KARAKTERISTIK DAN KETERSEDlAAN DATA SUMBER DAYA LAHAN PULAU-PULAU KEClL UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI MALUKU Andriko Noto Susanto dan Marthen P. Sirappa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, JaIan Chr. Soplanit Rumah Tiga, Ambon 97233
ABSTRAK Pembangunan pertanian di Provinsi Maluku, yang didominasi oleh pulau-pulau kecil, memerlukan perencanaan secara spesifik. Salah satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian di pulau-pulau kecil tersebut adalah peta sumber daya lahan, yang memberikan informasi penting tentang distribusi, luasan, tingkat kesesuaian, faktor pembatas, dan alternatif pengelolaan lahan yang rasional. Peta yang tersedia untuk perencanaan pembangunan pertanian di Provinsi Maluku adalah peta zona agroekologi yang meliputi seluruh wilayah Provinsi Maluku, sedangkan peta pada tingkat semidetail sampai detail baru tersedia untuk beberapa wilayah, yaitu dataran Waeapo, Kairatu dan Kamariang, serta Pulau Selaru dan Wokam. Berdasarkan data atau peta tersebut, Provinsi Maluku memiliki peluang yang cukup besar untuk pengembangan perkebunan, wanatani, tanaman pangan lahan kering, tanaman pangan lahan basah, padang penggembalaan, dan perikanan tambak. Luas lahan untuk usaha tani tanaman pangan, sayuran dan buah-buahan mencapai 41.012 ha, sementara potensinya seluas 775.586 ha atau tersedia areal ekstensifikasi 734.574 ha. Untuk usaha perkebunan terdapat areal potensial seluas 1.392.712,40 ha, sedangkan lahan fungsional baru mencapai 157.533 ha atau tersedia areal pengembangan 1.235.179,40 ha. Perencanaan pembangunan pertanian secara berkelanjutan harus didasarkan pada keadaan biofisik lahan, komoditas unggulan, dan sosial budaya ekonomi masyarakat. Kata kunci: Karakteristik fisik-kimia tanah, data sumber daya lahan, pembangunan pertanian, Maluku
ABSTRACT Characteristics and availability of land resources in small islands for agricultural development planning in Maluku Agricultural development in Maluku Province, which is dominated by small islands, requires specific planning. One of the basic information required for agricultural development in the small islands is land resource map. The map provides important information about distribution, area coverage, land suitability, limiting factors, and alternative land management. The availability of the map for Maluku Province at this time is still limited. Agroecological zone map is available, covering all regions of Maluku Province. However semidetailed and detailed maps are only available for several regions, namely plain of Waeapo, Kairatu and Kamariang, and Selaru and Wokam Islands. Based on the data, Maluku has a great opportunity for estate crops, agro forestry, upland food crops, lowland food crops, pasturing field, and aquaculture development. The present area for food crops, fruits and vegetable is 41,012 ha, whereas its potential area is 775,586 ha, so there is still available land of 734,574 ha for extensification. For the development of estate crops, the available potential land is about 1,392,712.40 ha, while functional land reaches 157,533 ha, so the availability of land for the development is 1,235,179.40 ha. Planning of sustainable agricultural development must be based on the biophysical characteristics of the land (agroecological), profitable commodities, and social-cultural-economic aspects of the people. Keywords: Soil physicho-chemical properties, land resource data, agricultural development, Maluku
W
ilayah Kepulauan Maluku terletak pada posisi 2°30'−9° LS sampai 124°−135° BT (Utrecht 1998), dengan luas wilayah daratan dan lautan 57.326.817 ha. Luas lautan sekitar 90% atau 52.719.100 ha, sedangkan luas daratannya hanya sekitar 10% atau 4.625.416 ha (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku 1999). Maluku sering dijuluki dengan Provinsi Seribu Pulau, karena wilayah daratJurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
annya didominasi oleh pulau-pulau kecil. Jumlah pulau di Provinsi Maluku berdasarkan identifikasi citra satelit dari LAP AN mencapai 1.412 buah (Titaley 2006). Luas pulau-pulau di Maluku berkisar antara < 761−18.625 km2. Pulau dengan luas kurang dari 1 juta ha dikategorikan sebagai pulau kecil (Monk et al. 2000). Dengan kriteria tersebut, hanya Pulau Seram dengan luas 1,86 juta ha (Nanere
2006) yang tidak termasuk pulau kecil. Selain Pulau Seram, pulau-pulau lain yang memiliki luas lebih besar dibandingkan dengan pulau-pulau kecil lainnya adalah Pulau Yamdena, Buru, Wokam, Kobrour, dan Trangan. Selebihnya adalah pulaupulau kecil dan bahkan terpencil yang jumlahnya mencapai 1.406 buah. Pemberdayaan pulau-pulau kecil dengan karakteristik yang spesifik dalam pembangunan 41
pertanian perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Salah satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi bahan pangan dan produk pertanian lainnya adalah data spasial (peta) potensi sumber daya lahan, yang memberikan informasi penting tentang distribusi, luas, tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan alternatif teknologi yang dapat diterapkan (Suryana et al. 2005). Tersedianya informasi potensi sumber daya lahan untuk pengembangan komoditas pertanian akan sangat membantu upaya peningkatan produksi komoditas pertanian secara berkelanjutan. Data dan informasi sumber daya lahan untuk mendukung pengembangan agribisnis di Maluku sangat terbatas dan heterogen, bukan hanya jumlah, skala dan kepentingannya, tetapi juga instansi pembuat peta masih tersebar dan belum terkoordinasi dengan baik. Kegiatan pemetaan cukup mahal sehingga hasilhasil pemetaan yang sudah ada perlu dimanfaatkan selain melakukan pemetaan daerah-daerah baru secara bertingkat (Louhenapessy 2005). Oleh karena itu perlu dibangun pangkalan data untuk menampung data dan informasi hasil-hasil pemetaan agar replikasi dan duplikasi hasil-hasil pemetaan dapat dipantau. Konflik sosial yang terjadi di Maluku pada tahun 1999−2001 telah menghancurkan sebagian besar areal pertanian. Luas areal tanam pada akhir tahun 2004 jauh lebih kecil dibanding areal (penggunaan yang sama) pada tahun 1992. Peningkatan areal tanam sejak tahun 2000 sampai sekarang masih berjalan lambat, sehingga berdampak pada rendahnya produksi komoditas pertanian. Pemulihan kembali (recovery) sektor pertanian dapat dipercepat dengan melakukan penataan dan pemanfaatan kembali lahan pertanian yang terbengkalai serta menanam tanaman yang dapat meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Berdasarkan data BPS tahun 1992− 2004, luas areal tanam komoditas perkebunan menurun drastis dibandingkan dengan areal tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan (BPS Provinsi Maluku 1993−2005). Penurunan ini diduga karena areal perkebunan menjadi terbengkalai akibat pemiliknya eksodus ke luar Maluku. Luas areal panen tanaman pangan tahun 1992−2004 juga menurun tajam. Luas areal panen pada akhir tahun 2004 hanya 31.416 ha, jauh lebih kecil dibandingkan 42
tahun 1992 yaitu 102.133 ha. Areal tanam jagung, padi ladang, dan ubi jalar menurun cukup tajam, namun areal ubi kayu justru meningkat cukup signifikan pada tahun 1999, yang diduga karena beralihnya pola konsumsi pangan masyarakat ke ubi kayu akibat keterbatasan beras dan jagung. Pada tahun-tahun berikutnya, setelah kondisi sosial masyarakat berangsurangsur normal, areal tanam ubi kayu menurun, sementara komoditas lain mengalami kenaikan. Hal ini diduga sebagai dampak dari mulai tersedianya beras sebagai sumber pangan, sehingga minat petani menanam ubi kayu menurun. Komoditas pertanian yang mengalami pemulihan paling cepat adalah padi sawah. Hal ini disebabkan selain telah jelasnya status tanah dan gencarnya program peningkatan produksi padi, juga karena sumber daya manusia yang terlibat dalam usaha tani padi sawah tidak banyak yang melakukan eksodus ke luar Maluku. Luas areal tanam padi sawah pada tahun 2003 mencapai 7.968 ha, lebih tinggi dibanding tahun 1999 yaitu 6.727 ha. Areal tanam tersebut tersebar pada tiga sentra produksi padi sawah yaitu Waeapo, Kairatu, dan Seram Utara. Penurunan luas areal panen buahbuahan selama konflik sosial tahun 1999 terjadi pada semua jenis komoditas, terutama pisang, jeruk, dan mangga. Namun pada tahun 2000−2004, luas areal panen komoditas buah-buahan kembali meningkat walaupun relatif lambat. Jika tidak dilakukan percepatan penanaman kembali, dengan pertambahan luas tanam saat ini sekitar 100−200 ha/tahun, maka dibutuhkan waktu sekitar 25 tahun sejak tahun 2004 untuk mencapai luas tanam seperti tahun 1998 yaitu 12.375 ha. Areal tanam sayuran juga menurun drastis. Areal tanam bawang merah, terung, dan kacang panjang tahun 1998 berturut-turut 1.274, 1.064, dan 1.002 ha, dan menurun tajam pada tahun 1999 menjadi masing-masing 224, 183, dan 190 ha. Peningkatan luas areal tanam sayuran pascakerusuhan sampai tahun 2003 berjalan lambat. Hal ini diduga selain belum pulihnya minat masyarakat untuk menanam sayuran, juga akibat masuknya sayuran dari luar Maluku dalam jumlah besar sehingga harga sayuran relatif rendah dan fluktuatif. Untuk komoditas perkebunan, areal kelapa menurun paling tajam selama konflik sosial di Maluku tahun 1999. Namun komoditas spesifik Maluku seperti ceng-
kih, tidak terlalu terpengaruh dan menunjukkan kenaikan nyata sampai tahun 2004. Areal tanam cengkih tahun 2004 mencapai 35.129,70 ha, lebih tinggi dibanding tahun 1998 yaitu 34.965 ha. Oleh karena itu, cengkih dapat dikembangkan sebagai komoditas unggulan Maluku. Komoditas lain yang cepat peningkatan luas areal tanamnya pascakonflik adalah kakao. Pada tahun 2002 dan 2003, arealnya berturut-turut 10.480,30 dan 15.200 ha, padahal tahun 2000 baru mencapai 7.698 ha. Tulisan ini mengulas karakteristik sumber daya lahan di Maluku dan arahan penggunaan lahannya berdasarkan data spasial yang dibuat oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku dan instansi lain pada kurun waktu 1999−2005.
