2
Relasi antara atasan dan bawahan merupakan suatu faktor penting dalam meningkatkan produktivitas kerja. Komunikasi interpersonal dalam interaksi kerja memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja karyawan dalam sebuah perusahaan (Peltokorpi, 2006). Relasi interpersonal dalam perusahaan tersebut merupakan pada suatu interaksi yang terjalin antara dua atau lebih individu yang terlibat langsung satu sama lainnya dalam konteks pekerjaan. Relasi mengacu pada hubungan dua orang atau lebih dimana perilakunya saling mepengaruhi dan menghasilkan suatu perubahan terhadap perilaku lainnya (Dwyer, 2000). Keragaman dari hubungan komunikasi interpersonal dalam organisasi menjadi suatu hal yang penting bagi keterlibatan individu dalam pekerjaan yang akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan, komitmen, dan produktifitas (Zalabak, 2006). Carmeli dkk (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kualitas hubungan yang baik dalam suatu organisasi erat kaitannya dengan menciptakan landasan relasional untuk meningkatkan kemampuan karyawan yang penting sehingga menghasilkan suatu perubahan positif dan meningkatkan kinerja. Long dan Vaughan (2012) juga menyatakan bahwa hubungan interpersonal dalam sebuah organisasi memiliki salah satu struktur pembentuk dalam organisasi yaitu hubungan antara atasan dan bawahan, yang mana hubungan antara atasan dan bawahan
sangat
penting
dalam
menentukan
bagaimana
karyawan
mengidentifikasi pekerjaan mereka, komitemen terhadap perusahaan, serta dikaitkan juga terhadap pendapatan karyawan dan produktivitas karyawan.
3
Hubungan antara atasan dan bawahan adalah merupakan hal yang cukup kuat dalam menentukan di hubungan yang baik dalam organisasi. Hal ini melibatkan sejauh mana hubungan antara atasan dan bawahannya terjalin kooperatif dan ramah atau antagonis dan sulit. Seorang atasan yang memiliki hubungan yang baik dengan bawahannya maka akan merasa mendapat dukungan dan dapat mengandalkan loyalitas dari para bawahannya untuk dapat menghasilkan suatu kinerja yang maksimal (Hughes dkk, 2009). Asumsi dasar dari hubungan antara atasan dan bawahan adalah adanya hubungan pertukaran antara dua orang yang memiliki pengaruh positif tehadap komitmen pada tujuan, produkitivitas serta kinerja karyawan (Song, 2006). Hubungan antara atasan dan bawahan dapat dideskripsikan sebagai sebuah dasar dari struktur hubungan interpersonal dalam sebuah organisasi, hal ini dikarenakan terbentuk untuk mendukung pekerjaan dan persyaratan pekerjaan Hubungan yang terjalin antara atasan merupakan hal penting dalam mendukung pekerjaan yang mampu meningkatkan kinerja dari bawahan dalam pencapaian target kerja kelompok (Zalabak, 2006). Sweeney & Thompson (2009) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa pengembangan kepercayaan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hubungan, faktor personal dan faktor organisasi. Faktor hubungan (relasional) terdiri atas pembentukan dari hubungan saling ketergantungan (interdependence) secara bersama dalam hubungan antara atasan dan bawahan, dan dalam membangun tipe hubungan ini merupakan tanggung jawab dari seorang atasan.
