Menuai Asa di Kampung Cirendeu Oleh: Muhammad Ulil Ahsan*
Program swasembada pangan selalu menjadi prioritas pemerintah sejak orde lama hingga
sekarang, nyatanya hanya sekali mendapatkan swasembada, yaitu tahun 1984. Setelahnya impor beras mendominasi kebijakan pangan negeri ini. Sama halnya dengan program diversifikasi pangan yang beriringan dengan program swasembada pangan. Selalu gagal dan semakin
tenggelam. Pola konsumsi beras yang dulu hanya sekitar 53%, dan ubi kayu mencapai 22%, setelah swasembada beras tahun 1984, pola konsumsi beras mencapai 81% dan ubi kayu hanya 10%. Dan sekarang semakin besar, bahkan pola konsumsi ubi kayu hanya sekitar 8% dan jagung hanya 3%.
Program swasembada pangan khususnya untuk pangan sumber kalori hanya difokuskan pada beras. Hal ini menjadi sebuah paradoks ketika program diversifikasi pangan juga digalakkan.
Ditambah lagi yang mengkhawatirkan adalah peningkatan impor gandum dan konsumsi terigu di
Indonesia yang meningkat 500% menjadi 10 kg/kapita/tahun dalam kurun waktu 30 tahun
disertai iklan-iklan produk turunannya yang merajai layar kaca dan layar media komunikasi masyarakat saat ini. Tantangan diversifikasi pangan kini menjadi semakin terjal dan berat jalannya.
Kampung Singkong Minggu pagi, 27 September 2015 kami berkunjung ke kampung adat Cirendeu yang terletak di Kecamatan Leuwi Gajah, Kota Cimahi, Jawa Barat yang dikenal sebagai kampung singkong.
Disebut kampung singkong karena konsumsi pangan pokok masyarakatnya adalah singkong yang berwujud rasi atau beras singkong.
Gerbang Kampung Cirendeu
Pagi itu suasana Kampung Cirendeu tampak sepi. Sesekali kami melihat ibu-ibu yang sedang menjemur singkong dan berbincang dengan tetangganya. Kami langsung menuju sebuah rumah
yang sepertinya menjadi pusat informasi karena terdapat saung dan ruang pertemuan yang berisi foto-foto penghargaan, alat musik, dan papan informasi.
Karena kunjungan ini sifatnya mendadak dan berangkat atas rasa penasaran semata, maka tidak
ada persiapan berarti, termasuk membuat janji dengan tetua masyarakat di Kampung Cirendeu. Pagi itu kami beruntung bertemu dengan salah satu tokoh pemuda di sana, yakni Kang Tata. Struktur sosial Masyarakat Cierendeu sangat menghormati sesepuh atau orang yang dituakan.
Keputusan sesepuh menjadi landasan hukum di Kampung Cirendeu, termasuk menjadi sebuah alasan mengapa kampung ini kemudian bisa mengkonsumsi singkong.
Kami memperkenalkan diri sebagai kelompok pemuda dari SingkongDay dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan Universitas Pasundan. Kang Tata kemudian menjelaskan gambaran umum kampung Cirendeu. Kang Tata mengungkapkan bahwa telah ada pembagian tugas terkait urusan administrasi dan rumah tangga di Kampung Cirendeu. Termasuk dalam hal informasi
sejarah dan budaya, ada orang tertentu yang memiliki kapasitas untuk menjelaskan ini, sehingga pagi itu kami belum memperoleh informasi yang begitu jelas tentang sejarah dan peradaban
masyarakat Cirendeu di masa lampau. Percakapan dilanjutkan dengan penjelasan tentang konsep
kampanye SingkongDay oleh kami. Ada korelasi yang kuat antara Kampung Cirendeu sebagai kampung singkong dan tujuan besar gerakan kami. Kang Tata sebagai bagian masyarakat
Cirendeu sangat sepakat dan mendukung gerakan tersebut, oleh karenanya kami kemudian diarahkan untuk mengeksplorasi lebih jauh aktivitas masyarakat di Kampung Cirendeu pagi itu.
