Merevitalisasi Tradisi: Mengadopsi Desa Adat di Bali sebagai Unit Perancangan Kota1 T. Nirarta Samadhi (Institut Teknologi Nasional Malang)
Abstract
Urban design projects aim at achieving better environments in the sense that they are supportive of the culture of the inhabitants. Careful consideration of socio-cultural aspects of a space is a precursor to approach this goal. The existence of traditional settlements (i.e. desa adat) as a spatio-cultural units in a Balinese setting has never been accommodated in the contemporary projects of urban spatial design. In this respect, the opportunity to achieve supportive environments is certainly become remote. Long known for the extensive traditional and religious role it has played in the life of the Balinese, the desa adat is central to that culture. Essentially, this unit is cosmologically independent and socio-religiously meaningful, and thus needs to be treated accordingly in a sociospatial manipulation process. With regard to the spatial design of the Balinese space, this cosmological unit (Geertz 1959, 1980) determines land use, street layout, location of settlement’s elements, and the like (Parimin 1985; Samadhi 2001). This paper aims to explore the existence of desa adat as a Balinese cultural institution, and argues for its utilization as an urban design unit. Ultimately, it tries to promote multiculturalism and pluralism in the urban design as a socio-spatial process in the Indonesian planning system.
Pendahuluan Perancangan kota atau urban design adalah suatu kegiatan manipulasi ruang perkotaan secara terencana dan terarah untuk mendapatkan kondisi ruang yang lebih baik. Kondisi yang lebih baik adalah suatu situasi 1
Tulisan ini adalah versi bahasa Indonesia yang disempurnakan dari makalah berbahasa Inggris dengan judul Revitalizing Tradition: Adopting Desa Adat as an Urban Design Unit. Makalah ini dipresentasikan
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
yang sangat subyektif. Namun, dalam kerangka kajian lingkungan-perilaku (environment-behavior study) kondisi ini didefinisikan sebagai: ruang, atau secara lebih spesifik, lingkungan bermukim yang suportif terhadap budaya inti dalam panel ‘Multiple Cultural Traditions in Bali’ pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIAke-3:‘Membangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”:Menuju Masyarakat Multikultural’, 16–19 Juli 2002, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
77
setempat (local core culture). Dalam pengertian adanya tingkat kongruensi yang tinggi antara lingkungan bermukim sebagai system of setting2 dengan budaya (diartikan sebagai gaya hidup) manusia penghuninya (Rapoport 1979:27–29). Dengan demikian, perancangan kota berusaha menciptakan kondisi ideal interaksi antara manusia-budaya-lingkungan. Oleh karena itu, perancangan kota adalah sebuah proses sosio-spasial (c.f. Madanipour 1996) dan strategi keruangan untuk menciptakan lingkungan bermukim yang suportif (c.f. Rapoport 1979). Perancangan kota selalu diawali dengan penetapan wilayah perancangan yang disebut juga ‘unit perancangan kota’. Unit perancangan kota ini selanjutnya digunakan sebagai basis dalam pengumpulan data hingga analisis, dan penetapan rancangan atau disain. Oleh karena itu, suatu unit perancangan kota secara normatif harus memenuhi kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan diterapkannya analisis spasial, yaitu: 1) memiliki luasan teritorial yang cukup; 2) memiliki kegiatan dan jaringan sosialekonomi; dan 3) mempunyai jumlah populasi yang substansial. Jadi, unit perancangan kota atau urban design unit adalah suatu kawasan di perkotaan dengan batas-batas yang jelas tempat segenap aspek sosial-ekonomi-fisik di dalamnya dimanipulasi sesuai dengan skenario pembangunan kawasan untuk jangka waktu tertentu (sesuai UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, dalam rentang 5–10 tahun) dalam suatu kegiatan perancangan. Dengan demikian, segenap hasil rancangan pada 2
Setting atau ‘latar’ adalah suatu ruang tempat berlakunya suatu kegiatan manusia tertentu lengkap dengan segenap aspek fisikal (misalnya: meja, kursi, pohon, sungai, jalan, dsb) dan non-fisikal (misalnya: suara, bau, cahaya, pembayangan, dsb.). Setting bisa sangat luas secara geografis dan kompleks, misalnya berupa kota ataupun propinsi, dan bisa sangat kecil dan sederhana seperti misalnya pertunjukan topeng monyet, ataupun pohon dan bayangannya yang menjadi tempat berteduh dari panas matahari.
78
umumnya berupa Rencana Tata Ruang Kota dalam pengertian sempit yang akan diterapkan dan hanya berlaku pada unit perancangan tersebut. Pada saat ini, penetapan unit perancangan di kota yang berlaku dalam sistem perencanaan kota di Indonesia dilaksanakan melalui pendekatan wilayah administratif, seperti misalnya wilayah kelurahan, kecamatan, dan kota. Pada kasus-kasus tertentu, penetapan dilakukan berdasarkan pendekatan wilayah fungsional perkotaan seperti misalnya kawasan pusat kota (central business district), kawasan industri, kawasan bersejarah, dan sebagainya. Walaupun UU No.24/1992 mengakui masyarakat hukum adat sebagai salah satu stakeholder pembangunan ruang perkotaan, unit spasio-kultural yang secara tradisional ada di Indonesia seperti misalnya desa adat, gampong, nagari, dan sebagainya tidak pernah dimanfaatkan ataupun dipikirkan untuk digunakan sebagai suatu unit perancangan kota. Dalam konteks definisi perancangan kota tersebut di atas, maka penetapan suatu unit perancangan kota menjadi krusial dalam menjamin tercapainya tingkat kongruensi yang tinggi antara lingkungan bermukim dan budaya setempat. Pemilihan unit perancangan yang sensitif terhadap aspek spasio-kultural setempat, terutama elemen-elemen budaya intinya, adalah titik tolak yang diyakini akan memudahkan analisis atas interaksi manusiabudaya-lingkungan dalam suatu proses perancangan ruang di perkotaan. Tulisan ini bermaksud mengajukan argumentasi mengenai pengadopsian unit permukiman tradisional di kawasan perkotaan Bali, yaitu desa adat, yang secara kultural memiliki makna lokal yang kuat sebagai unit perancangan kota dalam proyek-proyek perancangan kota kontemporer. Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud membicarakan konsekuensi tiga dimensional dari proposal
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
tersebut. Dalam mengajukan gagasan pemanfaatan desa adat Bali sebagai unit teritorial untuk keperluan perencanaan dan perancangan kota, tulisan ini akan disusun sebagai berikut: bagian pertama akan menguraikan masalahmasalah yang dihadapi oleh dunia perencanaan dan perancangan kota di Indonesia saat ini; dilanjutkan dengan bagian kedua yang mejelaskan tentang desa adat sebagai unit yang paling bermakna dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam kaitannya dengan bagian sebelumnya, bagian ketiga secara khusus meninjau dimensi desa adat yang dimanfaatkan dalam perannya sebagai unit perancangan kota.
