DAFTAR ISI JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1, No.1, Mei 2012 ISSN: 2252-570X Pengantar Redaksi iii Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual untuk Memahami 1 Dinamika Sosial-Politik di Indonesia Heru Nugroho u
Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial 16 Sugeng Bayu Wahyono u
Biaya-biaya Manusia dalam Era Neo Liberal : Sebuah Imperatif 30 Oki Rahadianto Sutopo u
Demokrasi dan Komodifikasi Perlindungan Kesehatan Perempuan 44 Derajad S. Widhyharto u
Demokrasi Ekonomi Lokal 58 Mahendra Wijaya u
Gerakan Anti Penuaan: 74 Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah u
Ibadah Kelas Ala Reality Show Televisi 91 Ratna Noviani u
Domestifikasi Etnisitas: 103 Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan Antar Etnis di Maluku Utara Nurul Aini u
Biodata Penulis 117 Formulir Berlangganan 119
PENGANTAR REDAKSI
D
emokrasi dan demokratisasi di Indonesia mengalami “kemandekan”, semangat demokrasi dan demokratisasi terhenti dalam bentuk prosedur yang bermakna instrumental, dan meninggalkan arti substansialnya. Bappenas, melansir bahwa Indeks demokrasi Indonesia berada pada nilai 67,30 tahun 2009. Pemerintah bahkan menargetkan indeks itu naik menjadi 75 pada akhir 2014. Adapun instrumen yang digunakan adalah kebebasan sipil, hak-hak politik, dan institusi demokrasi. Kondisi tersebut menghasilkan benturan keras dalam konsep maupun praktiknya, sehingga demokrasi dan demokratisasi sampai saat ini menyisakan banyak persoalan. Pada aras konsep, persoalan muncul ketika demokrasi dan demokratisasi diterjemahkan dalam wujud kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik. Sedangkan dalam aras praktik, muncul isu ketidaksiapan dalam merespon peluang dan tantangannya. Jurnal Pemikiran Sosiologi (JPS) volume 1 No.1 Mei 2012, merupakan edisi perdana yang diharapkan dapat menjadi simpul dari berbagai perspektif dalam melihat, merasakan dan meraba dinamika demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Dalam penyajiaannya para penulis mengangkat perjalanan konsep sampai dengan praktik demokrasi di Indonesia. Pertama, Heru Nugroho, membuka dengan menjelaskan debat antara demokrasi liberal dengan demokrasi sosial. Heru juga menjelaskan praktek demokrasi setelah era reformasi 1998 dan menunjukkan masalah yang dihadapi oleh negara dalam menciptakan masyarakat demokratis. Kedua, S. Bayu Wahyono, menyoroti budaya politik kalangan akar rumput yang bertingkah laku politik bersih perlu ditiru oleh kalangan elite politik. Hal tersebut akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Ketiga, Oki Rahadianto Sutopo, mempersoalkan nilai-nilai etik terutama biaya-biaya manusia dalam hal fisik maupun makna yang tidak menjadi prioritas utama dalam era neoliberal sekarang. Pengurangan subsidi, deregulasi dan privatisasi menjadi tiga kata ajaib untuk menciptakan pasar bebas. Keempat, Derajad S. Widhyharto memotret perlindungan kesehatan perempuan yang berpacu dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan. Kota Madiun menjadi arena kontestasi tersebut, resikonya demokrasi termodifikasi oleh dinamika sosial, politik dan pasar. Kelima, Mahendra Wijaya, mengusulkan bahwa pemerintah seharusnya memberikan prioritas kepada usaha bisnis kecil sebagaimana telah tertulis dalam undang-undang dasar terkait dengan demokrasi ekonomi. Keenam, Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, menyatakan telah muncul gerakan anti penuaan yang mendorong kesehatan tidak harus dipecahkan dengan sebuah pendekatan medis, melainkan perlu dilihat dari berbagai perspektif. Ketujuh, Ratna Noviani, menyatakan tayangan reality show menunjukkan proses reifikasi dan obyektifikasi realitas kemiskinan guna mendefinisikan dan menggarisbawahi ibadah kelas. Kedelapan, Nurul Aini, menyatakan pemekaran wilayah di Maluku Utara memiliki dampak pada terjadinya proses rutinisasi kekerasan, khususnya kekerasan yang berbasis pada etnik atau identitas tertentu.
Redaksi iii
DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL UNTUK MEMAHAMI DINAMIKA SOSIAL-POLITIK DI INDONESIA Heru Nugroho
ABSTRAK “Keruntuhan komunisme pada tahun 1989 menjadi momentum yang krusial bagi demokrasi sebagai sebuah sistem politik untuk menyebarkan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia. Sebagai sebuah konsep, demokrasi mempunyai makna yang luas dan juga kompleksitasnya sendiri. Artikel ini ingin menjelaskan varian dari demokrasi terutama debat antara demokrasi liberal dengan demokrasi sosial. Selain itu, penulis juga menjelaskan praktek demokrasi di Indonesia setelah era reformasi 1998 dan menunjukkan masalah yang dihadapi oleh negara ini dalam menciptakan masyarakat yang demokratis. Sebagai kesimpulan, artikel ini ingin menjelaskan bahwa demokratisasi di Indonesia masih dalam proses dan masih banyak hal yang perlu dibenahi” Kata Kunci: demokratisasi, liberal, sosial, akselerasi, Indonesia ABSTRACT “ The collapse of communism in 1989 became an important moment for democracry as a political system to spread its influences all over the world. As a concept, democracy has wide meanings and its complexities. This article wants to explain the variant of democracy especially the debate between liberal democracy and social democracy. I would also like to explain the practice of democracy in Indonesia after reformation 1998 and showing the problem that faced by this country to create democratic society. In conclusion, this article wants to tell that the democratization in Indonesia is still in process and there are lots of things that needs to be fixed” Keywords: democratization, liberal, social, acceleration, Indonesia
A.
I
Pendahuluan karena dianggap mampu mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial dan politik, Baik yang melibatkan kepentingan antar individu dalam masyarakat, hubungan antar masyarakat, masyarakat dan negara maupun antar negara di dunia. Ambruknya ideologi komunisme Uni Soviet tahun
stilah demokrasi pada dua dasawarsa terakhir, khususnya di berbagai negara berkembang kian populer, baik pada tingkat wacana maupun aras gerakan sosial politik. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi telah menempati stratum ter atas yang diterima oleh banyak negara
1
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
1989, setidaknya telah menjadi momentum penting bagi perluasan demokrasi sebagai wacana pilihan sistem politik. Kepopuleran demokrasi sebagai ideologi politik secara cepat menyebar oleh berkembangnya wa cana kritis yang sebagian besar mengung kapkan kegagalan praktek otoritarianisme. Hadirnya demokrasi seakan telah menjadi hal berarti dan nyata mengatasi masalah sosial politik yang selama ini diderita berbagai negara.
baik politik, ekonomi, dan kebudayaan. Aturan main itu hendaknya menjamin pemberian ruang gerak atau kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk melakukan aktifitas kehidupannya. Aturan main yang sudah dirumuskan dan dituangkan dalam bentuk hukum ter sebut seyogyanya dihormati oleh setiap aktor sosial dalam segala tingkat dan kapasitas. Dengan kata lain, baik itu penguasa, pemerintah, pengusaha dan rakyat kebanyakan semuanya harus hormat dan tunduk pada hukum (aturan main). Barang siapa yang menyimpang dari aturan main atau barang siapa yang mencoba memanipulasi aturan main dapat ditindak melalui lembaga peradilan tanpa pandang bulu.
Sebagai sebuah konsep, demokrasi me miliki makna luas dan mengandung banyak elemen yang kompleks. Demokrasi adalah suatu metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara (David Lechmann, 1989). Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi. Jadi dengan kata lain dapat diungkap bahwa demokrasi adalah suatu metode penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik, dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam meraih suara. Namun demikian, proses kompetisi itu harus tetap dibingkai oleh etika normatif yang mengarah pada terjadinya equlibrium sosial.
Kalau kesadaran akan logika demokasi seperti itu sudah melembaga dan diinter nalilasi oleh individu setiap anggota masyarakat, maka liberalisme sebagai “roh demokrasi” justru akan mendatangkan harmoni dan kemajuan peradaban. Ke bebasan berusaha (free enterprise), kebebasan bersaing (free fight), kebebasan bersuara dan kebebasan memilih afiliasi politik justru tidak akan mendatangkan kekacauan tetapi kesejahteraan sosial. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa kema juan masyarakat terjadi kalau semua aktor sosial sadar akan aturan main tersebut. Seandainya salah satu pihak melanggar aturan main dalam praktek politik khususnya penunjang kekuasaan maka konsep liberalisme akan tereduksi dalam faham Darwinisme (Mangunwijaya, 1994). Dalam faham Darwinisme tersebut konsep liberalisme dimaknai sebagai kebe basan yang tanpa batas, barang siapa yang kuat maka dialah yang akan eksis atau “survival of the fittest”. Dalam faham ini
Dalam demokrasi kesantunan politik harus tetap dijaga. Konsep liberalisasi yang melekat pada ideologi demokrasi musti diartikan sebagai sebuah masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab, yaitu masyarakat yang memiliki aturan main yang jelas sehingga si kuat tidak menindas si lemah. Ini dapat terjadi kalau ada hukum yang mengatur segala bentuk permainan, 2
Heru Nugroho, DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di indonesia
orang boleh ngomong semaunya sendiri, partai boleh melakukan demagogi hingga kapasitas maksimum, kekuatan politik boleh bertindak apa saja. Sehingga yang muncul bukan equilibrium sosial tapi kondisi yang chaos. Dalam konteks masyarakat yang sedang membangun dan memberdayakan rakyatnya bukan konsep liberalisme dalam pengertian Darwin ini yang perlu di introdusir, namun pengertian liberalisme dalam bingkai kesantunan dan kemaslahatan yang harus diadopsi dan dipelajari.
warga negaranya yang setara secara politis harus menjadi dasar pijakannya, oleh karena itu maka negara memiliki kewajiban dalam memberikan peluang dan kesempatan bagi warganya untuk: (1) Merumuskan pre ferensinya, (2) Menunjukkan preferensi nya pada warga negara dan pemerintah melalui tindakan pribadi dan kolektif dan (3) memberikan bobot yang sama pada preferensinya, yang dilakukan oleh warga negara (MacPherson. C.B., 1997). Ketiga kesempatan yang harus dimiliki oleh semua warga negara di atas, akan dapat berjalan secara optimal apabila ada sejumlah jaminan kelembagaan. Jaminan itu diantaranya adalah: (1) kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi, (2) kebebasan mengeluarkan pendapat, (3) hak memilih, (4) kesempatan menjadi pejabat pemerintah, (5) hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam mencari dukungan, (6) hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam meraih suara, (7) sumber-sumber informasi alternatif, (8) lembaga yang membuat kebijakan pemerintah tergantung kepada perolehan suara dan pengungkapan preferensi lainnya (George Sorensen, 2003). Kedelapan kondisi itu adalah merupakan elemen dasar bagi berlangsungnya iklim demokrasi yang sehat. Secara singkat kedelapan elemen dasar demokrasi itu dapat diringkas dalam tiga dimensi yaitu kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik.
Dengan suasana liberalisasi yang kondusif ini maka negara akan dapat menjalankan ideologi demokrasinya se cara lebih tertata dan konstruktif. Negara demokrasi ini akan dapat mengambil keputusan-keputusan dasar pemerintahan nya yang tergantung sepenuhnya pada persetujuan bebas dari yang diperintah. Keterbukaan akan kritik juga merupakan syarat dari negara tipe ini, sehingga aspirasi masyarakat lapis bawah dapat mencuat ke permukaan dan digunakan sebagai landasan kebijakan pemerintah demi kemakmuran nasional. Institusi politik yang liberal merupakan syarat mutlak dari negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokratis. Liberalisasi atau demokratisasi merupakan dua hal yang secara total hidup dan berkembang dl masyarakat. Demokrasi tidak dapat berjalan in vacumm, maksudnya demokrasi tidak dapat terjadi hanya pada sektor kehidupan politik saja, sementara sektor-sektor kehidupan lainnya tidak demokratis. Atau liberalisasi tidak dapat hanya berlaku dalam bidang ekonomi saja, sementara bidang politik tidak mengalami liberalisasi (David Held, 1987).
Ketika demokrasi diartikan sebagai kompetisi, partisipasi dan kebebasan maka proses demokratisasi (perubahan sistem politik dari bentuk non demokratis ke bentuk yang lebih demokratis), dapat dilakukan dengan dua jalan yang paling esensial yaitu jalan yang terfokus pada kompetisi dan jalan yang terfokus pada partisipasi.
Jadi dalam ideologi demokrasi res ponsifitas pemerintah terhadap preferensi 3
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
Meningkatnya partisipasi (atau inklusifitas) berarti meningkatnya jumlah warga negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan. Rezim non-demokratis mungkin saja menjauhkan sebagian besar masyarakatnya dari partisipasi. Pada rezim demokratis, seluruh penduduk dewasa memperoleh hak kebebasan secara penuh. Kompetisi (atau liberalisasi) menyangkut tersedianya hak-hak dan kebebasan, paling tidak bagi beberapa anggota sistem politik. Meningkatnya liberalisasi berarti meningkatnya peluang bagi oposisi politik dan meningkatnya kompetisi untuk meraih kekuasaan pemerintahan.
memiliki hak memilih pemerintah mereka. Apabila suatu negara dapat menegakkan pilar demokrasi secara stabil dan kuat, maka bukan suatu hal yang mustahil bagi negara itu untuk merealisasikan kondisi yang menjadi parameter berlangsungnya sistem politik yang bercorak poliarki. Adapun parameter yang harus dimiliki pemerintahan yang bersifat poliarki adalah: (1) para pemimpinnya tidak menggunakan koersi kekerasan, yaitu polisi dan militer untuk meraih atau mempertahankan ke kuasaannya, (2) adanya organisasi masya rakat pluralis yang modern dan dinamis, (3) potensi konflik dalam pluralisme struktural dipertahankan pada tingkat yang masih dapat ditoleransi, (4) dalam masyarakat, khususnya yang aktif dalam politik ada budaya politik dan sistem keyakinan yang mendukung ide demokrasi dan lembaga poliarki (John Markoff, 2002).
Dengan adanya tiga dimensi demo krasi yaitu kompetisi, partisipasi dan kebebasan di suatu negara maka akan lebih membuka peluang bagi berseminya proses demokratisasi. Terciptanya iklim demokratis yang optimal akan berdampak pada semakin menguatnya hak-hak war ga negara dalam mengekspresikan as pirasinya. Hak-hak warga yang harus diperjuangkan dan diakomodasi dalam sistem politik yang demokratis adalah: (1) perjuangan untuk mendapatkan otoritas bagi parlemen terpilih untuk mengambil keputusan/kebijakan, (2) perjuangan un tuk memperoleh perluasan atas hak me milih, (3) perjuangan untuk membuat subyek penguasa berhubungan dengan kehendak para pemilih, (4) perjuangan untuk mengadakan pemilu berdasarkan perhitungan yang jujur, (5) perjuangan bagi diterimanya partai-partai politik yang terorganisir sebagai aktor sosial yang memiliki legitimasi dan sebagai peserta pemilu, (6) perjuangan bagi terciptanya emansipasi bagi sekelompok masyarakat yang secara personal masih bergantung pada kelompok dominan agar mereka juga
Jadi praksis demokrasi yang paling substansial adalah negara wajib melindungi rakyat, utamanya dalam merepresentasikan hak-hak kewargaan mereka, lebih utama lagi dalam menyelenggarakan terciptanya hak-hak dasar hidup yang layak. Untuk itu maka negara berkewajiban mengendalikan dan mengatur gejala kekuasaan yang asosial. Negara juga harus mampu mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan ke arah tercapainya tujuan negara. Jadi secara umum bagi negara yang demokratis kebijakan negara adalah kebijakan dalam rangka mewujudkan kese jahteraan warga. Dukungan dari warga akan diperoleh manakala anggota warga merasa kehendak dan kepentingannya mendapat saluran yang wajar. Agar tidak terjadi penyimpangan demokrasi maka yang diperlukan adalah penegasan perlunya keseimbangan yang kuat di antara 4
Heru Nugroho, DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di indonesia
B.
elemen-elemen negara untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat, dimana masya rakat secara efektif terlayani melalui sarana dan perlengkapan pemerintah. Untuk itu maka harus ada penguatan paradigma di kalangan rakyat ke arah “high trust society” yaitu masyarakat yang memiliki kepercayaan dan rasa hormat akan kre dibilitas pemerintah yang berkuasa. Dalam masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya kepada pemerintahannya akan sangat sulit membangun dan mem bangkitkan partisipasi. Kondisi ini tentu saja akan menjadi batu sandungan bagi penguatan iklim demokrasi di negara itu.
Demokrasi Liberal Versus Demokrasi Sosial
Pada lingkup global saat ini terdapat dua tipe demokrasi yang bertarung memperebutkan dominasi politik dan spirit, yaitu demokrasi libertarian dan sosial. Keduanya mengaku strategi tepat untuk menyelenggarakan kebebasan dan keadilan lembaga dan memberikan pemahaman yang berbeda tentang konsep kebebasan dan keadilan dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Konsep demokrasi libertarian dikelompokkan berdasar kenya taan bahwa negara pemerintah meskipun merupakan bagian dari struktur demokratis dalam koridor undang-undang, namun sebagian besar kondisi sosial ekonomi tetap dianggap sebagai wilayah pribadi yang lepas dari campur tangan dan struktur politik. Tuntuan atas keseluruhan tanggung jawab pemerintah untuk membentuk struk tur sosial, mengatur perekonomian dan menjalankan kebijakan penyebaran ulang guna melaksanakan nilai dasar kebebasan dan keadilan bagi pihak yang mampu, akan dianggap sebagai sebuah invasi tidak sah oleh negara ke dalam wilayah pribadi kebebasan warga negara. Kebebasan demokratis dan hak-hak warga negara dalam bidang politik, sosial dan ekonomi adalah suatu hal yang tidak boleh dikendalikan oleh pemerintah dan idealnya justru memberikan peluang terjadinya otonomi swasta, kontak yang dilakukan sendiri pihak swasta serta pasar yang mengatur dirinya sendiri (Meyer, 2005).
