Komite Nasional Kebijakan Governance
THE 1ST POLICY DIALOGUE SERIES A ROUNDTABLE ON PERATURAN BANK INDONESIA NO. 8/4/2006 TENTANG PENERAPAN GCG DI BANK UMUM 19 APRIL 2006
Latar belakang Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menyambut baik dan mendukung terbitnya Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/2006 tentang Penerapan GCG di Bank Umum (selanjutnya disebut “PBI 8/4”). Untuk membangun pemahaman yang baik dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) di dunia perbankan dan perkembangan corporate governance di Indonesia, KNKG memprakarsai sebuah pertemuan untuk membahas PBI 8/4 tersebut dalam suatu “Policy Dialogue Roundtable”. Policy Dialogue ini diharapkan dapat menjadi jembatan pengertian dan kerja sama lebih lanjut dari berbagai pihak, sesuai dengan tugas KNKG untuk berperan sebagai fasilitator bagi pengembangan good governance di Indonesia. Dalam diskusi kali ini, KNKG mengundang berbagai pihak yang memiliki perspektif yang berbeda, terutama para pelaku industri perbankan swasta nasional, BUMN dan multinasional, serta para ahli hukum dan akademisi. Komposi audiens yang beragam ini bertujuan untuk memperkaya pemahaman bersama terhadap PBI 8/4. Pembahasan diawali dengan pemahaman tentang latar belakang penerbitan PBI 8/4 yaitu semakin kompleksnya risiko yang dihadapi bank, menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan praktek good corporate governance oleh perbankan. Juga dicoba untuk dipahami bersama bahwa PBI 8/4 diterbitkan dengan tujuan meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan para 1
pemangku kepentingan (stakeholders) dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan. Implementasi PBI 8/4 ini berkaitan erat dengan konsolidasi industri perbankan yang dijalankan melalui Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yaitu untuk memperkuat kondisi internal perbankan nasional sesuai dengan API.
Transparency
• Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi
• Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komiteAccountability
komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank.
• Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan Responsibility
auditor eksternal.
• Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern.
Independency
Fairness
• Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar.
• Rencana strategis Bank. • Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan bank.
Masalah yang dibahas Berdasarkan pemahaman tentang latar belakang dan tujuan penerbitan PBI 8/4, roundtable dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah PBI 8/4 akan diaplikasikan sama kepada seluruh bank ATAU perlu mempertimbangkan ukuran dan kompleksitas bank yang bersangkutan? 2. Adakah aturan yang kontradiktif atau tidak sejalan dengan peraturan Bapepam/BEJ untuk bank yg sudah go public, dan peraturan Menteri Negara BUMN bagi bank BUMN? 3. Apakah ada masalah legal lainnya selain yang telah disebut di atas? 4. Bagaimana pengalaman dan "best practices" di negara lain atau yang dipraktikkan oleh bank asing atau bank multinasional di Indonesia?
2
5. Bagaimana memulai implementasi PBI 8/4 dan apa "roadmap" yg paling realistik, mempertimbangkan juga bahwa bank di Indonesia diwajibkan menerapkan Manajemen Risiko yang sejalan dengan Basel II? 6. Apa saja tantangan utama dalam mengimplementasikan PBI 8/4, baik yg bersifat internal bank (perusahaan) maupun eksternal? 7. Bagaimana peran yang tepat bagi Komite Audit, Komite Pemantau Risiko, serta Komite Remunerasi dan Nominasi, dan juga komite-komite lainnya (jika ada)? 8. Apa "economic benefit" implementasi PBI 8/4? Rumusan pertanyaan di atas dijadikan panduan dalam diskusi yang dipimpin oleh Antonius Alijoyo dan Binhadi.
