Menggambar Neksus Tiga Titik: Sebuah Rekomendasi Saintifik Untuk Kebangkitan Indonesia Rolan Mauludy Dahlan [
[email protected]] Dept. Evolutionary Economics Bandung Fe Institute
Hokky Situngkir [
[email protected]] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute
Abstrak Makalah memberikan latar belakang perkembangan ilmu pengetahuan modern dengan semakin meluasnya implementasi dan berbagai temuan terbaru tentang aspek ilmu‐ilmu kompleksitas dalam menelaah alam dan sistem sosial. Hal ini terkait dengan berbagai temuan yang menunjukkan adanya tatanan hidup sosial yang memiliki aspek yang justru dapat dijelaskan dan di‐observasi secara komprehensif melalui tatanan ilmu pengetahuan kontemporer ini. Terkait pula adanya tren pentingnya diversitas dalam tren peradaban pasca‐modern yang menuntut setinggi‐tinggi kreativitas dalam berbagai tatanan mulai dari sains hingga keterlaksanaan ekonomi praktis. Penulis menunjukkan bagaimana hal ini dapat dieksploitasi tak hanya dengan memberikan konjektur pentingnya preservasi dan eksplorasi mendalam tentang aspek‐aspek kultural ini yang sekadar membanggakan hati semata, namun dapat menjadikannya sebagai tolok penyusunan tatanan kebijakan di mana orang‐orang di kepulauan Indonesia dapat memberikan sumbangsihnya bagi progresifitas dan kemajuan peradaban dunia demi kemanusiaan. Kata Kunci: ilmu‐ilmu kompleksitas, modernitas, kreativitas, ekonomi evolusioner, budaya.
1. Latar Belakang Ketika kesadaran akan sains modern kontemporer bertemu dengan berbagai konteks interdisiplin terkait berbagai kritik konstruktif dalam wahana sistem kompleks, penghargaan yang tinggi atas diversitas dan kreativitas, dan upaya perbaikan metode observasi dan pemodelan (dan simulasi berbasis komputasi) dalam bentuk ekonofisika, sosiofisika, ekonomi evolusioner, dan sebagainya, maka berbagai pintu untuk mencapai pemahaman yang semakin baik akan sistem alam dan sosial pun terbuka lebar. Sains sosial perlahan mempertajam berbagai pengambilan keputusan di bidang kemasyarakatan. Ini merupakan sebuah tonggak penting yang mendorong berbagai upaya sinergisasi metode sains kontemporer dengan pemecahan berbagai permasalahan yang rumit seraya mampu memberikan penjelasan atas apa yang tadinya tidak bisa diterangkan secara konvensional. Namun tren konstruktif ini memiliki dampak yang menarik ketika munculnya tren filsafat sains yang mulai mengungkap berbagai kebijaksanaan yang tidak dominan di masa lalu namun dapat menjadi terjelaskan pada masa kini dengan tren sains modern yang muncul ini. Fraktal ditemukan pada bagaimana pemukiman dan desain beberapa komunitas di Afrika [1], penemuan dan eksplorasi motif batik [30], dan banyak lagi menunjukkan bahwa terdapat aspek kebudayaan dan peradaban manusia yang menyimpan kebijaksanaan yang justru ditemukan nilai “kebaruan” dan “kreativitas” yang unik di dalamnya ketika bersentuhan dengan metode sains terkontemporer (cutting edge research). Memperhatikan Indonesia sebagai sebuah lanskap diversitas yang sangat tinggi relatif terhadap banyak negeri lain, makalah ini disusun untuk memberikan proposal bagaimana kita dapat melakukan banyak hal dan mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit terkait berbagai aspek tradisi bangsa yang sangat bernilai tersebut. Sastrawan sejarah Pramoedya Ananta Toer, dalam karya monumentalnya yang berjudul “Arus Balik” [2], mendeskripsikan kisah di balik kedatangan bangsa barat di Bumi Nusantara. Peristiwa ini menandai berbaliknya arus peradaban dari “selatan ke utara” menjadi dari “utara ke selatan”. Novel dengan latar belakang sejarah tersebut meninggalkan sebuah pelajaran berharga. Kegagalan dalam mengatur kekuatan diri sendiri harus dibayar dengan kemunduran peradaban. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 pada hakekatnya adalah sebuah jembatan emas. Muara dari perjuangan panjang yang melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia [3,4] ini adalah membangun elemen‐elemen peradaban di dalamnya. Kebijaksanaan ini tertuang secara nyata dalam Pembukaan Undang‐Undang Dasar 1945. Peradaban adalah sebuah proses evolusi [5]. Namun berbeda dengan evolusi alam, manusia dikaruniai kemampuan untuk memproses informasi, mengaplikasikan dan meningkatkan pengetahuan serta mengubah pilihan yang diinginkan. Akumulasi pengetahuan yang tersusun melalui proses observasi dan pengolahan informasi, guna membangun sebuah penjelasan teoretikal, pada akhirnya terinstitusionalisasikan dalam sebuah badan yang disebut dengan ilmu pengetahuan. Peradaban berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan [6]. Sains tidak hanya mengubah cara pandang manusia. Ia juga memberikan inspirasi guna meningkatkan kapasitas manusia, melalui teknologi atau upaya untuk merekayasa lingkungan di sekitarnya.
Peradaban yang berkembang sejak awal di Eropa adalah warna yang mendominasi wajah dunia hari ini. Sebuah fakta yang sulit untuk diingkari. Namun tentu saja, kita sebaiknya tidak terjebak dalam proses penyangkalan dan inferioritas semata. Yang terpenting adalah melakukan kajian kritis atas segala kearifan yang berkembang di sana dan selanjutnya merefleksikannya sesuai dengan kondisi objektif Indonesia, sebagai sebuah Negara kepulauan. Upaya ini diharapkan mampu melahirkan sejumlah langkah strategis yang perlu dilakukan oleh Indonesia, agar dapat berkontribusi dan berperan serta aktif mewarnai wajah kemanusiaan dan peradaban dunia di masa yang akan datang.
2. Neksus Tiga Titik 2.1 Neksus Pertama: Kosmos Keluar dari Chaos Pemikiran Yunani adalah akar dari pengetahuan barat. Upaya ini diawali dengan usaha untuk mencari kosmos [7,8], yang berarti keteraturan atau harmoni. Kosmos memiliki makna yang berlawanan dengan pengertian chaos (Χάος). Proyek ini yang dirintis oleh Thales (±624–546 SM), Anaximander (±610–546 SM) dan Anaximenes (±585–525 SM) bertujuan untuk “mencari kosmos dalam segala aspek kehidupan”. Para filsuf Yunani percaya bahwa kita hidup di dalam sebuah kosmos, sebuah tempat yang penuh dengan keteraturan. Tidak ada yang terjadi secara acak atau tanpa sebab yang nyata. Mereka berupaya untuk mencari penyebab dari segala kejadian. Visi ini kemudian dilanjutkan oleh Empedocles, Leucippus, Democritus, hingga ke Pythagoras dan para pengikutnya (kaum Pythagorean). Pythagoras dan kaum Pythagorean menghasilkan dua penemuan yang besar. Penemuan pertama adalah konsep harmoni dalam musik. Sebuah penemuan yang sangat menggemparkan. Jika kita bisa mengekspresikan harmoni musik ke dalam angka, lalu mengapa tidak mungkin hal ini terjadi di seluruh alam semesta? Inti dari paradigm ini adalah memisahkan kosmos dari chaos [7‐9]. Alam semesta dipercaya akan senantiasa berada di dalam kosmos. Keteraturan, kesimetrian, harmoni di sini terepresentasikan melalui angka‐angka sempurna, yaitu bilangan natural: 1,2,3,4,5 dan seterusnya. Filsafat ini terefleksikan melalui bilangan rasional dan termanifestasikan secara nyata dalam geometri, melalui konsep dimensi dalam bilangan natural (dimensi 1, dimensi 2 dan seterusnya). Visi inilah yang melatarbelakangi pemikiran Aristoteles, bapak ilmu pengetahuan modern. Pemikiran Aristoteles kemudian terimplementasikan secara nyata melalui tangan Euclid, bapak geometri modern.
