MENINGKATKAN PERCAYA DIRI MELALUI PERMAINAN OUTBONDSEDERHANA PADA ANAK KELOMPOK B DI TK KEMALA BHAYANGKARI 05 KECAMATAN HULONTHALANGI KOTA GORONTALO SESKA BAWOTONG ( Mahasiswa Jurusan SI PG PAUD FIP UNG) Pembimbing Dra. Hj. Rena L. Madina Samsiah, S.Pd, M.Pd ABSTRAK
Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah : “Apakah percaya diri anak kelompok B di TK Kemala Bhayangkari 05 Kecamatan Hulontalangi Kota Gorontalo, dapat ditingkatkan melalui pemainan out-bond? Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan percaya diri anak melalui permainan out-bond sederhana pada anak kelompok B di TK Kemala Bhayangkari 05 Kecamatan Hulontalangi Kota Gorontalo. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 2 kali pertemuan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi dan dokumentasi. Pada siklus I pertemuan 1 terjadi peningkatan anak yang memiliki percaya diri yakni sejumlah sepuluh anak,(limapuluh persen), selanjutnya pada siklus I pertemuan 2 meningkat menjadi duabelas anak,(enampuluh persen). Siklus II pertemuan 1 anak yang memiliki percaya diri menjadi empatbelas anak( tujuhpuluh persen), dan siklus II pertemuan 2 terjadi peningkatan menjadi enambelas anak (delapanpuluh persen) dari duapuluh anak. Terkait temuan dapat disimpulkan bahwa, jika digunakan permainan out-bond sederhana, maka percaya diri anak kelompok B di TK Kemala Bhayangkari 05 Kecamatan Hulontalangi Kota Gorontalo, meningkat. Kata Kunci : Percaya diri, permainan out-bond sederhana
I. PENDAHULUAN Proses pembelajaran pada anak usia dini pada dasarnya dilakukan dengan tujuan memberikan konsep-konsep dasar yang memiliki kebermaknaan bagi anak melalui pengalaman nyata yang memungkinkan anak untuk menunjukkan rasa ingin tahu. Anak adalah menusia kecil yang memiliki potensi yang masih harus dikembangkan. Anak memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama
1
dengan orang dewasa, mereka selalu aktif, dinamis, antusias dan rasa ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan, mereka seolah-olah tak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar. Anak bersifat egosentris, memiliki rasa ingin tahu secara alamiah, merupakan makhluk sosial, unik dengan fantasi, memiliki daya perhatian dan merupakan masa yang paling potensial untuk belajar. Percaya diri merupakan bagian dari perkembangan sosial yang perlu ditumbuh-kembangkan pada anak sejak usia dini. Guru sebagai pendidik yang bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak, perlu memfasilitasi percaya diri melalui proses pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Anak yang kurang memiliki percaya diri sangat berpengaruh pada proses pembelajaran, seperti kurang berani dalam melakukan aktivitas, selalu tergantung kepada orang tua maupun guru, kurang kreatif, tidak mandiri. Dalam PERMEN DIKNAS No. 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tingkat pencapaian perkembangan usia 4 – 5 tahun untuk aspek sosial emosional anak dituntut untuk: a) menunjukkan sikap mandiri dalam memilih kegiatan; b) menunjukkan antusiasme dalam melakukan permainan; c) menunjukkan rasa percaya diri. Bahari (2010:7) menyatakan permainan out-bond adalah jenis permainan yang bisa dilakukan, baik di dalam ataupun di luar ruangan. Permainan tersebut biasanya penuh tantangan, tetapi dapat dimainkan dengan penuh keceriaan. Dengan permainan-permainan tersebut, peserta diharapkan bisa mendapatkan manfaat berupa peningkatan kualitas diri, baik untuk bekerja sama dengan orang lain, mengatasi rasa takut, meningkatkan rasa percaya diri, ataupun kedisiplinan. Permainan out-bond merupakan kegiatan di alam terbuka, atau sering dikenal dengan istilah out-bond. Out-bond banyak diminati di sekolah, tidak hanya
