KEPEMIMPINAN KYAI DALAM MEREVITALISASI PESANTREN M. Syahran Jailani Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN STS Jambi Abstract: Islamic Boarding School is institute education of Islam under head a Kyai, either through formal band and also non formal with aim to study and practice teaching of Islam through study of book turn yellow by emphasizing religious moral as guidance in have my me to all day long santri. Of so much many leadership style which in telling by all is expert, but is most of and popular of style in debate and in making reference by all researcher and practitioner only four leadership style, that is: otocracy, democratic, free-style, and situational. Kyai as leader of boarding school in guiding all santri wear approach of situational. This matter Look in interaction between Kyai and its his in educating, teaching book, and give advice, also as consultancy place of is problem of, so that a Kyai sometime function also as a old at the same time teacher which can meet infinitely of time. Condition of like this visual that leadership of Kyai is full of responsibility, all one's ear, powerful draw and very is having an effect on. Behavioral thereby kyai can perceive, to be followed the example of, and meant by all its follower directe interaction all day long. Key words: Kyai leadership, revitalization boarding, teaching
A.
PENDAHULUAN
Sejak puluhan tahun, bahkan sebelum Indonesia merdeka pondok pesantren di Indonesia sudah diperbincangkan para ahli dan peneliti dalam berbagai disiplin ilmu. Secara sosiologis, kehadiran
pondok pesanten di tengah-tengah masyarakat Indonesia telah memberikan
konstribusi yang besar bagi keberlangsungan
pendidikan di Indonesia. Berbagai
kompleksitas yang ada di pesantren, seperti visi, misi, tujuan, sasaran, kurikulum, metode dan pendekatan dalam proses belajar mengajar, manajemen pengelolaan, sarana prasarana, tata letak lingkungan, kebersihan, ketertiban, keindahan sampai kepersoalan kemimpinan sang Kyai dalam
tradisi pesantren di dalamnya menjadi bahan kajian para ahli, peneliti dan
pemerhati . Kajian para ahli dan peneliti tersebut pada umumnya mengatakan, bahwa berbagai komponen yang ada di pesantren tersebut masih belum menggambarkan cita-cita ideal ajaran Islam. Nurcholis Madjid misalnya, melihat tentang lingkungan, penghuni atau santri,
kurikulum,
kepemimpinan,
dan
alumni
pesantren
secara
umum
belum
menggembirakan. Tidak hanya itu, kajian terhadap pola kepemimpinan pondok pesantren pun mulai mendapatkan perhatian dari para ahli dan peneliti. Nurcholish Madjid 1
dalam hal ini
mengatakan: Kenyataan bahwa pola kepemimpinan seorang Kyai adalah pola kepemimpinan kharismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratisnya. Apalagi jika disertai dengan tindakan-tindakan yang secara sadar maupun tidak bertujuan memelihara kharisma itu, seperti prinsip “keep distance” atau “keep aloof” (jaga jarak dan ketinggian) dari para santri, maka pola kepemimpinan itu benar-benar akan kehilangan kualitas demokratisnya. Karena kepemimpinan Kyai adalah kharismatik maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau “personal”. Kenyataan itu mengandung implikasi bahwa seorang Kyai tak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukan ke bawah “rule of the game”nya administrasi dan managemen modern. Seorang Kyai selain menjadi pimpinan agama sekaligus merupakan “traditional mobility” dalam masyarakat feodal. Dan feodalisme yang berbungkus keagamaan ini bila disalah gunakan jauh lebih berbahaya daripada feodalisme biasa. Kyai lebih mampu menggerakkan masa dari pada pemimpin feodal biasa. Dari ungkapan tersebut dapat diketahui, bahwa pola kepemimpinan Kyai adalah kepemimpinan yang kharismatik, personal dan religion feodalisme. Pola kepemimpinan ini dinilai sebagai yang kurang positif dilihat dari segi pengembangan demokrasi, egalitarian, keterbukaan dan akses publik. Hal ini misalnya terlihat pada adat kebiasaan yang diberlakukan kepada para tamu yang datang kepadanya, bahwa tamu hanya menunggu kesempatan sampai Kyai sendiri berkenan menanyakan keperluannya. Para petugas tamu tidak berani memberitahukan kepada Kyai, bahwa ia sedang ditunggu tamu, kecuali untuk tamu-tamu tertentu, seperti pejabat pemerintah yang diatur oleh protokoler atau yang telah mengadakan perjanjian terlebih dahulu. Namun demikian, dengan segala kekurangannya yang ada, termasuk dalam pola kepemimpinannya, ternyata pesantren yang ada di Indonesia termasuk salah satu institusi yang paling mampu merespon tantangan modernisasi dibandingkan dengan lembaga pendidikan sejenis yang ada di negara lain. Pesantren saat ini tidak hanya melaksanakan tiga fungsi tradionalnya, yaitu transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaa; pusat usaha-usaha penyelematan dan pelestarian lingkingan hidup; dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya. Dalam konteks terakhir ini, terlihat semakin banyak pesantren yang terlibat dalam ativitas-aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha-usaha agrobisnis yang mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan kehutanan, pengembangan industri rumah tangga atau industri kecil seperti konveksi, kerajinan tangan, pertokoan, 2
