Menuju Industri Tebu Bebas Limbah
Ening Ariningsih
409
MENUJU INDUSTRI TEBU BEBAS LIMBAH Toward Zero Waste Sugarcane Industry Ening Ariningsih Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani 70, Bogor 16161 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT In sugarcane industry, in addition to sugar produced as main product, there are also produced by-products such as molasses and bagasse as well as other waste in the form of dried sugarcane leaves, shoots of sugarcane, sogolan, filter cake, ash, and wastewater that have not been used optimally. This paper aimed to examine various alternative uses for by-products and waste from sugarcane industry toward zero waste sugarcane industry. This study is a literature review of various studies that have been published in various publications, supported by relevant statistical data. The results showed that the by-products and waste from the sugarcane industry have great potentials to be used as a wide range of high value products, so that the application of an integrated sugarcane industry has a major positive impact not only on the environment, but also on national economy, job creation, and supports food security and energy. However, this requires commitment of all parties, including the seriousness of the government support. Keywords: sugarcane industry, zero waste, bioenergy, feed
ABSTRAK Dalam industri tebu, selain dihasilkan gula sebagai produk utama, juga dihasilkan produk samping berupa tetes tebu (molase) dan ampas tebu (bagase) serta limbah buangan berupa daun tebu kering, pucuk tebu, sogolan, blotong, abu, dan limbah cair yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji berbagai alternatif pemanfaatan produk samping maupun limbah buangan dari industri tebu menuju industri tebu bebas limbah dan ramah lingkungan. Studi ini merupakan literature review dari berbagai hasil studi yang telah diterbitkan pada berbagai publikasi, dengan didukung oleh data statistik yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa produk samping dan limbah buangan dari industri tebu mempunyai potensi pemanfaatan yang besar untuk dijadikan berbagai produk yang bernilai tinggi, sehingga penerapan industri tebu terpadu mempunyai dampak positif yang besar bukan saja terhadap lingkungan, namun juga terhadap perekonomian nasional, penciptaan kesempatan kerja, dan mendukung ketahanan pangan dan energi. Untuk itu, diperlukan komitmen semua pihak, termasuk juga keseriusan dukungan pemerintah. Kata kunci: industri tebu, bebas limbah, bioenergi, pakan ternak
PENDAHULUAN
Tebu (Saccharum oficinarum L.) merupakan salah satu komoditas strategis terkait dengan upaya swasembada gula yang ditargetkan pemerintah untuk dicapai pada tahun 2014. Di Indonesia, pada tahun 2013 perkebunan tebu menempati areal seluas 466 ribu hektar, di mana sekitar 64,74% di antaranya terdapat di Pulau Jawa. Sekitar 60,16% dari luas perkebunan tersebut merupakan perkebunan rakyat, sementara sisanya merupakan perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara, masing-masing dengan 23,11% dan 16,73%. Total produksi gula (dalam bentuk hablur) nasional pada tahun 2013 mencapai 2,55 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Produk utama yang dihasilkan dari tebu adalah gula. Hampir seluruh tebu dari perkebunan tersebut diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula, baik milik swasta maupun milik negara, dan hanya
410
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
sebagian sangat kecil tebu perkebunan rakyat yang diolah menjadi gula merah ataupun dijual dalam bentuk nira segar. Dalam proses produksi di pabrik gula, selain gula yang menjadi produk utama, juga dihasilkan produk samping maupun limbah buangan. Selama ini, hanya produk utama berupa gula yang diperhatikan, sementara produk samping ataupun limbah buangan tidak begitu diperhatikan, kecuali tetes tebu (molasses) yang sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan etanol dan bahan pembuatan monosodium glutamate (MSG, salah satu bahan untuk membuat bumbu masak), atau ampas tebu (bagasse) yang dimanfaatkan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula. Namun, penggunaannya masih terbatas dan nilai ekonomi yang diperoleh juga belum tinggi. Sementara, limbah buangan lainnya terbuang percuma, bahkan menimbulkan pencemaran lingkungan, sehingga menambah pengeluaran pabrik gula (Misran, 2005). Sementara itu, dari budi daya tanaman tebu sendiri dihasilkan pula limbah buangan, sejak masa tanam hingga penebangan/pemanenan. Daun klethekan atau daun tebu kering (daduk), pucuk tebu, hingga sogolan (pangkal tebu) menimbulkan masalah tersendiri untuk membuangnya, padahal semuanya bisa dimanfaatkan dan juga mempunyai nilai ekonomis (Kompas, 12 Juli 2000). Menurut Kurniawan dan Santoso (2009), tebu merupakan alternatif sumber energi yang potensial karena tebu menghasilkan biomassa berupa ampas tebu (bagase) dan daun tebu kering (daduk). Tebu juga tergolong tanaman yang paling efektif dalam mengubah energi matahari menjadi energi kimia dalam bentuk biomassa. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji berbagai alternatif pemanfaatan produk samping maupun limbah buangan dari industri tebu. Dengan demikian, diharapkan konsep bebas limbah (zero waste) dan ramah lingkungan pada industri tebu bisa diwujudkan. Penerapan bebas limbah penting untuk dilakukan agar dampak negatif limbah dapat diminimalkan dan dampak yang menguntungkan dapat dimaksimalkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara sistem produksi dengan lingkungan hidup (Astuti, 2013), di antaranya adalah dengan memanfaatkan limbah untuk dapat digunakan bagi keperluan industri tebu itu sendiri atau dimanfaatkan sebagai bahan baku/bahan pembantu industri lainnya.
