Volume III No. 01 Juni 2016
pISSN 2460-1802 & eISSN 2528-0961
MEDIA ONLINE DAN KEBANGKITAN PARTISIPASI POLITIK KELAS MENENGAH DI INDONESIA, SEBUAH GERAKAN UNTUK PERUBAHAN SOSIAL
oleh: Oktaviana Purnamasari Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta & Sarwititi Sarwoprasodjo Prodi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT Growing middle class in Indonesia brings implications for political life and democracy. As aneducated class with financial capability, they are attached to the internet and voice their political participation through online media such as social media, blogs, websites and online petitions. The phenomenon of political participation through online petitions is an interesting thing to study. The purpose of this study was to describe political participation made by the middle class in the online media, particularly on the online petition at change.org and outlines the social changes that occur as a result of participation in the political climate doingby the middleclass. From the study we obtained the fact that the petition online has become a means of political participation of the middle class in Indonesia to break down the injustice felt by citizens in order to build a change. Judging from the context of communication, online petitions become a mean of communication for the middle class to express concerns over the events happening around them. That concerns make them need a communication channel to convey their aspirations to the relevant parties, including Government and private parties. Hopefully, the communication can be realized through changes to achieve a better life. Keywords: Political participation, middle-class, online media, online petitions, social change
Pendahuluan Tumbuhnya kelas menengah di Indonesia tidak hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, namun juga berimplikasi pada lahirnya kesadaran untuk turut serta dalam partisipasi politik. Kelas menengah yang rata-rata dari kalangan terdidik danberkecukupan secara finansial memiliki kepedulian terhadap isu-isu sosial seperti lingkungan, hak azasi manusia dan demokrasi. Penelitian mengenai kelas menengah Indonesia pernah dilakukan secara komprehensif oleh Center for MiddleClass Consumer Studies (CMCS) pada November 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia berada pada angka 135 juta jiwa, atau sekitar 56% dari total penduduk Indonesia. Sebanyak hampir 40% dari total jumlah kelas menengah tersebut berada di Jakarta. Kelas ini menjadi kelas yang paling berpengaruh dalam menumbuhkan konsumsi domestik, juga dalam meningkatkan taraf pengetahuan dan pendidikan. Selain itu kelas ini juga menjadi kelas yang paling besar penetrasinya terhadap teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi dalam bentuk akses internet.Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kelas menengah Indonesia melek informasi, termasuk dalam hal politik. Kelas menengah menganggap penting informasi seputar politik sebab rata-rata dari mereka
43
Volume III No. 01 Juni 2016
pISSN 2460-1802 & eISSN 2528-0961
melek politik, sadar akan haknya sebagai warga negara, dan menyuarakannya dalam sosial media. Dalam konteks lokasi di Jakarta dan Indonesia, media sosial menjadi sarana komunikasi yang paling efektif bagi kelas menengah untuk bertukar informasi, termasuk informasi politik (Nuswantoro: 2015: 64). Penelitian Cheeseman (2015) terhadap kaum kelas menengah Kenya saat Pemilu tahun 2013, menyatakan bahwa kaum kelas menengah memiliki perilaku pro demokrasi yang lebih baik dibanding kelas lainnya. Cheeseman menggarisbawahi pernyataan Moore yang terkenal, yakni “tidak ada kaum borjouis, maka tak ada demokrasi.” Hal ini sejalan dengan yang terjadi dengan kelas menengah di beberapa negara di Afrika, bahwa kelas menengah lebih cenderung bersikap demokratis, namun di Kenya masih saja bersinggungan dengan etnis lain sehingga cenderung memiliki