ideologi-ideologi lain masuk ke Indonesia, maka perlu adanya upaya membumikan Pancasila secara sistematis, sistemik, komprehensif, dan kontinu di setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila sebagai dasar filsafati negara Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Nilai-nilai Pancasila merupakan rumusan ideal, bersifat das sollen dan cita-cita yang harus di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila adalah komitmen final bangsa Indonesia. Pancasila tidak ada pembandingnya di dunia ini. Pancasila sebagai suatu dasar filsafat, menurut Kaelan (2000:98) sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem yaitu satu kesatuan yang bulat, hierarkis, dan sistematis, maka kelima sila bukan terpisah-pisah melainkan memiliki makna yang utuh yang merupakan sistim nilai. Merevitalisasi memiliki makna membuat sesuatu hal agar lebih hidup dan lebih giat disemarakkan kembali (Kamus Bahasa Indonesia, 2008:1206). Revitalisasi itu membuat sesuatu agar terus lebih baik dan diterapkan masyarakat. Merevitalisasi semacam mengebyarkan sesuatu hal. Sehingga merevitalisasi adalah proses, cara, atau perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali agar secara kontinu terus lebih baik penerapannya. Revitalisasi Pancasila merupakan upaya untuk menggiatkan kembali atau mengaktifkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di tengah perkembangan dunia yang makin mengglobal guna meneguhkan jati diri bangsa. Revitalisasi adalah upaya mengembalikan kepada asal nilai pentingnya segala sesuatu. Sedangkan nilai-nilai Pancasila adalah segala bentuk norma, aturan, serta nilai yang diserap dari berbagai adat-istiadat dan budaya yang berakar dari kemajemukan seluruh komponen bangsa Indonesia. Husodo (2010:11) menyatakan revitalisasi Pancasila perlu menekankan pada orientasi ideologi yang mewujudkan kemajuan yang pesat,
74
menjadi bangsa yang unggul di berbagai bidang dengan kesejahteraan yang tinggi dan persatuan yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia. Revitalisasi Pancasila sebagaimana manifestasi identitas nasional, pada gilirannya harus diarahkan juga pada pembinaan dan pengembangan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah dalam upaya untuk mengatasi krisis dan disintegrasi yang cenderung sudah menyentuh ke semua segi dan sendi kehidupan. Peran bidang pendidikan dalam menggiatkan kembali atau mengaktifkan nilai-nilai Pancasila di tengah tantangan global menjadi hal yang krusial dilaksanakan. Upaya untuk membumikan Pancasila agar berkurang perbedaan antara das sein dan das sollen harus dilakukan secara masif. Lembaga pendidikan memiliki tanggung hukum dan juga tanggung sosial serta tanggung jawab moral dalam membumikan Pancasila. Hal ini dipertegas dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 2 yang menyatakan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilainilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolahnya, memiliki tanggung jawab menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila. Nilai-nilai Pancasila menjadi acuan dan pedoman seorang kepala sekolah dalam memimpin warga sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah mengacu pada lima sila Pancasila. Kepala sekolah menjadi model dalam mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila. Lembaga pendidikan sebagai pranata sosial merupakan wahana yang tepat untuk segenap warga sekolah dalam mempelajari dan mewariskan nilai-nilai luhur Pancasila. Gunawan (2015:305) berpendapat bahwa sikap bekerja seorang kepala sekolah memberikan gambaran nilai personalitas dalam mengembangkan kepemimpinan yang dijalankan oleh kepala sekolah yang bersangkutan. Widdah, dkk., (2012:78) menyatakan teori kepemimpian kini telah berkembang dengan mengapresiasikan nilai-nilai kehidupan (values) dan kemanusiaan. Pancasila merupakan sumber nilai yang mata airnya selalu mengalir guna memberikan kesejukan kepada
segenap
warga
bangsa
dalam
menyelesaikan
permasalahan
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila menjadi sumber nilai karakter dan perilaku
kelapa
sekolah
Kepemimpinan kepala
dalam
sekolah
mengimplementasikan yang
kepemimpinan
berlandaskan Pancasila
Pancasila.