koperasi dan sebagainya. Respon pondok pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung di Indonesia mencakup pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukan subjek-subjek umum dan vocational, pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan dan pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan, dan pembaruan fungsi kependidikan, sosial dan ekonomi. Berdasar pada fenomena ini, Azyumardi Azra menyimpulkan, bahwa pengalaman Turki dan Mesir agaknya cukup memadai untuk menggambarkan proses-proses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam gelombang modernisasi yang diterapkan para penguasa di masingmasing negara tersebut. Situasi-situasi sosiologis dan politis yang mengitari madrasah di Turki atau madrasah kuttab di Mesir dalam segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut itu, pada gilirannya membuat pesantren mampu tetap bertahan. Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral. Tantangan era globalisasi dan teknologi yang kian hari kian merambah sendi-sendi kehidupan manusia, dengan menawarkan berbagai produk pilihan yang telah memberikan berbagai akses, kemudahan, fasilitas, informasi, dan komunikasi telah momotivasi pesantren untuk senantiasa mengadakan inovasi terhadap sistem yang ada. Berupa perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan, baik dari segi manajemen, administrasi, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) 1. Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.
1
Clifford Geertz, The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Brokers “Comparative studies on Society” vol.4 (Cambridge, 2005)
3
B. PEMBAHASAN Kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri2. Atau pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam. Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.3 Sedangkan asal usul kata “santri”, dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf. 4 Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa, kata “santri” dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.5Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. Kata “Pondok” berasal dari bahasa Arab yang berarti funduq artinya tempat menginap (asrama). Dinamakan demikian karena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. 6 Kuntowijoyo menanggapi penamaan pondok pesantren ini dalam komentarnya bahwa, sebenarnya penggunaan gabungan kedua istilah secara integral, yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren dianggap kurang jami’māni (singkat-padat). Selagi pengertiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, maka istilah pesantren lebih tepat digunakan untuk menggantikan pondok dan pondok pesantren. Lembaga Research Islam (Pesantren luhur) mendefinisikan pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam
2
Basori, The Fouding Father ;(Jakarta : Inceis, 2008) hlm. 33 Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 61 4 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Cet. 4; Jakarta: Paramadina, 2006), hlm. 19 5 Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. III; Jakarta Mizan), hlm. 18 6 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan (Cet. III; Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hlm. 90 3
4
menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya. Dari berbagai pendapat tentang teori penamaan pesantren tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dibawah pimpinan seorang Kyai, baik melalui jalur formal maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri.
Kedudukan Kyai sebagai Pemimpin Ummat Sebelum menguraikan kedudukan (kepemimpinan) Kyai di pesantren, terlebih dahulu penulis uraikan pengertian Kyai. Kata "Kyai" berasal dari bahasa Jawa kuno "kiya-kiya" yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan untuk: pertama, benda atau hewan yang dikeramatkan, seperti Kyai Plered (tombak), Kyai Rebo dan Kyai Wage (gajah di kebun binatang Gembira loka Yogyakarta), kedua orang tua pada umumnya, ketiga, orang yang memiliki keahlian dalam agama Islam, yang mengajar santri di Pesantren. Sedangkan secara terminologis menurut Manfred Ziemnek pengertian Kyai adalah "pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagi muslim "terpelajar" telah membaktikan hidupnya "demi Allah" serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata "Kyai" disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. Kharisma yang dimiliki Kyai merupakan salah satu kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam masyarakat. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu:. Pertama, kharisma yang diperoleh oleh seseorang (Kyai) secara given, seperti tubuh besar, suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis denga Kyai kharismaik sebelumnya, Kedua, kharisma yang diperoleh melalui kemampuan dalam penguasaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat. Posisi kepemimpinan Kyai di pesantren lebih menekankan pada aspek kepemilikan saham pesantren dan moralitas serta kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan aspek manajerial. Keumuman Kyai bukan hanya sekedar pimpinan tetapi juga sebagai sebagai pemilik persantren. Posisi Kyai juga sebagai pembimbing para santri dalam segala hal, yang pada gilirannya menghasilkan peranan Kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya
5