Masalah perencanaan dan perancangan kota di Indonesia Ketidakintegralan unit perancangan kota Perancangan kota selama ini dilakukan dalam kerangka sistem perencanaan ‘Orde Baru’ yang bersifat sentralistik yang cenderung menekankan perlunya keseragaman. Akibatnya, dalam usaha pencapaian keseragaman tersebut, keragaman aspek sosio-spasial dan spasio-kultural pada perancangan kota yang berasal dari keanekaragaman budaya di Indonesia tidak mendapat perhatian yang cukup. Salah satu contoh fenomena ini adalah penggunaan unit administratif, seperti kelurahan dan kecamatan. Sebagai unit perancangan dalam proyek perancangan kota di seluruh Indonesia, kedua unit administratif tersebut mengabaikan keberagaman aspek sosio-kultural suatu ruang. Di beberapa daerah di Indonesia, unit-unit permukiman tradisional seperti nagari, desa adat, gampong, dan sebagainya memiliki nilai-nilai sosio-kultural yang lekat dengan eksistensi territorial unit permukiman tersebut. Oleh karena itu, suatu kegiatan pembangunan seyogyanya mempertimbangkan aspek keterkaitan spasialnya dengan unit teritorial tempat nilai-nilai sosiokultural tersebut hidup dan berkembang.
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Pada kasus Bali, desa administratif (desa dinas atau kelurahan) sebagai suatu unit spasial yang saat ini digunakan untuk keperluan perancangan, seringkali memiliki batas-batas teritorial yang tidak bertepatan dengan batasbatas teritorial unit permukiman tradisional (desa adat). Akibatnya, unit semacam ini kurang efektif untuk digunakan dalam proses analisis perancangan yang bertujuan menghasilkan lingkungan bermukim dengan tingkat kongruensi yang optimal terhadap budaya lokal. Prinsip organisasi ruang seperti luan-teben dan Sanga Mandala, dalam konteks permukiman berbasis unit kosmologis desa adat, akan sulit dimanfaatkan dalam proses analisis dan pengambilan keputusan perancangan, bila eksistensi desa adat tersebut tidak diakomodasi secara utuh—tidak dipecah, dijadikan satu dengan yang lain, dan sebagainya—dalam suatu unit perancangan kota. Pada sisi lain, forum sangkep desa adat yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai kanal partisipasi dalam proses perencanaan, menjadi tidak efektif manakala desa yang bersangkutan tidak secara utuh diakomodasi dalam unit perancangan kontemporer berbasis wilayah administratif. Pada saat ini prosedur administratif dan hukum perencanaan dan perancangan kota di Indonesia menerapkan sistem terpusat. Pemerintah lokal hanya menjalankan mekanisme perencanaan sesuai dengan model nasional yang berlaku—antara lain standar penyajian dokumen perencanaan, standar mekanisme evaluasi pelaksanaan rencana, dan sebagainya—secara ketat sehingga mengabaikan keragaman dan keberadaan institusi lokal 3 . Praktik semacam ini telah meminimalisasi, jika tidak dapat dikatakan menia3
Pengabaian keragaman dan keberadaan institusi lokal ini dinyatakan oleh IGB Anindya Putra, yang merupakan salah satu informan kunci pada salah satu penelitian yang pernah dilakukan penulis. Beliau juga perencana pada Badan Perencanaan Pembangunan Kota Denpasar
79
dakan, kemungkinan untuk mengaitkan proposal perancangan dengan konteks kulturalnya sebagai suatu prasyarat tercapainya lingkungan bermukim yang suportif sebagai tujuan utama suatu kegiatan perancangan kota. Dengan demikian, perancangan kota telah direduksi menjadi sekadar proses birokratis yang menghasilkan produk perancangan terkodifikasi atas dasar pola nasional ketimbang suatu proses yang semestinya menghasilkan produk dengan substansi yang orisinil dengan tingkat relevansi yang tinggi terhadap situasi lokal. Walaupun peraturan hukum yang berlaku mendorong dilakukannya inisiatif lokal untuk memodifikasi prosedur tersebut, tampaknya tradisi birokrasi yang ada secara efektif mematikan kemungkinan tersebut. Tradisi semacam ini juga mempengaruhi cara para perencana dan perancang kota di Indonesia dalam menyikapi proyek-proyek yang dikerjakan. Hal ini juga berarti ketidakbiasaan dan ketidaksiapan mereka dalam melibatkan sistem pengetahuan lokal, institusi dan keragaman lokal, serta partisipasi masyarakat setempat dalam proses perencanaan 4 . Oleh karena itu, orientasi sistem perencanaan di Indonesia harus diubah sehingga dapat mengakomodasi keragaman spasio-kultural yang ada di seluruh Indonesia. Masalah implementasi proyek perancangan kota Perubahan orientasi adalah proses yang tidak sederhana. Di dalamnya terlibat kompo(Nopember 1998). Pernyataan tersebut kemudian juga dikuatkan oleh beberapa perencana yang bekerja pada beberapa Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Bali (wawancara Desember 1998) (Samadhi 2001). 4
Sebagian pihak mungkin menanggap hal itu sebagai suatu kesimpulan yang terlalu dini dan berlebihan. Namun, pengalaman penulis selaku perencana dan perancang kota bersertifikat pada berbagai proyek di Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera Barat dan NTB, demikian juga pengalaman beberapa rekan perencana dan perancang tampaknya juga menguatkan pandangan tersebut.
