1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Mengapa kawasan pesisir atau pantai dinilai memiliki arti penting bagi sebuah Bangsa. Dahuri (2001) menyatakan bahwa sumberdaya pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dan diharapkan dapat berperan penting dalam melestarikan pembangunan ekonomi melalui penyediaan lapangan kerja, peningkatan asli daerah, peningkatan devisa dan perbaikan kesejahteraan penduduk pesisir. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai seberapa besar harapan terhadap potensi kawasan pesisir ini khususnya untuk kawasan pesisir yang terletak di daerah perkotaan di Indonesia dapat memenuhi harapan menjadi alternatif pemecahan keterpurukan ekonomi. Untuk itu perlu ditelaah arti penting kawasan pantai ditinjau secara urnum dan secara khusus di daerah penelitian yaitu: kawasan pantai utara Jakarta. Makna penting kawasan pantai utara Jakarta adalah bahwa kawasan ini dapat memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat, khususnya yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, petani tambak dan perebusan kerang. Kawasan pantai ini memiliki akses yang sangat dekat dengan sumber mata pencaharian Squatter. Wilayah daratan khususnya lahan yang terletak di wilayah pesisir (lahan pesisir) merupakan lahan yang memiliki arti ekonomi strategis dan menarik, atau memiliki daya tarik utama dimana, lahan pesisir; (1) merupakan lokasi yang berdekatan dengan sumberdaya perikanan sebagai bahan makanan utama, khususnya protein hewani; (2) memiliki kekayaan hidrokarbon dan mineral; (3) merupakan tempat yang digunakan untuk transportasi dan pelabuhan, wilayah industri, agnbisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata serta wilayah pemukiman dan tempat pembuangan limbah. Karakteristik wilayah pesisir yang ditempati oleh Squatter memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda dengan kondisi Squatter di wilayah pesisir lainnya. Perbedaan ini disebabkan karena kondisi fisik, sosial, ekonomi serta budaya yang berbeda-beda pula. Untuk selanjutnya wilayah pesisir dalam Desertasi ini menggunakan istilah "Pantai".
Menurut Kay and Adler (1999) bahwa pertumbuhan penduduk adalah pengemudi dibalik banyaknya masalah pantai. Skala dari pertumbuhan penduduk tersebut pada beberapa tahun belakangan ini cukup mengejutkan yaitu dengan perkiraan bahwa penduduk dunia di daerah-daerah pantai sama dengan perkiraan penduduk global secara keseluruhan pada tahun 1950-an. Pertumbuhan penduduk pantai tidak hanya terbatas untuk negara-negara berkembang saja yaitu sekitar 50% dari populasi dunia industri kini tinggal dalam wilayah berjarak 60 kilometer dari pantai. Menurut Goldberg (1994) yang diacu dalarn Kay and Adler (1999) bahwa pertumbuhan penduduk & daerah-daerah pantai terjadi karena 2 sebab utama, yaitu: adanya migrasi desa ke kota dan migrasi dari daerah-daerah pedalaman ke daerah pantai. Daerah pantai ini menawarkan banyak peluang ekonomi, sosial dan rekreasi dibandingkan dengan daerah pedalaman. Jika dibandingkan antara daerah pedalaman (daratan) dan daerah pantai, lahan didaerah pantai harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan daerah daratan yang mempunyai core aktivitas ekonomi tinggi. Disamping itu ada kecenderungan penduduk yang bertempat tinggal didaerah pantai bermata pencaharian sebagai nelayan dan akses ke mata pencaharian tersebut memiliki akses yang mudah dan relatif biaya transportasinya sangat rendah. Sedang penduduk yang mempunyai kecenderungan bertempat tinggal didaerah daratan lebih kearah penyedia tenaga kasar dan rata-rata bekerja disektor informal seperti: pemulung, kuli bangunan, para penjaja makanan. Dengan demikian yang membedakan penduduk atau yang disebut Squatter bertempat tinggal di daerah pantai dan didaerah daratan dicirikan dengan masalah mata pencaharian dan pengalaman bekerja seperti pada daerah asal.. Akibat dari perturnbuhan penduduk ini di wilayah pantai terjadi peningkatan urbanisasi. Tingkat urbanisasi yang makin meningkat tersebut berimplikasi kepada terjadinya Squatter. Sedangkan munculnya Squatter pada umumnya disebabkan karena: (1) terjadinya kegagalan pasar; (2) kegagalan informasi; (3) kegagalan kebijakan; dan (4) ketidakjelasanproperty right. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dibarengi dengan makin meningkatnya jumlah Squatter berakibat kepada makin banyaknya terjadi Penyerobotan Lahan. Penyebab terjadinya penyerobotan lahan adalah karena keterpaksaan terjadinya
kemiskinan yang absolut dan tidak ada pilihan lain, serta akibat terrnarjinalnya Squatter dalam kompetisi persaingan ekonomi dengan tenaga kerja yang Skill.