KARAKTERISTIK PULAU-PULAU KECIL Monk et al. (2000) mendefinisikan pulau sebagai suatu masa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air laut, sedangkan kepulauan adalah kumpulan pulau-pulau yang mengelompok secara bersama. Pulau-pulau yang ada di wilayah Maluku umumnya memiliki karakter yang berbedabeda. Perbedaan karakter tersebut disebabkan oleh perbedaan geografis, fisik, iklim, sosial, budaya dan etnis serta tahapan perkembangan ekonominya (Sitaniapessy 2002). Beberapa karakteristik pulau-pulau kecil yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan adalah (Sitaniapessy 2002): 1) rentan terhadap pemanasan global yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut, sehingga luas daratan makin berkurang, 2) mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang cukup luas, sehingga wilayah perairan merupakan daya dukung utama pembangunan wilayah, 3) mempunyai sumber daya alam yang terbatas dan umumnya telah mengalami eksploitasi secara berlebihan, 4) peka terhadap bencana alam seperti vulkanisme, gempa bumi dan tsunami, 5) umumnya terisolasi dan jauh dari pasar utama, 6) terbuka untuk sistem ekonomi skala kecil, namun sangat peka terhadap kejutan pasar dari luar dalam skala yang lebih besar, 7) mempunyai laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan menyebar tidak merata dengan kepadatan tinggi, 8) mempunyai Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
infrastruktur yang terbatas, dan 9) pendidikan dan keterampilan penduduknya terbatas serta kepercayaan terhadap halhal mistis cukup kuat. Pembangunan pertanian di wilayah yang didominasi oleh pulau-pulau kecil harus didasarkan pada karakter masingmasing wilayah, dengan mempertimbangkan hal-hal seperti tersebut di atas. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam merumuskan kebijakan pembangunan pertanian pada wilayah kepulauan adalah (Bustaman 2005; Susanto 2005a): 1. Karena keterbatasan sumber daya lahan sebagai basis pembangunan, diperlukan tata ruang secara rinci (pemetaan skala detail sampai sangat detail) disertai perangkat hukumnya. Hal ini selain untuk menjamin produktivitas lahan, juga untuk menghindari alih fungsi lahan dan erosi serta hilangnya kesuburan tanah. 2. Sistem usaha tani suatu komoditas pada wilayah yang telah diatur sedemikian rupa harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi, karena tanah pulau-pulau kecil di Maluku umumnya memiliki kesuburan rendah, topografi tidak teratur (berbukit dan bergunung dengan dataran sempit), struktur geologis kurang stabil, dan curah hujan tinggi. Dengan kondisi seperti itu, jika dilakukan pembukaan lahan dalam skala besar akan makin mendorong erosi tanah dan degradasi lahan. 3. Keterbatasan sumber air, baik untuk air bersih penduduk maupun air irigasi, menyebabkan perkembangan sistem usaha tani terhambat. Walaupun umumnya curah hujan tinggi, namun karena tidak beraturan serta kemampuan menyimpan air tanah kecil akibat dominannya batuan yang bersifat porous, serta banyaknya DAS kecil yang langsung bermuara ke laut, jumlah air tanah yang dapat dimanfaatkan penduduk sedikit. Teknologi pembuatan embung merupakan salah satu solusi untuk mengatasi hal ini. 4. Penebangan hutan yang tidak terkontrol untuk berbagai kepentingan mengakibatkan debit air menurun, longsor, banjir, dan sangat sulit atau mahal untuk direboisasi (kasus di Pulau Buru, Selaru, Wokam, Yamdena, dan sebagian Seram). 5. Kemampuan dan keterampilan penduduk lokal perlu ditingkatkan, disertai penerapan teknologi spesifik Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
lokasi untuk memanfaatkan sumber daya tanpa meninggalkan budaya yang ada.
PENDEKATAN PEMBANGUNAN WILAYAH KEPULAUAN Pendekatan pembangunan wilayah kepulauan yang diterapkan Pemerintah Provinsi Maluku untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi pada pulau-pulau kecil adalah konsep ‘satuan gugus pulau’, ‘kawasan laut pulau’, dan ‘multigate system’ (Ralahalu 2005). Untuk mengembangkan sistem perekonomian pada masing-masing gugus pulau, dikembangkan beberapa wilayah yang berfungsi sebagai ‘pintu-pintu keluar’. Wilayah tempat pintu keluar tersebut berada, diupayakan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, sekaligus pusat pelayanan publik, pusat perdagangan, serta lalu lintas barang dan jasa. Pintu-pintu keluar tersebut dapat terbentuk dengan sendirinya (karena dukungan sumber daya alam dan sumber daya manusia), atau diciptakan oleh Pemerintah dengan membangun pusat-pusat perdagangan, perindustrian, dan sentra-sentra produksi baru. Pintupintu keluar tersebut berada pada kawasan yang strategis dan mempunyai potensi besar untuk menjalin keterkaitan ekonomi dengan wilayah luarnya. Dengan konsep gugus pulau ini, wilayah lautan bukan dipandang sebagai pemisah, namun justru sebagai pemersatu yang mempunyai nilai ekonomi strategis. Berdasarkan konsep ini, Provinsi Maluku yang pada awalnya dibagi dalam enam gugus pulau, telah menjadi 12 gugus pulau (Titaley 2006), yaitu: 1) Gugus Pulau I, meliputi Pulau Buru dan Ambalau, 2) Gugus Pulau II, meliputi Pulau Seram bagian barat, Buano, Kelang, Babi dan Manipa, 3) Gugus Pulau III, meliputi Kecamatan Seram Utara, termasuk pulaupulau kecil yang terletak di pesisir utara Pulau Seram mulai dari Tanjung Namaa sampai Tanjung Hewal, 4) Gugus Pulau IV, meliputi Seram bagian timur, Pulau Parang, Geser, Talang, Seram Laut, Kepulauan Gorom (Pulau Gorom, Panjang, Manowoka), Kepulauan Watubela (Pulau Watubela, Kesui dan Rumoi), 5) Gugus Pulau V, meliputi Pulau Seram bagian selatan (Amahai, TNS, Tehoru), 6) Gugus Pulau VI, meliputi Kepulauan Banda (Pulau Suanggi, Gunung Api, Neira, Hatta,
Rhun, Ai, Banda Besar), Pulau Teon, Nila dan Serua, 7) Gugus Pulau VII, meliputi Pulau Lease (Ambon, Saparua, Nusalaut, Haruku, Molana), Kepulauan Penyu dan Lucipara, 8) Gugus Pulau VIII, meliputi pulau-pulau kecil yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara, 9) Gugus Pulau IX, meliputi pulau-pulau yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kepulauan Am, 10) Gugus Pulau X, meliputi Kepulauan Tanimbar, Larat, Selaru, Sera, Wliaru, Molu, 11) Gugus Pulau XI, meliputi Kepulauan Babar dan Pulau Sermata, serta 12) Gugus Pulau XII, meliputi Kepulauan Damar, Romang, Leti, Moa, Lakor, Kisar, Wetar, Liran, dan Reong.
STATUS DATA SUMBER DAYA LAHAN DI MALUKU Data spasial potensi sumber daya lahan yang tersedia di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bervariasi dalam skala peta, luas, dan cakupan wilayah yang telah disurvei dan dipetakan (Suryana et al. 2005). Secara hierarkis, data spasial potensi sumber daya lahan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) tingkat eksplorasi, berguna untuk perencanaan pertanian di tingkat nasional, 2) tingkat tinjau dan tinjau mendalam, dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pertanian di tingkat provinsi, dan 3) tingkat semidetail dan detail, dapat digunakan untuk perencanaan pertanian di tingkat kabupaten dan kecamatan. Di Maluku, umumnya data spasial sumber daya lahan masih pada tingkat eksplorasi sampai tinjau mendalam, sedangkan tingkat semidetail masih sangat terbatas pada beberapa lokasi.