arti politik yang kurang. Di China, kelas menengah memiliki sikap kritis dalam kehidupan berdemokrasi. Penelitian Chen & Lu (2006) terhadap kaum urban kelas menengah di Beijing melihat bahwa mereka menginginkan pelaksanaan pemerintahan RC (Residents’ Committees atau komite warga) dilaksanakan dengan cara demokratis. Selama ini pemilihan pengurus RC dilakukan secara tidak langsung dengan dipilih oleh perwakilan yang biasanya merupakan petahana yang dikontrol dan dimonitor oleh pemerintah lokal dan partai, yakni Chinese Communist Party (CCP). Karena dianggap tidak demokratis, warga kelas menengah enggan berpartisipasi dalam sistem tersebut. Mereka menginginkan pemilihan pengurus RC secara langsung, dan menganggap bahwa hanya dengan pemilihan langsung maka pelaksanaan pemerintahan dapat disebut demokratis. Pertumbuhan kelas menengah yang terjadi di Afrika juga memunculkan sikap kritis terhadap kehidupan berdemokrasi. Data dari African Development Bank (2011), jumlah kelas menengah tumbuh dari 196 juta menjadi 313 juta orang antara tahun 2000 dan 2010. Dalam Resnick (2015) disebutkan bahwa para akademisi percaya pertumbuhan kelas menengah memberikan manfaat pada demokrasi, mulai dari pergeseran pandangan dari parokial kepada kosmopolitan (Lipset 1963) hingga kebutuhan yang lebih luas atas pemerintahan yang akuntabel (Birdsall 2007) untuk mewujudkan kohesi sosial dan stabilitas politik (Barro 1999). Tak hanya di Kenya, di Zambia kelas menengah semakin kritis menyikapi situasi politik di negaranya. Penelitian Resnick (2015) memaparkan bahwa ketidakpercayaan kelas menengah terhadap institusi politik membuat mereka kurang tertarik untuk menggunakan hak suara. Hasil survey di berbagai negara berkembang yang dirangkum oleh Yuswohady (2014) menyebutkan bahwa kelas menengah memiliki dampak positif terhadap proses demokratisasi suatu negara. Hal ini karena kelas menengah lebih menekankan pentingnya institusi dan praktik demokrasi seperti pemilu yang bebas dan jujur, kebebasan berpendapat, serta sistem peradilan yang adil. Sementara itu di Indonesia, kelas menengah juga memiliki kesadaran dalam berdemokrasi dalam bentuk partisipasi politik. Salah satu bentuk partisipasi politik yang banyak dilakukan adalah lewat media online. Bagi kelas menengah Indonesia, media online menjadi media yang potensial untuk digunakan dalam sebuah komunikasi politik. Merujuk pada pemikiran Mc Nair (2003:6) bahwa terdapat tiga komponen komunikasi politik yakni organisasi politik, media dan warga negara; maka medialah yang menjadi jembatan komunikasi yang menghubungkan organisasi politik dan warga negara. Putra (2011) menulis, kehadiran media baru yang berbasis internet atau sering disebut sebagai media online sebagai media komunikasi politik mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1997 oleh partai politik kala itu (PPP, Golkar dan PDI). Golkar dengan alamat www.golkar. or.id, Partai Persatuan Pembangunan online beralamat di www.ppp.or.id dan PDI meluncurkan Banteng Yes di alamat www.banteng.org. Informasi yang tersaji pada ketiga website tersebut meliputi program partai, pernyataan politik, susunan pengurus di tingkat pusat dan daerah, AD/ART dan kesempatan dialog antara pengguna dan pengurus partai politik. Pada Pemilu 2004 dan 2009 pemanfaatan internet sebagai medium komunikasi politik makin meningkat. Bukan saja partai politik yang memanfaatkannya, melainkan juga individu calon legislator (DPR dan DPD), pasangan calon Wapres dan Presiden
44
Volume III No. 01 Juni 2016
pISSN 2460-1802 & eISSN 2528-0961
