Mengoptimalkan Sumber Daya Lahan Nasional untuk Pembangunan Pertanian dan Kesejahteraan Masyarakat
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAH DAN AGROKLIMAT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2005
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah Indonesia 1905-2005 Mengoptimalkan Sumber Daya Lahan Nasional untuk Pembangunan Pertanian dan Kesejahteraan Masyarakat V.116 hlm.:Ilus:23,5 ISBN 979-9474-47-7 Lembaga Penelitian tanah-sejarah
Diterbitkan pertama kali tahun 2005: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Jl. Ir. H. Juanda 98 Bogor 16123 Telepon : 0251 – 323012 Fax : 0251 – 311256
KATA PENGANTAR Buku Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah : Mengoptimalkan Sumber Daya Lahan Nasional untuk Pembangunan Pertanian dan Kesejahteraan Masyarakat ini, memuat gambaran umum perjalanan dan perkembangan kegiatan penelitian tanah di Indonesia, khususnya dari era pemerintahan Belanda sampai sekarang. Buku ini diterbitkan berkaitan dengan peringatan 100 tahun (satu abad) usia Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). Kami sebagai penerus yang masih aktif di Puslitbangtanak, merasa terpanggil untuk menerbitkan buku ini dengan harapan para pembaca dapat mengikuti perkembangan penelitian tanah di Indonesia, dan dengan demikian akan timbul rasa apresiasi kepada para pendahulu/peneliti yang telah menuangkan pikirannya dalam bidang penelitian tanah di Indonesia, dan pada saat yang sama timbul tanggung jawab moral, untuk meneruskan kegiatan penelitian tanah di Indonesia secara lebih baik. Sejarah organisasi dan kegiatan penelitian tanah di Indonesia, sumber daya penelitian, serta hasil-hasil penelitian yang telah dicapai selama ini dirangkum secara singkat dalam buku ini, dengan merujuk informasi dari buku-buku yang telah diterbitkan sebelumnya, yang juga mengulas secara umum sejarah penelitian pertanian di Indonesia. Untuk hal ini, kami memberikan apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada penerbit buku-buku tersebut. Kami sadari bahwa buku yang ringkas ini, tidaklah dapat memuat semua informasi perjalanan penelitian tanah yang sangat luas. Namun demikian, kami berharap kehadiran buku ini dapat memperkaya informasi, khususnya yang berkaitan dengan penelitian tanah di Indonesia. Bogor, Januari 2005 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
Dr. Abdurachman Adimihardja
i
PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Sumber daya lahan (tanah dan iklim), merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. Dengan demikian, penguasaan informasi dan teknologi pengelolaan sumber daya lahan merupakan suatu hal sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembangunan pertanian dalam mendukung pencapaian ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan para petani. Lembaga penelitian pemerintah yang berkecimpung dalam pengumpulan informasi dan penciptaan inovasi teknologi sumber daya lahan pada saat ini diberi nama Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). Pusat ini merupakan salah satu unit kerja Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Sebelum menyandang nama ini, sesuai dengan perkembangan visi litbang pemerintah dan penyesuaian organisasi, Pusat ini sempat sebelumnya berganti nama beberapa kali. Sebagai suatu institusi yang telah lama berdiri, Puslitbangtanak telah melakukan berbagai kegiatan penelitian untuk pengumpulan data dan informasi, dan pencarian inovasi teknologi pengelolaan lahan dalam berbagai ekosistem, seperti ekosistem lahan sawah, lahan kering, dan lahan rawa. Beberapa informasi dan teknologi yang dihasilkan, telah disampaikan kepada pengguna dan telah dimanfaatkan serta mempunyai dampak secara nasional dalam pembangunan pertanian. Meskipun demikian, meningkatnya permintaan pangan untuk kebutuhan dalam negeri, serta tuntutan ekspor pertanian untuk menambah devisa negara, menimbulkan desakan untuk memanfaatkan sumber daya lahan lebih optimal, terasa makin mendesak. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa keunggulan komparatif saja, yaitu berupa sumber daya lahan yang luas tidak bisa
v
diandalkan, tanpa adanya usaha-usaha untuk lebih meningkatkan produktivitas lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah subur yang ada saat ini telah dimanfaatkan untuk pertanian secara intensif. Lahan-lahan yang belum dimanfaatkan kondisi kesuburannya relatif lebih rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya. Karena itu, kegiatan litbang sumber daya lahan ke depan untuk mencari inovasi teknologi tetap sangat diperlukan dalam upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya lahan lebih optimal. Pada kesempatan ini, saya menyambut baik upaya Puslitbangtanak menerbitkan buku ini dalam rangka memperingati satu abad lembaga litbang tanah. Buku yang bernuansa sejarah ini, dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu pertama adalah kita dapat mempelajari sumbangan apa yang telah diberikan institusi selama ini kepada masyarakat, dan yang kedua dan sangat penting adalah apa yang akan harus kita upayakan ke depan untuk membantu para pengguna sumber daya lahan, utamanya petani, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Melalui buku ini kita juga dapat memberikan apresiasi kepada para peneliti pendahulu yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk menghasilkan karya-karya yang sangat berguna bagi pembangunan pertanian di Indonesia, melalui inovasi teknologi pengelolaan sumber daya lahan. Sehubungan dengan itu, saya sampaikan apresiasi kepada para peneliti litbang tanah dan agroklimat dan selamat berulang tahun ke-100 bagi lembaga penelitian tanah dan agroklimat, dengan harapan kiprah ke depan akan lebih baik lagi sesuai dengan tuntutan kebutuhan akan inovasi teknologi pertanian. Bogor,
Januari 2005
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dr. Ir. Achmad Suryana
vi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .............................................................
i
SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA ............................................................................
iii
PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN .......................................
v
DAFTAR ISI ............................................................................
vii
PENDAHULUAN ....................................................................
1
SEJARAH ORGANISASI DAN KEGIATAN PENELITIAN TANAH DI INDONESIA .............................. Organisasi Penelitian .......................................................... Kegiatan Penelitian .............................................................
3 3 9
SUMBER DAYA MANUSIA .................................................
21
SARANA DAN PRASARANA ............................................... Laboratorium Kimia ............................................................ Laboratorium Fisika ............................................................ Laboratorium Mineralogi .................................................... Laboratorium Penginderaan Jauh (Inderaja) ....................... Laboratorium Numerik dan Sistem Informasi Spasial Agroklimat dan Hidrologi (NSISAH) ................................. Laboratorium Gas Rumah Kaca .......................................... Unit Basis Data ................................................................... Kebun Percobaan Lahan Rawa, Balandean, Kalimantan Selatan ................................................................................. Kebun Percobaan Lahan Masam, Taman Bogo, Lampung . Perpustakaan ....................................................................... Museum Tanah Nasional .................................................... Website Puslitbangtanak ......................................................
23 23 24 24 25
KARYA-KARYA UNGGULAN PUSLITBANGTANAK ... Kontribusi dalam Penyediaan Data dan Informasi Potensi Sumber Daya Lahan Nasional ............................................ Kontribusi dalam Program Transmigrasi Nasional .............
31
vii
26 26 27 27 28 28 29 29
31 35
Halaman Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Rawa . Kontribusi dalam Penyediaan Data dan Informasi Iklim Nasional .............................................................................. Kontribusi dalam Kebijakan Pupuk Nasional ..................... Penyusunan Metode Analisis dan Panduan ........................ Pengembangan Sistem Klasifikasi Tanah Nasional.............
40 40 42 42
INOVASI TEKNOLOGI UNGGULAN ................................ Bidang Penelitian Tanah ..................................................... Bidang Penelitian Agroklimat dan Hidrologi ..................... Bidang Penelitian Lahan Rawa ........................................... Bidang Penelitian Pencemaran Lingkungan .......................
43 43 71 80 91
KERJASAMA PENELITIAN ................................................
93
PEMBINAAN JARINGAN PENELITIAN DAN PENGKAJIAN .........................................................................
101
KESAN DAN HARAPAN TERHADAP PUSLITBANGTANAK ...........................................................
103
PENUTUP ................................................................................
113
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................
115
viii
35 37 38
PENDAHULUAN
K
egiatan pembangunan pertanian di manapun, termasuk di Indonesia, tidak bisa terlepas dari pengelolaan sumber daya lahan, karena sumber daya lahan (tanah dan iklim) merupakan faktor yang mempengaruhi produksi pertanian. Indonesia yang mempunyai luas daratan 192 juta ha (lebih kurang 102 juta ha sesuai untuk pertanian) dengan tenaga kerja yang melimpah, merupakan potensi yang sangat besar bagi pembangunan pertanian. Kenyataan inilah yang menyebabkan Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Meskipun demikian, keunggulan komparatif ini belum bisa dinikmati secara optimal, karena saat ini kita masih harus mengimpor beberapa jenis bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tuntutan pemenuhan bahan pangan yang semakin meningkat akibat pertambahan penduduk, menyebabkan perlunya peningkatan produktivitas lahan pertanian yang ada saat ini. Dalam rangka pemanfaatan secara optimal lahan pertanian di Indonesia, berbagai penelitian telah dilakukan sejak dulu sampai sekarang, dan akan terus dilakukan di masa yang akan datang, sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam beberapa publikasi, tercatat bahwa penelitian di bidang pertanian di Indonesia diawali dengan dibentuknya Kebun Raya Indonesia pada tahun 1817, oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari sini kemudian berkembang, dengan terbentuknya beberapa lembaga penelitian, setelah Dr. R.H.C.C. Scheffer pada tahun 1876 membeli sebidang tanah untuk kegiatan penelitian tanaman dagang dan industri, di Cikeumeuh, Bogor. Pada tahun 1905, ketika dibentuk Departement van Landbouw (Departemen Pertanian), dibangun sebuah gedung untuk perkantoran dan laboratorium-laboratorium yang mulai digunakan pada bulan Agustus tahun 1905, sebagai “Laboratoria voor
1
Inlandschen Landbouw en voor Bodemonderzoekingen” (Laboratorium-laboratorium untuk Pertanian Rakyat dan untuk Penyelidikan Tanah). Dengan demikian, tahun 1905 dijadikan tonggak sejarah lahirnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, karena pada tahun itulah sebuah lembaga penelitian yang bergerak di bidang penelitian tanah didirikan di Hindia Belanda (Nederlands Indie), yang kini menjadi Indonesia. Seiring dengan perkembangan pertanian dan perpolitikan di Indonesia, pada waktu ini lembaga tersebut bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, dan lokasinya pun tetap pada lokasi awal pendiriannya, yaitu di Jalan Ir. H. Juanda 98, Bogor.
2
SEJARAH ORGANISASI DAN KEGIATAN PENELITIAN TANAH DI INDONESIA Organisasi Penelitian
P
erkembangan penelitian tanah di Indonesia tidak bisa terlepas dari perkembangan penelitian pertanian secara umum, yang lahir berawal dari pembentukan Kebun Raya Indonesia pada 18 Mei 1817 oleh C.G.C. Reinwardt (Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, 2004). Pemerintah Belanda waktu itu sangat menyadari bahwa untuk memanfaatkan secara optimal sumber daya lahan yang ada guna memproduksi bahan-bahan pertanian terutama untuk ekspor
diperlukan penelitian. Oleh karena itu pada tahun 1876, Dr. R.H.C.C. Scheffer selaku Direktur Kebun Raya, membeli sebidang tanah di daerah Cikeumeuh untuk kegiatan penelitian tanaman dagang/tanaman industri (Sitepu et al., 1998). Pada tahun 1880-an sampai awal 1900-an, Melchior Treub yang menjabat Direktur Kebun Raya Bogor, kemudian mendirikan beberapa lembaga penelitian sebagai bagian dari Kebun Raya, yaitu : Laboratorium untuk Peneliti Tamu-Lab. Treub (1884), Museum Zoologi (1894), Laboratorium Kimia (1890), Laboratorium Penyelidikan Laut di Jakarta (1904), Balai Penyelidikan Teknik Pertanian (1905), Balai Penyelidikan Tumbuh-tumbuhan (1905), dan Balai Penyelidikan Hama dan Penyakit (1915).
Gedung Puslitbangtanak tahun 1905 (atas) dan 2005 (bawah)
3
Pada Tahun 1905, Treub mengadakan reorganisasi, lembaga-lembaga penelitian yang ada di Bogor menjadi bagian teknis dari Departement van Landbouw/ Departemen Pertanian (Hajatullah et al., 2002). Pada tahun itu pula dibangun sebuah “Laboratoria voor Inlandschen en voor Bodemonderzoekingen yang salah satu bagiannya adalah “Laboratorium tot Vermeerdering de Kennis van den Bodem” (Laboratorium untuk Perluasan Pengetahuan tentang Tanah) sebagai pendukung “Departement van Landbouw”, dan mulai digunakan pada bulan Agustus 1905. Sampai tahun 1913, laboratorium untuk penyelidikan tanah tersebut, terdiri atas dua bagian, yaitu : “Geologish Laboratorium” yang dipimpin E.C. Julius Mohr, dan “Bacteriologish Laboratorium” yang dipimpin K. Gorter. Pada tahun 1914, “Geologish Laboratorium” berubah menjadi “Laboratorium voor Agrogeologie en Grondonderzoek” (Laboratorium untuk Geologi Pertanian dan Penyelidikan Tanah), sedangkan “Bacteriologish Laboratorium” tetap pada posisi semula. Selanjutnya pada tahun 1922, namanya berubah menjadi “Laboratorium voor Bodemkundig Onderzoek”, dan tahun 1930 digunakan nama “Bodemkundig Instituut”. Saat terjadi penyerahan kedaulatan pada tahun 1949 dari pemerintah Belanda ke Republik Indonesia Serikat (RIS) lembaga-lembaga penelitian di bawah pemerintah Belanda juga ikut diserahkan, termasuk “Bodemkundig Instituut”, dan pada saat itu pertama kali digunakan bahasa Indonesia yaitu Balai Penyelidikan Tanah, di bawah koordinasi Jawatan Penyelidikan Pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2004). Jawatan Penyelidikan Pertanian saat itu membawahi beberapa lembaga penelitian, yaitu : Balai Penelitian
Kegiatan penelitian pada laboratorium geologi di awal abad 20
4
Pertanian, Balai Penelitian Botani, Balai Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman, Balai Penelitian Tanah, dan SubBalai Pertanian Makassar. Pada tahun 1950-1960, Balai Penyelidikan Tanah dan Balai Penyelidikan Teknik Pertanian mengalami kemajuan pesat. Pada periode 1969-1974, lembaga penelitian dikoordinasikan oleh masing-masing Direktorat Jenderal. Lembaga Penelitian Tanah bersama dengan Lembaga Penelitian Pertanian dan Lembaga Penelitian Hortikultura, berada di bawah Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, sedangkan lembaga penelitian lainnya di bawah koordinasi masing-masing Direktorat Jenderal Komoditas bersangkutan. Berdasarkan Kepmentan No. 126/Kpts/OP/4/1969, Lembaga Penelitian Tanah bertugas melakukan kegiatan klasifikasi dan pemetaan tanah, dan penelitian kesuburan tanah. Kemudian pada tahun 1974, terjadi pembenahan organisasi lembaga penelitian yaitu semua lembaga penelitian yang tadinya berada di bawah masingmasing Direktorat Jenderal komoditas terkait, digabung dalam satu wadah, yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Keppres No. 44 dan No 45 tahun 1974. Peristiwa ini merupakan Gedung Badan Penelitian dan
tonggak berdirinya Badan Pengembangan Pertanian (2004) Litbang Pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2004). Untuk membantu kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) di lapangan, dibangun tiga stasiun penelitian tanah yaitu Stasiun Penelitian Tanah di Yogyakarta pada tahun 1961, di Ujung Pandang pada tahun 1981, dan di Bukitinggi pada tahun 1981. Stasiun penelitian tanah tersebut
5
dilengkapi dengan laboratorium tanah, dengan maksud agar sampel tanah tidak perlu dibawa ke Bogor untuk dianalisis. Namun pada tahun 1994, yaitu bersamaan dengan pembentukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di tiap provinsi, stasiun ini diserahkan ke masing-masing BPTP terkait, termasuk sebagian dari staf peneliti dan teknisinya. Selama 30 tahun (1974-2004), Puslibangtanak mengalami berbagai perubahan mandat serta tugas pokok dan fungsi, seiring dengan perubahan yang terjadi di tubuh Badan Litbang Pertanian secara keseluruhan. Perubahan organisasi yang sangat menonjol terjadi pada tahun 2002 ketika Puslitbangtanak mengalami reorganisasi secara menyeluruh, yaitu dengan terbentuknya tiga Balai dan satu Loka Penelitian di bawah koordinasi Puslitbangtanak. Kelompok Peneliti yang tadinya berada langsung di bawah Puslitbangtanak masuk ke Balai Penelitian sesuai dengan bidang penelitiannya. Kelompok Peneliti Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah, Penginderaan Jauh (Remote Sensing), dan Pedologi masuk ke dalam Balai Penelitian Tanah (Balittanah) (SK Mentan No. 69/Kpts/OT.210/1/2002). Kelompok Peneliti Agroklimat masuk ke dalam Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) (SK Mentan No. 67/Kpts/OT. 210/1/2002). Sedangkan Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) yang semula berada di bawah Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman
Pangan (Puslitbangtan)
dialihkan
ke
Puslitbangtanak (SK Mentan No. 68/Kpts/OT.210/1/2002). Demikian juga, Loka Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian (Lolingtan) Jakenan (± 28 km timur Pati) Jawa Tengah, yang tadinya merupakan salah
satu
kebun
Puslitbangtanak
(SK
percobaan Mentan
Puslitbangtan, No.
dialihkan
ke
66/Kpts/OT.210/1/2002).
Selanjutnya pada tahun 2002, Kelompok Peneliti Mikrobiologi yang berada di bawah Balai Besar Bioteknologi dan Sumber daya Genetik Pertanian (BB Biogen) dialihkan ke Balittanah.
6
Perkembangan organisasi Puslitbangtanak dari tahun 1905-2005 Nama organisasi
Tahun
Laboratorium tot Vermeerdering de Kennis van den Bodem
1905-1913
Laboratorium voor Agrogeologie en Grondonderzoek
1914-1921
Laboratorium voor Bodemkundig Onderzoek
1922-1929
Bodemkundig Instituut
1930-1942
Dozyoobu (Balai Penjelidikan Tanah)
1943-1944
Bodemkundig Instituut (BI)
1945-1949
Balai Penjelidikan Tanah (BPT)
1950-1962
Lembaga Penjelidikan Tanah
1962-1963
Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan
1963-1966
Lembaga Penelitian Tanah (LPT)
1967-1980
Pusat Penelitian Tanah
1981-1990
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
1991-2001
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
2001-sampai sekarang
*) Abdurachman, A. et al. (2000) dimodifikasi
Secara garis besar, perubahan nama organisasi diakibatkan adanya perubahan tugas pokok dan fungsi. Dari kurun waktu 1905 sampai dengan 2001, terdapat tiga perubahan mendasar yang mempengaruhi nama Puslitbangtanak, yaitu dimasukkannya aspek penelitian pupuk sebagai mandat pada 1963, kemudian unsur agroklimat pada 1990, dan pada tahun 2001, pengembangan penelitian dimasukkan dalam tugas pokok dan fungsi, sehingga namanya menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak).