Peta Tingkat Eksplorasi Pada tingkat eksplorasi (1: 1.000.000), data spasial pembangunan pertanian wilayah Maluku dan seluruh provinsi di Indonesia, telah dibakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian dalam bentuk tiga buah atlas, yaitu 1) Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia, 2) Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia, dan 3) Atlas Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional. Atlas ini merupakan hasil kompilasi data yang tersedia pada berbagai skala peta, yaitu peta sumber daya tanah, peta arahan tata ruang pertanian 43
nasional, peta zona agroklimat, peta penggunaan lainnya, dan informasi jenis komoditas unggulan untuk seluruh wilayah Indonesia. Peta ini bermanfaat sebagai dasar pertimbangan dalam perencanaan pengembangan komoditas pertanian di tingkat nasional (Suryana et al. 2005).
Peta Tingkat Tinjau Data spasial yang tersedia dalam skala tinjau di Maluku antara lain adalah data dan informasi tentang sumber daya iklim, sumber daya tanah sintetik, dan hasil analisis data sumber daya lahan dalam bentuk peta zona agroekologi.
Sumber daya iklim Wilayah Maluku dibedakan menjadi tiga tipe iklim berdasarkan klasifikasi Koppen, yaitu tipe Am, Af, dan Aw (Leimeheriwa et al. 2002). Tipe iklim Am dijumpai pada daerah-daerah yang mempunyai curah hujan (CH) tahunan > 2.000 mm dan hanya terdapat satu atau dua bulan kering (CH < 60 mm), seperti di daerah Kei Besar dan Romang. Tipe iklim Aw dijumpai di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Buru Utara, sedangkan daerah lainnya didominasi oleh tipe iklim Af. Selanjutnya berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, di Maluku terdapat 11 tipe agroklimat yaitu Bl, B2, Cl, C2, C3, Dl, D2, D3, E2, E3, dan E4, sedangkan berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson dijumpai lima tipe iklim yaitu A, B, C, D, dan E (Tabel 1). Keragaman tipe iklim dan periode tumbuh antardaerah di Maluku mengindikasikan bahwa gugus pulau di wilayah ini berpotensi besar untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian.
Sumber daya tanah Data atau informasi sumber daya tanah dan iklim merupakan salah satu komponen penting dalam menunjang pembangunan pertanian suatu wilayah, khususnya dalam menyusun perencanaan pengembangan wilayah melalui pemilihan daerah-daerah yang berpotensi. Untuk mengetahui daerah-daerah yang berpotensi tersebut diperlukan data sumber daya tanah secara optimal, seimbang, dan berkelanjutan (Wahyunto et al. 1994). 44
Satuan tanah yang terdapat di Provinsi Maluku pada tingkat ordo adalah Entisols, Inceptisols, Alfisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisols, dan Vertisols dengan luas 46.319 km2 (Susanto 2005b). Inceptisols merupakan tanah yang dominan (47,71%) di Maluku (Tabel 2). Entisols adalah tanah-tanah yang belum menunjukkan adanya perkembangan (horison AC) dengan sifat sangat bervariasi (Soil Survey Staff 1998). Tanah umumnya berkembang dari bahan aluvium muda di dataran pantai atau jalur aliran air yang merupakan bahan endapan muda dengan stratifikasi lapisan dari bahan yang diendapkan sangat jelas (Ustifluvents). Di daerah berbatu, solum tanah sangat dangkal dan umumnya mempunyai kedalaman efektif 25 cm (Ustorthents). Berdasarkan fisiografinya, Entisols dijumpai di semua satuan fisiografi dari bahan aluvium, volkan ataupun nonvolkan. Warna tanah kelabu sampai kelabu kekuningan, tekstur halus sampai kasar, drainase terhambat sampai sangat terhambat, sifat tanah jelek, reaksi tanah masam, dan ketersediaan unsur hara relatif rendah. Faktor pembatas utama adalah drainase dan media perakaran terbatas. Tanah ini cukup berpotensi untuk tanaman pangan lahan basah dan sesuai marginal untuk tanaman pangan lahan kering dengan perbaikan drainase (Wahyunto et al. 1994). Inceptisols merupakan tanah yang telah mengalami perkembangan horison ABwC, yang dicirikan oleh horison kambik (Soil Survey Staff 1998). Tanah ini berkembang dari berbagai macam bahan induk dan fisiografi yang berbeda. Oleh karena itu, sifat-sifat tanah ini sangat bervariasi. Penyebarannya cukup luas, mulai dari dataran pantai sampai pegunungan. Misalnya di dataran tinggi dikenal Ustropepts, yaitu Inceptisols dengan rejim kelembapan udik, atau Eutropepts yaitu Inceptisols dengan rejim kelembapan udik dan kejenuhan basa tinggi, atau Humitropepts yaitu Inceptisols dengan kandungan bahan organik tinggi di daerah humid. Solum tanah tergolong dalam sampai agak dangkal, warna tanah hitam kecoklatan, coklat sampai coklat kekuningan, dan kelabu sampai coklat kekelabuan, tekstur halus sampai sedang, drainase baik sampai terhambat, reaksi tanah masam sampai netral, dan tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi. Tanah ini cukup berpotensi untuk pertanian. Alfisols adalah tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut
dengan susunan horison ABtC, dicirikan oleh terbentuknya horison argilik, kandik atau natrik sebagai hasil proses pencucian liat (iluviasi) dan kejenuhan basa cukup tinggi (>35%) (Soil Survey Staff 1998). Kedalaman solum tanah tergolong sedang sampai dalam, tekstur agak halus sampai halus, reaksi tanah agak masam sampai netral, kandungan bahan organik tanah rendah, serta fosfor, kalium, kejenuhan basa, dan cadangan mineral termasuk tinggi. Mollisols adalah tanah-tanah yang dicirikan oleh kandungan bahan organik cukup tinggi di lapisan atas dan atau lapisan bawah dengan horison penciri epipedon molik yang berwarna coklat tua sampai hitam dan kejenuhan basa tinggi (> 50%) (Soil Survey Staff 1998). Tanah ini umumnya berkembang dari bahan sedimen berkapur atau batu gamping dan penyebarannya terutama di dataran atau perbukitan karst. Solum tanah bervariasi dari dangkal sampai sedang, warna tanah hitam sampai coklat kemerahan, tekstur halus sering bercampur bahan kasar (kerikil), drainase baik, reaksi tanah netral sampai alkalis, dan kesuburan tanah umumnya sedang. Tanah ini berpotensi untuk pertanian lahan kering. Oxisols merupakan tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan sangat lanjut sebagai hasil pelapukan yang berlangsung