Buku Awardee LPDP
Chapter IV:
Menuju Ekosistem Industri Elektronika Indonesia yang Solutif, Mandiri, dan Inspiratif Rachmad Vidya W. P. Mahasiswa S2 Teknik Elektronika ITB Asisten Peneliti di Pusat Mikroelektronika ITB
[email protected]
Dunia industri elektronika Indonesia adalah ranah industri yang sampai sekarang ini masih terasa asing terdengar di telinga kita dalam hal produktivitasnya. Kita lebih sering mendengar isu bahwa industri elektronika Indonesia bermain besar sebagai pasar konsumen daripada produsen. Ini tidaklah mengherankan karena memang perkembangan industri elektronika nasional masih berada pada tahap pertumbuhan dan pendewasaan. Dalam bahasa lain, saya lebih suka menyebutnya sebagai proses pencarian jati diri. Maksudnya adalah suatu proses pencarian dan penemuan formulasi pengembangan industri yang tepat untuk menjadi usaha strategis yang solutif bagi Indonesia. Tentunya hal tersebut tidak hanya berhenti pada sisi solutif saja, namun diharapkan juga mampu membangun ketahanan dan kemandirian nasional dalam bidang teknologi elektronik strategis. Sehingga, kita tidak harus bergantung sepenuhnya pada produk asing. Analisis Kebijakan – Pada Tabel 1, ditampilkan sekilas daftar perkembangan dari kebijakan industri elektronika di Indonesia. Tabel 1. Kilas Kebijakan Industri Elektronika Nasional [1] Tahun Penjelasan 1950 Kebijakan internal Tidak ada investasi asing 1967 Adopsi kebijakan investasi asing 1968 Pelaksanaan kebijakan investasi domestik 1970 Regulasi pelarangan impor TV set dan radio receivers dalam bentuk produk komplit built-up (CBU) 1982 Kebijakan pembatasan kuantitas Pelarangan impor beberapa tipe barang elektronik 1990 - 2000 Kebijakan pengurangan tarif impor 1999 Program pengembangan nasional (PORPENAS) 2001 Program revitalisasi industri 2008 Kebijakan industri nasional
Dari daftar tersebut, kita bisa melihat bahwa pemerintah berusaha memberikan kebijakan yang setahap demi setahap memberikan porsi lebih banyak untuk para pemain lokal agar bisa berkembang di ranah industri nasional. Ini adalah hal yang positif sebagai modal bagus agar lingkungan industri yang kondusif bisa terwujud dan berkembang. Sayangnya, saya pribadi hingga sekarang belum bisa merasakan arah gerak industri elektronika di Indonesia secara utuh. Mungkin, hal ini karena tertutupnya produktivitas industri lokal yang ada dengan serbuan produk asing yang masuk dan dominan memenangkan pasar di Indonesia. Tabel 2 menunjukkan data besar prosentase pasar elektronika tahun 2012 di Asia Tenggara. Tabel 2. Pasar Elektronika Asia Tenggara [1] Negara Prosentase (%) Thailand 22.6 Indonesia 22.3 Singapura 21.9 Malaysia 13.6 Vietnam 12.5 Filipina 7.0 Indonesia merupakan pasar kedua terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2012. Maka, kita bisa menyimpulkan bahwa Indonesia adalah pasar yang luar biasa besar untuk industri elektronika di Asia Tenggara. Apalagi hal ini diperkuat dengan fakta bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara. Ini mengindikasikan bahwa penguasaan pasar lokal Indonesia adalah suatu kebutuhan strategis untuk industri elektronika nasional. Harusnya, industri lokal bisa lebih dominan mengisi pasar nasional daripada produk asing. Tanpa itu, maka kemandirian Indonesia dalam hal teknologi elektronika akan sulit tercapai. Masyarakat akan lebih suka dan percaya menggunakan produk asing saja tanpa mencoba produk lokal. Selain itu, teknologi elektronika yang dikuasai hendaknya diprioritaskan sebagai solusi lokal. Jangan sampai teknologi yang dikuasai dan produk yang dihasilkan, hanyalah berorientasi pada keuntungan semata dan hanya solutif untuk kebutuhan