7
E.C.J. Mohr (1905-1930)
Haroen Yahya (1951-1961)
Go Ban Hong (1961-1966)
D. Muljadi (1966-1984)
M. Sudjadi (1984-1989)
S. Effendi (1989-1991)
A.S. Karama (1992-1997)
A. Adimihardja (1997-2005)
Beberapa mantan Direktur/Kepala Puslitbangtanak dari tahun 1905 sampai 2005
8
Puslit
Balittanah
Balitklimat
Balittra
Lolingtan
Struktur organisasi Puslitbangtanak
1
2
3
4
Gedung Balittanah (1), Balitklimat (2), Balittra (3), dan Lolingtan (4)
Kegiatan Penelitian Kegiatan penelitian tanah secara terbatas sudah dilakukan mulai tahun 1848, yaitu dengan didirikannya Laboratorium Kimia Pertanian oleh pemerintah Belanda. Fromberg yang sengaja didatangkan dari Edinburg, ditunjuk sebagai kepala laboratorium ini, mencurahkan perhatiannya pada analisis tanah dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman kopi. Dari penelitian ini, dia menemukan bahwa kematian
9
tanaman kopi disebabkan karena kandungan humus tanah yang rendah. Namun setelah beliau meninggal pada 1858, pekerjaan dilanjutkan oleh Rost van Tonnigen, tetapi pada 1860 Laboratorium kimia tanah pada awal berdirinya Puslitbangtanak
dengan alasan yang tidak diketahui laboratorium ini
ditutup (Went, 1967). Pada tahun 1880 kegiatan penelitian dilakukan terutama untuk menyelidiki lahan-lahan yang berpotensi untuk perkebunan, misalnya di daerah Deli, Sumatera Utara untuk perkebunan tembakau, dan penelitian pemupukan untuk kesuburan tanah (Chin A Tam, 1993). Perkembangan kegiatan penelitian tanah sesuai dengan bidang kajian adalah sebagai berikut : a. Kegiatan Pemetaan Tanah Kegiatan pemetaan tanah di Indonesia sudah dimulai sejak pemerintahan Belanda, namun investigasi secara intensif untuk melihat potensi tanah di Indonesia dimulai pada tahun 1905, yaitu dengan terbentuknya Laboratorium voor Agrogeologie en Grondonderzoek, dengan titik berat pada masalah kimia, mineralogi, genesa, dan klasifikasi tanah (Dudal dan Jahja, 1957). Pada tahun 1883, R.D.M. Verbeek melaporkan hasil pemetaan tanah untuk melihat deskripsi topografi dan geologi tanah-tanah di Pantai Barat Sumatera. Dudal dan Jahja (1957) menguraikan kegiatan survei
Peta Arahan Detail Tata Ruang Pertanian Daerah Dompu, Nusa Tenggara Barat, skala 1:50.000
10
di Indonesia sebagai berikut : pada 1912 E.C.J. Mohr sebagai direktur pertama menyusun konsep pemetaan tanah untuk Madura dan Jawa skala 1:1.000.000. Pada tahun 1927 atas nama pemerintah, survei tanah dimulai di Pulau Sumatera, yaitu di Sumatera Selatan, dengan aspek agrogeologi skala 1:200.000. Pada tahun 1930 survei tanah untuk Jawa dan Madura diresmikan, yang bertujuan selain untuk pertanian juga untuk tujuan pengembangan industri bata merah dan genteng, infrastruktur jalan, serta jalan kereta api. Pada tahun 1934 survei Sumatera Selatan ditangguhkan, karena alasan keuangan dan pada 1936 semua kegiatan survei diserahkan sepenuhnya kepada Balai Penjelidikan Tanah. Sampai pada tahun 1942 telah disurvei seluas 14 juta ha. Hanya saja hasil survei ini tidak dipublikasi. Pada era 1942-1954, kegiatan survei agak berhenti karena situasi keamanan yakni peralihan dari pemerintah Belanda ke Jepang kemudian ke Indonesia. Pada tahun 1955, pada saat pemerintah Indonesia menyusun program lima tahun, Balai Penelitian Tanah diberi tugas melakukan survei secara sistematis ke seluruh Indonesia untuk kepentingan pertanian, dengan penekanan pada survei eksplorasi (1:1.000.000). Untuk Pulau Jawa dan Madura dilakukan survei tanah dengan skala 1:250.000 untuk keperluan penyediaan informasi dalam rangka penggunaan lahan, perbaikan lahan, dan program Pengamatan penampang tanah pada sekitar tahun 1950-an pemupukan. Sesuai dengan mandat, kegiatan survei terus dilakukan setiap tahun dengan intensitas yang berbeda sesuai dengan permintaan. Kegiatan survei dan pemetaan secara intensif dilakukan oleh
11
Puslitbangtanak pada tahun 1970-an yaitu dengan dimulainya Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), untuk menunjang program pemerintah dalam peningkatan jaringan irigasi dan program pembangunan pertanian lainnya. Kegiatan survei yang dibiayai oleh Bank Dunia terutama diprioritaskan untuk daerah-daerah persiapan transmigrasi melalui Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT) dari 1979-1986. Setelah proyek ini selesai, dilanjutkan dengan Proyek Land Resources and Evaluation Planning (LREP) Fase I (1985-1990) dan Fase II (1991-1997) yang ditujukan untuk mengetahui potensi lahan untuk tujuan pembangunan pertanian secara umum, dengan skala 1:250.000 untuk LREP I, dan skala 1:50.000 untuk LREP II. Dari seluruh kegiatan survei dan pemetaan tanah selama periode 1955-2004, maka hampir 50% wilayah Indonesia utamanya bagian barat Indonesia telah dipetakan, dan diketahui potensi sumber daya lahannya. Untuk pengembangan lahan rawa pasang surut, kegiatan pemetaan di daerah rawa dilakukan melalui kerjasama dengan Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S), Departemen Pekerjaan Umum. Setelah proyek-proyek tersebut berakhir, intensitas kegiatan pemetaan di Puslitbangtanak semakin berkurang, dan karena keterbatasan dana, maka kegiatan survei terbatas pada daerah prioritas untuk melengkapi data potensi sumber daya tanah yang belum selesai dilakukan, khususnya di wilayah timur Indonesia. b. Penelitian Kesuburan Tanah Selain kegiatan inventarisasi sumber daya lahan, penelitian dalam bidang kesuburan dan konservasi tanah ikut mewarnai kegiatan penelitian tanah, sejak terbentuknya lembaga ini. Pemerintah Belanda memberikan prioritas penelitian kesuburan tanah, terutama untuk membangun perkebunan tanaman komersial, seperti tebu, tembakau,
12
teh, dan karet. Tercatat bahwa kegiatan penelitian kesuburan tanah telah dilakukan sejak tahun 1890-an untuk menganalisis tanah-tanah yang ada di Sumatera dan di Pulau Jawa, yang akan digunakan untuk perkebunan. Sebagai contoh, Penelitian kesuburan tanah untuk J.G.C. Vriens telah melaporkan tanaman tebu hasil analisis tanah perkebunan tembakau di Deli pada tahun 1908. Demikian juga, percobaanpercobaan untuk melihat prospek pemanfaatan pupuk hijau (green manure) sebagai penyubur tanah untuk tanaman tebu dilakukan di salah satu kebun percobaan di Jawa Timur, yang sekarang bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI). Hal ini telah dilaporkan oleh Kramers pada tahun 1890 dalam Verslag omtrent de bemestingsproeven in het jaar 1888-1889 (Chin A Tam, 1993). Beberapa kegiatan penelitian yang dilakukan pada saat itu, antara lain : pada tahun 1907 dilakukan percobaan oleh H.J. Kerbert untuk mengetahui apakah pohon jati mempengaruhi kesuburan tanah. Percobaan untuk melihat pengaruh dekomposisi beberapa pupuk hijau seperti tanaman lamtoro (Leucaena) terhadap pertumbuhan tanaman teh dilakukan pada 1915 oleh C. Bernard; percobaan pengaruh olah tanah pada tahun 1915-1919 oleh J. Van Dijk; penelitian untuk mengendalikan alang-alang dengan menggunakan tanaman penutup tanah kemlandingan (Leucaena leucocephala) di antara tanaman jati, yang dengan sukses dapat menekan pertumbuhan alang-alang, dilaporkan oleh K.C. Jaski pada tahun 1909. Semua kegiatan penelitian tersebut, hampir sebagian besar diarahkan untuk menunjang pengembangan tanaman perkebunan (Chin A Tam, 1993). Untuk menyatukan gerak dalam bidang penelitian tanah, maka pada 24-28 Oktober tahun 1916 diadakan Kongres Ilmu Tanah di
13
Yogyakarta yang membahas tentang kesuburan tanah dan peranan pengairan. Kemudian pada tahun 1940, kembali digelar suatu pertemuan yang diberi tema ”De Vruchtbaarheid van de Bodem en Haar Behoud”. Pertemuan ini melahirkan rekomendasi kepada pemerintah yaitu : (1) bahwa pencegahan adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kemakmuran, (2) bahwa penting sekali mempertahankan kesuburan tanah, antara lain, dengan mengembalikan zat-zat sisa pengolahan industri. Kemudian setelah penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Jepang, kegiatan dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia. Kegiatan penelitian kesuburan yang menonjol setelah kemerdekaan, antara lain, meliputi percobaan pemupukan padi sawah pada berbagai jenis tanah dan lingkungan untuk menentukan dosis pupuk optimum guna membantu pemerintah dalam program BIMAS (Lembaga Penelitian Tanah, 1975). Dalam rangka memperkuat kegiatan penelitian kesuburan tanah, maka pada tahun 1958 dibentuk Bagian Kesuburan Tanah, sebagai langkah pertama menghadapi Revolusi Agraria Indonesia yang diamanatkan dalam Jarek (Jalan Revolusi Kita, 17 Agustus 1959), “bahwa pertahanan kesuburan tanah adalah dasar mencapai masyarakat adil dan makmur” (Go Ban Hong, 1961). Sejak tahun 1970, kegiatan penelitian pada lahan basah beriklim basah, terutama lahan sawah, diarahkan pada penelitian, antara lain : penggunaan urea butiran untuk efisiensi N, pembenaman jerami untuk suplai K, dan pemanfaatan azolla. Pada tahun 1990, yaitu pada saat terjadi pelandaian produksi, maka diteliti status hara, terutama P dan K di dalam tanah. Dari peneltian ini diketahui bahwa terjadi akumulasi P dan K di dalam beberapa tanah sawah akibat pemberian yang terus-menerus. Melalui kegiatan ini, teknologi rekomendasi pemupukan berdasarkan status hara P dan K telah ditemukan.
14
Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam, dilakukan penelitian secara intensif selama periode 1980-1986, dengan mengambil tempat (site) di beberapa lokasi lahan masam di daerah Sitiung, Sumatera Barat, dengan dana dari Tropsoil Project-USAID dan dilaksanakan bersama dengan University of Hawaii dan North Caroline State University. Penelitian ditujukan untuk mencari teknologi pengelolaan tanah masam tropika humid, antara lain, melalui pengapuran yang tepat dan pengayaan unsur hara tanah. Kegiatan ini bertepatan dengan program pemerintah (Departemen Pertanian) berupa pengapuran kedelai secara nasional selama musim tanam 1983/1984. Dari kegiatan ini disimpulkan bahwa pengapuran dan pemupukan, sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman di lahan masam (Pusat Penelitian Tanah, 1984). Pada lahan rawa penelitian dilakukan secara intensif pada tahun 1961, yaitu sejak dibentuknya Balai Penelitian Lahan Rawa yang berlokasi di Kalimantan Selatan yang mempunyai mandat melakukan penelitian untuk peningkatan produktivitas lahan rawa. c. Penelitian Konservasi Tanah Penelitian konservasi tanah telah dirintis sejak zaman Belanda (1911). Kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan waktu itu, antara lain : pada tahun 1922, K.P. Kalis melaporkan penelitiannya tentang hubungan antara “olah tanah dan erosi” (Bodembewerking en afspoeling). Investigasi mengenai erosi di Jawa dilanjutkan pada tahun 1930-an, kemudian dilanjutkan dengan penelitian erosi secara terintegrasi pada 1950 oleh J.H.D.E. Haan (Chin A Tam, 1993).
Penelitian dan pengembangan teknologi konservasi lahan di Kadipaten, Tasikmalaya, Jawa Barat
15
Pada tahun 1955, sebagai kepala divisi pemetaan tanah di Balai Penjelidikan Tanah waktu itu, Dames menulis suatu buku yang berjudul “The Soils of East Central Java” yang menguraikan kondisi tanah pada daerah sekitar Yogyakarta dan Surakarta, Semarang, Rembang, serta Jepara (Dames, 1955). Dijelaskan dalam buku itu bahwa sebelum tahun 1800, daerah ini termasuk subur karena gunung api, dan waktu itu Pulau Jawa hanya berpenduduk 4 juta jiwa. Kemudian pada 1850, jumlah penduduk di Jawa dan Madura menjadi 10 juta, pada tahun 1900 menjadi 25 juta, dan pada tahun 1950 sekitar 50 juta. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya pembukaan hutan untuk tujuan pertanian. Sejak ini pula masalah erosi dan konservasi menjadi hal yang serius di Jawa. Kemudian pada tahun 1970, Lembaga Penelitian Tanah membentuk bagian atau kelompok peneliti Konservasi Tanah dan Air untuk melengkapi dua bagian yang telah ada, yaitu Bagian Pedologi dan Kesuburan Tanah. Pada tahun itu pula dibangun Laboratorium Fisika Tanah, dengan bantuan peralatan dan tenaga ahli dari Belgia melalui proyek ATA 105 (Abdurachman Adi et al., 2000). Dari tahun 1970 sampai 2004, tercatat beberapa penelitian konservasi yang menonjol seperti : penelitian penggunaan soil conditioner, penelitian prediksi erosi, penelitian konservasi tanah di DAS Citanduy, penelitian konservasi di DAS Jratunseluna melalui proyek Upland Agricultural Conservation Project (UACP), penelitian konservasi pada proyek Proyek Penelitian Pertanian Nusa Tenggara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (P3NT), penelitian konservasi melalui dana proyek Upland Farmer Development Project (UFDP) di Pulau Sumba (NTT), penelitian konservasi partisipatif kerjasama dengan Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di Kaligarang Semarang, dan kerjasama dengan International Center for Research on Agroforestry (ICRAF) di Lampung.
16
d. Penelitian Penginderaan Jauh Pemanfaatan data penginderaaan jauh (inderaja), berupa foto udara di Puslitbangtanak, sudah mulai digunakan pada tahun 1948 untuk mendukung kegiatan survei dan pemetaan di daerah Mbai-Flores dan Pulau Timor Analisis foto udara membantu bagian selatan. Penggunaan foto mempercepat pemetaan tanah sejak udara dalam pemetaan tanah pertengahan abad 20 tersebut ternyata dapat mempercepat pekerjaan di lapangan dua kali lipat, dan karena dirasakan sangat besar manfaatnya, maka data inderaja semakin intensif digunakan di Puslitbangtanak (Abdurachman Adi et al., 2000). Pada tahun 1976 dibentuk unit Instalasi Potret Udara di bawah koordinasi Bagian Pedologi. Dengan berkembangnya teknologi satelit, maka penggunaan teknologi inderaja semakin maju, termasuk penggunaannya yang tidak saja terbatas pada kegiatan survei, tetapi juga untuk penggunaan lain seperti perkiraan luas panen dan hasil. Pada tahun 1987, Laboratorium Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System : GIS) Puslitbangtanak mulai dimanfaatkan untuk manajemen data pemetaan sumber daya lahan seluruh Pulau Sumatera. Sejak itu, GIS digunakan untuk mendukung sebagian besar kegiatan penelitian di Puslitbangtanak. Selain itu dengan bertambah luasnya mandat penelitian, yaitu dengan masuknya bidang agroklimat, hidrologi, pertanian lahan rawa, dan biologi tanah, pemanfaatan GIS dan penginderaan jauh (remote sensing) juga dikembangkan dengan membentuk Kelompok Peneliti Penginderaan Jauh pada tahun 1998. Sedangkan laboratorium GIS, yang semula hanya pada tingkat Puslitbangtanak, dikembangkan ke tingkat Balai.
17
Dengan demikian, pada saat ini terdapat beberapa fasilitas GIS, antara lain : pada Unit Basis Data Puslitbangtanak, Kelti Inderaja dan Unit Basis Data Sumber Daya Tanah (UBDST) di Balai Penelitian Tanah, serta di laboratorium NSISAH (Numerik dan Sistem Informasi Spasial Agroklimat dan Hidrologi) di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Penggabungan teknik inderaja dengan sistem informasi geografis yang dibarengi dengan penggunaan fasilitas komputer yang semakin maju, mengakibatkan data dan informasi dapat diolah dan ditampilkan lebih sempurna. Dalam pengembangan teknik inderaja ini, Puslitbangtanak telah bekerjasama dengan berbagai lembaga penelitian dari dalam dan luar negeri, seperti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Asian Institute of Technology (AIT) Thailand, dan National Aerospace Development Agency (NASDA), Japan. e. Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi Iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Usaha-usaha untuk mengetahui lebih jauh tentang kondisi iklim di Indonesia dalam kaitannya dengan pertumbuhan pertanian telah dimulai sejak pemerintahan Belanda. Pekerjaan serius untuk penggolongan iklim dilakukan oleh Koppen pada 1918. Pada bulan Juli 1950, dibentuk tim yang diprakarsai oleh Prof. Dr. F.H. Schmidt, sebagai Direktur Jawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, dan Prof. Ir. J.H.A. Fergusson, sebagai profesor manajemen kehutanan
Dam parit sebagai sarana panen hujan dan aliran permukaan pada skala mikro DAS
18
di Fakultas Pertanian UI, Bogor. Tim ini dibantu oleh beberapa orang yang terdiri atas Dr. F.H. Endert, Inspektur Kehutanan; Dr. Ir. E. Meyer Drees, Kepala Bagian Botani Kehutanan, Balai Penjelidikan Kehutanan; Ir. G.J.A Terra, Inspektur Pelayanan Hortikultura; Ir. J.L. Unger, Biro Tata Guna Lahan; Ir. M. Van der Voort, Kepala Balai Penjelidikan Tanah; dan Ir. Ch. L. Van Wijk, Kepala Bidang Konservasi Tanah, Balai Penjelidikan Kehutanan (Schmidt dan Fergusson, 1951). Hasil kegiatan ini adalah berupa pengumpulan data iklim untuk menyusun Klasifikasi tipe hujan (rainfall types) berdasarkan jumlah bulan kering dan bulan basah di wilayah Indonesia. Kemudian kegiatan ini dilanjutkan oleh Oldeman (1975), Oldeman dan Darmijati (1977), Oldeman et al. (1979), dan Oldeman et al. (1980) untuk lebih mengaitkan dengan kebutuhan tanaman. Guna melengkapi data dan informasi iklim di seluruh Indonesia, maka Puslitbangtanak bekerjasama dengan CIRAD Perancis telah memasang 74 stasiun iklim otomatis (Automatic Weather Station : AWS), dan 24 stasiun pencatat tingkat air otomatis (Automatic Water Level Recorder : AWLR) di seluruh Indonesia. Dalam rangka pemantauan data dan informasi yang diperoleh dari stasiun di lapangan tersebut, maka Puslitbangtanak bekerjasama dengan berbagai instansi, seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Dinas Pertanian setempat, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Selanjutnya untuk memudahkan penggunaannya, informasi iklim yang berasal dari seluruh wilayah ini dirangkum dalam suatu Atlas Sumber Daya Iklim Pertanian Indonesia, Skala 1:1.000.000 oleh Balitklimat (2004). Sementara itu untuk mengetahui dinamika sumber daya air tanah dan pemanfaatannya untuk pertanian, maka berbagai penelitian telah dilakukan, baik dalam bidang tanaman pangan maupun perkebunan. Baru-baru
19
ini, telah dilakukan kerjasama penelitian dengan pihak swasta seperti PT Gunung Madu Plantations untuk pengelolaan air pada tanaman tebu, dan dengan Perum Jasa Tirta untuk pengelolaan pasokan air. f. Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya aspek kesehatan dan lingkungan, maka kedua masalah ini menjadi perhatian secara nasional. Pencemaran di bidang pertanian disebabkan oleh dua sumber, Pengamatan lahan tercemar melalui yaitu dari praktek pertanian analisis laboratorium sendiri, berupa penggunaan secara berlebihan zat-zat kimia berupa pupuk, obatobatan, insektisida, herbisida, dan sebagainya, serta dari luar pertanian, seperti pembuangan limbah berbahaya/beracun dari hasil kegiatan industri. Kegiatan pengendalian pencemaran lingkungan yang Lahan sawah tercemar limbah industri di Bandung Selatan menonjol, antara lain : penelitian emisi gas rumah kaca, penelitian pengendalian residu pestisida, dan rehabilitasi lahan tercemar. Khusus untuk penelitian emisi gas rumah kaca, kegiatan dilakukan bekerjasama dengan International Rice Research Institute (IRRI) sejak Loka Penelitian (Lolit) Jakenan masih berada di bawah Puslitbang Tanaman Pangan.
20
SUMBER DAYA MANUSIA
S
aat ini Puslitbangtanak didukung oleh 651 tenaga yang terdiri atas tenaga fungsional 317 orang, dan tenaga nonfungsional 334 orang. Pada awal terbentuknya sampai tahun 1980-an, tenaga pemeta tanah (soil surveyor) merupakan tenaga yang dominan. Hal ini (disebabkan) karena kegiatan survei pada periode tersebut sangat intensif dilakukan terutama untuk mendukung program-program pembangunan nasional seperti program perencanaan pemukiman transmigrasi, rehabilitasi dan perluasan jaringan pengairan, pencetakan sawah, dan pembukaan perkebunan baru. Tenaga survei yang direkrut kebanyakan merupakan lulusan dari Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), yang kemudian menjalani pelatihan, sekitar 2 tahun, menjadi Asisten Pemeta Tanah atau Asisten Peneliti bidang penelitian lainnya. Tenaga inilah bersama para tenaga sarjana, telah memberikan sumbangan yang besar artinya bagi pengumpulan informasi sumber daya lahan di Indonesia, melalui kegiatan survei dan pemetaan tanah. Untuk meningkatkan keahlian dan kemampuan dalam menjalankan tugas, maka banyak tenaga peneliti dan tenaga fungsional lainnya, telah mengikuti program pelatihan baik jangka panjang maupun jangka pendek di dalam dan luar negeri, dengan biaya dari pemerintah (beasiswa) atau biaya sendiri.
Sebaran sumber daya Puslitbangtanak per tahun 2004 menurut jenjang pendidikan (A), jenjang fungsional (B) dan status fungsional (C) Unit kerja
S3
S2
S1
< D3
Puslitbangtanak
4
5
9
53
71
Balittanah
15
48
83
177
323
Balitklimat
7
9
18
33
67
Balittra
3
22
41
87
153
Lolingtan
0
6
7
24
37
30
90
158
373
651
Total
A 21
Total
Unit kerja Puslit
Ahli peneliti
Peneliti
Ajun peneliti
Asisten peneliti
Total
1
0
0
0
1
Balittanah
15
27
28
21
91
Balitklimat
3
2
6
9
20
Balittra
4
13
26
3
46
Lolingtan Total
Unit kerja Puslit
B
0
1
1
6
8
23
43
61
39
166
Fungsional 13
Balittanah
206
Balitklimat
44
Balittra
46
Lolingtan Total
Nonfungsional
8
C
317
22
Total
58
71
117
323
23
67
107
153
29
37
334
651
SARANA DAN PRASARANA PENELITIAN
S
arana dan prasarana penelitian turut menentukan kelancaran pelaksanaan penelitian. Sarana penelitian yang dikelola Puslitbangtanak saat ini tersebar di Balit, Lolit, dan Kebun Percobaan lingkup Puslitbangtanak.
Laboratorium Kimia Dalam bidang penelitian kesuburan tanah, Laboratorium Kimia Tanah merupakan laboratorium yang tertua, yang saat ini berada di bawah Balai Penelitian Tanah. Laboratorium ini merupakan salah satu laboratorium referensi di Indonesia, dalam bidang analisis tanah, tanaman, kualitas air, dan pupuk. Selain melayani kebutuhan lingkup Puslitbangtanak, laboratorium ini juga melayani permintaan dari luar, baik dari instansi pemerintah maupun swasta. Kapasitas laboratorium dalam menganalisis cukup besar, yaitu sekitar 200 contoh tanah, 60 contoh tanaman, 40 contoh air, dan 20 contoh pupuk setiap minggu. Dalam rangka ikut meningkatkan keahlian tenaga analis di Indonesia, maka laboratorium ini memberikan kesempatan magang bagi tenaga-tenaga analis yang berasal dari berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Setiap tahun diperkirakan tidak kurang dari 50 orang tenaga analis yang telah melaksanakan magang di laboratorium ini.
23
Laboratorium Fisika Untuk melengkapi informasi sumber daya lahan, Laboratorium Fisika Tanah melayani analisis tanah yang berkaitan dengan sifat-sifat fisika tanah, antara lain : tekstur, berat volume, kadar air tanah, porositas, permeabilitas, indeks stabilitas agregat, angka Atterberg, nilai COLE, particle density, infiltrasi, dan perkolasi. Pada saat ini, laboratorium ini memiliki kapasitas analisis sekitar 70 contoh tanah setiap minggu.
Pengukuran permeabilitas tanah di laboratorium fisika
Laboratorium Mineralogi Laboratorium ini melayani analisis komposisi mineral fraksi pasir dan fraksi liat, dilengkapi dengan peralatan X-Ray Difractometer. Kedua jenis analisis ini sering kali digunakan untuk penelitian dasar klasifikasi dan genesa tanah. Kapasitasnya adalah analisis 24 contoh tanah setiap minggu. Untuk penetapan fraksi pasir, diperlukan waktu sekitar satu minggu, sedangkan untuk analisis mineral liat diperlukan sekitar dua minggu.
Analisis mineral dengan X-ray difractometer
24
Laboratorium Penginderaan Jauh (Inderaja) Seiring dengan perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografi (GIS), dan untuk mempermudah pelaksanaan inventarisasi dan monitoring sumber daya lahan, maka Puslitbangtanak telah memiliki laboratorium teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Dengan teknologi ini, kegiatan penelitian untuk memperoleh informasi spasial akan lebih efisien dari segi waktu dan biaya, karena mampu mempersingkat waktu penjelajahan lapangan seluruh wilayah penelitian. Pemanfaatan laboratorium inderaja saat ini ditujukan untuk : (1) penelitian bidang sumber daya lahan, antara lain, pengkajian karakteristik spektral data inderaja untuk identifikasi dan inventarisasi berbagai komoditas tanaman, (2) penelitian pembakuan metode pengolahan inderaja dan aplikasinya untuk penyusunan peta luas baku lahan sawah dan lahan kering, dan (3) penelitian monitoring bencana alam di wilayah pertanian, terutama berkaitan dengan penggunaan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (GIS).
Dengan bantuan Sistem Informasi Geografi, informasi spasial dapat diperoleh secara lebih efisien
25
Laboratorium Numerik dan Sistem Informasi Spasial Agroklimat dan Hidrologi (NSISAH) Laboratorium ini berada di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) dengan layanan sebagai berikut : (1) menyediakan data dan informasi iklim nasional, berupa data harian, bulanan, dan tahunan; (2) menyediakan Sebuah tampilan data iklim pada data parameter iklim dan Laboratorium NSISAH hidrologi yang lengkap, dari 79 stasiun iklim, dan 26 stasiun hidrologi yang tersebar di seluruh Indonesia; (3) melakukan analisis spasial dengan teknologi GIS/Remote Sensing untuk aplikasi hidrologi dan agroklimat; dan (4) melakukan analisis secara komputerisasi untuk analisis prediksi iklim/curah hujan bulanan, dampak El-Nino, dan dampak perubahan iklim global terhadap pengelolaan DAS dan produksi tanaman.
Laboratorium Gas Rumah Kaca Laboratorium Gas Rumah Kaca (Green House Gas) ini berada di Lolingtan Jakenan, Pati, dan bertugas melakukan pengukuran emisi gas rumah kaca. Pada awalnya, laboratorium ini dibentuk atas kerjasama dengan IRRI (International Rice Research Institute) Los Banos, Filipina dan merupakan salah satu sumber informasi dalam rangka memantau dinamika emisi gas rumah kaca di lahan sawah di beberapa negara Asia.