Kontrol atas kekuasaan sebuah “state” dalam menjalankan sistem pemerintahan nya agar tidak berlaku totaliter dilakukan oleh rakyat. Dengan kontrol ini maka ketertiban bersama, kesejahteraan umum dan hakhak individu rakyat akan tetap terjaga. Karena itu wewenang negara demokrasi adalah terbatas, yaitu sejauh mandat yang diberikan rakyat melalui pemilu dan sejauh praksis pencapaian kesejahteraan bersama menjadi tujuannya (Muji Sutrisno, 2000). Dengan demikian jelaslah bahwa di satu pihak sistem negara demokratis membutuhkan penataan kelembagaan sebagai mekanisme pembagian kekuasaan demi kesejahteraan masyarakat. Di lain pihak bila mekanisme kelembagaan sudah dibuat dan terus berproses, tidak otomatis bisa dikatakan demokrasi telah berjalan optimal. Demokrasi baru dapat dikatakan berhasil apabila tujuan society mendirikan state telah dicapai. Tujuan yang harus diupayakan terwujudnya adalah adanya kesejahteraan masyarakat, yang secara hukum berarti terjaminnya hak hidup dan martabat masing-masing warga negara di negara tersebut.
Pada pelaksanaannya selama dua abad terakhir, demokrasi liberal menyebabkan munculnya perbedaan cukup besar dalam prasyarat sosial, pendidikan dan personal. Di dalam kehidupan sosial ekonomi, hasil nya adalah kesenjangan besar dan sering 5
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
terus berkembang dalam kesempatan dan pilihan bagi kelas masyarakat berbeda. Sebagian besar masyarakat akan tersisihkan dan kemudian tidak memiliki barang sosial untuk hidup layak. Sebagian besar populasi akan terjerat ketergantungan kebutuhan ekonomi dan sosial serta berdampak kepada tersisihnya dari dinamika kehidupan ma syarakat, sosial, dan budaya secara layak. Ketergantungan ekonomi dan kebutuhan sebagian besar anggota masyarakat ini berujung pada hilangnya kesempatan dan peluang mereka untuk menggunakan hak sipilnya secara demokratis. Dari kenyataan ini akan muncul suatu tipe demokrasi defektif yang menyangkal dan mengerosi hak kewarganegaraan berupa hak sipil dan politik. Oleh sebab itu demokrasi libertarian dianggap akan cenderung menjadi sebuah tipe demokrasi elit atau delegatif. Tipe demokrasi ini akan membatasi kesempatan partisipasi demokrasi yang penuh pada sebagian besar anggota masyarakat dan hanya akan memberi kesempatan itu pada sekelompok kecil masyarakat atau hanya pada warga negara tertentu saja (Richard Falk, 1981).
diatur dan dilindungi lima hak asasi yang harus dimiliki manusia yaitu hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya (Meyer, 2005). Gagasan dibalik lima dimensi konsep hak asasi tersebut pada dasarnya adalah jaminan terciptanya peluang bagi setiap individu warga negara untuk memperoleh kebebasan dan kesempatan pengembangan personal serta membuka peluang ada nya ruang bagi setiap individu untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosialnya. Semua itu haruslah dijamin tanpa memandang status sosial, ekonomi, latar belakang etnis, agama, budaya, dll. Konvensi perlindungan lima hak asasi manusia yang merupakan pondasi bagi terwujudnya demokrasi sosial ini diratifikasi oleh 148 negara dengan aneka latar belakang budaya dan tingkat sosial ekonomi. Suatu negara yang menjalankan kon sepsi demokrasi sosial dituntut untuk menawarkan perlindungan sosial pada warganya dari kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi. Disamping itu, negara juga harus mampu memberikan jaminan pada warganya supaya ber kesempatan memperoleh dan menikmati fasilitas pendidikan yang memadai. Warga masyarakat tidak hanya sekedar dimungkinkan memperoleh ketrampilan, tetapi juga diarahkan agar dapat turut ambil bagian dalam dinamika kehidupan kebudayaan yang lebih luas. Tidak kalah pentingnya, bagi negara yang menjalankan konsep demokrasi sosial harus dapat menjaga harkat dan martabat warganya dalam konteks ekonomi dan sosial. Oleh karena itu negara wajib dapat mengelola dan mengendalikan dominasi iklim kapi talis agar tetap berjalan pada koridor yang
Berdasarkan kenyataan itu, ketika demo krasi liberal membawa kekurangan dan kontradiksi dalam praktek pelaksanaannya pada abad 19 di Eropa, maka setelah pengalaman krisis ekonomi dunia tahun 1920-an dan terutama setelah perang Dunia II di sebagian besar negara Eropa menerapkan praktek demokrasi sosial. Hal ini dilakukan sebagai upaya perbaikan terhadap praktek demokrasi liberal yang banyak akses negatifnya tersebut. Landasan dari konsep demokrasi sosial modern adalah konvensi hak-hak dasar PBB tahun 1966, dokumen ini merupakan bagian yang sah dari hak internasional. Pada dokumen ini
6
Heru Nugroho, DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di indonesia
tidak merugikan warga. Negara juga harus membuka dan memberdayakan ruang publik secara optimal sebagai instrumen warga dalam menyalurkan aspirasinya (Myron Weiner, 1987).
kedalaman dan keseriusan negara tersebut dalam melindungi dan melembagakan hak-hak kewarganegaraan sosial. Sebuah parameter untuk mengetahui keseriusan suatu negara dalam melaksanakan demo krasi sosial dapat dilihat pada ada tidaknya jaminan dalam undang-undang dasar negara itu atas hak kewarganegaraan dalam pelayanan sosialnya. Di negara sosial liberal yang memiliki ketentuan pengentasan kemiskinan namun tidak disertai kepastian hukum yang menjamin kepastian pelak sanaan hal ini pada masyarakat pene rimanya, akan gagal memenuhi kriteria demokrasi sosial. Sementara dua tipe yang lain telah dengan jelas melembagakan jaminan atas pelaksanaan hak-hak kewarga negaraan sosialnya.
Konsep demokrasi sosial menuntut setiap negara yang mempraktekkannya agar selalu memiliki jaminan sosial atas warganya secara menyeluruh. Jaminan sosial itu harus mampu memberikan perlin dungan atas hak-hak dasar yang semestinya dimiliki oleh semua individu sebagai warga negaranya. Negara diwajibkan untuk dapat mempertahankan sebuah penyebaran kesempatan hidup yang adil. Negarapun dituntut harus mampu memberikan jaminan keberhasilan atas pertumbuhan ekonomi serta kohesi sosial dan kestabilan politik. Pada kondisi terdapat ketidakstabilan sosial, politik dan ekonomi negara harus mampu meredam goncangan itu agar tidak berlarut-larut. Negara juga harus dapat memberikan rasa aman bagi warganya dari kondisi ketidakberdayaan akibat dominasi sistem kapitalisme pasar. Disamping itu, untuk pengoptimalan aplikasi konsep demokrasi sosial pada suatu negara, maka negara tersebut harus dapat menyediakan pendapatan minimum untuk individu dan keluarga, juga menawarkan perlindungan efektif terhadap penyakit, kemiskinan di usia tua dan pengangguran. Selain itu juga dituntut untuk menyediakan sejumlah pelayanan sosial seperti pengawasan anak dan perawatan terhadap lanjut usia.
Namun demikian keberhasilan pelak sanaan demokrasi sosial pada suatu negara tidak semata-mata hanya ditangan pemerintahannya. Warga negara juga memiliki kewajiban tertentu yang dapat melengkapi hak-hak dasar mereka. Warga negara tidak semata-mata menunggu untuk menerima hak kewarganegaraan sosialnya, namun juga memiliki peran secara aktif dalam memikul tanggung jawab atas hidup mereka sendiri. Setiap warganegara berkewajiban untuk meminta bantuan hanya ketika usahanya sendiri yang telah dikelola secara serius untuk memperoleh penghasilan sendiri tidak berhasil. Hal ini adalah sebuah persyaratan untuk pemeliharaan seluruh sistem keamanan sosial (Meyer, 2004).
Demokrasi sosial di negara maju ada tiga tipe yaitu negara sosial keuniversalan dalam pola skandinavia, negara sosial konservatif dijalankan pada negara Eropa kontinental dan negara sosial model liberal yang ada di negara Anglo Saxon. Tipe negara sosial ini dapat dibedakan berdasarkan pada tingkat
Di dalam praktek demokrasi sosial, setiap pemerintahan dituntut memiliki komitmen untuk menjamin adanya kese taraan kesempatan dan keadilan bagi setiap warganya. Kesetaraan dan keadilan itu tidak hanya dalam bidang politik 7
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
semata, tetapi juga dalam bidang sosial dan ekonomi. Negara harus memberi jaminan atas ketersediaan kesempatan dasar dalam kehidupan warga. Agar dapat mela kukan itu semua, negara harus memliki jaminan berupa kepastian hukum dalam bentuk undang-undang, sehingga negara benar-benar dapat memberikan jaminan kesejahtaraan berbasis hak bagi warganya. Hal ini merupakan tanggung jawab politik suatu negara demokratis yang dapat meng akomodasi kebutuhan hajat hidup warganya. C.
juga akan menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk meredakan ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik. Pernyataan Lipset itu juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan pengamat politik yang lain yaitu Robert Dahl, yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi suatu negara akan semakin mungkin bagi masyrakat untuk menjadi demokratis. Namun pendapat dan argumen yang dilontarkan Lipset dan Robert Dahl itu terbantahkan oleh kenyatan empiris yang terjadi di sejumlah negara. Di Argentina pernah terjadi praktek politik otoritarian isme selama bertahun-tahun padahal ting kat pendapatan perkapita rakyatnya relatif tinggi, bangsa ini pada saat itu cukup makmur secara ekonomi. Demikian pula kasus yang sama terjadi di Taiwan dan Korea Selatan. Bahkan pada kasus yang terjadi di Korea Selatan pembangunan ekonomi yang cepat disertai dengan distribusi pendapatan yang cukup merata, namun hal itu tidak disertai dengan korelasi yang paralel dengan berlangsungnya praktek akselerasi demokratisasi. Jadi menurut pengamatan beberapa ilmuwan politik bahwasannya kemakmuran suatu masyarakat, kesejah teraan ekonomi suatu bangsa tidak dapat menjadi jaminan absolut akan terjadinya pelaksanaan konsep demokrasi di negaranegara ekonomi maju itu.
Akselerasi Proses Demokratisasi
Agar terjadi percepatan proses demo kratisasi di suatu negara membutuhkan suatu kondisi yang kondusif. Ada sejumlah hal yang dapat menjadi pra kondisi bagi terciptanya akselerasi demokratisasi suatu negara. Ada yang beranggapan bah wa faktor ekonomi adalah merupakan prasyarat utama bagi berlangsungnya pro ses demokratisasi di suatu negara. Masya rakat industri modern yang diasumsikan memiliki tingkat kemampuan ekonomi yang tinggi akan lebih mudah menciptakan suatu negara yang demokratis. Asumsi itu didukung oleh pernyataan seorang ahli politik yang bernama Seymour M. Lipset yang menyatakan bahwa semakin kaya suatu bangsa maka akan semakin besar peluang negara tersebut untuk melang sungkan demokrasi (Sorensen, 1993). Pendapat Lipset ini didukung kenyataan bahwa modernisasi dan kesejahteraan akan selalu disertai dengan sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi yaitu meningkatnya tingkat melek huruf dan tingkat pendidikan, urbanisasi dan pembangunan media massa. Kesejahteraan masyarakat yang tinggi
Pendapat yang lain mengatakan bahwa akselerasi demokratisasi di suatu negara disebabkan oleh prakondisi yang berupa budaya politik dari suatu bangsa. Menurut asumsi ini lebih lanjut dijelaskan bahwasanya sistem nilai dan keyakinan akan menjelaskan konteks dan makna dari tindakan politik. Namun tesis ini memunculkan suatu per tanyaan baru; apabila budaya politik 8
Heru Nugroho, DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di indonesia
berhubungan dengan sistem budaya yang lebih luas dalam masyarakat, mungkinkah diidentifikasi akan menjadi nilai dan keya kinan budaya yang kondusif bagi demokrasi. Salah satu jawaban yang muncul dari pertanyaan itu adalah apa yang terjadi pada gerakan Protestantisme. Ideologi Protes tantisme mendukung terjadinya praktek demokrasi di suatu negara, namun bagi ideologi yang lain yaitu Katolisisme dalam banyak kasus terutama di Amerika Latin justru menghambat demokrasi dalam pe ngertian yang lebih luas, sejumlah budaya lebih menekankan pada hirarki, otoritas dan intoleransi dibandingkan budaya yang lain. Jadi dapat dikatakan bahwa budaya-budaya itu kurang kondusif bagi pelaksanaan demokratisasi di suatu negara, termasuk dalam hal ini adalah Islam dan Konfusionisme (Sorensen, 1993).
langsung dengan marak di Indonesia. Prakondisi lain yang dianggap dapat menjadi pemicu dan pemacu bagi tegaknya iklim demokrasi di suatu negara adalah struktur sosial masyarakat. Prakondisi ini berupa faktor-faktor internal yang berupa sistem pelapisan sosial yang ada di masyarakat. Diartikan bahwa kelas sosial tertentu akan memberikan dukungan yang signifikan bagi terjadinya proses demokratisasi namun kelas sosial yang lain justru menentangnya. Namun demikian lagi-lagi kita dihadapkan pada adanya unsur relatifitas di dalamnya. Pada struktur kelas yang dianggap mendukung proses demokratisasi itu pada situasi dan kondisi lain yang berbeda ternyata adakalanya justru menjadi faktor penghambat terjadi nya proses demokratisasi, demikian pula sebaliknya. Kelas yang selama ini di posisikan sebagai faktor penghambat proses demokratisasi pada situasi dan kondisi yang berbeda mereka justru memberikan dukungan yang besar bagi terciptanya iklim demokrasi. Hal ini terlihat pada kajian historis yang dilakukan oleh seorang pengamat politik Barrington Moore dalam bukunya Sorensen, Moore menyimpulkan bahwa kaum borjuis dalam kadar tertentu bekerja untuk proses demokratisasi suatu bangsa, namun thesis Moore ini dibantah oleh pengamat politik yang lain yaitu Goran Thurbon, menurut pendapat Thurbon, di banyak negara, demokratisasi muncul sebagai bentuk perjuangan masyarakat melawan dominasi dan hegemoni kaum borjuis.
Namun demikian memang diakui oleh banyak ahli bahwa sulit untuk melihat suatu hubungan yang sistematis dan pasti antara pola budaya tertentu dan privalensi demokrasi, ada hal-hal yang bersifat relatif. Sistem budaya merupakan subyek perubahan yang bersifat dinamis. Hal ini nampak pada ideologi Katolisisme, pada satu kurun waktu tertentu dalam perjalanan sejarah, ideologi ini menghambat demo krasi di Amerika Latin, tetapi pada sisi lain gereja Katolik juga memainkan peranan penting dan aktif dalam oposisinya ter hadap pemerintah otoriter di tahun 1980an. Demikian juga dengan ideologi Islam, di beberapa negara di Timur Tengah ideologi ini mungkin menghambat proses demokratisasi, namun di Indonesia pada masa reformasi ini, kelompok-kelompok partai yang berspesifikasi pada ideologi Islam sangat mendukung pada terjadinya proses demokratisasi yang sedang ber
Faktor lain yang dapat dijadikan modal bagi berlangsungnya iklim demokratis suatu masyarakat adalah faktor eksternal. Kondisi ekonomi politik, ideologi dan elemen lain dalam skala global akan mempengaruhi 9
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
praktek demokrasi di suatu negara. Menurut beberapa kalangan faktor eksternal itu akan sangat mempengaruhi tingkat akselerasi kesadaran masyarakat khususnya di negara-negara berkembang, akan penting nya penerapan ideologi demokrasi dalam sistem politiknya. Pengamat modernisasi berpendapat bahwa faktor-faktor eksternal itu akan mempengaruhi bagi upaya pe ngembangan dan penguatan penerapan doktrin demokrasi di negara-negara dunia ketiga. Namun pendapat inipun disangkal kebenarannya, teoritisi dependensi me narik kesimpulan yang bertolak bela kang. Ketimpangan dan distorsi eko nomi yang terjadi di masyarakat dunia ketiga disebabkan oleh karena adanya ketergantungan pada sistem ekonomi dunia. Hal ini membuat praktek demokrataisasi di negara dunia ketiga sulit diwujudkan.
demokrasi di suatu negara tidak dapat lepas dari struktur dan prakondisi yang merupakan hasil pembangunan dan aktifitas elit politik di masa lampau. Oleh karena itu kita harus melihat bahwasanya terlaksananya atau tidak terlaksananya proses demokratisasi di suatu negara di pengaruhi dan ada kaitannya dengan prakondisi ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain, yang terbentuk pada periode sebelumnya dan tentunya itu harus menjadi bahan pertimbangan dan rujukan para elit politik di suatu negara pada saat ini. D.
Praktik Demokrasi di Indonesia
Tahun 1998 adalah merupakan babak baru dalam dinamika sistem politik di Indonesia, pada tahun itu dimulailah tradisi demokrasi dalam semua proses politik di negara ini. Setelah hampir 32 tahun terdominasi dan terhegemoni sistem politik yang sangat militeristik dan bersifat sentralistik, maka era ’98 melepaskan proses politik Indonesia dari jeratan dan pasungan intervensi politik negara yang sangat dominatif. Angin perubahan bertiup kencang menyapu debu-debu praktek otoritarianisme di masa lampau diganti dengan iklim yang segar bagi berseminya tunas-tunas demokrasi di segala bidang kehidupan.