di
sekolah
menengah,
(http//www.psiko.jatiuwung.web.id)
2
bahkan
anak
usia
TK,
II. KAJIAN PUSTAKA 1. PENGERTIAN PERCAYA DIRI Percaya diri akan berhubungan dengan berpikir kreatif anak. Peranan guru dalam memfasilitasi pembentukan percaya diri sangat dibutuhkan, hal ini sejalan dengan pendapat Munandar (2009:12) menjelaskan bahwa perkembangan optimal dari kemampuan berpikir kreatif berhubungan erat dengan cara mengajar. Dalam suasana non otoriter, ketika belajar atau prakarsa sendiri dapat berkembang, karena guru menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berpikir dan berani mengemukakan gagasan baru dan ketika anak diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya, dalam suasana inilah kemampuan kreatif dapat tumbuh dengan subur. Rasa ingin tahu merupakan bagian dari percaya diri. Suyadi (2009:139) mengemukakan bahwa setiap anak mempunyai naluri ingin tahu yang sangat tinggi. Mereka menaruh minat terhadap segala sesuatu di lingkungan mereka, termasuk diri mereka sendiri. Semakin luas lingkungan anak-anak, semakin luas pula mereka mempunyai rasa ingin tahu. Seefeldt dan Wasik (2008:169) mengemukakan anak-anak yang memiliki rasa percaya diri yang mantap, umumnya adalah pribadi yang bisa dan mau belajar, dapat mengendalikan perilaku mereka sendiri, dan berhubungan dengan orang lain secara efektif. Dengan demikian, langkah pertama dalam bimbingan adalah meyakinkan anak bahwa mereka benar-benar mengetahui diri sendiri dan mengendalikan perasaan positif terhadap diri mereka sendiri. Rahmawati dan Kurniati (2010:15) menjelaskan percaya diri merupakan salah satu ciri kreativitas. Percaya diri pada anak dapat ditumbuh-kembangkan melalui sikap penerimaan dan menghargai perilaku anak. Kepercayaan diri merupakan syarat penting yang harus dimiliki anak untuk menghasilkan karya kreatif. Percaya diri merupakan aspek yang perlu dibentuk pada anak, sebab hal ini mendasari perkembangan anak secara keseluruhan. Tanpa percaya diri, anak tidak dapat melakukan aktivitas, bahkan perkembangannya agak lambat dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Adapun indikator percaya diri pada penelitian ini meliputi:
3
1. Rasa Ingin Tahu Rasa ingin tahu pada anak usia dini harus kita jawab segala bentuk pertanyaan yang disampaikan oleh anak kepada kita. Sebagai orang tua maupun guru jangan sekali-kali tidak menghiraukan pertanyaan seorang anak. Hal ini akan mengakibatkan anak menjadi masa bodoh, dia merasa tidak dipedulikan, dan akan mengganggu aspek perkembangan, akibatnya anak menjadi kurang kreatif. 2. Berani Tampil Berani tampil di depan kelas menandakan anak ini mempunyai suatu kepercayaan diri yang sangat kuat. Hal ini dapat dilihat, anak mampu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru seperti mengucap syair, membaca doa, bernyanyi dan banyak hal yang dapat dilakukan oleh anak. 2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERCAYA DIRI ANAK Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi percaya diri anak, antara lain: 1. Lingkungan Keluarga Anwar Ahmad (2007:27) mengemukakan para orang tua hendaknya memperhatikan suasana harmonis dan kondusif dalam keluarga, sehingga memungkinkan pertumbuhan anak secara normal. Pertanyaan-pertanyaan anak yang tidak diperhatikan akan mematikan rasa ingin tahu, yang berdampak pada anak menjadi masa bodoh dan bersikap tidak peduli dan akan menjadikannya sulit berkembang, baik kecerdasan maupun kreativitasnya. Maya dan Wido (2006:4) menjelaskan dalam hal sikap dan pola asuh orang tua dalam membesarkan anak. Banyak kesalahan yang telah dilakukan, namun sayang sedikit sekali orang tua yang mau mengakuinya dan berniat untuk mengubahnya, walaupun tampaknya kesalahan itu hanya sepele namun tak jarang akan menentukan perilaku masa depan anak kelak. Dari lingkungan keluargalah, anak-anak belajar. 