METODE PENELITIAN
Studi ini merupakan literature review dari berbagai hasil studi yang telah diterbitkan pada berbagai publikasi, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan didukung oleh data statistik yang relevan. Ruang lingkup analisis mencakup potensi produk samping dan limbah buangan dari industri tebu dan potensi pemanfaatannya baik bagi keperluan industri tebu sendiri maupun dimanfaatkan sebagai bahan baku/bahan pembantu industri lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemanfaatan Limbah Budi Daya Tebu Dari proses budi daya hingga pemanenan tebu dihasilkan limbah berupa daun klethekan dan daun tebu kering (daduk), pucuk tebu, dan sogolan (pangkal tebu). Jumlah limbah pucuk tebu mencapai 15% dari total tanaman, sementara jumlah limbah berupa sogolan mencapai 2% (Kompas, 12 Juli 2000). Pucuk tebu, daun klethekan maupun sogolan bisa diolah menjadi pakan ternak (sapi), sementara daduk dapat diolah menjadi substitusi bahan bakar minyak. Pucuk batang tebu dapat digunakan sebagai pengganti rumput gajah sebagai hijauan pakan ternak pada penggemukan sapi, sapi perah produktif, maupun pedet lepas sapih, baik sebagai satusatunya sumber hijauan makanan ternak maupun sebagai hijauan campuran dengan rumput gajah. Pucuk tebu yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah ujung atas batang tebu berikut 5-7 helai daun yang dipotong dari tebu yang dipanen untuk tebu bibit atau bibit giling. Menurut Kuswandi
Menuju Industri Tebu Bebas Limbah
Ening Ariningsih
411
(2007), hamparan kebun tebu seluas 100 ha diperkirakan dapat menghasilkan pucuk tebu sebanyak 380 ton bahan kering, yang dapat digunakan untuk memelihara tidak kurang dari 347-520 ekor sapi dengan bobot hidup 200 kg sepanjang tahun bila sapi mampu mengonsumsi bahan kering 1-1,5% dari bobot hidup. Namun demikian, pucuk tebu mempunyai kandungan gizi yang kurang memadai untuk pakan ternak, sehingga diperlukan penambahan pakan suplemen. Pucuk tebu mempunyai kandungan bahan kering lebih rendah dari bahan kering jerami padi, namun protein kasarnya lebih tinggi dari jerami padi dan jagung. Upaya meningkatkan kualitas pucuk tebu dapat dilakukan dengan pembuatan silase pucuk tebu dengan penambahan urea dan molases. Daun klethekan diperoleh dengan cara melepaskan 3-4 daun tebu pada saat tebu berumur 4 bulan, 6 bulan, dan 8 bulan, yang masing-masing disebut klethekan 1, 2, dan 3. Daun klethekan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia, baik secara langsung maupun melalui pengolahan terlebih dahulu. Terkait dengan limbah daun tebu kering, Sinaga (2005) memberikan gambaran bahwa PG Rajawali I dan II setiap bulannya harus mengeluarkan biaya antara 1,8 miliar hingga 2 miliar untuk membuang daduk atau daun tebu kering. Pemanfaatan daduk menjadi substitusi bahan bakar minyak oleh pabrik gula akan memberikan penghematan yang besar di samping memberikan solusi bagi penanganan limbah daduk tersebut. Pemanfaatan Tetes Tebu (Molasses) Tetes tebu (molasses) termasuk produk samping pabrik gula. Tetes merupakan sisa sirup terakhir dari stasiun masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tidak mungkin lagi menghasilkan gula dengan kristalisasi konvensional. Tetes diproduksi sekitar 4,5% dari tebu. Selain dapat digunakan sebagai pupuk dan pakan ternak, tetes dapat juga digunakan sebagai bahan baku fermentasi yang dapat menghasilkan etanol, asam asetat, asam sitrat, monosodium glutamat (MSG), asam laktat, dan lain-lain. Kandungan tetes tebu diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan cairan tetes tebu Unsur Protein kasar Serat kasar Lemak kasar Abu Kadar air
Kadar kandungan (%) 3,1 60,0 0,9 11,9 15-25
Sumber: Afriyanto (2011)
Dalam upaya memberi nilai tambah, pemanfaatan tetes tebu untuk diolah menjadi bioetanol telah dilakukan PT Energi Agro Nusantara (Enero), yang merupakan anak usaha PT Perkebunan Nusantara X. Sebelumnya, pabrik gula hanya menjual tetes tebu ke pabrik lain yang mengembangkan produk turunannya seperti pabrik makanan, sehingga pabrik gula tidak mendapatkan nilai tambah secara optimal dari tebu yang diolahnya. Pabrik pengolahan bioetanol yang terletak di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur tersebut mempunyai desain kapasitas produksi sebesar 30 juta liter per tahun dengan kebutuhan bahan baku 120 ribu ton tetes tebu yang diambil dari pabrik gula milik PTPN X. Bioetanol yang dihasilkan merupakan bioetanol fuel grade dengan tingkat kemurnian minimal 99,5% yang sangat ramah lingkungan serta memiliki angka oktan yang tinggi yaitu RON (Research Octane Number) 120. Akan tetapi, karena saat ini pasar bioetanol dalam negeri masih belum ada kepastian, PTPN X menjual bioetanol produksinya ke Filipina yang sedang gencar mencanangkan mandatory blending BBM E10 (kewajiban pencampuran 10% bioetanol). Peluang memasok pasar Filipina semakin besar karena Thailand yang selama ini memasok bioetanol ke Filipina akan mengurangi ekspor bioetanolnya dan lebih banyak mengalokasikan bioetanol produksinya untuk dipakai sendiri di dalam negeri akibat peningkatan mandatory blending dari E10 menjadi E20 di Thailand (PTPN X, 2014).
