MERAIH KEBANGKITAN EKONOMI MELALUI PERBAIKAN GOVERNANCE Mas Achmad Daniri Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance
Dunia usaha Indonesia telah menarik pelajaran mahal tentang absennya praktik Good Governance selama booming pertumbuhan ekonomi tahun 90-an yang berujung pada krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1998. Kini dunia, tidak terkecuali Indonesia, kembali mengalami dua krisis sekaligus, krisis energi dan krisis pangan. Sebagian pakar ekonomi meramalkan akan terjadi resesi ekonomi atau perlambatan ekonomi global yang diawali dengan perlambatan ekonomi di USA. Saat ini kita sudah mulai merasakan dampaknya, terjadi kenaikan harga pangan sejak beberapa bulan yang lalu. Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, perlu didukung dengan penerapan Good Governance oleh negara, pelaku usaha, dan masyarakat. Kenapa begitu? Karena hanya dengan penerapan Good Governance, maka Negara bisa menciptakan peraturan perundangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, serta melaksanakan peraturan perundangan dan penegakkannya secara konsisten; pelaku usaha menerapkan Good Corporate Governance dengan dilandasi etika bisnis yang baik; serta masyarakat bisa menunjukkan kepedulian dan kontrol sosial secara obyektif dan bertanggung jawab terhadap aktivitas bisnis dan pemerintahan. Awal tahun ini, Komite Nasional Kebijakan Governance telah menyempurnakan Pedoman Good Corporate Governance dan mempersiapkan penyusunan Pedoman Good Public Governance (Combined Code) yang pertama di Indonesia. Ini merupakan suatu terobosan dan bukti kepedulian terhadap penciptaan iklim usaha yang lebih baik. Bersama ISEI dan KADIN, Komite Nasional Kebijakan Governance juga sedang berusaha menyusun roadmap permasalahan governance dan rekomendasi strategis. Dari pedoman umum corporate governance dan public governance dapat ditindaklanjuti dengan pedoman sektoral. Bekerjasama dengan lembaga lain yang peduli dengan governance, perlu melakukan penyuluhan konsultansi dan pendampingan bagi perusahaanperusahaan, maupun kantor Pemerintah yang bermaksud menerapkan Good Governance, dengan melakukan kegiatan assessment. Dan memperbanyak agen-agen perubah (agent of change) dengan mengembangkan charter member kelompok Direktur dan Komisaris perusahaan, maupun bagi kelompok pejabat publik. Pemerintah juga terlihat melakukan banyak pembenahan untuk memperbaiki citra pemerintah dan keseriusannya dalam meningkatkan praktik good public governance. Meski masih banyak pekerjaan rumah, terlihat bahwa melalui pemberdayaan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, dan juga Kepolisian; telah cukup banyak temuan dan kasus-kasus yang diangkat ke permukaan dan dilaksanakannya enforcement atas para pelanggar tersebut. Ini merupakan bukti adanya akuntabilitas Pemerintah dalam melakukan pengelolaan negara dengan baik, serta keterbukaan
1/6
kepada Publik terhadap kasus-kasus yang ada. Kondisi ini juga memberikan pelajaran dan efek jera bagi para penyelenggara negara. Masyarakat juga semakin kritis. Kalau dulu lebih banyak yang bungkam, kini rakyat sudah semakin berani mengkritisi, baik terhadap Pemerintah maupun terhadap para pelaku usaha yang jelas-jelas melanggar praktik governance yang baik, berbisnis tidak etis, melupakan kewajibannya pada negara,dan masyarakat sekitarnya. Survey yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 2007 menunjukkan ada perbaikan iklim bisnis, misalnya pada pendirian usaha baru, dengan percepatan pemberian ijin usaha dari Departemen Kehakiman, juga simplifikasi persyaratan usaha. Walaupun demikian, dalam urutan peringkat kita malah menurun, dari total 175 negara, kita ada pada posisi 135, turun 4 peringkat dibanding tahun lalu. Dari sini bisa disimpulkan bahwa penerapan governance yang baik di Indonesia sudah ada kemajuan, namun negara-negara lain nampak berlari lebih cepat dibandingkan Indonesia, karena mereka yakin dengan upaya demikian, mereka unggul dalam menarik investasi. Kunci pertumbuhan usaha yang berkelanjutan adalah penerapan Good Governance. Sekarang mari kita lihat survey yang dilakukan oleh Asian Corporate Governance Association tentang praktik corporate governance di Asia. Survey tersebut menilai bahwa semua indikator penerapan Good Corporate Governance di Indonesia ternyata berada dibawah rata-rata. Indikator ini meliputi prinsip dan praktik governance yang baik, penegakkan peraturan, kondisi politik dan hukum, sistim akuntansi, serta kultur.