26
Unit Basis Data Untuk menghimpun data dan informasi yang dikumpulkan dari lapangan secara sistematis, maka Puslitbangtanak pada tahun 1987 membentuk Unit Basis Data. Unit ini menyiapkan data dan informasi sumber daya lahan Pemasukan data pada pembuatan dari seluruh Indonesia, baik peta tanah digital menggunakan digitizer dalam bentuk data tabular maupun spasial. Untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pengguna, unit ini dilengkapi beberapa peralatan penting seperti : komputer, plotter, digitizer, dan berbagai duplikasi perangkat lunak (softwares). Melalui unit ini, telah diproduksi berbagai peta, antara lain : Atlas Sumber daya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000, Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia, dan Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional skala 1:1.000.000, dan berbagai macam peta tematik lainnya.
Kebun Percobaan Lahan Rawa, Balandean, Kalimantan Selatan Kebun percobaan yang luasnya sekitar 25 ha ini, selain digunakan untuk merakit inovasi teknologi lahan rawa, seperti sistem pengelolaan lahan dan air, juga digunakan untuk menemukan varietasvarietas tanaman padi, sayur-sayuran dan buah-buahan, yang cocok untuk lahan rawa. Di kebun percobaan ini tersimpan berbagai plasma nutfah varietas padi, sayuran serta tanaman buah-buahan rawa yang dapat digunakan untuk merakit jenis varietas baru yang cocok untuk lahan rawa.
27
Kebun Percobaan Lahan Masam, Taman Bogo, Lampung Kebun Percobaan (KP) Taman Bogo, Metro, Lampung Tengah, dengan luas kurang lebih 24 ha sebelumnya berada di bawah pengelolaan Puslitbangtan. Pada tahun 2001, kebun ini dialihkan pengelolaannya ke Balittanah. KP Taman Percobaan pada laboratorium lapang Bogo merupakan lokasi pewakil di Taman Bogo tanah masam di Indonesia, yang memiliki reaksi tanah sangat masam (pH : 4,2-4,3), serta kandungan unsur hara N, P, K, dan bahan organik sangat rendah. Kebun percobaan yang mempunyai 5 ha lahan sawah, dan 9 ha tanah kering ini, merupakan lokasi/tempat penelitian yang berhubungan dengan teknik pengelolaan lahan masam. Kebun percobaan ini diarahkan sebagai laboratorium lapangan (field laboratory) pengelolaan tanah masam dan menyediakan obyek/tempat kunjungan lapang (visitors plot), sehingga diskusi dan konsultasi antara peneliti, penyuluh, petani, dan pengambil kebijakan daerah dapat dilakukan.
Perpustakaan Perpustakaan Puslitbangtanak memiliki koleksi sekitar enam ribu (6.000) publikasi, yang terdiri atas buku, jurnal, prosiding, bahan referensi (misalnya kamus, abstrak, statistik, dan lain-lain), dan publikasi lainnya dari luar dan dalam negeri, mulai dari zaman pemerintahan Belanda sampai sekarang. Selain itu, tersedia juga berbagai laporan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Puslitbangtanak. Pengunjung utama selain dari para peneliti, juga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
28
Museum Tanah Nasional Museum tanah ini didirikan pada tanggal 29 September 1988, dan merupakan satu-satunya museum tanah di Indonesia. Di museum ini, dapat dilihat koleksi berbagai jenis tanah di Indonesia. Koleksi tanah tersebut berbentuk makromonolit, berupa irisan tegak penampang tanah. Setiap makromonolit dilengkapi data analisis laboratorium yang berupa data analisis kimia, fisika, dan mineral. Kegunaan museum ini antara lain untuk pendidikan, dan pengunjungnya Museum Tanah memberikan andil kebanyakan pelajar dan dalam pendidikan melalui penyediaan informasi visual secara alami mahasiswa.
Website Puslitbangtanak Sebagai lembaga publik, Puslitbangtanak mempunyai kewajiban menyampaikan hasil-hasil penelitiannya kepada masyarakat luas. Untuk melakukan hal ini, maka pada tahun 2001 Puslitbangtanak membuat situs dengan nama domain www.soil-climate.or.id. Informasi
29
yang disajikan melalui situs tersebut antara lain informasi tentang berbagai jenis tanah serta teknik pengelolaannya, informasi tentang agroklimat, dan informasi hidrologi. Selain itu, berbagai publikasi hasil penelitian tanah dan agroklimat, seperti Jurnal Tanah dan Iklim, Warta Puslitbangtanak, Kumpulan Abstrak Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Prosiding Pertemuan Teknis, atau Seminar Nasional Tahunan juga disajikan dalam situs tersebut. Sejak situs ini dibentuk, telah tercatat rata-rata 16.000 (enam belas ribu) pengunjung setiap tahun dari berbagai kalangan, utamanya mahasiswa.
30
KARYA-KARYA UNGGULAN PUSLITBANGTANAK Kontribusi dalam Penyediaan Data dan Informasi Potensi Sumber Daya Lahan Nasional Kegiatan inventarisasi sumber daya tanah, sesungguhnya sudah dimulai pada saat pemerintahan Belanda sekitar tahun 1890 terutama ditujukan untuk mencari lahan/tanah yang cocok untuk pengembangan berbagai komoditas tanaman perkebunan. Beberapa kegiatan pemetaan yang dapat dicatat, antara lain : pada 1897 telah dilaporkan hasil survei beberapa jenis tanah di Deli (Chin A Tam, 1993). Pada 1902, dilaporkan hasil survei pasca letusan Gunung Kelud. Pada tahun 1930 kegiatan survei sistematik tingkat tinjau mulai dilakukan di Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara. Kemudian setelah kemerdekaan, inventarisasi sumber daya tanah yang dalam pelaksanaannya berupa kegiatan survei dan pemetaan tanah baru dimulai sekitar tahun 1955 (Abdurachman et al., 2000). Setelah selesainya proyek LREP-I (1988-1990) telah tersedia data dan informasi potensi sumber daya lahan nasional dalam bentuk Database Sumber Daya Lahan dalam berbagai skala dan format, baik tabular maupun spasial. Kemajuan inventarisasi tanah sampai tahun 2004, mencapai sekitar 53% wilayah Indonesia, utamanya Kawasan Barat Indonesia telah selesai dipetakan pada tingkat tinjau skala 1:250.000. Peta-peta yang telah dihasilkan dapat dilihat pada Daftar Peta Sumber Daya Lahan Puslitbangtanak (1996). Dari hasil pengumpulan data dan informasi sumber daya tanah tersebut telah dihasilkan beberapa Atlas antara lain : a. Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000 Untuk menunjang pembangunan pertanian modern, data dan informasi sumber daya tanah sangat diperlukan. Atlas tanah ini memberikan informasi mengenai jenis-jenis tanah serta penyebarannya
31
di Indonesia, yang bersifat multiguna dan indikatif, serta sangat bermanfaat untuk mengetahui potensi dan kendala sumber daya tanah di suatu wilayah. Klasifikasi yang
Peta Sumber Daya Tanah Eksplorasi Wilayah Pontianak
digunakan pada Atlas ini mengikuti Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998).
b. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000 Atlas ini merupakan bentuk operasionalisasi lebih lanjut dari Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi, yang disusun berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dari banyak komoditas pertanian. Atlas ini menyajikan data dan informasi penyebaran luas wilayah berpotensi untuk pengembangan berbagai budi daya pertanian, kondisi biofisik lingkungan, dan permasalahan yang berkaitan dengan pengembangannya.
Sebagian wilayah Sumatera berpotensi sebagai lahan pertanian
c. Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional Skala 1:1.000.000 Atlas ini berisi informasi tentang potensi sumber daya lahan Indonesia, dalam kaitannya dengan pengembangan komoditas pertanian unggulan wilayah. Atlas ini dapat membantu para investor dan pengambil kebijakan, untuk merencanakan program agribisnis di
32
wilayah. Terdapat 71 jenis komoditas yang terdiri atas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan yang dapat ditelusuri potensi pengembangannya di wilayah. Presiden Megawati Soekarnoputri berkenan memberikan sambutan dalam atlas ini.
d. Atlas Potensi Iklim Pertanian Nasional Skala 1:1.000.000 Iklim merupakan faktor penentu pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, informasi iklim suatu wilayah sangat penting untuk menentukan jenis tanaman dan untuk menentukan waktu dimulainya suatu usaha tani. Atlas ini menyajikan informasi iklim, khususnya curah hujan tahunan, pola curah hujan, tipe iklim, dan periode bulan basah untuk seluruh wilayah Indonesia.
33
e. Atlas Zona Agro Ekologi Indonesia Skala 1:250.000 Melalui pembinaan yang dilakukan Puslitbangtanak terhadap Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), maka di tiap provinsi telah tersedia Atlas Zona Agro Ekologi (ZAE) berskala 1:250.000. Untuk memudahkan pelayanan kepada pengguna yang ingin mengetahui potensi ZAE dari suatu wilayah tanpa harus datang ke wilayah yang bersangkutan, maka telah disusun Atlas Zona Agro Ekologi Indonesia f. Peta Arahan Lahan Sawah Utama dan Sekunder Nasional Lahan sawah memiliki fungsi strategis karena merupakan penyedia bahan pangan utamanya beras bagi penduduk Indonesia. Sebagian besar lahan sawah terdapat di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok yang seluruhnya berjumlah sekitar 3.855.000 ha. Penyusutan lahan sawah yang terus berlangsung tanpa kendali saat ini sudah mengkhawatirkan, karena permintaan akan pangan juga terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Untuk membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan, maka Puslitbangtanak telah menyusun Peta Arahan Lahan Sawah Utama dan Sekunder untuk Pulau Jawa, Bali, dan Lombok.
34
Kontribusi dalam Program Transmigrasi Nasional Dalam rangka mendukung keberhasilan program transmigrasi nasional, maka Puslitbangtanak melalui Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT), telah aktif terlibat dalam perencanaan pemukiman transmigran. Proyek ini dimulai sejak 1979 dan selesai pada akhir Maret 1986. Dalam kurun waktu tersebut telah dilaksanakan kegiatan survei kapabilitas tanah tingkat semi detail (skala 1:50.000) dan tingkat tinjau (skala 1:250.000), dengan tujuan untuk menyusun rekomendasi penggunaan lahan dalam rangka pemilihan lokasi calon penempatan transmigran. Selain itu, dilaksanakan pula pemetaan tanah detail (skala 1:1.000) di beberapa kebun penelitian pola usaha tani dalam rangka alih teknologi. Secara keseluruhan, total luas tanah yang disurvei pada periode tersebut (1979-1986) adalah sekitar 2,5 juta ha (Sudjadi et al., 1989). Selain kegiatan survei kapabilitas tanah, melalui proyek ini dilakukan juga berbagai kegiatan penelitian pola usaha tani guna menunjang pengembangan Pemukiman transmigran pertanian di daerah pemukiman memerlukan pemetaan tanah dalam transmigran. perencanaannya
Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah Lahan sawah dikenal sebagai lumbung beras terbesar. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ekosistem lahan sawah lebih tereksploitasi dibanding ekosistem lahan kering dan lahan rawa. Pembangunan pertanian secara intensif di Indonesia dilakukan bersamaan dengan bergulirnya revolusi hijau pada tahun 1960-an
35
melalui program Bimas. Mulai saat itu, penggunaan input berupa bibit, obat-obatan, dan pupuk kimia juga ikut meningkat secara intensif. Demikian juga usaha untuk pencetakan sawah baru untuk menambah areal persawahan Lahan sawah, sumber daya penting Puslitbangtanak telah ikut yang perlu arahan yang tepat dalam pemanfaatannya berperan secara aktif, terutama dalam identifikasi lahan yang sesuai untuk pencetakan sawah, penentuan dosis pupuk yang optimum, dan berbagai kegiatan penelitian lahan sawah yang ditujukan terutama untuk peningkatan efisiensi penggunaan pupuk terutama N, P, dan K, dan pelestarian produktivitas lahan sawah. Akhir-akhir ini, masalah konversi lahan sawah menjadi sorotan, karena dapat menurunkan kemampuan negara dalam memproduksi beras dan bahan pangan lainnya, yang pada akhirnya dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Puslitbangtanak bersama dengan instansi pemerintah lainnya telah aktif melakukan advokasi dan memberikan informasi kepada berbagai pihak, khususnya mengenai sumber daya lahan sawah. Untuk memberikan informasi kepada berbagai pihak terkait, Puslitbangtanak bekerjasama dengan Biro Perencanaan dan Keuangan, Departemen Pertanian, telah menerbitkan Peta Arahan Lahan Sawah Utama dan Sekunder Nasional. Peta ini memuat informasi yang berharga mengenai wilayahwilayah sawah utama di Jawa, Bali, dan Lombok. Masih dalam kaitannya dengan masalah konversi lahan sawah, Puslitbangtanak bekerjasama dengan Asean-Japan ikut melakukan advokasi mengenai multifungsi lahan, yang tidak sekedar sebagai penghasil beras/pangan tetapi juga mempunyai fungsi-fungsi lain, seperti fungsi pengendalian erosi dan fungsi sosial lainnya yang nilainya tidak terhitung.
36
Dalam hal meningkatkan efisiensi pemupukan, Puslitbangtanak aktif melakukan berbagai penelitian berkaitan efisiensi penggunaan pupuk. Akhir-akhir ini, pertemuan untuk meluruskan persepsi penerapan pupuk berimbang secara rasional telah sering dilakukan di Puslitbangtanak dengan melibatkan berbagai lembaga terkait, termasuk perguruan tinggi. Demikian juga tentang kasus maraknya penggunaan pupuk alternatif palsu pada lahan sawah yang telah terbukti merugikan petani, Puslitbangtanak secara aktif mengadakan pembinaan di berbagai instansi di wilayah terutama di BPTP. Salah satu di antaranya adalah pembinaan uji tanah untuk P dan K Berdasarkan kelas status hara P dan K tanah sawah, telah dibuat Peta Status Hara P dan K Lahan Sawah di 18 provinsi di Indonesia dengan skala 1:250.000. Untuk skala operasional di lapangan, telah pula dilakukan pemetaan status hara P dan K lahan sawah di 10 kabupaten di Jawa dan Sumatera, dengan skala 1:50.000. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sekitar 7,5 juta ha lahan sawah di 18 provinsi tersebut, sebagian besar (43%) berstatus P sedang, dan 40% berstatus P tinggi, sedangkan yang berstatus P rendah hanya sekitar 17%. Lahan sawah yang berstatus hara K tinggi adalah sekitar 51%, yang mempunyai status hara K sedang sebanyak 37%, sedangkan yang berstatus hara K rendah hanya 12% dari total lahan sawah yang dipetakan.
Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Lahan kering merupakan lahan paling luas, sekitar 76 juta ha, sangat luas dibandingkan dengan ekosistem sawah dan rawa. Untuk pemanfaatannya ada beberapa kendala yang dihadapi, antara lain : lahannya mudah terdegradasi, kesuburan alami tanah yang rendah, dan masalah kekurangan air. Pada wilayah iklim basah, lahan kering pada umumnya ber-pH rendah, karena tanahnya telah tercuci sangat
37
intensif, sedangkan pada wilayah iklim kering kondisi tanahnya ber-pH tinggi yang menyebabkan beberapa hara mikro tidak tersedia. Potensi lahan kering masam untuk pengembangan pertanian sebenarnya masih cukup besar. Diduga, sekitar Lahan kering masam memerlukan penanganan khusus dalam 16,2 juta ha lahan kering pemanfaatannya untuk pertanian masam dapat dikembangkan untuk usaha tanaman pangan. Untuk mengatasi kendala pemanfaatan lahan kering, maka Puslitbangtanak bekerjasama dengan Tropsoils Project (USA), International Fertilizer Development Center (IFDC), dan Departemen Transmigrasi telah banyak melakukan penelitian dan telah menemukan teknologi pengelolaan lahan kering masam, antara lain, teknologi pengayaan P dan K, serta efisiensi penggunaan N. Teknik pemberian kapur telah ditemukan untuk mengatasi masalah kemasaman dan keracunan aluminium (Al). Masalah penting lain yang sering dijumpai pada lahan kering, adalah masalah erosi, terutama pada lahan berlereng dan kekurangan air. Untuk mengatasi kendala erosi pada lahan kering berlereng ini, maka teknik konservasi tanah telah ditemukan dan dikembangkan dengan meningkatkan partisipasi petani. Sementara itu, untuk mengatasi masalah kekurangan air tadi, telah dikembangkan pula teknik pengelolaan air secara efisien.
Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Rawa Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Luas lahan ini diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang terdiri atas pasang surut 20 juta ha dan lebak
38
13 juta ha. Secara turun temurun, lahan ini telah dimanfaatkan untuk bercocok tanam oleh penduduk yang tinggal di sekitarnya, utamanya Suku Banjar dan Bugis. Ekosistem lahan rawa secara alami lebih rentan daripada lahan sawah, terutama karena adanya berbagai masalah kimia seperti keracunan besi, Al, Mn, dan hidrogen sulfida. Guna membantu petani dalam meningkatkan produktivitas usaha taninya, maka Puslitbangtanak bersama-sama unit kerja penelitian lain lingkup
Badan
Litbang
Pertanian,
sejak
Proyek
Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S) tahun 1970-an yang dilanjutkan dengan proyek penelitian Swamp I dan Swamp II (Bank Dunia), kemudian dengan LAWOO (Belanda) tahun 1980-an, serta proyek ISDP (Integrated Swamp Development Project-Bank Dunia), telah melakukan berbagai penelitian dan telah berhasil menemukan berbagai inovasi teknologi, antara lain, teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah, dan pemupukan. Penggunaan varietas yang adaptif merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam pemanfaatan lahan rawa. Beberapa varietas yang cocok untuk lahan rawa telah ditemukan, seperti : Margasari dan Martapura (varietas padi), Sukmaraga dan Padmaraga (varietas jagung), Lawit dan Manyapa (varietas kedelai) (Trip Alihamsyah et al., 2001). Sebagian besar inovasi teknologi tersebut telah sampai di petani, dan Tata air pada ekosistem lahan rawa diterapkan untuk mengelola merupakan sesuatu yang sangat usaha taninya. penting
39
Kontribusi dalam Penyediaan Data dan Informasi Iklim Nasional Akhir-akhir ini, anomali/ penyimpangan iklim dalam bentuk El-Nino dan La-Nina lebih sering terjadi. Kedua kelainan iklim ini telah terbukti menurunkan produksi pertanian, utamanya beras, yang tidak saja Data iklim dapat memberikan berdampak pada petani, tetapi informasi untuk prediksi El-Nino dan juga pada persediaan beras La-Nina secara nasional. Kejadian ElNino pada tahun 1991, 1994, dan 1997 telah menyebabkan kekeringan (puso) pada areal pertanaman padi berturut-turut seluas 868 ribu, 544 ribu, dan 504 ribu ha. Sedangkan La-Nina pada tahun 1988 dan 1995, menyebabkan banjir pada persawahan masing-masing seluas 130 ribu dan 218 ribu ha. Kejadian El-Nino dan La-Nina tidak bisa dihindari, namun dapat diprediksi. Dengan memprediksi kedatangannya, maka langkahlangkah untuk mengurangi dampaknya bisa dilakukan. Untuk tujuan ini, Departemen Pertanian telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang anggotanya terdiri atas berbagai instansi, seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan instansi Eselon I terkait Departemen Pertanian. Pokja ini diketuai oleh Kepala Badan Litbang Pertanian, dengan tugas memantau kejadian-kejadian iklim yang berkaitan dengan pertanian, dan hasilnya disebarkan ke berbagai instansi yang memerlukan.
Kontribusi dalam Kebijakan Pupuk Nasional Pupuk merupakan salah satu sarana produksi pertanian yang sangat penting, selain faktor-faktor produksi lainnya, seperti pengolahan tanah, pengendalian hama-penyakit tanaman, penggunaan varietas unggul, pengairan, serta penanganan panen dan pasca panen.
40
Mandat untuk menangani penelitian pupuk telah ditiadakan sejak perubahan mandat dan nama pada tahun 1967, namun demikian karena masalah peningkatan kesuburan tanah tidak terlepas dari penggunaan pupuk, maka Puslitbangtanak selalu memberikan sumbang Pupuk yang ada di pasar pun perlu saran dalam masalah kebijakan diuji secara ilmiah pupuk nasional. Selama 30 tahun terakhir yakni sejak sekitar tahun 1960-an, penggunaan pupuk untuk tanaman pangan meningkat terutama urea dan TSP, sementara penggunaan pupuk KCl baru dimulai tahun 1978. Penggunaan urea dan TSP yang secara terus-menerus dan berlebihan di daerah intensifikasi terutama di Jawa selama lebih 20 tahun, telah mengakibatkan terjadinya akumulasi P di sebagian besar lahan sawah. Sekitar 84% sawah di Jawa ditemukan mempunyai kandungan P tanah yang tergolong tinggi. Akhir-akhir ini konsep pemupukan berimbang sering mengemuka karena penggunaannya dianggap dapat meningkatkan produksi pertanian. Konsep pemupukan berimbang belum sepenuhnya dipahami dengan benar oleh masyarakat pertanian, sehingga diartikan sebagai pemberian hara lengkap dalam bentuk pupuk majemuk NPK. Untuk meluruskan pemahaman yang kurang tepat terhadap konsep pemupukan berimbang tersebut, maka para peneliti di Puslitbangtanak bersama-sama dengan mitra dari perguruan tinggi dan pengambil kebijakan, telah aktif melakukan pertemuan dan sosialisasi terhadap konsep pemupukan berimbang. Dari salah satu pembahasan tentang pemupukan berimbang telah disepakati bahwa konsep pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara dalam kondisi optimum bagi pertumbuhan dan hasil tanaman.
41
Dalam kaitannya dengan penggunaan suatu produk baru untuk bahan penyubur tanah (amelioran), Puslitbangtanak sering diminta pendapatnya untuk memberikan bahan rekomendasi, apakah suatu produk layak untuk dipasarkan secara komersial untuk kepentingan petani, seperti halnya dengan merebaknya penjualan pupuk alternatif akhir-akhir ini. Puslitbangtanak sebagai lembaga ilmiah, selalu mengedepankan aspek ilmiah berdasarkan pengujian yang benar di lapangan.
Penyusunan Metode Analisis dan Panduan Untuk mempermudah para peneliti, baik di dalam maupun di luar lingkup Puslitbangtanak, maka telah disusun beberapa penuntun analisis dan panduan kerja seperti : Penuntun Analisa Tanah (1971), Metoda Analisa Air Irigasi (1972), Penuntun Analisa Fisika Tanah (1974), Penuntun Analisa Tanaman (1978), Panduan Survei Tanah I (1994), Kunci Taksonomi Tanah (1999), dan Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan (2003).
Pengembangan Sistem Klasifikasi Tanah Nasional Pada mulanya sistem klasifikasi tanah di Indonesia yang cukup luas digunakan adalah sistem DudalSoepraptohardjo (DS) (1957). Sistem ini telah digunakan selama 25 tahun (1958-1985) dan dimanfaatkan dalam survei dan pemetaan di banyak wilayah di Indonesia. Sistem ini telah beberapa kali diperbaiki dengan mengacu pada satuan tanah FAO (1976) dan sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1975). Pada Kongres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) V tahun 1989 di Medan diputuskan bahwa secara nasional digunakan sistem Taksonomi Tanah, sehingga sejak itu sistem Dudal-Soepraptohardjo pun tidak digunakan lagi.