lama dan intensif, mempunyai rejim kelembapan udik, dan terbentuk dari bahan plutonik masam. Potensi tanah ini tergolong sangat rendah sampai rendah, dan kapasitas tukar kationnya sangat rendah. Tingkat pelapukan tanah sedemikian lanjut sehingga muatan tanah didominasi oleh muatan positif, sehingga pemberian pupuk anorganik tidak efisien karena adanya proses pencucian yang tinggi. Pengelolaan tanah ini terutama dengan penggunaan bahan organik. Ultisols adalah tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut, dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada lapisan bawah yang disebut sebagai horison argilik, dengan kejenuhan basa kurang dari 35% (Soil Survey Staff 1998). Tanah ini terbentuk dari batuan sedimen, metamorfik, dan bahan volkanik. Penyebarannya terutama pada fisiografi perbukitan dan pegunungan dengan bentuk wilayah bergelombang sampai bergunung. Solum tanah dalam, tekstur halus, drainase baik, dan reaksi tanah masam. Potensi tanah ini selain ditentukan oleh tingkat kesuburan yang tergolong Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
45
Wahai Manusela
Geser Bula Werinama
Amahai Waipia Tehoru
Banda
Laha Amboina Soya Hila Saparua
Tual Elat
Dobo
Larat Saumlaki
Tepa
Serwarn 3 Moa 300 Wonreli 15 Ilwaki 5 Romang (Hila) 300
Seram bagian utara
Seram bagian timur
Seram bagian selatan
Kepulauan Banda
PP Lease
Pulau Kei, Maluku Tenggara
PP Aru
Kepulauan Tanimbar
PP Babar
PP Terselatan
1.329 1.636 1.102 991 2.518
1.581
1.938 1.952
2.399
2.484 2.532
3.499 3.460 3.521 2.299 3.639
2.532
2.768 2.103 4.112
1.961 2.128 2.728
2.171 2.827
2.677 1.729 2.969 2.340 2.996
27,2 27,1 27,3 27,2 26,8
27,1
26,7 26,8
26,7
26,8 26,6
26,2 26,4 26,2 26,3 26,1
26
26 26 26,2
26,6 26,5 26,3
26,4 20,2
26,1 26,1 23,1 26,1 21,8
26,5 26,5 26,4
Suhu (oC)
1.786 1.742 1.789 1.780 1.679
1.754
1.710 1.714
1.728
1.765 1.629
1.519 1.525 1.520 1.571 1.525
1.513
1.474 1.474 1.496
1.601 1.543 1.508
1.575 813
1.490 1.501 1.140 1.490 994
1.562 1.599 1.539
ETP (mm)
E3 E2 E3 E4 DI
D3
C3 C3
B2
C3 B2
CI CI CI Cl Cl
BI
CI DI BI
D2 CI BI
C2 BI
CI D2 BI CI BI
D2 E3 CI
OD
Aw Aw Aw Aw Am
Aw
Aw Aw
Af
Af Am
Af Af Af Af Af
Af
Af Af Af
Af Af Af
Af Af
Af Af Af Af Af
Aw Aw Af
KP
D C D E B
C
C C
A
B A
A A A A A
A
A A A
B A A
B A
A B A A A
B C A
SC & FG
Tipe/kelas iklim
Jun−Nov Jul−Nov Jul−Nov Jul− Mar Berfluktuasi
Mei−Nov
Jun−Nov Jun−Nov
Jul−Nov
Jun−Nov Ags−Nov
Okt−Mar Okt−Mar Okt−Mar Sep−Feb Okt−Mar
Ags−Nov
Okt−Mar Berfluktuasi Okt−Mar
Ags−Des Ags−Des Okt−Mar
Jul−Nov Ags−Okt
Ags−Nov Okt−Mar Sep−Des Jun−Nov Jul−Sep
Jul−Nov Mei−Nov Okt−Mar
Periode musim kemarau
Des−Mei Des−Jun Des−Jun Apr−Jun Berfluktuasi
Des−Apr
Des−Mei Des−Mei
Des−Jun
Des−Mei Des−Jul
Apr−Sep Apr−Sep Apr−Sep Mar−Ags Apr−Sep
Des−Jul
Apr−Sep Berfluktuasi Apr−Sep
Jan−Jul Jan−Jul Apr−Sep
Des−Jun Nov−Jul
Des−Jul Apr−Sep Jan−Ags Des−Mei Okt−Jun
Des−Jun Des−Apr Apr−Sep
Periode musim hujan
Jul Jul Jul Jul Jul
Apr, Apr, Apr, Apr, Mei,
Mei Des Mei Mei Des
Des, Jan
Jan, Feb Jan, Feb
Jan, Feb
Jan, Feb Jan, Feb
Jun, Jun, Jun, Jun, Jun,
Mei, Jun
Jul, Ags Mei, Des Jun, Jul
Mei, Jun Mei, Jun Jun, Jul
Mar, Apr Apr, Mei
Jan, Feb Jun, Jul Jun, Jul Jan, Feb Apr, Mei
Mar, Jun Jan, Feb Jun, Jul
Puncak curah hujan
6 (Des−Mei) 8 (Des−Jul) 4 (Mar−Jun) 3 (Apr−Jun) 10 (Nov−Ags)
7 (Nov−Mei)
7 (Des−Jun) 7 (Des−Jun)
7 (Nov−Mei)
9 (Nov−Jul) 9 (Nov−Jul)
8 (Mar−Okt) 9 (Feb−Okt) 10 (Feb−Nov) 8 (Feb−Sep) 10 (Feb−Nov)
10 (Nov−Ags)
9 (Feb−Okt) II (Nov−Sep) 12 (Nov−Okt)
9 (Nov−Jul) 9 (Nov−Jul) 12 (Nov−Okt)
8 (Nov−Jun) 12 (Sep−Ags)
6 (Mar−Sep) 6 (Mar−Sep) 12 (Nov−Okt) 8 (Nov−Jun) 12 (Sep−Ags)
9 (Des−Ags) 5 (Des−Ags) 10 (Des−Sep)
Panjang periode pertumbuhan (bulan)1
ETP = evapotranspirasi potensial tahunan, OD = Oldeman, KP = Koppen, SC & FG = Schmidt dan Ferguson; nd = data untuk lokasi tersebut tidak tersedia (diperoleh dari peta ISOHYET Pulau Buru), 1 Periode musim tanam tersedia/periode hujan efektif ditentukan berdasarkan metode Reddy (1993) menggunakan curah hujan paling berpeluang 75% untuk dilampaui dan evapotranspirasi potensial. Sumber: Sitaniapessy (2002), data diolah kembali.
2
19 5
< 20
< 20 < 20
< 20 1 170 < 20 75
< 20
< 20 < 20 < 20
3 < 20 < 20
< 20 1.000
7 10 480 < 20 700
Piru Kairatu Hunitetu Taniwel Riring
1.871 1.348 2.914
− < 20 6
Seram bagian barat
Curah hujan (mm/tahun)
Ketinggian (m dpl)
nd Namlea Tifu
Lokasi stasiun
Buru
Gugus pulau (wilayah)
Tabel 1. Agroklimat wilayah Maluku berdasarkan gugus pulau.
Tabel 2. Luas tanah di Provinsi Maluku pada tingkat ordo. Luas (km2)
Gugus pulau (wilayah) I-VII (Seram, Geser, Gorom, Buru, Ambalaw, Banda) VIII (Kepulauan Kei, Pulau Kesui) IX (Kepulauan Aru) X (Kepulauan Tanimbar, Selaru, Sera, Wilaru, Molu) XI (Kepulauan Babar, Serwaru) XII (Kepulauan Damar, Romang, Lemola, Kisar, Wetar) Jumlah Persen
Entisols
Inceptisols
3.722 18 1.327
16.118 423 2.271
433 26
Alfisols
Mollisols
Oxisols
Spodosols
Ultisols
Vertisols
651 110 607
2.421 726 3.268
45 − 213
1.166 2 167
2.361 − 395
− − −
1.836 36
2.132 826
1.234 67
− 6
− −
− −
− −
102
1.417
506
258
−
−
1.426
3
5.628 12,15
22.101 47,71
4.832 10,44
7.974 17,21
264 0,57
1.335 2,88
4.182 9,03
3 0,01
− = tidak ada. Sumber: Susanto (2005b) disederhanakan.
rendah sampai sangat rendah, juga faktor bentuk wilayah yang bergelombang sampai bergunung, sehingga potensinya lebih sesuai untuk tanaman tahunan. Vertisols adalah tanah-tanah yang telah mempunyai perkembangan profil, yang dicirikan oleh terbentuknya bidang kilir (slickenside) di lapisan bawah, kandungan liat cukup tinggi (> 30%), dan terdapat rekahan-rekahan di permukaan tanah selebar > 1 cm dan dalam > 50 cm pada musim kemarau (Soil Survey Staff 1998). Tanah ini terbentuk dari bahan aluvium yang kaya akan basa-basa dan batuan sedimen pada fisiografi dataran aluvial dan dataran. Umumnya solum tanah dalam, warna tanah kelabu, tekstur halus, reaksi tanah netral sampai basa, dan kandungan bahan organik rendah. Potensi tanah tergolong cukup baik untuk tanaman semusim (padi dan palawija). Faktor pembatas utama adalah sifat mengembang dan mengkerut sehingga terjadi rekahan yang cukup dalam dan lebar terutama pada musim kemarau panjang.