Dalam laporan itu disebutkan ada beberapa hal yang baik di Indonesia. Pertama, walaupun kondisi pelaporan keuangan di Indonesia masih belum memadai, tetapi ternyata kualitas
2/6
pelaporan keuangan kuartalan cukup bagus. Selain itu, ternyata Indonesia juga memiliki kerangka hukum yang paling strict dalam memberikan perlindungan untuk pemegang saham minoritas, khususnya dalam pelaksanaan pre-emptive rights (hak memesan efek terlebih dahulu). Dan ketiga, gerakan anti-korupsi yang dilakukan Pemerintah, kini telah menunjukkan hasil yang cukup positif. Ditambah lagi, penyempurnaan Pedoman Umum Good Corporate Governance, dan Pedoman GCG Sektor Perbankan yang dilakukan di Indonesia. Namun, lagi menurut laporan tersebut, memang belum banyak yang percaya bahwa Pemerintah cukup serius mendorong penerapannya. Lebih lanjut, walaupun sudah ada program anti-korupsi, nampaknya saat ini Pemerintah masih menghadapi problem kredibilitas. Kekecewaan akan kredibilitas Pemerintah ini terdengar sekali gaungnya di pasar, dan terefleksikan dari kualitas pelaporan keuangan yang masih rendah, tingkat pengungkapan yang rendah mengenai kejadian-kejadian penting yang dapat mempegaruhi kondisi usaha serta kepemilikan saham direksi dan komisaris, masih terbukanya peluang melakukan insider trading, rendahnya keterlibatan investor, sikap antipati dan juga sikap skeptis yang ditunjukkan oleh sebagian perusahaan terhadap penerapan Good Corporate Governance. Semua ini sangat tidak membantu perbaikan usaha, apalagi tingkat penegakkan hukum yang masih dirasakan lemah, serta masih ada regulator yang tidak independen dalam melaksanakan perannya. Perlu diingat bahwa Good Governance bukanlah euphoria sesaat. Kita sering mendengar banyak pihak sepakat bahwa Good Governance itu penting dan berjanji untuk menerapkannya. Namun jika tidak ada tindak lanjut berarti kita tidak peduli dengan apa yang terjadi disekitar kita. Kalau ingin perbaikan, semua pihak harus terus berperan dalam memperbaiki perilaku, baik dalam berbisnis maupun bernegara. Perubahan yang lebih baik tidak mungkin terjadi dalam semalaman. Harus ada usaha, komitmen dan kesungguhan. Tentu juga memerlukan perubahan sudut pandang mengenai apa yang dimaksud bekerja dengan integritas. Belajar dari pengalaman menanggulangi krisis pada pertengahan tahun 1998, baik Pemerintah, Dunia Usaha, maupun Masyarakat, mulai menyadari bahwa untuk menghadapi krisis pangan dan energi, memperbaiki governance merupakan langkah strategis agar memiliki daya tahan yang kuat, serta segera keluar dari krisis. Pada masa lalu terbukti bahwa bad governance menyebabkan beban bagi APBN, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran, lebih lanjut tidak cukup mampu untuk menggerakkan roda perekonomian. Daya saing kita juga menjadi sangat lemah, dan tidak cukup mampu untuk menarik investasi. Suburnya KKN juga menghambat pemerataan kesempatan berusaha. Oleh karena itu, kita tidak punya pilihan selain berbisnis dan bekerja dengan mewujudkan iklim usaha yang sehat. Karena iklim usaha yang sehat menjadi indikator utama dalam pertimbangan berinvestasi. Maka, perlu ada penegakkan hukum yang konsisten dan implementasi Good Governance. Sesungguhnya inti dari permasalahan bangsa yang tak kunjung tuntas adalah masalah governance, jika kita tidak mengobati akar persoalannya jangan pernah berharap kita dapat mengatasinya secara tuntas. Ada beberapa faktor yang bisa menjadi pemicu untuk perbaikan governance. Pertama, dorongan regulasi – dengan adanya penegakkan hukum yang baik dan memadai untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, serta didukung dengan penerapannya secara konsisten, termasuk pemberian sanksi bagi mereka yang melanggar, maka akan ada dorongan regulasi (regulatory driven) yang