4
Dalam melihat relasi interpersonal yang terjadi dalam sebuah organisasi dapat dibedakan atas dua tipe hubungan yaitu hubungan dalam lingkup pekerjaan dan lingkup diluar pekerjaan, Elizur (1986) dalam penelitiannya mengenai hubungan dalam lingkup pekerjaan dan diluar pekerjaan dengan menggunakan metode facet anlysis menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang terdapat dalam relasi inetrpersonal yang terbentuk dalam lingkup pekerjaan dan di luar pekerjaan. Aspek yang terdapat dalam relasi interpersonal dalam lingkup pekerjaan dapat berupa: task identity, feedback from agents, feedback from job, skill variety, dealing on job,autonomy, dan task significance. Aspek yang terdapat dalam relasi interpersonal yang terbentuk dalam lingkup non-pekerjaan dapat berupa : feedback from others, physical variety, dealing, autonomy. Semakin baik hubungan interpersonal yang terjalin maka dapat membuat seseorang menjadi lebih terbuka mengenai dirinya, makin cermat dalam mempersepsikan orang lain dan dirinya sehingga akan menciptakan terjalinnya komunikasi yang efektif baik dalam lingkup pekerjaan maupun lingkup nonpekerjaan dalam suatu organisasi yang dapat menciptakan suatu kinerja yang baik pula (Rakhmat, 2012). Hal ini juga diungkap oleh Popescu (2013) dalam penelitiannya bahwa komunikasi adalah tujuan yang memiliki arti penting dalam konteks organisasi untuk mencipatakan kinerja yang baik dan mencapai tujuan organisasi. Salah satu aspek penting dalam kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi bawahan serta tingkat kepercayaan yang diberikan kepadanya dalam mencapai tujuan organisasi serta dapat terjalinnya
5
saling penerimaan antara satu sama lainnya (Sweeney & Thompson, 2009). Atasan yang mampu berkomunikasi dengan bawahan dengan baik seperti mampu memotivasi karyawan dan menjalin hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam mencapai tujuan akan memiliki dampak positif pada produktivitas kinerja karyawan (Song, 2006). Adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan bersama dalam organisasi membuat terciptanya hubungan saling ketergantungan antara atasan dan bawahan (interdependesi). Dasar pemikiran dari teori interdependensi sosial adalah adanya struktur tujuan dari beberapa orang dalam situasi tertentu serta bagaimana orangorang tersebut berinteraksi dan untuk menentukan hasil dari interaksi yang mereka lakukan. Tipe dalam hubungan saling ketergantungan (interpedendensi) menentukan bagaimana individu harus berinteraksi dalam mencapai tujuan mereka tersebut. Dalam sebuah interaksi terlihat bahwa terdapat kesempatan untuk a) mendukung dan memfasilitasi orang lain dalam mencapai tujuan, dan b) menghambat dan menghalangi orang lain dalam mencapai tujuan. Dalam sebuah interaksi didefinisikan sebagai perilaku individu yang berurutan atau bersamaan yang dapat mempengaruhi hasil di masa depan baik langsung ataupun tidak langsung dari setiap individu (Jhonson & jhonson, 2005). Jhonson&Jhonson (2005) menjelaskan bahwa interdependensi positif menghasilkan suatu proses interaksi yang saling mendukung (promotive interaction), sedangkan interdependensi negatiif mengakibatkan proses interaksi yang bertentangan (oppositional interaction). Promotive interaction didefinisikan sebagai orang yang terlibat dalam tindakan yang memungkinkan meningkatkan
6
setiap keberhasilan orang lain dalam mencapai tujuan bersama. Hal ini terdiri dari sejumlah variabel yang meliputi bantuan, pertukaran sumber daya yang diperlukan, komunkasi yang efektif, pengaruh timbal balik, kepercayaam dan manajemen konflik. Oppositional intercation didefinisikan sebagai individu terlibat dalam tindakan yang memungkinkan akan menghambat keberhasilan orang lain dalam mencapai tujuannya, individu tersebut
memfokuskan pada
peningkatan produktivitas diri sendiri dan bisa menghalangi orang lain untuk mencapai produktivitas yang lebih baik dari yang ia lakukan. Hal ini terdiri dari variabel seperti terhalangnya orang lain dalam mencapai tujuan, taktik untuk mengancaman serta memaksa, komunikasi yang tidak efektif, ketidakpercayaan dan perjuangan untuk menang dalam
konflik. No interaction didefinisikan
sebagai individu yang terlibat dalam tindakan yang mendukung pencapaian tujuan sendiri tanpa mempengaruhi pencapaian tujuan orang lain, individu ini hanya fokus dalam meningkatkan produktivitas dan pencapaian dirinya, serta mengabaikan usaha orang lain yang tidak relevan dengan tindakan yang ia lakukan.