412
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Pemanfaatan Ampas Tebu (Bagasse) Ampas tebu merupakan produk samping yang dihasilkan dalam proses pengolahan tebu menjadi gula, yang merupakan residu dari proses penggilingan tanaman tebu setelah diekstrak atau dikeluarkan niranya. Ampas tebu merupakan produk limbah berserat dan mempunyai tingkat higroskopis tinggi. Menurut Subiyono (Agrofarm, 2014), satu ton tebu dapat menghasilkan sekitar 300 kilogram ampas (30%), sementara menurut Misran (2005), dalam proses produksi di pabrik gula dihasilkan sekitar 35-40% ampas tebu dari setiap tebu yang diproses. Hasil perhitungan Syahputra et al. (2011), dengan asumsi proses penggilingan tebu menjadi gula menghasilkan ampas tebu sebesar 32%, dihasilkan sekitar 10,2 juta ton ampas tebu per tahun atau per musim giling se-Indonesia. Ampas tebu mudah terbakar karena mengandung air, gula, serat dan mikroba sehingga bila tertumpuk akan terfermentasi dan melepaskan panas. Jika suhu tumpukan mencapai 94 ºC akan terjadi kebakaran spontan. Adapun komposisi kimia ampas tebu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia ampas tebu Unsur Karbon ( C ) Hidrogen (H) Oksigen (O) Abu Kalor Protein kasar Serat kasar Kecernaan Kadar NDF (Neutral Detergent Fiber) Kadar ADF (Acid Detergent Fiber) Hemiselulosa Selulosa Lignin Nilai kalor
Kadar kandungan 47,0% 6,5% 44,0% 2,5% 1.825 kkal /kg (2,5% gula) 1,01-2,11% 43-52% < 25% 84,2% 51% 33,2% 40,3% 11,2% 7.600 kJ/kg (kadar air 50%)
Sumber: Christiyanto dan Subrata (2005)
Ampas tebu merupakan limbah selulosik yang banyak sekali potensi pemanfaatannya. Selain untuk bahan bakar boiler di pabrik gula, sumber energi listrik, dan pakan ternak, ampas tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos, pulp, particle board, juga merupakan bahan pembuatan kanvas rem, furfural, sirup glukosa, etanol, CMC (carboxymethyl cellulose), dan bahan penyerap (adsorbent) zat warna (Misran, 2005). Ampas tebu diserap untuk bahan pembuatan kertas oleh pabrik kertas (Kompas, 12 Juli 2000). Sebagian besar ampas tebu digunakan sebagai bahan bakar ketel (boiler) untuk memproduksi energi, sedangkan sisanya terhampar di lahan pabrik sebagai limbah padat yang merugikan lingkungan jika tidak dimanfaatkan. Menurut Subiyono (Agrofarm, 2014), dahulu Belanda sudah mendesain semua PG supaya bisa mandiri dengan ampas tebu sebagai bahan bakar. Ampas bisa digunakan untuk menggerakkan mesin tanpa harus menggunakan BBM atau batubara. Namun, dalam perjalanan waktu banyak PG di Indonesia yang justru menggunakan bahan bakar fosil yang sangat mahal, sehingga menimbulkan inefisiensi. Oleh karena itu, sejak empat tahun terakhir PG-PG di Lingkup PTPN X mengoptimalkan pemanfaatan ampas, sehingga penggunaan bahan bakar fosil semakin menurun. Bahkan, tahun depan ditargetkan penggunaan BBM untuk pengoperasian pabrik hingga 0%. Hasil studi Rosmeika et al. (2010) menggunakan perangkat lunak Life Cycle Assessment (LCA) menunjukkan bahwa input energi di stasiun gilingan dan stasiun ketel PG Madukismo lebih besar dibandingkan output energinya. Demikian pula, pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan bakar lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil. Dengan nilai kalor ampas tebu sekitar 7.600 kJ/kg pada kadar air 50% (Tabel 2), maka ampas tebu dan daun tebu kering (daduk) merupakan sumber energi potensial penghasil listrik. Potensi produksi listrik dari ampas dan daduk mencapai 1.408.940 MWh dan bisa diwujudkan dalam jangka pendek, sedangkan untuk jangka panjang potensi produksi listrik dapat ditingkatkan hingga 2,80 juta
Menuju Industri Tebu Bebas Limbah
Ening Ariningsih
413