Berdasarkan paparan diatas dapat di simpulkan bahwasanya sulit sekali untuk merumuskan suatu model yang absolut untuk dapat dijadikan rujukan bagi terjadinya akselerasi untuk pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Prakondisi yang nampaknya kondusif bagi implementasi ideologi demokrasi di suatu negara ternyata di dalamnya juga terdapat hal-hal yang kontra roduktif bagi berlakunya iklim demokrasi. Namun demikian pengakuan terhadap pentingnya prakondisi di atas bagi terlaksananya suatu proses demokratisasi di suatu negara bukan suatu hal yang percuma. Setidaknya pemahaman akan prakondisi di atas seperti dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memperjuangkan berlangsungnya suasana sistem politik yang demokratis di suatu negara. Namun demikian para aktor politik juga tetap harus kritis untuk memperhatikan prakondisi lain yang terjadi sebelumnya. Pelaksanaan
Reformasi politik yang telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun memberikan manfaat yang besar bagi dinamika sistem politik di Indonesia. Fenomena kebebasan politik ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi terbangunnya suatu tata pemerintahan yang bersih, adil dan berwibawa. Dengan terjadinya proses demokratisasi di Indonesia tentunya diharapkan akan terbentuk suatu negara demokratis yang memiliki kredi
10
Heru Nugroho, DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di indonesia
bilitas tinggi dan terwujudnya suatu masyarakat sipil yang sejahtera. Banyak keuntungan dan kemanfaatan yang diraih sebagai dampak terjadinya gelombang pe rubahan di Indonesia. Keberhasilan dari arus reformasi ini diantaranya adalah terbentuknya puluhan partai yang digalang oleh aneka kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang ideologi, aspirasi dan tradisi politik yang bervariasi. Demikian pula terjadi liberalisasi media massa yang sangat luas, media sangat leluasa dalam mencari dan menyebarkan informasi pada publik. Rakyat tidak dihalang-halangi ketika hendak menyampaikan aspirasinya. Keterbukaan bagi seluruh elemen masya rakat didalam melontarkan kritik dan saran kepada penguasa di runag publik. Hal positif lain yang dicapai dengan adanya reformasi di segala bidang di Indonesia adalah partisipasi sipil meningkat, masyarakat politik tumbuh subur, berbagai upaya pemulihan dan pembangunan eko nomi diselenggarakan, desentralisasi dan otonomi daerah diterapkan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di lakukan dengan sungguh-sungguh dan transparan, kampanye perlindungan HAM semakin marak, reformasi sektor per tahanan dan keamanan menjadi agenda yang diprioritaskan. Tuntutan bagi suatu negara yang demokratis juga berhasil diwujudkan, yaitu terselenggaranya pe milihan umum yang dilandasi semangat penegakkan prinsip keadilan dan kejujuran. Musim semi demokratisasi di Indonesia terlihat juga pada terjadinya desakralisasi lembaga kepresidenan. Pada masa orde baru yang bercorak absolut, presiden adalah penguasa tunggal dan tidak dapat tersentuh oleh hukum. Tetapi ketika reformasi bergulir presiden dapat ditumbangkan
dari tampuk kekuasaannya melalui me kanisme konstitusional oleh rakyat. Ini adalah suatu fenomena kemajuan dalam sistem politik di Indonesia. Hal lain yang dapat menjadi parameter keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia adalah terselenggaranya tiga kali pemilu yang relatif lancar yaitu pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009. Bagi sebuah negara demokrasi, pelaksanaan pemilu adalah merupakan momentum dalam mempertegas arah konsolidasi demokrasi dan penguatan kelembagaan politik. Dengan terlaksananya pemilu di Indonesia itu, maka transisi demokrasi di Indonesia dapat berjalan sesuai rencana dan mampu mendorong Indonesia sebagai negara “South East Asia’s only fully functioning Democracy”. Proses demokratisasi di Indonesia akan menjamin semakin kokohnya sistem demokrasi sosial yang berlanjut (suistainable consti tutional democracy), dimana hal ini sangat dibutuhkan guna menempatkannya sebagai instrumen efektif yang bekerja bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Namun demikian kita juga tidak boleh menutup mata, bahwa sebagai bangsa yang baru saja menjalankan roda demokrasi dalam praktek penyelenggaraan negara, masih banyak ditemui kelemahan dan kekurangan. Kelemahan itu diantaranya adalah sektor kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, pendididkan, kesehatan, pengelolaan lingkungan hidup dll, masih jauh dari apa yang diangankan masyarakat. Pemaksaan kehendak, keke rasan politik, korupsi dan keculasan yang dilakukan aparat legislatif, eksekutif dan yudikatif bukannya semakin menyusut namun menunjukkan eskalasi yang me ningkat, munculnya puluhan partai baru pada pemilu 2009 tidak memberikan rasa
11
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
optimisme pada masyarakat, namun justru menciptakan rasa pesimis, skeptis bahkan sikap sinis. Anggapan yang berkembang pada masyarakat, partai politik hanya akan dijadikan kedok dan kendaraan bagi petualang politik dalam meraih dan mewujudkan hasrat pribadi dan ambisi yang jauh dari upaya mensejahterakan rakyat.
penghitungan suara yang melebihi tenggat waktu yang ditetapkan (tidak konsisten dan berubah-ubah) instrumen teknologi informasi (IT) yang dipergunakan KPU untuk penghitungan suara secara cepat namun hasilnya tidak seperti yang diharap kan, padahal piranti itu dibeli dengan dana rakyat yang besarnya milyaran rupiah, dugaan adanya kecurangan pemilu berupa praktek penggelembungan suara pada salah satu parpol dll. Kelemahan-kelemahan ini menunjukkan kacaunya sistem managemen dan tidak kompetennya personel KPU yang memperihatinkan. Carut marut kinerja KPU ini akan dapat mengakibatkan terjadinya cacat moral dan politik yang sangat mencederai berlangsungnya proses demokratisasi di Indonesia.
Boleh dikatakan bahwa proses demo kratisasi yang terjadi di Indonesia baru sebatas meningkatkan kebebasan politik dan penghargaan atas hak asasi manusia, tetapi belum membawa kepada pembangunan ekonomi yang cepat dan memberdayakan ekonomi rakyat yang bisa mengentaskan dari jerat kemiskinan. Demokratisasi di Indonesia masih direcoki dengan tindak an-tindakan anarkis dan menyulut kekacauan sosial. Hal ini disebabkan karena iklim demokratis yang seharusnya mengedepankan tatanan dan ketertiban serta moralitas dalam berpolitik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah merebaknya fenomena dimana pemimpin dan masyarakat dapat melakukan apapun sesuai dengan yang mereka inginkan dan sistem hukum (aturan) dilecehkan serta tidak dihormati.
Disamping lemahnya tata kerja KPU dalam penyelenggaraan pemilu 2009, hal yang tidak kalah pentingnya bagi terjadinya cacat moral dan politik di Indonesia adalah maraknya praktek jual beli suara (money politic). Hal ini menampakkan bahwa saat ini para elit politik di Indonesia masih memandang bahwa menjadi anggota legis latif adalah bukan jabatan amanah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi merupakan kekuatan sebagai legitimator dan pengakses sumber-sumber kuasa (tidak hanya politis) tetapi juga sosial, ekonomi dan sebagainya. Sehingga jangan heran kalau rakyat menjadi skeptis dan apatis terhadap hasil pemilu 2009. Rakyat menjadi malas untuk berpartisipasi dalam kegiatan lima tahunan ini, hal ini terlihat pada tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan haknya (golput). Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan, kedepan harus ada penyempurnaan baik pada institusi pe nyelenggara KPU maupun kualitas intelek tual dan moral dari para calon legislatif.
Meskipun proses pemilu tahun 2009 dapat terselenggara, namun ada hal yang cukup signifikan sebagai bagian pem belajaran bagi pelaksanaan demorasi di Indonesia. Pemilu 2009 di Indonesia meskipun secara umum berlangsung kondusif, namun banyak terjadi kelemahan dan kesemrawutan. Hal ini terjadi karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara tidak dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal ini di tandai dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kacau, surat suara yang salah alamat, 12
Heru Nugroho, DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di indonesia
Akselerasi demokratisasi di Indonesia masih panjang dan berliku, masih dibutuh kan upaya-upaya yang konkret di dalam mengimplementasikan konsep demokrasi ini. Adapun upaya-upaya itu diantaranya adalah: Pertama, pemahaman nilai-nilai de mokrasi secara individual. Nilai-nilai yang mendorong terwujudnya kompetisi, parti sipasi dan kebebasan perlu diinternalisasi pada tingkat individual sehingga terwujud tata tertib sosial. Perilaku kompetisi tidak diartikan sebagai perilaku saling memaki, menghujat dan menjatuhkan, partisipasi tidak dimaknai sebagai kemauan yang bebas tanpa batas. Tiga nilai tersebut harus menjelma dalam perilaku sosial masyarakat Indonesia dan diharapkan akan membangun ketertiban sosial. Kedua, pembentukan masyarakat sipil dan kelembagaan sosial. Demokrasi men syaratkan adanya masyarakat sipil yang mandiri (Chandoke, 1999) yaitu masyarakat yang sadar akan terbentuknya ketertiban sosial tanpa melalui cara-cara kekerasan. Segala persoalan yang timbul dan dihadapi oleh masyarakat harus diselesaikan melalui dialog dan negosiasi dalam rangka mencari solusi tanpa campur tangan kekuasaan negara melalui tangan-tangan aparatnya. Apabila hal ini dapat terwujud di Indonesia maka masyarakat yang memiliki tipe ini akan menjadi kekuatan pengontrol bagi kebijakan publik dan pembentukan hukum karena ia akan mengontrol kinerja lembaga pemerintah, legislatif dan yudikatif dengan sikap kritisnya. Agar tercipta masyarakat yang tertib dan kritis itu maka diperlukan adanya penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk perjuangan masyarakat.
Ketiga, perbaikan kinerja parlemen, yaitu peningkatan kapasitas lembaga legislatif sebagai institusi politik yang mewakili kepentingan masyarakat baik di tingkat lokal, regional dan nasional dirasa sangat mutlak diperlukan. Mereka yang telah terpilih dan duduk di DPR baik pusat, tingkat I dan II seyogyanya tidak lagi sekedar menyuarakan kepentingan kelompoknya tetapi harus menyatu dan menyuarakan kepentingan masyarakat secara luas. Ini semua untuk menghindari kesan bahwa demokrasi perwakilan hanya memberi kesempatan partisipasi lima tahun sekali kepada masyarakat ketika negara sedang menyelenggarakan pemilu. Setelah terbentuk wakil-wakilnya di DPR dan setelah presiden terpilih membentuk kabinet, mereka kaum eksekutif dan legislatif bekerja sendiri untuk mengeluarkan ber bagai kebijakan dan hukum dengan me ninggalkan masyarakat di belakangnya. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pembuatan perundang-undangan tidak ada cara lain kecuali para anggota DPR harus aktif mendatangi masyarakat. Ja ngan mengulang kegagalan DPR masa lalu yang hanya menunggu masukan dari masyarakat dan kemudian menampung aspirasi itu. Situasi ini akan menghasilkan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga yang terhormat ini. Keempat, peningkatan kepekaan peme rintah, hal ini terjadi bila secara umum pemerintah bisa menegakkan keadilan dan sekaligus mensejahterakan kehidupan segenap lapisan kehidupan segenap laisan masyarakat yang ada di negara Indonesia. Indikator yang paling komplit adanya pemerintahan yang memiliki kepekaan adalah pemerintahan yang secara aktif
13
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
mengambil peran dalam pembentukan undang-undang tanpa harus menunggu masalah muncul ke permukaan. Sebelum mengusulkan perundangan, melalui kebi jakan departemen yang terkait pemerintah harus bersikap terbuka dan sekaligus aktif mencari masukan, kritik dan saran dari masyarakat. Ini merupakan langkah pemerintah dalam mendorong partisipasi dalam pembuatan perundangan dan kebijakan publik. Sebab semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan dan perundangan maka akan semakin absah pemerintahan itu di mata rakyatnya.
menambah popularitas demokrasi sebagai ideologi politik. Konsep demokrasi di anggap mampu dan nyata untuk meng atasi masalah sosial politik yang dihadapi berbagai negara. Agar akselerasi praktek demokratisasi dapat ditingkatkan, maka perlu upayaupaya konkret yang harus dilakukan, diantaranya adalah penanaman atas pemahaman nilai-nilai demokrasi secara individual ditingkatkan, pembentukan masyarakat sipil dan kelembagaan sosial, perbaikan kinerja parlemen dan pening katan kepekaan pemerintah. Bangsa Indonesia yang masih dalam taraf belajar berdemokrasi harus selalu belajar dan melakukan pembenahan di segala bidang. Kelemahan yang terjadi selama satu dekade proses reformasi digulirkan sebaiknya terus dikoreksi dan diperbaiki. Dengan cara ini maka praktek demokrasi untuk kesejahteraan rakyat dapat direalisasi dan kegagalan demokrasi dapat dihindari.
Upaya penyempurnaan proses demo kratisasi di Indonesia adalah suatu hal yang masih harus dilakukan. Kalau tidak ada perubahan maka apatisme publik akan semakin menguat, tingkat partisipasi politik semakin melemah dan dampaknya tidak mustahil akan terjadi “negara yang gagal” (the failled state) tentu hal ini adalah suatu hal yang tidak kita inginkan dan sekuat tenaga harus dihindari. Semua pihak harus arif dalam merespon dinamika yang terjadi. Aparat penyelenggara negara baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif harus berani melakukan langkah koreksi untuk penyempurnaan secara signifikan. Hanya dengan cara inilah maka frozen democracies dapat dicegah, the failled state dapat dihindari dan bangsa ini dapat lolos dari ujian demokrasi. E.
Daftar Pustaka Berger, Peter. L and Richard Neuhauss. 1977. To Empower People, the Role of Mediating Structure in Public Policy. Washington: American Enterprise Institute for Public Poli cy Research. Chandoake, Neera, 1995. State and Civil Society: Exploration in Political Theory. London: Sage Publication Falk, Richard, 1981, Human Right and State Sovereignty, New York: Holmes and Meier. Hald, David. 1987. Models of Democracy. Cambridge: Polity Press. Lechman, David, 1989, Democracy and
Kesimpulan
Demokrasi adalah konsep politik yang menjadi pilihan sistem politik di berbagai negara dunia ketiga pada dua dasawarsa terakhir. Ambruknya ideologi komunis me Uni Soviet di tahun 1989, semakin
14
Heru Nugroho, DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di indonesia
Development in Latin America, Cambridge: Polity Press. Mangun Wijaya, 1994. Dalam Sidney Hook, Sosok Filsuf Humanisme Demokrasi Dalam Tradisi Pragmatisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Macpherson. C. B, 1997. The Life and Times of Liberal Democracy. Oxford: Oxford University Press. Markoff, John, 2002. Gelombang Demo krasi Dunia (terjemahan). Yogya karta: Pustaka Pelajar. Meyer. T., 2005. Demokrasi Sosial dan Libertarian. Jakarta: Friederich Ebert Stiftung. ________, 2004. Politik Identitas. Jakarta: Friederich Ebert Stiftung. Sutrisno, Muji, 2000. Demokrasi Semudah Ucapankah?. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Sorensen George, 1993. Democracy and Democratization, Process and Prospect in a Changing World. Oxford: Westview Press Inc. Weiner, Myron and Samuel P. Huntington, 1981, Understanding Political Development. Boston: Little Brown.
15
TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL Sugeng Bayu Wahyono
ABSTRAK “ Demokrasi diyakini telah membawa perubahan politik dan kultural. Namun, sebenarnya masyarakat telah mempunyai tradisi yang sesuai dengan prinsip demokrasi tersebut. Nilai-nilai demokrasi seperti menghargai pendapat orang lain, toleransi, dan keterbukaan, terus hidup laten di kalangan akar rumput. Kondisi tersebut menunjukkan potensi akar rumput sebagai agen pembaruan menuju masyarakat transformatif secara kultural ke arah demokratisasi sepertinya jauh lebih besar, dibandingkan dengan kelas menengah. Ini artinya, budaya politik kalangan akar rumput yang bertingkah laku politik yang bersih justru perlu ditiru oleh kalangan elite politik. Tingkah laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai kejujuran sebagaimana yang ditunjukkan oleh kalangan akar rumput pada level komunitas RT-RW justru perlu ditiru oleh elite politik pada level politik nasional.”
Kata Kunci: transformasi, agen, akar rumput
ABSTRACT ” Democracy is believed already bring social and cultural changes. However, actually people already has tradition that is approriate with principles of democracy. Principles of democracy such as respect another people argument, tolerance and inclusiveness, latently lives in grassroots people. This condition shows bigger potentiality from grassroots people as an renewal agent towards culturally transformative society into democratization rather than people from middle class. This means clean political culture of grassroots people should become a model for political elite. Clean political behavior will produce culture of politics that uphold the value of honesty as shown by grassroots people in community level (RT/RW), this should become a model for political elite in nasional level.” Keywords : transformation, agent, grassroots
16
Sugeng Bayu Wahyono, TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL
A.
Pendahuluan
M
eskipun terdapat sisi kelemahan, tetapi bagaimanapun demokrasi tetap dianggap sebagai sistem yang terbaik untuk penyelenggaraan pemerintahan pada suatu negara. Dengan pilihan demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, hak-hak sipil terjaga, suara dari bawah tersalur, dan Hak Asasi Manusia (HAM) dijamin. Karena itu, hampir di setiap negara bangsa mempunyai cita-cita menyelenggarakan sistem pemerintahan yang demokratis, kendatipun dalam pen capaiannya sering kali harus ditempuh dengan perjuangan panjang. Bahkan tidak sedikit, negara yang harus membayar dengan ongkos kemanusian tinggi tat kala memperjuangkan demokrasi dari penindasan rezim otoriter, yaitu jatuhnya korban jiwa dalam jumlah cukup signifikan.
mengatakan bahwa nasionalisme, dan bukan demokrasi liberal yang ternyata sukses menuju komunisme, yang berarti sejarah masih belum berakhir; tetapi bagaimanapun demokrasi liberal tetap menjadi pilihan utama. Di Indonesia sendiri sejak memperoleh pengakuan internasional sebagai negara merdeka dan berdaulat, perjalanan sejarah demokrasi juga mengalami pasang-surut. Pada awal kemerdekaan, dengan dipelopori oleh kaum terdidik, ide demokrasi terus diintrodusir sebagai dasar bagi sistem pemerintahan yang dicita-citakan. Ketika kemudian Soekarno terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan untuk pertama kalinya, spirit demokrasi terasa begitu menguat dan puncaknya terselenggaranya Pemilu 1955 yang ber jalan amat demokratis. Akan tetapi setelah Soekarno menerapkan apa yang ia sebut sebagai demokrasi terpimpin, maka se ketika itu demokrasi menjadi surut hingga kekuasaannya jatuh ke tangah rezim militer pimpinan Soeharto, dan Indonesia memasuki masa yang dikenal dengan Orde Baru.