3/6
memaksa semua pihak untuk patuh (comply). Kedua, dorongan pasar – disini lebih menekankan pada kinerja pasar, dimana masyarakat dan investor menilai sebuah perusahaan dari kinerja (performance), jika ada dorongan pasar (market driven) maka akan terbangun sistem di pasar yang secara otomatis akan memberikan penghargaan yang lebih tinggi kepada perusahaan yang terbukti menerapkan GCG dan memiliki kinerja baik, juga menghukum mereka yang tidak, dengan merefleksikannya pada penurunan harga saham. Dan, ketiga adalah dorongan etika – dorongan etika (ethics driven) mensyaratkan kesadaran dari semua pihak untuk berperilaku, berusaha, serta bekerja dengan etika (conformance). Ethics driven dapat diumpamakan sebagai kasta tertinggi, karena penerapan Good Governance bukan lagi karena ada peraturan yang mengharuskan, namun, karena pihak-pihak yang terkait sadar bahwa penerapan itu memang diperlukan sebagai perwujudan amanah yang diberikan, serta hanya dengan penerapan Good Governance yang berkelanjutan, iklim usaha dapat berkembang dengan sehat. Idealnya, penerapan Good Governance memerlukan ketiga dorongan tersebut secara bersama-sama. Dalam masyarakat maju, dorongan regulasi hanya dibutuhkan untuk mengatur aspek transparansi dan fairness, selebihnya diserahkan pada dorongan pasar dan dorongan etika. Namun, untuk situasi di Indonesia saat ini masih belum memungkinkan. Jika kita mencermati Perception Index 2007 yang dikeluarkan oleh IICG, kita dapat melihat kemajuan perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia dalam menerapkan GCG. Fenomena yang menarik, sektor perbankan menjadi sektor dengan peserta terbanyak. Salah satunya karena perbankan memang tergolong industri dengan pengaturan ketat, sehingga kepatuhan sudah membudaya dalam praktek sehari-hari. Sekaligus juga menunjukkan pentingnya aspek regulasi dalam mendorong penerapan GCG. Partisipasi BUMN juga menarik untuk dikaji. Selain BUMN yang telah tercatat di Bursa, banyak pendatang baru yang berpartisipasi, menunjukkan animo yang cukup baik dari kalangan plat merah. Pada kategori umum, 2 perusahaan yang mendapatkan nilai tertinggi adalah Bank Mandiri dan Bank Niaga, disusul dengan Aneka Tambang.
Peringkat 10 Besar Corporate Govenance Perception Index 2007 Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perusahaan Bank Mandiri Bank Niaga Aneka Tambang Adhi Karya United Tractors Tambang Batubara Bukit Asam Astra Graphia Kalbe Farma Bank BNI Bank Permata
Skor 88,66 87,90 82,07 81,79 81,53 80,87 80,30 79,70 79,46 78,85
Predikat Sangat Terpercaya Sangat Terpercaya Terpercaya Terpercaya Terpercaya Terpercaya Terpercaya Terpercaya Terpercaya Terpercaya
Sumber: IICG, 2007.
4/6
Indonesia Institute for Corporate Directorship (IICD) pada akhir tahun 2007 juga merampungkan hasil risetnya berupa rating corporate governance perusahaan publik. Total skor emiten di Bursa Efek Indonesia, menurut penilaian IICD baru mencapai angka 61,26 persen, masih rendah bila dibandingkan negara lain. Dari 20 peringkat teratas, tercatat emiten “blue chips”. Pada peringkat pertama hingga ketiga berturut-turut adalah Aneka Tambang, Medco, dan Bank NISP. Ketiganya meraih skor diatas 80 persen. Tertinggi adalah Antam dengan perolehan nilai 85,3 persen. Dari penilaian sektoral IICD memberikan skor tertinggi untuk pertambangan sebesar 72,38 persen, selanjutnya perbankan 70,7 persen, telekomunikasi 64,2 persen, kehutanan 63,39 persen, dan farmasi 62,21 persen. Perbankan meraih skor cukup tinggi, karena Bank Indonesia menerapkan aturan yang cukup ketat terkait penerapan CGC.
