Sekretariat Negara Republik Indonesia
Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014
Akhir-akhir ini di berbagai media ramai dibicarakan bahwa “Indonesia sedang mengalami krisis energi― atau “Indonesia sedang mengalami kelangkaan energi―. Fakta di lapangan memang menunjukkan terjadinya kelangkaan BBM bersubsidi maupun LPG bersubsidi bahkandi beberapa SPBU di luar Jawa sering ditemukan SPBU tutup dengan alasan BBM habis, namun dipinggir jalan banyak yang berjualan BBM dengan harga jauh diatas harga subsidi.
Teori penawaran dan permintaan menjelaskan bahwa jika suatu komoditi dijual dengan harga subsidi (dibawah harga pasar atau dibawah harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan atau dibawah harga keekonomian), maka akan mengakibatkan terjadinya peningkatan permintaan dan kelangkaan pasokan. Intensitas kelangkaan pasokan dan peningkatan permintaan akan semakin tinggi jika komoditi tersebut dijual jauh dibawah harga pasar. Atas dasar itu maka perbedaan harga yang cukup tinggi antara harga BBM bersubsidi maupun LPG bersubsidi dengan harga pasar merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan dan kelangkaan pasokan BBM dan LPG bersubsidi.
Sebagai ilustrasi, pada nilai tukar Rp 12.000/USD dan harga minyak mentah Indonesia 105 USD/barrel maka harga pasar BBM sekitar Rp 11.000/liter dan harga pasar LPG sekitar Rp 13.000/kg. Harga pasar ini jauh diatas harga BBM bersubsidi sebesar Rp 6.500/liter dan harga LPG bersubsidi sebesar Rp 5.850/kg. Dengan perbedaan antara harga pasar dan harga bersubsidi BBM dan LPG yang cukup besar, maka kelangkaan pasokan dan peningkatan permintaan BBM dan LPG bersubsidi pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi.
Disamping faktor alamiah yang tercermin pada dinamika keseimbangan penawaran dan permintaan, kelangkaan BBM bersubsidi juga terjadi akibat meningkatnya permintaan BBM sejalan dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor sedangkan kuota BBM yang ditetapkan didalam APBN terbatas. Lebih lanjut kelangkaan juga semakin intens karena terjadinya transaksi ilegal atau penyalahgunaan BBM bersubsidi serta adanya pemindahan ilegal gas LPG dari tabung 3 Kg ke tabung 12 kg akibat perbedaan harga yang cukup tinggi.
Sementara di sisi lain fakta juga menunjukkan bahwa Indonesia mengekspor energi dalam bentuk gas alam cair dalam jumlah yang cukup besar ke Jepang dan Korea Selatan serta ke Republik Rakyat Tiongkok dan juga mengekspor batubara yang cukup besar ke beberapa negara Industri di Asia Timur dan India.
Ekspor/impor energi sebetulnya merupakan suatu hal yang lumrah didalam perdagangan internasional. Devisa yang diperoleh dari ekspor energi tentunya bisa digunakan untuk membiayai impor energi. Permasalahannya Indonesia mengekspor gas alam cair dan batubara dengan harga setara per unit energinya relatif lebih murah dibandingkan harga minyak/BBM. Kemudian devisa yang diperoleh dari mengekspor gas alam cair dan http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
batubara tersebut digunakan untuk mengimpor minyak dan BBM yang harga setara per unit energinya jauh lebih mahal. Selanjutnya minyak/BBM yang sebagian diimpor dengan harga yang mahal tersebut dijual dengan harga bersubsidi terutama untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor transportasi dan pembangkit listrik serta rumah tangga.
Di sisi lain pembangkit listrik masih banyak menggunakan BBM sebagai energi primer dan bahkan pembangkit listrik yang dirancang menggunakan gas kadangkala ketika pasokan gas terkendala masih menggunakan BBM sebagai energi primer serta ada pembangkit listrik tenaga gas yang sama sekali belum pernah atau jarang menggunakan gas sebagai energi primernya.