Gambar 1 Sebuah segitiga yang sisi vertikal dan horizontalnya berukuran 1 (a) serta pentagon (segilima) dan pentagram (bintang) berulang bergantian di dalamnya (b).
Warisan kedua dari Pythagoras dan kaum Pythagorean adalah teorema Pythagoras dan konsep bilangan irrasional. Teorema Pythagoras membawa manusia kepada sebuah bilangan baru. Sebuah segitiga yang sisi vertikal dan horizontalnya berukuran 1 misalnya, sisi miringnya akan sama dengan √2 (lihat gambar 1a). Hippasus, salah seorang tokoh Pythagorean yang hidup 500 tahun SM, kemudian membuktikan bahwa akar 2 bukanlah sebuah bilangan rasional atau hasil pembagian dari dua buah bilangan natural [9,16]. Hippasus juga mengkaji bilangan Fibonacci ( ) pada kasus pentagon (segi lima) dan pentagram (bintang) berulang bergantian di dalamnya (gambar 1b) [9]. Ia menemukan fakta bahwa A/B = B/C = C/D = D/E = E/F = = 1,6803398… bukanlah sebuah bilangan natural, melainkan sebuah bilangan irrasional. Pada mulanya, konsep bilangan irrasional berkembangan dengan sangat pesat dalam peradaban Yunani. Theodorus, Plato dan Eudoxus memiliki perhatian yang sangat tinggi akan penemuan tersebut. Namun entah mengapa, konsep ini terlupakan atau dihindari dalam pemikiran Aristoteles dan Euclid. Ada keanehan dalam buku monumental Euclid yang berjudul “Element”, ia selalu nyaris (tiba ke konsep bilangan irrasional) tetapi tidak pernah sampai [10]. Pemikiran Euclid kemudian mendominasi pemikiran barat mulai dari abad ke‐3 SM hingga abad ke‐20. Selama lebih dari 23 abad, konsep bilangan irrasional terabaikan. Di sini penulis tidak bermaksud menyatakan bahwa konsep bilangan irrasional benar‐benar lenyap, tetapi dikesampingkan. Pengetahuan barat masih mengenal bilangan irrasional. Namun jika berjumpa dengan permasalahan tersebut, mereka akan menghindarinya secara teknis, tidak secara filosofis. Karya monumental Euclid yang berjudul “Element” adalah sebuah jendela yang menghubungkan pemikiran Yunani dengan ilmu pengetahuan modern. Aristoteles telah meletakkan landasan filosofis pengetahuan, tetapi melalui tangan Euclid‐lah itu semua terepresentasikan secara nyata menjadi peradaban barat modern. Pemikiran Euclid, bapak geometri, mempengaruhi berbagai disiplin ilmu lainnya, mulai dari aljabar, aritmatika, logika, fisika, biologi kimia, astronomi, ekonomi, statistika, sosiologi, psikologi, seni dan lain sebagainya [7‐12].
Pythagoraas dan kaum m Pythagoreaan menghasiilkan dua bu uah penemuan yang seo olah‐olah bertolak belakang satu sama lain, penemuan bilangan irrrasional di saatu sisi dan peenemuan harrmonisasi mu usik di sisi yang llain. Namun ssayangnya, saalah satu sisi dari kepingan tersebut teerabaikan. Peeradaban dibaangun dengan hanya h menge embangkan sisi s yang perrtama. Pengaabaian Aristo oteles dan Eu uclid membeerikan dampak yang y sangat mahal dalam m perkemban ngan ilmu pengetahuan. Kealpaan K yan ng membawaa ilmu pengetahuan ke sebuaah krisis di periode p selanjjutnya. Georg Cantor kem mudian melakkukan perlaw wanan n [12]. Bernhard Riemann n, Nicolai Lob bachevsky, Janos Bolyai dan Albert Ein nstein melalui teeori bilangan melakukan pembangkkangan dengaan memperkenalkan geom metri non‐Eu uclidean [17]. Bertrand Russell m aritmatika [19]. menjukkaan terjadinya paradoks dii logika [18]. Kurt Godel menunjukkan krisis dalam Sosiolog Jean J Jaques Lyotard mulai berbicara tentang posmodernismee. Di seni, muncul m gelom mbang multi‐persspektif, seperti dadaisme pada seni ru upa dan psikkodelik di sen ni musik. Pem mikiran barat yang telah dibaangun selamaa lebih dari 26 600 tahun meemasuki fase krisis.
Gambar 2 Dua hasil iterasi perssamaan logistik untuk perbedaaan kondisi awal ssebesar 0.0001.
Dua dekaade setelah perang dunia ke‐2, lahirr sebuah teo ori yang memberikan haarapan baru guna mengatassi krisis tersebut, yaitu teeori chaos. Saalah satu karrakteristik utaama dari kon ndisi chaos adalah sensitif pada kondisi awal. Sifat ini merupakaan salah satu u syarat dari kondisi chao os. Hal ini berarti b perbedaan kecil dalam m nilai awal akan berdam mpak besar teerhadap hasil akhir. Feno omena ini aw walnya d studi metreologi. m P Pada gambarr 2 kita dapaat melihat bahwa b ditemukan oleh Edwaard Lorenz dalam n hasil yang sangat besar. perbedaan inisial yangg begitu kecil (0.0001) dapaat memberikaan perbedaan Apakah chaos benar‐b benar dipenu uhi oleh ketid dakteraturan? Jawabannyya tidak! Pad da fasa chaoss, ada kondisi teertentu ketikaa sistem justtru stabil atau koefisien Lypunov‐nya L negatif. Artin nya, dalam sistem s yang chao os sekalipun, terdapat sifaat keteraturan. Kenyataan n adanya keteeraturan (kosmos) dalam cchaos memberikkan sejumlah h harapan. Di tengah turbulensi yaang kacau‐baalau, pada dasarnya d terdapat beberapa hal yang memiliki m pola‐‐pola sederhana yang terratur bahkan n stabil. Wilaayah yang disebut t chaos in ni melahirkaan sebuah perspektif p baaru dalam ilm mu pengetahuan, yaitu sains dengan tepi kompleksitas.