ramai-ramai membangun website. Penelitian Putra (2011) mengenai penggunaan media baru khususnya website pada Pemilukada di Banten tahun 2011 menemukan bahwa meskipun semua kandidat menggunakan media online yakni website serta media sosial berupa Facebook dan Twitter, namun sifat media online yang seharusnya bisa interaktif dengan komunikasi dua arah belum dimanfaatkan secara optimal. Website dan media sosial Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno yang menjadi pemenang Pemilukada misalnya, tidak pernah menjawab masukan, kritik dan komentar yang ditulis oleh masyarakat pengunjung website dan media sosial mereka. Kelas menengah tak hanya aktif mengakses informasi politik lewat media online, namun juga turut serta mengambil bagian dalam kegiatan politik. Kemenangan Jokowi-Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu tidak bisa dilepaskan dari partisipasi politik yang dilakukan masyarakat kelas menengah yang ada di DKI Jakarta. Relawan JokowiAhok menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube untuk menjalin dukungan berdiskusi dan memobilisasi massa lewat ruang virtual.Di era personalisasi politik pasca Orde Baru, marketing politik sebagai bauran yang menggabungkan media sosial, media massa, dan marketing politik tradisional bisa menjadi strategi alternatif kandidat maupun partai politik untuk memenangkan pemilu. Partisipasi politik yang dilakukan tak hanya terbatas melalui media sosial, namun juga media online yang cakupannya lebih luas, misalnya salah satunya melalui blog, website maupun petisi online yang saat ini tengah marak dilakukan untuk mengkritisi berbagai hal seputar politik. Situs change.org merupakan salah satu bentuk petisi online yang banyak digunakan oleh kelas menengah untuk menyuarakan aspirasi mengenai berbagai hal seputar kegiatansosial dan mengawal kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Desakan atas kasus politik yang telah membawa dampak yang cukup signifikan dari ditandatanganinya petisi online di change.org diantaranya adalah kasus pencopotan Budi Waseso yang didukung oleh tanda tangan 19.584 pendukung. Desakan kasus sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) untuk dilakukan secara terbuka atas kasus pencatutan nama Presiden dan Wapres oleh Setya Novanto untuk meminta jatah saham dari Freeportberhasil meraih jumlah dukungan yang cukup banyak yakni 43.328 pendukung, meskipun tuntutan tersebut hanya mengakomodir dilaksanakannya sidang terbuka pada saat pemeriksaan terhadap pengadu yakni Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan juga Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin sebagai salah satu nama yang terlibat dalam percakapan tersebut. Namun sidang MKD tetap dilakukan secara tertutup terhadap teradu ketua DPR Setya Novanto. Sementara itu kasus yang masih bergulir petisinya adalah desakan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk mengusut dugaan pelanggaran pidana oleh Setya Novanto, desakan untuk memecat Ketua DPR Setya Novanto yang telah mencatut nama Presiden dan Wapres pada kasus Freeport, serta desakan kepada Presiden Jokowi untuk mencabut peraturan bersama Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Fenomena partisipasi politik melalui petisi onlineini merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Di tengah hiruk-pikuknya kasus korupsi dan masih belum ditemukannya format kehidupan berpolitik dan berdemokrasi yang jujur, bersih dan berkeadilan, hadirnya partisipasi politik oleh kelas menengah Indonesia merupakan oase dan titik balik kebangkitan kehidupan berdemokrasi yang harapannya akan membuahkan suatu perubahan sosial yang positif bagi Bangsa dan Negara. Dari pemaparan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1). Bagaimanakah partisipasi politik kelas menengah Indonesia di media online? 2). Apakah partisipasi politik kelas menengah melalui media online di Indonesia mampu memberikan dampak positif pada perubahan sosial? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1). Mendeskripsikan partisipasi politik yang dilakukan oleh kelas menengah di media online, khususnya pada petisi online di situ change.org. 2). Menguraikan perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat dari partisipasi politik yang dilakukan kelas menengah di media online.