80
nen-komponen struktural dan behavioural, obyektif dan normatif (Uphoff 1986). Pada kasus Indonesia, tipe birokrasi yang perlu diubah orientasinya secara implisit pernah dikemukakan oleh Dove (1988). Ia berkomentar bahwa modernisasi di Indonesia menyebabkan hal-hal berkonotasi tradisional menjadi hal yang kurang penting bagi para perencana dan perancang. Dewanto (1997) menambahkan bahwa perilaku paternalistik pegawai sipil yang diwariskan rezim Orde Baru turut serta mempengaruhi keefektifan kerja yang pada akhirnya memperburuk situasi yang diamati Dove tersebut. Kombinasi keduanya menumbuhkan kecenderungan pendekatan top-down dalam sistem perencanaan di Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Rencana Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa lembaga pemerintah memiliki hak untuk bertindak selaku perencana dalam modus yang disebut ‘swakelola’. Dalam situasi birokrasi Indonesia, ini berarti proyek perencanaan atau perancangan kota dapat dilaksanakan tanpa melalui prosedur normal. Para perencana dan perancang Indonesia pada umumnya mengandalkan pengetahuan ‘obyektif’ dalam menghasilkan rencanarencana ‘expert-designed ’ yang diimplementasikan melalui birokrasi modern dan sangat terstruktur. Namun, perlu disadari bahwa konsep-konsep tradisional seringkali memiliki prinsip-prinsip yang jauh dari obyektif. Oleh karena itu, untuk mempelajari dan melestarikan konsep-konsep lokal sebagai strategi untuk mendapatkan lingkungan bermukim yang suportif, perencana dan perancang Indonesia harus mulai belajar dari komunitas-komunitas lokal. Dalam konteks ini, perancangan kota yang partisipatoris, pluralistik dan memberdayakan komunitas lokal—termasuk pranata-pranata tradisional—tampaknya merupakan wahana yang paling tepat untuk membantu proses
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
belajar tersebut. Dengan demikian, pengetahuan profesional (professional knowledge) harus dikombinasikan dengan pengetahuan berbasis pengalaman (experiential knowledge) yang berasal dari pemahaman aktual atas situasi di lapangan dan aspirasi lokal (Rapoport 1979). Sebelum para birokrat—terutama pegawai bidang perencanaan—berpikir tentang pemberdayaan pranata tradisional, sistem nilai dan konsep tradisional harus terlebih dahulu dipandang sebagai sumber daya perencanaan dan perancangan ruang (c.f. Sandercock 1998). Samadhi (2001) menyebutkan bahwa beberapa Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di Bali telah mulai memasukkan sistem nilai dan konsep tradisional dalam proses perencanaan dan perancangan. Namun demikian, usaha tersebut tidak terlalu berhasil terutama karena periode pelaksanaan proyek yang terlalu singkat untuk dapat melakukan suatu studi yang memadai atas hal tersebut sebelum ditetapkannya rencana atau rancangan kota5. Oleh karena itu, seorang pegawai perencana di instansi pemerintah dalam konteks perubahan orientasi birokrasi, seyogyanya: 1) meneliti dan menganalisis keefektifan dari budaya tradisional dalam membentuk lingkungan perkotaan; 2) meneliti dan menganalisis keefektifan pranata tradisional dalam berpartisipasi pada proses perencanaan dan perancangan kota; dan 3) menyadari bahwa hal itu bermanfaat bagi semua pihak. Secara keseluruhan, ketiga hal tersebut merupakan langkah-langkah yang ditempuh dalam menyelidiki seluk beluk lingkungan bermukim setempat yang suportif. 5
Alokasi waktu yang disediakan untuk setiap proyek perencanaan/perancangan kota adalah sekitar 180 hari kalender (TOR Proyek Perencanaan/Perancangan Kota di Kabupaten Badung, 1996). Namun, waktu efektif pelaksanaan proyek setelah dikurangi waktu penyelenggaraan tender dan proses administratif lainnya hanyalah berkisar 150 hari kalender.
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Budaya inti dan lingkungan bermukim dalam perancangan kota Perencanaan dan perancangan kota pada dasarnya adalah usaha untuk menciptakan lingkungan bermukim yang lebih baik. Dalam hal ini ‘baik’ berarti berkaitan erat dengan konteks budaya setempat. Oleh karena itu, kualitas lingkungan bermukim harus dipahami dan dievaluasi dalam konteks budaya seperti yang didefinisikan dan dimengerti oleh komunitas atau kelompok yang bersangkutan (secara emik). Lingkungan bermukim dikatakan ‘baik’ jika lingkungan tersebut terkait dengan cara hidup penghuninya, yang pada gilirannya berkaitan dengan variabel-variabel psikologis, budaya, dan perilaku. Masalah mendasar dalam hal ini adalah mengenali variabel-variabel sosiokultural mana yang penting bagi suatu komunitas atau kelompok, dan bagaimana kaitan variabel tersebut dengan lingkungan fisiknya. Menurut Rapoport (1979), seringkali variabel sosio-kultural merupakan faktor primer dalam interaksi antara manusia dengan lingkungan bermukimnya. Dalam suatu kontinum inti-pinggiran, variabel tersebut memiliki tingkat pengaruh yang kontinum pula, yaitu kelompok variabel inti akan lebih dominan dalam menentukan karakteristik dan hasil interaksi. Lebih lanjut, Rapoport (1979:27–29) pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hubungan manusia-budayalingkungan bermukim, yaitu: • apa yang didukung? Dalam pengertian yang sangat umum, yang perlu didukung adalah variabel sosio-kultural yang dibangkitkan oleh budaya inti atau core culture dari komunitas atau kelompok; • dengan apa didukung? Budaya inti tersebut didukung oleh sistem-sistem tertentu. Pada tataran tertentu hal ini dapat divisualisasikan sebagai sistem-sistem latar (systems of setting ) yang saling
81
•
berhubungan, dan pada tataran yang lebih fundamental sebagai pengorganisasian ruang, waktu, makna dan komunikasi; dan bagaimana mendukungnya? Dukungan diberikan melalui organisasi keruangan dan waktu secara tepat, serta melalui tandatanda bermakna yang digunakan dalam komunikasi. Pada hal yang terakhir ini, kesesuaian modulasi atau kekuatan dan ketepatan komunikasi juga akan mempengaruhi dukungan yang diberikan terhadap variabel-variabel sosio-kultural dominan dari suatu komunitas atau kelompok.
