MENUJU KEBIJAKAN HPP JAGUNG MENDUKUNG STABILISASI HARGA : Masih Perlukah ? PENDAHULUAN Dalam perekonomian nasional, jagung ditempatkan sebagai kontributor terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan. Sumbangan jagung terhadap PDB terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2000 kontribusi jagung mencapai Rp 9,4 triliun dan pada tahun 2003 meningkat secara tajam menjadi 18,2 triliun, dan tahun 2005 mencapai Rp 19,48 triliun. Kondisi demikian mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan pertanian serta perekonomian nasional. Permintaan jagung di pasar domestik terus meningkat seiring dengan berkembangnya industri pakan dan pangan. Tercatat total kebutuhan jagung pada tahun 2005 sebesar 4,9 juta ton dan diprediksi mencapai 6,5 juta ton tahun 2010 (Ditjen Tanaman Pangan, 2006). Jagung tidak hanya digunakan untuk bahan pangan, tetapi juga untuk pakan dan produk turunan jagung, seperti produk makanan yang menggunakan bahan baku jagung, daging ayam, dan telur. Dalam beberapa tahun terakhir proporsi penggunaan jagung oleh industri pakan telah mencapai 50% dari total kebutuhan nasional. Dalam 20 tahun ke depan, penggunaan jagung untuk bahan pakan diperkirakan akan terus meningkat bahkan setelah tahun 2020 lebih dari 60% dari total kebutuhan nasional. Meningkatnya permintaan komoditas jagung untuk industri pakan dan pangan, menuntut kontinuitas ketersediaan dan mutu produk yang memadai. Dalam upaya peningkatan produksi, ditempuh melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas, dengan dukungan teknologi varietas hibrida dan komposit yang lebih unggul. Selain itu, pemerintah juga terus mengupayakan pengembangan jagung melalui peningkatan efisiensi produksi, penguatan kelembagaan petani, peningkatan nilai tambah, akses pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur, pengaturan tataniaga, dan insentif usaha. Dukungan kebijakan ini tentunya bermuara pada meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani, serta ketersediaan jagung dalam negeri yang memadai dan berkelanjutan. Sehubungan dengan kondisi tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah apakah masih relevan adanya pemikiran mengenai arah kebijakan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP, Procurement Price Policy) untuk komoditas jagung, yang mengarah pada ekonomi pasar yang berkeadilan ?. KARAKTERISTIK PASAR JAGUNG Karakteristik petani dan pola produksi komoditas jagung merupakan unsur yang sangat berpengaruh terhadap sistem pasar komoditas tersebut. Secara umum, karakteristik pasar jagung dicirikan sebagai berikut :
Produksi jagung bersifat musiman dan rentan terhadap cekaman alam, sehingga penawaran jagung sangat fluktuatif. Usahatani secara intrinsik mengandung resiko produksi (production risk) yang tinggi. Resiko produksi jagung yang tinggi dapat mempengaruhi ketahanan ekonomi keluarga petani, perekonomian desa maupun ketahann pangan nasional.
Dalam pemasaran hasil posisi tawar petani jagung cenderung lemah, dikarenakan : (a) umumnya petani menjual jagung segera setelah panen dalam bentuk tongkol atau pipilan basah bahkan secara tebasan; (b) petani dihadapkan pada kebutuhan uang tunai untuk penggarapan lahan pertanaman berikutnya, karena itu nilai tambah dari pasca panen lebih
banyak dinikmati oleh para pedagang, dan (c) penawaran jagung tidak elastik dan pasar jagung tersegmentasi secara lokal.
Perpaduan antara produksi jagung yang fluktuatif, dan penawaran jagung yang tidak elastik menyebabkan fluktuasi harga jagung di tingkat petani sangat tinggi dan tidak menentu. Ini berarti, disamping resiko produksi, petani jagung juga menghadapi resiko harga (price risk) yang tinggi sehingga secara keseluruhan resiko usahatani jagung sangat tinggi. Fluktuasi produksi dan harga jagung juga merupakan resiko usaha bagi pedagang jagung yang diinternalisasikan kedalam ongkos (marjin) pemasaran yang lebih tinggi. Pada kondisi tertentu, intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga jagung bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi ekonomi agribisnis jagung dan sekaligus meningkatkan produksi jagung dalam negeri guna pemantapan ketahanan pangan dan pemacuan perekonomian desa.
