1
Meningkatkan Mutu, Mencermati Isu: Potensi dan Tantangan Penelitian Sosial Yunita T. Winarto (Academy Professor in Social Science and Humanities) Abstrak Tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian ilmiah sosial memiliki sumbangsih yang besar dalam upaya untuk memahami dan menjelaskan berbagai fenomena sosial-budaya, termasuk berbagai masalah yang dihadapi negara dan bangsa dalam satu dekade terakhir. Namun, hasil-hasil penelitian sosial seakan tenggelam dalam kancah kemelut berbagai masalah kompleks yang terjadi di bumi pertiwi ini. Dari titik manakah kita akan menjawab tantangan untuk terlibat dalam mengangkat negara dan bangsa Indonesia dari berbagai keterpurukan, apalagi untuk meningkatkan daya saing Indonesia di dunia internasional? Saya berpendapat bahwa apa pun kondisi yang kini tengah dihadapi oleh para ilmuwan sosial, dua hal amat perlu diupayakan oleh insan-insan akademis, yakni: 1) peningkatan mutu akademis penelitian dan karya-karya ilmiah sosial; dan 2) kecermatan dan kejelian ilmuwan sosial dalam ‘menangkap’ isu-isu kontemporer yang tengah bergolak di masyarakat dan yang juga menjadi ajang argumentasi isu-isu konseptual/teoretis mutakhir. Makalah yang disajikan mengulas kedua hal itu. Potensi bagi pengembangan kualitas penelitian sosial sebenarnya tidak perlu diragukan. Namun, tantangan dan masalah bagi peningkatan mutu penelitian dan karya-karya ilmiah sosial cukup kompleks. Mengembangkan potensi dan menjawab tantangan itulah ‘pekerjaan rumah’ yang tidak ringan bagi pengelola perguruan tinggi dan para ilmuwan sosial Indonesia. Suatu ikhtiar yang serius dan penuh kesungguhan untuk menangani hal ini mutlak diperlukan. It is beyond doubt that research in social sciences provides great contributions in understanding and explaining various kinds of social-cultural phenomena, including problems facing Indonesia in the last decade. However, the results and discoveries of social research have been drawn in the complicated arena of emerging ongoing problems in this country. The question is: from which point should we address those challenges in order to participate in the efforts of lifting up our nation from its problems and, moreover, in improving the competitiveness of Indonesia in the global world? I argue that in whatever conditions facing the social scientists in pursuing their academic works, two things should be seriously addressed by the scholars, namely: 1) the improvement of academic quality of social science research and publication works; and 2) the scholars’ ability to address the contemporary issues emerging in the society and being the subjects of the most recent conceptual-theoretical arguments/debates. The paper examines these two things. We do not need to argue against the potentials for improving the quality of social science research. Nevertheless, the challenges and problems to lift up the quality of social science research and products are quite complex. Developing the potentials and addressing the challenges, those are not just simple ‘home works’ for the managers of higher educations and social scientists in Indonesia. A serious effort to manage these problems are indeed necessary.
2
Meningkatkan Mutu, Mencermati Isu: Potensi dan Tantangan Penelitian Sosial1
Yunita T. Winarto2 (Academy Professor in Social Science and Humanities)
Mutu dan Isu Penelitian Sosial: Suatu Pendahuluan Kegiatan penelitian di bidang ilmu sosial merupakan suatu bagian saja dari rangkaian kegiatan keilmuan yang panjang dan saling berangkai. Rangkaian kegiatan itu tidaklah dimulai hanya dari titik awal seorang ilmuwan sosial menggoreskan gagasan dan pertanyaan yang mengusik dan menggelitik pikirannya untuk mencari jawaban. Goresan gagasan dan pertanyaan itu pun merupakan hasil dari rangkaian panjang kegiatan sebelumnya dari sang ilmuwan dalam mencermati dan mempelajari berbagai pustaka yang terkait dengan isu-isu teoretis, konseptual, dan metodologis yang relevan dengan isu yang akan diteliti. Termasuk pula kegiatan sang ilmuwan di saat-saat mencermati dan mengritisi berbagai fenomena sosial yang sekiranya signifikan bagi pengembangan isuisu teoretis, konseptual dan metodologis melalui penelitian yang dirancang. Sebagaimana dikemukakan oleh Lichbach (2003:9 ; lihat pula Winarto dkk. 2004 :3), semua kegiatan penelitian dilaksanakan dalam suatu kerangka teori, konsep, dan metode; dan karena itulah kritik teoretis itu amat membantu karya penelitian empiris yang konkret. Lichbach (2003:9) pun mengemukakan bahwa suatu pemahaman yang lebih kritis tentang kerangka-kerangka teori, konsep, dan metode itu merupakan suatu jalan yang penting untuk memperdalam, merumuskan ulang, dan memperluas wawasan-wawasan substansial tentang fenomena empiris yang akan dikaji. Oleh karena itu, suatu penelitian sosial merupakan suatu kegiatan ilmiah yang amat serius yang tidak mungkin dapat dilaksanakan hanya dalam waktu yang relatif singkat dengan keterbatasan waktu, kendala dana, dan/atau kebutuhan ‘pasar’ atau ‘pesan sponsor’ yang amat mendesak. Jika demikian, mungkinkah penelitian sosial itu ‘dijual’ dan karenanya, perlu ‘memiliki nilai jual yang tinggi’? Jawaban pertama untuk pertanyaan itu tentunya terkait dengan pertanyaan perihal siapakah yang akan memanfaatkan hasil penelitian sosial yang dirancang? Apakah 1
Makalah ini disiapkan untuk disajikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Gadjah Mada dengan tema “Pemanfaatan Hasil-hasil riset UGM dalam Mendukung Peningkatan Daya Saing Indonesia”, Yogyakarta, 28 November 2006. 2 Penulis adalah Academy Professor in Social Science and Humanities, KNAW-NL & Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang berkedudukan di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, dan staf pengajar tetap pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
3 kalangan ilmuwan sendiri, para kolega dari sang ilmuwan, ataukah kalangan pengguna, praktisi, atau pengambil kebijakan? Pemahaman tentang segmen pengguna hasil-hasiil penelitian sosial ini tentulah berpengaruh pada rancangan penelitian sang ilmuwan. Namun, terlepas dari siapa pun calon pengguna dan pemetik manfaat dari hasil-hasil penelitian sosial, satu hal sudahlah pasti. Penelitian sosial tetap harus dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan ilmiah yang serius, terencana, mendalam, berbobot tinggi, dan yang dapat menghasilkan temuan-temuan ilmiah yang signifikan bagi pengembangan ilmu atau kepentingan terapan. Justru dengan kualitas yang amat terjaga inilah penelitian sosial mampu memiliki ‘nilai jual’ yang tinggi. Oleh karena itu, meningkatkan dan menjaga mutu akademis dari suatu penelitian sosial merupakan prasyarat utama. Kedua, patutlah dicermati isu-isu apakah yang kini terkait dengan gejala sosial-budaya yang muncul di lingkungan sang ilmuwan, dan/atau isu-isu apakah yang diminati atau ‘dipesan’ oleh pihak pengguna. Jika nilai jual yang tinggi dari suatu penelitian sosial ingin diraih, siapa pun pengguna atau pemberi dananya, kecermatan pemilihan isu sosialbudaya tentulah berperan penting. Namun, pemilihan isu-isu sosial-budaya yang akan dikaji tidak terlepas dari sejumlah faktor. Pertama, adalah minat sang peneliti sendiri. Minat perhatian sang peneliti ini terkait erat dengan faktor kedua, yakni sejauhmanakah sang peneliti telah bergulat cukup intens dengan kajian pustaka atas isu yang dikaji baik dari sisi substansi, isu teoretis, konseptual, maupun metode penelitian. Sejauhmana pulakah sang ilmuwan telah melaksanakan penelitian sosial dalam isu yang akan dikaji? Ketiga, adakah kesejalanan antara minat sang ilmuwan dan pihak pengguna atau pemberi dana? Makalah ini akan mengulas kedua aspek dari penelitian sosial itu, yakni peningkatan dan penjagaan mutu akademis yang prima serta kepekaan, kejelian, dan kecermatan ilmuwan dalam penetapan isu-isu penelitian sosial.