MWh (Kurniawan dan Santoso, 2009). Teknologi pembangkit listrik yang masih banyak digunakan di Indonesia adalah teknologi konvensional Backpressure Turbines. Teknologi ini menggunakan uap bertekanan rendah-menengah (<20 bar) dengan konversi 12-19 kg uap/kWh dan mampu memproduksi listrik 28-60 kWh/ton tebu. Di Kuba, ampas tebu telah dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik yang dapat memenuhi 30% kebutuhan energi listrik di Kuba (Lampung Post, 29 Juni 2004). Subiyono (Agrofarm, 2014) menambahkan bahwa ampas tebu juga bisa digunakan untuk memproduksi listrik melalui program cogeneration. Satu ton ampas tebu bisa untuk membangkitkan listrik dengan cogeneration sebesar 220-240 kWh. Di sejumlah negara, cogeneration untuk memproduksi listrik dari ampas tebu sudah dijalankan dengan mengganti boiler bertekanan rendah (721 bar) dengan boiler bertekanan tinggi (di atas 80 bar) serta melakukan elektrifikasi pada semua penggerak. Dengan lahan tebu nasional seluas sekitar 475 ribu hektar dan lebih dari 33 juta ton produksi tebu, potensi bisnis listrik dari ampas tebu bisa mencapai 3,5-3,8 juta MWh (3.800 GWh). Saat ini PTPN X pada tahap uji coba pengembangan program cogeneration di PG Ngadiredjo, Kediri. Listrik yang dihasilkan di PG tersebut akan digunakan untuk operasional pabrik dan dijual ke PLN. Ampas tebu juga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak berserat. Akan tetapi, untuk dapat digunakan sebagai pakan ternak berserat ampas tebu harus mengalami perlakuan fisik dan biologis terlebih dahulu karena tekstur ampas tebu yang keras, nilai gizi yang rendah dan rendahnya kecernaan oleh hewan ternak karena adanya ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa, sehingga perlu dilakukan pemecahan ikatan lignin selulosa dan hemiselulosa pada 2 ampas tebu. Pemasakan ampas tebu dengan kadar air 30% pada tekanan 1,5 kg/cm menggunakan autoclave dan fermentasi menggunakan starter berupa kapang T. viride mampu menurunkan kadar serat dinding sel (NDF/Neutral Detergent Fiber) dan kadar selulosa pada ampas tebu sehingga sesuai digunakan sebagai pakan ternak berserat (Christiyanto dan Subrata, 2005). Ampas tebu memiliki kadar pentosan cukup tinggi, yaitu sebesar 18,86% (dengan kadar air sebesar 6,76%) (Andaka, 2011), sehingga memungkinkan ampas tebu untuk diolah menjadi furfural. o Hasil studi menunjukkan yield furfural mencapai titik maksimum pada suhu 100 C sebesar 5,07% dan yield furfural mencapai titik optimum pada waktu reaksi hidrolisis selama 120 menit sebesar 5,67%. Furfural memiliki aplikasi cukup luas dalam berbagai industri, seperti pengolahan minyak bumi, pembuatan nilon, pelapisan, farmasi, dan serat sintetik (Wijanarko et al., 2006) dan dapat disintesis menjadi turunan-turunannya seperti furfuril alkohol, furan, dan lain-lain. Saat ini seluruh kebutuhan furfural dalam negeri diperoleh melalui impor. Impor furfural terbesar diperoleh dari Cina yang saat ini menguasai 72% pasar furfural dunia. Berdasarkan analisis pasar dalam negeri studi Wijanarko et al. (2006) menunjukkan kebutuhan membangun pabrik furfural dengan kapasitas sebesar 510 ton/tahun. Dari hasil perhitungan ekonomi, untuk mendirikan pabrik furfural ini diperlukan total investasi kurang lebih sebesar US$ 4,7 juta dengan biaya manufaktur sebesar US$ 1,1 juta. Nilai Net Present Value (NPV) adalah sekitar sebesar US$ 3,3 juta, tingkat pengembalian internal/internal rate of return (IRR) sebesar 12,3%, dengan waktu pengembalian kurang lebih selama 3 tahun 9 bulan. Ampas tebu dapat juga dimanfaatkan menjadi kanvas rem (brake pad). Berdasarkan riset yang dilakukan selama tiga tahun (1999-2002), PT PG Rajawali II menemukan bahwa ampas tebu merupakan bahan yang lebih baik dibandingkan jerami atau jagung, untuk menggantikan asbes. Pemanfaatan ampas tebu dalam pembuatan kanvas rem meningkatkan nilai ekonomi ampas tebu dibandingkan ketika ampas tebu tersebut dijadikan bahan bakar yang hanya bernilai Rp50/kg. Pengolahan ampas tebu menjadi kampas rem dilakukan PT Inti Bagas Perkasa yang merupakan anak perusahaan PT PG Rajawali II. Sumber bahan baku adalah tebu dari lahan sendiri (HGU) seluas 12 ribu hektar dan tebu dari petani di sekitar wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah (PT Rajawali Nusantara Indonesia, 2014).