Pembahasan DR Jos Luhukay mengawali roundtable dengan mengangkat isu kekhasan perbankan Indonesia dimana isu governance secara langsung berkaitan dengan masalah risk management. Dihubungkan dengan struktur organ perusahaan, Dewan Komisaris bersifat kolektif dan Direksi bersifat kolegial. Namun, peraturan tentang Direktur Kepatuhan yang melapor langsung ke Bank Indonesia selaku regulator dapat mempengaruhi kolegialitas Direksi sebagai “board” dan bukan tidak mungkin melampaui Undang Undang Perseroan Terbatas sebagai legal basis dari company law di Indonesia. Lebih jauh lagi, Jos mengingatkan agar kita tidak hanya terbatas melihat GCG secara mekanistik, seperti membuat komite, menyusun manual dll, namun juga melihat filosofi di balik GCG yaitu board governance yang akarnya adalah board accountability. Prof Mas’ud Machfoedz memetakan kedudukan PBI 8/4 dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan penerapan Basel II Accord. Implikasi dari penerapan Basel II perlu dicermati karena penghitungan Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Non-Performing Loan (NPL) dengan memasukkan variable risiko akan mengubah wajah industri perbankan yang bukan tidak mungkin memiliki konsekuensi serius. PBI 8/4 dapat menjadi starting point dari implementasi Basel II Accord.
3
- Minimum Equity - Assets - -Merger/BPR?
- Risk Mgt - NPL - CAR
Basel Accord II API GCG in PBI No.8/4/2006
Audit Com
Rem & Nom Com
Risk Mgt Sup Com Sumber: Mas’ud Machfoedz, 2006
Irwan Habsjah menjelaskan bahwa bank multinasional dan bank asing yang beroperasi di Indonesia tidak terlepas dari PBI 8/4 (dan regulasi BI lainnya). Memang ada beberapa perbedaan, seperti fungsi Direktur Kepatuhan di dalam bank, yang diwujudkan sebagai compliance officer, yang di luar negeri tidak melapor langsung kepada bank sentral sebagai regulator. Irwan menanyakan, apakah fungsi kepatuhan yang harus berada di level Direksi? Mempertegas pernyataan Jos, Irwan juga menanyakan bagaimana kolegialitas direksi dengan adanya Direktur Kepatuhan yang melapor langsung ke BI. Forum bertanya kepada DR A. Partomuan Pohan, SH mengenai hubungan antara masalah governance structure dan organ perusahaan dalam PBI 8/4 dengan UUPT. Menurut Partomuan, secara umum tidak ada pertentangan antara PBI No. 8 dengan UUPT. Partomuan menambahkan, sebaiknya fungsi memastikan kepatuhan Direksi terhadap regulasi merupakan kewenangan dari dan dijalankan oleh Dewan Komisaris. Kanaka Puradiredja mengingatkan untuk mengantisipasi perubahan pada UUPT, mengingat UU tersebut kini berada dalam proses revisi di DPR, terutama pemisahan tugas yang lebih tegas antara Dewan Komisaris dan Direksi. Di sisi lain, Kanaka juga menanyakan practicability PBI ini, terutama dalam pembentukan komite-komite dan pengangkatan Komisaris Independen, mengingat sulitnya mencari orang-orang yang kapabel dan kredibel untuk mengisi jabatan tersebut. Terutama bagi bank-bank BUMN yang juga terikat dengan peraturan di lingkungan BUMN yang mengharuskan Komite Audit diganti setiap 2 (dua) tahun sekali, tersedianya tenaga yang diperlukan menjadi permasalahan. Dalam hubungan ini, Binhadi berpendapat bahwa KNKG dapat menjadi fasilitator dalam mempersiapkan tenaga yang fit dan proper untuk duduk sebagai komisaris independen dan anggota-anggota komite. Menambahkan Kanaka, Jusuf Halim membandingkan PBI 8/4 ini dengan Peraturan Bapepam No. 29 yang mengatur tentang keberadaan Komite Audit.
