http://www.sinarharapan.co.id/content/read/menuju-negara-hukum/
16.08.2011 09:11
Menuju Negara Hukum Penulis : Tan-Sri Zulfikar* “…Bung Hatta menekankan, bahwa untuk melaksanakan berbagai tugas pembangunan yang berat, diperlukan suatu pemerintahan yang mempunyai kewibawaan… Masalah yang ditimbulkan ialah menjamin agar pemerintah yang berwibawa itu selalu peka terhadap apa yang hidup dalam masyarakat dan agar pemerintah yang berwibawa itu tetap berada di bawah pengawasan masyarakat… Demokrasi Pancasila baru dapat hidup apabila negara Indonesia sudah menjadi negara hukum…Seruan Bung Hatta kepada pemuda-pemuda pelajar adalah mengenai perlunya disiplin, pembinaan watak dan pembinaan rasa pengertian kepada Tanah Air…” (Sinar Harapan, Tajuk Rencana 1 September 1975, merespons Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dari FHUI, 30 Agustus 1975). “…Bung Hatta jelas telah memberikan sumbangan yang berharga dalam pemikiran hukum…Bung Hatta adalah seorang manusia tertib. Tertib dalam hal kerja, tertib dalam soal waktu, dan tertib dalam pergaulan hidupnya, bahkan agak menuju pada sikap asketis… Kalau kita mau melihat keseluruhan pemikirannya di bidang hukum yang senantiasa bersumber pada UUD 1945 dan Pancasila, maka ini akan merangsang orang pula ikut memikirkan Sistem Hukum Pancasila kita...!” (Kompas, Tajuk Rencana, 1 September 1975). Penegakan hukum yang mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila itulah yang saat ini menjadi keprihatinan masyarakat. Penulis bukan akademikus hukum, namun barangkali justru termasuk anggota masyarakat yang dapat merasakan keprihatinan ini. Masyarakat luas mulai meresahkan ketiadaan nilai-nilai Pancasila dalam keindonesiaan saat ini. Di mana Pancasila saat ini? Menjadi slogan pun tidak lagi. Pancasila dibilang tidak lagi menjadi sumber segala hukum dan penegakan hukum. Kata Prof Subroto, pembangunan saat ini tanpa roh. Melorotnya kepekaan hukum dan ketaatan hukum, lemahnya law enforcement (penegakan hukum atau penegakan peraturan), tebang pilih, ketiadaan tak-pandang-bulu, makin tampak sehari-hari tanpa kerikuhan.
Rechtsstaat-nya Hatta (15 Juli 1945) yang seharusnya mentransformasi “the rule of law” menjadi (istilah Jimly Asshiddiqie) “the rule of just law”, tidak terwujud. Berlakulah saat ini pelaksanaan hukum yang tidak adil.
Kasus-kasus hukum Nenek Minah “pencuri” tiga biji cokelat, Basar dan Kholil “pencuri” semangka, begitu pula kasus Prita, mengusik rasa keadilan di tengah-tengah kejahatan hukum luar biasa yang terbentang dari kasus-kasus korupsi BLBI, cek pelawat, dan Gayus sampai Bank Century, Rekening Gendut dan Nazaruddin, yang tak terusik karena tenggelamnya nilai-nilai mulia Pancasila. Mafia-mafia hukum merajalela. Penegak-penegak hukum ibarat pagar makan tanaman. Tercatat 4.000 perda acak-acakan dibatalkan. Pada 30 Agustus 1975 Mohammad Hatta menerima anugerah Doktor Kehormatan (Doctor HC) dalam Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia, judul pidatonya “Menuju Negara Hukum”. Rektor Universitas Indonesia Prof Mahar Mardjono menyatakan suka citanya bahwa Universitas Indonesia berhasil memperoleh kesediaan Bung Hatta menerima kehormatan ini. Upacara akademik itu sekaligus memperingati ulang tahun Bung Hatta 12 Agustus 1975 dan HUT RI ke-30 17 Agustus 1975. Dekan FHUI Padmo Wahjono sebagai promotor menegaskan bahwa pemikiran ilmiah Hatta yang bersangkut paut dengan bidang hukum telah dimulai semenjak 1923 ketika ia menulis di Hindia Poetra “Eenige Aantekeningen Betreffende de Grondhuurordonantie in Indonesië” (catatan mengenai ordonansi sewa tanah), kemudian menjadi dasar