2. Lingkungan Sekolah
4
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pembelajaran dalam rangka membantu anak agar mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral spiritual, intelektual, emosional, sosial maupun fisik-motoriknya. Hurlock (dalam Yusuf, 2011:30) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak, baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru sebagai substitusi orang tua. Dalam hubungan dengan percaya diri, hendaknya sekolah selalu memotivasi anak untuk memiliki kemampuan diri. Nuryanti (2008:39) menguraikan kecerdasan anak di sekolah tidak hanya ditentukan oleh faktor kognisi atau kecerdasan semata. Ada faktor lain yang juga berpengaruh besar antara lain keyakinan kemampuan diri (self-efficacy) anak adalah keyakinan anak bahwa dirinya mampu menguasai tugas sekolah dan mengatur sendiri belajarnya. Anak yang tinggi keyakinan kemampuan dirinya lebih cenderung berusaha mencapai prestasi dan lebih cenderung sukses daripada anak yang tidak mempunyai keyakinan atas kemampuannya. Anak-anak yang memiliki rasa percaya diri yang mantap, umumnya adalah pribadi yang bisa dan mau belajar, dapat mengendalikan perilaku mereka sendiri, dan berhubungan dengan orang lain secara efektif. Dengan demikian, langkah pertama dalam bimbingan adalah meyakinkan anak bahwa mereka benar-benar mengetahui diri sendiri dan mengendalikan perasaan positif terhadap diri mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Seefeltd dan Wasik (2008:169) yang menyatakan bahwa TK bisa berbuat banyak untuk memelihara rasa percaya diri di dalam diri mereka dan membangun fondasi bagi hubungan masa depan dengan orang lain. 3. Teman Sebaya Saat
anak
memasuki
tahapan
perkembangan
dalam
pengertian
differensiasi, di mana anak telah mengerti dan memahami orang lain, maka anak sudah tidak lagi melihat segala sesuatunya untuk dirinya, atau apa yang disebut
5
pemusatan pada dirinya. Pada saat itu ia membutuhkan orang lain yang dapat mengerti dan emahami dirinya dan ia mengerti apa yang diinginkan orang lain terhadap dirinya. Adapun pengaruh teman sebaya pada perkembangan anak usia dini dikemukakan oleh Baradja (2005:76) sebagai berikut: a. Mempunyai kesamaan dalam perasaan, pikiran dan tingkah laku. Antara satu anak dengan anak yang lain saling mengerti dan memahami. b. Komunikasi dengan teman sebaya, terdapat interaksi yang nyata, dan saling menanggapi, tanpa adanya perintah dan tekanan. Untuk orang tua umumnya dalam berkomunikasi dengan anak lebih bersifat searah, monoton dan menjenuhkan. c. Munculnya keinginan yang sama sesuai dengan perkembangan dan usianya,
sama-sama
mempunyai
kebutuhan
sesuai
dengan
perkembangannya. Dengan orang tua keinginan orang tua yang tidak dapat diterjemahkan anak, dan orang tua yang tidak mengerti keinginan anak. d. Teman sebaya melakukan pola tingkah laku yang tidak meminta anak untuk mengikuti dan melakukannya. Pada orang tua anak diminta dan diharapkan untuk melakukan apa yang diinginkan orang tuanya.