A
B
Promotive interaction A
B
Oppositional intercation
7
B
A
No interaction Gambar 1: Bentuk interaksi Hubungan interpersonal di organisasi terbentuk berdasarkan kepentingan tugas dan social consideration. Untuk menjadikan suatu hubungan yang efektif, penting untuk mengerti bagaimana bisa menarik orang lain dan bagaimana mempengaruhi mereka membentuk suatu pengaruh perilaku komunikasi yang terjalin didalamnya. Apabila komunikasi yang terjalin antara atasan dan bawahan sudah terjalin dengan efektif, maka dengan kemungkinan terbesar dapat membentuk suatu relasi interpersonal yang baik pula antara atasan dan bawahan di sebuah organisasi. Hubungan interdependesi dapat membantu atasan dalam menciptakan kepercayaan dari bawahan dengan meningkatkan hubungan yang
kooperatif,
menjadi kompeten dalam pekerjaan, menampilkan karakter terbaik, dan menampilkan intensi untuk membuat bawahan lebih memiliki kepercayaan kepadanya. Interdependensi kooperatif dapat didefinisikan sebagai ketika atasan dan bawahan saling peduli antar satu sama lain. (Sweeney & Thompson, 2009) Deutsch (dalam Jhonson & Jhonson, 2005) juga menjelaskan bahwa individu akan mengejar tujuan mereka sendiri, namun bagaimana individu tersebut dapat percaya bahwa tujuan mereka itu berhubungan dengan orang lain dan sangat mempengaruhi dinamika dan memiliki konsekuensi terhadap
8
hubungannya dengan orang lain. Dalam berinteraksi individu akan menjalani dua hal yaitu kerjasama dan kompetisi. Dasar dari sebuah kerjasama maupun kompetisi adalah arah dari tujuan yang menentukan bagaimana individu berinteraksi dan interaksi mereka tersebut yang akan menentukan hasilnya. Kerjasama
dalam
hubungan atasan-bawahan,
tujuan dianggap
berhubungan positif, atasan percaya kesuksesan bawahan akan
memfasilitasi
kesuksesan mereka juga, ketika bawahan bergerak ke arah pencapaian tujuan, maka mereka juga akan beregerak mencapai tujuan bersama. Terjalinnya kerjasama yang baik antara atasan dan bawahan dapat menghasilkan suatu produktivitas kinerja bersama, dimana ketika bawahan mampu mencapai target pekerjaan mereka maka atasan pun dapat mencapai tujuan pekerjaanya (Jhonson & Jhonson, 2005). Kompetisi dalam hubungan atasan bawahan, tujuan mereka berhubungan negatif dan bertolak belakang. Dalam kompetisi seseorang merasa ketika semakin banyak orang lain mencapai kesuksesan, maka semakin kecil mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, sehingga mereka mencoba menahan informasi
dan ide-ide untuk
meningkatkan kesempatan mereka
dalam
memenangkan persaingan. Hasil dari kompetisi dapat mengakibatkan interaksi yang kurang baik serta dapat menimbulkan konflik dan bisa disebabkan oleh komunikasi yang terbatas antara atasan dan bawahan. Dalam hubungan atasan bawahan kompetisi dapat terjadi ketika atasan tidak menjelaskan tujuan kerja bersama bawahan dan tidak menghargai hasil pekerjaan bawahannya.
9
Yifeng (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa teori kerja sama dan kompetisi dalam hubungan atasan-bawahan dapat menyediakan kerangka kerja bagaimana atasan asing dalam menghadapi hambatan dan rintangan antara manajer dan karyawan. Bambacas, dkk (2008) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa seorang atasan harus memiliki komunikasi interpersonal yang baik untuk dapat menciptakan komitmen bawahannya, bagaimana perilaku atasan, cara penyampaian
pesan
kepada
bawahan,
kemampuan
mendengarkan
dan