Lahan wilayah pesisir yang dianggap memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi karena dekat dengan akses dan kepemilikan lahannya yang tidak jelas serta dekat dengan akses perikanan membuat Squatter melakukan tekanan terhadap lahan dan sumberdaya alam. Tekanan yang berkelebihan tersebut menyebabkan wilayah pantai mendapat tekanan yang cukup berat dalarn bentuk eksploitasi yang berlebihan (over exploitation). Akibatnya terjadi penurunan kualitas sumberdaya alam wilayah pesisir. Salah satu faktor yang mendorong penurunan kualitas surnberdaya tersebut adalah karena ketidaktahuan Squatter mengenai tata cara pengelolaan lingkungan. Di samping itu penyerobotan lahan menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan lahan. Akibat tindakan penyerobotan lahan dan terjadinya kerusakan lingkungan menyebabkan pemanfaatan lahan wilayah pesisir yang tidak rasional. Khusus di pantai utara Jakarta, lahan di kawasan ini menjadi pemicu datangnya para penghuni liar (Squatter) untuk menempati lahan-lahan yang bukan pemiliknya. Banyaknya Squatter menempati lahan di pantai utara Jakarta ini disebabkan oleh adalah: (I) Batas-batas kepemilikan lahan tidak jelas. Pemilik lahan dalam ha1 ini Pemerintah atau Swasta belurn secara jelas memberi batas terutarna secara fisik sampai seberapa luas lahan yang dikuasai; (2) Banyak lahan di pantai utara Jakarta ini banyak yang belum bersertifikat, sehingga menimbulkan persepsi atau image bahwa lahan tersebut tidak ada yang memiliki; (3) Lahan pantai utara Jakarta ini yang dianggap oleh Squatter tidak bertuan, telah terjadi h n s f e r of Ownership dari Squatter lama ke Squatter Baru; (4) Lahan di pantai
utara Jakarta ini sangat dekat dengan akses sumberdaya perikanan, sehingga Squatter tidak memerlukan banyak biaya transport untuk mengadakan perjalanan
ke tempat aktivitas; (5) Lahan di pantai utara Jakarta ini berada di wilayah administratif DKI sebagai Ibukota Negara, sehingga lahan di pantai ini menjadi pilihan alternatif untuk tinggal di Jakarta, mengingat biaya yang dibutuhkan untuk tinggal di daerah ini relatif sangat murah. Di samping itu, secara umum & pantai utara Jakarta ini memberikan alternatif mata pencaharian lain berupa kebutuhan penyediaan tenaga kerja yang
unskilled di sektor konstruksi maupun perindustrian, berusaha di sektor riil, sektor
perikanan, dan di bidang jasa lingkungan. Faktor mata pencaharian sebagai nelayan dan bekerja di sektor perikanan inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara Squatter di wilayah pesisir dengan Squatter di wilayah daratan. Squatter di wilayah pesisir dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan didasari oleh pertimbangan pengalaman historis dari kampung asal. Keahlian menangkap ikan atau pengalaman bekerja sebagai buruh atau pedagang disektor perikanan membuat Squatter diwilayah pesisir Jakarta Utara semakin betah dan jumlahnya semakin banyak. Mengingat kebutuhan lahan di pantai utara Jakarta ini makin meningkat, sementara penyediaan lahan terbatas, maka terjadi tekanan terhadap lingkungan pantai. Kawasan mangrove, kawasan bantaran sungai, waduk, pinggiran pantai, diperairan pantainya sendiri dijadikan sebagai tempat permukiman. Perubahan fungsional ke non fungsional ini yang menjadi penyebab terjadinya konflik pemanfaatan lahan. Konflik pemanfaatan lahan ini berimplikasi kepada makin buruknya kinerja perekonomian kawasan, disertai makin rusaknya kualitas lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan perurnusan resolusi konflik yang berbasis kepada kepentingan Squatter dan pemilik lahan dalam ha1 ini adalah Pemerintah dan Swasta, agar resolusi konflik dapat segera dirumuskan dan secara konsepsi diterima semua pihak. 1.2 Perumusan Masalah