Analisis sumber daya lahan Untuk meningkatkan nilai guna dari data tanah dan iklim, diperlukan suatu analisis untuk menilai kesesuaian syarat tumbuh suatu komoditas dengan daya dukung lahan (tanah, iklim, dan landform). Pendekatan zona agroekologi merupakan salah satu model untuk menganalisis sumber daya lahan, berupa pemilahan suatu wilayah pengembangan pertanian 46
menjadi unit-unit yang lebih kecil dan memiliki karakteristik yang relatif homogen, sehingga rekomendasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi pertanian wilayah tersebut. Pendekatan ini telah mempertimbangkan kelayakannya, baik secara biofisik (iklim, tanah, dan landform), ekonomi, maupun sosial masyarakat. Dalam analisis ini, suatu wilayah dibagi ke dalam beberapa sistem yaitu kehutanan, perkebunan, wanatani, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, padang penggembalaan, hutan pantai, dan perikanan dengan memanfaatkan lahan pasang surut. Penentuan potensi lahan untuk pengembangan pertanian di Provinsi Maluku telah dilakukan oleh BPTP Maluku. Penilaian kesesuaian lahan menggunakan beberapa karakteristik lahan seperti tanah, bahan induk, fisiografi, bentuk wilayah, iklim, dan ketinggian tempat. Lahan dengan karakteristik yang seragam kemudian didelineasi berdasarkan kriteria zona agroekologi untuk menghasilkan batas satuan unit lahan, yang selanjutnya dijadikan dasar dalam membuat arahan penggunaan lahan. Kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian didasarkan pada kecocokan karakteristik biofisik lahan dengan sejumlah komoditas pertanian. Berdasarkan peta zona agroekologi (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku 1999), arahan penggunaan lahan atau tata ruang pembangunan pertanian di Maluku dibagi menjadi delapan kawasan, yaitu: 1) kawasan kehutanan (penggabungan zona I ax, I bx, lay, dan I by), 2)
kawasan perkebunan, (penggabungan zona II ax, II bx, II ay, 11 by, II ax.i, dan II ay.i), 3) kawasan wanatani (penggabungan zona III ax, III ay, III ax.i, dan III ay.i), 4) kawasan tanaman pangan lahan kering (zona IV ax, IV bx, IVay, IV by, IV ax.i, IV ay.i), 5) kawasan tanaman pangan lahan basah (zona IV az, dan IV az.i), 6) kawasan tanaman pangan lahan basah atau padang penggembalaan (zona V.az), 7) kawasan perikanan tambak (zona VI az), dan 8) kawasan hutan pantai (zona VII). Berdasarkan pengelompokan ini, daratan Maluku dengan luas 4.625.415,20 ha dibagi ke dalam delapan bagian penggunaan lahan, yaitu kehutanan 2.274.491,80 ha, perkebunan 1.263.575,50 ha, wanatani 129.136,90 ha, tanaman pangan lahan kering 718.465,70 ha, tanaman pangan lahan basah 55.611,70 ha, padang penggembalaan 1.508,60 ha, perikanan tambak 146.419,60 ha, dan hutan pantai 36.205,40 ha. Sebaran masing-masing penggunaan lahan dan luasnya di seluruh kabupaten/ kota di Provinsi Maluku disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering masih terbuka luas di Kabupaten Kepulauan Aru, Seram bagian timur, dan Maluku Tengah. Lahan kering yang dimaksudkan di sini adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani 2002). Pengembangan tanaman pangan lahan basah masih terbuka luas di Buru, Seram bagian timur, dan Maluku Tengah, Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Tabel 3. Arahan penggunaan lahan dan luasnya berdasarkan zona agroekologi untuk seluruh kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Luas (ha) Penggunaan lahan
Maluku Tenggara Barat
Maluku Tenggara
Maluku Tengah
Buru
Seram bagian barat
Seram bagian timur
Kepulauan Aru
Ambon
Kehutanan Perkebunan Wanatani Tanaman pangan lahan kering Tanaman pangan lahan basah Padang penggembalaan Perikanan tambak Hutan pantai
356.701,4 339.199,4 116.243,1 68.034,3
60.516,3 61.906,9 − 5.161,8
457.171 165.847 − 113.420
749.205,6 34.923,4 − 19.459
365.983,2 97.052,6 976,2 42.399,3
169.709,3 332.328,5 603,4 118.570,2
86.742 232.317,7 11.314,2 349.985,1
28.463 − − 1.436
40.040,2
1.162
8.749,5
−
−
55.611,7
1.508,6
−
1.508,6 146.419,6 36.205,4
Jumlah
271
−
5.389
−
−
−
20.890,7 −
1.172, 1 −
2.929 −
12.429,8 −
834,7 −
10.107,1 −
98.056,2 36.205,4
− −
901.339,9
128.757,1
744.756
856.058
508.408
640.068
816.129,2
29.899
−
−
−
Jumlah
2.274.491,8 1.263.575,5 129.136,9 718.465,7
4.625.415,2
Sumber: Bustaman dan Susanto (2003b; 2003c); Susanto dan Bustaman (2003a; 2003b; 2003c).
sedangkan pengembangan perkebunan berpeluang besar di Maluku Tenggara Barat, Seram bagian timur, Kepulauan Aru, dan Maluku Tengah. Dengan membandingkan luas potensi lahan pada peta ZAE dan luas aktual pemanfaatan lahan dari data BPS, di Provinsi Maluku masih tersedia areal yang cukup luas untuk ekstensifikasi areal pertanian. Potensi lahan untuk usaha tani tanaman pangan, sayuran, dan buahbuahan berdasarkan data BPS tahun 2004 mencapai 41.012 ha, sementara potensinya 775.586 ha, sehingga tersedia areal ekstensifikasi 734.574 ha. Untuk usaha perkebunan terdapat areal potensial 1.392.712,40 ha, sedangkan lahan fungsional berdasarkan data BPS tahun 2004 baru mencapai 157.533 ha, atau tersedia areal pengembangan 1.235.179,40 ha.
Peta Tingkat Semidetail sampai Tinjau Mendalam Peta dalam skala semidetail sampai tinjau mendalam (1:50.000−1: 100.000) yang disusun BPTP Maluku hingga saat ini hanya mencakup lima lokasi, yaitu dataran Waeapo, Kairatu dan Kamariang, serta Pulau Wokam dan Pulau Selaru. Dalam pemetaan tersebut, selain dihasilkan pangkalan data sumber daya iklim dan tanah, juga diperoleh peta arahan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Penyebaran masing-masing tanah secara tunggal atau berkelompok ditampilkan dalam bentuk Satuan Peta Tanah (SPT). Untuk menyatakan luas masingmasing jenis tanah dalam satu SPT dilakukan secara kualitatif berdasarkan proporsinya, yaitu P = sangat dominan (> 75%), D = dominan (50−75%), F = cukup (25−50%), M = sedikit (10−25%), dan T = sangat sedikit (< 10%).
Dataran Waeapo Dataran Waeapo merupakan sentra produksi tanaman pangan di Kabupaten Buru dengan komoditas utama padi sawah. Pemetaan pada wilayah ini dilakukan pada tahun 2000 (Hidayat et al. 2000). Menurut Koppen, wilayah ini termasuk tipe iklim Awa, sedangkan menurut Oldeman et al. (1980) terbagi ke dalam dua zona agroklimat yaitu E3 dan B1. Namun berdasarkan perhitungan rasio nilai Q, yaitu jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) dibagi rata-rata bulan basah (> 100 mm) dikali 100%, wilayah ini menurut Schmidt dan Ferguson (1951) terbagi dalam dua tipe iklim yaitu A dan C. Tanah di dataran Waeapo didominasi oleh tanah-tanah sedang berkembang (Inceptisols) dan tanah-tanah muda (Entisols). Terdapat lima ordo tanah di lokasi tersebut, yaitu: 1) Inceptisols, 15.625 ha (61,50%), yang menurunkan enam subgrup tanah yaitu Typic Epia-
quepts, Fluvaquentic Endoaquepts, Typic Endoaquepts, Typic Eutrudepts, Lithic Dystrudepts, dan Oxic Dystrudepts, 2) Entisols, 5.264 ha (20,70%), yang menurunkan lima subgrup tanah yaitu Typic Udipsamments, Sulfic Fluvaquents, Typic Fluvaquents, Aquic Udifluvents, dan Typic Sulfaquents, 3) Histosols, 1.953 ha (7,70%), yang menurunkan enam subgrup tanah yaitu Typic Haplofibrists, Terric Sulfisaprists, Typic Sulfisaprists, Typic Sulfihemists, Terric Haplohemists, dan Typic Haplohemists, 4) Ultisols, 1.914 ha (7,50%), yang menurunkan tiga subgrup tanah yaitu Arenic Hapludults, Typic Hapludults, dan Typic Kandiudults, dan 5) Alfisols, 644 ha (2,50%), yang menurunkan satu subgrup yaitu Aquultic Hapludalfs (Sirappa et al. 2005a). Menurut Susanto (2005c), pengelolaan hara di dataran Waeapo harus didasarkan pada status kesuburan tanah. Tanah di dataran Waeapo sebagian besar termasuk dalam kelas kesuburan sangat rendah, meliputi 17.145 ha (67,50%), dengan faktor pembatas: 1) kapasitas tukar kation (KTK) dan C organik rendah sampai sangat rendah, 2) KTK, C organik dan K rendah sampai sangat rendah, 3) KTK, C organik dan P rendah sampai sangat rendah, dan 4) KTK, kejenuhan basa (KB), C organik, K, P rendah sampai sangat rendah. Tanah dengan status kesuburan rendah meliputi 5.182 ha (20,40%), dengan faktor pembatas KTK dan C organik tanah rendah, sedangkan yang berstatus ke47
suburan sedang mencakup 1.549 ha (6,10%) dengan faktor pembatas KTK tanah rendah, dan yang tergolong berstatus kesuburan tinggi (tanpa faktor pembatas) sekitar 1.524 ha (6%). Penilaian kelas kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman pangan lahan basah (padi sawah), tanaman pangan lahan kering (padi gogo, jagung, ubi kayu, kedelai, kacang tanah), sayuran (kacang panjang, tomat, cabai) dan perkebunan (kelapa) di dataran Waeapo dilaporkan oleh Susanto et al. (2005) seperti pada Tabel 4. Kelas kesesuaian lahan umumnya termasuk agak sesuai (51%), tidak sesuai (36%), dan sesuai (13%) dengan faktor pembatas retensi hara, media perakaran, bahaya banjir, ketersediaan oksigen, bahan sulfidik, ketersediaan air, dan bahaya erosi. Faktor pembatas tersebut sebagian dapat diatasi untuk menaikkan kelas kesesuaian lahan walaupun mungkin dengan input tinggi. Namun, sebagian di antaranya sangat sulit diatasi seperti media perakaran yang dangkal. Lahan yang tergolong tidak sesuai dengan faktor pembatas media perakaran yang dangkal sebaiknya digunakan untuk hutan lindung, sedangkan yang dapat diatasi, walaupun dengan input tinggi, untuk perkebunan. Upaya untuk mengatasi
faktor pembatas tersebut antara lain meliputi pemberian bahan organik dan pupuk, pengelolaan tanah, serta pengelolaan air dan drainase.