Meningkatkan Mutu: Meningkatkan Kemampuan Akademis Alangkah tidak mudahnya saat pertama kali saya harus menulis makalah dalam bahasa Inggris untuk suatu lokakarya internasional yang dihadiri oleh para pakar terkemuka dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan pembangunan pertanian/pedesaan. Apa yang saya sajikan dalam makalah itu didasarkan pada data penelitian untuk tesis Ph.D. dalam bidang antropologi berkaitan dengan pelatihan dan pemberdayaan petani dalam program Pengendalian Hama Terpadu. Suatu hal yang tidak saya duga adalah komentar yang saya terima setelah saya kirimkan draf makalah itu pada koordinator program nasional Pengendalian Hama Terpadu di Indonesia. Pernyataan yang melekat dalam benak saya hingga saat ini adalah komentarnya bahwa kisahkisah yang saya sajikan dalam makalah itu bagaikan: ‘melihat dunia dari mata seekor cacing’, atau ‘melalui mata cacing terpaparlah kejadian sebenarnya di dunia yang luas ini’.
‘Mata cacing’ dan ‘dunia’, itulah metafor yang digunakan oleh sang pakar untuk menyatakan apresiasinya bahwa deskripsi yang detail dan rinci di ‘akar rumput’ tempat ‘cacing-cacing tanah itu mencari hidupnya’ dapat membawa pembaca untuk memahami
4 permasalahan sebenarnya di alam semesta yang luas ini. Dalam bahasa ilmiah metafora itu dapat memiliki makna sebagai berikut: suatu kasus penelitian yang spesifik yang disajikan datanya secara kaya dan mendalam dapatlah menyajikan pemahaman atas fenomena sosial-budaya yang terwujud di seputar kehidupan kita dalam lingkup yang lebih luas. Atau dengan perkataan lain: generalisasi dapat dilakukan dari satu kasus yang spesifik. Alhasil, pengayaan wawasan pada diri pembaca dapat terlaksana melalui karya tulis ilmiah sosial yang mungkin hanya berjumlah kurang dari 20 halaman saja. Itulah salah satu kekuatan karya tulis ilmiah. Apresiasi senada saya terima dari seorang pakar yang lain atas ‘catatan-catatan lapangan hasil pengamatan saya sehari-hari’ atau dalam istilah Inggrisnya : ‘daily field reports’. Sebagai imbalan atas dana penelitian yang diberikan oleh Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu Indonesia untuk memungkinkan saya mengumpulkan data selama satu (1) tahun lamanya, saya diminta untuk menyerahkan daily field reports. Menantikan karya-karya tulis ilmiah saya sebagai hasil pengumpulan data untuk program Ph.D. di Australia tentulah memakan waktu yang lama. Apa yang mereka butuhkan segera sebagai perancang dan pelaksana program itu adalah pengetahuan tentang cara program itu dilaksanakan secara nyata di lapangan, apa sajakah masalah yang timbul, dan cara petani merespons dan menindaklanjuti pelatihan yang mereka terima melalui Sekolah Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Kunjungan tetap mereka lakukan dalam rangka ‘memonitor’ pelaksanaan program itu. Akan tetapi, perolehan data di luar setting pelatihan dan acara-acara resmi tentu tidak mudah diperoleh dalam kunjungan resmi yang singkat. Oleh karena itulah daily field reports yang saya serahkan merupakan dokumen yang berharga bagi mereka sebagai kepanjangan ‘mata’ mereka di lapangan. Hal itu pun baru saya sadari ketika saya peroleh komentar bahwa membaca laporan harian saya seakan membawa mereka ‘menonton film’ tentang apa yang terjadi senyatanya di lapangan. ‘Menonton film’, itulah metafora yang digunakan untuk mencerminkan transformasi dari kata-kata ke visualisasi dalam benak mereka. Catatan laporan harian itu pun digunakan sebagai contoh bagi para petugas agar mereka dapat membuat laporan serupa. Saat itulah disadari bahwa ketidaksiapan dan ketidaktrampilan para petugas dalam hal itu tidak memungkinkan perolehan laporan harian dengan kualitas yang sama.
Ini hanyalah sekedar contoh betapa suatu laporan harian pun, belum dalam wujud karya tulis ilmiah, dapat memiliki ‘nilai jual’ yang diapresiasi oleh pihak pemberi dana dan pelaksana program karena kualitas tulisan yang disajikan. Ketika saya diminta melatih para petugas untuk membuat laporan serupa, pertanyaan besar mengusik saya. Bagaimanakah saya dapat mengalihkan ketrampilan yang saya pupuk setapak demi setapak, yang berakumulasi sekian tahun melalui pengalaman, kepekaan, kejelian, dan kecermatan sebagai mahasiswa dan kemudian sebagai seorang antropolog? Proses belajar yang panjang dengan curahan perhatian yang serius dan terkonsentrasi penuh pada kegiatan penelitian serasa tak mudah tergantikan oleh pelatihan hanya dalam beberapa jam saja. Dan memang, itikad pun tinggal itikad dengan hasil laporan para petugas yang tetap seperti laporan administratif suatu ‘proyek’ yang tidak mungkin dialihkan ke suatu laporan ‘akademis’.