42
INOVASI TEKNOLOGI UNGGULAN Bidang Penelitian Tanah a. Teknologi Cara Cepat Menentukan Dosis Pupuk Tanaman Padi Sawah dengan “Soil Test Kit” Penerapan pemupukan berimbang mengacu kepada tingkat kesuburan tanah dan kebutuhan tanaman. Setiap tanah memiliki tingkat kesuburan yang berbeda-beda, dan tanaman juga mempunyai tingkat kecukupan hara yang berbeda pula. Aplikasi pupuk yang tepat jenis, jumlah, dan waktunya dapat meningkatkan tingkat efisiensi serapan hara per unit pupuk yang ditambahkan. Soil Test Kit adalah alat deteksi cepat status hara tanah sawah di lapangan, yang dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, serta dapat digunakan untuk penetapan rekomendasi pemupukan N, P, dan K spesifik lokasi. Soil Test Kit dilengkapi pengekstrak untuk mengukur pH dan kandungan hara N, P, K tanah di lapangan. Diharapkan penggunaan Soil Test Kit ini, dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh petani. Selain itu, dapat mempermudah penyuluh pertanian dalam menetapkan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik lokasi untuk padi sawah, mengingat saat ini paket rekomendasi pemupukan yang berlaku masih bersifat umum. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi ini, adalah: (1) satu unit Soil Test Kit dapat digunakan untuk analisis 50 sampel tanah, guna penetapan N, P, K, dan pH, dan (2) batas kedaluwarsa pengekstrak antara 1-1,5 tahun.
Soil Test Kit, “laboratorium berjalan” untuk analisis hara makro dan pH tanah
43
b. Teknologi Pengayaan P Tanah Masam dengan P-Alam Salah satu hara penting yang sering kekurangan pada tanah masam adalah fosfat (P). Untuk meningkatkan kandungan P
tanah,
melalui
sering
dilakukan
penambahan
pupuk
kimia. Namun karena harga pupuk P produksi pabrik seperti
Percobaan pengayaan P tanah masam dengan jagung sebagai indikator
TSP, SP-36 relatif mahal, maka penggunaan
pupuk
P-alam
dapat mengurangi biaya produksi. Pupuk P-alam mempunyai tingkat kelarutan tinggi pada kondisi masam, sehingga sangat sesuai digunakan pada tanah kering bereaksi masam seperti Ultisols, Oxisols, dan sebagian Inceptisols. Komposisi P-alam yang dapat digunakan secara langsung sebagai pupuk, terdiri atas francolit/karbonat fluorapatit (Ca10-a-hNaaMgb(PO4)6-xF2+0.4x), yang reaktivitasnya tinggi, dengan kadar P2O5 larut dalam asam sitrat >6%. Kualitas P-alam yang baik adalah yang mengandung total P2O5 tinggi, yaitu >20%. Teknologi pengayaan P-alam sebesar 1 t/ha + 2 ton
pupuk
kandang cocok diterapkan untuk skala usaha tani >1 ha. Aplikasi teknologi pengayaan P-alam selama lima musim pada tanah Oxisols dan Ultisols dapat meningkatkan hasil jagung antara 30-90%. Di sisi lain pendapatan meningkat 90% hingga 170%, serta nilai B/C ratio lebih tinggi.
44
Analisis usaha tani jagung per ha pada pengaruh fosfat alam di Kalimantan Selatan selama lima musim tanam (MH 2001/2002 – MH 2003/ 2004) Jenis tanah
Perlakuan
Oxisols
A B C A B C
Ultisols
PeneriTenaga Saprodi Pendapatan maan kerja ……….……….……. $/ha …………..……………. 1.834,82 764,47 825,32 245,03 2.267,50 867,66 822,83 577,01 2.560,59 920,90 978,14 661,55 1.709,97 722,64 697,53 289,80 2.204,87 833,28 813,67 557,92 2.424,25 870,65 969,42 584,17
R-C Ratio 1,15 1,34 1,35 1,20 1,34 1,32
Catatan : R-C ratio = penerimaan : total biaya; 1 US$ = Rp.8.500, - (Januari 2000)
c. Teknologi Uji Tanah sebagai Dasar Penetapan Dosis Rekomendasi Pupuk P dan K untuk Padi Sawah Sebagai akibat program intensifikasi sejak 1960-an, maka sebagian lahan sawah mengandung hara P dan K cukup tinggi, karena hampir setiap musim mendapat tambahan pupuk P dan K. Harga pupuk yang mahal mendorong perlunya pemupukan yang efisien, dengan cara mengganti rekomendasi pemupukan yang diberlakukan secara umum di masa lalu, dengan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang lebih efisien. Teknologi uji tanah adalah suatu kegiatan analisis kimia di laboratorium yang sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang (reproduceable) untuk menduga ketersediaan hara tertentu dalam tanah, dengan tujuan akhir memberikan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang efisien. Teknologi uji tanah (P dan K) untuk padi sawah dapat memberikan informasi mengenai rekomendasi pupuk untuk masingmasing kelas status hara. Peta Status Hara P Wilayah Jawa Barat
45
Rekomendasi pupuk SP-36 dan KCl untuk padi sawah, pada kelas status hara P dan K tanah rendah, sedang, dan tinggi Takaran pupuk pada tanah berstatus
Jenis pupuk
Rendah
Sedang
Tinggi
……….. kg/ha/musim ….….. 100 75 50
1. SP-36 2. KCl: • Jerami dikembalikan (5 t/ha) • Jerami tidak dikembalikan
50 100
0 50
0 50
Apabila rekomendasi pupuk P dan K secara nasional ditetapkan berdasarkan uji tanah, maka akan diperoleh penghematan pupuk P dan K yang cukup besar, jika dibandingkan dengan anjuran pemupukan P dan K yang berlaku umum. Hasil kajian Puslitbangtanak menunjukkan bahwa jumlah pupuk P yang diperlukan untuk rekomendasi nasional padi sawah yang bersifat umum, adalah 1.501 ribu ton SP-36/tahun. Namun apabila digunakan rekomendasi berdasar uji tanah hanya dibutuhkan 1.039 ribu ton SP-36/tahun, sehingga diperoleh penghematan pupuk P sebesar 462 ribu ton SP-36/tahun, atau setara dengan 740 milyar rupiah/tahun. Penghematan pemakaian pupuk K, apabila jerami dikembalikan ke lahan adalah 1.414 ribu ton KCl/tahun, setara dengan 2.828 milyar rupiah/tahun. Namun, apabila jerami tidak dikembalikan ke lahan, maka penghematan penggunaan pupuk menjadi 523 ribu ton KCl/ tahun, atau setara 1.046 milyar rupiah/tahun. Penghematan pupuk P dan K yang diperoleh dari lahan sawah berkadar hara sedang dan tinggi, dapat dialokasikan ke lahan sawah dan lahan kering di luar Jawa, yang sangat memerlukan peningkatan penggunaan pupuk, agar produktivitasnya meningkat. Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi ini adalah, bahwa rekomendasi pupuk P dan K untuk padi sawah yang ditetapkan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman ini,
46
hanya berlaku untuk tanaman padi seperti varietas IR-64, Ciherang, dan Cisadane yang potensi produksi gabah kering gilingnya sekitar 5 t/ha. Rekomendasi ini tidak berlaku untuk varietas padi tipe baru (Fatmawati) dan padi hibrida, yang mempunyai potensi produksi lebih dari 8 t/ha. Rekomendasi pupuk P dan K untuk padi tipe baru dan hibrida baru tersebut masih harus diteliti. d. Teknologi Citra Satelit untuk Prediksi Produksi Padi Sampai saat ini, belum ada sistem informasi sumber daya pertanian dan prediksi produksi tanaman pangan yang realistik, kecuali berdasarkan data sebelumnya. Data dan informasi produksi padi dan palawija selama ini, baru dapat diketahui setelah waktu panen, Citra satelit memberi informasi lengkap tentang kondisi pertanaman sehingga tidak dapat mengpadi sebagai bahan estimasi akomodasi berbagai kemungproduksinya kinan penurunan produksi akibat serangan hama penyakit, atau penyimpangan iklim seperti kekeringan dan banjir. Selain itu, estimasi data produksi yang dibangkitkan dari data luas panen dikalikan dengan data produktivitas, juga mengandung banyak kelemahan, karena rendahnya keakuratan masing-masing data. Oleh sebab itu, sistem informasi lahan dan produksi pertanian harus didukung teknologi inderaja yang mampu menyajikan data yang obyektif dan mutakhir secara periodik dan berkesinambungan. Ide dasar aplikasi teknik inderaja untuk estimasi produksi padi, adalah membantu mendapatkan data statistik pertanian tanaman pangan (padi) dan produktivitasnya yang lebih tepat waktu, akurat, dan berbasis ruang (spasial), sehingga pengadaan stok pangan dapat direncanakan
47
lebih akurat. Beberapa manfaat yang didapat melalui teknologi ini adalah: 1. Keakuratan informasi data pertanian (luas tanam, luas panen, waktu panen) dan ketepatan peramalan produksi pangan (padi) nasional diperoleh dalam waktu yang relatif cepat, sehingga dapat mempercepat tercapainya usaha ketahanan pangan. 2. Kendala variasi kondisi alam (landscape) dan aksesibilitas dalam pengumpulan data/informasi yang dibutuhkan di lapangan dapat diminimalkan, sehingga ketepatan penyampaian informasi dapat lebih terjamin. Penggunaan citra satelit untuk deteksi dan inventarisasi penggunaan/penutupan lahan telah banyak digunakan, bahkan digunakan pula untuk memprediksi umur dan produksi padi melalui pendugaan produktivitas dan luas tanam atau panen. Berdasarkan penelitian di P. Jawa, diperoleh korelasi antara produktivitas padi (Y) dengan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) berupa persamaan regresi: Y = 39,9X - 11,16 (r2 = 0,66), di mana Y adalah produktivitas (t/ha), dan X adalah nilai NDVI. Dalam aplikasi teknologi inderaja untuk estimasi produksi padi, digunakan data citra satelit real time. Pengolahan data citra, mulai download data sampai tersaji informasi luas areal siap panen dan estimasi hasil/produksinya, diharapkan dapat selesai sekitar 10 hari, sehingga data yang dihasilkan betul-betul masih merupakan informasi pada saat yang tepat (real time) dan tidak kadaluwarsa. e. Teknologi Konservasi Tanah di Lahan Pertanian Berbasis Tanaman Sayuran Teknologi ini tidak mengubah secara total cara pembuatan bedengan yang selama ini dilakukan petani. Petani tetap membuat bedengan searah kontur, namun panjangnya dibatasi hanya 450 cm, dan di antara dua bedengan dibuat guludan yang memotong lereng, atau mengikuti garis kontur. Dengan melakukan sedikit modifikasi
48
terhadap kebiasaan petani tersebut, diharapkan teknologi ini dapat diterapkan oleh petani. Guludan berfungsi untuk menghambat aliran permukaan dan meningkatkan pengendapan tanah dan unsur hara yang tererosi dari bedengan. Sayuran Percobaan konservasi tanah di ditanam di bedengan, sedangkan sentra sayuran dataran tinggi Dieng, guludan dapat ditanami dengan Jawa Tengah tanaman lainnya yang bermanfaat. Teknologi konservasi ini direkomendasikan untuk diterapkan pada lahan miring di daerah dataran tinggi, yang diusahakan untuk usaha tani sayuran. Kehilangan hara yang cukup tinggi pada model bedengan petani yang dibuat searah lereng, tanpa guludan, akan meningkatkan kebutuhan pupuk untuk mengimbangi kehilangan hara karena erosi. Sebaliknya, teknologi bedengan dan guludan, efektif memperkecil erosi tanah dan kehilangan unsur hara. Dengan demikian dalam jangka panjang, teknologi ini dapat menghemat input usaha tani berupa pengurangan pemakaian pupuk organik dan pupuk buatan. Pengurangan input usaha tani akan meningkatkan keuntungan petani. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan teknologi ini adalah : • Bedengan dibuat searah lereng dengan ukuran 1,5 m x 4,5 m. • Ukuran guludan : lebar 20-25 cm dan tinggi 30-40 cm, dibuat
memotong lereng dengan membentuk sudut sekitar 1 derajat terhadap kontur untuk memudahkan aliran pada parit yang terletak di sisi sebelah atas guludan. • Dalam jangka panjang, diyakini teknologi bedengan plus guludan
akan lebih menguntungkan dibanding cara petani, karena berkurangnya erosi pada teknologi ini akan mengurangi pemberian pupuk, baik organik maupun anorganik.
49
Tanah dan hara makro yang tererosi dari berbagai teknik penyiapan lahan untuk tanaman sayuran di tanah Hapludands Cipanas, Bogor Perlakuan
Erosi
• Bedengan searah lereng, panjang 10 meter. • Bedengan searah lereng, setiap 450 cm, dibuat guludan memotong lereng. • Bedengan searah kontur.
N
P2 O 5
K20
t/ha 65,1
……… kg/ha ……… 241 80 18
40,2
145
56
11
40,5
146
58
13
f. Teknologi Konservasi Tanah dengan Sistem Pertanaman Lorong Sistem pertanaman lorong (alley cropping) adalah salah satu teknik konservasi tanah vegetatif, di mana tanaman legum pohon/ semak ditanam rapat dalam baris dengan jarak antar baris tertentu, sehingga membentuk lorong. Pada lorong-lorong di antara dua baris tanaman legum tersebut ditanami tanaman pangan/semusim. Sistem ini dapat diterapkan pada lahan berlereng, dengan kemiringan tidak lebih dari 30%, atau pada lahan datar. Jika diterapkan pada lahan berlereng, maka barisan legum yang ditanam mengikuti garis kontur, akan berfungsi menyaring tanah yang tererosi dari lahan yang ditanami tanaman pangan, selain manfaat lainnya seperti penghasil pakan ternak, bahan mulsa, dan sumber kayu bakar. Jika ditanam pada lahan datar, maka fungsi utamanya adalah sebagai sumber pakan ternak, bahan mulsa, dan sumber kayu bakar. Manfaat yang diperoleh dari penerapan teknologi ini adalah: selain dapat menahan tanah yang tererosi, juga berperan sebagai sumber pupuk hijau, bahan mulsa, pakan ternak, dan kayu bakar.
Sistem bertanam lorong, teknologi konservasi tanah dengan sumber hara in situ
50
Jenis tanaman pagar yang dapat digunakan dalam sistem pertanaman lorong adalah: lamtoro (Leucaena leucocephala), glirisidia (Gliricidia sepium), serengan jantan (Flemingia congesta), kaliandra (Caliandra calothirsus), serta berbagai tanaman legum pohonan atau semak lainnya. Secara umum, setiap semak atau pohon yang tergolong legum bisa dijadikan tanaman pagar, namun lebih efektif apabila tanaman pagar tersebut memenuhi sifat-sifat sebagai berikut: (1) berakar dalam, agar tidak menjadi pesaing bagi tanaman pangan/ semusim, (2) pertumbuhannya cepat, dan setelah pemangkasan cepat bertunas kembali, (3) mampu menghasilkan bahan hijauan dalam jumlah banyak dan terus-menerus, sehingga dapat digunakan sebagai sumber pupuk hijau dan/atau pakan ternak, dan (4) mampu meningkatkan kandungan nitrogen tanah dan kandungan hara lainnya. g. Teknologi Reklamasi dan Pengelolaan Lahan Bekas Pertambangan Batubara Penambangan batubara, terutama yang dilakukan secara terbuka (open mining) menghasilkan bahan-bahan nonbatubara dalam jumlah besar, yang ditimbun di tempat lain yang tidak ditambang (disebut overburden). Bahan-bahan nonbatubara tersebut terdiri atas campuran tanah bagian atas (horizon A dan B), dan bahan induk tanah, seperti batuliat (claystone), batulanau (siltstone), batupasir (sandstone), atau tufa volkan, yang mempunyai sifat fisik tanah buruk, dan seringkali mengandung unsurunsur kimia yang dapat meracuni tanaman, sehingga lahan tersebut sulit ditumbuhi vegetasi. Oleh sebab itu, teknik reklamasi yang dapat dilakukan, Lahan bekas tambang batubara adalah dengan ameliorasi memerlukan teknologi reklamasi agar menggunakan bahan organik, dapat ditanami kembali
51
pupuk kandang, penanaman tanaman penutup tanah, dan kapur pertanian. Ada beberapa cara reklamasi lahan bekas penambangan batubara, yaitu penanaman tanaman kayu-kayuan (disebut penghijauan), penanaman tanaman penutup tanah, dan penggunaan amelioran. Tanaman penghijauan yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada lahan bekas penambangan batubara, di antaranya adalah Accasia mangium dan Albizia falcataria, ditanam dengan sistem pot yang diisi tanah merah (sebagai amelioran), dengan pemberian 0,5-1 kg pupuk campuran urea, P-alam, dan KCl dengan perbandingan 2:2:1 pada setiap pohon. Jenis-jenis tanaman penutup tanah yang mampu tumbuh dan beradaptasi baik pada tanah bekas penambangan batubara, adalah Brachiaria decumbens, Calopogonium mucunoides, Pueraria javanica, Centrosema pubescens, dan Mucuna sp. Namun demikian, tanahnya perlu diameliorasi dahulu, agar tanaman penutup tanah tumbuh baik. Bahan amelioran yang dapat digunakan untuk memperbaiki lahan bekas penambangan batubara adalah bahan organik dan kapur pertanian. h. Teknologi Reklamasi dan Pengelolaam Lahan Bekas Lahar Gunung Berapi Reklamasi dan pengelolaan lahan bekas lahar gunung berapi pernah dilakukan di lereng G. Merapi, tepatnya di Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Hal ini dilakukan, mengingat areal Flemingia congesta dapat digunakan untuk memperbaiki lahan bekas lahar
52
yang terkena endapan lahar cukup luas, dan sebelumnya areal tersebut merupakan lahan pertanian subur. Teknologi yang diterapkan adalah menanami lahan yang tertimbun lahar G. Merapi dengan Flemingia congesta, dan penggunaan emulsi bitumen. Flemingia congesta adalah tanaman legum perdu, dapat mencapai tinggi 3-5 meter, tumbuh cepat, berdaun banyak, dapat dipangkas dan hasil pangkasannya digunakan sebagai pupuk organik, dan apabila terbakar dapat bertunas kembali. Sedangkan emulsi bitumen digunakan sebagai amelioran, khususnya untuk memperoleh kelembapan tanah yang cukup, agar mampu mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik. Penanaman Flemingia congesta dan penggunaan emulsi bitumen cukup memberikan prospek yang baik dalam memperbaiki lahan yang terkena material letusan gunung berapi, karena dalam waktu satu tahun saja, lahan bekas endapan lahar telah tertutup rapat oleh vegetasi. i. Teknologi Pengukuran Laju Erosi Skala DAS Mikro Sejauh ini, pengukuran laju erosi banyak dilakukan pada skala petak kecil. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa data erosi pada skala petak kecil cenderung melebihi (overestimate), jika diekstrapolasi ke skala daerah aliran sungai (DAS). Teknologi pengukuran laju erosi skala DAS mikro merupakan inovasi teknologi untuk mengkuantifikasi laju erosi, yang lebih akurat dibanding pengukuran pada petak kecil. Pengukuran erosi pada skala DAS mikro dilakukan dengan menggunakan bak penampung sedimen (sediment trap), yang dilengkapi dengan V-notch weir, automatic water level recorder (AWLR), dan Pengukuran erosi dengan chinometer dan gutter pengukur tinggi muka air
53
manual (staff gauge), yang dapat mengukur aliran permukaan. Bak penampung sedimen dibangun pada titik pengeluaran (outlet) di subDAS, atau sub-sub DAS dengan dimensi yang bervariasi tergantung luas DAS mikro. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi ini adalah : 1. Bak penampung sedimen dibuat permanen dan kokoh, serta sebaiknya dibuat dari bahan semen. 2. Bak penampung sedimen harus dengan dimensi tertentu, yang ditetapkan berdasarkan kondisi hidrologi sungai di DAS mikro. 3. Sedimen, baik bed load maupun suspended load sebaiknya diukur pada setiap kejadian hujan yang mengakibatkan erosi, untuk memberikan gambaran karakteristik erosi di tingkat DAS. Bed load diukur setelah hujan terjadi, dan diambil tiga sampel tanah masingmasing seberat 100 gram untuk penentuan kadar air. 4. Untuk mendapatkan data aliran permukaan secara berkesinambungan dan dalam interval waktu yang relatif cepat, perlu dilakukan kalibrasi dengan menggunakan metode “Rating Curve”, yaitu dengan mencari hubungan antara aliran permukaan dengan tinggi permukaan air. j. Cara Praktis Penentuan Dosis Pupuk Penentuan dosis pupuk berdasarkan perkiraan jumlah unsur yang terangkut bersama panen dan mempertimbangkan kondisi kesuburan tanah, merupakan cara yang praktis dan sederhana. Penentuan kebutuhan pupuk berdasarkan cadangan hara di dalam tanah didasarkan pada hasil analisis tanah di laboratorium, sehingga memerlukan waktu dan biaya untuk analisis tanah. Sedangkan, penentuan kebutuhan pupuk berdasarkan gejala/tanda kekurangan hara yang ditunjukkan oleh venotip tanaman, memerlukan keahlian dan
54
pengalaman khusus, dan tidak dapat menggambarkan berapa jumlah pupuk yang harus diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan hara dan penyediaan hara seperti pencucian, penguapan dan fiksasi (pengikatan) oleh tanah, tekstur tanah, serta kesuburan tanah secara umum diperhitungkan dalam penentuan dosis pupuk ini. Keuntungan menerapkan penentuan dosis pupuk tersebut, ternyata : lebih praktis dan sederhana, tidak memerlukan analisis tanah, dan dosis pupuk dapat dihitung berdasarkan produksi yang diinginkan. Setiap jenis tanaman mengandung unsur hara yang berbeda. Kandungan hara N, P, dan K di dalam 1 ton hasil panen Tanaman
Hara terbawa panen N P K …………….…………. kg …………………………….