Kampung Cirendeu tampak sepi karena sebagian besar sesepuh dan tokoh mudanya berkonsentrasi di acara pameran budaya di Kota Bandung hari itu. Kang Tata sendiri yang kami temui memiliki tanggung jawab dalam hal yang berkaitan dengan dekorasi dan perlengkapan
Desa. Namun, Kang Tata tetap setia menemani kami bercerita dan mengantar kami berkeliling
Kampung Cirendeu untuk menyapa lebih jauh warga dan mengetahui berbagai aktivitas di sana. Sambutannya sangat ramah. Kami merasa nyaman dengan situasi di sana. Pembagian tugas dalam proses pembuatan rasi
Banyak pertanyaan yang ingin kami sampaikan selama di Kampung Cirendeu, salah satunya adalah tentang keberadaan warung yang menyajikan nasi singkong seperti warteg-warteg di daerah lain yang menyajikan makanan dengan nasi (beras). Pertanyaan ini kemudian memantik
Kang Tata untuk mengajak kami dan memesan makan siang untuk kami dengan menu nasi singkong. Sesuai harapan, ternyata ada warung yang menyediakan pemesanan menu nasi
singkong, meskipun belum seperti di warteg atau warung umumnya yang dijajakan di etalase.
Mungkin hal tersebut karena masyarakat di sini masih memiliki cukup waktu untuk menyediakan makanan mereka, berbeda dengan masyarakat kota umumnya. Sembari menunggu siang dan
sajian makanan yang dipesan tadi, Kang Tata mengajak kami ke rumah sebuah keluarga lainnya yang kebetulan saat itu sedang melakukan aktivitas ngupas singkong.
Ngupas singkong atau kegiatan mengupas kulit singkong di Kampung Cirendeu adalah bagian dari proses pengolahan rasi. Kegiatan ini selalu dilakukan secara gotong royong. Umumnya
mereka adalah satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, sepupu, dan lainnya atau bersama tetangga. Pengupas singkong banyak perankan oleh perempuan, dan saat mengupas singkong biasanya masakan untuk mereka yang telah bersusah payah telah dipersiapkan oleh juru masak yang memerankan tugasnya.
ngupas singkong
Singkong yang siap diparut dengan mesin
Dari proses penanaman hingga pengolahan rasi, ada pembagian tugas diantara perempuan dan
laki-laki. Penggarapan lahan dan panen dilakukan oleh laki-laki secara bergotong royong, dan ibu-ibu menyediakan bekal makanan untuk mereka yang berlelah-lelah di lahan. Setelah panen,
singkong dikupas. Setelah dikupas, singkong digiling dengan mesin oleh laki-laki atau perempuan. “Sebelum menggunakan mesin seperti sekarang, dulu singkong diparut secara
manual. Tangannya sering luka”, ungkap Sang kepala keluarga. Singkong hasil gilingan diarahkan ke bak pemerasan hingga memperoleh air perasan singkong dan ampasnya.
Singkong yang siap diperas
Bak pemerasan
Pemerasan dilakukan hanya sekali. Untuk 100 kg singkong, dapat menghasilkan 30% aci (pati singkong) dan 70% ampas. Aci kemudian diolah menjadi bahan olahan kue, dan ampas diolah
menjadi rasi atau beras singkong. Proses pengolahan menjadi beras singkong tidaklah sulit. Ampas tadi dijemur di atas tapi dan setelah kering, dikemas dan disimpan di gudang atau di tempat penyimpanan masing-masing.
Ada kendala yang dihadapi hari itu terkait produksi rasi. Karena musim kemarau, airnya susah,
sehingga hasil gilingan harus diangkut ke tempat yang berlimpah airnya. Selain itu, mereka mengungkapkan bahwa produksi aci atau pati singkong menurun karena kekurangan air
berpengaruh pada kondisi singkongnya. Singkong menjadi kecil-kecil dan kulitnya tidak cocok
dibuat cemilan dendeng kulit singkong. Berbeda halnya jika musim hujan, meskipun singkong tumbuh baik, namun penjemuran rasi terkendala cuaca. Butuh waktu lebih untuk menjemur rasi karena pengeringan mengandalkan sinar matahari. Namun hal ini lumrah dihadapi masyarakat.
Bukan sebuah kendala yang berarti bagi mereka. Alam memiliki sistemnya, dan manusia berpikir untuk menyesuaikannya.
Jawaban atas berbagai pertanyaan Selama kegiatan ngupas, kami berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan ibu dan bapak yang sedang mengupas singkong. Rasa penasaran kami sebagian telah terjawab dengan bertanya dengan mereka. Beberapa pertanyaan kami sebelum berangkat ke sini adalah, apakah mereka
benar-benar mengkonsumsi singkong sebagai menu pokoknya? Bagaimana sejarahnya mereka bisa mengkonsumsi singkong? Mengapa hanya di tempat ini yang mengkonsumsi singkong?