Sejarah perjalanan sebuah bangsa di dunia itu sendiri senantiasa diwarnai oleh tarik-menarik antara kekuatan otoritarian berhadapan dengan kekuatan pro demo krasi, dan pada akhirnya demokrasi keluar sebagai pemenang. Fukuyama meng analisis perkembangan dunia, bahwa setelah jatuhnya negara-negara komunis yang ditandai runtuhnya Uni Soviet, maka demokrasi liberal berdiri sendiri tanpa ada pesaing, dan sejarah perjalanan dunia telah berakhir dengan kemenangan demokrasi. Fukuyama beranggapan bahwa kaum nasionalis irasional tidak bisa bertahan hidup menuju demokrasi1 Meski tesis Fukuyama ini ditentang oleh Avineri2 yang
Pada masa Orde Baru, demokrasi semakin terasa surut sebagai konsekuensi pilihan sadar Soeharto yang lebih memilih sistem politik otoriter dengan kekuasaan politik memusat pada eksekutif. Seluruh aspek legalitas diupayakan sedemikian rupa untuk melegitimasi sentralisasi kekuasaan yang berporos pada Presiden. Dengan menerapkan politik pemusatan, Soeharto melakukan kontrol secara ketat terhadap seluruh kekuatan masyarakat yang ter organisir, tidak terkecuali partai politik. Pelan tapi pasti, Soeharto melakukan penyederhanaan Parpol melalui strategi
Francis Fukuyama, 1992, The End of History and The Last Man, New York: Free Press. 2 Shlomo Avineri, 1992, The Return to History: The Breakup of the Soviet Union, Brookings Review 10; dan uraian lebih lengkap bisa dilihat Ghia Nodia, Nationalism and Democracy, dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (edt.) Nationalism, Ethinic Conflict, and Democracy, London: Johns Hopkins University Press. 1994. 1
17
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
fusi dengan menerapkan asas tunggal Pancasila. Negara tampil begitu perkasa, yang melakukan politik pengendalian dan politik perizinan terhadap aktivitas sosial politik masyarakat, sehingga tidak ada satu kekuatan alternatif yang mampu mengimbangi kekuasaan eksekutif.
dalam proses penyelenggaraan pemerintah yang penuh formalisme. Pemilu sekadar menjalankan rutinitas politik yang meski pun berhasil terselenggara secara tertib, tetapi kualitas demokrasinya sangat rendah, dan bahkan cenderung anti-demokrasi. Setelah Soeharto jatuh, Indonesia me masuki negara transisi demokrasi, dan Pemilu kembali ke multipartai dengan sistem semi-distrik. Secara sederhana masa transisi demokrasi dipahami sebagai proses perubahan menuju kualitas sistem politik dan pemerintahan yang lebih demokratik.4 Pada Pemilu 1999 PDI-P tampil sebagai pemenang, dan Pemilu 2004 Golkar kembali tampil sebagai pemenang.
Para teoritisi menjelaskan bahwa feno mena seperti itu merupakan kas negara korporasi.3 Di bawah kendali Soeharto, Indonesia merupakan negara yang kor poratis. Peran negara di masa Orde Baru begitu dominan di segala aspek kehi dupan, dan secara efektif menjalankan fungsi kontrol terhadap masyarakat yang eksesnya terhadap kehidupan demokrasi sangat buruk. Melalui mekanisme politik pengendalian, negara masuk ke berbagai wilayah publik yang perlahan tapi pasti mampu melumpuhkan berbagai kekuatan pro demokrasi. Partai Politik, Ormas, lembaga legislatif, pers, organisasi profesi, mahasiswa, dan berbagai kelompok pene kan berhasil dijinakkan dan bahkan ada kalanya dilumpuhkan dengan kekuatan represif.
Setelah Indonesia memasuki apa yang disepakati sebagai era reformasi, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi pada negara dengan pelaku utama militer, birokrasi, dan kaum konglomerat yang ketiganya menjadi agen kekuatan kapitalisme global, maka muncul kekuatan baru yaitu elite Parpol. Kemudian elite baru inilah yang kemudian menjadi kelompok-kelompok penekan yang mengontrol kebijakan negara melalui jalur politik di parlemen. Fenomena ini mengindikasikan bahwa perkembangan politik Indonesia mengalami pergeseran karakter dari negara korporasi (corporatist state), menuju organic state.5
Sudah bisa diduga, dalam situasi politik seperti itu maka kehidupan demokrasi mengalami masa surut, dan Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi eksistensinya sangat lemah. Parpol tidak lebih sekadar ornamen politik, yang hanya berfungsi untuk melegitimasi kehendak eksekutif
4 Dikutip dari Kusnanto Anggoro, 1999, Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyarakat Madani, dan Transisi Demokratik, Jakarta: CSIS, hlm. 8. 5 Negara organis adalah negara yang posisinya dikendalikan oleh salah satu kelompok atau beberapa kelompok elite sosial. Negara organis dapat bebentuk negara fascis yang dikendalikan kelompok tertentu atau perorangan seperti rezim Nazi di bawah Hitler di Jerman; dapat pula negara dijadikan alat pertarungan oleh kelompok-kelompok elite sosial untuk mem perjuangkan kepentingan sempit mereka sendiri seperti negara-negara liberal Eropa Barat dan Amerika Serikat abad 17-19. Uraian lengkap
3 Negara korporatis adalah negara yang mengen dalikan semua komponen kekuatan politik, baik kekuatan di seluruh lini institusi negara sendiri maupun kelompok-kelompok masyarakat di luarnya. Uraian lengkap dapat dilihat pada Alfred Stepan, 1978, State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princetton University Press. Untuk klasifikasi negaranegara lihat juga Maswardi Rauf, “Pendekatan –Pendekatan Dalam Ilmu Politik: Studi Pen jajagan”, Ilmu dan Budaya. No. 7, April 1991, hlm. 524-526.
18
Sugeng Bayu Wahyono, TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL
Dalam situasi negara seperti itu, pen jelasan teoretik yang berangkat dari konsep hubungan negara-masyarakat, tidak lagi relevan. Berdasarkan kenyataan empiris yang berkembang, maka kekuasaan oligar ki lebih dapat menjelaskan. Keberadaan kekuasaan oligarki masih tetap kuat merupakan konsekuensi logis dari tidak tuntasnya pergantian elite bentukan Orde Baru. Mereka ini memang lahir dari sistem politik Orde Baru, dan terus melakukan penyesuaian dengan perubahan politik di Indonesia.
oligarki harus beradaptasi dengan kekuatan ini. Repotnya, aktor-aktor politik baru tidak akan dapat menghilangkan kebiasaan lama, yaitu bahwa politisi baru itu terbukti melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Soeharto bersama oligarkinya. Kini aktor-aktor politik baru menjadikan negara sebagai sasaran penjarahan atau sapi perah. Pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset ekonomi menjadi rebutan di antara mereka. Bagi-bagi kekuasaan adalah menu politik mereka, dan ini terjadi tidak hanya di pusat pemerintahan, tetapi juga di daerah-daerah memanfaatkan era otonomi daerah.6 Kekuatan oligarki ini terbukti mampu beradaptasi dengan perkembangan politik baru, termasuk membangun koalisi dengan kekuatan reformis.
Munculnya BJ Habibie sebagai peng ganti Soeharto pada tahun 1998 turut memperluas pertarungan berbagai kelom pok, baik yang pro-reformasi dan pro Soeharto maupun pro-Habibie. Semua pertarungan ini bermuara makin rontoknya basis-basis oligarki yang dibangun oleh Soeharto. Sejak saat itu pusat-pusat ke kuasaan dan aset-aset ekonomi stra tegis menjadi perebutan kekuatan politik baru. Situasi ini kemudian menjadi mo mentum kekuatan oligarki yang belum sepenuhnya rontok, berusaha keras untuk mempertahankan diri. Mereka ini menjadi diuntungkan karena pemerintahan baru tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus besar utang konglomerat dan praktik KKN kelas kakap, sehingga mereka ini semakin mendominasi kembali.
Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana dinamika kehidupan politik pada era pasca Orde Baru dengan berbagai kompleksitas permasalahan di seputar isu politik Indonesia kontemporer, melalui perspektif sosial budaya. Harapannya dengan memberikan penjelasan secara sosiokultural dapat membantu meng identifikasi permasalahan fundamental dalam upaya membangun Indonesia sebagai negara demokrasi yang substansial. B.
Perpektif Budaya Politik
Terdapat beberapa cara dalam upaya menjelaskan fenomena politik, akan tetapi yang paling sederhana dapat dibedakan dengan pendekatan struktural dan kultural. Penjelasan ekonomi politik misalnya, ter masuk bersifat strukturalis yang men coba menjelasakan dengan mengaitkan
Kekuatan oligarki ini kemudian ikut bermain dengan kekuatan politik baru. Hasil Pemilu 1999 yang melahirkan lima kekuatan politik besar, PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan PAN, dan karena itu kekuatan dapat dilihat pada Alfred Stepan, 1978, State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princetton University Press. Untuk klasifikasi negara-negara lihat juga Maswardi Rauf, “Pendekatan –Pendekatan Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan”, Ilmu dan Budaya. No. 7, April 1991, hlm. 524-526.
6 Lihat Richard Robinson & Verdi R Hadiz, 2004, Reorgannising Power in The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, London and New York: Routledge Curzon.
19
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
antara persoalan politik dengan masalah ekonomi. Ada juga pendekatan lain yang lebih cenderung strukturlis yaitu dengan menjelaskan fenomena politik dari analisis hubungan negara dan masyarakat dengan kata kunci civil society. Pendekatan ini cukup mampu menjelaskan fenomena politik di era Orde Baru dengan negara berposisi sebagai variabel utama dalam mempengaruhi berbagai peristiwa politik yang ada.
mata uang yang dipakai, dan sebagainya. Sementara itu orientasi afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki individu terhadap sistem politik. Jadi menyangkut feelings terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka mem berikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya. Dalam suatu masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif akan terbentuk budaya politik yang parokial. Sementara, dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat afektif, akan terbentuk budaya politik yang bersifat subyektif. Akhirnya, masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat mam pu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang sedang berjalan, akan ter bentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.7
Sementara pendekatan yang bersifat kulturalis meyakini bahwa kultur lebih dominan dalam mempengaruhi berbagai fenomena politik. Untuk menyebut beberapa teoretisi yang masuk kategori pendukung kulturalis yang pernah melakukan studi di Indonesia antara lain, Don Emerson, Ben Anderson, Clifford Geertz, Bill Liddle, Karl Jackson, dan Harold Crouch. Sementara itu, suatu studi yang bersifat kulturalis adalah Gabriel Almond dan Sidney Verba, ketika keduanya melakukan kajian di lima negara yang kemudian melahirkan buku yang sangat berpengaruh pada dekade 1970-an, The Civic Culture.
Almond dan Verba mengemukakan tesis bahwa budaya politik yang demokratik, dalam hal ini budaya politik yang par tisipatif, akan mendukung terbentuknya sistem politik yang demokratik dan stabil. Ia mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya di sejumlah negara yaitu di AS, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko, menemukan di negara-negara yang mempunyai budaya politik tinggi akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki budaya politik rendah tidak mendukung terwujudnya sistem politik demokratik yang stabil.
Budaya politik, kata Almond dan Verba, merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dimainkan dalam sebuah sistem politik. Budaya politik tidak lain adalah orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik yang kemudian meng alami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, afektif, dan evaluatif. Orientasi yang bersifat kognitif me rupakan pemahaman dan keyakinan indi vidu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batas-batas negara,
7
20
Lihat Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1963, The Civic Culture, The Princeton, New Jersey: Princeton University Press.
Sugeng Bayu Wahyono, TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL
Apabila menggunakan model dari Al mond dan Verba, dan kemudian melihat fenomena budaya politik di Indonesia, maka banyak yang sepakat bahwa dominasi sikap dan orientasi politik yang parokial masih terasa hingga sekarang. Meskipun format dan struktur politik sudah jauh lebih demokratis jika dibandingkan dengan era Orde Baru, tetapi kultur politiknya masih belum mengalami transformasi, karena itu demokrasi di Indonesia masih dalam tataran prosedural, belum merupakan demokrasi yang substansial.
nya berbagai Parpol justru merupakan cermin dari karakteristik sosio-kultural masyarakatnya. Karena itu, Parpol yang bermunculan masih berakar pada basis ideologis dan politik aliran. Dengan demikian, baik secara struktural maupun kultural, Parpol di Indonesia masih mengedepankan ciri primordialistik yang menjadi faktor penyulit bagi upaya membangun sistem pemerintahan yang demokratis dan stabil. Birokrasi Parpol pun lebih memberi kewenangan dan bah kan konsentrasi kekuasaan kepada elite politik, ketimbang misalnya memberikan peluang bagi penguatan daya tawar basis konstituennya. Proses pencalonan pemimpin nasional, pemimpin daerah dalam Pilkada, dan penyusunan daftar urut Caleg, masih sangat terasa dominasi elite politik, dan bukan melalui proses dari bawah. Rakyat hanya menjadi obyek Parpol yang merepresentasikan kepentingan elite politik, dan kemudian dijadikan alat legitimasi untuk memperoleh kekuasaan. Caranya tidak diperoleh melalui tawaran program yang rasional dan berorientasi kepada pelayanan rakyat, tetapi dimobilisasi melalui sentimen primordialistik, seperti etnis, agama, dan kedaerahan. Dengan demikian, kemunculan banyak Parpol dalam sepuluh tahun terakhir ini tidak berarti mendorong terciptanya sistem politik demokratis dan stabil, tetapi justru yang terjadi sebaliknya, yaitu elitis, prag matik, dan anarkis yang semuanya anti nilai demokrasi.
Pernyataan seperti itu semakin kuat jika dikaitkan dengan karakter sosiologis masyarakat Indonesia yang masih lebih terasa sebagai masyarakat patrimonialistik. Dalam masyarakat seperti itu, maka persoalan budaya politik menjadi lebih penting. Relasi dalam pergaulan sosial yang masih didasarkan pada pola ptronklien, di mana orang kecil akan banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh mereka yang dianggap menjadi panutan, tanpa mempersoalkan sendiri apakah yang dila kukan oleh panutan itu benar atau salah. Dalam suatu masyarakat dengan pola dasar patron-klien, suatu buaya politik yang sangat tergantung kepada tingkah laku elite politiknya. Jika tingkah laku politik para elite politik baik, maka para pengikutnya juga baik, dan begitu sebaliknya. Masih dominannya budaya politik se perti itu mempunyai implikasi terhadap kesulitan dan mendorong terjadinya trans formasi menuju civil society. Demokrasi kemudian hanya pada tataran bentuk, sementara perilaku warga masih jauh dari nilai demokrasi. Budaya politik dalam organisasi politik seperti Parpol pun juga sangat terasa nuansa patrimonialistiknya. Kondisi ini semakin mapan, ketika lahir
Tesis Almond dan Verba ini telah banyak dikritik, antara lain oleh Brian Berry yang mengatakan, bahwa dengan menggunakan ”teori ekonomi tentang demokrasi” hasil nya ternyata membuktikan bahwa struktur politiklah yang melahirkan sikap-sikap 21
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
yang disebut budaya politik tersebut.8 Sementara Arend Lijphart mengatakan, bahwa ketika kita berbicara tentang kog nisi, sebenarnya kita tengah berbicara pengaruh struktur politik (realitas) yang kemudian dipersepsikan oleh masyarakat dan akhirnya menggumpal menjadi kognisi (kultur) yang kita maksud.9
masyarakat secara linier, sama sekali tidak memperhitungkan bahwa perkembangan sejarah masyarakat yang zig-zag. Karena itu pendukung perspektif ini, termasuk Almond dan Verba, kurang menyinggung misalnya program-program lompatan ke depan. Pandangan positivistik juga sama sekali kurang memperhitungkan adanya kemung kinan bahwa masyarakat yang berada pada tataran perkembangan awal, memiliki tradisi berdemokrasi. Ini merupakan im plikasi logis dari asumsi bahwa konstruksi perkembangan masyarakat harus dimulai dari angka 1 dan kemudian berkembang ke arah angka berikutnya secara linier dengan memenuhi prasyarat yang telah ditetapkan menurut tafsir dari kelompok dominan yang menyebarkan wacana. Oleh karena itu, tidak mengandaikan adanya fakta empiris bahwa masyarakat tradisional telah melakukan tradisi berdemokrasi. Bahkan melalui penjelasan teori-teori modernisasi, masyarakat tradisional dianggap sulit berkembang menjadi masyarakat yang demokratis dan sejahtera karena ter kungkung oleh nilai-nilai feodalistik dan patrimonial yang bersifat permanen. Tidak diandaikan sama sekali bahwa masyarakat tradisional yang diposisikan pada level perkembangan awal itu, mampu menjadi agen untuk kehendak bersama berubah menjadi masyarakat yang demokratis.
Kritik lain terhadap tesis Almond dan Verba adalah dianggap terlalu positivis tik, yang mengandaikan dinamika perkem bangan budaya politik secara linier dengan pretensi bahwa di tingkat perkembangan yang paling awal lebih buruk, dan bergitu seterusnya. Perspektif positivistik-linieristik seperti itu mengandaikan bahwa rakyat bersifat pasif dan hanya mengikuti saja apa yang dilakukan oleh patronase-nya, karena rakyat dianggap kurang memiliki kompetensi untuk bertindak demokratis. Argumen kaum positivistik seperti itu akan senantiasa menyetujui bahwa untuk mendorong terjadinya transformasi kul tural menuju sistem pemerintahan yang demokratis, maka rakyat harus memenuhi prasyarat yang telah ditentukan, misalnya harus terdidik, sejahtera secara ekonomi, dan memerlukan waktu yang cukup untuk menunggu ke tahap perkembangan yang diidolakan. Ungkapan yang khas dari pandangan positivistik-linieristik itu misal nya, Amerika Serikat bisa mencapai tahap demokrasi seperti sekarang diperlukan waktu sekitar 200 tahun, sedangkan Indonesia kan baru belum lama merdeka, jadi jangan berharap terjadi demokratisasi yang berkualitas. Logika kaum positivistik memang mengandaikan perkembangan
Itulah sebabnya, di era Orde Baru ber kembang amat pesat pandangan develop mentalistik yang dilandasi oleh teori-teori modernisasi dalam usaha mengubah masyarakat tradisional. Melalui programprogram pembangunan sosial, ekonomi, dan politik mengandaikan masyarakat Indonesia masih sangat tertinggal dan bahkan primitif, serta senantiasa pasif. Akibatnya muncul ironi-ironi, misalnya
8 Lihat Brian Berry, 1970, Sociologists, Economists and Democracy. 9 Arend Lijphart, 1984, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, New Heaven Conn: Yale University Press.