Selain sen nsitif pada kondisi awal, ch haos juga meemiliki geomeetri fraktal pad da atraktornyya. Fraktal, beerasal dari kata fractional yang didefinissikan sebagai bentuk geo ometri yang tidak teraturr namun meemiliki kemiripan n dengan dirinya sendirii (self‐similarrity) [20]. Sifat fraktal, yang menun njukkan kemiripan geometriss pada skala pengukuran yang berbed da, ternyata hadir di ham mpir sejauh mata m memandang. Awan‐awaan yang sen nantiasa berggerak di angkasa, deretan pegunungaan, alur sunggai‐sungai, hingga h kembang kol di dapur menunjukkan sifat ini. Baahkan paru‐p paru kita juga menyimpan struktur frakktal di dalamnyaa.
Gambar 3 Sifat kemiripan pada diri se endiri (fraktal) pada berbagai ob byek di sekelilingg kita: (a) deretaan pegunungan, (b) permukaan p planet Jupiter, (c)) kumpulan awan di langit, (d) keembang kol, dan n paru‐paru man nusia. Sifat fraktaal (e) ini membeeri tanda universsalitas keberadaan sistem chaotik d di alam.
Harapan muncul ketikka kita tidak lagi memisahkan antara kosmos dan chaos, tetap pi memandan ngnya sebagai seebuah kesatu uan. Sains ko ompleksitas adalah sebuah h paradigm baru b yang meenyadari eksisstensi kosmos di d dalam chaaos. Fraktal adalah wajah kosmos yaang muncul dari dalam kegelapan chaos. c Kemunculan kosmos dari dalam chaaos adalah baagian pertamaa dari neksus tiga titik.
2.2 Neksus Kedua: Revolusi Dalam Pendekatan Kuantitatif Visi Thales adalah upaya untuk “mencari kosmos dalam segala aspek kehidupan”. Sementara itu, teori chaos menyatakan bahwa keteraturan atau kosmos dapat lahir dari kondisi chaos. Kosmos dan chaos adalah 2 konsep yang saling bertentangan. Kosmos berbicara tentang keteraturan atau harmoni, sementara itu chaos berbicara tentang ketidakteraturan. Lalu, apakah hal ini berarti bahwa teori chaos adalah “penyangkalan” terhadap visi Thales? Tentu saja tidak. Teori chaos adalah “penyempurnaan” dari visi Thales, bukan “penyangkalan”. Teori chaos tidak mengubah tujuan pengetahuan manusia. Tujuannya sama, yaitu “mencari kosmos dalam segala aspek kehidupan”. Yang berbeda hanyalah paradigm dalam mencapai tujuan tersebut. Teori chaos telah menunjukkan bahwa kita tidak harus membuang chaos untuk mendapatkan kosmos. Kosmos dan chaos adalah satu kesatuan yang utuh. Bagaimana cara manusia “mencari kosmos dalam segala aspek kehidupan”? Manusia membaca alam melalui data‐data yang ditangkap melalui panca indra atau dengan pertolongan alat ukur dan alat batu. Dari sini kemudian muncul sejumlah permalahan. Hasil pengukuran terkadang bervariasi nilainya. Suhu Kota Bandung jam 12 siang di bulan Januari, tentu saja akan berbeda dengan suhu jam 12 siang di bulan Juni. Demikian juga dengan suhu Kota Malang. Lalu bagaimana kita dapat mengetahui mana yang lebih dingin suhunya? Untuk mengatasi permasalahan tersebut, manusia mengembangkan berbagai pendekatan baru. Salah satunyanya adalah statistik, sebuah cabang matematika yang mengkaji tata cara untuk mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasikan, merepresentasikan data‐data yang beragam nilainya. Statistika modern dibangun secara gradual, dari abad ke‐17 hingga abad ke‐20. Sejumlah matematikawan besar turut berkontribusi di dalamnya, mulai dari Pierre de Fermat, Blaise Pascal, John Graunt, Abraham de Moivre, Nicholas Bernoulli, James Bernoulli, Pierre‐Simon Laplace, Carl Friedrich Gauss hingga Carl Pearson. Salah satu permasalahan yang terkenal di masa itu adalah eksperimen yang keluarannya terdiri atas dua buah kemungkinan, misalnya peluang munculnya sebuah sisi tertentu dari sebuah koin (kepala atau ekor). Saat ini, kasus tersebut dikenal dengan nama "percobaan Bernoulli" [21]. Percobaan tersebut membawa manusia pada konsep distribusi binomial. Upaya ini selanjutnya mengantarkan kita kepada salah satu konsep utama dalam studi statistik, yaitu distribusi normal. Konsep ini adalah sebuah karya besar yang dibangun secara bertahap dan dikembangkan secara gotong‐royong oleh empat orang matematikawan besar, yaitu De Moivre, Laplace, Euler dan Gauss. Mengapa distribusi ini memiliki peranan yang sangat vital dalam studi statistik? Distribusi Gauss memiliki pengaruh yang sangat besar dalam upaya untuk memodelkan fenomena alam dan fenomena sosial. Sifat spesial dari distribusi normal ditunjukkan melalui teorema limit pusat (TLP). TLP secara demonstratif menunjukkan bahwa distribusi normal adalah distribusi khusus yang senantiasa menarik distribusi lain kepada dirinya [26]. Pada mulanya, teorema yang dikembangkan oleh De Moivre dan Laplace ini mendapat perhatian yang sangat sedikit pada masanya [27]. Pengabaian ini berlangsung hingga akhir abad ke‐19. Pada tahun 1901, Aleksandr Lyapunov, seorang matematikawan Rusia, menunjukkan pentingnya TLP dalam matematika, beserta dampaknya dalam memodelkan fenomena alam dan fenomena sosial. Hingga saat ini, TLP memiliki peranan yang tidak terbantahkan dalam studi statistika.