Memang terdapat beberapa alasan mengapa gas alam cair sebagian besar diekspor. Alasan tersebut antara lain ketika lapangan gas dikembangkan belum ada pembeli domestik yang mampu mengikat kontrak pembelian gas dengan harga komersial dalam jangka panjang dan belum tersedianya infrastruktur berupa terminal penerima gas dan jaringan perpipaan. Alasan ini tidaklah sepenuhnya sahih karena fakta menunjukkan tidak semua gas alam cair diekspor dengan harga komersial dan bahkan ada gas alam cair yang diekspor dengan harga sangat murah yang tentunya kalau dijual ke pasar dalam negeri banyak yang mampu membeli gas tersebut.
Pembangunan pembangkit listrik menggunakan batubara yang cukup murah biaya pembangkitannya yang diharapkan dapat menurunkan biaya energi dalam kenyataannya tersendat-sendat sehingga untuk memenuhi permintaan tenaga listrik yang terus meningkat dilakukan dengan menyediakan mesin pembangkit berbahan bakar BBM.
Dampak terhadap perekonomian
Penjualan BBM bersubsidi dengan harga yang sangat murah telah mengakibatkan terjadinya pertumbuhan permintaan konsumsi energi yang tinggi yang melampaui tingkat pertumbuhan produktivitas ekonomi. Rasio antara tingkat petumbuhan permintaan energi terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi disebut sebagai elastisitas energi. Semakin rendah elastisitas energi berarti semakin efisien pemakaian energi. Berdasarkan keterangan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagaimana dimuat di Majalah Geo Energi edisi 36, Tahun III, Oktober 2013, elastisitas energi di Indonesia saat ini masih 1,63 lebih tinggi bila http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
dibandingkan Thailand dan Singapura yang masing-masing mencapai 1,4 dan 1,1. Bahkan indeks elastisitas energi di Negara maju antara 0,1 hingga 0,6. Artinya untuk pertumbuhan ekonomi 1% di Indonesia diperlukan pertumbuhan penyediaan energi sebesar 1,63%.
Tingkat efisiensi pemakaian energi juga bisa dihitung menggunakan intensitas energi yaitu perbandingan antara jumlah konsumsi energi yang diperlukan untuk menghasilkan satu satuan pendapatan domestik bruto (PDB). Tabel berikut menyajikan intensitas energi berbagai negara dalam 5 tahun terakhir sebagai bahan perbandingan.
NEGARA
Intensitas energi (kilo oil equivalent/USD 1 GDP (nilai konstan 2005))
2009
2010
2011
2012
2013
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Rata-Rata
Amerika Serikat
0,166
0,168
0,164
0,155
0,156
0,162
Jepang
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
0,107
0,109
0,104
0,102
0,099
0,104
Jerman
0,108
0,109
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
0,101
0,103
0,105
0,105
Korea Selatan
0,230
0,232
0,235
0,232
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
0,226
0,231
Indonesia
0,379
0,397
0,397
0,377
0,373
0,385
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Malaysia
0,430
0,434
0,408
0,404
0,390
0,413
Filipina
0,228 http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
0,214
0,215
0,210
0,204
0,214
    Sumber: Diolah dari BP Statistical Review of World Energy 2014 &The World Bank GDP (constant 2005 US$)
Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata dalam 5 tahun terakhir untuk menghasilkan PDB senilai US$ 1 (nilai konstan http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
2005) di Indonesia diperlukan energi 0,385 kilo oil equivalent (koe) , di Amerika Serikat 0,162 koe, di Jepang 0,104 koe, di Jerman 0,105 koe, di Korea Selatan 0,231 koe, di Malaysia 0,413 koe dan di Filipina 0,214 koe. Artinya untuk menghasilkan unit PDB yang sama di Indonesia memerlukan energi 2,38 kali Amerika Serikat, 3,70 kali Jepang, 3,67 kali Jerman, 1,67 kali Korea Selatan, 0,93 kali Malaysia dan 1,80 kali Filipina.
Efisiensi pemakaian energi di Filipina kurang lebih menyamai Korea Selatan. Hal ini terjadi karena di kedua negara tersebut BBM, listrik dan LPG tidak disubsidi. Sedangkan efisiensi pemakaian energi di Indonesia dan Malaysia relatif boros karena dikedua negara ini harga BBM dan LPG mendapatkan subsidi yang cukup besar.