Squatter memilih bertempat tinggal di kawasan pesisir Jakarta Utara
didasarkan kepada pengamatan lapangan yang menunjukkan bahwa lahan di luar kawasan pesisir sangat mahal dan peluang mendapatkan pekerjaan sangat sedilut, mengingat skilled yang dibawa dari daerah asal adalah lebih banyak berprofesi sebagai nelayan dan petani tambak. Para Squatter beranggapan bahwa harga lahan di wilayah pesisir Jakarta Utara dinilai sangat murah dibandingkan dengan lahan non pesisir. Disamping itu lahan pesisir memiliki akses yang lengkap dan dekat dengan sumber mata pencaharian, sehingga tidak diperlukan biaya transportasi. Namun lahan yang ditempati para Squatter ini berstatus illegal, sehingga pada saat pemilik lahan menuntut Squatter untuk keluar dari lahan yang bukan miliknya maka mulailah terjadi konflik pemanfaatan lahan wilayah pesisir.
Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konflik pemanfaatan lahan khususnya antara Squatter dengan pemilik lahan di pantai utara Jakarta, dapat diberikan fakta-fakta sebagai berikut: (1). Hasil penertiban bangunan liar tahun 2001, Pemerintah Kotamadya Jakarta
Utara berhasil menertibkan bangunan liar sebanyak 1.725 bangunan liar dan sebanyak 1.359 gubuk liar berhasil ditertibkan. Penertiban yang dilakukan oleh aparat Trantib dan Linmas ini dikhususkan untuk bidang pelanggaran terhadap lahan-lahan yang dimanfaatkan tidak sebagaimana mustinya. Berdasarkan wawancara dilapangan hasil penertiban itu tidak berlangsung lama, karena diduga 75 % lokasi penertiban kembali seperti sediakala. (2). Mulai terjadinya aglomerasi kawasan-kawasan kumuh di daerah-daerah
permukiman mewah, seperti di kawasan Pantai Indah kapuk yang pola permukimannya berbentuk sirkular mengelilingi kawasan perurnahan mewah tersebut. Akibatnya, sering terjadi konflik pemanfaatan lahan antara developer dengan para squatter. Kawasan perurnahan Pantai Indah Kapuk sendiri berasal dari kawasan hutan bakau. (3).Banyak lahan terbuka yang dijadikan open space dan jalur hijau berubah fungsinya menjadi kawasan permukiman kumuh. Secara konsepsional terjadlnya konflik pemanfaatan lahan di daerah pantai diakibatkan oleh makin tingginya tingkat urbanisasi dengan pelbagai kegiatan yang berbeda-beda. Beberapa kemungkinan akibat konflik pemanfaatan lahan di pantai tersebut antara lain: (I) Pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir yang distorsif dimana angka pengangguran semakin tinggi, daya beli masyarakat makin berkurang, daya produktifitas lahan makin menurun akibat pemanfaatan yang berkelebihan, harga kebutuhan baik primer maupun sekunder makin tinggi dan distribusi pendapatan yang makin tidak merata; (2) Meningkatnya angka kemiskinan di w ilayah pesisir; (3) Kesenjangan pendapatan dimana terjadl perbedaan pendapatan yang makin besar antara golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan berpenghasilan rendah; (4) Biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan yang rusak sangat tinggi. Keseluruhan akibat-akibat tersebut menyebabkan inefisiensi ekonomi yang pada gilirannya menyebabkan pendapatan rendah dan kesenjangan tinggi. Hal ini kemudian juga akan