3. HAKIKAT BERMAIN DAN PERMAINAN Mutiah (2010:91) mengemukakan bermain adalah kegiatan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Bermain harus dilakukan atas inisiatif anak dan atas keputusan anak itu sendiri. Bermain harus dilakukan dengan rasa senang, sehingga semua kegiatan bermain yang menyenangkan akan menghasilkan proses belajar pada anak. Selanjutnya Plato, Aristoteles dan Frobel (dalam Mutiah, 2010:93) menyatakan bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Mayesty (dalam Sujiono, 2009:144) mendefinisikan bermain adalah kegiatan yang anak-anak lakukan sepanjang hari karena bagi anak bermain adalah hidup dan hidup adalah permainan. Anak usia dini tidak membedakan antara
6
bermain, belajar dan bekerja. Anak-anak umumnya sangat menikmati permainan dan akan terus melakukannya dimanapun mereka memiliki kesempatan. 4. PRINSIP BERMAIN DAN PERMAINAN BAGI ANAK USIA DINI Hewson (dalam Sujiono, 2009:146) mengemukakan beberapa prinsip bermain dan permainan yakni: 1) Bermain muncul dari dalam diri anak. Keinginan bermain harus muncul dari dalam diri anak, sehingga anak dapat menikmati dan bermain sesuai dengan caranya sendiri. 2) Bermain harus bebas dari aturan yang mengikat, kegiatan untuk dinikmati. Bermain pada anak usia dini harus terbebas dari aturan yang mengikat, karena anak usia dini memiliki cara bermainnya sendiri. 3) Bermain adalah aktivitas nyata atau sesungguhnya. Dalam bermain anak melakukan aktivitas nyata, misalnya pada saat anak bermain dengan air, anak melakukan aktivitas dengan air dan mengenal air dari bermainnya. 4) Bermain harus difokuskan pada proses daripada hasil. Dalam bermain anak harus difokuskan pada proses, bukan hasil yang diciptakan oleh anak. 5) Bermain harus didominasi oleh pemain. Dalam bermain harus didominasi oleh pemain, yaitu anak itu sendiri tidak didominasi oleh orang dewasa, karena jika bermain didominasi oleh orang dewasa maka anak akan mendapatkan makna apa pun dari bermainnya. 6) Bermain harus melibatkan peran aktif dari pemain. Bermain harus melibatkan peran aktif pemain. Anak sebagai pemain harus terjun langsung dalam bermain. 5. FUNGSI DAN BERMAIN DAN PERMAINAN BAGI ANAK USIA DINI Sujiono (2009:145) menjelaskan fungsi bermain, antara lain: 1) dapat memperkuat dan mengembangkan otot dan koordinasinya melalui gerak, melatih motorik halus, motorik kasar, dan keseimbangan, karena ketika bermain fisik anak juga belajar memahami bagaimana kerja tubuhnya; 2) dapat mengembangkan keterampilan emosinya, rasa percaya diri pada orang lain, binatang, atau karakter orang lain. Anak juga belajar melihat dari segi sisi orang lain (empati); 3) dapat
7
mengembangkan kemampuan intelektualnya, karena melalui bermain anak seringkali melakukan eksplorasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya sebagai wujud dari rasa keingintahuannya; 4) dapat mengembangkan kemandiriannya dan menjadi dirinya sendiri, karena melalui bermain anak selalu bertanya, meneliti lingkungan, belajar mengambil keputusan, berlatih peran sosial sehingga anak menyadari kemampuan dan kelebihannya. 