45
Volume III No. 01 Juni 2016
pISSN 2460-1802 & eISSN 2528-0961
Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Sedangkan metode dan jenis penelitiannya adalah Deskriptif , yaitu memaparkan secara terperinci fenomena sosial berupa kebangkitan partisipasi politik kelas menengah Indonesia di media online pada umumnya dan petisi online pada khususnya. Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari data sekunder berupa studi pustaka dan kajian literatur dari penelitian terdahulu yang digabungkan dengan pengamatan penulis mengenai realita partisipasi politik kelas menengah Indonesia di media online. Keduanya kemudian dianalisis dan dipaparkan dalam pembahasan untuk menjawab rumusan permasalahan sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil dan Pembahasan Partisipasi Politik dan Kiprah Kelas Menengah di Dunia Politik Huntington dan Nelson dalam Sastroatmodjo (1995:67) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh Pemerintah. Di lain pihak Budiardjo (1982:1) secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Sementara itu Nimmo mengatakan bahwa partisipasi politik merupakan satu dari dua tujuan komunikasi politik (Nimmo dan Rakhmat, 2001:85). Menurut Nimmo, tujuan komunikasi politik adalah: 1. Belajar tentang politik (Political Education). Belajar politik berlangsung selama sepanjang hidup manusia melalui proses yang disebut sosialisasi politik. Peranan komunikasi politik berguna untuk proses pembelajaran politik. Pembelajaran politik itu terjadi dari proses pertukaran informasi. Aktor-aktor politik dapat belajar memahami konstituen dan masyarakat dari pemberitaan media. Begitu juga sebaliknya masyarakat pun dapat belajar untuk meningkatkan pemahaman berpolitik melalui pemberitaan-pemberitaan politik, debat publik yang ditayangkan oleh media massa. 2. Berpartisipasi dalam politik (Political Participation); melalui proses pembelajaran politik tersebut, orang mengembangkan kepercayaan, nilai dan pengharapan yang selanjutnya mendorong orang untuk berpartisipasi dalam politik. Dalam kaitannya dengan partisipasi politik, kelas menengah memiliki andil yang cukup tinggi dibanding kelas lainnya, termasuk di Indonesia. Yuswohady (2012: 29) menulis, terdapat beberapa definisi kelas menengah oleh para pakar. Definisi yang lebih cocok untuk negaranegara Asia dikeluarkan Asia Development Bank (ADB). ADB (2010) mendefinisikan kelas menengah dengan rentang pengeluaran per kapita sebesar $ 2-20. Rentang pengeluaran itu dibagi lagi dalam tiga kelompok, yakni masyarakat kelas menengah bawah (lower middle class) dengan pengeluaran per kapita per hari sebesar $ 2-4, kelas menengah tengah (middle-middle class) sebesar $ 4-10, dan kelas menengah atas (upper-middle class) sebesar $ 10-20 (PPP, 2005). Vitalnya kelas menengah terkonfirmasi dari berbagai temuan riset. Birdsall, Graham, Pettinato (2000) menemukan bahwa dukungan politik dan partisipasi ekonomi kelas menengah merupakan faktor penentu tercapainya pertumbuhan berorientasi pasar yang berkesinambungan serta terwujudnya pengentasan orang miskin dalam jangka panjang. Kelas menengah juga memiliki dampak positif terhadap proses demokratisasi suatu negara. Survei yang dilakukan Pew Research Center (The Pew Global Attitude Project, 2009) di 13 negara berpendapatan menengah termasuk Brasil, India dan Malaysia mengonfirmasi hal itu. Hasil survei menunjukkan di negara berpendapatan menengah, kelas menengah lebih menekankan pentingnya institusi dan praktik demokrasi seperti pemilu yang bebas dan jujur, kebebasan berpendapat, serta sistem peradilan yang adil dibandingkan masyarakat kelas bawah atau miskin. Fenomena itu kita lihat di Indonesia sejak satu dekade terakhir. Sejak tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 Indonesia mengalami proses transformasi politik yang amat cepat menuju demokratisasi. Terjadinya
46