Dataran Kairatu dan Kamariang Di Maluku, sentra produksi padi sawah dan sayuran terdapat di Kairatu, sedangkan ubi kayu, ubi jalar, keladi, dan kelapa di Kamariang. Pemetaan wilayah ini dilakukan pada tahun 1999 (Hidayat et al. 1999), namun belum tuntas karena konflik sosial yang melanda wilayah itu. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, wilayah ini termasuk iklim Afa, yaitu daerah yang mempunyai suhu udara rata-rata bulan terdingin > 18° C dan bulan terpanas > 22° C. Jumlah curah hujan 2.027−2.863 mm/tahun dengan bulan basah (> 200 mm/ bulan) 4−6 bulan yang terjadi pada bulan Mei−Agustus dan bulan kering (< 100 mm) 2−3 bulan pada bulan Oktober−November dan Januari−Februari. Berdasarkan peta agroklimat Oldeman et al. (1980), dataran Kairatu dan Kamariang memiliki tipe iklim B 1 dan C 1. Hasil analisis data sementara menunjukkan, lahan yang berpotensi tinggi untuk pengembangan padi sawah di
wilayah ini mencapai 2.860 ha (26,30%), berpotensi sedang 245 ha (2,26%), berpotensi rendah 1.315 ha (12,14%), dan yang tidak berpotensi 6.415 ha (59,21%). Untuk pengembangan padi gogo dan palawija, lahan yang berpotensi tinggi mencapai 3.425 ha (31,61%), berpotensi sedang 5.435 ha (50,16%), berpotensi rendah 135 ha (1,25%), dan tidak berpotensi 1.840 ha (16,98%).
Pulau Wokam Pulau Wokam merupakan wilayah pengembangan pertanian yang sangat potensial di Kepulauan Aru. Areal dengan luas 139.000 ha telah dipetakan oleh BPTP Maluku pada tahun 2003 (Susanto et al. 2003). Menurut klasifikasi Koppen, iklim di wilayah ini termasuk dalam tipe Afa, sedangkan menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim B. Berdasarkan Oldeman Pulau Wokam termasuk dalam zona iklim C2 dengan bulan basah 5−6 bulan dan bulan kering 2−3 bulan. Tanah-tanah di Pulau Wokam diklasifikasikan dalam empat ordo, yaitu: 1) Entisols, yang menurunkan dua subgrup yaitu Lithic Udorthents dan Typic Udip-
Tabel 4. Kelas kesesuaian lahan untuk pertanian beserta faktor pembatasnya di dataran Waeapo, Pulau Buru. Lua lahan (ha) Sesuai
Agak sesuai
Tidak sesuai
Jumlah (ha)
Tanaman pangan lahan basah (padi sawah)
5.029
10.974
9.397
25.400
Retensi hara, bahaya banjir, media perakaran, bahan sulfidik, ketersediaan air
Pemberian bahan organik dan hara, pengelolaan air dan drainase pengelolaan tanah
Tanaman pangan lahan kering (padi gogo, jagung, ubi kayu, kedelai, kacang tanah)
3.149
13.031
9.220
25.400
Retensi hara, bahaya erosi, bahaya banjir, ketersediaan oksigen, bahan sulfidik, media perakaran
Pemberian bahan organik dan pupuk, pengelolaan air dan drainase, pengelolaan tanah
Hortikultura (kacang panjang, tomat, cabai)
3.149
13.031
9.220
25.400
Retensi hara, bahaya erosi, bahaya banjir, ketersediaan oksigen, bahan sulfidik, media perakaran
Pemberian bahan organik dan pupuk, pengelolaan air dan drainase, pengelolaan tanah
Perkebunan (kelapa)
3.149
13.031
9.220
25.400
Retensi hara, media perakaran, bahaya banjir, ketersediaan oksigen, bahan sulfidik, bahaya erosi
Pemberian bahan organik dan pupuk, pengelolaan air dan drainase, pengelolaan tanah
Komoditas
Faktor pembatas
Tindakan perbaikan
Sumber: Susanto et al. (2005).
48
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
samments, 2) Inceptisols, yang menurunkan Typic Halaquepts dan Typic Endoaquepts, 3) Mollisols, yang menurunkan Vertic Hapludolls, Inceptic Hapludolls, Lithic Hapludolls dan Inseptic Haprendolls, dan 4) Alfisols, yang menurunkan Typic Hapludalfs dan Mollic Hapludalfs (Soil Survey Staff 1998). Rincian satuan tanah Pulau Wokam yang meliputi klasifikasi, sifat fisik, sifat kimia, dan status kesuburan tanahnya dilaporkan oleh Susanto et al. (2004a). Sebaran satuan tanah yang teridentifikasi di Pulau Wokam berupa konsosiasi, asosiasi, dan kompleks yang dikelompokan menjadi 10 SPT. Berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah (sawah), tanaman pangan lahan kering (padi gogo, jagung, kacang tanah), umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, keladi, dan gembili), sayuran (kacang panjang, tomat, cabai, dan terung), buah-buahan (jeruk, pepaya, pisang, dan nangka), tanaman tahunan/ perkebunan (kakao, kelapa, kemiri, dan kopi arabika), dan skala prioritas penggunaan lahannya, dapat disusun arahan penggunaan lahan di Pulau Wokam seperti pada Tabel 5.
Pulau Selaru Pulau Selaru merupakan wilayah yang berdasarkan peta ZAE cocok untuk perkebunan. Wilayah ini telah dimekarkan menjadi Kecamatan Selaru dengan ibu kota Adauth, bagian dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Pemetaan wilayah ini telah dilakukan pada tahun 2004 (Susanto et al. 2004b). Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1.000−2.000 mm/tahun, suhu udara tahunan 27,4° C, dan rata-rata bulan kering 4−5 bulan. Musim hujan terjadi pada bulan Desember−Maret, dan kering pada bulan April, kemudian curah hujan meningkat lagi pada bulan Mei− Juni. Musim kemarau terjadi pada Juli− November. Berdasarkan data tersebut maka ketersediaan air merupakan faktor pembatas dalam pemanfaatan lahan di wilayah ini. Tanah-tanah di Pulau Selaru termasuk pada ordo: 1) Entisols, yang menurunkan subgrup Lithic Ustorthents, Typic Udipsamments, Aquic Udipsamments, Typic Udifluvents, dan Typic Hidraquents, 2) Mollisols, yang menurunkan subgrup
Tabel 5. Arahan penggunaan lahan di Pulau Wokam, Kepulauan Aru. Arahan penggunaan lahan
Faktor pembatas
Pertanian lahan basah (padi sawah)
Luas ha
%
Retensi hara: pH agak alkalis, KB sangat tinggi, bahan organik sangat rendah
2.200
1,58
Pertanian lahan kering (pangan, umbi-umbian, sayuran)
Retensi hara: pH agak alkalis, KB sangat tinggi
30.400
21,87
Pertanian lahan kering (pangan, umbiumbian, sayuran)
Media perakaran: tanah dangkal
17.100
12,30
Tanaman tahunan dan buah-buahan
Media perakaran dan bahaya erosi: pH agak alkalis, KB sangat tinggi, sebagian tanah dangkal, bergelombang-berbukit
36.200
26,04
Tanaman tahunan (kelapa dan kakao)
Media perakaran: tekstur kasar
1. 000
0,72
Hutan sempadan pantai/ bakau dan perikanan air payau
Toksisitas: natrium sangat tinggi (pasang-surut)
16.800
12,09
Hutan lindung dan produksi terbatas
Bahaya erosi, media perakaran: relief berbukit, solum tanah dangkal
35.300
25,40
Jumlah Sumber: Susanto et al. (2004a)
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
139.000
100
Typic Haplustolls, Lithic Haplustolls, dan Lithic Haprendolls, dan 3) Alfisols, yang menurunkan subgrup Mollic Hapludalfs (Rieuwpassa et al. 2005). Tanah-tanah di Pulau Selaru dikelompokkan menjadi sembilan SPT. Menurut Sirappa et al. (2005b), lahan di Pulau Selaru sesuai untuk pertanian tanaman pangan lahan kering (padi gogo, jagung, kacang hijau, kacang tanah, umbiumbian), dan tanaman tahunan atau perkebunan (kakao dan kelapa). Arahan penggunaan lahannya disajikan pada Tabel 6.