Budaya inti atau core culture dalam perspektif pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan konsep kunci dalam memahami dan memanipulasi (merancang) lingkungan bermukim manusia. Budaya inti itu sendiri terbentuk dari kumpulan variabel sosio-kultural yang dianggap penting dan bermakna serta paling sulit berubah pada suatu komunitas. Budaya inti tersebut mendefinisikan profil, gaya hidup, dan aktivitas-aktivitas penting komunitas yang bersangkutan. Kelompok variabel semacam ini seringkali dijumpai antara lain pada karakteristik komunitas seperti etnisitas, bahasa, dan religi; struktur keluarga dan kekerabatan serta pola pendewasaan anak; pola permukiman, cara pemecahan lahan, dan sistem kepemilikan tanah; sistem ritual dan simbol; privasi, kepadatan dan teritorialitas; dan sebagainya (Rapoport 1979). Desa adat terbukti merupakan ekspresi budaya inti Bali dan pranata yang bermakna penting dalam etnisitas dan gaya hidup masyarakat Bali. Desa adat juga mengakomodasi penyelenggaraan aktivitas-aktivitas penting dalam kehidupan sosio-religius mereka. Kontak sosial antaranggota suatu komunitas tampak lebih nyata dan hidup dalam lingkup desa adat. Selain itu, kontak ritual dengan para
82
leluhur yang bersifat kolektif-komunitas lebih mungkin diwujudkan secara keruangan pada lingkup ini dibandingkan pada lingkup yang lebih luas, misalnya kota, ataupun yang lebih kecil berupa banjar. Ritual keruangan yang penting, seperti Tawur Kesanga sehari sebelum Nyepi, diselenggarakan dalam lingkup unit kosmologis desa adat dengan memanfaatkan variabel tata ruang kosmis luan-teben dan pampatan agung. Oleh karena itu, komunitas di Bali merupakan aset berharga dalam pembangunan di Indonesia. Komunitas adat yang ada di Bali memiliki rasa kebersamaan yang tinggi karena adanya mekanisme sosio-kultural kesetaraan yang mendasari partisipasi seluruh anggotanya, terutama dalam kegiatan sosial-religius. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya efek ‘pembagian kekuasaan’ dalam kegiatan perencanaan/perancangan kota (Arnstein 1969). Komunitas adat di Bali secara tradisional bertumpu pada sistem kepemimpinan kerakyatan dan bertujuan membangun desa yang termaktub dalam awig-awig yang secara hakiki sejalan dengan tujuan pembangunan nasional. Dengan demikian, pranata-pranata adat Bali, terutama desa adat serta hukum adat seperti awig-awig harus diakui keberadaannya. Bahkan keduanya perlu diberdayakan dalam kerangka pendefinisian prasyarat penciptaan lingkungan bermukim yang suportif, dan juga dalam proses pengambilan keputusan pada tahapan perancangan kota seperti yang telah diamanatkan oleh perundangan penataan ruang Indonesia 6. Perencanaan dan perancangan kota di Indonesia secara fundamental sangat terpaku pada tujuan dan kebijakan tingkat nasional. Hal ini dimaksudkan lebih sebagai sarana untuk 6
UU No.24/1996 tentang Penataan Ruang dan PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
membangun kemampuan administrasi pemerintah lokal (dinas) dan bukan penguatan komunitas lokal (adat). Oleh karena itu, van den Ham dan Hady (1988) mengatakan bahwa dalam sistem pembangunan perkotaan di Indonesia, partisipasi tidak berasal dari masyarakat, tetapi dari jajaran birokrasi yang ada. Akibatnya, pemerintahan lokal (misalnya desa dinas atau kelurahan) tidak berperan sebagai pelaku dinamis dalam proses pembangunan yang didasarkan atas partisipasi publik, namun lebih banyak sebagai penerima produk dan manfaat pembangunan yang dihasilkan oleh pihakpihak luar. Desa adat Bali dengan segenap pranata adatnya secara sosio-kultural merupakan unit yang unik. Sistem serta nilai pengelolaan/ manipulasi lingkungan bermukim setempat tumbuh dan berkembang dari keunikan tersebut. Pranata adat yang ada—seperti desa adat, banjar, seka—menghubungkan manusia (di masa lalu dan sekarang) dengan lingkungan bermukim dan kosmologi setempat. Perancangan kota yang berbasis pada tujuan dan prioritas nasional—seperti tercermin pada peraturan perundangan di Indonesia saat ini— tidak dapat dengan mudah memahami nilai lokal perancangan ruang dan prioritas pembangunan lingkungan bermukim setempat. Pemerintah membuat rancangan kota dan program pembangunan yang menciptakan kesenjangan antara aspirasi lokal dan idealisme negara. Hal ini melemahkan upaya penciptaan lingkungan bermukim yang suportif terhadap variabel sosio-kultural budaya inti Bali terutama dalam pembentukan identitas lokal yang seyogyanya inheren dalam sistem perencanaan di Indonesia. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah sedikit perencanaan yang terlembaga dan lebih banyak perancangan kota berbasis lokal. Perlu diingat bahwa pada akhirnya pembangunan perkotaan adalah sebuah proses belajar, suatu proses yang seharusnya melibatkan partisipasi penduduk setempat.
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Pada saat ini, partisipasi publik dalam perencanaan dan perancangan kota secara formal diatur dan diarahkan oleh negara. Hal itu ditunjukkan oleh rendahnya usaha-usaha yang dilakukan dalam proses sosialisasi draft rencana tata ruang7. Sampai saat ini sebagian besar perencana dan perancang kota memandang partisipasi lokal dalam kegiatan perencanaan dan perancangan kota sebagai suatu sarana bagi pemerintahan setempat (kecamatan dan kelurahan) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Sebaliknya, partisipasi pada aktivitas adat melibatkan seluruh warga atau anggota lembaga adat, yang dilandasi oleh paham Hindu Bali yang menekankan pentingnya kewajiban untuk bekerjasama (Barth 1993:191–219; Ottino 2000:17–48). Kebersamaan dalam ranah adat ini terutama dibangkitkan oleh keterkaitan sekala-niskala antara warga desa dengan para leluhur, yaitu entitas spiritual yang memungkinkan dicapainya kesejahteraan dalam bermukim di desa adat yang bersangkutan. Partisipasi itu sendiri pada dasarnya adalah pemberdayaan komunitas-komunitas adat. Ruang lingkupnya tidak hanya pada ranah sakral-ritual kehidupan masyarakat; namun juga pada profan sosial, termasuk yang berkaitan dengan aspirasi dan prioritas pengelolaan ruang bermukim. Komunitas adat, terutama dalam konteks desa adat, yang diberdayakan untuk mendefinisikan tujuantujuan perancangan kota dan menangkap kesempatan-kesempatan pembangunan yang sama sekali baru, merupakan langkah menuju pendekatan pluralistik. Pendapat yang menyatakan bahwa kekuatan adat Bali seharusnya dilestarikan dan diperkuat 7
Dalam diskusi yang diadakan oleh Ikatan Ahli Perencanaan Cabang Malang (1996), hal ini menjadi kesimpulan empiris yang didasarkan pada pengamatan atas kegiatan perencanaan/perancangan kota di Propinsi Bali dan Jawa Timur.
83
bukanlah hal yang baru. Pada salah satu tulisannya, Warren (1993) membicarakan bahwa selama bertahun-tahun para pegawai pemerintah dan ilmuwan Bali telah merekomendasikan agar hak-hak dan hukum adat secara legal diakomodasi dalam sistem kenegaraan Indonesia. Namun, pemberdayaan komunitas adat memerlukan landasan hukum yang pada hakikatnya akan memberi komunitas-komunitas Bali penguasaan yang sah atas tanah dan segenap sumber daya yang ada. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah Propinsi Bali menjawab isu ini dengan menerbitkan Perda No.3/2001 tentang desa pakraman yang antara lain bertujuan untuk secara bertahap mengganti desa dinas dengan desa adat. Namun seperti yang pernah diamati Dove (1988) hampir 15 tahun yang lalu, saat ini perencana di Indonesia seringkali masih menganggap budaya, pengetahuan, dan pranata tradisional tidak perlu atau layak dilibatkan dalam proses perencanaan dan perancangan 8 . Persepsi semacam ini tidak memberdayakan sehingga perlu diubah untuk merangsang pemberdayaan pranata-pranata yang ada di masyarakat.