6. PERMAINAN DAPAT MENCERDASKAN ASPEK TERTENTU Gardner (dalam Suyadi, 2009:103) mengemukakan beberapa kriteria alat permainan edukatif, antara lain: 1. Mengembangkan Aspek Emosi Emosi sebagai kondisi kejiwaan manusia. Karena sifatnya psikhis atau kejiwaan, maka emosi hanya dapat dikaji melalui letupan-letupan atau ekspresi gerak verbal tubuh saja, seperti kondisi sedih, gembira, gelisah, benci dan lain-lain. 2. Meningkatkan Pola Pikir dan Sikap Kompetitif Dalam bahasa sederhana, permainan ini mengajarkan anak untuk memahami hukum sebab-akibat. Dengan pola pikir kausalitik yang demikian, dalam diri anak akan muncul jiwa sportif. 7. PENGERTIAN OUT-BOND Maryatun (2012:115) menjelaskan out-bond adalah sebuah petualangan yang berisi tantangan, bertemu dengan sesuatu yang tidak diketahui tetapi penting untuk dipelajari, belajar tentang diri sendiri, tentang orang lain dan semua tentang percaya diri sendiri. Out-bond adalah sebuah cara untuk menggali dan mengembangkan potensi anak dalam suasana yang menyenangkan. 8. JENIS-JENIS PERMAINAN OUT-BOND UNTUK ANAK USIA DINI Jenis-jenis permainan outbond untuk anak usia dini, meliputi: 1. Pesan/Bisik Berantai 2. Mencari Benda 3. Palang Titian 4. Terowongan Ban Mobil
8
9. PERMAINAN OUT BOND SEDERHANA MERUPAKAN SALAH SATU JENIS PERMAINAN YANG DAPAT MENINGKATKAN PERCAYA DIRI ANAK Gatut dalam tulisannya yang berjudul management training menyatakan tahapan-tahapan dalam pembelajaran out-bond adalah sebagai berikut: 1) pembentukan pengalaman; 2) perenungan pengalaman; 3) pembentukan konsep; 4) pengujian konsep Adapun bentuk-bentuk out-bond training, antara lain: 1. Ice Breaking; Contoh permainan membentuk huruf
(melatih kecerdasan
linguistik). 2. Soft Orientearing;Anak-anak diminta mengikuti tanda arah panah untuk mencapai tujuan (kecerdasan spasial). 3. Meniti tali, panjat pinang, fliying fox, merayap, berayun (kecerdasan jasmani). 4. Permainan yang dilakukan seperti transfer bola, bisa berjalan, karpet terbang akan
menumbuhkan
kecerdasan
antar
pribadi,
(http//www.psiko-jati-
lewung.wbb.id) III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1) Siklus I Berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan pada siklus I pertemuan 1, menunjukkan bahwa terjadi perubahan setelah diadakan permainan out-bond sederhana. Pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan 1 memberikan hasil yang cukup signifikan. Dalam konteks ini terjadi peningkatan percaya diri dari 8 anak atau 40% menjadi 10 anak atau 50% dari 20 anak, Pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan 2 memberikan hasil yang cukup signifikan. Dalam tindakan ini terjadi peningkatan percaya diri dari 10 (50%) pada siklus I pertemuan 1 meningkat menjadi rata-rata 12 anak (60%) dari 20 anak. 2) Siklus II Pelaksanaan siklus II pertemuan 1 menunjukkan peningkatan yakni dari 12 anak (60%) pada kriteria mampu menjadi 14 atau 70% anak yang memiliki percaya diri. Pelaksanaan siklus II pertemuan 2 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, hal ini dapat dilihat pada tabel 4, untuk kriteria mampu terjadi
9
peningkatan dari siklus II pertemuan 1, 14 anak (70%) menjadi 16 anak (80%) memiliki percaya diri. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis dan tindakan pada siklus I pertemuan 1 terjadi perubahan dari 8 anak yang memiliki percaya diri pada observasi awal menjadi 10 anak atau 10 (50%). Selanjutnya pada siklus I pertemuan 2 diperoleh hasil anak yang telah memiliki percaya diri menjadi 12 anak atau 60%. Pada siklus I pertemuan 2 ini dilakukan permainan out-bond mencari benda dengan tujuan: a) melatih kemampuan, membedakan, menganalisa, mengenali suara; b) melatih konsentrasi; c) melatih daya ingat; d) melatih