Pemanfaatan Blotong Blotong adalah limbah padat pabrik gula yang berasal dari stasiun pemurnian, berbentuk seperti tanah berpasir berwarna hitam dan memiliki bau tidak sedap ketika masih basah. Menurut Siregar (2010), dalam sehari dapat dihasilkan 3,8-4% blotong dari jumlah tebu yang digiling. Sebagai gambaran, pada tahun 2003 dalam satu proses produksi di PG Kebon Agung dihasilkan blotong
414
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
sebanyak sekitar 21 ribu ton (Solihin, 2010). Jumlah blotong yang banyak dengan pemanfaatan yang minim menjadi masalah yang serius bagi pabrik gula tebu dan lingkungan masyarakat sekitar. Tumpukan blotong di musim hujan akan menjadi basah, sehingga menyebarkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Dewi, 2009). Meskipun dianggap sebagai limbah, blotong masih memiliki sifat dan kandungan zat yang masih berguna dan bermanfaat. Kelebihan limbah biomassa ini adalah mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi. Blotong basah mempunyai kadar air 50-70% (Astuti, 2013). Tabel 3 menyajikan hasil analisis komposisi blotong kering (kadar air 25%) oleh Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Bahan dan Barang Teknik Bandung. Tabel 3. Komposisi kimia blotong kering Unsur Nitrogen (N) Phosphat (P) Kalium (K) Kalsium (Ca) Sulfat (SO3) Ampas tebu (bagasse) Kalor bakar
Kadar kandungan 1,40% 3,03% 0,70% 16,20% 6,42% 64,00% 3.319 kkal/kg
Sumber: BBPPIBB dalam Afriyanto (2011)
Blotong dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bata beton, briket biomassa, pakan ternak maupun bahan baku kompos/pupuk. Di dalam pembuatan bata beton digunakan bahan baku semen, pasir, dan blotong setelah dibakar. Blotong digunakan untuk mensubstitusi semen sehingga penggunaan semen dapat dikurangi dan menghasilkan produk dengan harga lebih murah. Penambahan abu blotong 30% dari berat semen yang seharusnya mampu menghasilkan bata beton 2 2 dengan kuat tekan 100 kg/cm , sedangkan bata beton dengan kuat tekan 70 kg/cm dihasilkan dari penambahan abu blotong 44-50% (Moenir et al., 1997). Blotong dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku briket karena memiliki nilai kalor cukup tinggi 3.319 kkal/kg (Tabel 3). Briket merupakan bahan bakar alternatif pengganti dan termasuk dalam sumber energi terbarukan. Penggunaan briket biomassa dapat mengganti fungsi minyak tanah dan LPG. Karakteristik briket bermutu baik adalah memiliki kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, laju pembakaran yang rendah, tetapi memiliki kerapatan, nilai kalor yang tinggi, begitu pula suhu api/bara yang dihasilkan juga tinggi. Kerapatan tinggi dapat meningkatkan nilai kalor. Namun, kerapatan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan briket sulit terbakar. Sebaliknya, briket dengan kerapatan terlalu rendah mengakibatkan briket cepat habis dalam pembakarannya karena bobot yang lebih rendah. Penambahan perekat pada pembuatan briket blotong meningkatkan kerapatan, menurunkan laju pembakaran, dan meningkatkan nilai kalor briket dari 1.026-1.995 kal/g. Bara yang dihasilkan briket blotong mempunyai kualitas yang cukup baik dan menghasilkan suhu bara antara 357-496 °C. Briket blotong ini menghasilkan kandungan kadar abu serta kadar zat terbang yang lebih tinggi dibandingkan dengan briket arang kayu yang ada di pasaran (Afriyanto, 2011; Ismayana dan Afriyanto, 2011). Kualitas briket blotong berbahan perekat tetes tebu disajikan pada Tabel 4. Blotong juga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kompos karena blotong mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur nitrogen, proses pengomposan blotong dicampur dengan abu ampas tebu yang juga merupakan limbah padat pabrik gula dengan perbandingan 1:3 (abu ampas tebu:blotong). Kandungan hara kompos blotong dan abu ampas tebu disajikan pada Tabel 5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kualitas kompos yang dihasilkan sudah memenuhi kriteria kompos dari SNI 19-7030-2004. Penggunaan kompos campuran blotong dan abu ampas tebu tersebut pada tanaman tebu sebanyak 100 ton kompos per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara signifikan (Astuti, 2006).
Menuju Industri Tebu Bebas Limbah
Ening Ariningsih
415
Tabel 4. Perbandingan kualitas briket blotong, briket arang kayu, dan parafin
Parameter Suhu api/bara yang dihasilkan Laju pembakaran Nilai kalor Kerapatan Kadar zat terbang Kadar abu Kadar air
Satuan °C gram/menit kal/gram 3 gram/cm % % %
Briket blotong 357,22-496,11 0,73-0,93 1.615-1.995 0,86-1,04 24,93-28,50 35,40-51,27 9,00-13,40
Briket arang kayu (pasar) 489,17 1,15 4.546 143,97 9,66 11,70
Parafin
SNI 0162352000
506,53 3,33 > 5.000 0 0 10,10
< 15 <8 <8
Sumber: Afriyanto (2011) dan Badan Standarisasi Negara (2000)
Tabel 5. Kompos blotong dan abu ampas tebu Parameter Nitrogen (N) Phosphat (P2O5) Kalium (K2O) Besi (Fe) Calsium (Ca) Magnesium oksida (MgO) Manganesse (Mn) pH 10% larutan Zinc (Zn) Tembaga (Cu) Karbon organik C/N Ratio
Satuan % % % % % % % ppm ppm % %
Hasil Pengujian 1,37 1,81 2,22 0,49 2,56 0,53 0,06 7,10 80,99 44,01 16,48 12,03
SNI 19-7030 -2004 > 0,40 > 0,10 > 0,20 < 2,00 < 25,50 < 0,60 < 0,10 6,80-7,49 < 500 < 100 9,80-32,00 10,00-20,00
Sumber: Astuti (2006) dan Badan Standarisasi Negara (2004)
Kompas (12 Juli 2000) melaporkan bahwa, sejak tahun 1998 PG Tasikmadu di Karanganyar (PTPN XI) telah mengolah hasil limbah produksinya yaitu blotong, abu, tetes, dan ampas yang dicampur dengan kotoran hewan, menjadi pupuk kompos unggul (fine compost) yang mempunyai nilai tinggi. PG Tasikmadu sudah memperoleh keuntungan sebesar Rp8 miliar dari bahan yang semula limbah ini.