pre-advis kepada Panitia Penyelidik Adat Istiadat (1943). Hatta menentang Exorbitante Rechten (kekuasaan hukum eksesif) dari Gubernur Jenderal (1924). Dalam pendidikan doktoralnya (1925) Hatta mengambil “Staatkundig-Economische Richting” meliputi hukum tata negara dan hukum administrasi, ilmu keuangan negara dan hukum internasional. Promotor menegaskan, pembelaan Hatta di Pengadilan Den Haag (1928) berjudul “Indonesië Vrij” (Indonesia Merdeka) adalah pembelaan berprabawa di bidang hukum. Pengertian Rechtstaat (Negara Hukum) merupakan idaman dalam sejarah kenegaraan kita, ini tampak dari karangannya “Dari Politiestaat ke „Rechts‟-staat dan Kembali lagi ke Politiestaat” (1931) sebagai kritik tajam terhadap Regerings Reglement 1854, di mana pemerintah jajahan menamakan dirinya Rechtstaat, namun sebenarnya hanya “Rechts”-staat atau Wettenstaat yang wet (peraturan hukum)-nya tidak dibuat oleh rakyat dan tidak bermanfaat bagi rakyat. Berkaitan dengan ini artikelnya “Tuntut Kemerdekaan Pers” (1931) menyoroti persoalan yang di bidang ilmu hukum sebagai hak asasi warga negara, yang Hatta katakan berupa “Kemerdekaan tiap-tiap orang oentoek bitjara, menoelis, mentjetak dan membentangkan pemikirannja, sedangkan jang ditulisnja tidak goena diperiksa lebih doeloe oleh jang berkoeasa”. Padmo Wahjono lebih lanjut menyampaikan lebih spesifik mengenai perhatian, pemikiran, dan saran-saran Hatta di bidang hukum: tentang kedudukan buruh (1933); perlunya kemakmuran
masyarakat berasas kekeluargaan diatur menurut hukum (1933); perlunya prinsip-prinsip futuralistis (menggapai cita-cita kemerdekaan) dalam penegakan hukum (1933); tentang persetujuan dan perjanjian internasional tidak disahkan melainkan sesudah disetujui dengan undang-undang (1946), dan sebagainya. Promotor menyimpulkan, karya-karya promovendus kaya akan bahan-bahan untuk pengaturan hukum sebagai “geistlichen Hintergrund” (sukma pencerahan dasar). Pidato Hatta dengan lugas menyatakan: “…Usaha merebut kekuasaan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 dengan mengakibatkan rubuhnya kekuasaan Soekarno, mendudukkan Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan itu timbullah kekuasaan militer dalam Republik, dengan tujuan menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintahan baru ini disebut berdasarkan dwifungsi… Saya menganggap keadaan sekarang ini sebagai suatu kenyataan, yang tidak dapat disangkal, sebagai akibat daripada kegagalan kaum sipil dan partai-partai politik untuk bersikap menurut Pancasila, yang ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945… Pancasila dan UUD 1945 menjadi pegangan buat kita semua untuk melaksanakan dalam negara, yang akan membawa keadilan dan kemakmuran, serta keselamatan bagi kita semua, warga negara Indonesia…”. Sebagai penutup pidato, Hatta (yang asketis; berdisiplin baja) menyatakan: “…Berdasarkan Pancasila yang harus dihidupkan senantiasa dalam jiwa dan UUD 1945, angkatan muda sekarang hendaklah berusaha segiat-giatnya, supaya negara hukum yang sempurna tercapai…semakin bertambah keinsyafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan kita pada negara hukum yang sempurna. Kepada pemuda terpelajar, perlu saya tekankan bahwa pembinaan watak dan pembinaan pada rasa cinta Tanah Air adalah kunci dari segala tantangan untuk mewujudkan kebesaran Bangsa. Mudah-mudahan dengan bimbingan Pancasila pemuda terpelajar Indonesia dapat berhasil dalam menegakkan negara hukum…”. Sejarah berulang, menuju negara hukum masih harus kita perjuangkan agar tidak terulang menjadi negara gagal seperti tahun 1965 lantaran diabaikannya Pancasila.