Distribusi normal menjadi semakin popular ketika Bachelier dan Albert Einstein menerbitkan makalah yang berupaya untuk menyelesaikan persoalan gerak Brown [28]. Einstein membawa konsep tersebut untuk menyelesaikan deskripsi permasalahan teoretis di ilmu alam pada tahun 1905, yaitu penentuan bilangan Avogadro. Pemikiran ini, yang pada awalnya dianggap Einstein sebagai karyanya yang paling tidak berguna, ternyata memiliki aplikasi yang sangat luas dalam ilmu pengetahuan modern. Aplikasi penelitian tersebut bahkan melebihi teori relativitas, karya yang membuat Einstein menjadi sangat terkenal. Kegunaan konsep tersebut tidak hanya melingkupi kajian fisika dan matematika semata, melainkan memberikan kontribusi yang begitu signifikan dalam perkembangan studi kimia, biologi, ekonomi, sosiologi, teknik‐teknik rekayasa, dan lain sebagainya. Dominasi konsep ini dapat terlihat dalam ilmu ekonomi. Paradigma ekonomi konvensional meyakini bahwa pasar akan selalu berada dalam kondisi efisien. Konsep ini disebut dengan nama “hipotesis pasar efisien”. Konsep ini berakar dari deskripsi matematika yang dikembangkan oleh Bachelier [28]. Turunan dari pemikiran tersebut adalah diyakininya bahwa distribusi logaritma perubahan harga di pasar akan mengikuti distribusi normal. Teori yang pada awalnya dikonstruksi oleh Fama ini kemudian diformulasikan secara eksplisit pada tahun 1965 oleh seorang nobelis ekonomi, yang sangat mempengaruhi wajah ekonomi sepanjang abad ke‐20, Paul Samuelson. Aplikasi lain dari konsep distribusi normal yang sangat berpengaruh adalah model opsi harga Black and Scholes. Akuisisi terhadap konsep ini kemudian diperluas melalui sebuah makalah yang diterbitkan oleh Robert C. Merton. Karya inilah kemudian yang mengantarkan Myron Samuel Scholes dan Robert C. Merton memperoleh hadiah nobel ekonomi pada tahun 1997. Distribusi normal memiliki hubungan yang sangat erat dengan konsep kosmos, yang telah kita bahas di bagian sebelumnya. Distribusi normal adalah sebuah distribusi yang sangat spesial, sebagaimana ditunjukan oleh teorema limit pusat. Perspektif ini seakan menggiring kita untuk melihat distribusi normal sebagai manifestasi kosmos atas keteraturan dalam data‐data yang bervariasi nilainya. Apakah hal ini berarti bahwa peradaban manusia telah menemukan statistika kosmos yang seutuhnya, yang terepresentasikan melalui distribusi normal? Apakah seluruh data‐data di alam yang kita tangkap melalui panca indra mengikuti sebuah aturan tunggal? Apakah kita telah mencapai kosmos tanpa melalui chaos? Apakah tidak terdapat chaos dalam data‐data di alam? Tentu saja tidak! Perkembangan ilmu pengetahuan di periode selanjutnya menunjukkan bahwa paradigma tersebut hanyalah sebuah sudut kecil. Pada fase selanjutnya ditemukan sejumlah fakta empiris yang tidak mengikuti distribusi normal atau berbentuk kurva bel terbalik, misalnya distribusi data pendapatan. Karakteristik data empiris pendapatan cenderung membentuk distribusi hukum pangkat. Secara sederhana, distribusi ini adalah sebuah distribusi non‐Gaussian yang menunjukkan bahwa peluang terjadinya sebuah besaran kejadian berbanding terbalik dengan pangkat tertentu dari besaran kejadian tersebut. Fakta adanya hukum pangkat pertama kali diperkenalkan lebih dari seratus tahun yang lalu oleh Vilfredo Pareto, seorang ekonom dan sosiolog berkebangsaan Italia, dalam kasus kekayaan di beberapa Negara di dunia. Untuk menghormati beliau, kita menyebut distribusi kekayaan sebagai distribusi Pareto. Karya fenomenal lainnya ditemukan oleh G.K. Zipf. Ia menunjukkan frekuensi penggunaan kata‐kata dalam teks‐teks kata berbahasa Inggris juga mengikuti hukum pangkat. Pola hukum pangkat dalam frekuensi kata tersebut
dikenal sebagai Hukum Zipf. Mengapa distribusi ini menarik perhatian banyak ilmuwan? Hukum pangkat memiliki berbagai keunikan. Ada perbedaan yang sangat signifikan antara modus data (nilai yang paling banyak muncul) dengan nilai rata‐rata (jumlah seluruh data di bagi jumlah populasi) [22]. Hal yang menarik adalah meskipun ada teori matematika, yaitu teorema limit pusat, yang menjamin bahwa semua data di alam akan ditarik menuju distribusi normal, justru terdapat banyak data yang membentuk hukum pangkat. Berbagai penelitian menemukan fakta bahwa data pendapatan, data GDP berbagai negara, data perolehan suara dalam pemilihan umum, data ranking jumlah penduduk, intensitas peperangan, ranking frekuensi penggunaan kata‐kata dalam berbagai literatur, distribusi fluktuasi data perdagangan saham, data frekuensi pengunjung situs internet, hingga data kekuatan gempa bumi ternyata menunjukkan sifat hukum pangkat [22,29].
Gambar 4 Sifat hukum pangkat terlihat di berbagai aspek kehidupan kita.
Persoalan ini dijawab oleh Paul Pierre Levy pada tahun 1925. Matematikawan Perancis ini menyelesaikan persamaan umum dari seluruh kelas distribusi stabil [28]. Ia menunjukkan bahwa distribusi normal hanyalah sebuah kondisi khusus dari seluruh kelas distribusi stabil. Proses stabil lainnya adalah distribusi hukum pangkat. Distribusi hukum pangkat disebut juga distribusi bebas skala. Mengapa demikian? Hukum pangkat adalah satu‐satunya distribusi yang memiliki karakteristik yang sama, walaupun dilihat dalam skala yang berbeda [29]. Pada kasus ukuran file, yang memenuhi hukum pangkat misalnya. Diketahui bahwa jumlah file yang berukuran 2kB adalah 1/4 jumlah file yang berukuran 1 kB. Jika kita mengubah skala pengukuran dalam megabytes, maka akan diketahui bahwa jumlah file yang berukuran 2MB adalah 1/4 jumlah file yang berukuran 1 MB. Bentuk distribusi ukuran file tidak
dipengaruhi skala pengukuran. Sifat ini identik dengan konsep fraktal, yang merupakan wajah chaos, pada neksus pertama. “Statistika chaos”, yang terepresentasikan melalui hukum pangkat, melahirkan sebuah paradigma baru dalam pendekatan kuantitatif. Ia memberikan sebuah cakrawala baru dalam memandang alam semesta di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Revolusi dalam pendekatan kuantitatif adalah bagian kedua dari neksus tiga titik. Gelombang ini melatarbelakangi lahirnya berbagai pendekatan kontemporer dalam melihat alam semesta selama satu dekade terakhir ini, seperti ekonofisika, sosiofisika, biologi evolusioner, sains kognitif dan lain sebagainya. Pendekatan ini terinstitusionalkan dalam sains komplesitas. Sebuah revolusi yang menawarkan sejumlah solusi baru dalam menjawab tantangan pemecahan permasalahan manusia, mulai dari studi politik, demografi, ekonomi, seni, budaya, kebijakan publik dan lain sebagainya [22].