22
Sugeng Bayu Wahyono, TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL
mensosialisasikan Pancasila melalui pro gram P-4 ke masyarakat desa, padahal secara substantif warga masyarakat desa sudah jauh lebih intens dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Model pengembangan seperti itu juga terjadi di era reformasi, ketika pemerintah dan beberapa aktivis LSM terus mendorong demokratisasi desa, padahal warga masyarakat desa jauh sebelumnya telah menerapkannya dalam berkomunitas dengan prinsip-prinsip demokrasi. Seba gai ilustrasi, warga masyarakat dalam berkomunitas di tingkat RT-RW senan tiasa menggunakan mekanisme akun tabilitas, transparans, dan partisipatif sebagaimana prinsip demokarasi. Peng gunaan dana bersama dalam RT-RW untuk pembangunan misalnya, senantiasa dilaporkan secara transparan di depan forum-forum pertemuan warga. Dalam perencanaan pembangunan pun, warga selalu menggunakan mekanisme dari bawah (bottom-up) dengan mempertimbangkan aspirasi warga.
kognitif itu terjadi pada masyarakat yang berada strata kelas atas. Bahkan kalangan elite politik yang menganggap dirinya mempunyai tingkat melek politik tinggi, justru orientasi politiknya hanya terbatas pada kognisi, sementara pada tataran tindakan (action) kurang mendorong sistem demokrasi. Logikanya, mereka yang menikmati struktur sosial yang tidak adil justru adalah kaum elite, karena itu mereka cenderung memapankan. Karena itu meski mereka mempunyai kognisi demokrasi yang tinggi, dan mampu evaluasi terhadap sistem politik yang berlaku, tetapi cenderung memapankan struktur sosial-politik yang tidak egalitarian. Dengan kata lain, yang sering terjadi di Indoneisia, bahwa kelompok yang memiliki orientasi politik evaluatif dan berbudaya politik partisipan, justru tidak mendorong terjadinya trans formasi ke arah sistem demokrasi sub stansial. Kelompok elite memipunyai kompetensi dalam berdemokrasi, tetapi tidak mempunyai komitmen tinggi dalam menerapkan kehidupan berdemokrasi secara lebih substansial, karena pada ha kekatnya mereka lebih pro kemapanan.
Oleh karena itu, menginginkan ter jadinya transformasi kultural dalam me nuju demokratisasi secara substansial melalui ekperimen model konseptualisasi pandangan kaum positivistik, mempunyai konsekuensi waktu lama. Dominasi budaya politik parokial misalnya, harus diubah lebih dulu menjadi setapak lebih maju ke arah budaya politik subyektif, dan akhirnya ke budaya politik partisipan. Untuk me ngurangi budaya politik parokial, maka orientasi politik yang didominasi koginitif perlu diubah menjadi orientasi politik afektif, dan kemudian menuju orientasi politik evaluatif. Repotnya orientasi kognitif diasumsikan terjadi pada masyarakat level bawah, tidak diperhitungkan sama sekali bahwa justru orientasi politik pada level
C.
Esensialisme dan Konstruktivisme Budaya
Budaya politik juga bisa dijelaskan dari perspektif esensialisme dan konstruktivisme budaya. Pandangan kaum esensialis me ngatakan bahwa budaya politik adalah seperangkat nilai, norma dan kebiasaan yang menjadi dasar bagi tingkah laku para elite politik. Seterusnya diandaikan pula bahwa budaya politik tersebut didasarkan pada nilai-nilai budaya dominan yang sedang berlaku. Kaum esensialisme budaya mengandaikan bahwa nilai, norma, dan
23
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
ketentuan normatif lainnya adalah sesuatu yang baku, tetap, dan permanen. Berangkat dari asumsi itu, maka kubu ini percaya jika ada tingkah laku politik yang tidak sesuai dengan seperangkat rumusan normatif itu maka terjadi penyimpangan budaya politik. Pandangan ini mengandaikan bahwa warga Negara bersifat pasif, selalu mengikuti ketentuan normatif, dan tidak mampu menjadi agen untuk melakukan perubahan.
tidak terbuka kemungkinan untuk berubah menyesuaikan dengan realitas empiriknya. Oleh karena itu jika ingin tetap konsisten dalam diskusi tentang budaya politik, dan mengandaikan adanya transformasi kultural, maka perlu mengadopsi perspektif budaya politik dari pandangan kaum konstruktivisme budaya. Pandangan kaum konstruktivisme bu daya meyakini bahwa nilai, norma, dan kebiasaan itu bukanlah suatu yang tetap, baku, dan permanen. Dengan demikian dalam berbicara budaya politik yang perlu diperhatikan adalah, bahwa kebudayaan tidaklah hanya berisikan nilai-nilai dan norma-norma, tetapi sekaligus memberikan kemungkinan yang sama besarnya bahwa nilai dan norma tersebut diselewengkan untuk kepentingan ekonomi, kepentingan kekuasaan, atau kepentingan lainnya, di mana penyelewengan tersebut juga dengan mudah dilakukan atas nama nilai-nilai budaya yang sama. Secara teoretis dapatlah dikatakan: budaya politik tidak sekadar menjadi dasar bagi tingkah laku politik, tetapi juga dibentuk dan diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik. Hubungan antara budaya politik dan tingkah laku politik bukanlah bahwa yang pertama mempengaruhi yang kedua, tetapi juga bahwa tingkah laku politik mempengaruhi wujud dan sifat budaya politik. Ini berarti, tingkah laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, dan sebaliknya tingkah laku politik yang korup akan menghasilkan budaya politik yang dengan mudah memaafkan (dan pada akhirnya membenarkan), berbagai penyelewengan.10
Mengikuti pengertian seperti itu, maka budaya politik tidak lain dari nilai dan kebiasaan yang berkembang di kalangan elite politik, dan menjadi semacam sub kultur dalam kalangan ini. Masalahnya timbul karena nilai-nilai dan kebiasaan tersebut dianut oleh sekelompok orang yang relatif berkuasa dan berpengaruh secara politik. Akibatnya, nilai-nilai, pandangan, kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial ini dengan mudah menyebar, diikuti dan diterima oleh kalangan masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, kalau dalam bidang ekonomi gaya hidup kelas menengah kota mudah menjalar dan ditiru oleh strata sosial lainnya (juga kalau pendapatn mereka sebenarnya tidak mencukupi untuk membiayai gaya hidup tersebut), maka budaya politik adalah semacam “gaya hidup” yang dengan mudah menular kepada warga Negara biasa yang tidak menjadi bagian dari elite politik (meskipun tingkah laku tersebut tidak selalu disetujuinya secara sadar). Jika mengandaikan adanya transformasi kultural dalam perilaku politik di Indonesia menuju ke rah yang lebih demokratis, maka gugatan terhadap perspektif teoretik kaum esensialisme budaya, perlu dilakukan. Artinya, tidak mungkin ada transformasi kultural jika berkembang persepsi bahwa suatu nilai dan norma bersifat tetap, dan
10 Lihat Ignas Kleden, Budaya Politik atau Moralitas Politik?, artikel, Kompas, 12 Maret 1998, hal. 4-5.
24
Sugeng Bayu Wahyono, TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL
Itu berarti mengandaikan adanya agen bagi upaya transformasi budaya politik yang demokratis. Persoalannya siapa yang berpotensi menjadi agen perubahan kultural ke arah perilaku politik demokratis secara masif? Dalam berbagai kajian ilmu politik, kelas menengah sering dianggap sebagai lokomotif demokrasi yang berpotensi menarik gerbong masyarakat yang ber kehendak terhadap terwujudnya sistem pemerintahan yang demokratis. Di Negaranegara berkembang, kelas menengah sering diandalkan untuk tampil sebagai agen kekuatan pembaruan dari sebuah sistem politik yang anti demokrasi. Korea Selatan misalnya, sering disebut-sebut sebagai cerita sukses kelas menengah yang mampu mendorong masyarakat ke arah pemerintahan demokratis, setelah Negara tersebut berada dalam pemerintahan junta militer yang otoriter.
Bagaimana peran kelas menengan di Indonesia, dalam konteks membangun sistem pemerintah yang demokratis? Apa kah kelas menengah mampu mendorong transformasi kultural ke arah politik demokratis yang substansial? Banyak studi menginformasikan bahwa kelas menengah di Indonesia relatif kurang mampu men jadi lokomotif pembaruan, termasuk dalam mendorong demokratisasi. Pada era Orde Baru kelas menengah Indonesia praktis tidak berdaya di tengah kuatnya pemberlakuan sistem politik yang otoriter. Williem Liddle melihat bahwa tersendatnya demokratisasi di Indonesia pada era Orde Baru adalah dikarenakan pertumbuhan kelas menengah yang tertatih-tatih. Liddle menunjuk kelas menengah itu sebagai kaum majikan, wiraswastawan atau pengusaha yang tak kelewat besar sampai menjadi konglomerat, tapi cukup makmur. Ciri mereka independen, tak bergantung pada kebaikan pemerintah. Keberadaan kelas menengah ini menurut Liddle, seharusnya dapat memperkuat posisi masyarakat ketika berhadapan dengan kekuatan negara yang otoriter. Tetapi lantaran terbatasnya kaum menengah pengusaha yang independen maka yang sering terlihat adalah kelompok yang mempunyai ketergantungan tinggi pada pemerintah. Mereka merasa ter gantung karena selama ini mendapat perlindungan dan banyak kepentingan mereka yang terakomodir. Dengan demi kian, maka Liddle ingin menunjukan bah wa ada hubungan antara keberadaan kelas menengah dengan berlangsungnya demokratisasi, dimana kelas menengah yang tertaih-tatih (missal di indonesia pada waktu zaman Orde Baru) juga dapat memberikan dampak kepada tersendatnya proses demokratisasi.
Sementara itu, Negara-negara di Eropa Timur pasca Perang Dingin merupakan contoh kegagalan Negara-negara yang tidak mampu memanfaatkan momentum transisi demokrasi. Setelah runtuhnya Uni Soviet, banyak Negara-negara di kawasan Eropa Timur masuk dalam kategori negara yang memasuki transisi demokrasi, seperti Polandia, Bulgaria, Rumania, dan beberapa negara pecahan Uni Soviet. Akan tetapi transisi demokrasi di negaranegara tersebut mengalamai kegagalan, atau paling tidak berjalan lamban, karena kelas menengah kurang berperan dalam mentransformasikan demokrasi ke kelas bawah. Dengan kata lain, kegagalan itu disebabkan bahwa proses demokrasi hanya berlangsung di kalangan elite politik, dan bahkan elite politik menggunakan demokrasi sebagai instrumen untuk mem peroleh kekuasaan baru.
25
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
Kelas menengah yang tidak mempunyai otonomi relatif terhadap negara, karena memang kelas menengah bentukan pemerintah atau mendapat fasilitas dari pemerintah, maka kurang mampu menjadi lokomatif pembaruan. Oleh karena itu, perubahan signifikan situasi politik di Indonesia meski terdapat peran kelas menengah, tetapi secara substantif tidak cukup signifikan. Sikap kritis memang selalu ditunjukan oleh golongan kelas menengah, tetapi dalam sejarah politik di Indonesia adanya perubahan politik senantiasa tidak lepas dari faktor eksternal, yaitu perubahan atau kehendak yang dikendalikan dari dunia internasional. Sebagai ilustrasi misalnya, perubahan dari era pemerintahan kolonial Belanda ke era kemerdekaan, meski peran kaum terpelajar dan pergerakan yang dipolopori oleh kaum kelas menengah, juga tidak lepas dari perubahan konstelasi politik dunia yang dilanda oleh perang berkepanjangan di Eropa dan Asia. Demikian pula perubahan politik dari era pemerintahan Soekarno ke era Soharto, meski peran mahasiswa cukup menonjol, akan tetapi tidak lepas dari sekenario politik Amerika Serikat dalam kaitan dengan tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik di era Perang Dingin.
yang melibatkan permainan kekuatan kapitalisme global justru terasa lebih signifikan pengaruhnya terhadap perubah an politik di Indonesia. Semua itu menjadi indikator lemahnya kelas menengah sebagai pendorong peru bahan dalam sejarah pergulatan politik di Indonesia. Ketidakmampuan kelas me nengah sebagai agen pembaruan menjadi titik lemah terjadinya ketidaklancaran proses transformasi kultural menuju sistem pemerintahan demokratis secara lebih substansial. Boleh jadi itu juga merupakan implikasi logis dari kurang intensif dan terpeliharanya hubungan kelas menengah dengan kelompok akar rumput (grassroot). Dalam momen tertentu, atau pada saatsaat krisis politik, kelas menengah sering melakukan politik representasi dengan terus berusaha mengartikulasikan suara dari kelompok akar rumput. Akan tetapi, pada saat situasi politik relatif stabil kelas menengah justru dengan cepat menjadi bagian dari elite politik yang menghuni struktur kelas atas. Pada titik itulah kemu dian hubungan kelas menengah dengan kelas akar rumput menjadi renggang. Ketika kelas menengah masuk menjadi bagian dari sistem, keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan seringkali terasa lebih pro kemapanan dan bahkan pemilik modal. Berbagai produk perundangan legislatif yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, banyak yang tidak pro rakyat kelas bawah, tetapi justru pro kaum kapital. Meskipun proses politik lahirnya sebuah undang-undang pada era reformasi terasa lebih demokratis, tetapi secara substansial kurang bermuatan kepentingan rakyat. Elite politik legislatif yang kebanyakan dari kelas menengah justru mengalami erosi kepekaan terhadap
Sementara itu, perubahan politik dari era Orde Baru yang otoriter ke era refor masi meski tidak mengecilkan peran kelas menengah, terutama dari kalangan mahasiswa, namun faktor eksternal dalam bentuk pengkondisian krisis ekonomi nasional yang tidak lepas dari sekenario negara-negara Besar, sepertinya akan sulit terjadi. Jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto, bukan semata-mata tekanan dari dalam negeri yang digalang oleh mahasiswa, tetapi tekanan krisis ekonomi
26
Sugeng Bayu Wahyono, TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL
aspirasi rakyat bawah. Alih-alih mendengar suara aspirasi rakyat, malah di antara mereka banyak yang lupa sebagai pembawa mandat rakyat. Mereka justru kemudian menyalahgunakan kekuasaan dengan ramai-ramai melakukan penyimpangan, sehingga banyak di antara mereka terlibat kasus tindak pidana korupsi.
andaikan bahwa perilaku budaya politik rakyat tidak semata-mata dikendalikan oleh sistem yang berlaku atau juga tidak mengikuti perilaku budaya politik elitenya yang cenderung pro kemapanan. Budaya politik berarti bisa dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh elite politik. Di sini diandaikan terjadi proses dekonstruksi atas konstruksi yang telah terbentuk secara mapan tetang nilainilai yang pada prinsipnya anti demokrasi.
Sementara itu, kalangan kelas menengah yang masuk dalam jajaran eksekutif juga mengalami pencerabutan dari akar basis demokrasinya. Banyak kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi demi orientasi pertumbuhan mereka antusias mengundang investor asing untuk mengeksplorasi sektor ekstraktif atau pertambangan dan hasil hutan. Hampir semua Kepala Daerah dalam era Otonomi Daerah, justru menempuh kebijakan yang pro kapital dan padat modal yang berorientasi pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu tidak banyak yang berusaha mengedepankan kebijakan pro rakyat yang padat karya dan beriorientasi pada pemerataan. Akibatnya, kesenjangan sosial ekonomi tetap lebar dengan elite daerah sebagai penikmat atau yang lebih dikenal sebagai penerima berkah Otonomi Daerah. Semua itu mengindikasikan bahwa demokrasi yang dijalankan masih berada pada tataran procedural, dan belum berjalan secara substansial yang ditandai kesejahteraan rakyat dan proses politik yang damai. D.
Dalam kehidupan politik keseharian di kalangan masyarakat sebenarnya sudah banyak melakukan praktik demokrasi. Prinsip partisipasi misalnya, dalam unit komunitas RT-RW telah mengedepankan prinsip partisipasi dalam setiap melaksana kan aktivitas pembangunan di seputar lingkungan sosialnya. Prinsip menge depankan transparansi juga telah menjadi kultur yang terus hidup dalam mekanisme pertanggungjawaban dana pembangunan yang digalang dari dana masyarakat. Perencanaan yang dibuat, kegiatan yang dilaksanakan, dan kebijakan yang diambil, semuanya dapat dipertanggungjawabkan di depan publik sesuai dengan prinsip akuntabilitas. Jadi dalam berkomunitas pada unit pemerintahan masyarakat bawah telah mempunyai tradisi yang sesuai dengan prinsip demokrasi. Nilai-nilai demokrasi seperti menghargai pendapat orang lain, toleransi, dan keterbukaan, terus hidup laten di kalangan akar rumput. Karena itu potensi akar rumput sebagai agen pembaruan menuju masyarakat trans formatif secara kultural ke arah demo kratisasi sepertinya jauh lebih besar, dibandingkan dengan kelas menengah yang selama ini telah diasumsikan sebagai agen demokrasi di negara-negara berkembang.
Kesimpulan : Akar Rumput sebagai Agen
Jika kelas menengah tidak bisa men jadi tumpuhan dalam transformasi kul tural ke arah demokrasi substansial, mengkonsulidasikan golongan akar rum put sebagai agen transformasi bisa men jadi tawaran menarik. Tawaran ini meng
27
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
Karena itu jika fungsi kelas menengah sebagai lokomotif demokrasi kurang bisa berjalan secara efektif, maka fungsi itu bisa diambil alih oleh kalangan akar rumput.
demokrasi. Transformasi kultural dalam berdemokrasi bisa berjalan dari bawah dengan kesediaan elite untuk bercermin dan kemudian meniru budaya politik akar rumput yang justru telah sejak lama menjalankan prinsip demokrasi secara lebih substansial.