meningkatkan konflik selanjutnya sehingga konflik semakin tajam. Kusnaka Adimihardja (2001) mengungkapkan bahwa lahan merupakan unsur yang mendominasi pemicu terjadinya konflik dipelbagai daerah. Hal ini terjadi karena sentralisasi penanganan masalah sumber daya alam menyebabkan terjadinya kesenjangan dan ketidakpuasan dalam hubungan penguasa-rakyat. Hubungan yang bersifat sentralistik dan dikelola melalui sistem komunikasi satu arah menyebabkan terjadnya social disfunction dalam berbagai bidang kehidupan. Jumlah penduduk makin meningkat, sementara penyediaan lahan terbatas, maka terjadlah penekanan terhadap daya dukung lahan. Penekanan ini berupa pendirian permukiman oleh para Squatter dilahan-lahan yang bukan miliknya. Penekanan terhadap daya dukung lahan ini mengakibatkan pelbagai masalah yang salah satu diantaranya adalah konflik pemanfaatan lahan. Penyebab konflik pemanfaatan lahan dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) Batas-batas status tanah kepemilikan yang tidak jelas (Ijin Mendirikan Bangunan, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai); (2) Terjad "trurzsfer of ownership"; (3) Eksklusivisme penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan dan jasa yang disebabkan oleh karena adanya "power of money"; (4) Pemerintah Daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah yang sudah menjadi produk Peraturan Daerah dan (5) lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Faktor-faktor penyebab ini semakin lama semakin berkembang dan makin menjadi besar sehingga konflik pemanfaatan lahan semakin lama semalun berlarut-larut dan membawa implikasi terhadap semakin tidak efisiennya kinerja ekonomi di kawasan tersebut. Pelbagai bentuk dari malun buruknya kinerja ekonomi kawasan pesisir tersebut tercermin dari makin bertambah besarnya biaya pemulihan lingkungan. Dengan demikian, terjadlnya konflik pemanfaatan lahan di kawasan pantai ini lebih dipicu oleh beberapa faktor, seperti: jumlah penduduk yang semakin meningkat, penyediaan kuantitas persatuan lahan tetap. Kondisi ini menyebabkan terjadinya tekanan terhadap daya dukung lahan. Di samping itu dampak yang ditimbulkannya meliputi antara lain bahwa kinerja ekonomi kawasan pesisir perturnbuhannya distorsif dan berimplikasi kepada meningkatnya kemiskinan, terjadinya kesenjangan pendapatan dan berlarut-larutnya konflik tersebut alubat karena faktor institusional yang bekerja tidak optimal.
Khusus untuk kawasan pantai utara Jakarta, konflik pemanfaatan lahan banyak disebabkan oleh: (l).Pemilik lahan (Pemerintah dan Swasta) mengusir para Squatter untuk tidak bertempat tinggal dilahan yang bukan pemiliknya; (2).Squatter beranggapan bahwa keberadaannya setelah seluan lama & kawasan
pantai tersebut sudah dilegalisasi keberadaannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kepemilikan kartu KTP, penyediaan air minum dari PDAM, penyediaan listrik dari PLN, terbentuknya komunitas RT dan RW. (3). Terjadinya banjir, pencemaran lingkungan diduga dari adanya keberadaan
Squatter di kawasan-kawasan yang memang tidak diperuntukkan bagi
kawasan permukiman, seperti: bantaran sungai, waduk, rawa, kawasan bantaran re1 kereta api, lahan-lahan kosongllahan tidw.
(4).Lemahnya penegakan hukum yang disebabkan karena keterbatasan dana penertiban yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah termasuk keterbatasan man power.