kemampuan memimpin merupakan hal pentinng dalam meningkatkan komitmen bawahan dalam bekerja. Atasan dan bawahan keduanya memiliki beragam karakteristik pribadi dan kecenderungan dalam memandang hubungan mereka. Interaksi dari karakteristik akan mempengaruhi kepuasan dari perasaan seseorang terhadap orang lain dan membantu menetapkan efektivitas dari suatu hubungan. Neufeld, dkk (2010) juga menjelaskan dalam penelitiannya bahwa efektivitas komunikasi antara atasan dan bawahan merupakan prediktor kuat yang mempengaruhi kinerja atasan. Lee dalam Zalabak (2006) menyatakan bahwa hubungan atasan dan bawahan dapat dijelaskan dalam istilah Leader-Member Exchange Theory (LMX). Teori LMX menunjukkan bahwa pemimpin memiliki waktu yang terbatas, sumber daya dan bersama-sama diantara pribadi dan posisi yang berbeda dengan bawahan mereka (Aamodt & Raynes, 2000). Vertical Dyad Linkage (VDL) adalah teori yang dikembangkan oleh Dansereau, Graen dan Haga (1975) dan merupakan teori situasional. Teori VDL ini berkonsentrasi pada interaksi antara atasan dan bawahan yang biasa disebut
10
degan Teori Leader Member Exchange (LMX). Teori VDL menyatakan bahwa para atasan mengembangkan peran yang berbeda dengan bawahan yang berbeda dan juga melakukan tindakan yang berbeda pula dengan bawahan yang berbeda pula (Aamodt & Raynes, 2000). Fokus dalam model LMX dalam hubungan dyad yaitu menjelaskan metode atasan dan bawahan dalam mengembangakan berbagai perilaku yang saling ketergantungan satu sama lain (Yrle, 2003). Leader-member Exchange (LMX) menyatakan bahwa para atasan membentuk hubungan khusus dengan bawahannya yang berdasarkan kompetensi bawahan dan keahlian serta keinginan pribadi yang sama dengan mereka. Seperti sebuah hubungan khusus, kepercayaan berkembang antara atasan-bawahan dalam sebuah kelompok, atasan dan bawahan dengan kemapuan yang lebih besar untuk dapat mempengaruhi satu sama lain (Sweeney & Thompson, 2009; Daft, 1999). LMX merupakan sebuah konsep yang mampu menjelaskan bagaimana hubungan antara atasan dan bawahan berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Cogliser et al., 2009). Lee (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kualitas dari hubungan atasan-bawahan (LMX) juga mampu memediasi hubungan antara tipe kepemimpinan atasan dengan komitmen organisasi yang ditunjukkan oleh bawahan. Ford & Greguras (2006) dalam penelitiannya LMX
yang meneliti
mengenai LMX dengan menggunakan teori LMX yang dikembangkan oleh Liden & Maslyn (1998) yang terdiri dari empat dimensi yang berbeda, yaitu (a) afeksi, merupakan sikap saling mempengaruhi satu sama lain antara atasan dan bawahan berdasarkan daya tarik interpersonal dan tidak hanya dari nilai professional
11
pekerja (seperti, persahabatan), b) loyalitas, merupakan ekspresi dan ungkapan untuk mendukung penuh tujuan dan karakter pribadi anggota lainnya dalam hubungan timbal balik pimpinan dan bawahan (dyad LMX) (seperti, kesetiaan); (c) kontribusi, merupakan persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada tugas di tingkat tertentu antara setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama (eksplisit atau implisit). Sejauhmana anggota bawahan dari dyad menangani tanggung jawab dan menyelesaikan tugas-tugasnya secara bertanggung jawab atau sesuai kontrak kerja, serta sejauhmana atasan memberikan sumber daya dan peluang untuk kegiatan tersebut, (d) Respek profesional, adalah persepsi dimana setiap anggota dalam hubungan tersebut telah menciptakan reputasi didalam atau diluar organisasi. Persepsi ini dapat didasarkan pada data sejarah tentang seseorang, seperti pengalaman pribadi dengan seseorang, komentar yang dibuat menggenai seseorang yang diperoleh secara pribadi dari dalam maupun dari luar organisasi, serta penghargaan atau pengakuan professional yang diperoleh seseorang. Perizade dan Mohamed (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa LMX dengan dua dimensi afeksi dan kontribusi adalah merupakan instrumen yang solid. Pada penelitiannya yang dilakukan di Sumatera Selaran dengan partisipan para CEO yang ada di daerah tersebut. Efektivitas kepemimpinan cukup nyata
telah dipengaruhi oleh LMX dimana kontribusi dan afeksi
merupakan dimensi yang dapat mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Hasil penelitian Mashud, Yukl dan Prussia (2010) menyatakan bahwa perilaku yang berorientasi pada hubungan atasan sepenuhnya dimediasi oleh hubungan antara etika kepemimpinan dan hubungan antara atasan dan bawahan (LMX).