Desa adat sebagai unit bermakna dalam masyarakat Bali Penerbitan UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah berusaha memulihkan peran desa adat Bali sebagai unit administratif yang operatif selain tetap mengemban peran lamanya dalam bidang sosio-religius9. Sehubungan
dengan itu, melalui Perda Propinsi Bali No.3/ 2001 tentang desa pakraman, pemerintah propinsi mengakui desa adat sebagai unit permukiman otonom berusia ratusan tahun yang dibentuk atas dasar adat Bali dan ajaran Hindu. Dengan perundangan ini, pemerintah propinsi secara bertahap menghapus keberadaan kelurahan (desa dinas) dan menggantinya dengan desa adat yang menggunakan nama aslinya yaitu desa pakraman (Pemda Propinsi Bali 2001). Menurut peraturan tersebut, desa pakraman memiliki sistem otonomi yang mapan, mekanisme partisipasi, dan aspek pemberdayaan (Dharmayuda 2001; Surpha 2002), dan secara konseptual memiliki definisi yang mirip dengan desa adat, yaitu: Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Bab I, Pasal 1, No.4, Perda Propinsi Bali No.3/2001).10
Dengan demikian, dualisme adat-dinas 1 1 yang sebelumnya menjadi wacana akan dapat terselesaikan. Atas dasar alasan inilah permasalahan yang muncul dalam perancangan kota di Bali dalam kerangka penggunaan unit administratif desa dinas dalam proyek-proyek penciptaan lingkungan bermukim yang suportif seperti yang dimaksud Rapoport (1979) akan dapat diatasi. 10
8
Tentunya hal ini merupakan pengambilan kesimpulan umum yang terlalu dini mengingat bahwa Indonesia memiliki pemikir-pemikir yang progresif, walaupun praktik perencanaan yang ada menunjukkan gejala tersebut. Lihat Dove (1988) untuk mengetahui uraian tentang peran konvensional suatu ‘tradisi’ dalam ‘modernisasi’ di Indonesia. 9
Menurut Dharmayuda (2001), desa pakraman sangat tepat digunakan sebagai desa tunggal di Bali karena sifat keholistikan unit ini yang merangkum dimensi sosiokultural, moral, politik, ekonomi, hukum hingga ritual.
84
Secara konseptual, definisi ini mirip dengan situasi sosial pra Orde Baru (sebelum 1967), tempat adat memberi inspirasi pada kehidupan masyarakat dan sistem pemerintahan desa. Oleh pemerintah kolonial Belanda, desa semacam ini disebut sebagai ‘masyarakat adat’ (adat gemeenschap) dan juga ‘masyarakat hukum adat’ (adat rechtsgemeenschap) (Soemardjan 2001: 124). 11
Dalam pembagian semacam ini, desa adat memiliki peran dalam pengelolaan aspek-aspek religius, spiritual, dan kultural dalam komunitas. Desa dinas lebih banyak berurusan dengan aktivitas formal suatu desa.
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Organisasi keruangan Konsep psiko-kosmis dalam Hindu Bali diejawantahkan sebagai keberadaan atman atau jiwa dari setiap entitas (kosmos), sehingga setiap entitas pada dasarnya adalah ‘organisme hidup’. Pada permukiman tradisional Bali yang juga dikenal sebagai desa adat, konsep psikokosmis ini terwujud dalam Kahyangan Desa yang terdiri atas pura-pura Tri Kahyangan dan pura-pura lain yang ada pada suatu desa (seperti misalnya pura dadia), serta segenap ritual yang ditimbulkan oleh interaksi antara ‘tiga dunia’ atau Tri Loka (bhur loka, bhuwah loka dan swah loka). Permukiman semacam ini dianggap ‘hidup’, sehingga oleh karenanya, ia dipercaya memiliki kemampuan untuk melindungi dan membawa kesejahteraan bagi penghuninya. Kemampuan tersebut diniscayakan oleh eksistensi metafisik (niskala) para leluhur desa yang senantiasa berinteraksi dengan eksistensi fisik (sekala) warga desa melalui penyelenggaraan berbagai ritual. Permukiman desa adat itu sendiri adalah bhuwana agung (makrokosmos) bagi warga penghuninya (bhuwana alit atau mikrokosmos). Keduanya tersusun atas lima elemen dasar yang disebut Panca Mahabhuta, terdiri atas: pertiwi (tanah/zat padat), apah (air/zat cair), teja (api/cahaya/panas), bayu (udara/ angin), dan akasa (ruang/eter). Berkaitan dengan tujuan utama Hindu yaitu pencapaian moksa atau kebebasan spiritual, maka sebagai bhuwana alit, manusia harus mengharmoniskan dirinya dengan kosmos yang lebih luas, yaitu rumah tinggalnya, desa, Pulau Bali, bumi, dan akhirnya jagat raya selaku bhuwana agung. Konsep keseimbangan yang harmonis dalam filosofi Bali, baik antara tataran sekala Oleh karenanya program-program pembangunan nasional maupun propinsi—seperti misalnya pendidikan, politik, perencanaan pembangunan, infrastruktur—lebih difokuskan pada desa dinas (Warren 1990; Geriya 1995; Pitana 1994; Picard 1996).
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
dan niskala, maupun antarkosmos, dipercayai sebagai landasan pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan yang penerapannya telah berkembang dan mengristal menjadi ajaran religius yang disebut Tri Hita Karana atau ‘tiga hal penyebab kebaikan’ (Kaler 1983; Surpha 1991; Pitana 1994). Dalam perancangan permukiman, ajaran ini ditujukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dan entitas spiritual—Sang Hyang Widhi—dewa-dewa dan para leluhur, makhluk hidup dan lingkungan hidupnya—serta antara manusia. Konsep ini dengan jelas dapat diamati pada desa adat di Bali dalam bentuk organisasi keruangan. Organisasi keruangan tersebut, dalam kaitannya dengan pemahaman psiko-kosmis entitas selaku organisme hidup, dianalogikan dengan pembagian tubuh manusia menjadi tiga bagian, yaitu: bagian kaki yang ‘kotor’ dan ‘tidak suci’ karena berhubungan dengan tanah; badan menjadi bagian tengah; dan kepala sebagai bagian yang ‘suci’. Pembagian yang sama juga didapati pada jagat raya (universe), yaitu bhur (dunia atas/sakral), bhuwah (dunia tengah/manusia), dan swah (dunia bawah/ profan). Analogi kedua bentuk pembagian ini juga berlaku untuk permukiman desa adat yang mengklasifikasikan ruang desa menjadi: ruang utama atau ‘suci’ berupa tempat-tempat sakral (parhyangan), ruang madya atau ‘netral’ berupa kawasan permukiman (pawongan), dan ruang nista atau ‘profan’ berupa kuburan (palemahan)12 . Konsep Nawasanga yang secara keruangan ditransformasikan menjadi Sanga Mandala , adalah bentuk pengorganisasian ruang yang lebih detail. Dalam hal 12
Pesamuan desa adat sekabupaten Badung pada Juli 1974 menyebutkan bahwa ruang nista diisi oleh setra atau kuburan, namun kiranya lebih tepat jika penggunaan ruang ini diperluas sebagai fungsi pendukung/utilitas permukiman (Surpha 2002).