Atau paling tidak, kalangan elite politik bisa bercermin pada budaya politik kalangan akar rumput yang telah me nunjukkan perilaku politik demokrasi dalam kehidupan berkomunitas. Dengan demikian asumsi budaya politik esen sialistik yang mengandaikan perilaku elite politik yang senantiasa akan ditiru oleh rakyat, sekalipun perilaku bertentangan dengan nilai demokrasi, tidak berlaku. Yang terjadi justru sebaliknya, budaya politik kalangan akar rumput yang bertingkah laku politik yang bersih justru perlu ditiru oleh kalangan elite politik. Tingkah laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai kejujuran sebagaiman yang ditunjukkan oleh kalangan akar rumput pada level komunitas RT-RW justru perlu ditiru oleh elite politik pada level politik nasional. Sebaliknya, perilaku politik korup yang ditunjukkan oleh elite politik pada level nasional, tidak akan pernah ditiru oleh kalangan akar rumput dalam politik pada level desa. Itu semua menunjukkan bahwa justru kalangan akar rumput berpotensi menjadi agen dalam mendorong budaya politik bersih dan demokratis.
Daftar Pustaka Lijphart, 1984, Democracies: Patterns of Majoritarian and Con sensus Government in Twenty-One Countries, New Heaven Conn: Yale University Press. Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba, 1963, The Civic Culture, The Princeton, New Jersey: Princeton University Press. Avineri, Shlomo, 1992, The Return to History: The Breakup of the Soviet Union, Brookings Review 10 Brian Berry, 1970, Sociologists, Economists and Democracy. Francis Fukuyama, 1992, The End of History and The Last Man, New York: Free Press. Ghia Nodia, 1994, Nationalism and Demo cracy, dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (edt.) Nationalism, Ethinic Conflict, and Democracy, London: Johns Hopkins University Press. Ignas Kleden, Budaya Politik atau Moralitas Politik?, artikel, Kompas, 12 Maret 1998, hal. 4-5. Kusnanto Anggoro, 1999, Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyarakat Madani, dan Transisi Demokratik, Jakarta: CSIS Maswardi Rauf, “Pendekatan –Pendekatan Dalam Ilmu Politik: Studi Pen Arend
Dalam perspektif budaya politik yang konstruktivistik, bahwa nilai-nilai yang mendasari perilaku politik yang penuh penyimpangan akan bisa diubah oleh kalangan akar rumput. Pandangan kons truktivistik memposisikan akar rumput sebagai subyek yang aktif dan mampu melakukan dekonstruksi terhadap budaya politik mapan yang tidak bersih dan anti
28
Sugeng Bayu Wahyono, TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL
jajagan”, Ilmu dan Budaya. No. 7, April 1991 Richard Robinson & Vedi R Hadiz, 2004, Reorgananising Power in The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, London and New York: Routledge Curzon. Stepan, Alfred, 1978, State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princetton University Press
29
BIAYA-BIAYA MANUSIA DALAM ERA NEOLIBERAL : SEBUAH IMPERATIF 1 Oki Rahadianto Sutopo
ABSTRAK “Artikel ini ingin menunjukkan relevansi pemikiran Peter.l Berger dalam Piramida Korban Manusia (1974) terutama mengenai konsep biaya-biaya manusia. Konsep ini coba dikontekstualisasikan dalam era neoliberal terutama pasca krisis ekonomi 1998 di Indonesia. Bagi Berger, setiap keputusan politik ataupun model pembangunan harus memperhatikan nilai-nilai etik yang bernama biaya-biaya manusia baik dalam hal fisik maupun makna. Nilai-nilai etik ini kelihatannya tidak menjadi prioritas utama dalam era neoliberal sekarang. Pengurangan subsidi, deregulasi dan privatisasi menjadi tiga kata ajaib untuk menciptakan pasar bebas. Ironisnya, kebijakan ini hanya memberikan keuntungan bagi tiga trinitas tidak suci antara lain WTO, IMF dan TNC/MNC sebagai aktor utama neoliberal. Realitas ini sekali lagi mengulangi apa yang terjadi pada era pembangunan sebelumnya. Dengan kata lain, lebih banyak lagi biaya-biaya manusia yang harus dikorbankan demi tujuan pasar” Kata Kunci: neoliberal, dominasi, biaya-biaya manusia, makna
ABSTRACT “This article wants to show the relevants of Peter.l Berger’s thought in Pyramids of Sacrifice (1974) especially the human cost concept. This concept is contextualized in neoliberal era especially after the economic crisis 1998 in Indonesia. For Berger, every political decisions or development model has to consider the ethical values called human cost that included physical and meaning aspect. This ethical values do not seem become the main priority in neoliberal era. Reduction of subsidize, deregulation and privatization become three magic words to create what is called free market. Ironically, these policies just give benefit to the unholy trinity which are WTO, IMF and TNC/MNC as the main actors of neoliberal. This reality, once again repeat what happened in development era. In the other words, it creates more and more human cost for the sake of market goals.” Keywords: neoliberal, domination, human cost, meaning
30
Oki Rahadianto Sutopo, BIAYA-BIAYA MANUSIA DALAM ERA NEOLIBERAL : Sebuah Imperatif
A. Pendahuluan
S
ejak tahun ‘70an, negara-negara dunia ketiga dilanda oleh demam ideologi barat. Wacana mengenai pembangunan serta modernisasi menjadi wacana yang dominan. Kedua wacana tersebut merupakan alat dari negara barat khususnya Amerika untuk merebut hati negara-negara dunia ketiga serta untuk meredam pengaruh Uni Soviet. Dengan kata lain, pada dekade tersebut terjadi perang ideologi antara ideologi kapitalis yang termanifestasi dalam pembangunan dan modernisasi dengan ideologi sosialiskomunis.
terlebih dahulu daripada pembagian kue secara merata (distribusi keadilan sosial). Dengan kue yang terbentuk terlebih dahulu maka menurut para perencana kue itu akan menetes ke bawah (trickle down effect) atau dalam rumusan yang lebih optimis pengaruh yang menyebar (Spread effect) kepada masyarakat dan akhirnya akan terjadi pemerataan. Selain memakai teori di atas, pembangunan yang memakai model masyarakat barat mengandaikan bahwa segala sesuatu yang bersifat tradisional harus dimodernkan, pembangunan adalah modernisasi dan modernisasi adalah westernisasi, sektorsektor modern haruslah diutamakan. Dengan kata lain, segala sesuatu yang tra disional dianggap sebagai penghambat ke majuan/pembangunan, transformasi me nuju modern mutlak dilakukan jika ingin mencapai standar hidup yang lebih baik.
Indonesia semenjak jatuh pada rezim orde baru mulai membuka lebar pintu pembangunan khususnya terhadap penga ruh Amerika Serikat. Pembangunan yang pada hakekatnya baik jika disertai dengan nilai subtantif berupa pemerataan dan keadilan sosial, oleh rezim orde baru hanya diartikan semata-mata untuk me ngejar target pertumbuhan ekonomi dengan menghalalkan segala cara. Secara historis, pembangunan atau developmen talisme bergandengan dengan kapital isme atau diistilahkan oleh Fakih (2003), developmentalisme merupakan bungkus baru dari kue lama kapitalisme. Sejak masa pembangunan, pemerintah Indonesia me lalui perencana pembangunan menetap kan program pembangunan ke arah per tumbuhan perekonomian nasional dengan mengadopsi Non-Communist Manifesto dari Rostow mengenai tahap-tahap per kembangan ekonomi dan trickle down effect-nya. Salah satu cara untuk mem percepat pertumbuhan ekonomi adalah dengan masuknya investasi modal asing. Para perencana memprioritaskan pem buatan ”kue” (pemupukan modal asing)
Sosiolog Amerika, Peter.L.Berger meli hat bahwa pembangunan yang dilandasi oleh ideologi kapitalis menyembunyikan mitos. Mitos didefinisikannya sebagai suatu keyakinan kepercayaan buta yang tidak boleh dipertanyakan. Dalam Pyramids of Sacrifice (1974), Berger menjelaskan bahwa model kapitalis menyembunyikan mitos pertumbuhan. Mitos tersebut sering digunakan dan selalu dicoba untuk di realisasikan dalam tindakan kolektif yang nyata serta menjanjikan suatu masa depan cerah yang harus dilunasi seka rang dengan korban-korban manusia. Namun janji-janji tersebut tidak ada jaminannya akan terwujud di masa depan. Menurut Berger (1974), mitos-mitos tersebut harus dibongkar kepalsuankepalsuannya. Usaha demitologisasi ter hadap mitos-mitos sangat diperlukan dan 31
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
akan memberikan kemungkinan baru ter hadap cara pandang serta pembuatan ke bijaksanaan politik. Dalam Pyramids of Sacrifice (1974) Berger mengingatkan bahwa yang terpenting bukanlah model pembangunan mana yang paling tepat, melainkan bagaimana pembangunan dapat dan harus menghilangkan penderitaan. Berger mengusulkan bahwa pembangunan seharusnya menyertakan nilai-nilai etik yaitu biaya-biaya manusia (human costs), baik dalam hal fisik maupun makna.
pelaksanaan privatisasi BUMN (Bahagijo, 2006). Menurut Wibowo dan Wahono (2003), dari kacamata teori ketergantungan dapat dikatakan bahwa akibat dari neo liberalisme, perekonomian negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah-wilayah pinggiran bagi perekonomian negaranegara kaya, negara-negara miskin semakin tergantung kepada negara-negara kaya. Hubungan antara globalisasi dengan neoliberalisme dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Aktor-aktor dari globalisasi ataupun neoliberalisme ini yaitu WTO, Bank Dunia/ IMF dan Trans/Multinational Corporation (TNC), atau ”The Unholy Trinity” menurut Nasikun (2005) memaksakan pada peme rintah untuk mengurangi proteksi, sub sidi dan intervensi terhadap sektor per ekonomian yang menjadi tempat hidup rakyat banyak, pasar domestik dibuka lebarlebar untuk intervensi modal sehingga para kapitalis bebas masuk ke segala sektor perekonomian. Sedangkan Fakih (2003) dan Bahagijo (2006) menjelaskan bahwa ketiga aktor tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi, intelectual property rights dan kebijakan internasional. Selain itu, ketiga aktor mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi negara melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya untuk kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Proses tersebut ditempuh dengan cara mengubah semua aturan kebijakan yang menghalangi ketiga aktor terutama TNC/MNC untuk beroperasi dalam bentuk ekspansi produksi, pasar maupun ekspansi investasi.
Di era sekarang, Indonesia berada di bawah dominasi raksasa neoliberalisme. Menurut Wibowo dan Wahono (2003), bibit-bibit dari neoliberalisme di Indonesia sudah mulai pada pertengahan ‘80-an, melalui kebijakan deregulasi dan debiro kratisasi, dan pelaksanaanya secara massif menemukan momentumnya setelah Indo nesia dilanda krisis ekonomi pada per tengahan 1997. Menurut Fakih (2003), globalisasi dan neoliberalisme adalah mode of domination yang ketiga setelah kolonial isme dan developmentalisme. Kepentingan di balik globalisasi yang sebenarnya adalah neoliberalisme, dimana mekanisme pasar bebas sangat dijunjung tinggi dan bahkan menjadi ideologi dengan mantranya there is no alternative. Intervensi, sub sidi serta proteksi dari pemerintah di kurangi sebanyak mungkin supaya tidak mengganggu mekanisme pasar. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam agen da pokok paket kebijakan konsensus Washington yang menjadi menu dasar penyesuaian struktural IMF yang meliputi: 1) Pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya 2) Pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan 3) Pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan dan 4)
Berangkat dari uraian diatas, tulisan ini akan mengkontekstualisasikan pemi kiran Peter.l Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974) mengenai perlunya mem 32
Oki Rahadianto Sutopo, BIAYA-BIAYA MANUSIA DALAM ERA NEOLIBERAL : Sebuah Imperatif
pertimbangkan aspek biaya-biaya manusia baik dalam hal fisik maupun makna dalam era neoliberal yang terjadi di Indonesia. Terlebih dahulu akan diuraikan konteks masuknya neoliberal serta dominasi aktor neoliberal di Indonesia. B.
debirokratisasi dan deregulasinya. Setelah era boom minyak berakhir, pemerintah dihadapkan pada keharusan untuk me ngembangkan industri yang efisien dan berdaya saing internasional sehingga dapat menghasilkan devisa, melalui suatu pro gram penyesuaian struktural yang ber tujuan untuk mengembangkan ekonomi yang lebih terbuka atau berorientasi keluar (outward-looking economy). Pemerintah juga menempuh kebijakan deregulasi da lam pedagangan luar negeri dan investasi termasuk penanaman modal asing yang bertujuan untuk mendorong sektor swasta termasuk swasta asing, lebih efisien dan berdaya saing tinggi (Wie; 2004).
Pembahasan
B.1 Era neoliberal dan Dominasi IMF di Indonesia Awal mula kebijakan yang lebih liberal di negara Indonesia terutama sejak tampuk kekuasaan berpindah ke rezim orde baru. Pada masa orde lama, kebijakan lebih dititikberatkan pada bidang politik dan cenderung berpihak pada blok komunis Uni Soviet. Semenjak jatuh ke tangan orde baru, untuk menangani inflasi tinggi peninggalan pemerintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto mulai menitikberatkan pada per tumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijak an ekonomi yang lebih liberal merupakan pengaruh dari ekonom-ekonom Indonesia yang oleh Malarangeng (2002) disebut sebagai jaringan epistemis liberal , atau oleh Ransom dalam Hadiz dan Dhakidae (2006) disebut sebagai mafia Berkeley.
Proses liberalisasi ekonomi terus terjadi di Indonesia dan mencapai puncaknya semenjak krisis ekonomi 19971. Penarikan modal dalam jumlah besar membuat keadaan ekonomi Indonesia terguncang, terpuruknya ekonomi Indonesia yang diawali dengan depresiasi rupiah meng akibatkan sepanjang 1998 hampir semua sektor ekonomi, khususnya sektor kons truksi, industri manufaktur, keuangan, per dagangan, hotel dan restoran, transportasi, komunikasi dan jasa lainnya mengalami konstraksi tajam, sehingga PDB indonesia pun berkontraksi hampir -14,0%, hingga akhirnya pemerintah meminta bantuan keuangan pada IMF (Wie; 2004). Indo nesia harus mentaati resep-resep yang dianjurkan IMF dan Bank Dunia, untuk kasus Indonesia resep-resep ini disebut sebagai letter of intent yakni programprogram yang disepakati oleh kedua belah pihak untuk melakukan perubahan
Salah satu kebijakan utama pemerintah orde baru adalah penggabungan kembali ekonomi Indonesia dengan perekonomian global. Oleh orde baru, pembangunan difokuskan pada mengejar target pertum buhan ekonomi. Hal tersebut dirumuskan dalam kebijakan-kebijakan antara lain penanaman modal asing, kebijakan devisa, perdagangan luar negeri dan bantuan luar negeri. Indonesia lebih terintegrasi dengan ekonomi dunia setelah era boom minyak berakhir pada tahun 1982 (Mallarangeng; 2002). Pada tahun ‘80an inilah benih-benih neoliberal telah dimulai, dengan kebijakan
1
33
Krisis ekonomi di Asia Tenggara dimulai se menjak jatuhnya nilai mata uang Baht Thailand, hal ini berimbas pada Negara-negara Asia tenggara lainnya termasuk Indonesia. Thee Kian Wie. 2004. Pembangunan, kebebasan dan mukjizat orde baru. Jakarta: Kompas. hal 123
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
ekonomi secara fundamental (Bahagijo; 2006). Resep-resep ini sebagaimana di ungkapkan dalam agenda pokok paket kebijakan konsensus Washington menjadi menu dasar penyesuaian struktural IMF. Dijelaskan oleh Hiariej (2004) bahwa pada tahun 1990, ekonom John Williamson memperkenalkan istilah Washington Con sensus untuk merujuk pada tidak lebih dari sepuluh wilayah kebijakan neoliberal yang diterima dan diterapkan hampir selu ruh pengambil kebijakan di seluruh dunia. Konsensus Washington tersebut meliputi:
barang-barang produksinya ke negara ber kembang. Sementara negara-negara maju sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan petaniannya melalui mekanisme kuota, export retrain, subsidi dan hambatan non tarif. 4) Pelaksanaan privatisasi BUMN. Penjualan aset-aset milik negara dimak sudkan agar peranan negara dalam ekonomi berkurang sampai sekecil mungkin, untuk digantikan oleh swasta terutama sawasta asing. Dalam prakteknya penjualan asetaset negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah sehingga sering ter jadi program privatisasi identik dengan rampokisasi (piratization)2
1) Pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara Kebijakan anggaran konservatif, se lain untuk mengendalikan stabilias ma kro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus ang garan untuk membayar utang kepada kreditor dan lembaga keuangan inter nasional. Bahkan penghapusan subsidi untuk rakyat banyak seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, UKM, dipaksakan untuk dihapus hanya agar tersedia surplus anggaran untuk membayar cicilan utang luar negeri.
Luasnya persyaratan yang ditetapkan IMF berarti negara-negara yang menerima bantuan tersebut harus rela melepaskan sebagian besar kedaulatan ekonomi yang dimiliki (Stiglitz; 2006). Keterlibatan IMF justru membuat krisis ekonomi di Indonesia semakin parah dan mendalam, salah obat dan salah diagnosis membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 menurun hingga -13%. Tanpa keterlibatan IMF, krisis ekonomi memang tetap akan terjadi di Indonesia, namun skalanya relatif kecil. Namun keterlibatan IMF mengakibatkan ekonomi Indonesia merosot hingga -12,8% pada 1998. Biaya sosial ekonomi dari krisis adalah kerusuhan sosial Mei 1998, peningkatan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya rekapitulasi bank lebih dari Rp 600 triliun serta tambahan beban utang puluhan miliar dolar yang masih terasa sampai sekarang.3 Bahkan Stiglitz (2006)
2) Pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan Liberalisasi keuangan selain bermanfaat untuk memperlancar sirkulasi dan transaksi global keuangan, juga dimaksudkan untuk menjamin agar modal dan dividen dapat keluar dari negara berkembang setiap saat. Kebijakan ini dimaksudkan juga ntuk mempermudah integrasi pasar keuangan nasional ke dalam sistem global. 3) Pelaksanaan liberalisasi sektor industri dan perdagangan
2 International Monetary Fund (IMF). A. Tony Prasetyantono dalam I.Wibowo dan F.Wahono, (ed). 2003.Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinde laras Pustaka Rakyat Cerdas. hal: 119-121. 3 Pengalaman buruk Indonesia di bawah IMF.