12
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Yifeng (2008) bahwa tujuan merupakan fondasi utama dalam mengatasi jarak budaya antara atasan asing dengan karyawan, dan merupakan fondasi dalam membangun dan mengembangkan hubungan atasan-bawahan yang kuat dengan para atasan asing yang ada di Cina. Selain dijelaskan dalam teori LMX, hubungan atasan bawahan juga telah dijelaskan oleh Warren (1999) mengenai paternalisme leadership. Warren (1999) menjelaskan bahwa paternalisme leadership baru diimplementasikan dalam kebijakan HRM untuk mendapatkan komitmen karyawan dan produktivitas yang berbasis tim. Dalam paternalisme baru, perusahaan lebih terlibat dalam kehidupan diluar
konteks
pekerjaan
karyawan
mereka
dengan
membantu
dalam
permasalahan sosial dan keluarga mereka (Aycan, 2006). Dalam konteks organisasi, paternalisme baru dikembangkan untuk memanusiakan dan memoralisasi tempat kerja dalam membangun sistem manajemen yang lebih fleksibel dibandingkan dengan hubungan yang kaku anatara atasan dan bawahan. Paternalisme dapat menjelaskan hubungan antara atasan bawahan dalam konteks corporate culture, yaitu hubungan yang lebih fleksibel antara atasan dan bawahan dengan tidak adanya aturan formal yang mengikat diantara keduanya sehingga dapat dimungkinkan terjalinnya hubungan bergantung pada kondisi saat itu (Aycan, 2006). Dalam arti luas, Paternalisme dalam organisasi adalah bagaimana atasan mempelakukan karyawan seolah-olah mereka adalah bagian dari keluarga. Dalam hubungan interpersonal, atasan paternalistik beperilaku seperti kebapakan kepada
13
bawahannya. Dalam konteks organisasi, berperilaku atasan paternalistikdapat diuraikan sebagai berikut: a. Menciptakan suasana keluarga di tempat kerja, dapat berperilaku seperti seeorang ayah kepada atasan dengan memberikan nasehat kepada bawahan dalam mewujudkan suatu profesionalitas dari bawahan. b. Membangun hubungan dekat dan hubungan individual dengan bawahan, dapat memahami setiap bawahan dan menjalin sebuah hubungan dekat dengan bawahan. c. Terlibat dalam domain non-kerja bawahan, dapat membantu bawahan dalam hal-hal yang tidak berkaitan dnegan pekerjaan seperti masalah pribadi dari bawahan tersebut. d. Mengharapkan loyalitas. Mengharapkan loyalitas dan komitmen dari setiap bawahan terhadap pekerjaan yang berkaitan dengan organisasi. e. Mempertahankan otoritas/status. Pentingnya memberikan perbedaan status/posisi dan bawahan dapat memahami hal tersebut (Aycan, 2006). Reaksi dan perilaku dalam hubungan paternalistik karyawan belum ditelaah secara sistematis dalam literatur, namun ada ada bukti yang bersifat anekdotal dan penelitian kualitatif menyatakan bahwa loyalitas karyawan dan rasa hormat diwujudkan dalam berbagai bentuk sebagai berikut:
14
a. Menganggap
lingkungan
pekerjaan
sebagai
sebuah
keluarga.
Menerima lingkupan kerja mejadi sebagai sebuah keluarga dan merasa adanya ikatan emosional dengan atasan. b. Menjadi loyal dan menghormati atasan. Menunjukkan sikap loyal dan setia terhadap atasan sehingga mampu bekerja dnegan baik dan menjaga nama baik atasan dan perusahaan. c. Ikut terlibat dalam domain non-pekerjaan. dapat saling membantu dengan atasan dalam permasalahan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan / masalah pribadi atasan apabila ia membutuhkannya. d. Menerima otoritas dan percaya terhadap apa yang diberikan oleh atasan (Aycan, 2006). Aycan (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kerangka kerja konseptual yang dibagi dua tipe paternalisme yaitu benevolent paternalisme dan exploitative paternalisme yang sangat berbeda dengan gaya manajemen otoriter dan otoritatif. Benevolent paternalisme terjadi ketika penekaman utamanya adalah pada kesejahteraan karyawan yang diberikan oleh atasan. Sebagai imbalannya, karyawan menunjukkan loyalitas dan rasa hormat serta mendapatkan penghargaan terhadap sikap dari atasanya. Pada tipe ini atasan akan peduli (care) pada bawahannya untuk dapat meningkatkan kinerja dari bawahannya, dimana bawahn akan menujukkan loyalitas (loyalty) dan rasa hormat (deference) terhadap atasan mereka. Dalam exploitative paternalisme perilaku yang jelas terlihat juga dalam hal perhatian dan pengasuhan, tetapi dengan alasan yang berbeda yaitu untuk
15