85
ini pola jaringan jalan pampatan agung1 3 menjadi salah satu bentuk manifestasi fisik keruangan. Pengklasifikasian tripartit tersebut mengejawantahkan tiga elemen Tri Hita Karana, yaitu jiwa (atma), tenaga (prana), dan badan (sarira) yang senantiasa akan ditemukan pada segala jenis entitas dalam jagat raya ini. Elemen ‘jiwa’ yang terutama diwujudkan dalam bentuk tiga pura Tri Kahyangan1 4 diletakkan pada tiga lokasi sedemikan rupa seperti halnya peletakan delapan kuil pada kota-kota India atas dasar prinsip vastu-widya. Kuil-kuil tersebut membentuk mandala yang mendefinisikan suatu ruang sekaligus membuat batasan kosmis (Puri 1995). Dalam kasus Bali, pendefinisian ruang melalui perletakan purapura Tri Kahyangan lengkap dengan segenap ritual dan prosesi keruangan yang menentukan struktur ruang desa—yaitu antara lain melalui keberadaan pampatan agung, dikotomi keruangan luan-teben dan atribut kualitas ke ruangan Tri Angga15—membentuk suatu unit teritorial. Dalam unit teritorial itulah penghuninya berada pada suatu dunia kosmis yang sama yaitu sebuah bhuwana agung 16 . Unit ruang yang terjadi secara simbolik benar-benar 13
Pampatan agung itu sendiri adalah pusat simbolik dari suatu unit territorial kosmis, di mana segenap kekuatan dari empat penjuru angin, dunia atas, dan bawah bertemu dengan dunia manusia. 14
Terdiri atas Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem.
15
Pembagian ruang berdasarkan kualitasnya menurut prinsip Tri Angga menghasilkan ruang-ruang: utama angga (ruang sakral), madya angga (ruang netral), dan nista angga (ruang profan). Dalam pengertian ini, suatu tempat pada lokasi yang mengarah ke gunung atau ke daratan (kaja), yaitu berada di hulu, dianggap lebih sakral dibandingkan dengan tempat yang berlokasi pada arah yang berlawanan yaitu ke hilir, mengarah ke laut (kelod). 16
Bagi masyarakat Bali, ruang semacam ini memiliki makna komprehensif yang luas, tidak sekadar ruangan mistis atau mythical space seperti yang pernah didefinisikan oleh Tuan (1977:85–89): yaitu ruang yang ‘…berfungsi sebagai suatu komponen dalam suatu worldview atau kosmologi.’
86
independen, seperti halnya individu organisme hidup. Dengan sifat independen secara kosmologis ini, tidak akan ada efek ketidakharmonisan apabila bagian tersuci dari sebuah desa adat yang berlokasi di bagian hilir bersebelahan dengan bagian paling profan dari desa tetangga yang berada lebih hulu. Desa adat sebagai komunitas moral Awig-awig desa adat yang mengakomodasi tradisi setempat dan aturan-aturan berbasis religi dipandang sebagai suatu yang unik dan spesifik untuk setiap desa adat seperti yang digambarkan oleh diktum desa mawa cara . Hukum adat semacam ini mengatur etika dan moral peri kehidupan suatu desa adat dalam usaha mencapai kesejahteraan bermukim dengan memanfaatkan segenap properti desa adat yang diwariskan oleh para leluhur desa. Dengan demikian dipahami bahwa para leluhur tersebut adalah muasal dari keberadaan warga desa dan fasilitator dari kesejahteraan yang dicari dalam kehidupan warga desa. Dimensi leluhur dipandang demikian penting, karena pada hakikatnya entitas spiritual ini tetap merupakan anggota keluarga yang secara bersama membentuk komunitas desa adat. Dalam kehidupan sehari-hari eksistensi tak berwujud (disembodied existence) ini berinteraksi dalam bentuk ritual dengan warga desa yang merupakan eksistensi berwujud (embodied existence). Hanya ketiadaan wadag (body) yang memisahkan keduanya (Ottino 2000). Namun pada dasarnya, masyarakat bernyawa dan tak bernyawa (society of the living and the dead) hidup berdampingan dan secara aktif terus berinteraksi. Oleh karena itu, dimensi niskala para leluhur desa dalam kehidupan sehari-hari sekala para warga desa menjadi faktor pembentuk individualitas dan independensi kosmologis suatu desa adat sesuai dengan diktum tersebut.
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Desa adat sebagai sistem ritual Ottino (2000:163) mendeskripsikan dimensi sosio-religius desa adat yang pada hakikatnya adalah suatu hal yang menjadikan desa adat sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya inti masyarakat Bali. Ia menyebutkan bahwa purapura utama desa adat, yaitu Tri Kahyangan, adalah sumber tirta atau ‘air suci’ bagi keperluan ritual siklus hidup (rites of passage). Seorang krama desa yang memanfaatkan tirta tersebut untuk kepentingan ritualnya akan dengan sendirinya membubuhkan ‘stempel spiritual’ desa adat tersebut pada dirinya. Oleh karena itu, secara sosiologis, identitas dirinya merupakan dimensi tak terpisahkan dari identitas kolektif krama desa. Dalam pengertian budaya inti sebagai suatu aspek dalam hidup manusia dan masyarakat yang tidak atau sulit berubah, maka desa adat dengan hubungan sosio-religius yang tak terpisahkan antara warga dan tempat bermukimnya telah menjadikan desa adat sebagai pranata adat yang berada pada kisaran kutub inti dalam konstelasi kontinuum inti-pinggiraan dari suatu budaya. Hal di atas dapat dijelaskan melalui fakta bahwa seorang krama desa dalam kehidupan religius Hindunya akan senantiasa berhubungan dengan pura-pura Tri Kahyangan. Vitalitas, keinginan, dan dorongan yang diwarisinya dari nenek moyangnya melalui orang tua, secara ritual diperoleh dari Pura Dalem setelah satu oton kelahiran (kurang lebih tiga bulan) yang selanjutnya dikembalikan lagi ke pura tersebut setelah kematian. Dalam perjalanan hidupnya, ia akan memanfaatkan Pura Desa dan Pura Puseh untuk kepentingan ritual sosio-religiusnya seperti upacara akilbalik, pernikahan dan sebagainya. Menurut Ottino (2000:165), hal ini menunjukkan bahwa perjalanan generasi ke generasi dalam suatu keluarga melibatkan fenomena daur ulang elemen kehidupan seseorang yang diwarisinya dari para leluhur melalui ritual-ritual tertentu
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