Harga jagung di tingkat konsumen dan di tingkat produsen (petani) bersifat asimetri. Ini berarti, peningkatan harga jagung di tingkat konsumen tidak ditransmisikan secara sempurna ke harga jagung di tingkat petani. Sedangkan penurunan harga jagung di tingkat konsumen ditransmisikan secara sempurna ke harga jagung di tingkat petani. Dengan demikian, fluktuasi harga jagung cenderung merugikan petani dan konsumen.
KONSEPSI KEBIJAKAN HARGA Dalam upaya mewujudkan stabilitas harga pertanian, beberapa instrumen kebijakan harga yang lazim diterapkan di berbagai negara yaitu : (a) kebijakan perdagangan : tarif impor, quota impor dan pajak ekspor; (b) kebijakan nilai tukar; (c) pajak dan subsidi impor/ekspor; dan (d) kebijakan harga dasar dan harga maksimum. Secara konseptual, kebijakan harga dasar dan harga maksimum dapat jelaskan sebagai berikut (Simatupang, et.al.,2007) : Dengan fungsi penawaran jagung yang tidak elastik dalam jangka pendek, maka stabilisasi harga jagung secara sempurna akan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat dibuktikan dengan mudah dengan bantuan Gambar 1. Misalkan harga jagung fluktuatif akibat produksi, sehingga harga tertinggi adalah PT dan harga terendah adalah PR. Apabila pasar jagung dikelola pemerintah, sehingga harga jagung dapat distabilkan pada Pk=(PT+PR)/2, maka petani akan memperoleh tambahan keuntungan sebesar luasan segi empat OPQR dan konsumen akan rugi setara dengan surplus dalam luasan segi tiga PQS. Luas segi empat OPQR adalah dua kali luas segi tiga PQS, sehingga keuntungan netto yang diperoleh dari kebijakan stabilisasi harga jagung adalah sebesar surplus dalam luasan segi tiga PQS. Dengan demikian, kebijakan stabilisasi harga jagung menguntungkan secara sosial.
Price ST
SR
PT
PK
PR
R
O
QT
Q
P
QK
S
QR
Demand
Quantity
Gambar 1. Manfaat Sosial Stabilisasi Harga Sesuai dengan karakteristik pasar jagung, maka salah satu kebijakan yang dipandang sesuai dengan kondisi Indonesia adalah kebijakan rentang harga (price band) yang juga lazim diterapkan oleh beberapa negara berkembang lainnya. Kebijakan rentang harga diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ambang bawah harga untuk melindungi petani dan kebijakan ambang atas harga untuk melindungi konsumen. Dalam prakteknya, stabilisasi harga jagung tidak mungkin dilaksanakan secara sempurna (complete price stabilization) karena melibatkan jutaan petani produsen jagung dan konsumen jagung dengan sebaran geografis yang sangat luas. Upaya untuk melaksakan stabilisasi harga sempurna membutuhkan ongkos yang sangat besar, sehingga tidak rasional dilaksanakan (Knudsen V., and J. Nash, 1990). Stabilisasi harga jagung hendaklah dilakukan secara parsial (partial price band) yang terbatas, namun masih cukup merangsang bagi pedagang atau petani untuk melakukan penyimpanan jagung antar musim. Survey global menunjukkan bahwa kebijakan rentang harga (price band) inilah yang paling banyak diterapkan oleh negara-negara sedang berkembang (Islam, N. and Thomas, 1996). Disamping fluktuasi harga jagung jangka pendek (selama semusim atau setahun), hal kedua yang perlu dikelola pemerintah adalah dampak trend harga jagung jangka panjang di pasar dunia terhadap harga jagung domestik, yang di satu sisi menguntungkan bagi konsumen dan berguna pula menahan laju inflasi. Namun di sisi lain hal ini menyebabkan anjloknya harga jagung di tingkat petani yang berdampak pada anjloknya pendapatan petani jagung dan produksi jagung dalam negeri. Penurunan pendapatan petani dan produksi jagung juga berdampak negatif terhadap perekonomian desa maupun ketahanan pangan nasional. Sedangkan peningkatan harga jagung dunia di satu sisi akan meningkatkan harga jagung di tingkat konsumen, sehingga mengancam ketahanan pangan dan mendorong inflasi, sementara di sisi lain hal itu positif bagi petani karena akan meningkatkan pendapatan petani dan memacu