4
Pasal 12 ayat (3) PBI 8/4 menyatakan bahwa komite-komite diangkat oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris, padahal keberadaan komite-komite adalah untuk memberdayakan dan mengefektifkan fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Menanggapi hal ini Partomuan menyatakan bahwa dari segi hukum, hak untuk mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan ada di Direksi. Pertanyaannya, apakah pengangkatan komitekomite merupakan keputusan yang mewakili perseroan? Herman Hidayat menjelaskan bagaimana BUMN juga terikat dengan UU BUMN dan munculnya polemik penerapan UU Keuangan Negara kepada BUMN. Implementasi UUKN yang masih multiinterpretatif itu ternyata telah menjadi disinsentif bagi pimpinan BUMN dalam melakukan business judgement karena ketakutan atas tuduhan melakukan tindak pidana korupsi. Suasana ini telah menimbulkan “birokratisasi BUMN” dimana para pemimpin BUMN lebih mementingkan ketepatan prosedural dibanding inovasi bisnis. Mengenai perbedaan antara peraturan-peraturan yang ada, Binhadi menyampaikan bahwa sebaiknya yang diterapkan adalah yang menetapkan persyaratan yang paling berat karena dengan demikian peraturan yang mengatur dengan persyaratan yang lebih ringan dengan sendirinya sudah terpenuhi. DR Etty Wulandari memaparkan 2 (dua) pendekatan dalam menerapkan GCG, yaitu rule based approach dan compliance approach. PBI 8/4 ini merupakan bentuk dari rule based approach dimana hampir semua aspek implementasi GCG dituangkan dalam suatu aturan yang mengikat dan memiliki sanksi apabila tidak diterapkan. Etty menanyakan tentang laporan GCG yang dituntut tersendiri. Di Bapepam kini sedang berlangsung proses revisi peraturan yang nantinya akan mewajibkan emiten mencantumkan laporan pelaksanaan GCG dalam Laporan Tahunan (Annual Report) dan juga ada pertangungjawaban atas governance reporting tersebut. Prof DR Roy Sembel mengangkat beberapa practical issues, seperti jabatan rangkap, terbitnya Surat Edaran BI sebagai penjelasan dari PBI 8/4, dan masalah pejabat eksekutif dalam Komite Remunerasi dan Nominasi yang diatur dalam PBI 8/4. Mengenai jabatan rangkap, Forum sepakat bahwa isu utamanya adalah komitmen waktu dari para Komisaris dan juga usaha untuk meminimalkan benturan kepentingan. Sementara definisi siapa pejabat eksekutif dalam Komite Remunerasi dan Nominasi masih perlu dijelaskan. Memang ada kepentingan untuk membuka saluran informasi dari bawah, namun ketidaknyamanan psikologis dapat muncul, apalagi sekiranya terjadi konflik dalam penetapan remunerasi antara pejabat eksekutif tersebut (karyawan) dengan anggota Dewan Komisaris dan Direksi. Mengenai Surat Edaran, Mas Achmad Daniri mengusulkan agar KNKG membuka dialog dengan BI untuk memperkaya muatan Surat Edaran dimaksud mengingat arti strategisnya. Emmy Prabawani dari Bank Indonesia, menjelaskan latar belakang dan konteks dikeluarkannya PBI 8/4 ini.
5
Kesimpulan dan Tindak Lanjut -
Diperlukan “rules making rules” atau aturan dalam membuat aturan. Sebagai regulator sebaiknya Bank Indonesia mendiskusikan konsep peraturan dengan stakeholders, utamanya para bankir. Dengan demikian, pembahasan bukan hanya untuk memberi masukan dan tidak tahu apakah masukan tersebut diterima atau tidak. Dengan pembahasan konsep ini, diharapkan tidak terjadi surprises pada waktu peraturan dikeluarkan. Disamping itu, para pelaku dapat lebih memahami latar belakang masing-masing aspek sebelum peraturan dikeluarkan.