Padi varietas unggul
15,0
2,7
3,7
Padi lokal
15,0
2,5
2,5
Jagung
16,0
2,8
4,0
Kacang tanah
32,0
3,2
4,8
Singkong
1,7
0,5
2,5
Ubi jalar
3,7
0,5
5,2
Kentang
2,7
0,3
3,6
Wortel
3,0
0,5
3,8
Bawang
1,6
0,3
1,7
Tomat
3,3
0,4
4,2
Pisang
2,4
0,3
5,6
Jeruk
1,8
0,2
2,5
Rumput
30,0
3,7
26,7
Leguminose
37,5
4,4
33,2
55
Perhitungan Kebutuhan Pupuk N, P, dan K Kebutuhan pupuk N, P, dan K dalam bentuk Urea, SP-36, dan KCl yang diperlukan untuk jagung dengan hasil panen 3 t/ha adalah setara dengan hara N, P, dan K yang terangkut panen, sebesar 48 kg N, 8,4 kg P, dan 12 kg K. Oleh karena itu, unsur hara yang terbawa panen ini perlu dikembalikan ke dalam tanah melalui pemupukan, supaya kesuburan tanah tetap terjaga dan produksi tanaman tidak menurun. Pupuk Buatan Makro Anorganik Apabila menggunakan pupuk buatan seperti Urea, SP-36, dan KCl, maka jumlah pupuk yang diperlukan untuk menggantikan hara N, P, dan K yang terangkut bersama 3 t/ha panen jagung (48 kg N, 8,4 kg P, dan 12 kg K), berdasarkan kandungan unsur atau oksida pupuk, adalah sebesar : Urea
= 100/46 x 48 kg/ha =
104 kg/ha
SP-36 = 100/16 x 8,4 kg/ha =
53 kg/ha
KCl
23 kg/ha
= 100/52 x 12 kg/ha =
Kandungan unsur atau oksida pupuk di dalam 100 kg pupuk Pupuk Urea TSP SP-36 KCl
Unsur 46 kg N 20 kg P 16 kg P 52 kg K
Oksida 46 kg P2O5 36 kg P2O5 63 kg K2O
Dengan mempertimbangkan kehilangan hara melalui penguapan (untuk hara N), pencucian ke lapisan tanah yang lebih dalam tidak terjangkau oleh akar tanaman (N dan K), fiksasi oleh mineral liat tanah (P dan K), dan atau hanyut oleh aliran permukaan atau erosi (N, P, dan K), maka jumlah pemberian pupuk adalah 1,5 sampai 2 kali jumlah hara yang terangkut panen. Dengan demikian, jumlah pupuk Urea, SP36, dan KCl yang diperlukan untuk tanaman jagung dengan perkiraan hasil 3 t/ha adalah :
56
Urea
=
150-200 kg/ha
SP-36 =
75-100 kg/ha
KCl
50 kg/ha
=
Pupuk Kandang Pupuk kandang mempunyai kandungan unsur hara yang rendah dan bervariasi tergantung pada jenis dan kesehatan hewan, serta waktu dan cara penyimpanan pupuk. Sebagai akibat kandungan haranya yang lebih rendah dibandingkan pupuk buatan, maka apabila digunakan sebagai pupuk, diperlukan dalam jumlah banyak. Selain dapat menyediakan unsur hara, pupuk kandang berperan memperbaiki struktur tanah dan aktivitas organisme tanah. Kandungan unsur hara di dalam 1 ton pupuk kandang Pupuk kandang
Sapi Kambing Domba Babi Ayam
Kandungan hara N P K Ca ……….……. kg/ton pupuk kandang ………………. 5 2 5 3 8 7 15 8 10 7 15 17 9 3 6 12 15 5 6 23
Berdasarkan tersebut, apabila petani menggunakan pupuk kandang sapi sebanyak 5 t/ha, berarti petani menambahkan 25 kg N, 10 kg P, 25 kg K. Jadi apabila petani menambahkan 5 t/ha pupuk kandang sapi, maka petani tersebut dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan sebanyak: Urea
= 100/46 x 25 kg/ha = 54 kg/ha
SP-36 = 100/16 x 10 kg/ha = 63 kg/ha KCl
= 100/52 x 25 kg/ha = 48 kg/ha
57
Apabila seharusnya pupuk buatan yang diberikan sebanyak 150 kg/ha Urea, 75 kg/ha SP-36, dan 30 kg/ha KCl, maka dengan pemberian pupuk kandang sapi 5 t/ha, pemberian pupuk buatan dapat dikurangi menjadi: Urea
= (150-54) kg/ha = 96 kg/ha
SP-36 = (75-63) kg/ha
= 12 kg/ha
KCl
= 0 ( tidak perlu pemberian KCl).
= (30-48) kg/ha
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi ini adalah : (1) pada pertanaman intensif diperlukan pupuk lebih tinggi, terutama pupuk K, (2) pemberian pupuk kandang, atau jerami/sisa tanaman, dapat mengurangi dosis pupuk buatan, (3) tingkat kesuburan tanah, secara umum dipertimbangkan dalam menentukan dosis pupuk. k. Teknologi Pupuk Organik untuk Budi Daya Sayuran Organik Pertanian organik adalah kegiatan usaha tani yang proses produksinya, mulai dari prapanen sampai proses pengolahan hasil (pascapanen), tidak menggunakan bahan kimia sintetis seperti pupuk buatan dan obat-obatan, dan tidak menggunakan benih dari hasil rekayasa genetika, sehingga menghasilkan produk yang sehat dan bergizi.
Percobaan budi daya sayuran dengan pupuk organik tanpa bahan sintetis
58
Lahan yang sesuai untuk pertanian organik adalah lahan yang bebas dari pencemaran bahan agrokimia, baik dari pupuk maupun pestisida. Terdapat dua pilihan lahan: (1) lahan pertanian yang baru dibuka, atau (2) lahan pertanian intensif yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian organik. Lama masa konversi tergantung pada sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman. Skala usaha tani yang sesuai untuk teknologi pupuk organik dalam budi daya sayuran organik adalah 0,5 - 1 ha. Keuntungan yang diperoleh dalam menerapkan teknologi pupuk organik, adalah (1) meningkatkan dan menjaga produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, (2) meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian, (3) menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani, (4) menghasilkan sayuran yang sehat dan bergizi, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, dan (5) meningkatkan pendapatan petani. Pupuk organik, berupa kombinasi pupuk kandang dan hijauan titonia, dengan takaran masing-masing 20 kg dan 3 kg/bedeng (berukuran 1 x 8 m) dapat memenuhi kebutuhan hara sayuran organik. Penggunaan hijauan titonia sebagai sumber pupuk organik dapat direkomendasikan, karena kandungan hara P dan K yang relatif tinggi, mudah tumbuh, dan banyak terdapat di sekitar lokasi lahan budi daya organik Kadar hara total beberapa kompos pupuk organik Kompos pupuk organik Pukan kambing Pukan ayam Pukan sapi Sisa tanaman Hijauan titonia Hijauan kirinyu
C
N
P
K
Ca
Mg
C/N
36,2 26,6 47,0 11,5 18,2 30,0
3,8 1,4 3,5 1,4 2,0 2,7
0,46 1,20 1,01 0,34 0,46 0,62
3,26 2,89 5,92 3,11 5,11 3,73
2,51 2,45 2,96 1,80 2,40 3,84
0,73 0,56 1,34 0,55 0,60 0,74
10 18 13 8 9 11
59
l. Teknologi Mengatasi Keracunan Besi pada Lahan Sawah Bukaan Baru Teknologi ini secara khusus dirakit untuk mengatasi masalah keracunan besi pada tanah sawah mineral masam bukaan baru. Teknologinya mencakup pengendalian drainase dan pencucian, ameliorasi dan pemupukan, serta penggunaan varietas yang toleran. Tanah sawah bukaan baru, adalah tanah sawah yang masih belum membentuk profil tanah sawah tipikal (Aquorizem). Tanah sawah bukaan baru di Indonesia umumnya terdapat pada tanah mineral masam yang miskin unsur hara P dan K, kandungan bahan organiknya rendah, serta kadar Al dan atau Fe termasuk tinggi, atau berupa tanah sulfat masam di lahan rawa pasang surut. Teknologi
Keracunan besi pada sawah bukaan baru
ini dapat diterapkan terutama pada lahan sawah tanah marginal di Sumatera dan Kalimantan. Metode atau caracara mengatasi masalah keracunan besi adalah :
• Penggunaan varietas yang toleran terhadap unsur besi bervalensi 2
(besi-II = Fe2+) antara lain: Batang Ombilin, Klara, IR-42, Tondano, Danau Gaung, Lambur, dan Mendawak. • Perlakuan benih (seed treatment) bisa dilakukan pada sistem
penanaman benih langsung (TBL). Caranya dengan “melapisi benih” (coated seed), dengan oxidant Ca-peroxside sebanyak 50 – 100% dari berat benih padi. • Pengelolaan tanaman. • Menunda penanaman sampai puncak konsentrasi Fe2+ lewat,
sekurang-kurangnya 10-20 hari setelah penggenangan. • Pengelolaan air yang baik.
60
• Penggunaan
irigasi intermiten (terputus), dan menghindari penggenangan yang terus-menerus pada tanah yang drainasenya buruk, serta mengandung besi dan bahan organik yang tinggi.
• Pengelolaan pemupukan : {
Penggunaan pupuk yang seimbang antara N, P, dan K, atau NPK + kapur. Tambahkan pupuk K yang cukup. Hindari terjadinya stres hara.
{
Penggunaan kapur pada tanah masam.
{
Jangan menggunakan bahan organik dalam jumlah besar, yang mengandung besi, pada tanah yang berdrainase jelek.
{
Untuk pupuk N digunakan urea, daripada ammonium sulfat.
• Pengelolaan tanah : melaksanakan pengolahan tanah setelah panen,
untuk meningkatkan oksidasi besi, selama waktu bera. Hal ini akan mengurangi besi-II (Fe2+) yang terakumulasi dalam tanah. Keuntungan yang dapat diperoleh melalui penerapan teknologi ini adalah: • Teknologi drainase dan pencucian dapat menurunkan serapan hara
besi dalam tanaman sebesar 57,9-63,8%, menurunkan jumlah besi-II larut, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan ketersediaan hara, sehingga perkembangan akar menjadi lebih baik. • Produktivitas lahan sawah meningkat, dengan hasil padi mencapai 2-
3 kali lipat, misalnya dari 2 t/ha menjadi 4-6 t/ha. • Pelaksanaan ameliorasi dan pemupukan, yaitu penggunaan kapur
pertanian (kaptan) dan pemupukan N, P, dan K dapat meningkatkan produksi padi sebesar 92,7-144,0%. Penggunaan varietas toleran besi-II dapat meningkatkan produksi padi rata-rata sebesar 4 t/ha GKG.
61
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi ini adalah : usaha pencegahan keracunan besi harus dilakukan sebelum tanam, sebab akan sulit mengatasi keracunan besi pada saat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan sebagai berikut: (1) gunakan tambahan pupuk K, P, dan Mg, (2) tambahkan kapur pertanian (kaptan) pada lapisan atas/olah pada tanah masam, untuk meningkatkan pH tanah, (3) tambahkan pula 100200 kg MnO2/ha pada lapisan atas, untuk mengurangi reduksi besi-III (Fe3+), (4) lakukan drainase/pengeringan pada masa pembungaan untuk mengurangi besi-II, selama sekitar satu minggu (7-10 hari), tetapi tanah dalam kondisi macak-macak untuk memperbaiki penambahan oksigen selama pembungaan. m. Konservasi Tanah pada Lahan Usaha Tani Berbasis Kopi Tanaman kopi banyak diusahakan pada lahan dengan kemiringan agak curam, sehingga erosi dapat menjadi salah satu penyebab kemunduran kualitas tanah, pada lahan usaha tani tanaman tersebut. Guna mengurangi erosi sampai batas erosi yang dapat diabaikan (tolerable soil loss), maka beberapa tindakan pengendalian erosi perlu dilakukan, terutama pada saat tanaman masih relatif muda, dan/atau pada tingkat penutupan lahan relatif rendah. Beberapa alternatif teknik konservasi yang dapat dipilih adalah : Penanaman Tanaman Penutup Tanah Tanaman penutup tanah selain berfungsi sebagai pencegah erosi, juga berfungsi sebagai sumber pupuk organik. Dengan adanya tanaman penutup, juga dapat dihindari dilakukannya penyiangan yang intensif. Hal ini sangat bermanfaat, selain dari segi penghematan biaya, juga untuk menghindari berbagai dampak negatif dari dilakukannya penyiangan yang intensif. Arachis pintoii merupakan jenis tanaman penutup tanah yang mempunyai prospek untuk dikembangkan pada lahan usaha tani kopi,
62
karena tanaman penutup ini relatif tahan terhadap naungan dan injakan. Untuk menghindari persaingan antara tanaman penutup dengan tanaman kopi, perlu dilakukan penyiangan melingkar (ring weeding). Sistem Multistrata Multistrata
Arachis pintoii cocok sebagai tanaman penutup tanah di bawah tanaman kopi
merupakan
penanaman tanaman buah-buahan, kayu-kayuan, dan/atau tanaman legum multiguna (multi purpose leguminous) di antara tanaman kopi, sehingga tercipta komunitas tanaman dengan berbagai strata tajuk. Dengan kondisi yang demikian, hanya sebagian kecil saja air hujan yang langsung menerpa permukaan tanah. Selain menguntungkan dari segi konservasi tanah, penerapan sistem multistrata dapat memberikan keuntungan lain, yakni: (1) tersedianya naungan (pelindung) yang sangat diperlukan tanaman kopi, (2) adanya naungan dapat menekan pertumbuhan gulma, (3) pangkasan dari tanaman legum pohonan, dapat berfungsi sebagai sumber mulsa dan pupuk hijau, dan (4) tanaman lain yang ditanam dalam sistem multistrata, seperti kemiri, avokad, cempedak, dan lainlain, merupakan sumber pendapatan tambahan. Apabila penanaman pohon pelindung ditujukan utamanya untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi kopi, maka perlu dijaga agar pohon pelindung tersebut tidak terlalu rapat. Untuk tanaman gamal atau lamtoro, satu pohon pelindung untuk empat tanaman kopi, sudah cukup ideal. Apabila ditanam tanaman tahunan lain, seperti jengkol dan avokad yang tajuknya rapat, pohon pelindung bisa ditanam lebih jarang.
63
Strip Rumput Alami Merupakan teknik konservasi dengan cara membiarkan sebagian tanah pada barisan/strip sejajar kontur di antara tanaman kopi ditumbuhi rumput secara alami selebar 20-30 cm. Tidak diperlukan biaya untuk penanaman rumput, dan dengan berjalannya waktu (3-4 tahun setelah aplikasi), strip rumput alami dapat membentuk teras kridit. Perlu dijaga agar strip rumput tidak terlalu dekat dengan rumpun tanaman kopi, karena hal ini dapat menimbulkan kompetisi hara dan air antara tanaman strip dengan kopi. Rorak Rorak adalah lubang yang dibuat di bidang olah atau pada saluran peresapan sebagai tempat penampungan air aliran permukaan dan sedimen. Petani kopi di Sumberjaya, Lampung Barat, sering menamakan rorak dengan istilah ”lubang angin”. Dimensi rorak yang umum digunakan pada lahan usaha tani kopi, adalah panjang 50-100 cm, lebar 50 cm, dan dalam 30-50 cm. Selain sedimen, di dalam rorak dapat terakumulasi pula serasah, sehingga rorak dapat berfungsi pula sebagai mulsa vertikal. Petani kopi di Sumberjaya, Lampung Barat, berpendapat bahwa rorak juga dapat merangsang pertumbuhan akar baru, yang berdampak pada peningkatan produksi. Hal yang harus diperhatikan dalam aplikasi rorak, adalah : air hanya boleh tergenang beberapa saat. Apabila penggenangan berlanjut, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah, berupa penyakit yang dapat menyerang tanaman. n. Teknologi Olah Tanah Konservasi Tanah yang terlalu sering diolah sempurna akan mengalami penurunan kandungan bahan organik, kerusakan struktur, dan peningkatan kepekaan terhadap erosi tanah. Teknologi olah tanah
64
konservasi (OTK) bertujuan untuk mengurangi akibat tidak menguntungkan dari pengolahan tanah yang terlalu sering terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Dengan teknologi OTK, pengolahan tanah hanya dilakukan seperlunya dalam Olah tanah konservasi bentuk : (1) diolah seperlunya, memanfaatkan mulsa sisa tanaman pada bagian lahan yang akan ditanami, (2) diolah sempurna setiap 2 atau 3 tahun sekali, atau, (3) tidak diolah sama sekali dalam kurun waktu yang relatif lama. Namun demikian, pengurangan frekuensi atau intensitas pengolahan ini, harus disertai dengan pemberian mulsa sisa tanaman pada lahan yang akan ditanami. Sedapat mungkin, semua sisa tanaman dari pertanaman musim sebelumnya dijadikan mulsa penutup permukaan tanah. Penerapan OTK dalam jangka panjang akan berpengaruh positif terhadap sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, hasil tanaman, efisiensi usaha tani, dan indeks pertanaman. Keberhasilan OTK mengurangi erosi dan penguapan air, karena alasan : (1) keberadaan sisa tanaman dalam jumlah memadai di permukaan tanah; (2) kondisi permukaan tanah yang kasar (rough), sarang (porous), berbongkah (cloddy), dan bergulud (ridged); atau (3) kombinasi dari keduanya. Kelebihan lain dari teknologi OTK dalam penyiapan lahan, antara lain : (1) menghemat tenaga dan waktu, (2) meningkatkan kandungan bahan organik tanah, (3) meningkatkan ketersediaan air di dalam tanah, (4) memperbaiki kegemburan tanah dan meningkatkan pori mikro, (5) mengurangi erosi tanah, (6) memperbaiki kualitas air, (7) meningkatkan kandungan fauna tanah, (8) mengurangi penggunaan alat mesin pertanian, seperti traktor, (9) menghemat penggunaan bahan bakar, dan (10) memperbaiki kualitas udara.
65
o. Penggunaan Tanaman Penutup Tanah Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang ditanam menutupi permukaan lahan pertanian, dengan tajuk dan daun tanaman yang rapat untuk mengendalikan erosi dan memperbaiki sifat-sifat tanah. Tanaman yang digunakan adalah famili leguminosa yang mampu beradaptasi dan tumbuh cepat, dan produksi biomassanya tinggi Teknologi ini dapat diterapkan pada lahan kering, baik yang ditanami tanaman pangan, buah-buahan, maupun perkebunan, serta dapat ditanam di antara barisan tanaman, dalam sistem alley cropping, atau sebagai pergiliran tanaman. Penggunaan penutup tanah dapat menekan pertumbuhan alangalang, tanah menjadi lebih gembur, meningkatkan pori aerasi dan pori air tersedia, serta meningkatkan hasil tanaman. Sebagai contoh tanaman penutup tanah, Mucuna, biomassanya mampu menyumbang hara 23,2 kg N; 2,0 kg P; dan 19,7 kg K dalam setiap ton bahan kering. Tanaman penutup melindungi permukaan tanah dari erosi percikan (splash erosion) akibat jatuhnya tetesan air hujan, meningkatkan kandungan bahan organik tanah, dan memperbaiki sifatsifat fisik dan kimia tanah, serta meminimumkan perubahan-perubahan iklim mikro dan suhu tanah, sehingga dapat menyediakan lingkungan hidup yang lebih baik bagi tanaman. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi penggunaan tanaman penutup tanah, adalah tanaman harus memenuhi syarat-syarat berikut : (1)
Mucuna sebagai tanaman penutup tanah cukup baik menyumbang hara utama
66
mudah diperbanyak, terutama dengan biji, (2) tumbuh cepat dan menghasilkan banyak daun, (3) toleran terhadap pemangkas-
an dan injakan, (4) bukan tanaman inang hama dan penyakit, (5) sistem perakaran tidak berkompetisi berat dengan tanaman pokok, dan (6) mampu menekan gulma. Dari beberapa jenis tanaman penutup tanah, tanaman kacangkacangan atau jenis leguminosa adalah yang paling baik untuk penutup tanah, karena mampu secara langsung memfiksasi nitrogen dari udara, dan mampu melakukan regenerasi sendiri. p. Teknologi Konservasi Tanah Secara Partisipatif Salah satu penyebab rendahnya keberhasilan program konservasi, adalah kurang dilibatkannya petani dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program konservasi. Untuk itu, penyuluh atau fasilitator lain di lapangan harus mampu mengadakan pendekatan partisipatif dengan petani. Untuk mengatasi masalah ini, maka telah dicoba sistem konservasi dengan melibatkan petani sebagai pengguna secara penuh. Teknologi Konservasi Tanah Secara Partisipatif pada Dalam konservasi tanah partisipatif, prinsipnya menempuh proses petani dilibatkan sejak perencanaan seperti berikut : • Fasilitator lapangan atau penyuluh mendokumentasikan berbagai
bentuk praktek pertanian terutama yang berkaitan dengan konservasi, termasuk praktek lokal dan dari daerah sekitarnya, yang sudah terbukti produktif dan berkelanjutan. Praktek yang pernah diintroduksikan, tetapi tidak berkembang, juga perlu didokumentasi dan dipelajari penyebabnya. • Dengan menggunakan peta topografi (skala 1:5.000, atau skala yang
lebih besar), atau sekurang-kurangnya sketsa DAS Mikro, fasilitator
67
atau penyuluh memfasilitasi masyarakat secara berkelompok untuk mengidentifikasikan masalah utama dalam DAS dan pada lahan masing-masing petani. • Penentuan dalam peta tempat-tempat yang telah tererosi berat,
termasuk tempat erosi jurang, erosi tebing sungai, serta erosi tebing jalan, maupun tempat lain yang bermasalah untuk pertanian dan nonpertanian. • Kunjungan lapangan bersama petani ke tempat-tempat yang
disebutkan sebagai tempat bermasalah, dan dalam kunjungan tersebut didiskusikan lebih lanjut tingkat keseriusan masalah. • Masyarakat dan kelompok tani difasilitasi untuk menemukan solusi
masalah yang teridentifikasi, pengalaman lokal mereka.
berdasarkan
pengetahuan
dan
• Solusi yang berdasarkan pengetahuan lokal ini, dipadukan dengan
solusi yang berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian di lokasi setempat, maupun dari lokasi atau negara lain yang mempunyai masalah dan latar belakang serupa. • Selanjutnya, petani dan penyuluh mengkaji implikasi dari penerapan
teknik yang dirumuskan. Misalnya, apakah petani akan mampu berinvestasi secara finansial, dan apakah bahan yang diperlukan untuk investasi tersebut dapat dengan mudah didapatkan. Perlu diusahakan, agar dalam penerapan teknologi, sebanyak mungkin digunakan bahan lokal. • Kemudian, petani mengambil keputusan tentang teknologi yang
paling mungkin diadopsi. Dengan diterapkannya pendekatan partisipatif ini, diharapkan petani akan dapat memelihara dan mengembangkan penerapan teknologi ke lahan yang lebih luas. Selain itu, penggabungan praktek lokal dengan praktek introduksi, atau adaptasi praktek yang diintroduksi sehingga sesuai dengan kondisi lokal, akan memudahkan
68
petani untuk memahami dan menerapkan praktek tersebut. Di dalam memfasilitasi petani untuk memilih dan menerapkan teknologi konservasi perlu diperhatikan manfaat penerapan teknologi tersebut, tidak saja dari aspek lingkungan, tetapi juga dari aspek ekonomi. Hal ini penting, karena pada umumnya teknik konservasi tidak memberikan pengaruh jangka pendek yang nyata terhadap peningkatan produksi. q. Teknologi Agroforestry Agroforestry (wanatani) adalah sistem penggunaan lahan (usaha tani), yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Pada sistem ini, akan tercipta keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan, sehingga akan mengurangi risiko kegagalan dan perlindungan tanah dari erosi. Selain itu, dengan penerapan teknologi agroforestry seringkali kebutuhan pupuk dapat dikurangi, karena adanya proses daur ulang sisa tanaman. Beberapa teknik agroforestry yang telah diperkenalkan adalah : Pertanaman Lorong Sistem ini merupakan sistem pertanian, yaitu tanaman semusim ditanam pada lorong di antara barisan tanaman pagar, yang ditata menurut garis kontur. Jenis tanaman yang cocok untuk tanaman pagar adalah tanaman kacang-kacangan (leguminosa), seperti Flemingia congesta, gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan Calliandra callothirsus. Jarak antar baris tanaman pagar, Pertanaman lorong di lahan miring
69
berkisar antara 4 sampai 10 m. Semakin curam lereng, jarak antara barisan tanaman pagar dibuat semakin dekat. Pagar Hidup Pagar hidup merupakan barisan tanaman perdu atau pohon yang ditanam pada batas kebun. Apabila kebun berada pada lahan yang berlereng curam, maka pagar hidup akan membentuk jejaring yang bermanfaat bagi konservasi tanah. Pangkasannya dapat digunakan sebagai sumber bahan organik atau sebagai hijauan pakan ternak. Jenis tanaman yang dipakai untuk pagar sebaiknya yang mudah ditanam dan mudah didapatkan bibitnya. Tanaman pagar jenis leguminose perdu (misalnya lamtoro, gamal) ditanam dengan jarak antar batang ± 20 cm. Jarak yang rapat ini untuk menjaga agar tanaman pagar tidak tumbuh terlalu tinggi. Sistem Multistrata Sistem multistrata merupakan sistem pertanian dengan tajuk bertingkat, terdiri atas tanaman tajuk tinggi (seperti mangga, kemiri), sedang (seperti lamtoro, gamal, kopi), dan rendah (tanaman semusim, rumput), yang ditanam di dalam satu kebun. Antara satu tanaman dengan yang lainnya, diatur sedemikian rupa, sehingga tidak saling bersaing. Tanaman tertentu seperti kopi, cokelat memerlukan sedikit naungan, tetapi kalau terlalu banyak naungan, pertumbuhan dan produksinya akan terganggu. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan teknologi tersebut, antara lain : (1) sumbangan bahan organik dan hara, terutama nitrogen untuk tanaman lorong, (2) mengurangi laju aliran permukaan dan erosi, (3) melindungi kebun dari ternak (untuk sistem pagar hidup), (4) pangkasannya dapat dijadikan hijauan pakan ternak, (5) menjadi sumber bahan organik dan hara tanah, dan (6) menyediakan kayu bakar dan mengurangi kecepatan angin (wind break).