20 EMITEN DENGAN GCG TERBAIK Rank
Kode
Nama Perusahaan
Industri
1
ANTM
Aneka Tambang (Persero) Tbk
Pertambangan
85.30%
2
MEDC
Medco Energi International Tbk
Minyak dan Gas
84.60%
3
NISP
Bank NISP Tbk
Perbankan
83.65%
4
BNGA
Bank Niaga Tbk
Perbankan
83.06%
5
PTBA
Tambang Batubara bukit Asam TBK
Pertambangan
81.37%
6
BDMN
Bank Danamon Tbk
Perbankan
80.76%
7
TLKM
Telekomunikasi Indonesia Tbk
Telekomunikasi
80.38%
8
BBRI
Bank Rakyat Indonesia Tbk
Perbankan
80.14%
9
ISAT
Indosat Tbk
Telekomunikasi
80.01%
10
BMRI
Bank Mandiri (Persero) Tbk
Perbankan
79.68%
11
BBCA
Bank Central Asia Tbk
Perbakan
79.52%
12
ASII
Astra International Tbk
Automotive
78.10%
13
ADHI
Adhi Karya (Persero) Tbk
Konstruksi
78.03%
14
APEX
Apexindo Pratama Duta Tbk
Kontraktor
77.36%
15
CMNP
Citra Marga Nushapala P. Tbk
Operator Jalan Tol
77.07%
16
ADMF
Adira Dinamika Multi Finance
Pembiayaan
76.99%
17
KAEF
Kimia Farma Tbk
Farmasi
75.76%
18
BNLI
Bank Permata Tbk
Perbankan
75.45%
19
UNSP
Bakrie Sumatra Plantations Tbk
Perkebunan
74.98%
20
INCO
International Nickel Ind. Tbk
Pertambangan
74.92%
Total
Sumber : IICD, 2007
5/6
Di beberapa negara lain, Badan Pengawas Pasar Modal dan Bursa Efek juga berperan dalam mengatur perusahaan publik melaksanakan GCG. Peraturan yang diterbitkan, mewajibkan emiten untuk menerapkan GCG sesuai pedoman standar nasional, mempublikasikan perkembangan penerapannya di laporan tahunan, agar publik bisa menilai, juga ada sanksi bagi emiten yang tidak mematuhi kewajiban. Contoh ini sebenarnya bisa jadi model untuk Indonesia, kita mulai dari regulasi, sambil terus mengedukasi pebisnis dan masyarakat, secara bertahap bisa tercipta keseimbangan antara dorongan regulasi, dorongan pasar, dan dorongan etika. Jika kita mendambakan iklim bisnis yang kondusif melalui penerapan governance yang baik, harus disertai kesadaran bahwa hal ini harus diusahakan secara serius, dan jangan berharap ada perubahan positif jika melakukannya dengan setengah hati. Secara makro perlu perbaikan pelayanan publik dan investasi melalui penerapan Good Governance. Pelayanan publik dan investasi menjadi ranah dimana Negara berinteraksi dengan dunia usaha dan masyarakat. Ini berarti, jika terjadi perubahan signifikan pada pelayanan publik, maka dengan sendirinya masyarakat dapat langsung merasakan manfaatnya. Asas Good Governance seperti transparansi, demokrasi termasuk partisipasi masyarakat; keadilan, budaya hukum, dan akuntabilitas, dapat dengan mudah dikembangkan parameternya – serta membuat negara bekerja efektif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan badan-badan lain juga harus bersih dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Sebagai contoh untuk menghadapi krisis pangan dan energi, proses penyusunan kebijakan Pemerintah perlu didukung dengan mekanisme governance yang baik. Sikap ini penting agar tidak memicu gejolak sosial dan ekonomi terkait dengan kebijakan yang menyangkut hajat hidup masyarakat. Dengan memulai perubahan pada bidang yang secara langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan para pelaku pasar, upaya menerapkan Good Governance akan memperoleh dukungan rakyat. Dukungan ini sangat dibutuhkan dalam menentukan keberhasilan, karena upaya menerapkan Good Governance memerlukan daya tahan yang kuat dan nafas yang panjang. Singkatnya, melalui kebangkitan governance, Indonesia akan semakin kokoh dalam menghadapi krisis yang menerpa. Bila prasyarat ini terpenuhi, rasanya tidak terlalu sulit membawa Indonesia bergabung ke dalam kelompok negara-negara VISTA (Vietnam, Indonesia, Afrika Selatan, Turki, dan Argentina) dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
6/6