2.3 Neksus Ketiga: Kekayaan Budaya Indonesia Seseorang yang ahli memahat marmer dan mencipta Pieta, jika hidup di pulau Jawa pada tiga puluh dekade terakhir tak akan menjadi Michelangelo. Ia akan menjadi seorang yang berproses secara spiritual dan menyatu dalam karya‐karya religius yang menggubah batu gunung menjadi sosok Prajnaparamita. Seseorang yang hidup pada masa itu di tempat yang sama juga tak akan mencipta sfumato (teknik melukis dengan penumpukan warna‐warna transparan untuk menggambarkan kedalaman atau bentuk natural secara artistik khas Italia pada masa Renesans) karena bukan pelukis yang terpenting. Abdi seni dan budaya di sini terbenam dalam karya penggambaran dan ornamentasi yang secara fungsional akan memberikan transendensi abstrak mikro dan makro kosmos sekaligus, dalam tradisi yang disebut batik. Estetika bagi mereka yang hidup di peradaban timur tak akrab dengan geometri, mereka akrab dengan eksplorasi artistik bentuk dan pola yang paling mutakhir dalam sejarah peradaban barat modern, yakni fraktal! Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Ia terdiri atas berbagai suku dan adat istiadat. Latar belakang ini melahirkan kekayaan budaya yang sangat tinggi. Ada ribuan, atau mungkin jutaan artefak budaya, yang terkandung di Bumi Pertiwi. Salah satu kekayaan budaya Indonesia adalah batik. Batik merupakan ikhwal kriya tekstil yang tak asing bagi orang Indonesia, bahkan sering menjadi sebuah simbol akan bangsa Indonesia. Batik dikenal erat kaitannya dengan kebudayaan etnis Jawa di Indonesia bahkan semenjak zaman Raden Wijaya (1294‐1309), pada masa kerajaan Majapahit. Namun pada dasarnya, berbagai bahan sandang dari luar pulau Jawa juga memiliki corak batik, misalnya di beberapa tempat di Sumatera, seperti Jambi bahkan beberapa tempat di Kalimantan dan Sulawesi. Motif batik digunakan mulai dari hiasan, kain sarung, kopiah, kemeja, bahkan kerudung dan banyak lagi. Namun hal yang sangat menarik dengan batik adalah bahwa ia merupakan konsep yang tidak sederhana bahkan dari sisi etimologinya. Batik dapat merepresentasikan ornamentasi yang unik dan rumit dalam corak dan warna dan bentuk‐bentuk geometris yang ditampilkannya. Namun yang terpenting adalah bahwa batik dapat pula merepresentasikan proses dari pembuatan corak dan ornamentasi yang ditunjukkan di dalamnya.
Hal yang menakjubkan dari batik adalah bahwa batik adalah sebuah proses yang lahir dari sistem kognitif dan penggambaran akan alam dan lingkungan sekitar. Batik tercipta melalui pemetaan antara obyek di luar manusia pembatik dan artikulasi kognisi dan aspek psikomotorik yang tertuang dalam kriya batik. Meski batik tak mungkin bisa dilihat dengan melepaskan konteks dan proses pembuatan dari batik tersebut, motif dan ornamentasi yang terkandung dalam batik pun ternyata memiliki tingkat kompleksitas yang sangat menarik. Hal ini terlihat pada gambar 5, disain batik dapat menghasilkan sejenis diagram Voronoi dalam poligon tak tentu. Geometri konvensional tidak cukup untuk menjelaskan batik.
Gambar 5 Ilustrasi taselasi reverse‐engineering disain batik “Lunglungan Merak” dari Surakarta.
Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh telah menunjukan sebuah perspektif menarik dari disain batik. Perhitungan matematis membuktikan eksistensi sifat fraktal pada batik [30‐31], sebagaimana diilustrasikan pada gambar 6. Hal ini pada dasarnya dapat terobservasi secara sederhana. Jika sebuah batik kita bolak‐balik, sepotong kain batik atau keseluruhannya, ia senantiasa memancarkan pola yang similar yang merupakan pola fraktal. Sifat ini terkait dengan disain pseudo‐algoritmik batik: menggambar pola besar umum (klowongan), kemudian isen‐isen, hingga diakhiri dengan harmonisasi untuk mengisi bagian‐bagian yang kosong sebagaimana digambarkan oleh ahli batik tradisional, H. Santosa Doellah [32], dalam bukunya “Batik: The Impact of Time and Environment”. Baik klowongan maupun isen dalam batik merupakan pola penggambaran motif dasar secara berulang. Hal ini menjadikan batik memiliki sifat kemiripan dalam banyak skala dan pola pandang. Keajaiban batik ternyata tidak berhenti sampai disini. Satu motif dasar batik pun memiliki karakter fraktal. Motif dasar “mega mendung” khas daerah pesisir Cirebon yang menggambarkan awan‐awanan, misalnya, menunjukkan pola bahwa satu mega dapat digambarkan dari mega‐mega lain yang lebih kecil. Ini merupakan sifat fraktal lain yang disebut sebagai Sistem Fungsi ter‐Iterasi (SFI) [33]. Pola serupa terlihat pada banyak sekali motif tradisional khas batik, seperti penggambaran sawat, lar, kawung, parang rusak, dan sebagainya [33]. Ilustrasi karakteristik ini dapat dilihat pada gambar 7. Motif‐motif dasar ini dapat dikonstruksi secara berulang dengan mengekstrak pola yang ada dengan beberapa persamaan matematis.
Gambar 6 Visualisasi perhitungan dimensi fraktal pada motif batik “Gurdha”.
Dua penelitian tersebut menunjukkan bahwa setidaknya ada dua (lebih dari satu) sifat fraktal dalam batik. Sebuah penemuan yang sangat mengejutkan, batik ternyata bersifat multifraktal. Kenyataan ini memberi kekaguman pada kita bahwa secara sadar atau tidak sadar, kriya batik sebagai sebuah aspek tradisi di Indonesia justru telah mengakuisisi pola pandang yang sangat kontemporer tersebut. Nenek moyang kita yang arsitek batik tradisional tak terpaku pada geometri konvensional, sebagaimana yang lazim kita kenal hari ini.
Gambar 7 “Sawat”, sebagai bentuk dasar dari batik tradisional ditunjukkan disini dengan disain “Sawat Rinengga”, “Semen Rama”, “Semen Gurdha”, dengan persamaan Sistem Fungsi Iterasi‐nya.
Apa yang dapat diperoleh dari penemuan tersebut? Batik menyimpan sebuah potensi pengetahuan yang sangat besar. Upaya penggalian terhadap nilai‐nilai budaya tradisional akan memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk dapat menginspirasi dunia. Hubungan yang harmonis antara ilmu pengetahuan dengan kekayaan budaya tradisional akan menginspirasi berbagai inovasi sains dan teknologi dalam rangka melayani kesejahteraan manusia. Teori matematika fraktal secara kontemporer telah memberi perspektif baru, mulai dari fisika elementer hingga jagat raya, mulai dari model gelombang dalam kerak bumi hingga model yang baik untuk mengelaskan fluktuasi harga‐harga pasar dalam sistem ekonomi, mulai dari peramalan cuaca hingga perilaku sosial dan psikologi terkini. Demikian juga bagi perkembangan budaya tradisi itu sendiri? Pemodelan algoritmik dan matematis dalam sifat fraktal batik telah memberi peluang bagi kita untuk mengakuisisi teknologi komputasi sebagai alat bantu untuk mendorong kreativitas dalam inovasi batik tradisional. Pola pseudo‐algoritma disain batik dan pola Sistem Fungsi ter‐Iterasi (SFI) memberikan peluang untuk melakukan pembangkitan pola dan motif‐ motif baru yang dapat memperkaya cakrawala inovasi batik itu sendiri. Semua pola komputasi yang kita tumbuhkan untuk mencari sifat fraktal pada batik dapat dibalik arah kerjanya menjadi sumber kreativitas untuk menggenerasi motif baru. Itu baru kebijaksanaan yang dapat diperoleh dari dalam batik. Bagaimana dengan artefak‐artefak budaya lainnya. Ada ribuan, atau mungkin jutaan artefak budaya, yang terkandung di Bumi Pertiwi. Sains kompleksitas telah memberikan cakrawala yang lebih luas dalam upaya untuk mencari kebijaksanaan yang tersimpan dalam kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah pendekatan memetika yang berkembangan dari studi biologi evolusioner. Ilustrasi perkembangan penelitian yang diperoleh melalui upaya akuisisi pendekatan tersebut, dalam mengkaji nilai‐nilai yang terpendam dalam kekayaan artefak budaya Indonesia, dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 9 Akuisisi memetika dalam studi motif (kiri), lagu (tengah) dan rumah adat (kanan) di Indonesia.