Pemanfaatan Abu Ampas Tebu Abu ampas tebu merupakan hasil perubahan secara kimiawi pembakaran ampas tebu sebagai bahan bakar untuk memanaskan ketel dengan suhu mencapai 550 ºC-600 ºC dan lama pembakaran 4-8 jam. Limbah abu boiler (ketel) seringkali menjadi bahan protes masyarakat karena menyebabkan pencemaran lingkungan. Komposisi kimia abu pembakaran ampas tebu disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi abu ampas tebu Unsur Kadar kandungan (%) SiO2 7,1 Al2O3 1,9 Fe2O3 7,8 CaO 3,4 MgO 0,3 K2O 8,2 P2O5 3,0 MnO 0,2 Sumber: Siregar (2010)
416
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Abu ampas tebu mengandung senyawa silika (SiO2) yang juga merupakan bahan baku utama dari semen biasa (Portland) yang jumlahnya mencapai 71%. Pada proses pembakaran ampas tebu, semua komponen organik diubah menjadi gas CO2 dan H2O dengan meninggalkan abu yang merupakan komponen anorganik (Hanafi dan Nandang, 2010). Abu ampas tebu mempunyai kandungan silika (SiO 2) yang sangat tinggi. Silika dalam abu yang dihasilkan dengan suhu pengabuan 550 ºC-600 ºC berbentuk amorf. Penambahan 10% berat silika dalam bentuk amorf ke dalam adonan keramik menghasilkan kuat patah maksimum pada keramik 2 yang lebih tinggi dari kuat patah keramik Indonesia dalam literatur yaitu 940 dyne/cm (Hanafi dan Nandang, 2010). Hasil tersebut sejalan dengan hasil studi Srinivasan dan Sathiya (2010) yang menemukan bahwa penggunaan abu ampas tebu sebagai bahan pengganti semen hingga 10% dapat meningkatkan kualitas dan mengurangi biaya bahan konstruksi. Penggunaan abu ampas tebu pada pembuatan beton (concrete) menyebabkan kekuatan kompresif (compressive strength), kekuatan tarik (tensile strength), dan kekuatan lentur (flexural strength) beton meningkat dibandingkan beton yang tidak menggunakan abu ampas tebu. Bata abu tebu merupakan bahan bangunan dinding berupa bata dengan bahan dasar tanah liat, abu tebu dari pabrik gula dan semen sebagai perekat yang dicetak dengan pemadatan dan melalui proses pengeringan tanpa dibakar. Bata abu tebu termasuk bahan bangunan efisien energi bila dibandingkan dengan bata merah karena tidak mengalami pembakaran pada proses produksinya. Bata abu tebu termasuk bahan bangunan tanah dengan stabilisasi semen yang ber-embodied energy 0,3-0,8 MJ/kg, mempunyai thermal properties yang sesuai dengan iklim tropis lembab, 3 mempunyai densitas 1,4–2 g/cm , dan mempunyai daya serap air maksimum 25% dari volume bata. Bata abu tebu mempunyai kuat tekan lebih tinggi dari sebagian besar batu bata yang ada di pasaran 2 saat ini yaitu minimal 50 kg/cm . Kuat tekan bata abu tebu dapat didesain sesuai kebutuhan dengan persentase abu tebu maksimal 50% dan persentase semen maksimal 10% (Noerwarsito, 2004). Pemanfaatan abu ampas tebu dapat meningkatkan sifat mekanik dan fisis pada mortar. Mortar – sering disebut sebagai plesteran – adalah campuran semen, pasir dan air yang memiliki persentase yang berbeda. Mortar berfungsi untuk melapisi pasangan batu bata, batu kali maupun batako agar permukaannya tidak mudah rusak dan kelihatan rapi dan bersih (Mulyati et al., 2011). Abu ampas tebu mampu mengisi partikel-partikel pembentuk mortar sehingga porositas mortar akan menjadi lebih kecil, kedapan menjadi bertambah dan permeabilitas semakin kecil sehingga kekuatan mortar akan meningkat. Hal ini dikarenakan abu ampas tebu mempunyai kandungan senyawa silika SiO 2 yang juga merupakan bahan baku utama dari semen biasa (Portland). Abu ampas tebu dapat dicampur dengan beberapa zat lain (seperti blotong, tetes, dan ampas tebu) untuk dimanfaatkan menjadi pupuk mixed (fine compost). Campuran abu ampas tebu dan blotong dalam pembuatan kompos menghasilkan kompos dengan kualitas yang memenuhi kriteria kompos dari SNI 19-7030-2004 (Tabel 5). Sementara, campuran limbah abu ampas tebu, blotong, tetes, dan ampas tebu yang dicampur dengan kotoran hewan yang dilakukan PG Tasikmadu di Karanganyar (PTPN XI) menghasilkan kompos unggul (fine compost) yang mempunyai nilai tinggi.