peningkatan produksi jagung dalam negeri. Peningkatan pendapatan petani dan produksi jagung juga bermanfaat untuk memacu perekonomian desa. Dengan demikian, kebijakan harga jagung disarankan agar mengandung perspektif jangka pendek dan jangka panjang : (1) Jangka pendek : stabiisasi parsial (partia stabilization) dimana pasar jagung dikelola, sehingga fluktuasi harga jagung bulanan/musiman dapat dibatasi pada satu rentang harga (price band) tertentu; (2) Jangka panjang : dimana penyesuaian bertahap (gradual adjusment). Pasar jagung dikelola sehingga perubahan harga jagung tahunan terjadi secara bertahap. Kedua elemen tersebut bersifat hierarkis. Dimensi jangka panjang merupakan agregasi dari dimensi jangka pendek. Dalam operasionalnya, langkah pertama yang perlu ditetapkan adalah target harga tahunan yang merupakan bagian atau titik lintasan dari trend harga jangka panjang. Target harga tahunan inilah yang menentukan target rentang harga (price band) bulanan jangka pendek. Referensi utama dalam menentukan target harga tahunan adalah trend harga jagung dunia. Target harga tahunan inilah yang menjadi dasar perencanaan produksi jagung oleh petani dan konsumsi jagung oleh konsumen. Deviasi target harga tahunan dari prakiraan trend harga dunia ditentukan oleh preferensi kebijakan pemerintah. Jika pemerintah menghendaki adanya dukungan harga (price support) bagi petani, maka target harga tahunan ditetapkan lebih tinggi dari prakiraan trend harga dunia. Sebaliknya, jika pemerintah ingin melindung konsumen maka target harga tahunaan ditetapkan lebih rendah dari prakiraan trend harga dunia. Secara umum, target harga jagung tahunan dapat dituliskan sebagai berikut : PT=(1+S)PI PT=Target harga jagung tahunan PI=Trend harga prioritas impor jagung S=Koefisien proteksi harga jagung nominal Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menetapkan koefisien proteksi harga jagung nominal. Seperti yang telah disebutkan, proteksi nominal merupakan preferensi pembuat kebijakan (pemerintah). Sebagai bahan pertimbangan, kiranya lebih bijaksana apabila proteksi nominal ditetapkan berdasarkan kecenderungan trend harga jagung dunia. Apabila harga jagung dunia cenderung menurun, maka disarankan pemerintah memberikan pelindungan kepada petani guna memperlambat dampak negatifnya terhadap penurunan pendapatan petani dan produksi jagung nasional. Sebaliknya, apabila harga jagung dunia meningkat tajam maka perlindungan diberikan kepada konsumen jagung guna memperlambat dampaknya terhadap ketahanan pangan rumah tangga dan inflasi dalam negeri. Dalam tatanan perdagangan bebas, penurunan harga jagung akan menyebabkan anjloknya harga jagung petani sehingga merupakan ancaman serius terhadap eksistensi usahatani jagung domestik. Dalam kondisi demikian, pilihan kebijakan harga yang tepat adalah memberikan perlindungan bagi petani jagung. Prioritas tujuan kebijakan ini adalah menjaga eksistensi usahatani jagung dengan menjamin profitabilitas minimum 30% dari total biaya produksi. Patokan profitabilitas 30% merupakan acuan umum yang digunakan dalam analisis usahatani. Berdasarkan acuan ini maka target tahunan yang juga ambang bawah (lower banduntuk melindungi petani) sebagai acuan adalah harga jagung minimal, sekaligus sebagai patokan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung adalah : HPP Jagung = 1.30* TC HPP Jagung = ambang bawah rentang harga jagung di tingkat petani (Rp/kg) TC = biaya rata-rata produksi jagung (Rp/kg)