Volume III No. 01 Juni 2016
pISSN 2460-1802 & eISSN 2528-0961
transformasi politik yang cepat itu tak terlepas dari peran kalangan kelas menengah yang aktif merespons isu-isu politik, ekonomi dan sosial (Yuswohady, 2012: 46-50). Media Online sebagai Ruang Publik (Public Sphere)Masyarakat Kelas Menengah Media online telah menjadi wadah yang penting bagi kelas menengah Indonesia dalam menyuarakan aspirasi politik mereka sekaligus untuk turut serta melakukan partisipasi politik. Heryanto (2015) dalam makalahnya menyampaikan bahwa Blumler dan Kavanagh dalam Ward and Cahill (2009:3) menyebut suatu kemunculan “third age of political communication” di mana media cetak dan penyiaran akan kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru melimpahnya informasi. Penggolongan era diawalidari Era Retorika, Era Media Mainstream dan yang terjadi saat ini adalah Era Media Online. Nasrullah (2014: 109) menulis bahwa grup diskusi maupun forum perbincangan politik maupun aksi sebagai respons dari realitas politik di daring merupakan salah satu perwujudan ruang publik di era internet saat ini, sebagai pengganti ruang baca, perpustakaan, kafe dan tempat-tempat sebagaimana disebutkan Habermas sebgai fasilitas dalam diskusi intelektual telah menjadi apa yang disebut Poster (2015) sebagai virtual sphere atau ruang virtual. Ruang virtual memfasilitasi publik untuk melakukan interaksi melalui beragam jenis komunikasi internet, mulai dari satu ke banyak entitas atau dari banyak ke banyak hingga penggunaan fasilitas beragam interaksi (Barr, 2000:118). Melalui pendekatan kultural, ruang publik internet atau virtual sphere memberikan atau melahirkan budaya baru dalam proses demokratisasi. Tidak ada lagi batasan antara borjuis dan proletar, batasan gender menjadi kabur, dan siapa saja bisa melibatkan dirinya dalam debat intelektual di ranah politik. Suatu isu bahkan bisa menjadi informasi yang sangat cepat tersebar dan langsung bisa dijadikan topik perdebatan (Jordan, 1999:115). Juga, ini merupakan efek yang tidak bisa terelakkan, ruang virtual menyuburkan gerakan yang beragam, mulai dari gerakan akar rumput hingga aktivitas terorisme yang menggunakan internet sebagai ruang bebas untuk menyebarkan paham dan keyakinan kekuasaan pemerintah saat ini, termasuk di Indonesia (Lim, 2002; Castells, 1997, 2001; Harlon & Johnson, 2011) dalam Nasrullah (2014: 110). Dalam konteks masyarakat kelas menengah Indonesia, kemampuan mereka secara ekonomi memungkinkan untuk mengakses internet di mana saja dan kapan saja, mulai dari rumah, kantor atau tempat kerja, tempat nongkrong atau mall yang kini mayoritas menyediakan wifi hingga perangkat telekomunikasi terkini (laptop dan telepon pintar) yang selalu mereka bawa ke manapun pergi. Ketersediaan akses internet yang melimpah memudahkan kalangan kelas menengah untuk berpartisipasi dalam politik. Petisi Online, Sarana Komunikasi untuk Menyalurkan Partisipasi Politik Kelas Menengah Petisi online telah menjadi sarana partisipasi politik kelas menengah di Indonesia untuk mendobrak ketidakadilan yang dirasakan oleh warga demi terwujudnya suatu perubahan. Karakter kelas menengah yang terdidik, berkecukupan secara finansial sehingga terhubung dengan akses internet telah membawa mereka pada sikap kritis terhadap suatu peristiwa yang dianggap tidak semestinya terjadi. Salah satu medium untuk melakukan partisipasi politik melalui media online tersebut adalah dengan menandatangani petisi online di situs change.org. Setelah desakan mundur datang dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari para tokoh masyarakat hingga warga biasa melalui media sosial dan petisi online, Setya Novanto akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI. Kasus Setya Novanto mendapat sorotan dari masyarakat setelah rekaman pembicaraannya dengan Direktur Freeport dan pengusaha Riza Chalid terungkap ke publik. Mundurnya Setya Novanto merupakan indikasi bahwa partisipasi politik kelas menengah lewat media online dapat memberikan pengaruh yang cukup berarti pada sebuah peristiwa politik. Tak hanya dituntut mundur dari jabatannya, warga juga mengajukan petisi online untuk mengusut dugaan pelanggaran pidana oleh Setya Novanto. Petisi ini ditujukan kepada Kapolri Badrodin Haiti, KPK dan Kejaksaan Agung. Penggagasnya