merupakan upaya
75
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam memimpin sekolahnya. Pancasila menjadi pedoman berperilaku dan bersikap segenap warga sekolah. Pancasila memiliki kedudukan yang jelas dan tegas. Jika mengacu pada lima sila Pancasila, maka menurut Gunawan (2012:74) Pancasila sebagai inti karakter bangsa Indonesia, mengandung lima pilar karakter, yakni: (1) transendensi, menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dari-Nya akan memunculkan penghambaan semata-mata pada Tuhan. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu memakmurkannya; (2) humanisasi, setiap manusia pada hakikatnya setara di hadapan Tuhan kecuali ketakwaan dan ilmu yang membedakannya, manusia diciptakan sebagai subyek yang memiliki potensi; (3) kebinekaan, kesadaran akan ada sekian banyak perbedaan di dunia, akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan; (4) liberasi, pembebasan atas penindasan sesama manusia, oleh karena itu tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia; dan (5) keadilan, merupakan kunci kesejahteraan, adil tidak berarti sama, tetapi proporsional. Kepala sekolah dalam menampilkan sifat kepemimpinannya mengacu pada nilainilai karakter yang terkandung dalam lima sila Pancasila tersebut. Sifat, perilaku, dan tindakan kepala sekolah mencerminkan lima sila Pancasila. Kepala sekolah sebelum berbicara, bertindak, menyampaikan perintah, memberi saran, dan sampai membuat kebijakan sekolah harus dipikir terlebih dahulu apakah telah sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran juga harus mengacu pada prinsip-prinsip keteladanan, moral, dan etika sesuai falsafah hidup bangsa berdasarkan Pancasila. Sebab menurut Lemhannas (2009) melalui pendidikan diharapkan lahir kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memiliki moral dan akuntabilitas individu, sosial, institusional, dan global yang akan mengantarkan menjadi Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Kepemimpinan kepala sekolah yang baik adalah harus mampu menggali nilai-nilai kehidupan, khususnya nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini dipertegas oleh Nugroho (2011) yang menyatakan bahwa karakter kepemimpinan yang baik adalah mampu menggali nilai-nilai budaya luhur terutama nilai-nilai filsafat, baik itu filsafat hidup maupun filsafat keagamaan. Kepemimpinan pendidikan yang berlandaskan pada Pancasila berupaya mewujudkan dan menginternalisasikan sila-sila Pancasila yang dijabarkan ke dalam butir-butir Pancasila.
76
Hal ini dipertegas dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) pasal 4 yang menyatakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik pusat maupun di daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh. Adapun nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) meliputi 36 butir, yaitu: 1.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Dijabarkan menjadi 4 butir, yaitu: (1) percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; (2) hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup; (3) saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya; dan (4) tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. 2.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Dijabarkan menjadi 8 butir, yaitu: (1) mengakui persamaan derajat, persamaan hak
dan persamaan kewajiban antara sesama manusia; (2) saling mencintai sesama manusia; (3) mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro; (4) tidak semena-mena terhadap orang lain; (5) menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; (6) gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; (7) berani membela kebenaran dan keadilan; dan (8) bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. 3.
Sila Persatuan Indonesia Dijabarkan menjadi 5 butir, yaitu: (1) menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan; (2) rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; (3) cinta tanah air dan bangsa; (4) bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia; dan (5) memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
77
4.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan Dijabarkan menjadi 7 butir, yaitu: (1) mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat; (2) tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; (3) mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; (4) musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan; (5) dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah; (6) musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur; dan (7) keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. 5.