Langkah selanjutnya adalah menentukan ambang atas (upper band) rentang harga jagung untuk perlindungan terhadap konsumen dengan memperhitungkan biaya pengolahan , pemasaran dan lainnya. REVIEW KEBIJAKAN HARGA DASAR JAGUNG Pemerintah telah mengimpementasikan kebijakan Harga Dasar Jagung (HDJ) sejak tahun 1977/78. Kebijakan HDJ tersebut didukung oleh perangkat kebijakan, institusi dan pembiayaan yang memadai yang diimplementasikan terutama diperankan oleh Bulog. Sejak kebijakan HDJ ditetapkan, secara konsisten dan berkala pemerintah menaikkan HDJ tersebut untuk mengimbangi kenaikan harga input dan inflasi. Upaya menstabilkan harga jagung di dalam negeri, mulai tahun 1977/78 pemerintah memberi mandat kepada Bulog melakukan pengadaan jagung yang bersumber dari petani dan impor. Pengadaan jagung tersebut kemudian disalurkan ke pasar dalam negeri dan ekspor. Sebelum tahun 1988, perdagangan antar propinsi dan antar pulau sepenuhnya dikendalikan oleh Bulog dengan tujuan untuk menciptakan keseimbangan permintaan dan pasokan. Esensi dari penerapan kebijakan HDJ yang dimulai tahun 1977/78 tersebut adalah untuk memberikan insentif bagi para petani jagung dengan cara memberikan jaminan harga di atas harga keseimbangan (price market clearing), terutama pada saat panen raya. Melalui kebijakan HDJ ini pemerintah mengharapkan : (a) produksi jagung dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri; (b) stabilitas harga jagung; dan (c) pendapatan petani dan usahatani jagung meningkat. Harga dasar jagung pada tahun 1977/78 ditetapkan Rp 40 per kg, dan kemudian menjadi Rp 105 per kg selama kurun waktu 1981/82 – 1983/84, dan Rp 110 per kg untuk tiga tahun berikutnya (1984/85 -1987). Selanjutnya, untuk tahun 1988, 1989 dan 1990 harga dasar jagung terus mengalami perkembangan masing-masing tercatat Rp 125/kg, Rp 140/kg, dan Rp 155/kg. Nisbah antara harga dasar jagung terhadap harga dasar gabah kering giling (GKG) semula meningkat dari 0,56 menjadi 0,91 dalam periode 1977/78 -1980/81, namun kemudian menurun menjadi 0,57 pada tahun 1990. Sejalan dengan perkembangannya, kebijakan harga dasar jagung dinilai tidak efektif dan kemudian dihentikan pada tahun 1990, karena harga pasar di tingkat petani senantiasa berada di atas harga dasar. Tataniaga jagung dibebaskan kepada pedagang swasta sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar. Sejak saat itu Bulog tidak lagi melakukan intervensi dalam pemasaran jagung dengan pertimbangan : (1) intervensi Bulog semacam itu memerlukan biaya besar; (2) kompetisi antar sesama pedagang akan meciptakan keuntungan bagi petani; (3) permintaan yang tinggi sepanjang tahun. Kebijakan lain untuk komoditas jagung adalah pengenaan tarif impor dengan tujuan melindungi petani jagung dalam negeri. Selama tahun 1974-1979, tariff impor jagung adalah 5% kemudian menjadi 10% selama tahun 19801993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi 5% pada tahun 1994, dan sejak tahun 1995 ditiadakan (Badan Litbang Pertanian, 2005b). KERAGAAN PRODUKSI, EKSPOR DAN IMPOR JAGUNG Perkembangan Produksi Jagung Selama kurun waktu 2000-2009, pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas jagung secara nasional menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 2,34 %/tahun, 7,03 %/tahun dan 4,52 %/tahun. Dengan demikian laju peningkatan produksi jagung nasional lebih dominan terpacu karena peningkatan teknologi (produktivitas) dalam budidaya jagung nasional. Pada tahun 2009, luas panen jagung nasional mencapai 4,16 juta hektar dengan tingkat produksi dan produktivitasnya mencapai 17,59 juta ton dan 4,32 ton/ha. Peluang terbesar