*Penulis adalah dosen di Politeknik Negeri Jakarta.
Guru: Bangun karakter siswa untuk perangi korupsi Selasa, 16 Agustus 2011 23:36 WIB | 766 Views
HARI GURU NASIONAL. Sejumlah guru mengikuti peringatan Hari Guru Nasional ke-64 dengan tema "Memacu Peran Strategis Guru, Dalam Membangun Karakter Bangsa Indonesia yang Bermartabat" di GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ke depannya guru dituntut harus selalu meningkatkan profesionalitas sehingga mampu mewujudkan generasi yang cerdas, berakhlak mulia, serta berkepribadian luhur karena guru memiliki peran yang sangat besar dalam mencerdaskan bangsa. FOTO ANTARA/Noveradika/ss/hp/09 (ANTARA/Noveradika)
Bandarlampung (ANTARA News) - Kepala Sekolah SMU Negeri 2 Bandarlampung Sobirin mengatakan guru di sekolah harus membangun karakter anak didiknya untuk menumbuhkan budaya antikorupsi sejak berusia muda. "Pendidikan karakter itu, seperti tidak mencontek setiap menjalani ujian, harus ditumbuhkan di kalangan siswa," kata dia di Bandarlampung, Selasa. Menurutnya, pendidikan karakter dapat dijadikan tolok ukur, namun tidak dapat dibuktikan dengan nilai. Tetapi akan selalu melekat dalam diri mereka dan menjadi kebiasaan sehari-hari. "Budaya korupsi ada melekat pada diri seseorang karena keadaan lingkungan yang mendukung hal itu terjadi," ujar dia. Ia menyebutkan, bukan mustahil budaya buruk itu akan hilang jika sejak dini generasi penerus dibiasakan untuk hidup disiplin dan jujur, khususnya di lingkungan pendidikan. Dia mengatakan lingkungan SMUN 2 Bandarlampung telah menerapkan kedisiplinan yang berlaku untuk semua individu yang berada di sana. "Budaya disiplin dan jujur berlaku untuk semua individu di lingkungan SMUN 2 agar budaya itu melekat dan menjadi karakter anak didik dan guru," ujarnya. Sobirin berharap pada momen perayaah HUT ke-66 Kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah memberi keteladanan pada seluruh rakyat untuk membudayakan disiplin dan kejujuran. "Misalnya membiasakan berhenti bekerja saat waktu salat tiba. Pekerjaan apapun dihentikan ketika azan berkumandang," katanya. Kepala Sekolah Taman Kanak-Kanak Yabunaya di Teluk Betuk, Wina, mengatakan sekolahnya menjadikan pendidikan kejujuran sebagai pendidikan utama dalam sekolah itu. "Setiap pagi kami selalu bertanya pada anak-anak kebaikan apa yang sudah mereka kerjakan
kemarin," ujarnya. Ia menambahkan, dari hal kecil itu anak didik sudah terbiasa berkata jujur. "Kami tidak memberi hukuman bagi mereka yang tidak mengerjakan kebaikan, tapi kami memberi hadiah bagi mereka yang sudah disiplin dalam sehari-hari," tuturnya. Sementara itu, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP mengatakan korupsi bisa diberantas jika semua aturan berjalan semestinya. "Terapkan aturan dan tingkatkan pengawasan dalam pemberantasan korupsi, khususnya di tingkat pemerintahan," kata dia. (ANT050/H009/K004)