Dimaksudkan untuk memudahkan negara-negara maju untuk mengekspor
34
Oki Rahadianto Sutopo, BIAYA-BIAYA MANUSIA DALAM ERA NEOLIBERAL : Sebuah Imperatif
menjelaskan bahwa ada satu hal yang membuatnya gusar saat pindah jabatan dari Ketua Dewan Penasehat Ekonomi Presiden menjadi Kepala Ekonom Bank Dunia, yaitu sikap IMF dan Departemen Keuangan AS. Di luar negeri, IMF seringkali mendesakkan kebijakan yang sama sekali bertentangan dengan apa yang kami perjuangkan di dalam negeri, sebagaimana dijelaskan: ”Di dalam negeri, kami berjuang menentang privatisasi jaminan sosial, namun di luar negeri kita menggencarkannya”.
WTO, GATT hanya mengurusi masalah perdagangan barang antarnegara. Namun setelah WTO lahir, masalah yang diurusi semakin meluas yaitu perdagangan barang, perdagangan jasa dan HAKI (Hak ke kayaan intelektual) terkait perdagangan. Memakai terminologi Weber mengenai ideal type, WTO dipercaya akan membantu menciptakan perdagangan dunia yang lebih bebas dan adil, dengan semboyannya yaitu “Semakin bebas perdagagangan, semakin besar arus laba, baik bagi negara maupun para pelaku perdagangan, maka masyarakat dunia akan semakin sejahtera” Namun hal itu hanyalah merupakan tipe ideal, kenyataan empirisnya sungguh sangat berbeda.
Stiglitz (2006) mengkritik konsensus Washington terutama jika diterapkan di negara – negara yang berhutang, ter masuk Indonesia. Stiglitz mengakui bah wa sebagian besar negara-negara yang telah melakukan penyesuaian struktural terutama negara-negara yang sedang melakukan transisi seperti Eropa Timur dan bekas Uni Soviet gagal dalam me ngurangi kemiskinan, hutang luar negeri dan mewujudkan stabilitas ekonomi. Bah kan Michael Chossudovsky dalam Stiglitz (2002) menyalahkan IMF dan WTO sebagai penyebab kemiskinan, eksploitasi dan perang di negara-negara Eropa Timur yang menjalankan kebijakan neoliberal4. C.
Pasca-putaran Uruguay, perusahaan multinasional di negara maju gencar me lobi untuk mendorong liberalisasi di luar perdagangan barang, yaitu jasa dan investasi serta dorongan untuk pemberlakuan HAKI. Sejak saat itu perundingan per dagangan internasional lebih condong ke arah kepentingan negara-negara maju. Dijelaskan oleh Jhamtani (2005) bahwa paling tidak terdapat lima masalah yang dihadapi negara berkembang berkaitan dengan WTO antara lain: 1) Struktur sistem dan perjanjian WTO tidak adil ter hadap kepentingan negara berkembang, 2) Keuntungan yang diharapkan oleh negara berkembang ketika bergabung dengan WTO ternyata tidak tewujud,3) Negara berkembang terus ditekan serta 4) Proses pengambilan keputusan di WTO tidak transparan dan tidak adil. Dalam kenyataan empiris, kesepakatan mengenai perdagangan internasional bukanlah suatu kompromi perdagangan melainkan suatu proses politik. Negara harus menjalankan kewajiban di bawah WTO, tetapi yang
Dominasi World Trade Organization (WTO)
Selain dominasi IMF, WTO juga menjadi salah satu aktor yang turut melanggengkan neoliberalisme di Indonesia. Secara historis, WTO didirikan pada 1 Januari 1995, organisasi ini merupakan kelanjutan dari general agreement on tariffs and trade (GATT). Sebelum berubah menjadi Rizal Ramli (pengantar).2006. dalam Sugeng Bahagijo (ed) Globalisasi menghempas Indo nesia. Jakarta; LP3ES. hal v 4 Cahyo pamungkas. Indonesia dan Integrasi ekonomi global. Jurnal Pesantren Ciganjur edisi 04/Th.II/2007. hal 80
35
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
menikmati hasilnya adalah perusahanperusahaan multinasional. Demi kepen tingan perusahaan multinasional ini, peme rintah dipaksa bekerja keras merundingkan peraturan global yang mengorbankan kepentingan rakyat banyak (Jhamtani; 2005).
penghapusan tarif bea masuk pertanian hingga 0%5. Dengan kebijakan ini maka petani kecil akan bersaing dengan peru sahaan multinasional, lalu siapa yang akan menang?. Selain itu liberalisasi juga melanda pada sektor jasa (pendidikan, kesehatan, air,listrik dll), sebagai contoh yaitu terjadinya privatisasi pendidikan (biaya pendidikan semakin mahal), pen jualan BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak, privatisasi rumah sakit dll. Tidak cukup hanya di situ saja, WTO dengan kebijakannnya mengenai HAKI, maka perusahaan transnasional berhak mematenkan apa yang diklaim merupakan penemuan mereka. Salah satu contohnya adalah dengan diterapkannya oleh DPR, UU no 15/2000 tentang paten, UU no 29/2000 tentang varietas tanaman dan UU no 31/2000 tentang desain industri6 akan merugikan kaum petani serta para pelaku usaha kecil menengah(UKM).
Lalu bagaimana dengan keterlibatan Indonesia dalam WTO? Bagaimana dam pak keikutsertaan Indonesia dalam forum WTO tersebut? Indonesia ternyata telah bergabung dengan organisasi tersebut sejak tahun ‘50an. Kenyataan empris me nunjukkan bahwa WTO bukannya men ciptakan keuntungan bagi Indonesia namun justru menjerumuskan Indonesia ke dalam bencana besar. Organisasi ini lah yang menentukan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana dijelaskan Appadurai dalam Ritzer (2003) bahwa pertumbuhan institusi dan organisasi transnasional banyak meng hilangkan kekuasaan negara bangsa. Agen da besar WTO tentu saja tidak lepas dari peran IMF dan Bank dunia yang sama-sama memaksakan liberalisasi perdagangan ke pada negara-negara pengutangnya (Jham tani; 2005).
D.
Dominasi Perusahaan Trans/ Multinasional (TNC/MNC)
”Kita hidup dalam dunia yang tengah diambil alih secara diam-diam ( Silent take over)” (Hertz; 2005)
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa WTO tidak hanya mengurusi masalah perdagangan barang saja namun telah mengalami perluasan antara lain perdagangan barang, perdagangan jasa dan hak kekayaan intelektual terkait perdagangan (trade related intellectual property right). Dampak yang dialami oleh Indonesia juga terkait dengan tiga hal tersebut, sebagai contoh yaitu liberalisasi perdagangan yang dimulai pada sektor pertanian. Sejak 1997, diterapkan liberalisasi pangan dan penyingkiran BULOG, liberali sasi pupuk lewat penyingkiran PUSRI, dan
Kutipan pernyataan dari Noreena Hertz di atas merupakan suatu cerminan kenyataan yang telah terjadi sekarang, sungguh sesuatu yang ironis karena ter nyata telah terjadi perubahan yang besar namun kita tidak mengetahuinya sama sekali. Lalu siapa yang telah mengambil alih kehidupan kita secara diam-diam? Salah satunya adalah dari ”The unholy trinity” yaitu perusahaan trans/multinasional “Antara Doha dan Cancun” Bonie Setiawan dalam Neoliberalisme. 2003. F.Wahono dan I.Wibowo (ed). Yogyakarta: Cindelaras. hal 66 6 Ibid,hal 99 5
36
Oki Rahadianto Sutopo, BIAYA-BIAYA MANUSIA DALAM ERA NEOLIBERAL : Sebuah Imperatif
(TNC/MNC). Sebagaimana dijelaskan Theodore Lewi dalam Rianto (2004) me nyebut era sekarang sebagai a corporate millenium yang diintepretasikan ke dalam model hegemoni swasta dan pasar bebas. Perusahaan-perusahaan multinasional da pat bertindak sebagai aktor kunci dalam ekonomi global, karena mampu melakukan integrasi secara vertikal, konsentrasi modal, organisasi pasar, manajemen da lam suatu skala yang dapat membuatnya menginternasional, ke arah ekonomi global dan kemudian memenuhi permintaanpermintaan akan pasar global.7
sebut ditetapkan di WTO. Dominasi TNC/ MNC semakin meluas pada sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak hanya sektor ekonomi namun juga sektor jasa. Nugroho (2004) menjelaskan bahwa jika perekonomian dikuasai oleh swasta, maka pengelolaan dan penyediaan akses ke setiap sumber daya publik adalah bisnis dan setiap warga masyarakat adalah konsumen. Sedangkan Priyono dalam Wibowo dan Wahono (2003) melihat kenyataan yang terjadi sebagai marginalisasi ala neoliberalisme, sebagaimana dikatakannya:”Bila anda tidak mampu membeli, anda tidak berhak mendapatkan kebutuhan yang bahkan paling mendasar untuk hidup”
Dominasi dari TNC/MNC dapat di lihat dari perkembangan jumlahnya yang semakin meningkat, pada tahun 1970 jumlah mereka sekitar 7000 TNC namun pada tahun 1990 jumlah mereka mengalami peningkatan menjadi 37.000 TNC (Fakih; 2003) Jumlah mereka yang semakin banyak menurut Rianto (2004) dikarenakan perusahaan-perusahaan me lakukan merger, tidak hanya antara pe rusahaan kecil dengan perusahaan besar namun juga antar perusahaan besar, sehingga mereka mendominasi hampir 75% dari total investasi global atau dengan kata lain 75% perdagangan dunia.
Dominasi dari TNC/MNC saling jalinmenjalin dengan dua aktor neoliberal yang lain yaitu WTO dan IMF. IMF dengan perangkap hutangnya memaksa negaranegara pengutang termasuk Indonesia untuk melakukan liberalisasi di berbagai sektor, dimana liberalisasi merupakan kepentingan dari organisasi WTO dan ironisnya yang ada dibalik WTO adalah pe rusahaan trans/multinasional (TNC/MNC) sebagaimana dijelaskan Fakih (2003). Ketiga aktor ini pada akhirnya hanya menimbulkan biaya-biaya manusiawi yang lebih besar, terutama rakyat kecil. Dibawah ini dalam bagan dijelaskan mengenai dominasi tiga aktor neoliberal:
Lebih lanjut Fakih (2003) menjelaskan bahwa TNC/MNC merupakan aktor yang berkuasa dan justru lebih penting setelah WTO. Dijelaskannya bahwa TNC/MNClah yang berada di balik semua proses kesepakatan dalam WTO. TNC/MNC sangat berkepentingan melalui mekanisme globalisasi sistem produksi, investasi dan pasar yang mengatur mekanisme dari semua sistem produksi dan pasar ter 7
Globalisasi, liberalisasi ekonomi dan krisis demokrasi. Puji Rianto dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) UGM. 2004. vol 8, no2, November. hal 45.
37
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
terhadap pembongkaran mitos juga senada dengan pendapat dari Bourdieu (2003) dikatakannya bahwa: ”Neoliberalisme ibar at Marxisme di masa lampau dalam hal membangkitkan mitos mengenai utopia free trade faith, oleh karena itu harus dibongkar kepalsuannya”
Bagan 1 Dominasi Tiga Aktor Neoliberal WTO
IMF
TNC/MNC
Penghapusan Subsidi Liberalisasi Privatisasi
Mitos bahwa kebijakan neoliberal akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang harus dibongkar kepalsuannya. Karl Polanyi dalam Ritzer (2003) mengatakan bahwa ”Jika ekonomi pasar dibiarkan berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri maka akan menciptakan ke burukan-keburukan yang dahsyat”. Apa yang diramalkan Polanyi mendapat pembuktian pada jaman sekarang dimana yang terjadi bukanlah kemakmuran bagi semua orang melainkan kemakmuran bagi negara-negara maju, kemakmuran bagi segelintir orang yang mempunyai modal besar dan kemakmuran bagi perusahaan trans/multinasional. Memakai pisau anali sis dari Wallerstein dalam Ritzer (2003) mengenai modern world system dimana dibedakan antara negara inti (core), negara semi pinggiran (semi-periphery) dan negara pinggiran (periphery), maka kemakmuran lebih banyak dinikmati dan menumpuk di negara-negara pusat (core) atau meminjam istilah Connell (2007) hanya Nothern countries yang mendapat keuntungan lebih besar. Mitos kesejahteraan bagi setiap orang yang dijanjikan oleh neoliberalisme dalam kenyataannya yang terjadi adalah
Biaya-Biaya Manusia
E.
Mempertimbangkan BiayaBiaya Manusia Dalam Era Neoliberal : Sebuah Imperatif
Penjelasan mengenai peran tiga aktor neoliberal yaitu IMF, WTO dan TNC/ MNC dalam menjalankan kepentingan untuk meliberalisasi pasar dan menguasai segala aspek kehidupan menunjukkan bahwa semuanya dilakukan untuk tujuan pemupukan profit. Pasar bebas dipercaya secara membabi buta akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang. Pengebirian peran negara sebagai pelindung rakyat dipercaya akan memperlancar terciptanya pasar bebas. Globalisasi dan neoliberalisme telah menjadi sebuah mitos dengan mantranya ”There is no alternative”. Akan tetapi benarkah demikian? Disinilah kiranya kita perlu mempertimbangkan ide-ide Peter L. Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974). Mitos mengenai neoliberalisme harus dibongkar kepalsuannya8, usulan
revolusi. Kedua mitos tersebut harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya.”
8 Dalam Pyramids of Sacrifice(1974), Berger mengusulkan pembongkaran terhadap mitos kapitalisme dan sosialisme. Sebagaimana dikata kan dalam tesisnya yang kedua (2) bahwa:
“Model-model ideologis yang utama mengenai perubahan sosial didasari oleh dua mitos yang dominan-mitos pertumbuhan dan mitos
38
Selain itu pada tesisnya yang keempat dan kedelapan dijelaskan bahwa:
”Ideologi kapitalis, yang didasarkan pada mitos pertumbuhan, harus dibongkar kepalsuankepalsuannya” dan juga ”Ideologi sosialis yang didasarkan pada mitos revolusi, harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya”
Oki Rahadianto Sutopo, BIAYA-BIAYA MANUSIA DALAM ERA NEOLIBERAL : Sebuah Imperatif
kesenjangan sosial yang semakin tajam.
kesengsaraan dan penderitaan hari ini untuk tujuan kemakmuran dan ketentraman masa depan yang sulit dibuktikan kebenarannya secara empiris tidak dapat dibenarkan secara moral, sangat sesuai jika diterapkan dalam era neoliberal sekarang. Kesengsaraan dan penderitaan rakyat kecil demi suatu mitos tentang pasar bebas tidak dapat dibenarkan secara moral. Seharusnya yang diprioritaskan bukan kepentingan ekonomi untuk menumpuk profit, melainkan harus mempertimbangkan biaya-biaya manusia (Human cost). Usulan Berger meru pakan suatu perwujudan dari apa yang dianut Berger sebagai etika tanggung jawab, sebuah prinsip yang merupakan hasil pengaruh Max Weber. Menurut Berger dan Kellner dalam Sociology Reintepreted (1981), etika tanggung jawab adalah etika yang mengambil kriteria tindakannya dari perhitungan atas akibat yang mungkin timbul dan bukan dari prinsip-prinsip mutlak. Ini artinya bahwa dalam mengambil keputusan harus selalu mempertimbangkan antara kemungkinan hasil dan kemungkinan biaya. Perlunya mempertimbangkan biaya-biaya manusia dijelaskan Berger dalam tesisnya yang ke tujuh belas(17):
Sebagaimana dijelaskan Nugroho (2004) bahwa antara 1960 dan 1997 selisih pendapatan antara seperlima penduduk paling miskin dan paling kaya di dunia ini telah berlipat lebih dari dua kali. Pada akhir 1990, seperlima penduduk yang paling kaya itu menguasai 86% kemakmuran dunia, sementara seperlima yang paling miskin hanya mengais-ngais 1 % saja. Dan keadaan itu menjadi lebih buruk lagi, sekarang seperlima penduduk yang paling kaya menguasai 88 % dan seperlima penduduk yang miskin menguasai hanya 0,85 % saja.9 Fenomena kesenjangan sosial tersebut apabila dibaca dengan perspektif dari Beck mengenai masyarakat resiko dalam Risk Society; Toward a New Modernity (1992), maka dapat dikatakan bahwa penduduk miskin menanggung resiko terbesar (baik resiko kemiskinan, kerusakan lingkungan, penyakit dll) dari dampak neoliberal. Sebagaimana dijelaskan oleh Beck dalam Ritzer (2003) bahwa: “Sejarah distribusi resiko menunjukkan bahwa, seperti kekayaan, resiko melekat pada pola pembagian kelas, hanya saja secara terbalik: kekayaan terakumulasi di puncak (kelas atas) sedangkan resiko terakumulasi di dasar (kelas bawah). Hingga taraf tertentu resiko ternyata tidak menghapus tetapi justru memperkuat ma syarakat berkelas. Kemiskinan meng himpun resiko yang berlimpah. Sebaliknya kekayaan dapat membeli keselamatan dan kebebasan dari resiko”
”Biaya-biaya manusiawi yang paling menekan adalah berkenaan dengan keku rangan dan penderitaan fisik. Tuntutan moral yang paling mendesak dalam pengambilan kebijaksanaan politik adalah suatu perhitungan kesengsaraan.” Usulan Berger mengenai perlunya mem perhatikan biaya-biaya manusia (Human cost) seharusnya senantiasa diterapkan dalam era neoliberal sekarang, apabila dalam era neoliberal yang dikejar hanya kepentingan ekonomi untuk menumpuk profit dengan menghalalkan segala cara,
Selain perlunya melakukan pembong karan mitos, usulan dari Berger bahwa berbagai kebijakan yang membenarkan 9 Soal keadilan antar bangsa di zaman neoli beralisme.Yanuar Nugroho, dalam buku Keadilan Sosial. Jakarta: Kompas. 2004.hal 88
39
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
maka dampaknya seperti kemiskinan, pe ngangguran, penyakit, hanya akan meng hasilkan korban-korban manusia yang lebih banyak lagi. Kenyataan ini merupakan bencana besar bagi kehidupan mayoritas umat manusia.