pencapaian sasaran tersebut yakni melalui peningkatan produktivitas, sehingga diperlukan penggunaan benih unggul bermutu terutama benih hibrida serta pemanfaatan pupuk berimbang dan organik. Penggunaan benih jagung hibrida pada 2009 meningkat hingga 10 persen untuk menaikkan produksi jagung nasional (Antara News: Ekonomi dan Bisnis , 2008). Sentra produksi jagung di Indonesia yaitu terdapat di propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Utara dan NTT (Badan Litbang Pertanian, 2005). Dalam perkembangannya, propinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo termasuk 10 sentra produksi jagung terbesar (Tabel 1). Dengan demikian, di Pulau Jawa, terdapat 3 propinsi yang paling dominan produksinya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Luar Jawa, sentra produksi tersebar mulai dari propinsi di Pulau Sumatera (Lampung, Sumut, dan Sumbar), di Pulau Sulawesi (Sulsel, Gorontalo dan Sulut), dan Nusa Tenggara Timur. Ekspor dan Impor Jagung Dalam periode 2000-2008 peningkatan produksi jagung cukup signifikan yaitu 6,30 %/tahun (Tabel 2). Keberhasilan peningkatan produksi tentunya mendukung pemenuhan kebutuhan domestik. Seiring dengan itu, impor jagung menurun (-8,63 %/tahun), sementara ekspor jagung nasional cenderung meningkat (10,88 %/tahun). Pada tahun 2008, produksi jagung nasional mencapai 16,32 juta ton, sedangkan impor menurun drastis menjadi 170 ribu ton dan bahkan Indonesia telah mengekspor jagung hingga mencapai 100 ribu ton. Penawaran jagung merupakan penjumlahan antara produksi domestik dan net impor. Penawaran jagung nasional selama periode 2000-2008 meningkat sebesar 5,11 %/tahun yaitu dari 10,94 juta ton (2000) menjadi 16,39 juta ton (2008). Peningkatan penawaran domestik merupakan konsekuensi logis karena produksi jagung nasional yang kian meningkat pesat. Dengan makin meningkatnya penawaran jagung nasional terutama karena dominannya peningkatan produksi domestik diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan akan jagung yang makin meningkat baik untuk bahan pangan, bahan baku industri maupun bahan baku pakan (Sudaryanto, et al.,2010). Perkembangan Harga Jagung Secara nasional disparitas harga jagung pipilan cukup tinggi antar wilayah di Indonesia. Harga jagung terendah Rp 1575/Kg di Bandung, dan tertinggi Rp 3618/Kg di Surabaya (Tabel 3). Tinggi-rendahnya harga jagung tersebut tampaknya tidak terkait dengan wilayah sentra produksi, namun lebih dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya permintaan/konsumsi akan jagung. Komoditas jagung dapat dipasarkan dari daerah sentra yang sedang panen ke daerah yang belum panen.. Hal ini disebabkan karena pola tanam yang berlainan. karena pengaruh musim dan ketersediaan air dalam penanamannya. Demikian pula pergerakan harga jagung antar bulan cukup berfluktuasi. Fluktuasi harga jagung lazim terjadi terutama disaat musim panen dimana harganya cenderung rendah, dan sebaliknya pada saat musim paceklik. Profitabilitas dan Efisiensi Usahatani Jagung Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan produksi jagung karena memiliki sumberdaya alam dan lingkungan agroekologi yang mendukung. Selain itu, Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas jagung, baik sebagai substitusi impor maupun untuk promosi ekspor. Namun keunggulan kompetitif ini sangat sensitif terhadap perubahan nilai tukar dan produktivitas. Oleh karena itu diperlukan terobosan kebijakan untuk merealisasikan peluang ini. Keununggulan komparatif ini perlu terus dipertahankan malalui peningkatan efisiensi sistem komoditas jagung dengan mengembangkan sarana dan prasarana usahatani dan ekonomi serta teknologi.