Industri Tebu Terintegrasi Mengingat luasnya areal penanaman tebu di Indonesia serta besarnya potensi pemanfaatan dari tanaman tebu dan buangan atau hasil samping pengolahannya, maka perlu dikembangkan suatu industri tebu terpadu (terintegrasi) yang dapat mengoptimalkan pemanfaatannya. Dengan demikian akan tercipta suatu zero waste industry dari pemanfaatan tebu yang di samping mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan juga meningkatkan nilai ekonomi produk samping maupun limbah buangan industri tebu. Di samping itu, optimalisasi pemanfaatan ini diharapkan dapat menekan Harga Pokok Produksi (HPP) pada pembuatan gula yang pada gilirannya dapat menekan harga gula, sehingga produk gula domestik bisa bersaing dengan produk gula internasional. Gambar 1 memperlihatkan intisari dari bahasan potensi pemanfaatan berbagai produk samping maupun limbah buangan dari industri tebu.
Menuju Industri Tebu Bebas Limbah
Ening Ariningsih
417
PUCUK DAUN KLETHEKAN
PAKAN TERNAK
SOGOLAN DADUK
BAHAN BAKAR
GULA
BAHAN MAKANAN DAN MINUMAN
GULA PASIR NIRA
BAHAN MAKANAN DAN MINUMAN
GULA PADAT ASAM GLUTAMAT
T E B U
MOLASE
ASAM ASETAT
ETANOL
BAHAN BAKAR
MSG
ASAM ORGANIK BAHAN KIMIA LAIN PAKAN TERNAK PROTEIN SEL TUNGGAL PUPUK/KOMPOS
PAKAN TERNAK RAGI ROTI
SEMEN MASONRY SEMEN BAHAN CAT
BLOTONG
PUPUK/KOMPOS BRIKET PUPUK/KOMPOS
AMPAS
BAHAN BAKAR
ABU AMPAS TEBU
PARTICLE BOARD
FURNITURE
PAKAN TERNAK
SEMEN
INDUSTRI LOGAM
PULP SELULOSA
KERTAS
POLIMER
FURFURAL
FURFURAL ALKOHOL
PELARUT
PUPUK/KOMPOS
BAHAN PENOLONG FLAVOR, DSB.
Sumber: Direktorat Jenderal Industri Agro (2011), diperkaya dari sumber-sumber lain
Gambar 1. Pohon industri tebu KESIMPULAN DAN SARAN Dalam industri tebu dihasilkan berbagai produk samping dan limbah buangan industri tebu dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga menimbulkan masalah bagi lingkungan dan memerlukan biaya yang besar untuk mengatasinya. Padahal, produk samping dan limbah buangan tersebut mempunyai potensi pemanfaatan yang besar baik bagi keperluan industri
418
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
tebu sendiri maupun dimanfaatkan sebagai bahan baku/bahan pembantu industri lainnya. Usaha pengembangan industri tebu yang terpadu dalam upaya terciptanya zero waste industry pada industri tebu akan berdampak sangat positif terhadap lingkungan, penciptaan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan perekonomian nasional, dan ketahanan pangan dan energi. Mengingat besarnya potensi pemanfaatan produk samping dan limbah buangan dari industri tebu, sudah saatnya industri gula nasional bermetamorfosis menjadi industri berbasis tebu (sugarcane-based industry) yang menggarap semua potensi tanaman tebu dari hulu hingga hilir. Untuk itu, diperlukan komitmen dari semua pihak, termasuk juga keseriusan dukungan pemerintah, baik berupa dukungan dana maupun regulasi.
DAFTAR PUSTAKA Afriyanto, R.M. 2011. Pengaruh Jenis dan Kadar Bahan Perekat pada Pembuatan Briket Blotong sebagai Bahan Bakar Alternatif. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Agrofarm. 2014. Agar pabrik gula efisien, PTPN X optimalkan ampas tebu. Agrofarm edisi Rabu, 20 Agustus 2014. http://www.agrofarm.co.id/read/perkebunan/753/agar-pabrik-gula-efisien-ptpn-x-optimalkan-ampastebu/#.VD-_0WeSyn0 (16 Oktober 2014). Andaka, G. 2011. Hidrolisis ampas tebu menjadi furfural dengan katalisator asam sulfat. 4(2):180-188.