Sila Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dijabarkan menjadi 12 butir, yaitu: (1) mengembangkan perbuatan-perbuatan yang
luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan; (2) bersikap adil; (3) menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; (4) menghormati hakhak orang lain; (5) suka memberi pertolongan kepada orang lain; (6) menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; (7) tidak bersifat boros; (8) tidak bergaya hidup mewah; (9) tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum; (10) suka bekerja keras; (11) menghargai hasil karya orang lain; dan (12) bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Urgensi Sifat Keteladanan Guru Sebagai Pemimpin Siswa di Kelas Pandangan masyarakat Jawa tradisional, secara sosio-kultural guru merupakan suatu profesi yang terhormat. Hal ini terungkap dari kata “guru” yang dalam Bahasa Jawa menurut kerata basa atau jarwa dhosok merupakan kependekan dari digugu lan ditiru yang berarti dianut dan dicontoh (Ranggawarsita, 1954). Bertolak dari kerata basa itu, maka guru merupakan pribadi dan profesi yang dihormati dalam masyarakat Jawa tradisional. Mereka menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat karena memiliki keahlian, kemampuan, dan perilaku yang pantas untuk dijadikan teladan. Oleh karena itu, untuk menjadi guru seseorang harus memenuhi sejumlah kriteria untuk memenuhi gambaran ideal dari masyarakat Jawa tradisional itu. Pandangan masyarakat Jawa tradisional tentang guru seperti disebutkan di atas, tentunya juga terdapat pada kelompok etnik yang lain di
78
Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya pandangan masyarakat Indonesia terhadap profesi guru terrepresentasi dari pandangan masyarakat Jawa tradisional itu. Jika gurunya baik, pasti peserta didiknya baik. Namun jika gurunya tidak baik, maka peserta didiknya “tidak mau” baik. Hal ini bukan berarti peserta didiknya tidak baik, tetapi “tidak mau” bersikap baik, karena melihat gurunya tidak baik juga. Guru adalah “artis” bagi peserta didiknya. Jika ingin peserta didik berkarakter, gurunya dahulu yang harus berkarakter. Di sinilah urgensi karakter guru, untuk dapat memengaruhi, menggerakkan, dan mengajak peserta didik agar terus menjadi pribadi yang baik dan selalu berusaha untuk terus menjadi lebih baik, dalam aspek apa pun. Karakter merupakan ketertentuan sesuatu, who are you? Bertahan menjadi sesuatu yang berkarakter itu sulit. Guru, “bertahan” menjadi guru itu sulit, guru merupakan profesi yang paling berat di dunia. Kalau sudah jadi guru, berarti “tujuan utama” bukan uang, melainkan ialah mendidik, pendidikan, dan berbagi “ilmu pengetahuan”. Sehingga sebelum menjadi guru, seseorang harus menata hati untuk itu. Bagaimana menjadi guru yang berkarakter? Kalau sudah yakin menjadi guru, mau mendidik, berbagi ilmu pengetahuan, maka guru harus ikhlas membimbing peserta didiknya. Guru ialah pewaris ilmu dan diwariskan lagi kepada manusia lainnya. Ilmu itu ada dimana-mana dan milik siapa saja. Asal manusia mau berpikir dan mau berkontemplasi, ia akan mendapatkan ilmu, untuk mencapai cahaya. Ilmu adalah cahaya. Guru adalah cahaya kehidupan. Guru dituntut dapat memainkan “peran” yang tepat dalam masyarakat, sebagai layaknya guru (hal ideal, das sollen). Dengan demikian menjadi guru tidak hanya bergelar sarjana saja, melainkan guru yang dapat digugu petuahnya, ditiru perbuatannya. Sehingga “semua orang bisa menjadi guru”. Guru juga merupakan “artis” bagi masyarakat. Guru harus membuka cakrawala kepada siswanya, sehingga tidak mudah memvonis sesuatu. Guru harus memahami terlebih dahulu dan kaya wawasan. Guru harus menjadi teladan, kaya cakrawala, dan kaya bahasa, agar peserta didik dapat berinteraksi dengan manusia lain secara santun. Guru akan tetap menjadi guru yang disegani, dirindu, bermartabat, jika guru tidak “menjelekkan”, “menghina” orang lain tanpa patrap (harus memerhatikan aturan akademik). Guru menciptakan “guru baru” yang lebih baik dari dirinya sendiri. Kebahagiaan guru adalah jika siswanya jauh lebih pandai, lebih pintar, lebih kritis, lebih sukses, lebih dalam hal positif, dari diri guru itu sendiri.