Berdasarkan struktur ongkos usahatani jagung tahun 2009 (BPS, 2009), diperoleh informasi : (1) total biaya rata-rata usahatani jagung mencapai Rp 7,561 juta/ha, (2) rataan produktivitas 4,23 ton/ha dan harga Rp 3000/kg, maka penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 12,69 juta/ha, serta keuntungan sebesar Rp 5,13 juta (R/C 1,68), dan (3) harga tingkat impas (BEP) yaitu Rp 1787/Kg (Tabel 4). Dengan keuntungan usahatani jagung saat ini yang mencapai 68 persen, maka keuntungan petani jagung telah melebihi batas keuntungan normal usahatani yaitu 30 persen. Namun demikian, mengingat lahan garapan petani relatif sempit (<0,5 ha), maka keuntungannya juga relatif kecil dan sistem usahataninya cenderung kurang optimal. Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa usahatani jagung domestik memiliki daya saing yang cukup tinggi dan berkelanjutan. Secara finansial maupun secara sosial, usahatani jagung tetap menguntungkan pada kisaran realistik penurunan produktivitas, harga dunia dan kurs dollar AS. Usahatani jagung memiliki keunggulan komparatif yang merupakan potensi unggulan kompetitif. Kendatipun demikian, pengembangan jagung nasional masih dihadapkan dengan beberapa permasalahan antara lain : fluktuasi produksi dan harga musiman/bulanan, kapasitas sumberdaya lahan, kelembagaan, permodalan, efisiensi usaha, mutu hasil, pengumpulan, pergudangan, pengolahan dan pemasaran hasil. Oleh karena itu, untuk mendukung efisiensi usaha dan daya saing berkelanjutan, pemerintah terus berupaya melakukan pengembangan, diantaranya fasilitas pengolahan dan pemasaran jagung yang diarahkan untuk mewujudkan tumbuhnya usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan harga yang layak di tingkat petani, sehingga petani dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahterannya. PENUTUP Secara teknis, upaya untuk peningkatan produksi jagung dan pendapatan petani dapat dilakukan melalui efisiensi usahatani dengan mengarahkan pada penekanan biaya produksi atau peningkatan produktivitas. Beberapa upaya yang dapat ditempuh antara lain : (a) Menerapkan teknologi tepat guna dan teknologi terobosan, (b) Pendampingan kepada petani yang ketat oleh aparat pertanian (penyuluh pertanian dan peneliti), (c) Pengaturan dalam pengadaan dan distribusi sarana produksi (pupuk, benih, dan air) yang efisien sehingga tersedia pada tingkat petani pada saat dibutuhkan sesuai rekomendasi teknologi, dan (d) Pengaturan dan pengembangan hubungan kelembagaan petani dan kemitraan usaha dalam rangka menjamin kepastian harga dan pasar produk yang dihasilkan petani Dengan tingkat harga saat ini, usahatani jagung masih memperoleh pendapatan yang layak. Peningkatan pendapatan petani dapat pula dilakukan melalui kebijakan yang berdampak pada penurunan biaya produksi (subsidi pupuk, benih, kredit); dan (b) meningkatkan fasilitasi non-harga (irigasi, infrastruktur lainnya, bantuan alat pasca panen, dll). Dalam jangka panjang harga jagung domestik perlu disesuaikan secara gradual dengan harga jagung dunia agar tidak menimbulkan disparitas yang tajam. Penerapan rentang harga maupun kebijakan pendukungnya (tariff,dll) haruslah selalu dikaji ulang dan disesuaikan dengan perkembangan pasar internasional, nilai tukar, ongkos pemasaran dan biaya pokok produksi jagung.
Tabel. 1. Sebaran Produksi Di Sentra Dominan Jagung di Indonesia, 2000-2009.
2005 4398502 2191258 1439000 705995
2007 4252182 2233992 1346821 969955
2008 5053107 2679914 1809886 1195691
2009 5266720 3057845 2067710 1371014
Rataan 20052009 4596339 2403806 1569480 987748
666764 735456 Jabar 412020 587186 Gorontalo 0 400046 NTT 527230 552440 Sulut 224599 195305 Sumbar 56386 157147 Tot.Prop 832386 1161559 Indonesia 9676899 12523894 Sumber: BPS, 2010 (Data diolah).