KOMODITAS UNGGULAN MALUKU Menurut Rachman (2003), komoditas unggulan adalah komoditas yang layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani, baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Suatu komoditas dikatakan layak secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona agroekologinya. Layak secara sosial jika komoditas tersebut memberi peluang berusaha, serta bisa dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Layak secara ekonomi jika komoditas tersebut menguntungkan. Salah satu metode untuk menentukan komoditas unggulan menurut Hendayana (2003) adalah metode Location Quotient (LQ). Metode ini merupakan pendekatan tidak langsung untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau nonbasis. Untuk Provinsi Maluku, menurut Bustaman dan Susanto (2003a), kacangkacangan lain dan umbi-umbian lain unggul dibanding komoditas yang sama di provinsi lain. Untuk komoditas perkebunan, kakao dan cengkih termasuk sebagai komoditas unggulan, sedangkan komoditas hortikultura unggulan adalah sukun, salak, bawang merah, dan bayam, dan untuk peternakan adalah sapi, babi, dan itik. Hasil analisis prioritas pengembangan komoditas unggulan dengan menggunakan metode LQ pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Maluku disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan tabel tersebut, untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat, prioritas pertama pengembangan tanaman pangan adalah kacangkacangan lain dan umbi-umbian lain, 49
Tabel 6. Arahan penggunaan lahan di daerah penelitian Pulau Selaru. Arahan penggunaan lahan
Komoditas utama
Faktor pembatas
Perkebunan kelapa rakyat (kelapa dalam)
Kelapa
Pertanian lahan kering (palawija dan umbiumbian)
Luas ha
%
Temperatur: rata-rata suhu tahunan tinggi, Media perakaran: drainase tanah cepat/sangat cepat, Retensi hara: KTK tanah rendah, pH tanah alkalis, Hara tersedia: Ketersediaan K tanah sangat rendah
1.947
6,04
Jagung, kacang hijau, keladi (yams dan cocovams)
Temperatur: rata-rata suhu tahunan tinggi, Retensi hara: pH tanah agak alkalis sampai alkalis, Tingkat bahaya erosi: rendah sampai sedang
5.299
16,45
Pertanian lahan kering (padi gogo dan umbiumbian)
Padi gogo, keladi (yams dan cocoyams)
Temperatur: rata-rata suhu tahunan tinggi, Media perakaran: drainase tanah sedang untuk padi gogo, Retensi hara: pH tanah alkalis
8.982
27,88
Pertanian lahan kering (palawija)
Kacang tanah dan kacang hijau
Media perakaran: sebagian tanah dangkal, tekstur agak berat untuk kacang tanah, Retensi hara: pH tanah rata-rata agak alkalis, Terrain: lereng berombak, ada batuan di permukaan tanah dan singkapan batuan, Tingkat bahaya erosi: rendah
14.031
43,55
Hutan sempadan pantai/sungai, bakau dan perikanan air payau
Mangrove, kepiting, bandeng, udang
Media perakaran: drainase sangat terhambat
1.958
6,08
Jumlah
32.217
100
Sumber: Sirappa et al. (2005b).
disusul padi ladang dan kacang hijau, serta jagung dan kacang tanah. Untuk komoditas perkebunan, prioritas pertama adalah kakao, disusul kelapa dan jambu mete, serta kapuk. Untuk tanaman buah-buahan, prioritas pertama adalah pisang, disusul nenas dan jambu serta jeruk dan pepaya. Untuk sayuran, prioritas pertama adalah lobak, disusul terung, dan kacang panjang. Demikian seterusnya untuk kabupaten/kota lainnya di Provinsi Maluku.
ARAH PEMBANGUNAN PERTANIAN KE DEPAN Peta potensi lahan untuk pengembangan komoditas pertanian Indonesia menginformasikan kesesuaian lahan untuk 13 komoditas, yaitu padi sawah, padi gogo, kedelai, jagung, bawang merah, jeruk, pisang, tebu, kelapa, kelapa sawit, kakao, karet, dan cengkih. Berdasarkan peta tersebut, lahan yang sesuai untuk 13 komoditas unggulan nasional meliputi 62,60 juta ha atau 62% dari total lahan yang sesuai untuk pertanian (100,70 juta ha). Sisanya, sekitar 40 juta ha sesuai untuk komoditas di luar 13 komoditas tersebut. 50
Untuk Provinsi Maluku, teridentifikasi lima komoditas yang secara biofisik dapat dikembangkan, yaitu bawang merah, pisang, kakao, tebu, dan cengkih dengan luas berturut-turut 198.599, 459.127, 325.646, 196.442, dan 259.040 ha (Suryana et al. 2005). Di Provinsi Maluku terdapat lahan basah untuk usaha tani padi sawah dari kelompok nonrawa seluas 312.322 ha, lahan kering untuk tanaman semusim 74.565 ha, dan lahan kering untuk tanaman tahunan 1.258.231 ha. Data ini secara rinci dijabarkan dalam peta ZAE skala 1:250.000 (Tabel 3). Dari sinkronisasi data arahan pengembangan 13 komoditas unggulan nasional dengan komoditas unggulan provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Maluku, terpilih 13 komoditas yang disarankan untuk diprioritaskan pengembangannya, yaitu padi sawah, padi gogo, kedelai, jagung, bawang merah, jeruk, pisang, kelapa, kakao, cengkih, pala, ubi kayu, dan umbi-umbian lainnya. Khusus untuk sagu dimasukkan dalam kelompok komoditas spesifik lokasi dari Maluku, sedangkan vanili sebagai komoditas rintisan yang berpotensi meningkatkan
pendapatan petani. Selain komoditas tersebut di atas, tidak tertutup kemungkinan bagi wilayah kabupaten/kota untuk mengembangkan komoditas yang telah diterima dengan baik oleh masyarakat setempat karena manfaatnya sebagai bahan pangan maupun sumber pendapatan. Pembangunan pertanian pada pulaupulau kecil hendaknya didasarkan pada karakteristik sumber daya lahan dan sosial, budaya serta ekonomi masyarakat agar pembangunan pertanian dapat berkelanjutan.
KESIMPULAN DAN SARAN Masalah utama dalam perencanaan pembangunan pertanian pada pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku adalah keterbatasan data dan informasi. Data dan informasi sumber daya lahan (arahan penggunaan lahan atau kesesuaian lahan) dalam skala detail (1:50.000−1:100.000) sangat diperlukan untuk tujuan operasional pengembangan agribisnis berbagai komoditas. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
51
Ubi jalar
Ubi jalar
Kacang tanah
Kacang hijau
Ubi kayu, ubi jalar
Umbiumbian lain
Ubi jalar
Maluku Tenggara
Maluku Tengah
Buru
Kepulauan Aru
Seram Bagian Barat
Seram Bagian Timur
Ambon
Ubi kayu
Ubi kayu, kacang tanah
Padi sawah
Jagung, kacang tanah, umbi-umbian lain
Padi sawah
Padi sawah
Kacangkacangan lain
Padi ladang, kacang hijau
2
Tanaman pangan
1, 2, 3 = prioritas 1, 2 dan 3. Sumber Susanto (2006) data disederhanakan.
Kacangkacangan Umbiumbian lain
1
Maluku Tenggara Barat
Kabupaten/kota
Pala
Cengkih
−
Kelapa
−
Ubi jalar
Kelapa
Kakao
Kakao
Kopi
Kakao
1
Padi ladang, kacangkacangan lain
Ubi kayu
Kedelai
Kacang hijau, umbi-umbian lain
Jagung, kacang tanah
3
Durian, nenas, rambutan Durian, pisang
−
−
−
Kelapa, cengkih, kopi, jambu mete −
Pala, kakao
Cengkih
Pala, kakao, kopi
Cengkih
−
Duku/ langsat, pisang, jambu
−
−
Avokad
−
Pepaya
Avokad
Kelapa, kapuk
−
1 Pisang
3
−
Avokad, durian, nenas
Durian, jambu
Jeruk, nenas, pisang
Avokad, duku/ langsat, salak, nenas
Duku/ langsat
Pepaya, lainnya
Nenas, jambu, lainnya
2
3
−
−
Jeruk, duku/ langsat, nenas, rambutan
Lainnya
Rambutan
− −
Pisang, jambu
Jeruk, pepaya
Tanaman buah-buahan
Kapuk
Kelapa, jambu mete
2
Tanaman perkebunan
Tabel 7. Prioritas pengembangan komoditas pertanian pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Maluku.
−
Kol
Kacang panjang
Tomat
Bawang daun
Tomat
Terung, lobak
Lobak
1
−
Petsai, tomat
Mentimun, petsai, lomat
Mentimun, lobak
Mentimun, terung, kol
Terung, kol, petsai, bawang daun
Bawang daun
Terung
2
3
−
Buncis
Terung, kol, bawang daun
Kacang panjang, buncis
Cabai, petsai
Cabai
Bawang merah, kacang panjang
Kacang panjang
Tanaman sayur-sayuran
Luas daratan Provinsi Maluku sekitar 4.625.415,20 ha, terbagi dalam delapan bagian penggunaan lahan, yaitu: kehutanan 2.274.491,80 ha, perkebunan 1.263.575,50 ha, wanatani 129.136,90 ha, tanaman pangan lahan kering 718.465,70 ha, tanaman pangan lahan basah 55.611,70 ha, padang penggembalaan 1.508,60 ha, perikanan tambak 146.419,60 ha, dan hutan pantai 36.205,40 ha. Lahan yang potensial untuk usaha tani tanaman pangan, sayuran, dan buahbuahan meliputi 775.586 ha, sedangkan lahan fungsional menurut data BPS tahun
2004 seluas 41.012 ha, sehingga tersedia areal ekstensifikasi 734.574 ha. Untuk usaha perkebunan terdapat areal potensial 1.392.712,40 ha, sedangkan lahan fungsional baru mencapai 157.533 ha, sehingga tersedia areal pengembangan 1.235.179,40 ha. Untuk jangka pendek, perlu dipetakan sentra-sentra produksi dan daerah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Data dan informasi penggunaan lahan saat ini (existing landuse) dalam skala detail (1:50.000) sangat bermanfaat
untuk memverifikasi peta-peta arahan penggunaan lahan yang telah ada, karena banyaknya alih fungsi penggunaan lahan. Pemetaan dalam skala detail juga berkaitan dengan karakteristik pulau-pulau kecil yang mempunyai sumber daya alam yang terbatas dan rawan bencana sehingga perlu pengelolaan yang tepat. Dengan tersedianya data tersebut, didukung sumber daya manusia dan dana, diharapkan perencanaan pembangunan pertanian di Provinsi Maluku dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik pulau-pulau kecil.
Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku. 1993− 2005. Maluku dalam Angka Tahun 1992− 2004. BPS Provinsi Maluku, Ambon.
metaan Tanah Semidetail Daerah Kairatu, Provinsi Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. 1999. Peta Zona Agroekologi skala 1:250.000 Wilayah Provinsi Maluku (termasuk Maluku Utara). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Edisi I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Oldeman, L.R., l. Las, and Muladi. 1980. The Agroclimatic Map of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali, West and East Nusa Tenggara. Contr. Res. Inst. Agric. No. 60. Bogor.
Bustaman, S. 2005. Peranan penelitian dan pengembangan pertanian dalam pembangunan pertanian wilayah Kepulauan Maluku. hlm. 71−84. Dalam A. Hasanuddin, A. Tupamahu, J.B. Alfons, M.I. Pattinama, M.P. Sirappa, S. Bustaman, dan M. Titahena (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Hidayat, A., T. Budianto, M. Sastrosasmito, A. Syarifudin, M. Djaenudin, R. Noho, W.H. Ismail, B. Rahayu, dan E. Mardi. 2000. Laporan Akhir Pemetaan Sumberdaya Lahan Tingkat Semidetail Daerah Dataran Waeapo, Pulau Buru. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon.
DAFTAR PUSTAKA
Bustaman, S. dan A.N. Susanto. 2003a. Sintesis Komoditas Unggulan di Provinsi Maluku. Makalah disampaikan pada Rapat Konsultasi Perencanaan Pengembangan Pertanian di Provinsi Maluku, Ambon, 24 Mei 2003. Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Ambon. Bustaman, S. dan A.N. Susanto. 2003b. Potensi Lahan Beserta Alternatif Komoditas Pertanian Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Bustaman, S. dan A.N. Susanto. 2003c. Potensi Lahan Beserta Alternatif Komoditas Pertanian Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi pada Setiap Kecamatan di Kota Ambon. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Hendayana, R. 2003. Aplikasi metode location quotient (LQ) dalam penentuan komoditas unggulan nasional. Informatika Pertanian 12: 658−675. Hidayat, A., C. Tafakresnanto, Sawiyo, W. Gunawan, A.J. Rieuwpassa, B. lrianto, E.D. Waas, M. Mataheru, B. Rahayu, dan E. Mardi. 1999. Laporan Kemajuan Survei dan Pe-
52
Leimeheriwa, S., C. Ufie, dan Ch. Leiwakabessy. 2002. Pengembangan Komoditas Pertanian Kepulauan Maluku Berdasarkan Pendekatan lklim: Suatu tinjauan terhadap kawasankawasan sentra produksi tanaman di Provinsi Maluku. Jurnal Pertanian Kepulauan I(2): 96−105. Louhenapessy, J.E. 2005. Liputan pemetaan sumberdaya lahan di wilayah Kepulauan: Prospek, strategi dan tantangannya. hlm. 27−34. Dalam A. Hasanuddin, A. Tupamahu, J.B. Alfons, M.J. Pattinama, M.P. Sirappa, S. Bustaman, dan M. Titahena (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Monk, K.A., Y. De Fretes, dan G. ReksodihardjoLiley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Edisi Indonesia. Prenhallindo, Jakarta. Nanere, J.L. 2006. Sagu dan lingkungan di Maluku (dalam rangka revitalisasi pertanian di kepulauan Maluku). Makalah disampaikan pada Lokakarya “Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku”. Kerja Sama Universitas Pattimura, Bappeda Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon, 29− 31 Mei 2006.
Rachman, H. 2003. Penentuan Komoditas Unggulan Nasional di Tingkat Provinsi. Makalah Lokakarya ‘Sintesis Komoditas Unggulan Nasional’. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Ralahalu, K.A. 2005. Sambutan Gubernur Maluku. Dalam A. Hasanuddin, A. Tupamahu. J.B. Alfons, M.J. Pattinama, M.P. Sirappa, S. Bustaman, dan M. Titahena (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Rieuwpassa, A.J., A.N. Susanto, dan M.P. Sirappa. 2005. Keadaan tanah di Pulau Selaro Kabupaten Maluku Tenggara Barat. hlm. 204−211. Dalam A. Hasanuddin, A. Tupamahu, J.B. Alfons, M.J. Pattinama, M.P. Sirappa, S. Bustaman, dan, M. Titahena (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Schmidt, F.H. and H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wed and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Kementerian DMG - Perhubungan, Jakarta. Sirappa, M.P., A.N. Susanto, A.J. Rieuwpassa, E.D. Waas, dan S. Bustaman. 2005a. Karakteristik, jenis tanah dan penyebarannya pada wilayah dataran Wai Apu, Pulau Buru. Majalah Ilmiah Agriplus l5(1): 20−32. Sirappa, M.P., A.N. Susanto, A.J. Rieuwpassa, dan E.D. Waas. 2005b. Potensi dan arahan penggunaan lahan untuk pertanian tanaman pangan lahan kering di Pulau Seram, MTB. hlm. 292−297. Dalam A. Hasanuddin, A. Tupamahu, J.B. Alfons, M.J. Pattinama, M.P. Sirappa, S. Bustaman, dan M. Titahena Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
(Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Sitaniapessy, P.M. 2002. Problema lingkungan pulau kecil di Maluku. Jurnal Pertanian Kepulauan 1(2): 79−82. Soil Survey Staff. 1998. Key to Soil Taxonomy. Seventh Edition. USDA, Washington DC. Suryana, A., A. Adimihardja, A. Mulyani, Hikmatullah, dan A.B. Siswanto. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan aspek kesesuaian lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Susanto, A.N. 2005a. Analisis Lingkungan Pembangunan Pertanian Kepulauan di Provinsi Maluku. Dalam Kumpulan BPTP Maluku Working Paper No. 15−20. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Susanto, A.N. 2005b. Keadaan Tanah dalam Peta Tanah Tinjau dan Penyebarannya pada Enam Gugus Pulau di Provinsi Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Working Paper No. 3. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Susanto, A.N. 2005c. Pemetaan dan pengelolaan status kesuburan tanah di Dataran Waeapo, Pulau Buru. hlm. 304−318. Dalam A. Hasanuddin, A. Tupamahu, J.B. Alfons, M.J. Pattinama, M.P. Sirappa, S. Bustaman, dan M. Titahena (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Susanto, A.N. 2006. Analisis komoditas unggulan komoditas pertanian pada seluruh kabupaten/
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
kota di Provinsi Maluku. BPTP Maluku Working paper No. 45. Dalam J.B. Alfans, B. Rumahrupute, M.P. Sirappa, I.N. Edrus, M. Titahena, dan A.N. Susanto. Kumpulan BPTP Maluku Working Paper No. 37−45, September. BPTP Maluku, Ambon. Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2003a. Potensi Lahan Beserta Alternatif Komoditas Pertanian Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Buru. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2003b. Potensi Lahan Beserta Alternatif Komoditas Pertanian Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2003c. Potcnsi Lahan Beserta Alternatif Komoditas Pertanian Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Susanto, A.N., M.P. Sirappa, A.J. Rieuwpassa, dan E.D. Waas. 2005. Pewilayahan sistem usaha tani (Farming System Zone) pada dataran Waeapo di Pulau Buru, Provinsi Maluku. hlm. 157−167. Dalam A. Hasanuddin, A. Tuparnahu, J.B. Alfons, M.J. Pattinama, M.P. Sirappa, S. Bustaman, dan M. Titahena (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Susanto, A.N., M.P. Sirappa, A.J. Rieuwpassa, E.D. Waas, dan J.B. Alfons. 2004a. Klasifikasi tanah di Pulau Wokam, Kepulauan Am, Provinsi Maluku. Dalam J. Limbongan, Y. Sujitno, N.E. Lewaherilla, A. Malik, dan M.
Nggobe (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pertanian, Jayapura 5−6 Oktober 2004. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. Susanto, A.N., M.P. Sirappa, A.J. Rieuwpassa, E.D. Waas, Ardin, A.I. Latupapua, dan S. Liubana. 2004b. Laporan Akhir Pemetaan Sumberdaya Lahan Tingkat Tinjau Mendalam di Pulau Selaru, Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Susanto, A.N., M.P. Sirappa, A.J. Rieuwpassa, L. Muslihat, H. Suhendra, C. Budiman, E.D. Waas, M. Mataheru, dan Ardin. 2003. Laporan Akhir Pemetaan Sumberdaya Lahan Tingkat Tinjau Mendalam di Pulau Wokam, Kepulauan Aru, Kabupatcn Maluku Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Titaley, P.A. 2006. Kebijakan Revitalisasi Pertanian di Maluku. Makalah disampaikan pada Lokakarya Sagu dengan Tema “Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku”. Kerja Sama Universitas Pattimura, Bappeda Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon 29−31 Mei 2006. Utrecht, LSEM. 1998. Atlas Maluku. Diterbitkan dengan Bantuan DSA Ambon. Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers (LSEM), Netherland. Wahyunto, A. Mulyani, dan D.S. Marsoedi. 1994. Keadaan tanah dan penyebarannya di Provinsi Maluku. Dalam Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Palu 17−20 Januari 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 163− 176.
53