70
Bidang Penelitian Agroklimat dan Hidrologi a. Perangkat Lunak Manajemen Sumber Daya Air dan Agroklimat (WARM ver. 1) Sumber daya iklim dan air merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses produksi, yang sangat besar kontribusinya terhadap kuantitas, kualitas, dan kesinambungan hasil pertanian. Sebagian penyediaan data sumber daya iklim dan air masih konvensional dalam bentuk hard copy, terfragmentasi, yang kecepatan, ketepatan, serta keakuratannya terbatas, sehingga menyulitkan perencana dan pengambil kebijakan dalam mendayagunakan sumber daya iklim dan air. Untuk menjembatani senjang tersebut, Laboratorium Numerik dan Sistem Informasi Spasial Agroklimat dan Hidrologi (NSISAH), Balitklimat, telah meluncurkan (launching) salah satu perangkat lunak (software) yang diberi nama ”Manajemen Sumber Daya Air dan Agroklimat”, Water and Agroclimate Resources Management, disingkat WARM versi 1.0. Perangkat lunak ini membantu analisis untuk (1) penentuan tanggal tanam optimal, dan (2) optimasi pendayagunaan sumber daya air untuk menekan risiko penurunan hasil tanaman, melalui efisiensi pemberian air irigasi, yang berupa volume dan interval pemberian air irigasi.
Tampilan software WARM versi 1.0
71
Data yang diperlukan adalah : (1) data iklim harian, yang meliputi curah hujan harian, suhu udara maksimum, minimum dan rata-rata, dan evaporasi (Eto), (2) data tanaman, antara lain tanggal tanam, umur tanaman, umur pada setiap fase pertumbuhan tanaman (awal, perkembangan tanaman, fase tengahan, fase akhir), umur pada setiap
fase
fenologi
(instalasi,
tahap
vegetatif,
pmbungaan,
pembentukan hasil, dan pematangan), ketinggian maksimum tanaman, kedalaman akar maksimum, umur tanaman pada saat tercapai kedalaman akar maksimum, koefisien toleransi tanaman terhadap cekaman air (diasumsikan 20%), dan koefisien tanaman pada setiap fase, dan (3) data tanah, antara lain : kadar air pada kapasitas lapang dan pada titik layu permanen, total air tersedia (total available water), total evaporasi (total evaporative water), dan air siap terevaporasi (readily evaporative water). b. Teknologi Prakiraan Curah Hujan Perilaku iklim akhir-akhir ini menunjukkan keragaman yang semakin tinggi, baik secara spasial maupun temporal, dengan intensitas dan frekuensi yang makin besar, sehingga sangat mengganggu sistem produksi pertanian nasional. Dampak anomali iklim yang demikian luas serta sulitnya melakukan antisipasi dini, menuntut penanganan secara terencana. Variabilitas curah hujan yang tinggi di daerah tropis, merupakan kendala utama dalam menghasilkan prakiraan dengan akurasi tinggi. Untuk itu telah dikembangkan teknologi prakiraan curah hujan bulanan dengan ”Saringan Kalman” (Kalman Filter). Salah satu contoh keluaran model berupa validasi (a) dan prediksi (b) untuk stasiun Sukamandi, Jawa Barat, disajikan dalam gambar berikut ini.
72
(a)
(b)
Validasi model (a) dan prediksi curah hujan (b) 12 bulan di Stasiun Sukamandi, Jawa Barat
73
c. Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Meningkatkan Produktivitas dan Keberlanjutan Usaha Tani Lahan Kering Masalah erosi dan laju sedimentasi yang tinggi di daerah aliran sungai di lahan kering, merupakan kenyataan yang sering dihadapi di lapangan, yang dapat mengakibatkan terangkutnya lapisan tanah yang subur (topsoil), sehingga dalam jangka waktu lama, yang tertinggal adalah lapisan bawah tanah (subsoil) yang tidak subur. Hal ini akan membuat lahan kering, yang sebagian besar merupakan lahan marginal menjadi semakin miskin unsur hara. Kondisi ini menjadikan usaha tani di lahan kering makin sulit berkembang, karena terdapat kendala lain, yaitu keterbatasan sumber daya air menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal). Pengembangan teknologi panen hujan dan aliran permukaan melalui penggunaan bangunan konservasi air, seperti : dam parit (channel reservoir), embung, lebung, dan lain-lain, merupakan pilihan yang dapat ditempuh, karena selain dapat memberikan pasokan air, terutama pada saat defisit air, juga dapat menurunkan laju aliran permukaan dan erosi di daerah hulu, sehingga dapat mengurangi laju sedimentasi di daerah hilir. Apabila telah diketahui potensi sumber daya air DAS yang dikuantifikasi berdasarkan neraca air hidrologi, maka dapat ditetapkan skenario pola tanam, jumlah, serta volume air irigasi, dengan memperhitungkan potensi pasokan air yang terdapat di dalam bangunan konservasi air. Hasil di lapangan menunjukkan bahwa telah terdapat perubahan pola tanam dan jenis komoditas yang diusahakan, serta peningkatan produksi dan produktivitas lahan.
74
Evaporasi Curah hujan Evaporasi Curah hujan Aliran permukaan Evaporasi Curah hujan Irigasi Infiltrasi Daerah/area tangkapan hujan Wilayah/daerah pengairan irigasi
Aliran permukaan
Infiltrasi
Cadangan (reservoir)
Infiltrasi Wilayah/daerah pengairan irigasi
Konsep dasar teknologi panen hujan dan aliran permukaan
d. Pengelolaan Waduk Juanda (Jatiluhur) Adanya peningkatan kebutuhan air untuk berbagai sektor pada saat ini, menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan air yang semakin tajam. Porsi paling besar pengguna air adalah bidang pertanian yang digunakan untuk irigasi, yaitu 79% dari total kebutuhan air. Sektor lain seperti untuk konsumsi, mencapai 11%, industri 5%, dan perkotaan 5%. Namun pada tahun 2020, diperkirakan akan terjadi peningkatan kebutuhan air untuk keperluan domestik sebesar 17%, sementara untuk sektor perkotaan terjadi peningkatan sebesar 10%. Waduk Juanda, atau waduk Jatiluhur, merupakan waduk yang menampung air untuk memenuhi kebutuhan air berbagai sektor, terutama bidang pertanian, yang dapat dinikmati oleh sebagian besar penduduk. Untuk itu, waduk Juanda harus dikelola dengan tepat, agar fungsinya yang multiguna dapat optimal. Strategi pengelolaan waduk harus dilakukan secara terpadu (integrated), dan dilakukan secara bertahap : Tahap 1
Diinventarisasi DAS atau sub-DAS mana saja, yang memasok (inlet) waduk secara kontinyu. Selanjutnya, dilakukan karakterisasi potensi sumber daya air DAS yang merupakan inlet waduk, antara lain : debit diukur dengan automatic water level recorder (AWLR), iklim diukur dengan automatic rainfall recorder (ARR), Tujuannya yaitu agar diketahui produksi air yang memasok waduk.
75
Tahap 2 Penentuan laju sedimentasi yang terjadi di sungai pemasok (inlet) yang akan terbawa ke dalam waduk. Hal ini dilakukan dengan pengukuran langsung di sungai, dan dengan prediksi menggunakan model. Menentukan tingkat kerusakan DAS yang menjadi
Sensor ultra sonic automatic water level recorder yang dipasang di sungai
inlet waduk, berdasarkan laju sedimentasi, dan menentukan kerusakan lahan lengkap dengan posisi geografiknya, termasuk menggunakan model terdistribusi. Tahap 3 Penentuan solusi pengeloSensor automatic rainfall recorder laan DAS yang tepat, yang berpasangan dengan AWLR merupakan inlet waduk, berdasarkan informasi-informasi yang telah diperoleh. Setelah diketahui posisi geografik kerusakan lahan, dapat dilakukan penghijauan atau penerapan tindakan konservasi pada posisi tersebut dengan tepat. Berdasarkan hasil prediksi dengan model Agricultural Non Point Source Pollution (AGNPS), maka terlihat hasilnya sangat memuaskan, laju sedimentasi berkurang dengan drastis, dan produksi air meningkat. Harapannya, pasokan air untuk waduk meningkat dan kontinyu, dalam arti : pasokan air tersedia cukup menurut ruang dan waktu, serta laju sedimentasi yang akan mengurangi umur guna waduk menurun.
76
Tahap 4 Penentuan alat bantu untuk menentukan keputusan (decision support system) bagi pendistribusian air berbagai sektor (bidang pertanian, industri, rumah tangga perkotaan, dan lain-lain). Alat bantu ini diperlukan agar terjadi keseimbangan antara pasokan air dan pendistribusiannya. e. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Optimasi Irigasi Suplementer untuk Menekan Kehilangan Hasil Tanaman Tebu Periode penanaman tebu yang dilakukan sepanjang tahun untuk menjaga kontinuitas produksi akan menghadapi permasalahan cekaman air yang puncaknya terjadi pada musim kemarau, sehingga berdampak terhadap peningkatan kehilangan hasil dan penurunan rendemen tebu. Dampak cekaman air terhadap kehilangan hasil tebu terbesar, terjadi pada fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif.
Untuk
mengantisipasi
dampak
tersebut,
diperlukan
pembuatan irigasi suplementer pada saat curah hujan tidak mencukupi, agar dapat menggantikan kehilangan air tanaman yang disebabkan oleh evapotranspirasi. Oleh karena pengaruh cekaman air terhadap penurunan hasil sangat beragam menurut ruang dan waktu akibat variasi ketersediaan air, iklim, dan tanah, maka diperlukan kuantifikasi untuk memprediksi hasil yang dapat dicapai. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi telah melakukan kerjasama dengan pihak mitra, di antaranya dengan PT. Gunung Madu Plantations di Lampung, dan PG. Rajawali II di Jatitujuh, Jawa Barat, untuk melakukan optimasi irigasi suplementer dan mengelola sumber daya air, dalam upaya untuk menekan risiko potensi kehilangan hasil pada fase kritis tanaman, sekaligus meningkatkan produksi dan rendemen tebu. Untuk menentukan volume dan interval pemberian irigasi suplementer digunakan perangkat lunak program ”Crop Water
77
Balance” (CWB) yang didahului dengan penentuan indeks kecukupan air dan potensi kehilangan hasil tanaman berdasarkan perhitungan neraca air di zona perakaran dengan menggunakan nisbah ETR/ETM. Selanjutnya, untuk optimasi kebutuhan air digunakan perangkat lunak ”Matlab ver 6.5 release 13”. Hasil optimasi pemberian air irigasi suplementer untuk berbagai masa tanam pada kondisi ketersediaan air yang terbatas pada DAS tersebut menunjukkan bahwa persentase air irigasi suplementer yang dapat diberikan dibandingkan dengan kebutuhannya bervariasi dari 26% sampai dengan 95%. Dengan jumlah irigasi yang diberikan tersebut, kehilangan hasil dapat ditekan hingga menjadi sekitar 1125%. Jumlah irigasi yang optimal berkisar antara 10-25 mm, dengan interval 10 hari. Sedangkan di PG Jatitujuh, yang mengalami defisit air relatif panjang selama 6 bulan dari Mei sampai Oktober, apabila tebu ditanam pada pertengahan September tanpa dilakukan irigasi akan berpotensi mengalami kehilangan hasil sebesar 51%. Pemberian irigasi suplementer dengan interval 4 hari sekali sebanyak 25 mm, selama pertumbuhan vegetatif, akan memperkecil potensi kehilangan hasil menjadi 12%.
Rasio ETR/ETM pada irigasi suplementer tertinggi dan terendah di PT. Gunung Madu Plantations, Lampung
78
Contoh hasil analisis neraca air tanaman tebu, tanpa dan dengan irigasi suplementer di PG Jatitujuh, Jawa Barat
Aplikasi irigasi suplementer di PG Jatitujuh
79
Bidang Penelitian Lahan Rawa a. Teknologi Tata Air Aliran Satu Arah dan Sistem Tabat Sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian di lahan pasang surut, yang ditujukan selain untuk memenuhi kebutuhan air selama penyiapan lahan dan pertumbuhan tanaman, dan juga untuk memperbaiki sifat fisiko-kimia tanah. Pengelolaan tata air ini dilaksanakan dengan cara : (1) memanfaatkan air pasang untuk pengairan sesuai dengan kebutuhan tanaman, (2) mencegah masuknya air asin ke petakan lahan, (3) mencuci zat-zat beracun bagi tanaman, (4) mengurangi semaksimal mungkin terjadinya oksidasi pirit pada tanah sulfat masam, dan (5) mencegah terjadinya proses kering takbalik pada tanah gambut. Sistem tata air yang teruji baik di lahan pasang surut, adalah Sistem Aliran Satu Arah (one way flow system) dan Sistem Tabat (dam overflow). Penerapan sistem tata air ini perlu disesuaikan dengan tipologi lahan dan tipe luapan air serta komoditas yang diusahakan. Sistem Aliran Satu Arah digunakan pada lahan bertipe luapan A dan B, sedangkan Sistem Tabat (dam overflow) diterapkan pada lahan bertipe luapan B atau C, dan D. Penerapan sistem tata air tersebut selain dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan, juga dapat meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan pola tanam serta pendapatan masyarakat.
80
Saluran Saluran primer Primer
Flapgate (inlet)
Flapgate (outlet) A
Salurtersier anTersier Saluran
A
Stoplog (inlet)
Stoplog (outlet)
A
A
Saluran Saluran Primer/jalur primer/jalur
A Stoplog
Stoplog Salurtersier anT ersier Saluran
1
Saluran Cacing (Kemalir)
Stoplog
Saluran Tersier
Stoplog
1
A
Stoplog 1
A
A
Ilustrasi tata air Sistem Aliran Satu Arah (atas) dan Sistem Tabat (bawah); flapgate (pintu klep), stoplog (pintu sekat)
b. Percepatan Peningkatan Produktivitas Lahan Sulfat Masam Teknologi peningkatan percepatan produktivitas lahan sulfat masam merupakan “teknologi pengelolaan sumber daya terpadu”, yang memadukan teknologi perbaikan kualitas lahan (meningkatkan pH tanah dan air, mengurangi unsur beracun, dan fluktuasi rejim air), serta penggunaan varietas tanaman berdaya toleransi sedang. Perbaikan kualitas lahan dilakukan melalui penataan lahan sistem surjan dan sawah, tata air Sistem Aliran Satu Arah memakai pintu klep (flapgate) dan Sistem Tabat, dan pemberian kompos jerami padi
81
dengan takaran 2,7 t/ha. Sedangkan varietas tanaman padi digunakan varietas yang berdaya toleransi sedang, yaitu ”Margasari” atau ”Martapura”. Pengelolaan airnya dilakukan dengan memanfaatkan air pasang yang kualitasnya baik Lahan sulfat masam memerlukan penataan lahan dan varietas tanaman untuk menggantikan air di yang cocok dalam pemanfaatannya petakan lahan yang kualitasnya jelek, serta mempertahankan keberadaan air tersebut sampai datang air pasang berikutnya. Keunggulan teknologi ini adalah, selain inputnya rendah, kualitas lahan meningkat lebih cepat, serta hasil panen padi pada tahun pertama pembukaan lahan dapat mencapai 3,43 t/ha. Sementara dari pengalaman penanaman padi pada lahan sulfat masam yang baru dibuka, hasilnya umumnya < 1,0 t/ha. Penerapan teknologi tersebut pada lahan sulfat masam bertipe luapan B mampu meningkatkan pH tanah, serta menurunkan konsentrasi Fe2+ dan SO42- terlarut. Pengembangan teknologi ini diarahkan pada lahan pasang surut sulfat masam, terutama yang bertipe luapan B atau B/C, baik yang belum direklamasi maupun yang sudah direklamasi menjadi lahan tidur. c. Teknologi Ameliorasi dan Pemupukan Pemberian amelioran dan pupuk merupakan faktor penting untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas lahan pasang surut. Untuk meningkatkan efisiensi ameliorasi dan pemupukan, maka pemberian disesuaikan dengan kondisi lahan terutama pH tanah, kandungan zat beracun, ketersediaan hara di dalam tanah, dan varietas yang ditanam.
82
Dari serangkaian kegiatan penelitian ameliorasi dan pemupukan di lahan pasang surut, dapat disusun takaran amelioran dan pupuk pada setiap tipologi lahan. Takaran bahan ameliorasi secara tepat selain tergantung kepada kondisi lahan terutama pH tanah dan kandungan zat beracun, juga kepada tanaman yang akan ditanam. Bahan ameliorasi tanah dapat berupa kapur atau dolomit, abu sekam atau serbuk kayu gergajian, sedangkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengolahan tanah agar tercampur baik dengan tanah. Selain tergantung kepada status hara tanah, takaran pupuk terkait pula dengan respons tanaman. Untuk padi varietas responsif pupuk, didasarkan pada tipe lahannya, sedangkan untuk padi varietas lokal yang tidak responsif pupuk, perlu disesuaikan dengan status hara tanah, sehingga perlu dilakukan uji tanah. Sepertiga dosis pupuk N diberikan bersama dengan P dan K menjelang tanam, sedangkan sisanya diberikan pada 3 dan 6 minggu setelah tanam.
Kapur sebagai bahan amelioran siap dicampur dengan tanah dalam kegiatan pengolahan tanah
83
Takaran amelioran dan pupuk pada tanaman pangan di lahan pasang surut Tanaman
Padi
Kedelai
Jagung
Kacang tanah
Kacang hijau
Tipologi
Lahan potensial Sulfat masam Gambut **) Lahan potensial Sulfat masam Gambut Lahan potensial Sulfat masam Gambut **) Lahan potensial
Takaran amelioran dan pupuk Kapur/abu N P2 O 5 K2O .............................. kg/ha ............................... 0 45-90 22,5-45 50 1.000-3.000 67,5-135 45-70 45-75 1.000-2.000 45 60 50 500-1.000 22,5 *) 22,5 30 1.000-2.000 22,5 *) 45 50 1.000-2.000 22,5 *) 45 50 0 67,5 45-90 50 500 90 45-90 50 500 67,5 45 50 500-1.000 22,5 30 50
Sulfat masam 1.000-2.000 Gambut 1.000-2.000 Lahan potensial 0
22,5 22,5 22,5
60 45 45
50 50 50
* ) Perlu diberi rhizobium sebanyak 15 g/kg benih **) Ditambah 5 kg/ha CuSO4 dan ZnSO4 Takaran pupuk padi Margasari menurut status hara tanah di lahan sulfat masam Status hara tanah
P-rendah dan K-sedang P-sedang dan K-sedang P-tinggi dan K-sedang P-sedang dan K-tinggi P-tinggi dan K-tinggi
Takaran pupuk P2 O 5 K2O ……………….. kg/ha ……………….. 67,5 30 18,75-37,5 30-60 10,25 30 37,5 11,5 0 11,25
d. Teknologi Irigasi Tetes untuk Sayuran di Lahan Sulfat Masam Kualitas air dalam saluran di lahan sulfat masam umumnya jelek, terutama karena pH-nya rendah dan kandungan besinya (Fe2+) tinggi, serta umumnya tidak sampai ke petakan lahan. Guna meningkatkan kualitas dan efisiensi pemberian air untuk tanaman,
84
terutama hortikultura di lahan sulfat masam, dikembangkan teknologi irigasi tetes. Perangkat irigasi tetes terdiri atas enam bagian utama, yaitu : (1) drum penampung air, (2) rangka penyangga drum, (3) keranjang batu kapur, (4) filter Percobaan irigasi tetes di lahan sulfat air, (5) stop kran, dan (6) pipa masam PVC untuk penyaluran air. Kapasitas tampung air untuk setiap kali pemberian air adalah 180 liter yang diperkirakan dapat mengairi tanaman sayuran seluas 100 m2, dan satu jalur guludan surjan untuk tanaman jeruk. Cara kerja sistem irigasi tetes adalah sebagai berikut : (1) keranjang kapur diisi batu kapur, berdiameter sekitar 2 cm, dan diletakkan di dalam drum, (2) air dari saluran tersier ditimba atau dipompa dan dimasukkan ke dalam drum sampai penuh dan didiamkan sekitar 10 jam, agar pH nya naik menjadi 5,5, (3) air dalam drum dialirkan ke tanaman melalui pipa PVC dengan membuka stop kran; lama pemberian airnya disesuaikan dengan jenis dan fase pertumbuhan tanamannya, (4) stop kran ditutup kembali setelah pemberian air selesai. Batu kapur dan filter dicuci secara periodik, biasanya setiap minggu sedangkan drum dibersihkan atau dikuras airnya juga setiap minggu, dengan membuka kran yang terletak di bagian bawah drum. e. Teknologi Pupuk Organik Reaksi Cepat “Organoplus” Karena pupuk anorganik semakin terbatas dan harganya pun semakin mahal, khususnya di daerah lahan rawa, perlu dikembangkan pupuk organik dengan memanfaatkan limbah pertanian dan gulma yang banyak tersedia di tempat. Untyuk itu telah dikembangkan pupuk organik bereaksi cepat, yang diberi nama “Organoplus”, karena
85
apabila hanya mengandalkan bahan organik saja, akan diperlukan jumlah bahan yang relatif banyak, sehingga sulit dikembangkan. Formula Organoplus dibuat dari tanaman yang dinilai mempunyai kandungan unsur esensial (N, P, K) cukup tinggi yang dikombinasikan dengan arang sekam, fosfat alam reaksi tinggi, pengaya nitrogen, dan bahan lainnya. Formula Organoplus tersebut adalah : (1) 40 C, 12 N, 8 P, 6 K; (2) 60 C, 9 N, 6 P, 4,5 K; (3) 80 C, 5 N, 3,5 P, 2,5 K; dan (4) 20 C, 7 N, 11 P, 11 K). Keempat formula Organoplus setara dengan pupuk tersebut menunjukkan efektivitas NPK anorganik yang sama baiknya, dengan pemberian pupuk NPK anorganik pada takaran yang sama. Dari hasil uji lapangan menunjukkan bahwa semua formula memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan tanaman padi, jagung, dan sayuran. Tetapi yang mempunyai efisiensi tertinggi adalah formula 20 C, 7 N, 11 P, 11 K. Keunggulan dari formula ini adalah : (1) aplikasinya mudah, karena dalam bentuk pelet yang mudah terurai setelah berada di dalam tanah, (2) efisien, karena takaran yang diperlukan cukup rendah, yaitu 200-250 kg/ha untuk tanaman padi dan jagung, serta 400-500 kg/ha untuk tanaman sayuran, (3) dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, dan (4) dapat meningkatkan hasil tanaman. Kelemahan dari formula ini adalah tekstur pelet agak rapuh sehingga masih diperlukan penyempurnaan, terutama dalam pencetakannya seperti pelapisan dengan Ca, sehingga selain tekstur cetakannya lebih baik juga dapat memberikan tambahan unsur Ca yang sangat berperanan dalam pertumbuhan tanaman di lahan rawa.