80485 577513 572785 51436 406759 223233 2572366 13287527
1098969 639822 753598 673112 466041 351843 1595269 16317252
1166548 784613 569110 638840 450989 404795 1814125 17592309
752696 632479 542352 499758 352362 267863 1785830 14266089
Produksi (Ton) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Propinsi Jatim Jateng Lampung Sulsel Sumut
2000 3487735 1713805 1122954 633020
Pertumb (%/thn) 4.22 7.01 7.07 9.85 4.23 7.08 23.25 -0.99 14.35 22.71 11.64 7.03
Tabel 2. Perkembangan Impor, Ekspor dan Penawaran Jagung di Indonesia, 2000-2008. Tahun
Produksi (Ton) 9,676,899 9,347,192 9,654,105 10,886,442 11,225,243 12,523,894 11,609,463 13,287,527 16,317,252
Impor (Ton) 1286466 1083702 1205086 1370857 1111638 226040 1830718 794655 170000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Trend (%/thn) 6.30 -8.63 Sumber : BPS dan FAO (2009). Keterangan : Penawaran= Produksi + net impor.
Stok (Ton) 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Ekspor (Ton) 28234 90823 16617 34318 52287 59732 28930 102636 100000
Penawaran (Ton) 10,935,232 10,340,079 10,773,745 12,214,744 12,292,826 12,690,199 13,411,248 13,979,548 16,387,252
-
10.88
5.11
Tabel 3. Perkembangan Harga Jagung Pipilan di Beberapa Kota di Indonesia, 2009 (Rp/Kg). Kota
Bulan
Jan Feb Mar Apr Jakarta 2092 2156 2342 2582 Bandung 1400 1400 1889 1700 Surabaya 3000 3000 3000 3167 P.Baru 3000 3000 3000 2940 Padang 3775 2850 2742 2740 Palembang 4167 3100 1850 2360 Aceh 3500 3500 3500 3500 Medan 2915 3000 2988 2695 Samarinda 3415 3470 3255 3410 Makassar 1317 1604 1633 1693 Semarang 3042 3021 2938 3447 Rata-Rata 3126 2949 2767 2884 Sumber: Ditjen P2HP Deptan, (2009).
Mei Jun 2271 2108 1500 1500 3500 3500 2922 2991 2800 2738 3688 3950 3475 3500 2916 3000 3010 3229 1713 1933 3371 3313 3044 3128
RataJul Agust Sept Okt Nov Des Rata 2237 2346 2400 2200 1966 1875 2215 1500 1500 1500 1500 1728 1778 1575 4000 4000 4000 4000 4000 4250 3618 2987 2975 2907 2900 2900 2880 2950 2800 2833 2800 2783 2768 2700 2861 3350 2686 3751 3751 2523 2354 3127 2900 3222 3250 3125 3250 3980 3392 2993 2800 2781 2779 2809 2760 2870 3400 3000 3000 3157 3125 3067 3212 1920 1900 2075 2075 1856 1944 1805 2975 3400 3120 3120 2925 3350 3168 3036 2980 3076 3077 2906 3032 3000
Tabel 4.. Struktur Ongkos Usahatani Jagung di Indonesia, 2009. No. A. Biaya
Uraian 1. Bibit/Benih 2. Pupuk 3. Pestisida 4. Pekerja 5. Sewa Lahan 6. Sewa/Pemeliharaan Alat 7. Bunga Kredit 8. Jasa Pertanian 9. Lainnya (PBB, dsb) Total
B. Penerimaan
1. Produksi (Kg) 2. Harga (Rp/Kg) 3. Penerimaan (000 Rp)
C. Keuntungan (000 Rp) D. Harga Saat Break Even (Rp/Kg) E. Harga saat Keuntungan Meningkat 20%
Nilai (000 Rp/Ha) 511.31 684.72 56.38 5496.79 349.95 67.43 47.97 269.32 77.6 7561.47 4232 3000 12696 5134.53 1787
3243 (8.09%) F. Harga saat Keuntungan Meningkat 30% 3364 (12.13%) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung di Indonesia 2009. www.bps.go.id