yang kemudian membentuk suatu gugus ritual tersendiri. Sebagaimana diuraikan sebelumnya hal ini tidak dapat dipisahkan dari siklus hidup seseorang melalui tiga pura utama desa adat— Tri Kahyangan—tempat ia menjadi warga adatnya. Perda No.3/2001 tentang desa pakraman menyebutkan bahwa desa adat memiliki kualitas sistem otonomi asli, partisipasi masyarakat dan potensi pemberdayaan. Pengakuan atas kualitas tersebut dapat dirunut pada konsepsi desa adat atau desa pakraman sebagai suatu unit sistem ritual untuk kepentingan pencapaian dan pemeliharaan keseimbangan kosmologis. Apa yang oleh pihak luar dikenal sebagai ‘ritual’ dalam latar budaya Bali, pada kenyataannya adalah prosedur yang sangat beragam yang mengandung serangkaian peristiwa yang tidak mungkin digambarkan dalam suatu konsep tunggal. Dalam konteks Bali, ritual adalah dimensi pelengkap yang diperlukan dalam setiap kegiatan, termasuk peristiwa sosial seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, serta hal-hal lain yang bersifat keseharian. Kegiatan dan peristiwa tersebut akan menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakteraturan yang akan membawa kekacauan dan bencana jika tidak dilengkapi dengan ritual atau upacara. Ritual adalah sarana untuk berinteraksi dengan betara leluhur dan entitas spiritual yang memberikan kesejahteraan kepada komunitas-komunitas desa adat Bali. Oleh karena itu, konsepsi tentang komunitas bagi masyarakat Bali menyiratkan nuansa partisipasi dalam pemujaan terhadap para leluhur dan entitas spiritual lainnya yang selama ini telah memberi kesejahteraan. Pemujaan itu sendiri adalah kewajiban setiap orang sebagai balasan atas kemurahan yang diperoleh dalam bermukim di desa adat yang bersangkutan. Dengan demikian, hubungan antara desa adat dengan
87
warganya dibangun melalui penyelenggaraan serangkaian sistem ritual yang terentang mulai dari ritual pribadi yang berkaitan dengan siklus hidup seseorang hingga upacara-upacara yang diselenggarakan di pura-pura Kahyangan Desa. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat ikatan psikologis yang menyatukan keluarga-keluarga yang tidak bertalian darah sebagai suatu komunitas dalam suatu mekanisme pemeliharaan (penyungsungan) jaringan pura Kahyangan Desa. Dengan demikian, ritual menjadi dasar pembentukan arus dominan gaya hidup masyarakat Bali. Oleh karena itu, ritual perlu didukung untuk dapat menjaga tingkat kongruensi yang tinggi antara budaya dan lingkungan sehingga eksistensi lingkungan bermukim yang suportif bagi masyarakat Bali akan tetap terjaga. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, perjalanan hidup seorang warga desa adat tidak terpisahkan dari keberadaan tiga pura utama desa adat yang disebut Tri Kahyangan. Dengan demikian,dapat dikatakan bahwa ada ikatan yang kuat antara desa adat sebagai suatu unit teritorial dengan gaya hidup warganya yang berbasiskan pada penyelenggaraan ritual, yang hanya dapat diselenggarakan pada unit teritorial tersebut.
Desa adat sebagai unit perancangan kota di Bali Uraian di atas menjelaskan bahwa desa adat merupakan unit spasio-kultural yang bermakna bagi masyarakat Bali sehingga dianggap tepat untuk digunakan sebagai unit perancangan kota. Dalam perancangan itu sendiri terjadi manipulasi atas interaksi antara variabelvariabel sosio-kultural dengan lingkungan fisiknya dalam kerangka hubungan manusiabudaya-lingkungan untuk mendapatkan lingkungan bermukim yang lebih baik. Pengadopsian desa adat sebagai satuan atau
88
unit perancangan kota menempatkannya sebagai basis dalam segenap kegiatan perancangan mulai dari pengumpulan data— bukan berbasis satuan administratif desa/ kelurahan seperti yang saat ini berlaku—hingga analisis—yang memungkinkan analisis dilakukan atas suatu unit sosial-ritual yang secara kosmis utuh. Uraian di atas menunjukkan berbagai dimensi desa adat yang menjadikannya suatu unit spasio-kultural dan sosio-spasial yang unik dan bermakna. Berikut ini adalah pokok-pokok gagasan yang melandasi proposal pengadopsian desa adat sebagai unit perancangan kota: • Bali merupakan daerah yang secara etnis relatif homogen. Desa adat secara historis dan tradisi adalah unit permukiman yang akrab dengan kehidupan masyarakat Bali. • Keakraban masyarakat Bali terhadap desa adat tumbuh dari eksistensi desa adat sebagai ekspresi nilai-nilai budaya inti Bali. Permukiman tradisional ini merupakan unit sosial-ritual yang menghubungkan manusia selaku elemen living society dari suatu desa adat dengan para leluhurnya sebagai suatu komunitas yang secara bersama-sama diikat oleh pura-pura Tri Kahyangan desa adat yang bersangkutan. • Ikatan kebersamaan tersebut menjadikan desa adat suatu unit yang secara kosmologis individual dan independen, serta secara sosio-kultural memiliki makna penting hanya bagi penghuni satuan permukiman ini. Diktum desa mawa cara yang tersirat dalam awig-awig membuktikan hal tersebut. • Sifat individual dan independen secara kosmologis diekspresikan secara fisik melalui organisasi keruangan berdasarkan prinsip-prinsip Sanga Mandala, Tri Angga, luan-teben. • Ekspresi fisik semacam ini mencerminkan interaksi keruangan antara manusia-budaya
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
•
•
•
dan lingkungan bermukim. Dalam konteks perancangan kota, interaksi itu akan dimanipulasi untuk menciptakan lingkungan bermukim yang suportif, yang memiliki konteks budaya lokal yang kuat. Dalam tataran praktis, butir-butir berikut merupakan konsep umum perancangan kota yang merupakan konsekuensi teknis planologis dari pengadopsian desa adat sebagai unit perancangan kota17 : Pembagian ruang desa adat menjadi sembilan mintakat (zone) dengan perbedaan kualitas ruang yang sesuai dengan prinsip Sanga Mandala. Dalam peletakan mintakat (zoning lay out) digunakan kondisi eksisting lokasi Kahyangan Desa sebagai titik acuan. Pola sembilan mintakat ini juga diterapkan kepada sembilan mintakat yang telah ditetapkan sebelumnya, dan seterusnya hingga secara praktikal-fungsional sudah tidak diperlukan lagi pemintakatan selanjutnya (exhaustive). Memanfaatkan pampatan agung sebagai basis penetapan struktur ruang desa dan jaringan jalan (spatial structure and street network ), yaitu memulai lay out jaringan jalan dari pampatan agung yang menjadi pusat simbolik desa adat dan menggunakan jaringan jalan tersebut untuk menstrukturkan ruang sesuai dengan pemintakatan pada butir di atas. Menetapkan penggunaan lahan dan fungsi tapak (land use and site function) sesuai dengan hirarki kualitas mintakat yang
17
Konsep umum perancangan kota di atas secara normatif hanya akan menghasilkan ruang bermukim yang kongruen terhadap kebutuhan orientasi psikokosmik masyarakat Bali pemeluk Hindu, dan tidak akan memberikan efek psiko-spasial tertentu bagi masyarakat non-Hindu. Namun, dalam konteks proyek pelestarian budaya lokal, hal ini dapat dikatakan sebagai usaha pelestarian ekspresi nilai-nilai budaya inti Bali (lihat Samadhi 2001:334–374).