5 Suatu refleksi dan pelajaran yang amat bermakna kembali saya alami saat memperoleh kesempatan melanjutkan studi di negara kanguru. Ketika ‘guru’ saya meminta saya untuk mengikuti kegiatan perkuliahan sebelum mulai menyiapkan tesis, menghadiri seminar-lokakarya-konferensi dan lain-lain pertemuan akademis, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan tambahan seperti kelompok membaca (reading group), kelompok menulis tesis (thesis writing group), dan pelatihan penggunaan soft-ware untuk kategorisasi data kualitatif, saya sempat mengeluhkan betapa waktu saya untuk menyelesaikan tesis Ph.D. saya tersita untuk berbagai kegiatan itu. Jawaban yang tak akan saya lupakan sebagai seorang anak-didik dan kini menjadi ‘guru’ bagi mahasiswamahasiswa saya adalah ini. ”Kamu datang kemari bukan hanya untuk menyelesaikan tesis dan memperoleh gelar. Kesempatan berada di sini haruslah dimanfaatkan untuk belajar banyak hal. Kamu perlu meningkatkan kemampuan akademismu dalam berbagai hal,“ begitulah kira-kira jawaban beliau yang bijak. Belajar banyak hal dalam meningkatkan kemampuan akademis, itulah memang keuntungan yang saya alami dan yang memang tidak banyak dapat diperoleh di negeri sendiri. Ungkapan senada juga saya terima dari rekan-rekan asing dalam mengomentari teman-teman sekampung halaman yang hanya menyibukkan diri sendiri dengan penyelesaian tesis yang mungkin lebih banyak dilakukan di rumah alih-alih di kampus. ”Kalau hanya datang ke Australia untuk menulis tesis, tidak perlu Anda datang kemari. Anda bisa menulis tesis itu di Indonesia,” itulah komentar seorang kawan.
Kenyataan dari komentar-komentar itulah yang kini saya alami dan amati. Betapa tidak mudahnya saya menyemangati dan mendorong rekan-rekan yang baru memperoleh gelar S2 ataupun S3 untuk segera menerbitkan karya-karya ilmiah hasil-hasil penelitiannya di jurnal-jurnal ilmiah terakreditasi nasional ataupun di jurnal ilmiah internasional. Ketidaksiapan mungkin itulah yang dialami. Kecanggungan menulis suatu karya tulis ilmiah dengan mutu akademis yang layak memenuhi standar internasional, mungkin itulah yang terjadi. Jika demikian, sejauhmanakah peningkatan ketrampilan akademis itu benar-benar dibekalkan selama menempuh kuliah, sehingga sebelum tesis rampung pun suatu artikel ilmiah dengan bobot akademis yang tinggi dapat diterbitkan di jurnal ilmiah internasional? Jika ketrampilan akademis ini menjadi penghambat, di manakah letak ‘nilai jual’ kita sebagai seorang ilmuwan sosial yang handal dan profesional di kalangan akademisi dalam negeri dan manca negara? Sejumlah hal patut untuk dicermati secara seksama dalam meningkatkan mutu penelitian yang berarti pula meningkatkan ketrampilan dan kemampuan akademis yang prima, yakni dalam melaksanakan kajian pustaka, pengumpulan data primer di lapangan dan penulisan hasil-hasil penelitian.
Kajian pustaka : Sumber inspirasi dan interpretasi ”Membaca, membaca, dan membaca, itu wajib hukumnya,” itulah yang berulang kali saya sampaikan di kelas saat kuketahui minimnya pustaka yang dibaca mahasiswa dalam menyiapkan rancangan penelitian untuk tesisnya. Namun, saya pun tak berdaya mengubah minat baca mahasiswa hanya dalam sekejap, meningkatkan kemampuan membaca bahasa Inggris dalam waktu satu semester, atau meminta mahasiswa menelusuri artikel-artikel melalui web-site bila fasilitas perpustakaan tak memadai. Itulah
6 kompleksitas permasalahan dan kendala yang dihadapi. Tetapi, apakah tak mungkin memutus siklus itu? Di sinilah letak tantangannya, terutama bagi para pakar pendidikan di Indonesia dan para manajer perguruan tinggi. Terlepas dari itu, kajian pustaka merupakan hal yang amat krusial dalam meningkatkan mutu dan ’nilai jual’ suatu rancangan penelitian sosial. Suatu kegiatan penelitian berpangkal dari kajian pustaka dan berakhir dalam karya tulis ilmiah yang juga diperkaya oleh kajian pustaka. Kajian pustaka merupakan sumber inspirasi dan juga interpretasi. Dalam tulisan saya dan kawan-kawan (Winarto dkk. 2004:2) telah saya tekankan bahwa sebuah karya tulis ilmiah—hasil dari penelitian ilmiah—merupakan hasil dialektika yang terjadi antara pemikiran konseptual-teoretis dan fakta sosial-budaya yang dikajinya. Selanjutnya saya dan kawan-kawan pun menekankan bahwa: “Dengan apa pun juga paradigma yang melandasi suatu karya tulis ilmiah sosial dan perspektif yang melandasi pemikiran penulisnya, melalui karyanya itulah sang penulis mengungkapkan argumennya tentnag isu konseptual-teoretis dan/atau fenomena sosial-budaya yang dikaji. Argumen itu tentunya merupakan hasil dialektika dan sintesis penulis yang ingin disebarluaskannya agar pembaca, kolega, ilmuwan sosial, pemerhati, dan praktisi dapat memetik manfaat dari karya tulisnya. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah makna karya tulis ilmiah itu bagi pengembangan ilmu sosial itu sendiri. Inilah yang acapkali terlupakan oleh para penulis muda di bidang ilmu-ilmu sosial di Indonesia” (Winarto dkk. 2004:2).
Untuk mencapai hasil akhir suatu penelitian sosial seperti yang kami maksudkan jelaslah bahwa ‘nilai jual’ suatu penelitian sosial terukur dari kemampuan sang ilmuwan sosial untuk menyajikan rancangan penelitiannya sebagai hasil dialektika dan sintesis dari olah pikirnya. Rumusan masalah yang diajukannya tentulah dihasilkan dari proses ulang-alik antara fenomena empiris dan isu-isu konseptual/teoretis. Hal itu memungkinkan terhindarinya pengulangan penelitian yang mubasir bila peneliti terdahulu telah mengkaji hal yang sama. Manfaat penting dari masalah yang akan dikaji—yang menentukan ‘nilai jual’ suatu rancangan penelitian—juga dapat digali dari proses dialektika dan sintesis itu. Sumber dari olah pikir itu tentulah berbagai temuan dari penelitian-penelitian sejenis sebelumnya dan dari isu-isu konseptual/teoretis serta perdebatan di arena akademis nasional/internasional yang terkait dengan isu yang akan dikaji, serta fenomena sosialbudaya yang menarik minat perhatian sang ilmuwan untuk diteliti. Di manakah dapat dietmukan berbagai temuan itu? Tak lain tak bukan, pustaka, itulah sumbernya di samping media lain seperti temu-ilmiah, korespondensi melalui jejaring akademis, dan lain-lain Namun, kajian pustaka, itulah tahap yang mutlak harus dilalui. Bagi mahasiswa yang tidak tumbuh-kembang dalam lingkungan peminat baca, mungkin hal itu merupakan beban yang berat. Pustaka juga tidak diperlakukan sebagai sumber menggali inspirasi di saat mereka mengalami ‘kebuntuan’ dan ‘kelelahan’ dalam berolah pikir. Jika tahap penyusunan rancangan penelitian telah terlalui dengan hasil yang memiliki ‘nilai jual akademis’ yang layak, tidaklah berarti bahwa kajian pustaka dapat ditunda untuk sementara waktu untuk dilaksanakan lagi pada saat penulisan hasil penelitian.