menciptakan kepatuhan karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Pada tipe ini atasan peduli pada karyawan dengan tujuan untuk mengeksploitasi karyawannya, dimana bawahan akan menunjukkan loyalitas dan rasa hormat kepada atasan guna semata-mata mendapatkan keuntungan atau menghindari hukuman. Manajemen otoriter (authoritarian approach) bergantung pada kontrol (control) dan eksploitasi pada bagian superior, di mana bawahan menunjukkan kesesuaian dan ketergantungan dalam menerima imbalan atau menghindari hukuman. Pada tipe ini atasan akan memberikan kontrol kepada bawahan agar bawahan mampu bekerja lebih keras, dimana bawahan akan menunjukkan kesesuaian (conformity) dan ketergantungan (dependence) pada atasan untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari hukuman. Manajemen pengawasan
otoritatif
(control),
tetapi
(authoritative alasan
yang
apporach)
juga
mendasarinya
melakukan
adalah
untuk
mempromosikan kesejahteraan bawahan. Bawahan sebagai imbalannya adalah menghormati keputusan atasan dan sesuai dengan aturan yang akan bermanfaat untuk diri karyawan tersebut. Atasan yang terbuka dalam berbagai hal dapat membuat bawahan menjadi merasa dihargai dan dibimbing oleh atasannya sehingga mereka mampu menghasilkan kinjera yang baik dan mencapai tujuan bersama sampai akhirnya menghasilkan suatu produktivitas organisasi. Berdasarkan pengalaman penulis yang telah melakukan praktek kerja profesi psikologi di PT. United Tractors, hubungan yang terjalin antara atasan dan bawahan terlihat cukup baik. Setiap Departement Head akan terbuka ketika bawahannya ingin berdiskusi terkait
16
dengan permasalahan yang dialami baik yang berhubungan dengan pekerjaan maupun masalah pribadi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh PT. United Tractors berupa Employee Engagement Survey didapat hasil yang menunjukkan terjalinnya hubungan yang baik baik antara sesama karyawan dan antara atasan dan bawahan. Survey ini merupakan survey yang dilakukan oleh manajemen untuk melihat gambaran mengenai bagaimana hubungan yang terjalin dalam organisasi secara menyeluruh. Kase (2009) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa desain pekerjaan bersama dengan pelatihan dan pengembangan SDM dapat membentuk sautau hubungan struktural. Pengaruh dari desain pekerjaan bersamaan dengan pelatihan dan pengembangan SDM dalam transfer pengetahuan antar perusahaan terutama dimediasi oleh sebuah hubungan interpersonal. Berdasarkan penelitian
terdahulu yang telah dilakukan oleh Hernaus
(2005) dengan subjek penelitian karyawan yang ada di Kroasia yaitu terjalinnya relasi interpersonal yang baik dalam bekerja merupakan suatu aspek yang penting. Penelitian yang dilakukan di Kroasia ini menunjukkan bahwa karyawan Kroasia menganggap hubungan interpersonal di tempat kerja secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan yang lainnya dimana karyawan di Kroasia bekerja didalam lingkungan yang kurang positif, secara signifikan mereka frekuensi mereka untuk berkonsultasi dengan atasan yang masih kurang, jarang memberi pujian dan atasan mereka kurang memberikan waktu yang lebih bagi karyawannya. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa terdapat perbedaan relasi
17
interpersonal di tempat kerja antara konteks budaya barat dan konteks budaya non-barat. Moghaddam (1993) dalam Duck(2010), relasi interpersonal pada konteks budaya barat cenderung individualis, sukarela dan bersifat sementara, sedangkan untuk budaya non-Barat lebih cenderung kolektif, spontan dan permanen. Seorang karyawan yang dapat memberikan kinerja yang baik dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah hubungan atasan-bawahan dan iklim komunikasi yang terjadi di perusahaan. Hubungan atasan-bawahan atau iklim organisasi yang buruk kerap mempengaruhi persepsi atasan terhadap bawahan, akibatnya hubungan yang tercipta cenderung vertikal dan bawahan hanyalah dipandang sebagai orang orang suruhan. Dampak jangka panjang yang terjadi adalah produktivitas menurun karena kurang puas terhadap suasana yang ada, karyawan akan menjadi malas bekerja karena tidak memiliki semangat dalam bekerja dan pada akhirnya dapat menimbulkan efek negatif kepada produktivitas departemen dan organisasi tersebut. Persepsi interpersonal besar pengaruhnya, bukan saja pada komunikasi interpersonal melainkan juga pada relasi/hubungan interpersonal. Oleh karena itu, kecermatan persepsi interpersonal akan sangat berguna dalam meningkatkan kualitas relasi/hubungan interpersonal. Adapaun faktor-faktor personal yang mempengaruhi adalah: Pengalaman, motivasi, dan kepribadian (Rakhmat, 2012). Seperti yang dijelaskan oleh Septiani (2006) dalam penelitiannya bahwa iklim komunikasi ternyata mempengaruhi interaksi antara hubungan atasan-bawahan dan motivasi karyawan.