Kekayaan budaya menyimpan potensi besar menjadi salah satu motor penggerak kebangkitan Indonesia. Penemuan sejumlah inspirasi baru yang menunjukkan kekayaan budaya Indonesia, bukan hanya dari sisi jumlah namun juga nilai di dalamnya, adalah bagian ketiga dari neksus tiga titik. Titik ini menunjukkan bahwa dengan melakukan penggalian terhadap nilai‐nilai budaya tradisi suatu saat akan berarti memberi inspirasi bagi dunia.
3. Lukisan Neksus Tiga Titik 3.1 Elemen Kebangkitan Mengapa barat begitu mendominasi? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut memiliki makna yang sangat penting dalam usaha merumuskan sejumlah langkah strategis untuk kebangkitan Indonesia. Kebijaksanaan ini dapat dicari dengan melakukan kajian kritis atas segala kearifan yang berkembang di sana dan selanjutnya merefleksikannya sesuai dengan kondisi objektif Indonesia, sebagai sebuah Negara kepulauan. Sejarah menunjukkan bahwa kejayaan barat hari ini berakar dari sebuah proses panjang yang berlangsung di Eropa selama lebih dari 8 abad, dari abad ke 11 hingga awal abad ke‐20 [36‐38]. Secara umum, proses tersebut dapat dibagi menjadi lima fase utama. Fase pertama adalah periode pra‐renaisans. Ia berlangsung sekitar abad ke‐11 hingga abad ke‐13. Babak ini merupakan titip balik peradapan Eropa dari masa kegelapan. Ada dua kesadaran besar yang tumbuh pada periode ini. Titik pertama adalah kesadaran akan pentingnya penggalian kembali tradisi yang berkembang di Yunani, Arab dan Romawi. Ia dikenal sebagai proses revitalisasi kebudayaan Eropa. Upaya terlihat dengan kebangkitan kembali (revival) sastra, puisi, drama, bahasa hingga asas hukum Yunani dan Romawi kuno [36]. Titik kedua adalah kesadaran akan pentingnya restrukturisasi institusi pendidikan dalam upaya untuk melakukan transformasi dalam masyarakat. Semangat ini terlihat dengan munculnya banyak universitas di Eropa pada periode tersebut, seperti University of Bologna, University of Paris, University of Oxford, University of Cambridge, University of Salamanca dan lain sebagainya. Titik puncak dari proses revitalisasi tersebut terjadi pada abad ke‐14 sampai dengan abad ke‐17. Fase kedua kebangkitan Eropa ini disebut renaisans. Ia adalah sebuah masa peralihan dari abad kegelapan ke abad modern yang ditandai dengan perhatian kembali kepada kesusastraan klasik, berkembangnya kesenian dan kesusastraan baru, serta mulai dibangunnya dasar‐dasar ilmu pengetahuan modern [36,37]. Kebangkitan seni menjadi corak utama yang mewarnai periode tersebut. Pada fase ini, mereka tidak hanya berupaya untuk menggali nilai‐nilai yang tersimpan dalam peradaban Yunani, Arab dan Romawi namun menumbuhkan sesuatu hal yang baru. Para pelukis dan pematung meningkatkan representasi realitas dengan menggunakan konsep perspektif dan teknik baru, seperti manipulasi intensitas warna, kontras dan lain sebagainya. Periode ini melahirkan sejumlah nama besar, seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo Buonarroti, Raffaello Santi dan lain sebagainya. Renaisans mengubah cara pandang. Ia menimbulkan hasrat untuk berlayar menjelajahi dunia serta memberikan inspirasi bagi kaum intelektual dalam menjelaskan fenomena alam. Seni dan ilmu pengetahuan bercampur pada masa renaisans. Seniman, seperti Leonardo da Vinci, melakukan observasi dalam upaya untuk menggambarkan alam. Mereka tidak lagi terjebak pada upaya untuk menghasilkan sebuah penemuan spesifik, melainkan mulai menyadari akan pentingnya proses dalam penemuan tersebut, yaitu metode saintik [36,37]. Ledakan dari proses akumulasi tersebut terjadi pada tahun 1543. Lahir dua karya besar, yaitu “De Revolutionibus Orbium Coelestium” oleh Nicolaus Copernicus dan “De Humani Corporis Fabrica” oleh Andreas Vesalius. Peristiwa ini menandai lahirnya
era baru dalam ilmu pengetahuan, sebuah paradigma yang memberikan kesadaran akan pentingnya fakta empiris dan matematika dalam upaya untuk menjelaskan fenomena alam. Semangat inilah yang menginspirasi terjadinya transformasi saintifik melalui sentuhan Galileo Galilei, Christiaan Huygens, Johannes Kepler, Blaise Pascal, dan Isaac Newton di abad ke‐17. Transformasi yang berlangsung dari abad ke‐16 hingga abad ke‐17 merupakan fase ketiga dalam kebangkitan Eropa, yaitu revolusi sains atau revolusi Copernican. Revolusi Copernican tidak hanya mengubah cara pandang manusia terhadap alam, tetapi juga perspektif dalam memandang institusi. Keteguhan Copernicus terhadap sains dan perlawanannya terkadap dogma umum yang berlaku ketika itu telah menginspirasi lahirnya sebuah gelombang pemikiran politik pada abad ke‐17 hingga abad ke‐18 [36]. John Locke membangun teori kepemilikan yang disandarkan pada kebebasan individu. John Trenchard memperkenalkan prinsip "kebebasan untuk berpikir" dan "kebebasan untuk berpendapat". Charles de Montesquieu mengemukakan konsep trias politika. Adam Smith meletakkan dasar‐dasar doktrin ekonomi pasar bebas dan kompetisi. Demikian juga dengan Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, Voltaire, Thomas Jefferson dan sejumlah intelektual besar lainnya. Mereka meyakini bahwa individu adalah basis dari hukum dan masyarakat. Pemikiran ini mendorong terjadinya transformasi politik di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke‐18, seperti revolusi 1688 di Inggris, revolusi Amerika tahun 1776 dan revolusi Perancis tahun 1789. Restrukturisasi sistem politik dan kebijakan publik yang dilatarbelakangi prinsip kebebasan dalam sains tersebut merupakan fase keempat kebangkitan barat. Kulminasi dari proses panjang tersebut melahirkan fase kelima kebangkitan Eropa, yaitu transformasi sosial dan ekonomi [38]. Revolusi ini berlangsung dari abad ke‐18 hingga abad ke‐20. Upaya akusisi manusia terhadap sains telah melahirkan sejumlah kemampuan untuk merekayasa lingkungan. Penemuan mesin uap oleh James Watt menghasilkan transformasi secara luas. Peradaban barat mulai mengenal kapal bermesin uap, kereta, generator listrik dan lain sebagainya. Proses mekanisasi telah meningkatkan kapasitas produksi secara dramatis. Revolusi politik, yang terjadi di fase keempat, turut serta mengaklerasi proses tersebut. Dimungkinkan munculnya kekuatan ekonomi di luar kerajaan atau negara. Transformasi sosial dan ekonomi tersebut telah mengantarkan dominasi peradaban barat di dunia, hingga hari ini. Kebangkitan Eropa merupakan hasil dari sebuah proses panjang [36‐38]. Secara umum, proses ini tersusun atas enam elemen kebangkitan, yaitu revitalisasi budaya, restrukturisasi sistem pendidikan, kebangkitan kebudayaan baru, revolusi sains, restrukturisasi sistem politik dan kebijakan publik berbasis ilmu pengetahuan serta transformasi sosial dan ekonomi. Visualisasi hubungan ini terlihat pada gambar 10. Elemen‐elemen ini juga dijumpai dalam proses kebangkitan Amerika Serikat dan Jepang, dua peradaban besar lainnya yang mendominasi wajah dunia hari ini. Namun tentu saja, proses yang terjadi tidak harus berlangsung secara (relatif) serial dan memakan waktu yang sangat panjang, seperti di Eropa. Jepang melakukannya secara paralel dalam waktu yang relatif singkat [39].