asing, tanpa memperhatikan kebutuhan lokal. Hal ini bisa menjauhkan dan melemahkan konsep ketahanan dan kemandirian industri elektronika di Indonesia. Oleh sebab itu, butuh adanya pencarian jati diri dalam perencanaan dan pengelolaan yang baik untuk memetakan teknologi dan industri elektronika Indonesia ke depan. Pencarian Jati Diri – Berbicara tentang pencarian jati diri dalam perencanaan dan pengelolaan industri ini, maka pasti terkait erat dengan lingkungan industri yang kondusif. Lingkungan inilah yang saya sebut sebagai ekosistem industri yang solutif, mandiri, dan inspiratif. Ekosistem dibuat untuk mewadahi dan menyelaraskan gerak seluruh elemen pemain penting yang berkecimpung dalam industri ini, yaitu pemerintah, swasta, dan akademik. Ekosistem harus memiliki karakter solutif memenuhi kebutuhan masyarakat secara kualitas maupun kuantitas; mandiri karena mampu menentukan arah gerak ke depan tanpa bergantung terlalu banyak dengan luar sehingga
memiliki ketahanan teknologi yang baik; dan inspiratif dalam mendorong adanya kemajuankemajuan lainnya yang bermanfaat, baik di bidang elektronika atau di bidang yang lain. Elaborasi Tantangan – Dahulu, pernah ada pembahasan tentang ide Bandung High Tech Valley (BHTV) yang berusaha meniru kesuksesan Silicon Valley di Amerika Serikat sebagai pusat pengembangan riset dan industri elektronika [2]. Namun sayang, ide tersebut belum bisa terealisasi dengan baik hingga sekarang. Hal ini saya nilai akibat belum siapnya ekosistem yang dibutuhkan untuk merealisasikan proyek besar tersebut. Dewasa ini, pemerintah Indonesia menggalakkan program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang diharapkan mampu mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi di seluruh Indonesia. Adapun fokus pengembangannya meliputi 22 aktivitas ekonomi utama, seperti yang ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Fokus 22 aktivitas ekonomi MP3EI [1] Tampak bahwa hampir seluruh aktivitas ekonomi pada MP3EI tadi membutuhkan dukungan yang besar dari elektronika. Sebagai contoh, aktivitas ICT sangatlah erat dengan elektronika sebagai salah satu dasar pilarnya. Begitu juga dengan transportation equipment, defence equipment, dll. Coba kita bayangkan, bagaimanakah jika aktivitas-aktivitas tadi tidak didukung dengan kemandirian dalam hal teknologi dan industri elektronika? Pasti akan kembali kepada kebiasaan lama, yaitu bergantung pada pasokan teknologi elektronika dari asing. Maka jelaslah
adanya kebutuhan penyelarasan yang baik antara kaitan pemenuhan aktivitas yang satu dengan yang lainnya dalam suatu lingkungan ekosistem. Ini bukan berarti kita akan 100% menyediakan sendiri seluruh kebutuhannya mulai dari ilmu, komponen, hingga produksinya; namun paling tidak, kita berperan aktif sebagai produsen yang memiliki nilai kemandirian teknologi. Yaitu, kemandirian dalam mengimplementasikan teknologi yang dikuasai ditambah dengan adanya konten lokal yang akurat dalam menyolusikan kebutuhan di Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut, akan diperlukan lebih banyak insinyur atau ahli elektronika di masa yang akan datang. Saat ini peminat bidang elektronika relatif sedang mengalami penurunan akibat animo dan pemikiran umum yang salah. Pertama, karena cukup banyak mahasiswa yang menganggap bidang ini belum memiliki lapangan karir yang luas dan beragam di Indonesia; kedua, adanya pemikiran bahwa ilmu elektronika itu sulit dikuasai [3]. Pemikiran seperti inilah yang harus diluruskan. Pertama, hendaknya mahasiswa dimotivasi dan dibimbing untuk tidak sekedar menjadi buruh kerja dengan gaji tinggi, namun bisa menjadi teknopreneur, pencipta lapangan