similator aspek-aspek kebudayaan dari luar, dalam keadaan seperti itu dengan sendirinya menempatkan Kyai sebagai cultural brokers (agen budaya).7 Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam di bawah pimpinan seorang Kyai, baik melalui jalur formal maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri. Dari sekian banyak gaya kepemimpinan (leadership style) yang di kemukakan oleh para pakar, namun yang paling popular dan serig dibahas dan dijadikan rujukan oleh para praktisi dan peneliti hanya empat gaya kepemimpinan, yaitu: otokrastis, demokratis, the laisser faires (gaya bebas), dan situasional. Kyai sebagai pemimpin pesantren dalam membimbing para santri atau masyarakat sekitarnya memakai pendekatan situasional. Hal ini nampak dalam interaksi antara Kyai dan santrinya dalam mendidik, mengajarkan kitab, dan memberikan nasihat, juga sebagai tempat konsultasi masalah, sehingga seorang Kyai kadang berfungsi pula sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui tanpa batas waktu. Kondisi seperti ini menunjukan bahwa kepemimpinan Kyai penuh tanggung jawab, penuh perhatian, penuh daya tarik dan sangat berpengaruh. Dengan demikian perilaku Kyai dapat diamati, dicontoh, dan dimaknai oleh para pengikutnya (secara langsung) dalam interaksi keseharian. Dari sekian banyak gaya kepemimpinan (leadership style) yang dikemukakan oleh para pakar, yang paling populer dan sering dibahas dan dijadikan rujukan oleh para praktisi dan peneliti hanya empat gaya kepemimpinan, yaitu; otokrastis, demokratis, the laisser faire (gaya bebas), dan situasional8. Kepemimpinan di pesantren lebih menekankan kapada proses bimbingan, pengarahan dan kasih sayang. Menurut Mansur, gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh pesantren bersifat kolektif atau kepemimpinan institusional. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa gaya kepemimpinan di pesantren mempunyai ciri paternalistik, dan free rein leadership, dimana pemimpin pasif, sebagai seorang bapak yang memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu memberikan kata-kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang bersangkutan dapat diteruskan atau tidak. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa Kyai sebagai pimpinan pesantren dalam membimbing para santri atau masyarakat sekitarnya memakai pendekatan situasional. Hal ini nampak dalam interaksi antara Kyai dan santrinya dalam mendidik, mengajarkan kitab, dan 7
Dawam Rardjo, Pesantren dan Pembaharuan,EdisiRevisi(Jakarta: LP3ES 2005), hal 70 Fred Fiedler, Model kepemimpinan. (Miftah Thoha, 2008).
8
6
memberikan nasihat, juga sebagai tempat konsultasi masalah, sehingga seorang Kyai kadang berfungsi pula sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui tanpa batas waktu. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Kyai penuh tanggung jawab, penuh perhatian, penuh daya tarik dan sangat berpengaruh. Dengan demikian perilaku Kyai dapat diamati, dicontoh, dan dimaknai oleh para pengikutnya (secara langsung) dalam interaksi keseharian.
Kepemimpinan Kyai dalam Membentuk Karakter Santri Apakah sebenarnya karakter/prilaku? Karakter dan perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Dalam konteks ini maka setiap perbuatan seseorang dalam merespon sesuatu pastilah terkonseptualisasikan dari ketiga ranah ini. Perbuatan seseorang atau respon seseorang terhadap rangsang yang datang, didasari oleh seberapa jauh pengetahuannya terhadap rangsang tersebut, bagaimana perasaan dan penerimaannya berupa sikap terhadap obyek rangsang tersebut, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan yang diharapkan. Bagi tradisi pesantren setidaknya kepemimpinan Kyai ada 6 pendekatan metode yang diterapkan dalam membentuk perilaku santri, yakni a) metode keteladanan (uswah hasanah); b) latihan dan pembiasaan; c) mengambil pelajaran (ibrah); d) nasehat (mauidzah); e) kedisiplinan; f) pujian dan hukuman (targhib wa tahzib)
a) Metode keteladanan Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan sifat-sifat dan petensinya. Pendidikan perilaku lewat keteladana adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit bagi para santri. Dalam pesantren, pemberian contoh keteladanan sangat ditekankan. Kiai dan ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain, karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang kiai atau ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajarannya.
7
b) Metode Latihan dan Pembiasaan Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren metode ini biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan pada kiai dan ustadz. Latihan dan pembiasaan ini pada akhirnya akan menjadi akhlak yang terpatri dalam diri dan menjadi yang tidak terpisahkan. Al-Ghazali menyatakan : "Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya dilakukan perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik dan diridhai"9
c) Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran) Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam arti umum bisanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Tujuan Paedagogis dari ibrah adalah mengntarkan manusia pada kepuasaan pikir tentang perkara agama yang bisa menggerakkan, mendidik atau menambah perasaan keagamaan. Adapun pengambilan ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik di masa lalu maupun sekarang10.