Konflik pemanfaatan lahan tersebut bersumber kepada: 1. Paradigma Squatter yang antara lain:
a. Tingkah laku (behuviour)Squatter yang merasa bahwa tidak ada informasi sebelumnya bahwa
lahan yang
hduduki
tersebut
sudah jelas
kepemilikannya, sehingga Squatter meng "Claim" bahwa permukimannya adalah sah. Disamping itu Squatter tidak yakin apakah berbuat salah, karena sudah sekian lama menempati lahan tetapi tidak ada tindakan apaapa. b. Squatter merasa sudah banyak pengeluaran yang diberikan kepada pemerintah termasuk pungutan pajak untuk IMB, membayar listrik, membayar rekening air melalui PDAM, ikut menata lingkungan, tetapi dalam waktu singkat harus keluar dari lahan tersebut. c. Squatter merasa sudah membayar sejumlah uang baik untuk beli tanah
maupun untuk sewa, namun diperintahkan harus pergi oleh pemilik lahan yang sah. Disadari bahwa lahan yang ditempati bukan miliknya, tetapi Squatter sudah memberi imbalan kepada oknum dan ada partai politik
yang mendukungnya.
2. Dari Segi Pemilik lahan (Pemerintah): a. Dari segi pemilik lahan khususnya pemerintah beranggapan bahwa kawasan Squatter bukan kawasan permukiman, tetapi sebagai kawasan daerah pemilikan sungai, sehingga kawasan Squatter hams digusur. Pemilik lahan beranggapan bahwa pembagian ruang kota yang sudah ada dinilai sudah adil dan memadai. Akibat pandangan ini di pantai utara Jakarta Pemerintah Daerah Kodya Jakarta Utara mengeluarkan kebijakan penertiban bagi kawasan kumuh (Kawasan para Squatter); b. Squatter (Pemukim Liar) hams ditertibkan; c. Squatter dianggap bukan warga Jakarta dan Squatter divonis sebagai
penduduk haram; 3. Dari Segi Pemilik Lahan (Swasta) Dari segi pemilikan lahan dari Swasta bahwa semakin lama lahan dibiarkan terlantar, semakin besar nilai lahan pada masa-masa yang akan datang. Namun karena sudah lama dibiarkan terlantar, sehingga lahan-lahan tersebut dimanfaatkan oleh Squatter. Upaya untuk mengeluarkan Squatter oleh pihak swasta dilakukan dengan pelbagai macam upaya, misalnya dengan intimidasi, tuntutan ke pengadilan. Di samping itu, konflik pemanfaatan lahan terjadi juga antara Pemerintah dengan pihak Swasta dalam rangka pembangunan permukiman mewah dan pusat perbelanjaan. (1) Infonnasi dari Bapeko Jakarta Utara bahwa konflik pemanfaatan lahan sering terjadi di kawasan Pluit, Sunter dan Kelapa Gading yaitu berkaitan dengan pemanfaatan lahan untuk perurnahan mewah atau untuk pengendalian banjir. (2) Hilangnya rawa Rorotan seluas 50 Ha yang diumk oleh Developer untuk dijadikan permukiman. (3) Pembangunan Mega Mall Pluit pada lahan yang berfungsi resapan air di kawasan Tirta Loka.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan antara lain : (I). Mengkaji konflik pemanfaatan lahan antara Squatter dan pemilik lahan berdasar pendekatan lokasi permukiman Squatter; (2).Mengkaji karakteristik dan tipologi konflik pemanfaatan lahan antara Squatter dengan pemilik lahan secara sosial ekonomi; (3).Memformulasikan resolusi konflik pemanfaatan lahan berdasarkan optimasi
lahan. 1.4 Hipotesis Penelitian
Beberapa hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (l).Diduga bahwa konflik pemanfaatan lahan antara Squatter dengan Pemilik Lahan di wilayah pesisir dapat didekati dengan Nash Equilibria. (2). Dengan melakukan optimasi lahan, maka dapat dirurnuskan kebijakan dan program penanganan Squatter. 1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini Qharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah kepada perkembangan ilmu (Science) dan dapat memberikan masukan kebijakan (input policy) kepada perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu khususnya pemanfaatan lahan wilayah pesisir secara umurn dan khususnya wilayah pesisir yang terletak di wilayah perkotaan.