86
f. Teknologi Atraktan Hama dan Biofilter “Rumput Purun Tikus” Rumput purun tikus (Eleocharis dulcis, Burm. F. Hensel) merupakan tumbuhan yang termasuk dalam famili teki (Cyperaceae), yang banyak terdapat di lahan rawa, terutama pada lahan sulfat masam. Tergantung pada kondisi lahan, tinggi rumput purun tikus umumnya tidak lebih dari 150 cm, dan dalam kondisi berair mampu bertahan hidup lebih dari satu tahun. Cirinya adalah permukaan batang licin, rhizoma pendek dengan stolon panjang, yang kadang-kadang berbentuk subglubosa dengan warna kecokelatan atau
Rumput purun tikus sebagai atraktan hama dan biofiter
kehitaman, dengan ukuran umbi 1-4 cm. Rumput purun tikus memiliki berbagai manfaat, di antaranya sebagai “atraktan” hama penggerek batang padi putih (PBPP = Schirpopphaga innotata), dan sebagai bahan organik mampu memfilter air masam yang mengandung unsur Fe2+ dan SO42-. Penggerek batang padi putih (PBPP) merupakan salah satu hama utama tanaman padi di lahan rawa, yang intensitas kerusakan tanamannya mencapai 25-45%, tetapi apabila di sekitar pertanaman padi terdapat banyak rumput purun tikus, maka intensitas kerusakannya kurang dari 1%. Hal ini disebabkan oleh ketertarikan serangga untuk memilih rumput purun tikus (bagian batang dekat bunga) sebagai tempat meletakkan telurnya. Ekstrak batang bagian tengah dan dekat bunga rumput purun tikus mengandung zat yang
87
mampu memikat serangga betina penggerek batang padi putih. Ekstrak diperoleh dengan cara merebus dan menyuling bagian batang tersebut yang telah dilunakkan sebelumnya. Ekstrak tersebut dapat disemprotkan kepada tanaman bukan inang bagi hama penggerek batang padi putih, kemudian serangga hama yang berkumpul dan bertelur di tempat tersebut, disemprot dengan pembasmi hama yang efisien dan ramah lingkungan. Rumput purun tikus dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan pasang surut, terutama lahan bergambut, karena rumput tersebut menyerap banyak unsur Fe dan mengandung unsur hara makro, yaitu P 0,43%; K 2,02%; Ca 0,26%; Mg 0,42%; Fe 0,42%; dan Al 0,57%. Pemberian kompos rumput purun tikus yang dicampur kapur, dapat meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, karena rumput tersebut dapat menyerap unsur Fe2+ dan SO42-, maka dapat juga dipakai sebagai filter air (biofilter atau bioremediation) terutama di lahan sulfat masam sehingga kualitasnya meningkat, baik untuk air irigasi ke petakan lahan maupun air buangan dari petakan lahan. g. Karakterisasi dan Konservasi Plasma Nutfah Tanaman Upaya mengenal keragaman dan sekaligus pelestarian sumber daya hayati, melalui karakterisasi dan konservasi plasma nutfah tanaman lahan rawa, sangat diperlukan untuk menjaring sumber daya genetik tanaman. Beberapa jenis tanaman buah-buahan dan tanaman pangan pada lahan rawa yang telah diidentifikasi adalah : (1) mangga: kasturi, hambuku, kuini, ampalam, binjai, hambawang, kebembem, dan putaran; (2) durian: kuning, pampakin, lai, lahong, mahrawin, dan si hijau; (3) manggis: biasa dan mundar; (4) lengkeng liar: ihau atau babuku hijau, dan kuning; (5) rambutan: garuda, antalagi, sibatuk, timbul, zaenal, dan jenis liarnya, seperti maritam dan siwau; (6) nangka: cempedak, tarap, dan kopuan; (7) ramania: hintalu dan pipit; (8) langsat dan duku; dan (9) aneka buah lainnya seperti mentega, kapul, balangkasua, gitaan, pitanak, dan srikaya ganal.
88
Beberapa keunggulan tanaman tersebut antara lain : mangga kasturi dan hambuku, tahan terendam air lebih dari 3 bulan dan adaptif di lahan lebak, sehingga cocok untuk dijadikan batang bawah pada budi daya mangga di lahan lebak. Mangga kueni anjir dan kebembem, tahan terhadap genangan harian dan kemasaman tanah yang cukup ekstrim. Durian anjir, tahan terendam harian dan kemasaman tanah ekstrim, sehingga cocok digunakan Buah balangkasua yang mulai langka, masih bisa ditemui di lahan rawa sebagai batang bawah untuk pengembangan durian kawasan pasang surut. Lai dan pampakin merupakan jenis durian yang warna buahnya adalah kuning dan kuning kemerahan, tanpa bau menyengat, serta sangat jarang dijumpai hamahama penggerek di daging buahnya. Tanaman buah mentega dan ramania mempunyai daun yang rimbun dan jarang rontok, sehingga cocok untuk dikembangkan sebagai tanaman penghijauan di kawasan perkotaan. Buah mentega yang dikenal sebagai apel beludru, juga sangat cocok dijadikan jus dengan rasa lezat, harum, lembut, dan khas. Srikaya ganal, tipe buahnya majemuk dengan ukuran cukup besar (diameter 10-15 cm, panjang 20 cm), warna kulit buah agak aneh yaitu kelabu, daging buahnya putih dengan citarasa yang manis. Maritam adalah sejenis buah leci hutan, yang tahan terhadap kondisi lembab dan berawa-rawa. Rambutan siwau dan maritam, gitaan tampirik, durian berkulit merah lahong dan berdaging merah, kopuan, pitanak, balangkasua, putaran, dan babuku termasuk buah langka yang perlu diselamatkan dan digali potensinya.
89
Padi varietas lokal yang telah dikoleksi berjumlah lebih dari 420 asesi, berasal dari lahan rawa pasang surut dan lebak di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah serta Lampung, Sumatera Selatan, dan Jambi. Karakteristik tanaman padi lokal bervariasi antar varietasnya, tetapi sebagian besar varietas lokal tersebut memiliki daya toleransi terhadap kemasaman dan keracunan besi. Tinggi tanamannya 105-180 cm dengan jumlah anakan 10-24 batang. Malainya umumnya muncul penuh dengan tingkat kerontokan gabah sedang (6-25%). Sudut daun datar, sudut daun bendera antara sedang dan datar, dan sudut batang umumnya sedang. Tanaman yang tinggi dan kuat cocok untuk lahan rawa yang genangan airnya dalam, sedangkan malai yang muncul penuh memudahkan bagi petani yang umumnya memanen dengan ani-ani. Sudut daun yang datar dapat menekan pertumbuhan gulma, dan dengan demikian akan mengurangi biaya penyiangan. Umur tanaman padi lokal di lahan lebak pada umumnya genjah 1-3 bulan lebih lama daripada padi lokal di lahan pasang surut, sedangkan hasil gabahnya berkisar antara 1-4 t/ha. Varietas Bonai, Serai Rampak, dan Senapi cukup toleran kekeringan di lahan lebak, sedangkan varietas Datu dan Pudak yang ditemukan di ekosistem lahan pasang surut salin Kalimantan Selatan, berbatang kuat dengan tinggi tanaman lebih dari 2 meter, bermalai panjang dan lebat gabahnya besar. Padi varietas Pudak serupa dengan padi aromatik, bau gabah atau berasnya harum dengan malai lebat, sedangkan varietas Bayar atau Pandak tahan terhadap keracunan besi dan aluminium. Varietas yang tahan rebah adalah Bayar Palas, Pandak Putih, Siam Unus, dan Lemo Putih, karena batangnya yang cukup besar dan kuat, sehingga cukup mampu menopang pertumbuhan tanaman. Varietas yang tahan penyakit tungro adalah Siam Puntal, Siam Adus, Siam Suruk, dan Siam Lantik. Kandungan Fe dan Zn pada 71 varietas lokal padi pasang surut yang dievaluasi sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 11–70 ppm untuk Fe, dan 20–108 ppm untuk Zn. Kandungan Fe terendah terdapat pada varietas Kutut dan yang
90
tertinggi ditemukan pada varietas Siam Wol. Sedangkan kandungan Zn terendah diberikan oleh varietas Siam Unus Putih, dan yang tertinggi diberikan oleh varietas Siam Panangah. Genetik tanaman padi yang mempunyai kandungan Fe dan Zn tinggi sangat diperlukan untuk pengembangan varietas padi yang memiliki kandungan cukup tinggi kedua zat tersebut.
Bidang Penelitian Pencemaran Lingkungan a. Teknologi Remediasi Lahan Tercemar Pencemaran logam berat seperti Cd dan Pb di dalam tanah sering ditemukan terutama pada tanah-tanah di daerah sekitar buangan limbah industri. Penggunaan pupuk kandang ternyata dapat mengurangi kandungan logam berat, khususnya Air sungai membawa buangan limbah industri ke lahan pertanian Cd, di dalam tanah. Pupuk kandang dapat mengurangi mobilitas logam berat dalam tanah melalui mekanisme pengchelatan. Hal ini tentunya sangat penting, karena Cd dikenal mobilitasnya lebih tinggi dibanding dengan logam berat lainnya, sehingga lebih mudah diserap oleh tanaman. b. Teknologi Pengendalian Residu Pestisida Peningkatan penggunaan pestisida yang bertujuan untuk mempertinggi produksi pertanian telah menimbulkan masalah tersendiri akibat penggunaan yang tidak rasional, terutama di era di mana aspek kesehatan dan lingkungan menjadi semakin penting. Teknologi untuk menurunkan kadar residu pestisida telah ditemukan antara lain dengan pemanfaatan mikroorganisme yang berpotensi
91
mendegradasi pestisida, seperti Clostridium sp., Pseudomonas sp., Trichoderma, dan Flavobacterium sp. Penggunaan bahan amelioran seperti arang aktif, zeolit, bentonit, serta pencucian dan pemanasan juga dapat mengurangi residu pestisida.
Penggunaan pestisida yang tidak rasional bisa mencemari lahan pertanian
c. Teknologi Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Salah satu penyebab terjadinya pemanasan global adalah emisi gas rumah kaca (GRK). Sektor pertanian disinyalemen merupakan salah satu penyebab emisi GRK, setelah sektor kehutanan dan energi. Sebagai gambaran total emisi GRK pada tahun 1994 mencapai 729 Tg yang berasal dari sektor energi, industri, pertanian, kehutanan, dan limbah. Sumbangan emisi GRK terbesar di sektor pertanian adalah padi sawah. Teknologi untuk menurunkan emisi GRK yang telah tersedia di Lolingtan Jakenan antara lain dengan mensubtitusi sebagian urea dengan ammonium sulfat, melaksanakan tanpa olah tanah, dan mengganti sistem semai dengan sebar benih langsung. Dengan menerapkan teknologi ini maka tingkat emisi GRK dapat ditekan sampai 62%.
92
KERJASAMA PENELITIAN
D
isadari sepenuhnya bahwa apa yang dicapai Puslitbangtanak selama ini tidak terlepas dari kerjasama dengan mitra, baik dalam maupun luar negeri yang tidak bisa diabaikan. Kerjasama ini tidak terbatas pada aspek teknik penelitian saja, tetapi juga menyangkut aspek pembinaan tenaga penelitian.
Mitra kerjasama dalam negeri No.
Mitra
Kegiatan
Jangka waktu
Peranan kaptan pospatan dan kaptan super super phosphate (KSP).
1996 – 1998
1.
PT. Istana Kanematsu Indonesia
2.
Bagpro Penyusunan kesesuaian lahan untuk Penyebaran dan peternakan. Pengembangan Peternakan
1996 –1998
3.
ARMP-II
Pemantapan analisis zone agroekologi untuk perencanaan pengembangan pertanian.
1997 – 1998
4.
ARMP-II
Penelitian penggunaan lahan dengan citra satelit.
1997 – 1998
5.
ARMP-II
Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan dan teknologi untuk pengembangan sektor pertanian dalam Pelita VII.
1997 – 1998
6.
PT. Sasa Inti, dan lain-lain
Pengujian efektivitas pupuk cair sipramin.
1998 – 2001
7.
RUT V BPPT
Status hara mikro Zn tanah serta hubungannya dengan peningkatan produktivitas lahan dan kualitas gizi masyarakat di P. Lombok.
1998
8.
RUT IV BPPT
Penelitian ameliorasi pencemaran agrokimia pada lahan sawah.
1998
9.
ARMP-II
Pemantapan metodologi dan penerapan karakterisasi ZAE di BPTP.
1998 – 1999
Pemantapan program pelayanan uji tanah dan analisis tanaman di BPTP.
1998 – 1999
10. ARMP-II
93
No.
Mitra
Kegiatan
Jangka waktu
11. ARMP-II
Pemberdayaan program dan penyempurnaan data SIM di Puslittanak.
1998 – 1999
12. ARMP-II
Percepatan dekomposisi jerami dan penggunaannya untuk meningkatkan efisiensi pupuk K di lahan sawah menunjang IP-Padi 300.
1998 – 1999
13. ARMP-II
Analisis peluang penyimpangan iklim dan ketersediaan air untuk menunjang pengembangan dan perencanaan indeks penanaman padi 300.
1998 – 1999
14. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
Pengkajian baku mutu tanah lahan pertanian.
1999 – 2000
15. ARMP-II
Aplikasi dan penyebarluasan analisis zone agroekologi.
1999 – 2000
16. ARMP-II
Pembinaan pengembangan uji tanah.
1999 – 2000
17. ARMP-II
Pembuatan Atlas Sumber Daya Tanah Pertanian.
2000
18. Dinas Perkebunan Kabupaten Serang
Rancang bangun pertanian di Gantarawang.
2000
19. Kanwil Deptan Provinsi Sumsel
Pembuatan Peta Agroindustri Pangan.
2000
20. Kanwil Deptan Provinsi Sumsel
Pembuatan Peta Potensi Pangan.
2000
21. Kanwil Deptan Provinsi Sumsel
Pembuatan Peta Wilayah Pengembangan Agroindustri Komoditas Unggulan.
2000
22. PAATP
Pemanfaatan teknologi inderaja dan SIG untuk monitoring dan deteksi dini kekeringan lahan pertanian di daerah sentra produksi padi.
2001
23. RUT, KMNRT
Panen hujan dan aliran permukaan untuk menanggulangi banjir dan kekeringan serta mengembangkan komoditas unggulan
2001 – 2002
24. KLH
Survei pemilihan lokasi dan pemanfaatan dampak hujan asam.
2001
94
No.
Mitra
Kegiatan
25. PT. Anugerah Mustika Ostindo
Manfaat Ostindo dalam peningkatan produktivitas tanah berwawasan lingkungan.
26. PAATP
Workshop jaringan agroklimat.
Jangka waktu 2001 – 2002
2001
27. Perum Jasa Tirta Penelitian panen hujan dan aliran II permukaan.
2001 – 2004
28. PT. Amsecon Penelitian tanah dan pemetaan digital Berlian Sejahtera pada survei investigasi design pengembangan daerah rawa 1.800 ha di 6 kecamatan, Kabupaten Merauke.
2001 – 2002
29. Perum Jasa Tirta Penelitian potensi sumber daya air II daerah aliran sungai untuk produksi air berkelanjutan.
2002
30. PAATP dan PT. Gunung Madu Plantations
Teknologi embung untuk meningkatkan produksi dan rendemen tebu lahan kering.
2002
31. ARMP-II
Penyusunan Atas Komoditas Pertanian Unggulan Nasional.
2002
32. ARMP-II
Penyusunan Atlas Zone Agroekologi Indonesia skala 1:250.000.
2002
33. PT. Petrokimia Gresik
Pengujian penggunaan pupuk Phonska.
34. Direktorat PAI
Penelitian dan pengembangan model pengelolaan sumberdaya air untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di Kab Cianjur, Jawa Barat.
35. Perum Jasa Tirta Penelitian pengaruh perubahan II tutupan lahan terhadap aliran permukaan, sedimen, dan produksi air DAS.
2002 – 2003 2003
2003 - 2004
36. BPPT
Pengembangan sistem informasi spasial database iklim nasional.
2003
37. BPPT
Validasi model pembangkit data iklim dan penilaian kesesuaian agroklimat untuk melengkapi model pewilayahan komoditas unggulan.
2003
38. BPPT
Pengembangan database hidrologi berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS)
2003
39. BPPT
Pemodelan dinamik pewilayahan komoditas unggulan.
2003
95
No.
Mitra
Kegiatan
Jangka waktu
40. Pemda Karo
Teknologi irigasi tetes untuk meningkatkan produksi jeruk dalam rangka mendukung pengembangan kawasan agropolitan di Kab. Karo.
2003
41. Pemda Tobasa
Teknologi irigasi tetes untuk meningkatkan produksi bawang merah dalam rangka mendukung pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Toba Samosir.
2003
42. Pemda Jateng
Penyusunan pengembangan informasi lahan sawah/decision support system.
2003
43. Pemda Tanggamus
Penelitian prediksi sedimen sungai dan aliran sungai dan aliran permukaan untuk menurunkan laju sedimentasi waduk Batu Tegi Tanggamus.
2003
44. Kimpraswil
Penelitian pengelolaan air dan pengembangan pertanian berkelanjutan untuk penanggulangan banjir dan kekeringan.
2003 – 2004
45. PT. PG. Rajawali Rekomendasi perbaikan sifat fisik II tanah pengelolaan sumberdaya air untuk meningkatkan produksi dan rendemen tebu PG.Jati Tujuh.
2003
46. PG. Gunung Aplikasi dam parit bertingkat untuk Madu Plantations mendistribusikan air secara spasial dan temporal di perkebunan tebu PT. Gunung Madu Plantations.
2003
47. Menristek
Panen hujan dan aliran permukaan untuk menanggulangi banjir dan kekeringan serta mengembangkan komoditas unggulan.
2003
48. Fakultas Farmasi, UGM
Penelusuran dan identifikasi struktur senyawa aktif dari Eleocharis dulcis sebagai atraktan serangga penggerek batang padi putih.
2004
49. PAATP
Pengelolaan air, lahan, dan komoditas pertanian mendukung agribisnis di lahan lebak.
2004
96
No.
Mitra
Kegiatan
Jangka waktu
50. PAATP-BPPT
Pengkajian potensi bencana kekeringan, banjir, dan longsor di kawasan multi DAS Jawa Barat bagian barat dengan sistem informasi geografi.
2004
51. PT. Inti Cipta Biotek Bijana
Pengembangan teknologi pupuk mikroba penyubur dan pengendali penyakit tanah untuk keberlanjutan produktivitas tanah.
2004
52. PT. Pupuk Kalimantan Timur
Pengujian efektivitas pupuk majemuk NPK Pelangi.
2004
53. PT. Rolimex Kimia Nusamas
Pengujian efektivitas penggunaan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung.
2004
54. Lembaga Pupuk Pengembangan soil test kit untuk mendukung penerapan pemupukan PAATP berimbang.
2004
55. Pemda Kabupaten Merangin
Penyusunan sistim informasi sumberdaya lahan pertanian, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin.
2004
56. PUSDATIN, Deptan
Sistem monitoring lahan sawah menggunakan teknologi inderaja berupa penentuan wilayah sawah rawan kekeringan dan kebanjiran/genangan.
2004
57. Poor Farmers’/ Litbang
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian berdasarkan zona agro-ekologi (ZAE) skala 1:50.000.
2004
58. PT. Lautan Luas Pengujian efektiviats pupuk P-alam, Tbk TSP, dan MOP Bumi Ijo untuk tanaman jagung.
2004
59. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Kapuas, Kalteng
2004
Pembuatan Peta Potensi Lahan Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura di Kecamatan Kapuas Timur seluas 13.500 ha.
97
No.
Mitra
Kegiatan
Jangka waktu
60. Dinas Pertanian Kab. Pacitan
Peningkatan produktivitas lahan kering melalui pengelolaan air berbasis DAS di Kab. Pacitan Jatim.
2004
61. Dinas Pertanian Kab. Ciamis
Optimalisasi penggunaan air untuk pengembangan kedelai di Kabupaten Ciamis.
2004
62. Dinas Pertanian Integrasi sistem panen hujan dan Kab. Kutai Timur aliran permukaan untuk meningkatkan ketersediaan air pertanian dan domestik.
2004
63. Balitbuah Solok
Pengembangan teknologi pembuahan mangga di luar musim di dataran rendah Lampung.
2004
64. Balai Besar Diklat Agribisnis Hortikultura Lembang
Pengembangan decision support system hortikultura nasional berdasarkan potensi sumber daya lahan.
2004
65. Perum Jasa Tirta Penyusunan decision support system II untuk produksi air berkelanjutan di SWS Citarum.
2004
66. Kimpraswil
Pengembangan teknologi dam parit untuk penanggulangan banjir dan kekeringan.
2004 – 2005
67. BMG
Prediksi curah hujan dengan metode Filter Kalman dan validasinya pada berbagai kondisi Iklim.
2004 – 2005
68. LAPAN
Analisis perubahan tutupan lahan dan pengaruhnya terhadap neraca air dan sedimentasi Danau Tempe.
2004 – 2005
69. Pusdatinderaja LAPAN
Analisis alih fungsi Lahan dan keterkaitannya dengan karakteristik hidrologi DAS Krueng Aceh.
2004 – 2005
70. PTPN VIII Cimulang
Pengelolaan air dengan pemanfaatan dam parit untuk peningkatan ketersediaan air bagi tanaman kelapa sawit di PTPN VIII Cimulang.
2004 – 2005
71. Pusdatinderaja LAPAN
Pengembangan sistem peringatan dini kekeringan dan kebanjiran.
2004 – 2005
72. Ditjenbun
Pemetaan masa tanam, pendayagunaan sumber air untuk pengembangan lahan kering.
2004 – 2005
98
Mitra kerjasama luar negeri No.
Mitra
Kegiatan
Jangka waktu
1.
Christmas Island Suitablility of chrismast rock Rock Phosphate phosphate. (CIRP)
1995 – 1999
2.
IMPHOS
The use of reactive phosphate rock for upland improvement in Indonesia.
1996 – 1999
3.
Potash and Phosphate Institute (PPI)
Soil phosphorus recapitalization and upland improvement in five provinces of Indonesia (Sebar Fos).
1997 – 2000
4.
IWMI
Management of sloping lands for sustainable agriculture.
1998 – 2002
5.
The University of Increasing P use efficiency of riceQueensland cropping systems in Indonesia acid soils.
1998 – 2000
6.
IMPHOS
The use of phosphate rocks for acid sulfate soil.
1998 – 2001
7.
IBSRAM
Management of acid soil.
1998 – 2001
8.
ACIAR
Capturing the benefits of seasonal climatic forecast in agricultural management.
1998 – 2000
9.
MSEC
Management of watershed for producttive and sustainable natural resources in Indonesia.
1999 – 10 tahun
10. IMPHOS
Recapitalization of the soil fertility of acid upland soils in Indonesia with phosphate rock: a village level approach.
2000 – 2004
11. ASEAN-Japan
Evaluation of externality function of paddy field areas.
2000 – 2002
12. PT. Kondo International
Silicate calcium trial test in Indonesia.
2001 – 2002
13. ICRAF
Refinement of soil conservation/ agroforestry measures for coffee based farming systems.
2001 – 2003
14. PT. Kondo International
Regarding test for Shimarock influence on rice yield.
2002 – 2003
99
No.
Mitra
Kegiatan
Jangka waktu
15. Special Programe for Food SecurityFAO
Perbaikan kualitas air dan rancang bangun irigasi tetes untuk tanaman sayuran di lahan pasang surut sulfat masam.
2004
16. MAFF Japan dan Asean Secretariat
Indonesian case study: community perceptions on the multifungtionality of agriculture.
2004
17. PT. Riau Andalan Pulp and Paper Area
Detail soil survey for Eucalyptus plantation in PT. Riau Andalan Pulp and Paper area.
2004
18. MSEC, IWMI
Pengelolaan lahan untuk pengendalian erosi pada skala DAS mikro.