47
Volume III No. 01 Juni 2016
pISSN 2460-1802 & eISSN 2528-0961
menulis bahwa dugaan keterlibatan pimpinan DPR Setya Novanto, Fadli Zon, Fahri Hamzah, M. Riza Chalid dalam rencana perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia telah sampai pada tingkat yg membahayakan negara. Bukan saja karena mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres JK tetapi juga bernuansa makar. Hingga makalah ini ditulis, petisi tersebut telah mengumpulkan 36.915 dukungan. Petisi lain yang dikonfirmasi kemenangannya oleh change.org adalah kasus Kusrin, seorang lulusan SD perakit televisi yang sempat tersangkut masalah hukum karena menjual televisi rakitannya karena belum memiliki sertifikat SNI. Petisi dengan judul “Bina Kusrin Si Perakit TV, Bukan Dibinasakan” memperoleh 27.113 pendukung. Kusrin sebenarnya telah mengajukan izin usaha perakitan televisi kepada pihak pemerintah. Namun dia ditangkap polisi sebelum izin tersebut turun. Netizen kemudian banyak yang bersimpati dan melalui berbagai media sosial seperti Facebook dan Twitter serta menggalang dukungan untuk menyelamatkan Kusrin dari jerat hukum melalui petisi online. Melalui change.org petisi ditujukan kepada Kantor Kementerian Perindustrian, Kantor Badan Standarisasi Nasional, Kejari Karanganyar dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Saleh Husin. Hasilnya, pada 19 Januari 2016 Kusrin memperoleh sertifikat SNI yang diserahkan langsung oleh Menteri Perindustrian Indonesia Saleh Husin di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta (Kompas, 19/01/2016). Partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson dalam Sastroatmodjo (1995: 67) merupakan kegiatan warga negara (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh Pemerintah. Jika merujuk pada definisi ini maka upaya yang dilakukan warga menggunakan petisi online untuk mengkritisi berbagai peristiwa atau memberikan dukungan pada suatu peristiwa tertentu sehingga berakibat pada diambilnya keputusan Pemerintah dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik. Dilihat dari konteks komunikasi, petisi melalui media online merupakan sarana komunikasi bagi warga kelas menengah untuk mengungkapkan kepedulian atas berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Kekhawatiran terhadap adanya ketidakadilan membuat mereka membutuhkan saluran komunikasi untuk menyampaikan aspirasi mereka terhadap pihak terkait, diantaranya kepada pihak Pemerintah dan juga swasta. Harapannya, melalui komunikasi dapat terwujud perubahan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Meskipun menurut Whiting dalam Rogers (1989:118) komunikasi bukanlah selamanya menjadi penyebab perubahan, dan juga tidak selamanya tidak relevan dengan perubahan. Kontradiksi dan kekacauan dalam analisa komunikasi dan perubahan bersumber dari pencampuradukan tingkat analisa, dari reifikasi proses komunikasi, dari pencampuran isi pesan-pesan yang nyata dengan potensi pertukaran pesan serta dari pembatasan pengertian komunikasi sebagai semata-mata saluran media di bawah kendali kaum elit. Padahal jika dilihat saat ini media online telah sedemikian berkembang sehingga memungkinkan adanya saluran komunikasi yang dapat dikendalikan tidak hanya oleh kaum elit, namun juga warga biasa. Dalam hal ini warga tersebut adalah kelas menengah yang memiliki akses internet dan terdidik. Perubahan Sosial sebagai Dampak dari Aktivitas Politik Kelas Menengah di Media Online Salah satu alasan dilakukannya