79
Guru tidak boleh “meragukan” kemampuan peserta didiknya, karena jika guru meragukan kemampuan peserta didiknya, guru tersebut sebenarnya secara batiniah “meragukan kemampuannya sendiri” dalam mendidik. Ke mana saja guru saat mendidik, sehingga peserta didik dikatakan “tidak mampu”? Gurunya sendiri saja meragukan kemampuan peserta didiknya, apalagi orang lain? Guru harus bertanya kepada dalam hatinya: apa yang salah dalam diri saya, sehingga peserta didik saya kurang mampu? Guru yang hebat adalah menguatkan hati. Jika ingin melihat guru, lihatlah peserta didiknya. Peter mengemukakan bahwa guru biasa “mengatakan”, guru yang baik “menerangkan”, guru yang superior “mendemonstrasikan”, dan guru yang hebat adalah “memberi inspirasi” (Sahertian, 1992:15). Terkait hubungannya dengan murid, menurut Ranggawarsita (1954) guru juga dituntut untuk: (1) asih ing murid (asih kepada murid; dianggap sebagai anak dan cucu sendiri); (2) telaten pamulange (telaten dalam memberikan pelajaran); (3) lumuh ing pamrih (tidak memiliki pamrih, kecuali untuk tujuan kemajuan murid); (4) tanggap ing sasmita (mampu menangkap keinginan murid); (5) sepen ing panggrayangan (tidak membuat murid berprasangka); (6) ora ambalekaken patakon (mampu memberikan jawaban); (7) ora ngendak kagunan (tidak meremehkan murid); dan (8) ora amburu aleman
(tidak
mengunggul-unggulkan
kepandaiannya).
Lebih
lanjut
menurut
Ranggawarsita (1954) untuk menjadi guru yang baik (utama), seorang guru harus: (1) mulus ing sarira (tidak cacat); (2) alus ing wicara (halus dalam bertutur kata); (3) jatmika ing solah (bersahaja dalam perilaku); (4) antepan bebudene (memiliki kepribadian yang mantap); (5) paramarta lelabuhane (tulus dalam pengabdian); (6) patitis nalare (cerdas); (7) becik labete (berkelakuan baik); dan (8) ora duwe pakareman (tidak memiliki kesenangan yang dapat menistakan kedudukannya). Kriteria figur guru yang tangguh dan ideal adalah sangat banyak dan kompleks sekali. Seorang guru menurut Gunawan (2013:42-45) dimungkinkan akan dapat melaksanakan tugas keguruannya dengan baik, manakala dalam tugas dan kehidupannya sehari-hari menerapkan dan melaksanakan Dasa Ma atau Dasa M (10 M) yaitu: (1) manembah, guru harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan, beribadah menurut agama dan keyakinan yang dianutnya; (2) momong, guru harus selalu bertindak dan bersikap ing ngarso sung tulodho, selain membina, membimbing dan mengarahkan, juga harus memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatan serta pola panutan bagi siswa; (3) momot, guru harus bersifat sabar dan tahan uji dalam menghadapi masalah; (4) momor, guru harus
80
mampu manjing ajer-ajer (mampu berdaptasi) baik dalam hubungan vertikal maupun horisontal, terbuka terhadap suatu perubahan dan pembaharuan, sesuai dengan perkembangan zaman (dinamis); (5) mursid, guru harus landep penggraitone (tajam pemikirannya dan berpandangan luas ke masa depan), tetapi ora cengkah karo jejering kautaman (tidak menyimpang dari budi pekerti luhur dan utama); (6) murokapi, keberadaan dan kehadiran guru benar-benar dibutuhkan dan bermakna bagi siswa; (7) mapam, guru harus memiliki ketahanan mental dan ketahanan fisik yang kuat, sarananya mugen telaten ing pakaryan ora mangru tingal gebyaring kahanan (tekun dan ulet dalam berkarya dan bekerja, serta berpendidikan teguh); (8) mituhu, guru harus memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, peraturan perundangan yang berlaku, atasannya, tugas, dan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab; (9) mitayani, guru bila ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya harus dapat dindalkan kemampuannya; dan (10) mumpuni, guru harus memiliki kemampuan lebih, boleh jadi mungkin kelebihan di bidang pengalaman kerja atau prestasi maupun bidang lain, dengan kelebihan seorang guru dituntut memiliki kemampuan prima, untuk itu guru harus cerdik, tangkas, dan cekatan dalam berolah pikir.