d) Mendidik melalui mauidzah (nasehat) Mauidzah berarti nasehat. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut.”Mauidzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan membangkitkannya untuk mengamalkan”11 Metode mauidzah, harus mengandung tiga unsur, yakni: a). Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini santi, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan dalam beramal; b). Motivasi dalam melakukan kebaikan; c). Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
9
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III , (Dar-al-Mishri: Beirut : 2005) hlm. 61
10
Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren : solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta; ITTIQA PRESS : 2007), hlm. 57 11 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid II, (Mesir; Maktabah al-Qahirah, tt), hlm. 404 8
e) Mendidik melalui kedisiplinan Dalam
ilmu
pendidikan,
kedisiplinan
dikenal
sebagai
cara
menjaga
kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan pemberian hukuma atau sangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi. Pembentukan lewat kedisiplinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi bagi pelanggar, sementara kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik sang pendidik berbuat adil dan arif dalam memberikan sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan lain. Dengan demikian sebelum menjatuhkan sangsi, seorang pendidik harus memperhatikan beberapa hal berikut: (1) perlu adanya bukti yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran; (2) hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau balas dendam dari si pendidik; (3) harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang melanggar, misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau jenis pelanggaran disengaja atau tidak. Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir.12Takzir adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki. Juga diberikan kepada santri yang melanggar dengan pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren.
f) Mendidik melalui targhib wa tahzib Metode ini terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain; targhib dan tahzib. Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar seseorang senang melakukan kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar. Tekanan metode targhib terletak pada harapan untuk melakukan kebajikan, sementara tekanan metode tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa. Meski demikian metode ini tidak sama pada metode hadiah dan hukuman. Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Targhib dan tahzib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang tujuannya memantapkan rasa keagamaan dan membangkitkan sifat rabbaniyah, tanpa terikat waktu dan tempat.
12
Ta'zir berarti menghukum atau melatih disiplin. Lihat Warson Kamus Al-Munawwir, hlm. 952 9
Adapun metode hadiah dan hukuman berpijak pada hukum rasio (hukum akal) yang sempit (duniawi) yang tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di pesantren, metode ini biasanya diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan maupun bandongan.
g) Mendidik melalui kemandirian Kemandirian tingkah-laku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan santri yang biasa berlangsung di pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat penting-monumental dan keputusan yang bersifat harian. Pada tulisan ini, keputusan yang dimaksud adalah keputusan yang bersifat rutinitas harian. Terkait
dengan
kebiasan
santri
yang
bersifat
rutinitas
menunjukkan
kecenderungan santri lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara mandiri, misalnya pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan aktivitas rutin, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang tidak tinggal bersama orangtua mereka dan tuntutan pesantren yang menginginkan santri-santri dapat hidup dengan berdikari. Santri dapat melakukan sharing kehidupan dengan teman-teman santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian tingkah-laku dikaitkan dengan rutinitas santri, maka kemungkinan santri memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.
C. SIMPULAN Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia, lahir dan tumbuh seiring dengan perkembangan Islam di Indonesia. Kehadiran pesantren telah mewarnai dan memberi konstribusi besar bagi perkembangan pendidikan di Indoensia. Tiga komponen utama pesantren, yaitu: keberadaan Kyai, santri, dan asrama merupakan pilar dan soko guru yang menyatu dalam satu bingkai yang tak bisa dipisahkan. Kepemimpinan Kyai sebagai simbol dan kekuatan dalam membangun nilai-nilai. karakter santri, sesungguhnya bukan sekadar berurusan dengan proses pendidikan tunas muda yang sedang mengenyam masa pembentukan di dalam pesanten, melainkan juga bagi setiap santri memiliki tugas sebagai penerus dan pendidik dikemudian hari, penyebar misi da’wah Islam yang pada akhirnya menjadi penjaga dan benteng ummat.
10
BIBLIOGRAFI Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III , Dar-al-Mishri: Beirut: 2005 Basori, Ruchman, The Fouding Father, Jakarta :Inceis: 2008 Burhanuddin, Tamyiz, Akhlak Pesantren: solusi bagi Kerusakan Akhlak, Yogyakarta; ITTIQA PRESS: 2007 Dhofier, Zamkhasyari, Tradisi Pesantren, Cet. VI; Jakarta; Mizan 2005 Fiedler,Fred, Model kepemimpinan.Jakarta; Miftah Thoha, 2008. Geertz, Clifford, The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Brokers “Comparative studies on Society” vol.4 (Cambridge, 2005) Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan , Cet. 4; Jakarta: Paramadina, 2006 Rahardjo, Dawam, Pesantren dan Pembaharuan,( Jakarta: LP3ES 2005) Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid II, Mesir; Maktabah al-Qahirah, 2007 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan, Cet. III; Jakarta: Gema Insani Press, 2007 Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional , Jakarta: Quantum Teaching, 2005
11