7 Tidak jarang para mahasiswa turun ke lapangan tanpa bekal buku atau artikel apa pun. Mengapa hal itu terjadi? Dalam penelitian sosial dengan paradigma kuantitatif, peneliti bukanlah instrumen utama. Yang menjadi instrumen utama adalah ‘daftar pertanyaan’ dalam bentuk kuesioner yang telah disiapkan sebelum peneliti ‘turun ke lapangan’. Dalam paradigma itulah, peneliti muda terlatih untuk mencari sejumlah responden sesuai dengan sampel yang telah ditarik, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan urutan yang telah tertata secara sistematis dalam kuesioner itu, dan mengisi jawabannya dalam kolom yang telah disediakan. Adakah saat-saat sang peneliti memikirkan secara kritis jawaban responden, menanyakan ulang, melontarkan pertanyaan lanjutan untuk menggali secara lebih mendalam, mengecek jawaban atas pertanyaan yang satu dengan yang lain, atau bahkan merumuskan hipotesa-hipotesa baru dan pertanyaan-pertanyaan baru bertolak dari jawaban yang diperoleh sebelumnya dari hasil pengamatan dan wawancara? Adakah kesempatan bagi peneliti untuk berolah pikir secara kritis mengapa suatu gejala muncul di luar dugaan dan perkiraan semula? Adakah waktu bagi peneliti untuk menginterpretasikan gejala yang diamati dalam kaitan dengan isu-isu konseptual dan teoretis, dan dari interpretasi itu menentukan langkah-langkah penelitian selanjutnya? Nampaknya, hal-hal itu tidak terkembangkan dengan maksimal dalam penelitian berparadigma kuantitatif. Tidak demikian halnya dengan penelitian berparadigma kualitatif. Penelitian lapangan : Kekayaan data, kekritisan peneliti Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama penelitian dengan segenap panca inderanya. Kemampuan pengamatan, kejelian dalam menangkap hal-hal yang signifikan dalam menjawab pertanyaan penelitiannya, kecermatan dalam pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara, dokumen, riwayat hidup, mitologi, folklore dan lain-lain amat ditentukan oleh kekayaan pengalaman dan wawasan si peneliti. 3 Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bila kemampuan dan kekayaan wawasan masing-masing individu peneliti merupakan faktor penentu kualitas penelitian sosial. Antara seorang peneliti muda dan peneliti senior, tentu terdapat perbedaan dalam kepekaan dan kecermatan pengumpulan data sejalan dengan pengetahuan dan pengalaman komparatif yang telah dimiliki masing-masing. Namun, siapa pun penelitinya, perolehan data yang kaya, rinci, dan juga teruji dalam penelitian melalui metode triangulasi, merupakan syarat utama penelitian sosial.4 3
Lihat buku-buku tentang metode penelitian antropologi/etnografi seperti karya Pelto dan Pelto (1978), Spradley (1979), Hammersley dan Atkinson (1983), Taylor dan Bogdan (1984), dan Jacobson (1991). 4 Melakukan triangulasi sumber data melibatkan upaya memperbandingkan data dengan mengaitkannya dengan fenomena sama yang berasal dari fase-fase berbeda dalam penelitian, atau yang diperoleh pada saat-saat yang berbeda dalam suatu siklus waktu yang muncul dalam setting penelitian, atau dalam hal menguji kesahihan jawaban informan/responden, mengecek interpretasi yang berlainan dari partisipan yang berbeda-beda (termasuk interpretasi peneliti) (lihat Hammersley dan Atkinson 1983:198). Upaya melakukan triangulasi juga melibatkan pengecekan silang antara jawaban seorang partisipan yang tidak
8 Kekayaan data, itulah salah satu aspek utama dalam meningkatkan mutu penelitian sosial dan karya tulis yang dihasilkan. Pernah suatu ketika promotor disertasi saya di Australia mengatakan bahwa kekayaan dan kerincian data dalam karya disertasi amat penting, dan dari data yang kaya itulah seorang antropolog dapat menghasilkan konsep baru atau menyempurnakan yang ada. Tentulah data itu diperlukan untuk menjawab pertanyaan, tidak yang lain. Namun, dengan tetap memiliki kedalaman dan kerincian untuk menunjang argumentasi peneliti. Untuk itu, kemampuan peneliti untuk peka terhadap segala hal yang sekiranya signifikan dengan masalah penelitiannya amat penting. Tidak hanya itu. Seorang peneliti seyogianya memiliki kecermatan dan kemauan yang besar untuk mencatat apa saja yang didengar, dilihat, dan dirasakan. Dalam hal ini, ketrampilan peneliti di lapangan merupakan salah satu prasyarat peningkatan kualitas penelitian. Namun, ketrampilan itu saja tidak cukup. Si peneliti perlu dan harus terus menerus mempertanyakan berbagai informasi yang diperolehnya secara kritis dan analitis dalam rangka mempertajam hipotesa yang telah dirumuskannya sebagai panduan pengumpulan data, atau bahkan merumuskan hipotesahipotesa baru. Dalam hal inilah kekayaan pengetahuan peneliti tentang konsep-konsep dan isu-isu teoretis yang telah dikajinya—baik di ruang kuliah maupun melalui kajian pustaka yang dilakukannya—akan sangat menolong dalam menginterpretasi gejala yang diamati. Kemampuan peneliti untuk melakukan olah pikir dan dialektika berkelanjutan selama penelitian itu merupakan salah satu faktor penentu dalam memperkaya hasil-hasil penelitian yang akan dituangkannya dalam karya-karya tulis ilmiahnya kelak. Pertanyaannya kini: siapkah para peneliti/ilmuwan sosial muda Indonesia melaksanakan penelitian semacam itu jika kajian pustaka yang dilakukannya amatlah lemah dan tidak memadai? Suatu ketika saya memperoleh kisah pengalaman seorang peneliti asing yang memasuki setting penelitiannya dengan membawa peti berisi tumpukan buku-buku. Ketika ditanyakan mengapa ia membawa peti seberat itu dengan tumpukan buku-buku sedemikian banyak, jawabannya sederhana: ”Itulah teman dekatku selama penelitian.“ Tidak ada sang pembimbing yang dapat dihubungi setiap waktu untuk berkonsultasi. Tidak pula tersedia line telpon untuk masuk ke dunia maya atau berkomunikasi secara mudah dengan para kolega. Oleh karena itu, di kala sang peneliti terbentur dalam upaya memaknai gejala yang diamati, dalam ikhtiarnya memperkaya data yang diperoleh, buku adalah teman akrabnya.