partisipasi politik oleh kelas menengah adalah karena mereka menginginkan adanya perubahan. Dutta (2011:3) mengungkapkan bahwa esensi dari perubahan sosial adalah proses yang berangkat dari arus utama dan lebih jauh lagi proses yang menantang hegemoni atas arus utama (mainstream). Arus utama atau susunan dominan merupakan status quo yang mencerminkan keinginan aktor dominan dalam masyarakat, yakni untuk mempertahankan dan menyebarkan tujuan aktor-aktor dominan. Dalam skenario global kontemporer, proses komunikatif pada arus utama dibenarkan dengan tujuan memelihara kepentingan elite kekuasaan dan melanjutkan untuk memperkuat tumbuhnnya perbedaan kelas dalam kerangka neoliberal. Sedangkan perubahan sosial dikonseptualisasikan pada tujuan proses komunikasi, strategi dan taktik yang diarahkan untuk merubah struktur tersebut dalam globalisasi kontemporer yang terutama didorong oleh logika neoliberal. Dengan kata lain, perubahan sosial
48
Volume III No. 01 Juni 2016
pISSN 2460-1802 & eISSN 2528-0961
merupakan upaya untuk mendobrak struktur yang ada sehingga terwujud sebuah kondisi yang dicita-citakan. Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa mengubah kerangka yang telah terstruktur? Whiting dalam Rogers (1989: 134) menyatakan bahwa secara umum hal itu dapat dilakukan dengan menciptakan dan menyebarkan pesan-pesan. Mereka yang mengendalikan kerangka dan bentuk yang sudah ada, perlu diyakinkan akan ketidakefisienan dan ketidakadilannya. Mereka yang menjadi korban kerangka itu perlu dimobilisasikan dan digalang menjadi kelompok kepentingan politik yang efektif. Orang akan mengubah perilakunya sebagai respon terhadap perubahan premis-premis yang mendasari perilaku tersebut. Jadi premis-premis itu sendiri harus diubah lebih dahulu. Perubahan itu bisa berjalan lamban mengikuti peristiwa-peristiwa alami, atau bisa juga cepat sebagai respon terhadap upaya-upaya perubahan yang terarah di mana komponen komunikasi menjadi bagian yang penting. Paling tidak komunikasi diperlukan untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan kelompok revolusioner, dan juga seringkali untuk memperoleh legitimasi dan dukungan dari luar bagi aktivitas-aktivitas tersebut. Dalam situasi kelas menengah, mobilisasi pesan dikomunikasikan melalui media online. Ketika mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan dan keadilan, yang dibingkai dalam kerangka terstruktur, maka kelas menengah bergerak untuk melawannya. Meskipun terdapat sinisme yang menyebutkan bahwa kelas menengah hanya bergerak demi memperjuangkan kepentingan mereka sendiri dan tidak untuk golongan bawah, namun apa yang dilakukan oleh kelas menengah tersebut merupakan bagian dari kesadaran mereka untuk menuntut hak dan menyuarakan kebenaran. Media online yang lekat dengan kehidupan kelas menengah menjadi medium yang pas untuk menyuarakan partisipasi politik. Lewat petisi online, kelas menengah tidak hanya sekedar menjadi penonton, tetapi turut ambil bagian untuk “mengoreksi” apa yang mereka anggap tidak sesuai dengan keadilan. Berbagai aktivitas mereka di media online telah menjelma sedemikian rupa sehingga kelas menengah berperan sebagai kelompok penekan terhadap beberapa kebijakan Pemerintah. Nasrullah (2014:159) memaparkan bahwa teknologi komunikasi yang semakin mudah diakses dan semakin ramah pula digunakan oleh khalayak pada kenyataannya bagi Rheingold (1993) telah merevitalisasi apa yang dinamakan sebagai ruang publik (public sphere). Partisipasi khalayak terhadap aspek sosial politik menjadi nyata dan bukan hanya milik sebagian (penguasa) orang. Kompas (15/10/2012) menulis, kampanye lewat media sosial terbukti dapat menghasilkan perubahan. Media sosial digunakan untuk tempat berkumpul virtual dan secara tak langsung dapat memobilisasi massa yang memiliki tujuan sama. Meskipun Usman Hamid, Direktur Kampanye Change.org menyatakan, hal