2004
Selain itu, Puslitbangtanak secara terus-menerus melayani permintaan magang dari berbagai kalangan seperti sekolah menengah atas, perguruan tinggi, instansi lingkup Badan Litbang Pertanian dan lingkup Deptan, serta pihak swasta.
Kegiatan magang siswa SLTA di laboratorium
100
PEMBINAAN JARINGAN PENELITIAN DAN PENGKAJIAN
S
etelah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) terbentuk di setiap provinsi, Puslitbangtanak aktif melakukan pembinaan
dalam bidang pengelolaan sumber daya lahan yang diperlukan oleh BPTP. Dalam melakukan tugas dan fungsinya di setiap wilayahnya masing-masing, pembinaan dalam bidang AEZ merupakan materi yang pertama dilakukan. Pada kegiatan ini, BPTP dibina dan ditingkatkan kemampuannya dalam penyusunan peta AEZ skala 1:250.000 dan sebagai hasilnya adalah hampir semua BPTP telah memiliki informasi AEZ di wilayahnya masing-masing. Karena skalanya lebih kecil dan lebih cocok untuk perencanaan, maka beberapa BPTP melakukan kegiatan penyusunan AEZ pada skala yang lebih besar (1:50.000), bekerjasama dengan pemerintah daerah, dengan tenaga pembinaan dari Puslitbangtanak.
Kegiatan pembinaan jaringan penelitian dan pengkajian dilaksanakan melalui lokakarya
101
Setelah pembinaan AEZ selesai, maka dilanjutkan dengan kegiatan
pembinaan
dalam
teknik
menentukan
rekomendasi
pemupukan berdasarkan kebutuhan lokasi. Kegiatan ini dilakukan selama tiga tahun (1996-1998). Melalui kegiatan ini, beberapa BPTP bahkan telah bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat untuk melakukan pemetaan P dan K dengan tujuan rekomendasi pemupukan. Selain itu, maraknya produk pupuk alternatif yang beredar di pasaran yang jumlah dan kualitasnya hampir tidak terkendali, maka banyak keluhan yang datang dari berbagai pihak di daerah. Untuk mengatasi masalah ini, Puslibangtanak melakukan pembinaan di beberapa BPTP untuk membantu dalam memantau kualitas pupuk alternatif yang beredar di daerah.
Peserta lokakarya dalam pembinaan jaringan penelitian dan pengkajian dari berbagai BPTP
102
KESAN DAN HARAPAN TERHADAP PUSLITBANGTANAK Dr. Sumarno, MSc (Direktur Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Deptan) Sebagian besar masyarakat Indonesia beranggapan, bahwa bentangan tanah kita sangat luas dan sangat subur, seperti dalam lirik oleh “Kolam Susu” dari Koes Plus. Anggapan ini keliru dan sangat menyesatkan. Hanya tanah di sekitar gunung api atau yang secara historis merupakan wilayah vulkanis, tanah di sekitar aliran sungai dan rawa dangkal yang secara alamiah tergolong subur, sedangkan bentangan tanah luas bekas hutan tropis di Kalimantan Selatan dan pulau-pulau lain, umumnya kurang atau tidak subur. Hamparan tanah sebagai lahan usaha pertanian di Indonesia yang subur relatif sangat sempit guna menghidupi penduduk Indonesia yang sebentar lagi yakni “lima belas tahun yang akan datang akan mencapai 300 juta orang”. Pesan apa yang perlu ditangkap dari kondisi pertanahan tersebut? 1. Kita perlu melestarikan lahan pertanian subur yang ada untuk tidak dialihfungsikan bagi penggunaan usaha nonpertanian. 2. Kita perlu memelihara kualitas lahan dengan cara menerapkan agroekoteknologi, agar lahan pertanian tetap produktif sampai seribu atau lima ribu tahun yang akan datang. 3. Kita perlu membuka lahan pertanian baru, guna mencukupi kebutuhan bahan pangan, gula, buah-buahan, dan pakan, serta bahan pakaian. 4. Kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat petani dan masyarakat umum akan pentingnya usaha dan tindakan konservasi lahan dan air dengan menyediakan penyuluh ahli konservasi tanah dan air.
103
5. Kita perlu menginformasikan kepada pejabat, masyarakat berpendidikan, pers, dan masyarakat awam, bahwa tanah di Indonesia yang subur hanya sedikit dan telah habis digunakan, sehingga sekarang ini Indonesia kekurangan lahan pertanian. Semoga Puslitbangtanak yang kini berumur satu abad dapat memberikan informasi dan bahan pembentukan kebijakan yang tepat tentang lahan pertanian Indonesia seratus tahun ke depan.
Ir. Rudolf W. Matindas, MSc (Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional-Bakosurtanal) Bakosurtanal dengan Puslitbangtanak telah bekerjasama dengan erat selama lebih dari dua puluh tahun, terutama sejak adanya kerjasama dalam Program “Land Resources Evaluation and Planning (LREP) Project” mulai tahun 1985. Dalam kurun waktu tersebut banyak pengalaman suka dan duka terutama dalam pemetaan wilayah yang baru, sulit diakses, dan minimnya data pendukung. Bersama ini, kami sampaikan kesan kami tentang Puslitbangtanak dari pandangan Bakosurtanal. Puslitbangtanak telah berperan penting dalam penyediaan data sumber daya tanah, untuk mendukung pembangunan nasional. Puslitbangtanak perlu berperan dalam perencanaan tata ruang, terutama dalam menentukan lokasi sawah/lahan pertanian Indonesia. Selama kurun waktu 100 tahun, Puslitbangtanak telah berhasil mengumpulkan/menghimpun data tanah di berbagai wilayah. Data dan informasi tanah tersebut perlu disosialisasikan secara luas, baik di Departemen Pertanian, Lembaga lain maupun kepada masyarakat, sehingga akan dapat meningkatkan ketergunaan data dan informasi tanah yang dimilikinya. Sosialisasi yang dilakukan Puslitbangtanak harus disertai dengan peningkatan kemudahan akses bagi pengguna,
104
karena pada umumnya pengguna masih menilai bahwa data dan informasi tanah di lembaga ini belum dapat diakses secara optimal. Di sisi lain, sebenarnya Lembaga ini semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan data tanah secara nasional, karena penyediaan data tanah pada umumnya masih didasarkan pada kebutuhan penelitian, bukan merupakan kegiatan Pemetaan Secara Sistematis, atau belum ada program Pemetaan Tanah Secara Nasional. Kendala ini salah satu kemungkinannya diakibatkan oleh faktor birokrasi, di mana Puslitbangtanak termasuk dalam struktur Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dengan telah berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peran lembaga ini dalam memproduksi data sumber daya tanah secara nasional akan menghadapi banyak kendala, terlebih setelah terjadi restrukturisasi, di mana unit organisasi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi pemetaan tanah berada di Eselon III (Balai Penelitian Tanah). Sebagai saran, lembaga ini seharusnya diberdayakan menjadi lembaga yang tidak terbelenggu oleh faktor birokrasi. Akan lebih baik, apabila Puslitbangtanak menjadi lembaga tersendiri yang lepas, atau setara, dengan Badan Litbang Pertanian. Sinergi antara lembaga terkait yang ada akan dapat mempercepat terwujudnya infrastruktur Data Spasial Nasional dalam rangka membangun Sistem Informasi Spasial Nasional.
Soeroso Hadiyanto (Kepala Pusat Sistem Data dan Informasi Klimatologi dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi dan Geofisika-BMG) Pertama-tama kami, atas nama pimpinan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), mengucapkan selamat atas Hari Jadi Puslitbangtanak yang ke-100 tahun. Sebagaimana kita ketahui bahwa seratus tahun merupakan masa yang cukup panjang dalam perjalanan
105
suatu organisasi. Semoga dengan semakin bertambahnya usia, Puslitbangtanak akan semakin mantap dalam mengemban misinya sebagai lembaga penelitian berbasis teknologi tinggi, dan semakin banyak hasil penelitian yang diperoleh yang bermanfaat bagi pembangunan pertanian di tanah air. Dalam upaya meningkatkan kinerja lembaga penelitian, kiranya perlu melibatkan instansi terkait dan masyarakat. Berkaitan dengan masalah iklim, BMG sebagai lembaga operasional yang bertugas mulai dari melakukan pengamatan cuaca dan iklim, pengumpulan data, pengolahan dan analisis, sampai dengan memberikan pelayanan informasi iklim kepada pemerintah dan masyarakat, tidak dapat bergerak sendiri, tanpa bermitra dengan lembaga-lembaga penelitian terkait. Oleh karena itu, kemitraan dan kerjasama yang telah terjalin selama ini, antara Puslitbangtanak dan BMG, kiranya dapat terus ditingkatkan. Hasil sinergi ini akan sangat bermanfaat, terutama bagi masyarakat pertanian, dalam memanfaatkan sumber daya iklim untuk peningkatan produksi, serta antisipasi terhadap terjadinya iklim ekstrim, yang dampaknya cukup signifikan terhadap kegiatan pertanian. Kami berharap, semoga Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat dapat terus meningkatkan kinerjanya, dan hasilnya dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Ir. Karso Sasradipoera, SE (Lembaga Pupuk Indonesia) Pertama-tama kami mengucapkan selamat atas usia satu abad Puslitbangtanak. Semoga dalam perjalanannya ke depan, dapat semakin berkembang peranannya dalam upaya mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya lahan nasional untuk pembangunan pertanian.
106
Lembaga Pupuk Indonesia (LPI) didirikan pada 2 Juni 2002 oleh Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), yang beranggotakan PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Petro Kimia Gresik, PT Pupuk Kujang, dan PT Asean Aceh Fertilizer. Tujuan pembentukan LPI adalah untuk menunjang program pemerintah, dalam membangun dan mengembangkan sistem dan usaha agribisnis nasional, melalui kegiatan perpupukan. LPI sangat menghargai kerjasama yang selama ini dijalin dengan unit kerja penelitian di bawah lingkup Puslitbangtanak, khususnya Balai Penelitian Tanah, melalui berbagai kegiatan terutama dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Akhirnya, LPI mengharapkan kerjasama tersebut dapat berlanjut, dan bahkan ditingkatkan secara lebih luas dalam rangka menunjang program pemerintah di bidang ketahanan pangan. “Selamat Ulang Tahun dan Dirgahayu Puslitbangtanak”.
Prof. Dr. Tejoyuwono Notohadiprawiro (Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada)) Tidak mudah bagi sebuah lembaga, lebih-lebih yang berkinerja dalam berbagai masalah kesumberdayaan, untuk tetap bertahan hidup selama seabad. Hal ini hanya mungkin kalau didukung oleh tiga faktor, yaitu (1) perancangan kinerja matang, serbacakup, dan terarah; (2) ditangani oleh staf yang mahir, ulet, berdedikasi kuat, dan inovatif; dan (3) terkait dengan sistem informasi regional dan global. Sejak pendiriannya seabad yang lalu, lembaga penelitian tanah ini, yang sekarang mendapat sebutan “Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat” telah menerapkan konsep komprehensif atas tanah sebagai sumberdaya lahan yang holistik. Ini merupakan konsep yang sangat modern. Hakikat tanah ditumpukan pada fakta iklim, topografi, dan geologi. Hal ini terperikan pada sistem klasifikasi tanah, sehingga tanah tersajikan sebagai kimah (aset)
107
global. Oleh karena tanah dapat dikelola untuk menghasilkan biomassa berguna dan mendatangkan keselamatan hidup maka tanah tidak hanya merupakan sumberdaya fisik, melainkan juga merupakan sumberdaya hayati dan sosial-budaya. Apabila hakikat tanah seperti tersebut tadi dapat dipelihara dan dipertahankan, saya yakin Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat akan dapat berdiri dan berfungsi lama secara berkelanjutan. Pada galibnya tidak ada orang dan makhluk pada umumnya yang tidak memerlukan tanah.
Dr. Go Ban Hong (Direktur Lembaga Penjelidikan Tanah 1962-1966) Saya masuk ke Puslitbangtanak yang waktu itu masih bernama Balai Penjelidikan Tanah pada tanggal 31 Januari 1953, setelah lulus Sarjana Pertanian, Universitas Indonesia, dengan tujuan ingin mendapatkan gelar doktor. Sejak itulah, saya memulai karir saya sebagai peneliti tanah. Kegiatan sehari-hari tentunya meneliti dan berseminar tentang masalah-masalah tanah. Tanah yang subur semakin langka, daya produksi pangan semakin mundur, tanah-tanah semakin terkuras khususnya humus karena irigasi dan pupuk pabrik, sehingga tanah memadat dan keras pada musim hujan dan becek di musim air berkelimpahan. Tanaman kahat air di musim kemarau dan kahat udara segar di musim becek, dan manfaat pupuk pabrik menurun drastis, masyarakat pertanian dilanda kemiskinan semesta. Kesemua ini, merupakan masalah yang menjadi perhatian ketika itu. Sejak bekerja di Balai Penelitian ini, saya sudah menyarankan jalan keluar melalui berbagai forum seminar dan pertemuan ilmiah, agar selalu memperhatikan pemberian bahan baku kompos, pupuk kandang/hijau, masa istirahat tanah diperhatikan, serta mengurangi kebutuhan air irigasi yang berkelebihan. Saya juga menyarankan waktu itu, bahwa padi gogo berpotensi lebih tinggi daripadi sawah.
108
Oleh karena itu, dari sejak dulu sampai sekarang, saya selalu berharap kepada lembaga penelitian agar memperhatikan kondisi tanah kita yang sekarang banyak sakit, karena terus-menerus terkuras akibat produksi padi yang selalu digenjot. Selain itu saya selalu mengkampanyekan, agar tidak terlalu bertumpu pada padi/beras sebagai sumber enersi. Saya telah membuktikan hal ini, karena saya termasuk orang yang sangat sedikit makan nasi, sarapan pagi cukup dengan pisang, tetapi karena pertolongan Tuhan hidup saya masih segar sampai sekarang. Harapanku : Demi kelangsungan hidup bangsa dan negara jadilah pembela tanah yang sejati melalui penelitian.
Dr. Muljadi Djojomartono (Direktur Lembaga Penelitian Tanah 1967-1983) Penelitian sumber daya tanah merupakan subsistem vital dalam sistem penelitian pertanian untuk mendukung pembangunan pertanian yang maju, efisien, tangguh, dan berwawasan lingkungan. Dalam perjalanan waktu satu abad (1905-2005), telah banyak pengalaman yang diperoleh, baik dalam masa pra-Kemerdekaan maupun setelah Kemerdekaan, khususnya dalam rangka mendukung pengembangan wilayah pertanian dan peningkatan produksi pertanian di Indonesia. Ini merupakan pengetahuan dan pengalaman lembaga yang sangat berharga. Pengalaman tersebut dapat dipergunakan sebagai modal dasar untuk menghadapi tantangan dan pemecahan masalah yang dihadapi di masa mendatang yang semakin berat dan semakin kompleks. Beberapa hal yang perlu dipikirkan untuk ditangani dalam kaitannya dengan tugas Puslitbangtanak, adalah : pertambahan jumlah penduduk yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan, penyebaran penduduk yang timpang antara Pulau Jawa dan luar Jawa, luas areal sumber daya lahan pertanian yang relatif tetap, serta
109
persaingan penggunaan lahan yang semakin meningkat. Penggunaan sumber daya lahan harus dapat diupayakan secara efektif dan efisien, dalam rangka pengembangan sistem pertanian yang tangguh berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Semoga Puslitbangtanak dapat menjadi lembaga penelitian yang lebih maju dan tangguh, serta dapat menjadi pusat referensi di bidang penelitian sumber daya tanah, dalam rangka mendukung pembangunan pertanian yang tangguh yang berwawasan lingkungan, dan berwawasan nasional.
Dr. M. Sudjadi (Ka Puslittanah 1984-1989) Sambil mengikuti kursus di Akademi Penjelidikan Pertanian, saya mulai bekerja di Balai Penjelidikan Tanah pada tahun 1952. Pekerjaan saya sehari-hari di laboratorium adalah membantu mencuci alat-alat gelas, merendam pipet yang sudah dipakai dalam larutan permanganat, dan pada setiap hari Senin mengecek titar larutan yang digunakan untuk titrasi serta memeriksa larutan baku yang digunakan dalam analisis fosfor dan kalium. Pada waktu itu, analisis contoh tanah sebagian besar berasal dari pemetaan tanah. Di samping itu juga dilakukan analisis air sungai, tanaman, dan pupuk. Metode analisis yang digunakan sangat sederhana. Penetapan fosfor hanya dilakukan dengan kolorimeter dan penetapan kalium dengan fotometer nyala. Penetapan kalium masih dilakukan di ruang gelap. Saya merasa bersyukur karena mendapatkan kesempatan bekerja di salah satu lembaga penelitian tertua di negara ini. Setelah memasuki masa pensiun, saya merasa sangat bahagia, karena sambil bekerja saya mendapatkan empat gelar kesarjanaan dari tempat saya mengabdikan diri selama 41 tahun. Harapan saya ke depan, semoga Puslitbangtanak mempunyai perencanaan yang berkesinambungan disertai dengan pembiayaan.
110
Hanya dengan perencanaan penelitian yang baik dan disertai dengan pembiayaan yang memadai dapat dilakukan pembinaan penelitipeneliti yang tangguh dan kontribusi hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dr. Abdurachman Adimihardja (Ka Puslitbangtanak 19982005) Data dan informasi sumber daya lahan yang akurat dan lengkap sangat diperlukan dalam perencanaan pembangunan pertanian nasional menuju sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta mensejahterakan petani. Data dan informasi penting tersebut dihasilkan oleh berbagai lembaga penelitian di Indonesia, namun yang paling banyak tentunya dihasilkan oleh Puslitbangtanak. Hal ini mengingat Puslitbangtanak merupakan instansi tingkat nasional yang diberi mandat, fasilitas, dan biaya, untuk melaksanakan penelitian sumber daya pertanian tersebut, serta telah melaksanakan tugasnya dalam waktu yang panjang, yaitu satu abad. Data dan informasi yang terkumpul, biasanya langsung digunakan sesuai tujuannya, misalnya untuk kepentingan pembukaan daerah transmigrasi, mendukung program penghijauan, rekomendasi pemupukan, dan sebagainya. Selain itu, banyak data dan informasi telah dikumpulkan dan dianalisis, kemudian diterbitkan oleh Puslitbangtanak dalam bentuk atlas dan buku, seperti Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia, Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia, Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional, Atlas Sumber Daya Iklim, Buku Sumber Daya Lahan Indonesia, Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering, dan sebagainya. Namun demikian, perlu diakui bahwa hasil yang diperoleh belum lengkap dan detail, karena wilayah Indonesia mencakup daratan yang sangat luas, mencapai sekitar 190 juta ha, dan tersebar di banyak
111
pulau dengan asesibilitas yang tidak seluruhnya baik. Puslitbangtanak perlu terus melengkapi berbagai data dan informasi tentang sumber daya lahan (tanah dan air) seluruh Indonesia, terutama lahan-lahan yang berpeluang besar untuk didayagunakan untuk pertanian produktif. Bersamaan dengan itu, perlu dilakukan juga pembenahan seluruh dokumen yang telah terkumpul, dan kemudian harus dikelola dengan cermat, dalam suatu sistem database yang mudah diakses oleh masyarakat luas. Kedua hal tersebut penting sekali, dalam upaya menjadikan Puslitbangtanak sebagai lembaga penyedia data/informasi sumber daya lahan dan sumber daya air, baik bagi pengambil kebijakan dan para petani, maupun pengusaha pertanian dan pihakpihak lain yang terkait dengan pendayagunaan lahan.
112
PENUTUP
S
ejak 1905, kegiatan penelitian tanah berkembang sesuai dengan
dinamika perkembangan pembangunan pertanian khususnya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pemanfaatan sumber daya manusia, sarana penelitian, anggaran penelitian, serta perkembangan kelembagaan penelitian tanah. Banyak data dan informasi serta teknologi yang telah dihasilkan, dan banyak pula yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Sebagai suatu institusi publik yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, tentunya hal ini merupakan suatu hal yang membanggakan. Puslitbangtanak menyadari, bahwa hasil-hasil yang telah dicapai selama ini, tidak terlepas dari dukungan pemerintah serta kerjasama dengan berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Dukungan dan kerjasama ini semakin diperlukan di masa yang akan datang, mengingat tantangan yang dihadapi Puslitbangtanak semakin kompleks, khususnya dalam tuntutan pemanfaatan sumber daya lahan untuk pembangunan pertanian. Uraian yang diberikan dalam buku ini, kiranya dapat memberikan inspirasi dan semangat untuk memikirkan secara bersama-sama dalam mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan sumber daya lahan pada saat ini dan di masa yang akan datang, melalui kegiatan penelitian.
113
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., Herry H.D., dan Wahyunto. 2000. Penelitian untuk Pendayagunaan Lahan Secara Optimal. Dalam: Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. (L.I. Amin, et al. Eds.) Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Alihamsyah T., F.N. Saleh, S. Abdussamad, M. Sarwani, D. Nazemi, Mukhlis, I. Khairullah, H.D. Noor, H. Sutikno, dan Y. Rina. 2001. 40 Tahun Balittra “Perkembangan dan Program Penelitian ke Depan”. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Badan Litbang Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Dua Abad Penelitian Pertanian Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Chin A Tam, S.M. 1993. Bibliography of Soil Science in Indonesia 1890-1963. DLO-Institute for Soil Fertility Research. Dames, T.W.G. 1955. The Soil of East Central Java: with a Soil Map 1:250.000. Contribution of the General Agricultural Research Station. Pemberitaan Balai Besar Penjelidikan Pertanian No. 141:1-155. Bogor. Dudal, R. and H. Jahja. 1957. Soil Survey in Indonesia. Pemberitaan Balai Besar Penjelidikan Pertanian. Bogor, Indonesia No. 147149. Go Ban Hong. 1961. Warta Kongres Nasional Ilmu Tanah Pertama. Sekretariat Kongres Nasional Ilmu Tanah I, Bogor. Hajatullah, I., S. Mansjur, dan Maksum. 2002. Perjalanan 160 Tahun Bibliotheca Bogoriensis. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian. Lembaga Penelitian Tanah. 1975. Penelitian Kesuburan Tanah Pelita Pertama. Jilid II. Kumpulan Laporan Penelitian. Oldeman, L.R. 1975. An Agroclimatic Map of Java. Central Research Institute for Agriculture. Bogor. Oldeman, L.R. and Darmijati. 1977. An Agroclimatic Map of Sulawesi. Central Research Institute for Agriculture. Bogor. Oldeman, L.R., I. Las, and S.N. Darwis. 1979. An Agroclimatic Map of Sumatra. Central Research Institute for Agriculture. Bogor.
115
Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. An Agroclimatic Maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali, West and East Nusa Tenggara. Central Research Institute for Agriculture. Bogor. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. 2004. Pusat Penelitian Tanah. 1984. Penelitian Pengelolaan Tanah Podsolik. Laporan Tahunan 1983/1984. Pusat Penelitian Tanah. Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinee. Kementerian Perhubungan, Jawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Sitepu, D., Z. Mahmud, E. Karmawati, D.D. Tarigan, S.H. Isdijoso, dan Hobir. 1998. 120 Tahun Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Badan Litbang Pertanian. Soil Survey Staff. 1998. Kunci Taksonomi Tanah Edisi Kedua Bahasa Indonesia, 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Went, F.A.F.C. 1967. Botany. 1. General Botany. In Science in the Netherlands East Indies. Edited by Rutten, L.M.R. Koninklijke Akademi van Wetenschappen-Amsterdam. White, J.Th. 1930. Organization, Principles and Execution of the Soil Mapping of Java and Madura (N.E.I). Elfde Congres Van Ambtenaren Bij de Landbouwvoorlichting in NederlandschIndie. Gehouden Te Bandoeng op 15, 16, 17 en 18 October 1930.
116