Bagaimana kemampuan adaptasi mereka di luar daerah tempat tinggal mereka? Bagaimana kondisi kesehatan mereka selama ini dengan mengkonsumsi singkong? dan berbagai pertanyaan yang kami selingi dengan candaan dan obrolan ringan tentang hal-hal yang lain.
Proses pembuatan rasi yang mereka lakukan adalah dalam rangka memenuhi stok cadangan
pokok mereka. Rasi hasil gotong royong yang mereka lakukan menjadi stok rumah tangga dan
stok komunitas. Jika berlebih, rasi dijual jika ada permintaan melalui unit usaha Desa. Dengan konsep ini, masyarakat Kampung Cirendeu tidak rentan terhadap kelaparan dan sangat mampu memenuhi kecukupan pangannya. Tidak salah jika Desa ini sering memperoleh berbagai
penghargaan dari berbagai pemerintah ataupun swasta. Tampak di pusat informasinya terdapat etalase yang menampilkan banyak piagam dari dalam dan luar negeri.
Ketersediaan pangan sehari-hari masyarakat cirendeu disiasati oleh sistem penanaman singkong
dengan rentan waktu berbeda. Tidak heran ketika kami berkunjung ke lahan singkong mereka, ada lahan yang masih kosong atau baru selesai dipanen, ada singkong yang masih pendek atau berumur muda, dan ada singkong yang sudah siap panen. Strategi ini sangat jitu dalam rangka penyediaan pangan yang terus menerus dan tidak putus meski selama pergantian musim.
Singkong siap panen (kiri) dan lahan yang telah dipanen singkongnya (kanan)
Ketika ditanya tentang makanan pokok masyarakat di sana, ibu-ibu pengupas menegaskan bahwa memang secara turun temurun bahkan kakek nenek mereka sudah sedari dulu mengkonsumsi singkong. Anak-anak mereka juga diberi makan singkong tiga kali sehari seperti
masyarakat di luar Cirendeu yang mengkonsumsi nasi tiga kali sehari. “Sejak dulu tahun 1918, sudah makan singkong”, ungkap seorang nenek sembari mengupas singkong.
Apakah ada jenis penyakit yang sering dialami oleh masyarakat di Cirendeu? Pertanyaan ini
menarik untuk diungkapkan. Jawabnya adalah tidak ada. Maksudnya adalah, mereka tidak
merasa bahwa ada penyakit tertentu yang diderita dengan adanya perbedaan konsumsi pangan
pokok mereka. Ketika ditanya, mereka pun agak bingung menjawab penyakit apa. Umumnya
jarang terkena penyakit, semuanya sehat. Tidak ada penyakit atau epidemi tertentu, penyakit yang diderita umumnya karena letih, pegal, atau kecapekan kerja di lahan karena mayoritas
pekerjaan masyarakat adalah berkebun. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan penyakit tertentu yang dimitoskan karena konsumsi singkong. Termasuk maag, justru masyarakat di sini jarang menderita penyakit tersebut.
Ibu yang menunjukkan wujud nasi singkong Bagaimana dengan cara adaptasi mereka di luar desa yang mengkonsumsi nasi? Pertanyaan ini
menarik. Faktanya, mayoritas pemuda Kampung Cirendeu bekerja sebagai buruh pabrik di luar kampung. Ibu-ibu mengungkapkan bahwa biasanya mereka membawa bekal dari rumah untuk dimakan di siang hari di pabrik. Bekal tersebut adalah nasi singkong. Begitupun dengan mereka
yang keluar dari desa dalam kurun waktu yang lama, mereka membawa rasi dalam bentuk kering. Kang Tata pun mengungkapkan demikian. Kang Tata yang sebenarnya bukan penduduk asli
Kampung Cirendeu, beristrikan orang Cirendeu, kini kalau pulang kampung ke Garut, beliau membawa bekal rasi dari Cirendeu karena lidahnya telah beradaptasi dengan rasi.