Gambar 10 Lima fase dan elemen‐elemen kebangkitan Eropa.
3.2 Lukisan Neksus Tiga Titik Neksus tiga titik adalah sebuah kondisi objektif yang menunjukkan terjadinya tren transformasi pemikiran yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini. Latar belakang ini merupakan sebuah potensi nyata bagi kebangkitan Indonesia. Elemen kebangkitan adalah komponen‐komponen yang diperlukan untuk mewujudkan keberhasilan dari sebuah peradaban. Tantangannya sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan neksus tiga titik dengan elemen kebangkitan menjadi sebuah formulasi langkah strategis. Lukisan neksus tiga titik adalah sebuah upaya integrasi yang bertujuan untuk menjawab tantangan tersebut. Ilustrasi proses integrasi tersebut dapat dilihat pada gambar 11. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyambut bagian pertama dari neksus tiga titik, yaitu dengan melakukan restrukturisasi sistem pendidikan dan lembaga penelitian guna mendorong terjadinya revolusi pengetahuan di Indonesia. Situasi pendidikan dan penelitian yang lamban dan gagap dalam menangkap perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi [22] merupakan salah satu penghambat dalam proses kebangkitan Indonesia. Upaya aklerasi ini sebaiknya didasarkan pada prinsip interdisiplinaritas, sesuai dengan semangat yang mendasari perkembangan sains kontemporer dewasa ini. Sekat‐sekat birokrasi dan perspektif pemikiran klasik akan spesialisasi, yang menghambang terjadinya proses aklerasi ilmu pengetahuan harus dirombak secara total. Langkah kedua adalah upaya akuisisi sains kompleksitas, sebagai hasil revolusi pendekatan kuantitatif (neksus kedua), dalam proses restrukturisasi sistem politik dan kebijakan publik. Kompleksitas adalah masa depan ilmu pengetahuan. Fisikawan Stephen Hawking pernah menyatakan bahwa “abad selanjutnya adalah era kompleksitas. Selain melakukan pengembangan sains melalui proses
restrukturrisasi sistem pendidikan dan lembagaa penelitian, tantangan selanjutnya s a adalah bagaimana mengakuiisisi pengetah huan tersebutt dalam prosees restrukturiisasi sistem politik dan keb bijakan publikk.
G Gambar 11 Lukisan n neksus tiga titiik.
k adalah melakukan n proses revittalisasi budayya guna mendorong terjadinya kebanggkitan Langkah ketiga kebudayaaan baru. Ke ekayaan budaya Indonessia memiliki potensi besar menjadi motor pengggerak kebangkittan Indonesiaa. Upaya revittalisasi budayya tidak hanyaa bertujuan u untuk mempeerkaya kebudaayaan itu sendirri, melainkan n juga akan memberikan n inspirasi baagi ilmu pengetahuan daan menjadi motor m kebangkittan ekonomii. Ada tiga faktor kunci dalam prosses revitalisaasi tersebut, yaitu pendataan kekayaan budaya trad disional, pen nelitian dan mendorong m munculnya kebangkitan k kebudayaan baru. Proses peendataan kekkayaan budaaya tradisi In ndonesia harus dilakukan dengan carra‐cara yang tidak tradisionaal. Upaya aku uisisi teknolo ogi dalam pro oses inventarisasi budayaa, seperti yang dilakukan n oleh "Indonesian Archipelaago Culture Initiatives” [32] [ adalah sebuah terobosan baru yang harus terus mbangkan secara bersama‐‐sama. didukung dan kita kem
Gambar 12 Evolusi sisstem ekonomi gllobal.
Kulminasi dari tiga langkah tersebut adalah terjadinya proses transformasi sosial dan ekonomi. Hasil transformasi tersebut menentukan tingkat keberhasilan kebangkitan sebuah peradaban. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk bersaing dalam proses tersebut. Mengapa hal ini dapat terjadi? Sistem ekonomi berevolusi [41], seperti diilustrasikan pada gambar 12. Saat ini sistem ekonomi tengah bergerak dari fase kedua (ekonomi berbasis teknologi tinggi) ke fase ketiga (ekonomi berbasis kreativitas dan inovasi). Tahapan ketiga ini menawarkan sebuah kesempatan besar bagi Indonesia. Efek dominasi faktor modal yang mendorong terjadinya perangkap kemiskinan, sebagai sebuah karakteristik natural yang terdapat di dua fase ekonomi sebelumnya, menjadi berkurang pengaruhnya.
Gambar 13 Diversitas pasar (sumbu horizontal) dan diversitas produk (sumbu vertikal) negara‐negara di dunia. Ukuran lingkaran setiap negara adalah proporsi sektor kerajinan dan seni terhadap total ekspor (Data: PBB, 2008).