kepercayaan kepada rekan; e) melatih komunikasi. Pada siklus II pertemuan 1 dilakukan permainan out-bond palang titian dengan tujuan: a) melatih keberanian; b) melatih kepercayaan diri; c) melatih keseimbangan. Melalui permainan ini anak sangat antusias, sehingga diperoleh hasil anak yang memiliki percaya diri meningkat menjadi 14 anak (70%). Selanjutnya pada siklus II pertemuan 2 dengan permainan out-bond terowongan ban mobil dengan tujuan: a) anak dapat mengembangkan kemampuan; b) tepat dan tegas dalam bertindak; c) penuh kesabaran, dan kehatihatian dalam mengambil keputusan. Dari pelaksanaan siklus I pertemuan 2 terjadi perubahan yang cukup signifikan, yakni anak yang memiliki percaya diri dari 14 anak (70%) pada siklus II pertemuan 1 menjadi 16 anak (80%) pada siklus II pertemuan 2; dalam hal ini anak yang kurang memiliki percaya diri 4 anak (20%) dari jumlah anak 20 anak. Dari hasil pelaksanaan siklus, pada prinsipnya percaya diri anak, khususnya pada TK Kemala Bhayangkari 05 Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo dapat ditingkatkan melalui permainan out-bond sederhana.
10
V. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan temuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa percaya diri dapat ditingkatkan melalui permainan out-bond sederhana. Dari kegiatan observasi awal menunjukkan bahwa hanya 8 anak (40%) dari 20 anak yang memiliki percaya diri. Pada siklus I pertemuan 1 terjadi peningkatan percaya diri menjadi 10 anak (50%). Pada siklus I pertemuan 2 kembali terjadi peningkatan menjadi 12 anak (60%). Pada siklus II pertemuan 1 menjadi 14 anak (70%), dan selanjutnya pada siklus II pertemuan 2 berkembang menjadi 16 anak atau 80%. Berdasarkan
temuan
di
atas,maka
hipotesis
tindakan:“Jika
guru
menggunakan out-bond sederhana, maka percaya diri anak di TK Kemala Bhayangkari 05 Kecamatan Hulontalangi Kota Gorontalo, dapat ditingkatkan”,di terimah. 2. Saran Berdasarkan simpulan tersebut dapat dikemukakan beberapa saran berikut: a. Upaya peningkatan percaya diri, hendaknya menjadi perhatian utama guru, karena merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi pengembangan kreativitas anak. b. Permainan out-bond sederhana perlu dijadikan media dalam pembentukan percaya diri anak. c. Kegiatan permainan out-bond sederhana perlu dirancang sedemikian rupa, terutama penggunaan out-bond yang bervariasi, hendaknya disesuaikan dengan karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak.
11
d. Sekolah hendaknya memprogramkan permainan out-bond sederhana yang terintegrasi dengan tujuan pembelajaran.
VI. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Ahmad. 2007. Pendidikan Anak Usia Dini, Bandung: Alfabeta Bahari, Hamid. 2010. Ide-ide Permainan Out-Bond, Jogyakarta: Harmoni Baraja. 2005, perkembangan anak: Jakarta Press Maya, Wido. 2006. Mendidik dan Membesarkan Anak Usia Pra Sekolah, Jakarta: Prestasi Pustaka Mutiah, Diana. 2010. Psikologi Bermain Anak Usia Dini, Jakarta: Prenada Media Group Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi Anak, Jakarta: PT. Indeks Rachmawarti, Kurniati. 2010. Strategi Pengembangan Kreativitas Pada Anak Usia TK, Jakarta: Prenad Media Group Suyadi. 2009. Ternyata Anakku Bisa Kubuat Genius, Jogyakarta: Power Books Sujiono. 2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: PT. Indeks Seefeldt, Wasik. 2008. Pendidikan Anak Usia Dini, PT. Indeks: Jakarta
12