Banyak jawaban yang telah menghilangkan rasa penasaran kami, dan ada juga pertanyaanpertanyaan yang masih tersimpan dan belum terjawab. Hal ini dikarenakan kondisi ketika kami
datang, para sesepuh dan tokoh desa sedang tidak di tempat. Namun secara garis besar kami cukup puas dangan informasi dan pengalaman empiris yang kami peroleh. Sensasi beras singkong
Siang menjelang, kami para pria menuju warung dan mengambil pesanan makan siang kami. Telah tersedia di nampan berbagai menu berwarna warni dan menyehatkan, tentu saja dengan
nasi singkongnya. Sebelumnya kami juga bertanya metode memasak nasi singkong tersebut. Ternyata tidak serumit yang dibayangkan. Rasi yang telah kering, dipercik-percikkan dengan air, dan air tidak menetes jika digenggam, kemudian rasi dikukus. Masyarakat cirendeu memiliki alat
khusus berbentuk kerucut terbuat dari anyaman bambu untuk mengukus rasi. Rasi dimasukkan ke alat tersebut dan dimasukkan dalam panci besar dan dikusus 10-15. Setelah itu nasi singkong siap disantap.
Nasi singkong kala itu kami santap dengan lauk ayam goreng, olahan jamur, labu siam, sayur sawi,
dan sambal goreng. Semua sama, hanya sumber karbohidrat utamanya berbeda, dengan
singkong. Nasi di bakul tampak sedikit dengan kami bertujuh. Semua menikmati tapi sebagian
besar kami tidak tambah nasinya. Mereka yang tidak tambah mengaku kenyang, sehingga hanya menghabiskan lauknya saja. Wajar saja mereka cepat kenyang, karena singkong memiliki indeks
glikemik yang rendah dibanding nasi, sehingga hanya butuh sedikit saja singkong untuk mendapatkan sensasi kenyang.
Nasi singkong dengan lauk pauk yang menjadi santapan makan siang kami
Bagi mereka yang pertama kali mengkonsumsi nasi singkong, mungkin merasa aneh ketika masuk ke dalam mulut. Tetapi ketika disantap dengan lauk seperti biasa, sensai ini kemudian
menjadi sama seperti makanan sehari-hari ketika mengkonsumsi lauk dengan beras. Dapat dikatakan bahwa perubahan pola konsumsi pangan hanya soal pembiasaan. Karena makan adalah budaya, dan budaya lahir dari kebiasaan yang dilakukant erus menerus. Seperti
masyarakat Cirendeu yang terbiasa makan singkong dan terbentuklah budaya konsumsi mereka. Singkong sangat cocok untuk mereka yang diet gula. Singkong juga memiliki serat pangan yang
tinggi sehingga cocok untuk pencernaan. Hal ini terbukti di masyarakat Kampung Cirendeu yang jarang mengalami penyakit pencernaan karena konsumsi singkong yang rutin.
Singkong memiliki kandungan protein yang rendah daripada beras. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa singkong tidak layak untuk dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat utama. Hal ini hanya
soal penganekaragaman pangan sumber nutrisi lainnya. Masyarakat Cirendeu memenuhi kebutuhan protein mereka dengan daging ayam, kambing, atau sapi yang mereka ternakkan sendiri. Jika berlebih, dijual. Kulit singkong mereka juga untuk konsumsi kambing yang mereka ternakkan.
Asupan vitamin dan mineral mereka diperoleh dengan mengkonsumsi
beranekaragam sayuran yang ditanam di kebun dan dibeli di pasar. Umumnya mereka
mengkonsumsi labu, sawi, dan daun singkong. Dengan konsumsi yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman, masyarakat Cirendeu kini terhindar dari kerawanan pangan. Tantangan dan Ancaman
Menyelami kehidupan di Kampung Cirendeu membawa kita kepada persepsi kedaulatan pangan
yang sesungguhnya, dimana pengelolaan sumber-sumber pangan masyarakat diatur sepenuhnya oleh mereka untuk kesejahteraan mereka. Sayangnya model sistem pangan seperti ini mulai
berkurang di berbagai daerah di Indonesia dan saat ini sudah jarang kita temukan. Ketika negeri ini sedang fokus mencapai swasembada pangan dengan program revitalisasi dan food estatenya
yang justru mengancam sumber-sumber agraria dan budaya lokal, maka di sebuah perkampungan kecil di sudut kota Cimahi, ada contoh yang bisa diambil untuk model pengembangan pangan berbasis sumber daya lokal.