Kisah ini merefleksikan kebutuhan sang peneliti untuk terus menerus berolah pikir selama berada di setting penelitiannya. Keberadaan di lapangan bukanlah semata untuk mengumpulkan data sesuai dengan pedoman pertanyaan yang telah jauh-jauh hari disiapkannya. Bernalar dan berdaya pikir kritis, itulah tugas utama seorang peneliti sebagai instrumen penelitian dengan segenap panca inderanya. Acuan utama tentunya
sinkron satu dengan yang lain, atau melalui penggunaan metode penelitian yang berbeda, misalnya mengecek data yang diperoleh melalui wawancara dengan hasil pengamatan atau telaah dokumen.
9 adalah konsep-konsep dan teori-teori yang telah pernah dibaca peneliti atau yang siap diacu dan dibacanya selama penelitian seperti kasus seorang peneliti asing di atas. Dengan acuan konsep-konsep, teori, temuan-temuan terdahulu dari penelitianpenelitian sejenis, atau dengan mencocokkan satu gejala dengan gejala yang lain, seorang peneliti seyogianya mengritisi hipotesa yang telah dirumuskannya, mengujinya, merumuskan ulang, mengumpulkan data, menguji kembali hipotesa yang baru dirumuskan itu, dan demikian seterusnya. Perjalanan sebuah penelitian sosial dapatlah dinyatakan sebagai suatu perjalanan menguji dan membuat hipotesa dari awal hingga akhir penelitian (hypothesis making and testing). Namun, suatu penelitian sosial yang bermutu tidaklah berhenti hanya pada pengumpulan data. Kemampuan peneliti menyajikan hasil-hasil penelitian dalam karya tulis ilmiahnya merupakan salah satu syarat yang tidak dapat dipungkiri, karena tanpa kemampuan menulis suatu esai ilmiah sosial, sekaya apa pun dan sekualitas apa pun data yang diperolehnya selama penelitian, tidaklah akan bermanfaat bagi pembaca.
Menulis karya ilmiah: Menyajikan argumentasi, mendukung dengan bukti Menyajikan hasil penelitian dan argumentasi peneliti dalam suatu esai ilmiah sosial tidaklah merupakan hal yang mudah bagi banyak peneliti muda Indonesia. Talenta menulis merupakan bekal yang berharga. Namun, latihan pun amat diperlukan. Winarto, Suhardiyanto, dan Choesin dalam buku Karya Tulis Ilmiah: Menyiapkan, Menulis dan Mencermatinya (2004) memaparkan langkah-langkah yang perlu ditempuh seorang peneliti semenjak awal menuangkan gagasan hingga mencermati kembali esai ilmiah yang telah ditulisnya. Dalam salah satu bab, Choesin (2004a)—yang mengacu pada sejumlah penulis sebelumnya (lihat misalnya Arnaudet dan Barret 1984; Ramage dan Bean 1992)—mengemukakan pentingnya seorang penulis mengetengahkan gagasan pokok yang mengontrol tulisannya, Gagasan pokok ini dikenal dengan sebutan controlling idea(s). Arnaudet dan Barret (1984) merumuskan bahwa controlling idea merupakan pernyataan paling umum dari si peneliti. Sebutan controlling idea itu menyiratkan bahwa ia bertugas mengontrol atau membatasi gagasan-gagasan dan informasi yang ingin dimasukkan si penulis dalam tulisannya, juga dalam hal memilih peralatan retorika yang digunakannya. Oleh karena itu, suatu esai ilmiah sosial haruslah diawali dengan pernyataan umum penulis tentang apa yang ingin ditulisnya. Pernyataan itulah yang menuntun si peneliti untuk memilih argumentasi dan data yang mendukung controlling idea-nya, dan mengesampingkan yang tidak. Saat saya membaca suatu karya tulis ilmiah, tidak jarang saya tertegun mengikuti alur berpikir atau argumentasi penulis. Terkadang si penulis menyatakan suatu argumen di bagian awal tulisannya, tetapi menyajikan berbagai hal lain dalam sub-sub bab berikutnya. Dalam kasus lain, tidak mudah saya temukan argumen pokok penulis karena terdapat sejumlah argumen yang sama-sama penting sehingga esai ilmiah itu seakan merupakan
10 kompilasi dari berbagai controlling ideas yang belum tentu menunjang satu sama lain. Atau, yang acap terjadi dengan esai ilmiah para peneliti sosial muda adalah sajian data yang lengkap dan rinci tanpa kejelasan untuk menunjang argumen apakah data tersebut. Pernah pula saya diminta menelaah suatu esai ilmiah yang dengan mudah dapat saya temukan controlling idea si penulis, tetapi di manakah data penunjangnya? Nampaknya si penulis lupa bahwa ia perlu mendukung argumentasi pokoknya dengan bukti, atau data yang diperoleh dan dikumpulkannya dengan susah payah di lapangan. Data penunjang inilah yang dikenal dengan sebutan supporting idea(s) (lihat Arnaudet dan Barret 1984; Choesin 2004a). Supporting idea(s) terkait dengan controlling idea dan dirancang penyajiannya dengan mengacu pada controlling idea itu. Gagasan-gasan pendukung ini lebih spesifik dan mendetail daripada controlling idea dan ia menyajikan bagian-bagian yang lebih kecil daripada keseluruhan subyek dan tema dalam suatu karya tulis ilmiah. Berarti, supporting idea(s) adalah pendukung argumentasi penulis yang dituangkan sebagai controlling ideanya. Sebaliknya, controlling idea perlu ditunjang oleh bukti-bukti hasil penelitian yang terangkum sebagai supporting idea(s). Setiap peneliti sosial muda perlu memperhatikan keterkaitan antara controlling idea dan supporting idea(s) ini dalam setiap karya tulis ilmiahnya. Suatu karya ilmiah sosial yang bermutu tentunya akan mengandung pernyataan-pernyataan penulis dengan memperhatikan kaidah ini. Tidak hanya mutu penelitian dan karya ilmiah sosialnya yang bisa memiliki nilai jual tinggi jika amat serius dan cermat diperhatikan oleh penelitinya, tetapi juga isu-isu yang dikaji oleh peneliti. Cukup menjualkah isu-isu yang dikaji peneliti ?