pekerjaan dan solusi teknologi; kedua, mahasiswa hendaknya tidak diajarkan rumus dan hitungan matematis saja, namun dibimbing menjadi insinyur yang visioner. Pembentukan Ekosistem – Pembentukan ekosistem yang diharapkan di sini adalah tentang bagaimana mengintegrasikan potensi, kebutuhan, perencanaan, dan pengelolaan yang baik antar seluruh elemen yang berpengaruh. Jika dikristalkan, ada enam elemen yang berpengaruh yaitu pemerintah, akademis, swasta, sumber daya manusia, sumber daya alam / bahan baku, dan fasilitas pendukung. Kita bisa melihat contoh forum dunia yang sudah berjalan bertahun-tahun dalam mendiskusikan dan merumuskan perkembangan teknologi semikonduktor, yaitu International Technology Roadmad for Semiconductors (ITRS) [4]. Nah, kira-kira seperti itu pula bentuk salah satu contoh ekosistem yang saya harapkan. Ilustrasinya, terdapat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi model ekosistem
Pemerintah, swasta, dan akademis secara berkala mengadakan pertemuan dan diskusi (misalkan 6 bulan sekali). Misalkan saja namanya “Forum Roadmap Teknologi Elektronika Nasional”. Di forum ini, pemerintah, swasta, dan akademisi berdiskusi untuk menentukan arahan penting masa depan dan perjalanan teknologi dan industri elektronika; baik di ranah kebijakan, akademis, maupun industri. Diharapkan dengan adanya kegiatan tersebut, seluruh masalah yang ada pada ranah kebijakan, akademis, dan industri bisa saling dibicarakan dan saling disolusikan (mutual cross solutions). Keluaran dari forum ini (kebijakan, dukungan, dan pendidikan) diharapkan bisa diarahkan untuk mengelola sumber daya manusia, bahan baku / sumber daya alam, dan fasilitas pendukung untuk menjadi produk yang solutif dalam perencanaan yang berkelanjutan. Dalam perjalanannya, tentu tidak semua teknologi langsung bisa dikuasai dan tidak semua dukungan langsung diperoleh. Maka, perencanaan dan pemeliharaan yang dilakukan harus secara bertahap dan berkelanjutan. Dunia elektronika yang mandiri bukanlah berarti menutup diri dari kerjasama atau perkembangan di luar, namun berarti mampu menentukan arah perkembangan teknologi dan industri elektronika di Indonesia sehingga berdaulat mengatur dan menentukan kebijakan, produk, pendidikan, hingga pemetaan industri seperti apa yang paling tepat diterapkan di Indonesia. Bukan Sekedar Membuat Barang, Namun Membangun Kehidupan yang Baik – Poin penting lain yang tidak boleh ditinggalkan dari tujuan dibentuknya ekosistem ini adalah terbentuknya kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sehingga, tujuan ekosistem ini bukan hanya sekedar untuk memproduksi barang sebanyak-banyaknya dan mengambil untung sebanyakbanyaknya, namun harus menjadi pendorong menuju kehidupan yang lebih baik. Maka, ini bukan lagi hanya mengenai aspek material saja, namun lebih besar pada aspek kehidupan sosial masyarakat untuk selalu memegang teguh nilai-nilai kebenaran. Sehingga, perkembangan teknologi menjadi nilai berkah pada kehidupan. Pada titik ini, mungkin kita bisa berkaca pada bagaimana sejarah dunia berbicara. Banyaknya teknologi yang berkembang pesat tidak selalu berakhir pada kehidupan lebih baik, namun malah bisa menjadi bumerang dan bencana jika tidak diimbangi dengan berpegang teguhnya masyarakat kepada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Sehingga teknologi bukan menjadi berkah, namun malah menjadi bencana. Referensi [1] Korea Institute for Industrial Economics and Trade (KIET), Mei 2013 [2] Dokumentasi Pusat Mikroelektronika ITB (PME - ITB) [3] http://www.itb.ac.id/news/3588.xhtml [4] International Technology Roadmad for Semiconductors (ITRS) - http://www.itrs.net