ini tidak semata karena rakyat melakukan petisi secara online, namun ada kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak untuk mendesak pemerintah atau pembuat keputusan agar memenuhi apa yang diinginkan rakyat.Dari sisi ini, kita tidak dapat mengabaikan peran partisipasi politik kelas menengah dalam mewujudkan perubahan sosial. Jati dalam Kompas (07/01/2016) menuturkan besarnya dukungan dan atensi publik dalam petisi online tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia sudah berkembang menjadi kelas politik. Sepanjang 2013-2014 tercatat petisi online dari kelas menengah Indonesia, mulai dari kasus Daming Sanusi calon hakim agung, diskriminasi pelayanan disabilitas, kawasan hutan lindungm kawasan konservasi air, hingga perlindungan cagar budaya. Semua petisi online tersebut menarik dukungan publik hingga 5.000 tanda tangan bahkan lebih sehinggamampu menekan pemerintah dan swasta untuk tunduk pada kehendak publik. Lebih lanjut Jati menulis, meskipun kini prospek digital politik tengah mengalami euforia di mana petisi mampu jadi alat penekan utama bagi pemerintah maupun swasta, hal terpenting adalah menjaga posisi keajekan kesadaran politik tersebut. Transisi apolitik menjadi politik masih sangat tinggi di kalangan kelas menengah Indonesia. Aktivisme klik (clicktivism) belum tentu jadi kekuatan politik yang berpengaruh kalau tidak didukung oleh para penyokongnya yang
49
Volume III No. 01 Juni 2016
pISSN 2460-1802 & eISSN 2528-0961
cukup kuat di akar rumput. Kekuatan isu dan figuritas menjadi isu penting yang patut dikedepankan oleh aktivisme politik digital di Indonesia untuk menjaga kesadaran politik.
Kesimpulan Dari berbagai paparan di atas, terlihat bahwa partisipasi politik kelas menengah Indonesia di media online terutama petisi online terus tumbuh. Selain sebagai bagian dari kesadaran kehidupan berpolitik, petisi online juga menjadi alat penekan yang berfungsi sebagai alat kontrol bagi kinerja pemerintah maupun swasta. Hal ini menjadi awal dari sebuah perubahan sosial, apabila konsistensi partipasi politik ini dapat dijaga dan diimplementasikan tidak hanya di dunia maya, namun juga di dunia nyata.
Daftar Pustaka Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: PT Gramedia. Dutta, Mohan J. 2011. Communicating Social Change – Structure, Culture and Agency. New York: Routledge. Jati, Warsisto Raharjo. Politik Digital dan Kelas Menengah. Kompas, 7 Januari 2016. Mc Nair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication. London & USA: Routledge. Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan Riset Media Siber. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Nimmo, Dan dan Jalaluddin Rakhmat. 2001.Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek.Bandung: Rosda. Rogers, Everett M. 1989. Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis. Jakarta:LP3ES. Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yuswohady. 2012. Consumer 3000 – Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jurnal: Cheeseman, Nick. 2015. No Bourgeoisie, No Democracy? The Political Attitudes of The Kenyan Middle Class.Journal of International Development published by John Wiley & Sons, Ltd. Chen, Jie & Lu, Chunlong. 2006. Does China’s Middle Class Think and Act Democratically? Attitudinal and Behavioral Orientation toward Urban Self-Government. Journal of Chinese Political Science, Vol. 11, no. 2, Fall 2006. Putra, Afdal Makkuraga. Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011. Jurnal UMN Volume III No. 2 Desember 2011. Resnick, Danielle. 2015. The Middle Class and Democratic Consolidation in Zambia. Journal of International Development published by John Wiley & Sons, Ltd. Utomo, Wisnu Prasetya. 2013. Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia: Belajar dari Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 (67-84) ISSN 1410-4946.
50