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa energi yang antara lain sebagian diimpor oleh Jepang dari Indonesia selain harganya lebih murah dibandingkan harga setara minyak/BBMternyata sangat produktif sekali pemakaiannya yaitu mampu menghasilkan PDB 3,70 kali lebih besar dari Indonesia. Korea Selatan yang juga sebagian energinya diimpor dari Indonesia dengan jumlah energi yang sama mampu menghasilkan PDB 1,67 kali lebih besar dari Indonesia.
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa penggunaan energi di Indonesia selain boros juga tidak produktif karena banyak energi dihamburkan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif terutama di sektor transportasi.
Akibat ketidakefisienan pemakaian energi tersebut maka permintaan energi terus meningkat lebih tinggi dari peningkatan produktivitas. Peningkatan permintaan minyak/BBM selanjutnya mengakibatkan peningkatan impor minyak/BBM yang cukup tinggi karena Indonesia sudah lama menjadi net importer minyak/BBM sehingga berkontribusi terhadap defisit neraca perdagangan maupun terhadap defisit neraca pembayaran. Karena BBM dijual dengan harga subsidi yang semakin lama semakin besar jumlahnya maka beban anggaran subsidi juga semakin meningkat yang akhirnya bermuara pada defisit anggaran yang semakin tinggi. Kedua defisit ini yaitu defisit neraca pembayaran dan defisit fiskal sering disebut sebagai double deficit atau twin deficit.
Defisit anggaran yang semakin tinggi ditutupi dengan utang dalam bentuk obligasi yang juga terus meningkat jumlahnya. Peningkatan utang untuk menutup defisit anggaran dalam kondisi double dificitpada akhirnyaberujung pada tingginya sukubunga. Selanjutnya peningkatan impor minyak/BBM yang tinggi dalam kondisi double deficit mengakibatkan terus tertekannya nilai tukar rupiah yang saat ini sudah berada pada kisaran Rp 12.000/USD.
Dampak lain dari subsidi BBM atau murahnya harga BBM adalah munculnya disinsentif terhadap pengembangan atau pemakaian energi alternatif seperti LPG dan gas alam untuk transportasi. Kebijakan subsidi BBM/LPG juga merupakan barrier to entry bagi peritel BBM/LPG sehingga hanya ada satu peritel yang mendominasi pasar BBM/LPG. Bandingkan dengan kondisi di Korea Selatan dan Filipina yang memiliki belasan peritel BBM/LPG sehingga menimbulkan kompetisi yang sehat dengan harga BBM/LPG yang bersaing.Lahirnya pasar BBM/LPG yang sehat atau http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46
Sekretariat Negara Republik Indonesia
kompetitif akan meningkatkan bauran energi sehingga meningkatkan ketahanan energi nasional.
Subsidi energi terutama subsidi BBM dalam kenyataannya ikut berkontribusi terhadap semakin melebarnya kesenjangan karena sekitar 70% pengguna BBM adalah golongan mampu. Masyarakat miskin bahkan sama sekali tidak menggunakan BBM karena tidak memiliki kendaraan bermotor dan masyarakat miskin di perdesaan masih menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak.
Jalan keluar dari kompleksitas dan ketidakefisienan serta ketidakadilan ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan subsidi energi terutama subsidi BBM tiada lain adalah menghapuskan subsidi energi. Penghapusan subsidi energi tentunya dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan dampak inflasi yang memberatkan serta pelaksanaannya diiringi dengan penyediaan bahan bakar alternatif yang harganya lebih murah seperti LPG dan gas alam termasuk penyediaan infrastruktur pendistribusiannya.
Selanjutnya subsidi energi dialihkan menjadi subsidi langsung dalam bentuk cash transfer atau bentuk bantuan lainnya bagi masyarakat miskin. Subsidi langsung ini dalam kenyataannya mampu mengatasi kesenjangan sebagaimana telah dibuktikan di Brazil yang mampu menurunkan gini ratio sebesar 0,1. Â
oleh:
Chairil Abdini Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Kementerian Sekretariat Negara
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:46