Mencermati Isu : Menyimak Pustaka, Mempertajam Pengamatan Pilihan tema dan isu yang akan dikaji dalam suatu penelitian sosial terkait dengan berbagai hal. Bagi peneliti muda, pilihan tema acapkali terkait dengan pengalaman yang amat pribadi sifatnya. Apakah tema itu bisa ‘menjual’ terkait dengan kontribusinya bagi pengembangan ilmu pengetahuan melalui suatu esai ilmiah sosial yang berbobot, mungkin tidak menjadi kriteria utama. Apakah tema itu bisa ‘menjual’ terkait dengan kontribusinya bagi pihak-pihak praktisi dan pengambil kebijakan, belum tentu menjadi minat perhatian. Sebaliknya, mereka yang melakukan penelitian atas dasar ‘pesanan’ atau ‘tender’ pihak-pihak pemberi dana, tidak dapat menghindarkan diri dari pilihan tema atau isu yang ‘dipesan’ atau ‘ditenderkan’ itu. Hal ini biasanya terkait dengan masalah yang praktikal sifatnya, sehingga kontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan tidak merupakan prioritas. Untuk penelitian yang memiliki bobot kontribusi signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, masalah yang dihadapi: tersediakah dana penunjang untuk itu? Alhasil, tema penelitian pun acapkali ditentukan oleh ketersediaan dana untuk isu-isu yang diminati oleh pemberi dana, apakah itu pengelola universitas/fakultas atau lembaga yang memiliki curahan perhatian pada pengembangan ilmu-ilmu sosial.
11 Bagaimanakah memadukan berbagai kepentingan itu, baik dari sisi minat perhatian si peneliti dan pesanan serta ketersediaan dana dari pihak donor, dan dari sisi kontribusi ilmiah serta praktis suatu penelitian sosial? Suatu hal yang tidak mudah memang. Namun, untuk dapat memiliki ‘nilai jual’ yang diapresiasi baik oleh kalangan akademisi maupun praktisi, suatu olah pikir dan ketepatan pemilihan tema/isu merupakan salah satu hal yang signifikan dalam penyiapan suatu rancangan penelitian. Untuk itu, seorang peneliti seyogianya mampu menyinergikan minat bidang kajian, hasil telaah pustaka, dan pengamatan yang cermat atas fenomena sosial-budaya yang tengah berkembang di seputarnya, serta yang terkait dengan debat teoretis/konseptual atau perhatian empiris dan praktikal di dunia internasional. Pilihan minat bidang kajian merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan isu penelitian yang akan dikaji. Tanpa minat, amatlah sulit bagi seorang peneliti untuk mampu secara tekun, cermat, dengan keseriusan dan kesungguhan untuk melakukan studi pustaka, mengikuti berbagai debat dan argumentasi ilmuwan manca negara atas tema/isu tertentu. Acapkali dilupakan bahwa kredibilitas seorang peneliti merupakan satu dari tiga pihak atau unusr yang diperhatikan dalam penyampaian sebuah argumen: penulis (ethos), pembaca (pathos) dan argumen itu sendiri (logos) (lihat Choesin 2004b :54). Choesin (2004b:55) menyarikan bahwa ethos: ”...mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan kredibilitas penulis. Seorang penulis harus mempunyai kredibilitas di mata pembacanya, khususnya kredibilitas dalam bidang yang menjadi subyek tulisannya.“ Bagaimanakah seorang peneliti sosial dapat memperkuat kredibilitas dirinya melalui karya-karya ilmiah sosialnya jika ia berpindah-pindah dari satu tema ke tema yang lain bak ‘kutu loncat’, karena melayani ‘pesanan’ dan ‘tender’? Berpindah-pindahnya tema yang diteliti tentu menuntut peneliti untuk setiap kali memulai suatu kajian pustaka yang baru. Dapat pula terjadi bahwa peneliti belum pernah menerbitkan karya-karya ilmiah sebelumnya di bidang yang dikajinya. Padahal, menurut Choesin (2004B:55), seorang penulis yang mengutip tulisan yang pernah dibuatnya sebelumnya sedang membangun kredibilitas. Jika sang peneliti ingin menghindari kurangnya kredibilitas itu, bisakah ia menyeleksi manakah tema yang ‘dipesan’ dan ‘ditenderkan’ itu yang selaras dengan minat bidang kajian yang telah ditekuninya selama ini? Jika kebutuhan akan dana merupakan faktor utama pilihan suatu tema, tentulah hal itu sulit dilaksanakan. Dalam koridor bidang kajian tertentu, saya yakin bahwa tema yang menjual pastilah dapat digali dan dikembangkan dalam rancangan penelitian. Dalam hal ini, kecermatan peneliti dan kejelian dalam mengamati berbagai fenomena sosial-budaya amatlah perlu. Seorang peneliti dapat mengikuti arus perhatian dan diskusi seputar masalah yang tengah hangat-hangatnya diulas dan dipermasalahkan berbagai pihak. Ia perlu secara kreatif dan tanggap ‘menangkap’ isu-isu tersebut. Bila ia dapat ‘menangkap’ dan mengangkat isu yang sedang diperdebatkan dalam kajiannya, tentulah penelitian yang dilakukannya dapat dinilai amat relevan dengan situasi dan kondisi yang ada dalam lingkungan masyarakatnya. Di sinilah sang peneliti dituntut untuk terus mampu mengikuti
12 perkembangan yang terjadi di seputarnya sesuai dengan tujuan karya ilmiah sosial itu sendiri, yakni sebagai wahana menjelaskan berbaai situasi, kejadian, masalah, dan hasil karya manusia dalam konteks dan arena sosial tertentu (lihat Winarto dkk.2004). Namun, olah pikir secara kritis tetap diperlukan. Dalam ranah ilmu sosial yang dikaji untuk tema yang sama atau bila tema yang sama diulas oleh peneliti dari ranah ilmu yang lain, apakah isu-isu yang ternyata luput dikaji atau masih perlu diperkaya dan diuji lebih lanjut? Apakah hal yang terluput dikaji oleh pihak-pihak lain itu akan memberikan kontribusi bermakna tidak hanya dari segi praktis, tetapi juga teoretis-konseptualmetodologis? Mau tidak mau, peneliti perlu kembali ke khasanah pustaka, dan proses dialektika antara fenomena empiris dan diskusi teoretis-konseptual-metodologis pun terus bergulir. Saat saya mempersiapkan tema makalah untuk disajikan dalam simposium internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA 2005 sejalan dengan tema yang dirancang oleh para koordinator panel berkenaan dengan masalah seputar pengelolaan lingkungan hidup, saya cermati isu-isu perjuangan petani Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Semenjak 16 tahun silam saya mengikuti perkembangan dan perubahan yang dialami petani dari waktu ke waktu beserta masalah yang dihadapi dalam menuntut perolehan akses, hak, dan perlakuan yang layak atas apa yang seyogianya menjadi milik mereka. Saya ikuti pula perguliran dialektika pengetahuan lokal dan ilmiah yang dialami petani. Dari berbagai berita di media massa di awal abad ke-21 ini saya cermati berkembangnya wacana baru yang menjadi bahan perjuangan petani yang tentunya tidak terluput dari peran lembaga-lembaga non-pemerintah (swadaya masyarakat). Mereka menuntut perolehan ‘kedaulatan pangan’ (food sovereignty), tidak semata ‘ketahanan pangan’ (food security). Dari pengamatan empiris kehidupan petani yang bergelut dengan peluh dan lumpur, saya cermati bahwa petani pun makhluk yang cerdas, kreatif, dan cepat tanggap. Dalam percakapan sehari-hari gerutu, keluhan dan omelan petani pun tercetus tentang kenaikan harga pupuk, rendahnya harga beras, dan kekukuhan pemerintah untuk tetap mengimpor beras yang dapat menjatuhkan harga jual gabah. Di saat saya mengamati bahwa di forum publik dan di ranah percaturan politik yang lebih luas, sejumlah petani yang mewakili rekan-rekan mereka mampu bertutur kata dengan wacana yang digunakan oleh para politisi, birokrat, dan praktisi, saya pun segera menyimak pustaka yang terkait dengan kebijakan ketahanan pangan. Melalui pemahaman atas kehidupan petani dan bahasa yang mereka gunakan, saya pun berasumsi bahwa perjuangan petani di ranah publik dalam berhadapan dengan pihak-pihak lain kini menggunakan pula ‘wacana’ atau diskursus (discourse). Oleh karena itu, saya pun kembali menelusuri pustaka yang mengulas analisis wacana dalam ilmu-ilmu sosial. Hasil dialektika antara pengamatan empiris dan kajian konseptual-teroretis itulah yang menuntun saya untuk mengulas perjuangan petani melalui kegiatan praktis dan wacana. Food Security, Food Sovereignty: Fight for Right via Discourse and Practice (Winarto 2005), itulah yang akhirnya menjadi tema esai ilmiah saya.