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
berkisar dari utamaning utama angga sampai dengan nistaning nista angga 18 . • Penggunaan elemen fisikal tradisional sebagai petunjuk utama (main cue) dalam proses pemahaman lingkungan (environmental cognition), sesuai dengan fungsi aslinya (misalnya bale kul-kul, sanggah, bale banjar, pal wates), baik dalam proses analisis keruangan maupun penetapan town-scape furniture. Dalam proses perancangan kota, desa adat sebagai unit permukiman Bali terkecil, baik di pedesaan maupun perkotaan, telah menyediakan mekanisme partisipasi publik yang utuh dan bersifat langsung berupa forum sangkep atau paruman desa adat. Situasi yang menguntungkan dalam proses perancangan ini bahkan diperkuat dengan kesediaan warga desa adat untuk memberikan ‘pengorbanan’ (dalam pengertian pembangunan perkotaan) pribadi untuk kepentingan masyarakat luas sebagai salah satu bentuk partisipasi dalam konteks konsep psiko-kosmis (Samadhi 2001).
Penutup Karakter masyarakat Bali adalah perpaduan antara adat dan tradisi lokal dengan ajaran Hindu, yang saat ini secara umum dikenal sebagai budaya Hindu Bali (Mantra 1993, 1996). Tema sentral dalam ajaran-ajaran Hindu Bali (kebudayaan Bali) adalah pemeliharaan hubungan yang harmonis antar kosmos dan antara dimensi sekala-niskala. Desa adat adalah unit sosial dan ritual sebagai wahana 18
Sebagai ilustrasi, Samadhi (2001) menyebutkan bahwa pada kasus tujuh desa adat di wilayah administratif Kota Gianyar, termasuk Desa Adat Gianyar, mayoritas responden menyatakan bahwa guna lahan/fungsi tapak yang sesuai untuk mintakat utamaning utama angga adalah pura, museum, dan pusat kebudayaan, sedang mintakat nistaning nista angga sesuai untuk digunakan sebagai rumah sakit, kuburan, industri kerajinan, rumah bersalin dan tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
89
penyelenggaraan usaha-usaha pemeliharaan hubungan tersebut. Oleh karena itu, desa adat dianggap sebagai salah satu bentuk ekspresi nilai-nilai budaya inti Bali. Pada tataran perancangan ruang, desa adat adalah wujud interaksi antara variabel-variabel sosio-kultural dengan lingkungan fisik. Keberhasilan suatu proyek perancangan ruang kota ditentukan oleh karakteristik interaksi tersebut. Interaksi yang positif akan menghasilkan lingkungan bermukim yang suportif. Artinya, lingkungan bermukim yang dirancang mampu mendukung budaya inti setempat dan karenanya akan menghasilkan tingkat kon-
gruensi yang tinggi antara lingkungan bermukim dengan budaya dan gaya hidup penghuninya. Berangkat dari kedua hal di atas, perancangan kota di Bali perlu mengadopsi desa adat yang merupakan unit keruangan (spatial unit) dan sistem-sistem latar (systems of setting) yang utuh sebagai unit perancangan kota. Pengadopsian ini akan lebih menjamin terpadunya proses dan produk perancangan kota dengan latar belakang budaya Bali yang pada gilirannya menciptakan lingkungan bermukim yang suportif.
Referensi Arnstein, S.R. 1969 ‘A Ladder of Citizen Participation’, Journal of the American Institute of Planners 35(4):216–224. Barth, F. 1993 Balinese Worlds. Chicago: The University of Chicago Press. Dewanto, N. 1997 ‘Against Purity’, dalam D.Y.H. Wu, H. McQueen, and Y. Yasushi (peny.) Emerging Pluralism in Asia and the Pacific. Hong Kong: Hong Kong Institute of Asia-Pacific Studies. Hlm.149–179. Dharmayuda, M.S. 2001 Desa Adat: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali. Denpasar: Upada Sastra. Dove, M.R. 1988 ‘Introduction: Traditional Culture and Development in Contemporary Indonesia’, dalam M.R. Dove (peny.), The Real and Imagined Role of Culture in Development: Case Studies from Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press. Hlm.1–37. Geertz, C. 1959 ‘Forms and Variation in the Balinese Village Structure’, American Anthropologist 61:991–1012. 1980 Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali. Princeton: Princeton University Press. Geriya, W. 1995 Pola Partisipasi dan Model Pemberdayaan Sumber Daya Desa Adat dalam Perkembangan Pariwisata. Denpasar: Upada Sastra.
90
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Ham, A. van den dan H. Hady 1988 ‘Planning and Participation at Lower Levels in Indonesia’. Prisma 45. Healey, P. 1997 Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented Societies. London: MacMillan Press. Kaler, G.K. 1983 Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali Vol I. Denpasar: Bali Agung. Madanipour, A. 1996 Design of Urban Space: An Inquiry into a Socio-spatial Process. London: John Wiley & Sons. Mantra, I.B. 1993 Bali: Masalah Sosial, Budaya dan Modernisasi. Denpasar: Upada Sastra. 1996 Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Ottino, A. 2000 The Universe Within: A Balinese Village through its Ritual Practices. Paris: Editions Karthala. Pemda Propinsi Bali 2001 Peraturan Daerah Propinsi Bali nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Denpasar: Pemda Prop. Bali. Picard, M. 1996 Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago Press. Pitana, G. 1994 ‘Desa Adat dalam Arus Moderenisasi’, dalam G. Pitana (peny.) Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post. Hlm.137–169. Parimin, A.P. 1985 Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village: Environmental Hierarchy of Sacred-Profane. Unpublished Ph.D Thesis. Osaka: University of Osaka. Puri, B.B. 1995 Vedic Architecture and Art of Living. New Delhi: Vastu Gyan Publication. Rapoport, A. 1979 ‘An Approach to Designing Third World Environments’, Third World Planning Review 1(1):23–44. Samadhi, T.N. 2001 Continuity and Change in the Balinese Urban Areas: A Study on Urban Design as a Means of Achieving a Balinese Town with Cultural Identity. Unpublished Ph.D. Thesis. Melbourne: Royal Melbourne Institute of Technology. Sandercock, L. 1998 Toward Cosmopolis. Chichester: John Wiley & Sons.
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
91
Soemardjan, S. 2001 ‘Otonomi Desa Adat’, Antropologi Indonesia 24(65):121–127. Surpha, W. 1991 Eksistensi Desa Adat di Bali. Denpasar: Upada Sastra. 2002 Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali. Denpasar: Penerbit BP. Tuan, Y.F. 1977 Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis: University of Minnesota Press. Uphoff, N. 1986 Local Institutional Development. West Hartford: Kumarian Press. Warren, C. 1990 ‘Adat and Dinas: Village and State in Contemporary Bali’, dalam H. Geertz (peny.) State and Society in Bali: Historical, Textual and Anthropological Approaches. Leiden: KITLV Press. Hlm.213–249. 1993 Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State. Singapore: Oxford University Press.
92
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003