Model Revitalisasi Kepemimpinan Pancasila dalam Bidang Pendidikan Pendidikan mengemban tugas dan kewajiban mengembangkan potensi peserta didik. Selain itu, hal yang lebih penting ialah mendidik peserta didik menuju ke arah yang lebih baik dan dewasa. Pendidikan mengemban misi mendidik karakter, adab, dan etika peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat. Karakter, adab, dan etika ini harus diutamakan dahulu, harus diinternalisasikan dahulu kepada peserta didik sebelum ia mendapatkan pelajaran. Sehingga sangat penting menanamkan adab dan budi pekerti terlebih dahulu daripada pelajaran kepada peserta didik. Hal ini dipertegas oleh Gunawan (2011:32) yang menyatakan bahwa pendidikan harus mengetahui dan mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik yang beragam. Pendidikan memiliki tugas mengembangkan potensi manusia secara maksimal yang terhimpun dalam jasmani dan rohani. Kepemimpinan kepala sekolah dan keteladanan guru di kelas dengan berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila menjadi solusi terhadap upaya penanaman adab dan budi pekerti kepada peserta didik. Sehingga perlu adanya revitalisasi nilai-nilai Pancasila melalui revitaliasi kepemimpina Pancasila dalam bidang pendidikan. Perlu adanya sebuah gerakan
81
yang masif, komprehensif, integratif, dan kontinu oleh semua lapisan masyarakat untuk membumikan Pancasila di setiap sendi dan aktivitas kehidupan bermasyarakat. Pendidikan memiliki tanggung jawab untuk terus mengokohkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Gambar 1 merupakan ilustrasi model revitalisasi kepemimpinan Pancasila dalam bidang pendidikan.
Pendidikan Pancasila Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Pancasilais:
Siswa yang Pancasilais
Transendensi; humanisasi; kebhinekaan; liberasi; dan keadilan.
Keteladanan Guru yang mencerminkan Pancasilais: Membuka cakrawala, tidak boleh “meragukan” kemampuan siswa, cinta kepada siswa, telaten membimbing siswa, dan 10 M.
Proses Pembelajaran
Gambar 1 Model Revitalisasi Kepemimpinan Pancasila dalam Bidang Pendidikan
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa untuk merevitalisasi Pancasila dalam bidang pendidikan melibatkan kepala sekolah, guru, dan siswa. Kepala sekolah menjadi aktor utama dalam membumikan Pancasila di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah menampilkan sifat yang dapat diteladani oleh guru dan siswa, yakni dengan mentransformasi dan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam memimpin sekolah. Sikap keteladanan guru menjadi faktor pendukung membumikan Pancasila. Keteladanan guru mencerminkan kepribadian ideal seorang guru yang memang fitrahnya adalah seorang yang patut digugu dan ditiru, tidak saja oleh siswanya, melainkan masyarakat pada umumnya. Kepala sekolah yang Pancasilais dan keteladanan guru yang mencerminkan Pancasilais akan dapat mempengaruhi siswa menjadi siswa yang Pancasilais, melalui proses pembelajaran dengan proses Pendidikan Pancasila yang tidak hanya bersifat teoritik, namun implementatif dilaksanakan dalam budaya sekolah.
82
KESIMPULAN DAN SARAN Kepemimpinan Pancasila merupakan upaya membumikan Pancasila di tataran sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah yang menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila mutlak harus diimplementasikan, di tengah terbukanya tatanan global. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan
mengemban
tugas
untuk
menanamkan,
mengembangkan,
menginternalisasikan, dan mewujudkan masyarakat yang berlandaskan pada Pancasila di setiap sendi-sendi kehidupan. Kepala sekolah merupakan key person terwujudnya lingkungan dan budaya sekolah yang Pancasilais. Guru dalam kegiatan pembelajaran memiliki kewajiban menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada siswa, dengan memasukkan kandungan nilai-nilai Pancasila dalam kegiatan pembelajaran. Jika mengacu pada sila-sila Pancasila, maka ada lima pilar nilai kepemimpinan yang harus diimplementasikan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah, yakni: (1) transendensi; (2) humanisasi; (3) kebhinekaan; (4) liberasi; dan (5) keadilan. Lima pilar nilai kepemimpinan Pancasila tersebut menjadi ruh kepemimpinan pendidikan yang ditampilkan oleh kepala sekolah dalam memimpin sekolahnya. Jika kepala sekolah menampilkan sifat lima pilar kepemimpinan Pancasila dan guru juga menampilkan keteladanan yang menjiwai Pancasila, maka peserta didik pun akan meneladani kepala sekolah dan guru. Sehingga sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi wahana yang efektif dalam merevitalisasi dan membumikan Pancasila. Sekolah menjadi model penerapan nilai-nilai Pancasila.