Saya pun meyakini bahwa menyimak pustaka, mempertajam pengamatan, dan berulangalik di antara keduanya merupakan prasyarat mutlak untuk mampu ‘menangkap’ isu dengan seksama dan menyajikannya secara kritis sebagai suatu karya ilmiah sosial yang dapat memperoleh apresiasi berbagai kalangan. Ini pulalah buah pengalaman yang amat berharga saat saya merancang berbagai tema untuk pelaksanaan konferensi internasional yang memiliki kualitas ilmiah dan tema-tema kontemporer yang signifikan dengan masalah kehidupan masyarakat Indonesia masa kini.
13 Tema-tema konferensi internasional berikut ini menyiratkan upaya ’menangkap’ isu yang bergulir dan yang secara nyata tengah bergejolak dan berkembang di tengah masyarakat. Sekalipun tema itu beranjak dari problema empiris kehidupan masyarakat sehari-hari, perumusan tema itu sebagai suatu tema besar konferensi internasional tentulah menuntut perenungan mendalam dan olah pikir yang membawa sang ilmuwan ke pengembaraan teoretis-konseptual serta signifikansi ilmiah dan praktikal dari konferensi yang akan diselenggarakan. ”Memasuki abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi krisis budaya bangsa,” itulah tema simposium nasional pada tahun 1999 saat bangsa Indonesia tengah menghadapi kemelut dan krisis dalam berbagai bidang kehidupan serta konflik antaretnis/kelompok yang memuncak pada awal tahun 1999. Didorong oleh kesadaran besar bahwa sebagai antropolog kita tidak mungkin berpangku tangan, bertepatan dengan ulang tahun ke-30 jurnal yang saya asuh, ANTROPOLOGI INDONESIA, saya dan kolega redaksi jurnal dan departemen Antropologi di FISIP Universitas Indonesia pun menggagas suatu temu ilmiah nasional untuk mencermati dan berpartisipasi menyumbang pemikiran dalam mengatasi kancah kemelut itu. Pilihan kata “krisis budaya bangsa” secara sengaja saya pilih dan gulirkan, karena krisis yang dialami bangsa Indonesia saat itu, dalam pengamatan saya, bukan hanya krisis ekonomi belaka. Kalau telah terjadi kekhaosan, ketiadaan norma dan aturan, dengan perlakuan brutal dan biadab memerkosa dan membunuh orang, di manakah harkat manusia yang beradab dan berbudaya? Dengan masih berlangsungnya tindak kekerasan dan konflik-konflik sosial di pelbagai tempat, bertepatan pula dengan akan dilaksanakannya Otonomi Daerah atau program disentralisasi, dan kesadaran penuh bahwa keutuhan bangsa sebagai masyarakat majemuk dengan landasan multikulturalisme amat perlu dipertahankan dan dikembangkan, saya dan kolega pun menggagas ”trilogi simposium internasional“ secara berturut-turut pada tahun 2000, 2001, dan 2002 di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Inilah tema-tema simposium itu: •
“The beginning of 21st century: Endorsing regional autonomy, understanding local cultures, and strengthening national integration” (2000 di Universitas Hasanuddin, Makassar);
•
“Globalization and local cultures: A dialectic towards the New Indonesia” (2001 di Universitas Andalas, Padang); dan
•
”Rebuilding Indonesia, a ‘nation of unity in diversity’: Toward a multicultural society” (2002 di Universtas Udayana, Denpassar).
•
Pada tahun 2005, pilihan tema yang saya gagas dan siapkan adalah: “Indonesia in the changing global context: Building cooperation and partnership?” (di Universitas Indonesia, Depok).
Tema-tema panel dari simposium internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-4 tahun 2005 juga menunjukkan tanggapnya ilmuwan sosial dari Indonesia dan manca negara atas berbagai isu kontemporer yang terjadi di Indonesia.
Cosmopatriots: Globalization, Patriotism, Cosmopolitanism in Indonesia and Comparative Asian Perspective Innovation and Manipulation of Cultural Resources in Indonesia in the Age of Globalization Cross-border movements in Southeast Asia, Identity Politics and Citizenships
14
(Re-) Constructing Collective Identities and Religious Imagination in Democratizing Indonesia Indonesian Islam in a Global Context: A Poliphony of Voices Autonomy and Tradition: Contemporary Transitions in Eastern Indonesia Image and Facts of Industrial Relation in the Era of Reformation and Globalization in Indonesia Citizenship, Community and Gendered Identities in Indonesia: Competing Subjectivities and Agendas Legal Pluralism in the Changing Global Context and how it is defined for Indonesia
Regional Business Cooperation Vigilantism in Indonesia: Is it Just an Excess of Reformation Era? Gender, Sexuality and Power in an Already Globalised Indonesia Local Handicrafts and their National and Transnational Consumption: Indonesia, Japan and Asian Countries Emergence of New Local Politics in the Decentralization Era Reframing the Common Interest: Social Equity, Local Agency, and the Politics of Resource Management in the era of Decentralized Governance Conservation through Partnership: Case Studies of National Parks in Indonesia Arab Society and Culture in Southeast Asia Imagining Cooperation and Partnership Consuming Passions: Popular Culture, Life Styles and Identity Politics in Globalised Indonesia (Lihat Prosiding Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke4, 2005)
Tidak pelak lagi bahwa tema-tema yang diangkat dalam setiap panel itu amat relevan dengan masalah kontemporer kehidupan bangsa, termasuk pula isu-isu yang dibahas dalam lebih dari 200 makalah yang disajikan. Bahwasanya para ilmuwan sosial Indonesia mampu duduk bersanding dengan rekan-rekannya di manca negara dalam merancang tema panel ataupun isu-isu makalah—sekalipun dengan sejumlah kelemahan di sanasini—merupakan suatu bukti bahwa talenta dan potensi itu ada. Namun, tidak dapat dielakkan kenyataan bahwa sejumlah kendala dan masalah pun masih terbentang menghadang. Kini, diperlukan itikad dan tekad bersama serta kesinergikan dalam mengembangkan potensi dan mengatasi kendala yang ada.