Jurnal Teknologi
Anwar, E.K. dan H. Suganda. 2009. Organic and bio-fertilizer. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Anwar, S. 2008. Ampas Tebu. Laboratorium Bioindustri, Universitas Brawijaya. Malang. Astuti, A.D. 2013. Konsep zero waste pada agroindustri (industri pabrik gula). http://litbang.patikab.go.id/index. php?option=com_content&view=article&id=147:konsep-zero-waste-pada-agroindustri-industri-pabrikgula&catid=163:konsep-zero-waste-pada-agroindustri-industri-pabrik-gula&Itemid=109 (10 Oktober 2014). Astuti, A.D. 2006. Sistem pengelolaan limbah padat PT Kebon Agung Pabrik Gula Trangkil Pati Jawa Tengah. Laporan Kerja Praktek. Program Studi Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang. Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia No. 01-6235-2000 tentang Briket Arang Kayu. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Christiyanto, M. dan A. Subrata. 2005. Perlakuan Fisik dan Biologis pada Limbah Industri Pertanian terhadap Komposisi Serat. Laporan Kegiatan. Pusat Studi Agribisnis dan Agroindustri. Lembaga Penelitian. Universitas Diponegoro. Semarang. Dewi, I.K. 2009. Efektifitas Pemberian Blotong Kering terhadap Pertumbuhan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) pada Media Serbuk Kayu. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. Direktorat Jenderal Industri Agro. 2011. Pohon industri tebu. Direktorat Jenderal Industri Agro. Kementerian Perindustrian. Jakarta. http://agro.kemenperin.go.id/399-POHON-INDUSTRI-TEBU (10 Oktober 2014). Hanafi, S. dan A. Nandang. 2010. Studi pengaruh bentuk silika dari abu ampas tebu terhadap kekuatan produk keramik. Jurnal Kimia Indonesia 5(1):35–38. Ismayana dan M.R. Afriyanto. 2011. Pengaruh jenis dan kadar bahan perekat pada pembuatan briket blotong sebagai bahan bakar alternatif. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 21(3):186-193. Kompas. 12 Juli 2000. Paradigma baru bagi limbah. Harian Kompas edisi Rabu, 12 Juli 2000. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0007/12/daerah/para22.htm (17 Juni 2014). Kurniawan, Y. dan H. Santoso. 2009. Listrik sebagai ko-produk potensial pabrik gula. Jurnal Litbang Pertanian 28(1):23–28. Kuswandi. 2007. Teknologi pakan untuk limbah tebu (fraksi serat) sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa. 17(2): 82-92. Misran, E. 2005. Industri tebu menuju zero waste industry. Jurnal Teknologi Proses 4(2):6-10.
Menuju Industri Tebu Bebas Limbah
Ening Ariningsih
419
Moenir, M., E. Prilyani, dan S. Wahyuningsih. 1997. Bata beton limbah, salah satu alternatif pengolahan limbah padat industri gula. Buletin Penelitian dan Pengembangan 23:5–8. Mulyati, S., D. Dahlan, dan E. Adril. 2011. Pengaruh persen massa hasil pembakaran serbuk kayu dan ampas tebu pada mortar terhadap sifat mekanik dan sifat fisisnya. Makalah Laboratorium Material dan Struktur. Jurusan Fisika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Andalas. Padang. Noerwarsito, T. 2004. Abu tebu limbah pabrik gula bata efisien enerji. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur 32(1):57– 62. PTPN X. 2014. Anak usaha PTPN X ekspor perdana bioetanol ke Filipina: Kebutuhan energi besar, pasar biofuel prospektif. Press Release 15 Juli 2014. http://ptpn10.co.id/blog/anak-usaha-ptpn-x-eksporperdana-bioetanol-ke-filipina-kebutuhan-energi-besar-pasar-biofuel-prospektif (19 Oktober 2014). Rosmeika, L. Sutiarso, dan B. Suratmo. 2010. Pengembangan perangkat lunak life cycle assessment (LCA) untuk ampas tebu (Studi kasus di Pabrik Gula Madukismo, Yogyakarta). Agritech 30(3):168-177. Sarbi, S. 2008. Pengembangan sistem pengelolaan sampah di Kota Parepare. Jurnal Bumi Lestari 8(1):28–40. Siregar, N. 2010. Pemanfaatan Abu Pembakaran Ampas Tebu dan Tanah Liat pada Pembuatan Batu Bata. Skripsi. Departemen Fisika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan. Solihin, A. 2010. Pemanfaatan limbah pabrik gula (blotong). http://gerakanindonesiahijau.com (31 Januari 2014). Srinivasan, R. dan K. Sathiya. 2010. Experimental study on bagasse ash in concrete. International Journal for Service Learning in Engineering 5(2):60-66. Sulaiman, D. 2008. Prinsip Menciptakan Agroindustri Ramah Lingkungan. Departemen Pertanian. Jakarta. Suprapto. 2003. Karakteristik, Penerapan, dan Pengembangan Agroindustri Hasil Pertanian di Indonesia. Universitas Mercu Buana. Jakarta. Syahputra, A.S., Munarti, dan D.P.O. Saputra. 2011. Pengolahan limbah pabrik gula. Makalah Pengolahan Limbah Kimia. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Haluoleo. Kendari. Wijanarko, A., J.A. Witono, dan M.S. Wiguna. 2006. Tinjauan komprehensif perancangan awal pabrik furfural berbasis ampas tebu di Indonesia. Journal of the Indonesian Oil and Gas Community:1-8. Yukamgo, E. dan N.W. Yuwono. 2007. Peran silikon sebagai unsur bermanfaat pada tanaman tebu. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 7(2):103–116.