DAFTAR RUJUKAN Azra, A. 2008. Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. Makalah disajikan dalam Round Table Discussion Eksistensi Pancasila sebagai Ideologi dan Pandangan Hidup Bangsa di Tengah Pergeseran Peradaban Dunia, Lemhanas, Jakarta, 13 November. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2013. Materi Ajar Matakuliah Pendidikan Pancasila. Jakarta: Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gunawan, I. 2011. Merekonstruksi Fitrah Pendidikan. Komunikasi, Majalah Kampus Universitas Negeri Malang Tahun 33 Nomor 276 September – Oktober 2011, hlm. 32.
83
Gunawan, I. 2012. Mengembangkan Karakter Bangsa Berdasarkan Kearifan Lokal. Prosiding Seminar Nasional Meretas Sekolah Humanis untuk Mendesain Siswa Sekolah Dasar yang Cerdas dan Berkarakter, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 6 Mei, hlm. 67 s.d. 79. Gunawan, I. 2013. Revitalisasi Karakter Guru menurut Filosofis Jawa: Sebuah Gagasan Mengembangkan Kepribadian Siswa. Proceeding International Seminar on: Local Wisdom and Character Education for Elementary School Students, PGSD FIP IKIP PGRI MADIUN, Madiun, 6 April. Gunawan, I. 2015. Mengembangkan Kepemimpinan Kepala Sekolah Berbasis Nilai dan Etika. Proceeding National Seminar and International Conference Scientific ForumFaculty of Education Department of Science Educatioin (FIP-JIP), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo, 9 s.d. 11 September, hlm. 302 s.d. 312. Husodo, S. Y. 2010. Reaktualisasi Wawasan Kebangsaan dalam Rangka Meneguhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makalah disajikan dalam Sarasehan Malang Corruption Watch, Universitas Brawijaya, Malang, 20 Februari. Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Komariah, A. 2015. Authentic Leadership Kepala Sekolah dalam Menanamkan Sistim Nilai. Proceeding National Seminar and International Conference Scientific ForumFaculty of Education Department of Science Educatioin (FIP-JIP), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo, 9 s.d. 11 September, hlm. 82 s.d. 93. Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lemhannas. 2009. Indeks Kepemimpinan Nasional Indonesia. Jakarta: Lemhannas. Nugroho, I. 2011. Peran Kepemimpinan Nasional dalam Implementasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Falsafah Hidup Bangsa dan Pembangunan Nasional. Makalah disajikan dalam Call for Paper Kongres Pancasila ke 3 di Universitas Airlangga, Surabaya, 31 Mei s.d. 1 Juni.
84
Purnama, B. T. 2010. Mengembalikan Relevansi Pancasila: Menangkal Terorisme, Komunisme, dan Neoimperialisme, (Online), (http://www.dpr.go.id), diakses 25 Desember 2015. Ranggawarsita, R. N. 1954. Wirid Hidajat-Djati. Terjemahan oleh R. Manojo. Surabaya: Trimurti. Sahertian, P. A. 1992. Paradigma Kategori Guru Kaitannya dengan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang, Malang, 30 November. Soekarno. 1989. Pancasila dan Perdamaian Dunia. Jakarta: CV Haji Masagung. Sutrisno, T. 2013. Pokok-pokok Pikiran Sosok Pemimpin Nasional yang Ideal. Majalah TANNAS, Edisi 95. Tandiasa,
V.
2015.
Konsep
Kepemimpinan
Pancasila,
(Online),
(http://www.kompasiana.com/vict_recht/konsep-kepemimpinanpancasila_5501a79aa3331198145118e6), diakses 12 Desember 2015. TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa), (Online), (http://www.mpr.go.id), diakses 25 Desember 2015. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2005. Bandung: Citra Umbara. Widdah, M. E., Suryana, A., & Musyaddad, K. 2012. Kepemimpinan Berbasis Nilai dan Pengembangan Mutu Madrasah. Bandung: Alfabeta.