Penelitian Sosial: Mengembangkan Potensi, Menjawab Tantangan ”Fostering scientific curiosity and strengthening academic culture in Indonesia,” itulah salah satu misi utama yang dicanangkan oleh The Royal Netherlands Academy of Science and Arts (KNAW-NL) dalam berkolaborasi dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia melalui program Academy Professorship Indonesia yang kini saya emban di bidang ilmu sosial dan humaniora. Itulah misi amat berat yang tidak mudah untuk diwujudkan dalam program nyata. Tetapi, itulah rumusan dari suatu harapan sekaligus
15 cerminan suatu kenyataan tentang banyaknya ‘pekerjaan rumah’ yang masih harus dilakukan untuk membenahi dan meningkatkan kualitas budaya akademis di Indonesia. Penelitian di bidang ilmu sosial dan humaniora, itulah salah satu arena yang memerlukan penanganan secara serius agar tradisi ilmiah setaraf internasional dengan kualitas ilmiah yang tinggi dapat dilaksanakan oleh ilmuwan-ilmuwan sosial Indonesia. Saya yakin bahwa potensi untuk itu ada dan cukup besar dimiliki oleh ilmuwan sosial Indonesia bila kesempatan dan fasilitas untuk mengembangkan potensi itu terbuka seluas-luasnya. Inilah tantangan besar yang harus dijawab. Dari manakah kita akan memulainya? Apakah hanya dari dorongan agar isu-isu penelitian sosial itu memiliki nilai jual sehingga hasil-hasilnya mampu membantu negara dan bangsa menangani kemelut dan masalah yang dihadapi, serta meningkatkan pula daya saingnya di manca negara? Jawabannya tentulah tidak selangsung dan semudah itu. Dalam tulisan ini telah saya utarakan betapa terkaitnya pilihan tema atau isu-isu penelitian itu dengan sejumlah faktor yang kompleks. Pelatihan yang tepat, pembelajaran yang kontinyu, penciptaan iklim belajar untuk meningkatkan rasa ingin tahu yang besar, penyediaan fasilitas untuk kajian pustaka, pengadaan dana untuk operasionalisasi kegiatan penelitian, pembinaan jejaring ilmiah di tingkat nasional dan global, hanya merupakan sekian banyak faktor yang saling terkait. Tanpa itu semua, amatlah sulit dihasilkan rancangan-rancangan penelitian yang berkualitas dengan tema-tema yang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia dan dunia masa kini. Namun, mungkinkah budaya akademis penelitian tercipta bila alokasi waktu dan perhatian para ilmuwan sosial di dunia perguruan tinggi amat terbatas karena terserap oleh begitu banyaknya beban mengajar dan membimbing mahasiswa di berbagai jenjang program studi? Belum pula masalah administrasi dan manajemen program yang harus ditangani oleh para pemangku jabatan struktural dengan semakin bertambah banyaknya program-program studi yang dibuka sebagai peluang perolehan dana. Mungkinkah beban mengajar dan mengelola program studi itu diimbangkan dengan beban meneliti dan menghasilkan karya-karya ilmiah sosial yang berkualitas dan bertaraf internasional? Tersediakah kompensasi dalam wujud apresiasi dan dana yang memungkinkan hal terakhir berkembang secara optimal? Hal itu tentunya terpulang pada para pengelola perguruan tinggi di Indonesia. Namun, satu hal yang mungkin berada di luar jangkauan ilmuwan sosial dan para pengelola perguruan tinggi adalah apresiasi, perhatian, dan kesungguhan dari pihak-pihak lain—pengambil kebijakan, birokrat, praktisi, dan lain-lain itu—untuk menyimak, mempelajari, dan menarik pengalaman serta pelajaran dari apa yang dihasilkan para ilmuwan sosial Indonesia melalui penelitian dan karya-karya ilmiahnya. Inilah suatu tantangan yang juga patut kita renungkan bersama. Adakah jalan yang memungkinkah terbinanya komunikasi yang lebih terbuka dan intens antara ilmuwan sosial dan pihakpihak pengguna?
16 Daftar Pustaka Arnaudet, M.L. dan M.E. Barret 1984 Approaches to Academic Reading and Writing. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Choesin, E.M. 2004a ‘Mengenal Unsur-unsur Tulisan,’ dalam Winarto, Y.T., T. Suhardiyanto, dan E.M. Choesin (peny.) Karya Tulis Ilmiah Sosial: Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm.39—48. 2004b ‘Menyusun Struktur Argumen,’ dalam Winarto, Y.T., T. Suhardiyanto, dan E.M. Choesin (peny.) Karya Tulis Ilmiah Sosial: Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm.49—61. Hammersley, M. dan P. Atkinson 1983 Ethnography: Principles in Practice. London and New York: Tavistock Publications. Jacobson, D. 1991 Reading Ethnography. New York: State University of New York. Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA 2005 Prosiding Simposium Internasional ke-4 Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA: Indonesia in the Changing Global Context: Building Cooperation and Partnership? Depok: Universitas Indonesia. Lichbach, M.I. 2003 Is Rational Choice Theory All of Social Sciences? Ann Arbor: The University of Michigan Press. Pelto, P.J. dan G.H. Pelto 1978 Anthropological Research: The Structure of Inquiry. Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Ramage, J.D. dan J.C. Bean 1992 Writing Arguments: A Rhetoric with Readings. New York: MacMillan. Spradley, J.P. 1979 The Ethnographic Interview. New York dll.: Holt, Rinehart and Winston. Taylor, S.J. dan R. Bogdan 1984 Introduction to Qualitative Research Methods: The Search for Meanings. Second Edition. New York dll.: John Wiley & Sons. Winarto, Y.T., T. Suhardiyanto, dan E.M. Choesin (peny.) 2004 Karya Tulis Ilmiah Sosial: Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Winarto, Y.T. 2005 ‘Food Security and Food Sovereignty: Fight for Right via Discourse and Practice,’ makalah dalam panel Reframing the Common Interest: Social Equity, Local Agency, and the Politics of Resource Management in the era of Decentralized Governance dalam Prosiding Simposium Internasional ke-4 Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA: Indonesia in the Changing Global Context: Building Cooperation and Partnership. Depok: Universitas Indonesia.