18
Penelitian mengenai relasi interpersonal antara atasan dan bawahan harus dilihat dari dua sudut pandang baik dari atasan ke bawahan dan sebaliknya. Dengan demikian dapat terlihat bagaimana hubungan yang telah terjalin dari kacamata kedua belah pihak bukan dari persepsi satu pihak. Penelitian terdahulu tentang relasi interpersonal seringkali hanya melihat dari satu sudut pandang saja sehingga data yang diperoleh kurang komprehensif untuk menggali bagaimana efektivitas relasi interpersonal tersebut. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan menitikberatkan kepada pengujian secara kuantitatif, sedangkan secara kualitatif dan mendalam masih jarang dilaksanakan. Divisi Truck Operation terdiri atas beberapa departemen yang dipimpin oleh seorang departement head yang membawahi beberapa staff. Secara gambaran umum berdasarkan hasil prelimenary yang dilakukan oleh penulis terlihat hubungan yang cukup baik di perusahaan. Gambaran hubungan yang cukup baik ini hanya berdasarkan survey yang dilakukan oleh perusahaan terhadap hubungan secara keseluruhan dan belum mengacu kepada hubungan atasan dan bawahan. Namun, ada terdapatnya perbedaan hubungan yang terjalin antara atasan yang satu dengan yang lainnya, sehingga terlihat bahwa masih adanya hubungan yang terjalin kurang baik di dalam divisi tersebut. Komunikasi yang terjalin kurang baik antara atasan dan bawahan dapat menimbulkan menurunya motivasi karyawan disebuah departemen di divisi ini. Berdasarkan penjelasan di atas, maka permasalahan penelitian yang diangkat oleh peneliti adalah bagaimana bentuk relasi interpersonal antara atasan dan bawahan secara kontekstual pada konteks lingkungan kerja tertentu.
19
Penelitian ini akan mengungkap sejauh mana relasi intereprsonal yang terjalin serta aspek-aspek relasi interpersonal yang terjalin antara atasan dan bawahan seperti apa yang mampu meningkatkan produktivitas kinerja dalam konteks lingkungan pekerjaan tertentu. Adapun pertanyaan penelitian yang diungkap dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana relasi antara atasan dan bawahan yang terjalin? (2) Apa saja faktor-faktor relasi yang mampu meningkatkan produktivitas kinerja? (3) Bagaimana dinamika relasi yang terjalin antara atasan dan bawahan? Penelitian ini dapat membantu perusahaan dalam melihat bagaimana bentuk relasi interpersonal yang terjalin antara atasan dan bawahan pada divisi operasional terutama Truck Division. Penelitian ini mampu memberikan masukan kepada pihak manajemen untuk mencipatakan suatu kompetisi bagi setiap kelompok yang ada untuk dapat mencipatkan relasi yang baik antara atasan dan bawahan untuk mencapai hasil kinerja yang maksimal. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bentuk hubungan interpersonal yang terjalin antara atasan dan bawahan pada organisasiorganisasi yang sejenis di Indonesia Implikasi teoritis dari pelaksanaan penelitian ini adalah dapat memberkan sumbangan ilmu bagi peneliti, praktisi di bidang Psikologi Industri dan Organisasi dan
masyrakat
umum
mengenai
aspek-aspek
penting
mengenai
relasi
interpersonal yang terjalin di perusahaan. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah memberikan masukan praktis dalam pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia serta terjalinnya relasi interpersonal yang optimal dan