-
Para regulator, termasuk Bank Indonesia, diharapkan saling memperhatikan keselarasan antara satu aturan dengan aturan lainnya mengingat subyek dari suatu peraturan dapat juga menjadi subyek dari peraturan yang lain.
-
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) bersedia menjadi fasilitator dan mediator dalam diskusi tentang suatu konsep peraturan yang bertalian dengan good corporate governance, baik dengan stakeholders maupun antarregulator.
-
Para peserta menyambut baik rencana Bank Indonesia untuk mengeluarkan Surat Edaran yang berisi penjelasan tentang PBI 8/4, bahkan jika perlu dilakukan penyempurnaan terhadap PBI 8/4 itu sendiri. Untuk itu diperlukan dialog dengan stakeholders dan para narasumber.
6
Lampiran 1 Matriks Identifikasi Pasal-Pasal Krusial Subyek
Pasal Keterangan
Pertanyaan
Komisaris
5 (2) Komisaris Independen
Bagaimana memastikan independensi? Kriteria perlu ditambah dengan keterkaitan antara Komisaris dengan bank. Bagaimana kedudukan anggota Direksi holding sebagai Komisaris bank? Bagaimana metode dan ukurannya?
7 (1) Perangkapan jabatan Komisaris
Direksi
Komite
Pelaporan GCG
9 (1) Dewan Komisaris wajib memastikan terselenggaranya pelaksanaan GCG… 22 (1) Perangkapan jabatan Direksi
Bagaimana dengan perangkapan jabatan sebagai Komisaris di anak perusahaan bank? Sebagai anggota Direksi 50 Direktur Kepatuhan melapor langsung ke BI apakah Direktur yang bersangkutan dapat dan tidak boleh ikut terhindar dari kewajiban dalam pengambilan tanggung renteng? keputusan risiko. 12 (1) Komite yang harus Apakah berlaku untuk dibentuk. semua bank, atau disesuaikan dengan besarannya? 12 (3) Anggota komite diangkat Apakah hal ini tidak oleh Direksi berdasarkan mengakibatkan timbulnya keputusan rapat dewan ketergantungan Komisaris. Komisaris terhadap Direksi? Apakah Pejabat 40 (1) Komite Remunerasi & Eksekutif perlu menjadi Nominasi anggota? 61 Laporan GCG dibuat Apakah dapat secara khusus dimasukkan dalam Laporan Tahunan seperti dalam ketentuan Bapepam?
7
Lampiran 2 Daftar Peserta Roundtable Chairman: Mas Achmad Daniri – Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Fasilitator: Binhadi – Anggota KNKG Antonius Alijoyo – Anggota KNKG Peserta: Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz – Komite Audit Bank Tabungan Negara DR Jos Luhukay – Anggota KNKG/Presiden Direktur Lippobank Kanaka Puradiredja – Ketua Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI)/Komite Audit Bank Niaga Indra Safitri – Anggota IKAI Jusuf Halim – Anggota IKAI/Komite Audit Lippobank DR Meuthia Ganie-Rochman – Anggota Academic Network Indonesia on Governance (ANIG) KNKG DR Regina J. Arsjah – Anggota ANIG DR G. Suprayitno – Anggota ANIG DR A. Partomuan Pohan, SH – Ahli hukum Noke Kiroyan – Anggota KNKG/Presiden Direktur PT Newmont Pacific Nusantara Irwan Habsjah – Anggota KNKG/President Director ING Indonesia Mieke Wilmar – Bank Indonesia Emmy Prabawani – Bank Indonesia Bambang Widjojanto – Anggota KNKG Herman Hidayat – Ka. Biro Hukum Kantor Menteri Negara BUMN RI Prof. DR Roy Sembel – Anggota KNKG/Komisaris Independen Bank Niaga Deni Darmawati – Anggota ANIG DR Khomsiyah – Anggota ANIG DR. Etty Wulandari – Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) Doddy Kusadrianto – PRMIA
8