Pada gambar 13, kita dapat melihat bahwa Indonesia memiliki modal yang sangat besar untuk dapat bersaing di era ekonomi berbasis kreativitas dan inovasi yaitu diversitas pasar, namun memiliki kelemahan dalam diversitas produk. Jika Indonesia mampu meningkatkan diversitas produk maka kontribusi sektor industri kreatif akan meningkat secara drastis. Diversitas pasar adalah modal awal yang harus terus dipertahankan. Namun di samping itu, kita juga harus mampu meningkatkan diversitas produk yang dihasilkan. Untuk itu setidaknya, ada dua langkah yang harus dilakukan. Langkah pertama adalah perlindungan hukum terhadap sumber daya kreatif yang ada di bumi Indonesia. Maraknya klaim pihak asing terhadap artefak kebudayaan Indonesia dilatarbelakangi oleh kesadaran akan pentingnya sumber daya kreatif dalam kegiatan ekonomi di masa yang akan datang. Tiga konsep hukum yang tersedia saat ini, yaitu HAKI konvensional, WIPO dan GPL, belum mampu menjawab tantangan kompleksitas permasalahan perlindungan sumber daya kreatif di Indonesia. Untuk itu, kita memerlukan sejumlah terobosan baru. Konsep "Nusantara Cultural Heritage State License" [42] merupakan salah satu terobosan baru yang menarik untuk terus dikembangkan. Langkah kedua adalah mendorong proses inovasi guna meningkatkan diversitas produk nasional. Upaya ini hendaknya dilakukan secara komprehensif dan melibat seluruh komponen yang terkait di dalamnya,
mulai dari aspek regulasi, institusi penelitian dan pengembangan, keuangan, jaringan inovasi serta berbagai aspek strategis lainnya.
4. Rekomendasi Untuk Kebangkitan Indonesia Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun elemen‐elemen peradaban di dalamnya, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang‐Undang Dasar 1945. Untuk diperlukan sejumlah langkah strategis yang saling bersinergi satu sama lain. Kajian ini setidaknya memberikan lima arahan strategis untuk kebangkitan Indonesia. Rekomendasi tersebut antara lain: 1. Mendorong proses restrukturisasi sistem pendidikan dan lembaga penelitian guna mewujudkan terjadinya revolusi pengetahuan di Indonesia. 2. Akuisisi sains kompleksitas dalam proses restrukturisasi sistem politik dan kebijakan publik. 3. Melakukan proses revitalisasi budaya guna mendorong terjadinya kebangkitan kebudayaan baru. 4. Perlindungan hukum terhadap sumber daya kreatif yang ada di bumi Indonesia. 5. Mendorong proses inovasi guna meningkatkan diversitas produk nasional.
Karya Yang Disebut [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21]
Eglash, R. (1999). African Fractals: modern computing and indigenous design. Rutgers UP. Ananta Toer, P. (1995) Arus Balik, Hasta Mitra. Elson, R. E. (2008) The Idea of Indonesia: A History, Cambridge University Press. BPUPKI dan PPKI (1998) Risalah sidang BPUPKI dan PPKI: 28 Mei 1945‐22 Agustus 1945, Sekretariat Negara. Maisels, C. (1993) The Emergence of Civilization: From Hunting and Gathering to Agriculture, Cities and the State in the Near East, Routledge Press. McClellan, J. E. and H. Dorn (2006) Science and Technology in World History: An Introduction, The Johns Hopkins University Press. Gregory, A. (2001) Eureka! The Birth of Science, Icon Books Press and Totem Books Press. Barnes, J. (1982) The Presocratic Philosophers, Routledge Press. Livio, M. (2002) The Golden Ratio: The Story of Phi, the World's Most Astonishing Number, Broadway Books, New York. Kline, M. (1972) Mathematical Thought from Ancient to Modem Times: Volume 1, Oxford University Press Kline, M. (1972) Mathematical Thought from Ancient to Modem Times: Volume 2, Oxford University Press Kline, M. (1972) Mathematical Thought from Ancient to Modem Times: Volume 3, Oxford University Press Osborne, C. (2004) Presocratic Philosophy: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York. Amemiya, T. (2007) Economy and Economics of Ancient Greece, Routledge Press. Price, B. B. (1997) Ancient Economic Thought, Routledge Press. Flannery, D. (2006) The Square Root of 2: A Dialogue Concerning a Number and a Sequence, Praxis Publishing Ltd. Beckmann, P. (1971) History of Pi, St. Martin's Press, New York. Russell, B. (1996) The Principles of Mathematics, W. W. Norton & Company. Mulianta, I. (2005) Godel Untuk Semua, Working Paper WPA 2005, Bandung Fe Institute. Mandelbrot, B. (1983) The Fractal Geometry of Nature, W. H. Freeman. Situngkir, H. and Y. Surya (2009) Chaos: Cakrawala Baru Dalam Memahami Alam dan Masyarakat, Akan Segera terbit.
[22] [23] [24] [25] [26] [27] [28] [29] [30] [31] [32] [33] [34] [35] [36] [37] [38] [39] [40] [41] [42]
Situngkir, H., Y. Surya, etc. (2009) Sulusi Untuk Indonesia: Prediksi Kompleksitas/ekonofisik, Penerbit Kandel. Hald, A. (2003) A History of Probability and Statistics and Their Applications before 1750, John Wiley & Sons, Inc. Hald, A. (2006) A History of Parametric Statistical Inference from Bernoulli to Fisher: 1713‐1935, Springer. Kruss D.J. (2001) Is Normal Distribution due to Karl Gauss? Euler, his Family of Gamma Functions, and Place in History of Statistics, Quality and Quantity, Vol. 35, No 4, p. 445‐446. Hogg, R. and A. T. Craig (1978) Introduction to Mathematical Statistics: Fourth Edition, macmillan Publishing Co., Inc. Tijms, H. (2007) Understanding Probability: Chance Rules in Everyday Life, Cambridge University Press. Mantegna, R. and H. E. Stanley (2000) An Introduction to Econophysics: Correlations and Complexity in Finance, Cambridge University Press. Newman, M.E.J. (2006) Power laws, Pareto distributions and Zipf’s law, arXiv:cond‐mat/0412004 v3 Situngkir, H. (2008) The computational generative patterns in Indonesian batik, Working Paper WP‐V‐2008, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. (2008) Evolutionary Clustering in Indonesian Ethnic Textile Motifs, Working Paper WP‐VII‐2008, Bandung Fe Institute. Doellah, H. S. (2002) Batik: The Impact of Time and Environment, Danar Hadi. Situngkir, H. (2008) Deconstructing Javanese Batik Motif: When Traditional Heritage Meets Computation, Working Paper WP‐XIII‐2008, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. (2008) Constructing the Phylomemetic Tree: Indonesian Tradition‐Inspired Buildings, Working Paper WP‐III‐2008, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. (2008) Conjectures to the Memes of Indonesian Songs, Working Paper WP‐VI‐2008, Bandung Fe Institute. Durant, W. (1935) The Story of Civilization, Vol. 1‐11, Simon and Schuster Press. Brotton, J. (2006) The Renaissance: A Very Short Introduction, Oxford University Press. Farr, J. R. (2003) Industrial Revolution in Europe: 1750‐1914, World Eras, Vol. 09, Thomson‐Gale Press. Gordon, A. (2003) A Modern History of Japan: From Tokugawa Times to the Present, Oxford University Press. Zawani, H., D. Khanafiah and H. Situngkir (2008) Platform Komputasi untuk Preservasi Budaya Tradisional Secara Partisipatif, Working Paper WP‐XII‐2008, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. (2008) Evolutionary Economics celebrates Innovation and Creativity based Economy, Working Paper WP‐X‐2008, Bandung Fe Institute. IACI (2008) Nusantara Cultural Heritage State License, Indonesian Archipelago Culture Initiatives, URL: http://budaya‐indonesia.org/iaci/NCHSL.