Sayangnya, Kampung Cirendeu dikelilingi oleh perbukitan yang telah tandus dan terbakar. Bukit dikeruk untuk perumahan dan pabrik-pabrik berekspansi, semakin menyudutkan desa ini. Kampung Cirendeu ibarat sebuah lingkaran kecil yang dikepung oleh modernisasi. Ketika kami
keluar dari Kampung Cirendeu, terhampar juga sawah di sana. Kedai makan beranekaragam
olahan termasuk terigu dan lainnya memenuhi jalan poros Cimahi. Mungkin hanya masalah waktu saja melihat budaya konsumsi singkong Desa ini mulai pudar. Sebab beberapa meter saja
dari lingkar luar desa ini, masyarakat sudah mengkonsumsi beras dan aneka pangan olahan terigu lainnya.
Tidak hanya itu, kini perkebunan singkong banyak digarap oleh orang-orang yang telah tua. Pemuda produktifnya banyak bekerja di pabrik, sehingga niscaya regenerasi penghasil pangan semakin merosot. Hal ini adalah kenyataan yang harus dihadapi dan membutuhkan solusi
kebijakan dan peran serta masyarakat dalam mempertahankan budaya ini. Hal ini karena
Kampung Cirendeu adalah salah satu role model sistem pangan yang berkelanjutan, tercermin kedaulatan pangan di dalamnya, dan masyarakatnya tahan pangan. Masih ada harapan
Kami hanya menghabiskan waktu setengah hari di Kampung Cirendeu, tapi rasanya kami telah lama tinggal di sana. Hal itu karena sikap ramah Kang Tata dan masyarakat di Kampung Cirendeu
terhadap pendatang dan orang yang mau belajar seperti kami. Begitu banyak pelajaran pangan yang kami dapatkan di desa ini. Meskipun belum semua rasa penasaran kami terjawab, tetapi kami sangat puas dengan kunjungan ini. Kami pun merencanakan akan datang kembali dan
bertemu dengan sesepuh-sesepuh desa yang belum sempat kami temui. Saat di sana, kami juga
merasa seperti berkunjung ke rumah teman dekat, merasakan seperti rumah sendiri. Budaya pangan dan gotong royong masyarakat Cirendeu tercermin dari keramahan mereka terhadap tamu.
Selama berbaur dan menyatu dengan masyarakaat Cirendeu, kami merasa bahwa masih ada harapan untuk kedaulatan pangan negeri ini. Contoh sistem pangan yang ideal adanya di Desa. Otentitas budaya dan pengetahuan tentang strategi pengelolaan alam semua ada di desa. Maka, desa selayaknya tidak menjadi korban “pembangunan tanpa arah”.
Kami yakin, masih banyak Desa di negeri ini yang memiliki sistem pangan seperti di Cirendeu dan perlu diberi perhatian, dimunculkan di permukaan, dijaga kelestariannya, dikembangkan, dan
menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya yang memiliki potensi pangan lokal yang besar. Dan kami yakin bahwa desa, pangan lokal, kesejahteraan petani, dan sistem pangan yang
berkelanjutanlah kunci dari permasalahan pangan negeri ini. Oleh karenanya, produksi pangan skala luas berbasis korporasi belum tentu menjadi sebuah solusi yang tepat. Sistem pangan
komunitas dan berbasis potensi pangan dan budaya lokallah yang menjadi kunci kedaulatan pangan negeri ini.
Foto bersama kami, Kang Tata, dan Komunitas Sangkuriang Cimahi Sore itu kami mendapat banyak pelajaran berharga tentang pangan dari masyarakat Kampung Cirendeu. Kami pulang dengan membawa oleh-oleh berbahan baku singkong seperti dendeng
kulit singkong, egg roll, kripik bawang, dan lainnya hasil olahan bersama masyarakat Kampung Cirendeu. Terima kasih kepada Kang Tata sebagai tokoh pemuda Cirendeu yang hadir menemani
kami siang itu, warga Cirendeu umumnya, dan teman-teman Divisi Pengabdian Mayarakat HMTP
Universitas Pasundan yang telah meluangkan waktu untuk belajar bersama di kampung ini. Semoga catatan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kunjungan selanjutnya dapat melibatkan berbagai pihak untuk mendukung kampanye diversifikasi pangan di Indonesia.
*Pendiri SingkongDay, sebuah gerakan kampanye diversifikasi pangan di Indonesia dan mencetuskan hari singkong nasional yang jatuh setiap tanggal 7 Oktober. Ulil dapat dihubungi di Email:
[email protected]