yang kacau balau sekarang ini. Oleh karena itu manusia berhak atas suatu dunia yang bermakna (Berger and Luckman; 1966). WTO dengan peraturan-peraturannya, IMF dengan jerat hutangnya dan TNC/MNC dengan dominasi ekonomi dan teknologi sama sekali tidak memperdulikan ”suara” individu dikarenakan hampir semua sektor kehidupan hanya dinilai dengan uang. Memakai terminologi Weber dalam Coser (1971), rasionalitas subtantif telah digantikan oleh rasionalitas instrumental, dunia telah kehilangan pesonanya dan individu serasa hidup dalam sangkar besi (Iron cage of rationality). Lebih lanjut, Amartya Sen dalam Development as Freedom (1992) menjelaskan bahwa salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah kebebasan, dalam arti bebas dari kemiskinan, kelaparan, penyakit, teror dll. Namun kepentingan pasar telah membuat individu kehilangan kebebasannya, yang terjadi adalah kesenjangan sosial yang semakin lebar. Bahkan Hertz (2005) men jelaskan bahwa dalam era neoliberal demokrasi telah mati, ini berarti suara individu tidak lagi diperhatikan, hal tersebut menunjukkan bahwa definisi situasi individu juga tidak diperhatikan. Imperatif dari Berger (1974) bahwa seharusnya definisi situasi individu diperhatikan supaya individu dapat berpartisipasi dalam menentukan kehidupannya dan untuk menemukan makna kehidupan. Sebagai mana dijelaskan oleh Berger (1974) dalam tesisnya yang kelima belas:
Dalam hal makna, biaya-biaya manusia akibat dari neoliberalisme juga tidak kalah memprihatinkan. Dominasi dari tiga aktor neoliberal membuat individu kehilangan kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri dikarenakan hampir semua sektor telah dikuasai. Partisipasi individu untuk menentukan nasibnya hampir tidak ada. Penguasaan terhadap segala aspek kehi dupan membuat individu tidak dapat menemukan makna. Definisi makna juga telah diatur oleh kepentingan pasar, hal ini menurut Berger (1974) membuat individu berada dalam keadaan homeless (ketidak -berumahan). Sebagaimana dijelaskan dalam tesisnya kesembilan belas (19) : ”Manusia berhak hidup di dalam sebuah dunia yang mengandung makna. Suatu penilaian atas biaya-biaya dalam kebijak sanaan politik harus juga merangkum suatu perhitungan makna” Kebutuhan akan makna merupakan hal esensial bagi manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Berger bahwa ”Manusia tidak cukup hanya hidup dengan roti”. Kebutuhan akan makna juga dijelaskan Berger dalam karya-karya sebelumnya antara lain Invitation to Sociology (1963), The Social Construction of Reality (1966), The Social Reality of Religion (1973) dan Homeless Mind (1973). Setiap dunia yang bermakna, menyediakan bagi penghuninya suatu perlindungan terhadap anomie, adanya makna dibaratkan sebagai sebuah tempat yang aman tenteram diantara dunia
”Mereka yang merupakan sasaran ke bijaksanaan politik harus mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi, bukan saja dalam mengambil keputusan-keputus an khusus, tetapi juga dalam merumuskan
40
Oki Rahadianto Sutopo, BIAYA-BIAYA MANUSIA DALAM ERA NEOLIBERAL : Sebuah Imperatif
definisi-definisi situasi. yang merupakan dasar dalam mengambil keputusankeputusan tadi. Partisipasi ini bisa disebut partisipasi kognitif.”
globalisasi dan neoliberalisme terus ber jalan hingga saat ini. Ada satu hal yang tidak mendapatkan prioritas dalam wacana neoliberalisme yaitu mengenai biaya-biaya manusia (Human cost). Globalisasi di satu sisi mendatangkan manfaat tapi di sisi yang lain mendatangkan korban. Dimensi korban inilah yang seharusnya tidak boleh kita lupakan dalam perdebatan wacana mengenai globalisasi dan neoliberalisme.
Apabila partisipasi individu tidak dihi raukan atau dengan kata lain didominasi oleh kepentingan pasar maka dalam ting katan kronis, individu akan mengalami suatu keadaan yang digambarkan oleh Berger sebagai anomie. Secara ringkas biaya-biaya manusia dalam era neoliberal dijelaskan dalam bagan di bawah ini:
Human cost merupakan suatu kriteria mutlak yang harus selalu mendapat prioritas dalam segala bidang. Kenyataan yang terjadi sekarang tidak memberikan banyak tempat untuk pertimbangan etika mengenai kalkulasi biaya-biaya manusia. Kepentingan pasar mendominasi dalam segala hal. Ini berarti manusia telah melupakan hakikat dasar bahwa kegiatan ekonomi dituju kan untuk kesejahteraan rakyat namun sebaliknya kegiatan perekonomian seka rang ditujukan untuk memenuhi kegiatan ekonomi itu sendiri. Mengejar profit, mengejar angka-angka pertumbuhan serta tingkat investasi menjadi kosakata yang dominan. Kesejahteraan manusia dan keadilan sosial telah dikorbankan demi citacita pasar bebas. Seharusnya faktor biayabiaya manusia mendapatkan prioritas diatas kepentingan ekonomi. Sebagaimana dijelaskan oleh Berger (1974) adalah suatu imperatif bahwa biaya-biaya manusia harus didahulukan. Seharusnya kehidupan manusia tidak begitu saja dikorbankan demi kepentingan-kepentingan pasar.
Bagan 2 Biaya-Biaya Manusia Dalam Era Neoliberal Biaya-Biaya Manusia
Biaya Manusia Dalam Hal Fisik
Pengangguran Penyakit Kemiskinan
F.
Biaya Manusia Dalam Hal Makna
Tidak ada Partisipasi Ketidak-berumahan (Homeless) Anomie
Penutup
Globalisasi dan neoliberalisme bukanlah suatu hal yang terjadi secara alami, namun merupakan narasi besar, sebuah konstruksi sosial yang berusaha diwujudkan untuk sebuah motif, tidak lain adalah nafsu untuk menguasai (Will to power). Dengan kedok bahwa penyerahan sepenuhnya pada mekanisme pasar akan dapat men sejahterakan rakyat serta penyatuan men jadi satu sistem ekonomi global akan mensejahterakan seluruh bangsa, wacana
Dominasi pasar di segala aspek kehi dupan manusia membuat individu kehi langan akan makna kehidupan. Meskipun makna merupakan hal yang subyektif, namun setiap individu pasti membutuhkan keberadaan makna untuk melanjutkan kehidupannya. Makna merupakan cermin 41
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
G.
an dari sisi humanis manusia yang membedakan mereka dengan mahluk hidup yang lain. Sebuah imperatif bahwa kepen tingan pasar seharusnya tidak membuat individu kehilangan makna kehidupan, kehilangan makna berarti berada dalam kondisi anomie bagi individu. Lalu apalah artinya kekayaan yang berlimpah jika manusia berada dalam kondisi anomie? Keberadaan makna sangat penting, tanpa makna manusia tidak dapat hidup di dunia.
Daftar Pustaka
_____________.2003. Edisi khusus Piere Bourdieu. Majalah Basis. Yogyakarta: Yayasan BP Basis. Berger, Peter l. 1963. Invitation to Sociology. New York: Basic Books. _____________. 1973. The Social Reality of Religion.England :Penguin Books. _____________. 1974. Pyramids of Sacrifice. England: Penguin Books. Berger, Peter.l and Thomas Luckman. 1966. The Social Construction of Reality. England: Penguin Books. Berger, Peter.l and Hanfried Kellner. 1981. Sociology Reintepreted. New York : Basic Books. Berger, Peter.l and Samuel.P.Huntington (ed).2002. Many Globalizations. Cultural Diversity In The Contemporary World. New York: Oxford University Press Bahagijo, Sugeng. 2006. Globalisasi Meng hempas Indonesia. LP3ES. Jakarta. Connell, Raewyn. 2007. The Northern Theory of Globalization. Sociological Theory, Vol. 25, No. 4. USA : American Sociological Association. Coser, Lewis. 1971. Masters of Sociological Thoughts. New York: Jovanovich Inc. Dhakidae, Daniel dan Vedi Hadiz (ed). 2006. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing. Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Heertz, Noreena. 2005. Perampok Negara: Kuasa Kapitalisme Global dan
Ada beberapa agenda kedepan yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah pengembalian fungsi negara sebagai institusi yang memberikan pelayanan sosial kepada warga negara, terutama menyangkut hal-hal yang bersifat pokok (basic needs). Keberadaan social services terhadap warga negara diperlukan terutama untuk mengurangi kesenjangan sosial. Agenda selanjutnya adalah demokratisasi di berbagai bidang, terutama penekanan pada nilai-nilai subtantif. Dengan terwujudnya demokrasi subtantif maka suara rakyat akan lebih diperhatikan dan rakyat bebas memilih apa yang diinginkannya, hal ter sebut akan membuat rakyat dapat meraih makna dalam kehidupannya. Agenda lain yang tidak kalah penting adalah perlunya memperhatikan isu-isu hak-hak asasi manusia (HAM), tidak hanya dalam hal politik, namun juga hak asasi manusia dalam hal ekonomi, sosial dan budaya. Dengan menjunjung tinggi penghargaan terhadap HAM diharapkan pada masa mendatang semakin berkurang korbankorban manusia dan pada tingkat yang utopis, tidak ada lagi biaya-biaya manusia yang harus dikorbankan.
42
Oki Rahadianto Sutopo, BIAYA-BIAYA MANUSIA DALAM ERA NEOLIBERAL : Sebuah Imperatif
Matinya Demokrasi. Yogyakarta: Alenia. Hiariej, Eric. 2005. Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto. Yogyakarta: IRE Press. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP). 2004. Vol. 8. No 2. November. Yogyakarta: Fisipol UGM. Jurnal Pesantren Ciganjur. 2007. Edisi 04/ Th II. Jakarta. Mallarangeng, Rizal. 2004. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG dan Freedom Institute. Nasikun.2005. Peran Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora bagi Liberalisasi dan Humanisasi Teknologi. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar dan Keadilan sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ____________. 2003. Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Jhamtani ,Hira.2005. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga.Yogyakarta: Insist Press. Prasetyantoko, A. 2004. Keadilan Sosial. Jakarta: Penerbit Kompas. Ritzer, George. 2003. Modern Sociological Theory. USA: Mc grawhill. Sen, Amartya. 1992. Development as Freedom. New York: Anchor Books. Stiglitz, Joseph. 2006. Dekade Keserakahan Era 90an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Tangerang: Marjin kiri. 2006. Thee Kian Wie. 2004. Pembangunan, Kebebasan dan Orde Baru. Jakarta: Penerbit Kompas. Wibowo.I dan F Wahono. 2003. Neo liberalisme. Yogyakarta: Cindelaras.
1
43
Artikel berdasar pada skripsi yang diselesaikan pada tahun 2007 di Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM, dengan beberapa penyesuaian dan pengembangan. Penulis berterima kasih kepada Ibu dan keluarga Harvey atas dukungan yang diberikan.
DEMOKRASI DAN KOMODIFIKASI PERLINDUNGAN KESEHATAN PEREMPUAN Derajad S. Widhyharto
ABSTRAK “ Seiring dengan euphoria reformasi politik, demokrasi dan demokratisasi pada tahun 2000-2005 mengalami peningkatan perhatian tetapi belum melekat kuat dalam sistem politik di daerah. Saat itu, isu kesehatan perempuan berpacu dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan. Kota Madiun menjadi salah satu arena kontestasi tersebut, resikonya demokrasi termodifikasi oleh dinamika sosial, politik dan pasar. Merespon hal tersebut, diperlukan upaya menggeser pendekatan kesehatan perempuan instrumental menuju pada pendekatan kesehatan perempuan substantif. Caranya memperkuat posisi subyek perempuan dalam perlindungan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan.“
Kata Kunci : demokrasi, perlindungan, kesehatan, perempuan, komodifikasi
ABSTRACT “ As the euphoria of political reformation happens, democracy and democratization during 2000-2005 got more attention even it has not embedded in its local political system. At that time, women’s health issues competed with issues of participation and Political freedom. Madiun city became one of its arena of contestation, the impact then democracy was commodified by social dynamic, politic and market. To respond these issues, it needs an effort to shift the approach which previously based on instrumental into more subtantif women’s health approaches. One of its way is by strengthening the protection on pregnant and maternal womens as a subject.” Keywords: democracy, protection, health, women, comodification
44
Derajad S. Widhyharto, DEMOKRASI DAN KOMODIFIKASI PERLINDUNGAN KESEHATAN PEREMPUAN
A.
Pendahuluan
B
unga, seorang perempuan dari keluarga yang tidak mampu. Bu nga tinggal di pinggiran Bengawan Madiun. Bunga datang ke Puskesmas Mangunharjo untuk memeriksakan kan dunganya. Saat pemeriksaan pertama, usia kandungannya sudah empat bulan. Menurut diagnosis dokter, kandungan Bunga mempunyai masalah karena posisi bayi yang terbalik. Dokter menyarankan agar Bunga memeriksakan diri ke rumah sakit. Tapi setelah sampai rumah sakit, keluhan Bunga tentang posisi bayi tidak digubris, bahkan dokter berkata ”..ah, itu biasa.” Kemudian Bunga diberi vitamin dan obat penguat janin. Sesampai di rumah, Bunga stress dan kebingungan, kepada siapa lagi Bunga bisa mendapatkan informasi dan kepastian kesehatan jika sang dokter sudah mengatakan ”biasa saja”. Dengan kondisi seperti itu, kesehatan kandungan Bunga terganggu. Akhirnya ia mengalami keguguran. Ironisnya, saat pemeriksaan kandungan setelah keguguran sang dokter sekali lagi berkata ”....ah itu biasa....” Bunga sebenarnya sangat marah tapi tidak berdaya. Diakhir pemeriksaan sang dokter bertanya, mana suamimu? Bunga menjawab, suami saya bekerja, dokter. Kalau bisa saya ketemu dengan suami ibu, saya ingin bicara soal kandungan ibu, tukasnya. Pada saat dokter mengatakan hal tersebut, Bunga baru sadar bahwa ia tidak berhak mendapat informasi kesehatan yang jelas dan benar, meskipun ia yang mengandung hanya karena ia seorang perempuan. Dokter berasumsi bahwa yang dapat menerima informasi dan pengambil keputusan adalah laki-laki. Padahal ia tidak mungkin mengajak suaminya periksa ke dokter karena suaminya harus mencari nafkah.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh betapa perempuan dipinggirkan dan tidak punya hak atas hidupnya sendiri. Wacana eksistensi perempuan dengan segala kompleksitas persoalannya selalu menjadi perdebatan yang menarik dibicarakan oleh banyak kalangan. Salah satu alasan mengapa membicarakan permasalahan perempuan menjadi penting, adalah ada nya ketidakadilan yang bersumber pada permasalahan gender. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dari struktur yang membuat kaum lakilaki maupun perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat dari berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, misalnya: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta lemahnya sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis1. Gam baran kompleksitas dan luasnya per soalan perempuan telah menjadikan isu perempuan sebagai isu nasional bahkan menjadi isu global. Pertanyaannya kemu 1
45
Lihat Mansour Fakih, 2001, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, pustaka pelajar, h.12
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
dian mengapa perempuan bukan ibu, Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). karena Indonesia tidak punya undang-undang perlindungan terhadap kaum perempuan, maka pemerintah-atas nama Negara-tidak mau melaksanakan karena berlawanan dengan kultur. Sebab lain, identifikasi perlindungan perempuan hamil dan melahirkan seharusnya un tuk semua perempuan -bukan pada ibu saja- yang notabene dibatasi oleh perem puan yang sudah menikah. Jadi terjadi diskriminasi terkait dengan status perem puan. Ini merupakan persoalan sub stansial yang sampai saat ini belum ada jalan keluarnya. Sebagaimana kita tahu, Konferensi Internasional tentang Kepen dudukan dan Pembangunan (ICDP = International Conference on Population and Development) di Kairo, 1994, telah tegas menyebutkan bahwa hak repro duksi merupakan bagian dari hak asasi . Kesepakatan dalam konferensi tersebut menyatakan bahwa “laki-laki dan perem puan memiliki hak memperoleh standar tinggi dalam pelayanan, informasi, bebas dari diskriminasi, ancaman dan kekerasan dalam kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual”. Sehingga sudah seharusnya negara memikul tanggung jawab untuk melindungi hak-hak warga negaranya di bidang pelayanan kesehatan perempuan (Sukmaningsih, dkk, 2003:37).
dudukan dan pembangunan Keluarga Be rencana, pada pasal 44 ayat (1) huruf a dan b yang berkenaan dengan penggunaan alat, obat, dan cara pengaturan kehamilan yang dilakukan atas petunjuk dan atau tenaga kesehatan. Keterbatasan pengetahuan tenaga kesehatan akan gender dan dengan dalih program pemerintah, program Keluarga Berencana seolah-olah hanya diperuntukan bagi kaum perempuan. Se lanjutnya yang kedua, UU No.23/1992 tentang kesehatan pada pasal 15 ayat (2) huruf c yang berkenaan dengan tindakan medis terhadap ibu hamil yang tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bersangkutan, suami atau keluarganya2. Uraian tersebut memperlihatkan ketidak berdayaan perempuan dalam mengambil keputusan atas kesehatannya sendiri. Ke tidakberdayaan masih berlanjut di bidang pendidikan, pada level nasional tingkat pendidikan perempuan dibandingkan dengan laki-laki sangat jauh tertinggal. Sebanyak 39 persen perempuan tidak sekolah, hanya 13 persen yang lulus se kolah lanjutan pertama (SLTP) dan kurang dari lima persen lulus perguruan tinggi. Meskipun ada kecenderungan semikin kecilnya kesejangan gender dalam pendidikan, namun angka buta huruf perempuan masih di atas laki-laki. Hingga tahun 2003, penduduk perempuan buta aksara usia 15 tahun ke atas mencapai 13,84 persen. Sedangkan penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas yang buta huruf sebesar 6,52 persen (Kompas, 13/05/05)
Ketidakpedulian negara terhadap pe rempuan dapat dilihat, misalnya, pada temuan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Ada dua perundangan di bidang kesehatan yang bias gender di Kementrian tersebut, yakni: pertama, UU No.10/1992 tentang Perkembangan Kepen
Di Indonesia upaya perlindungan dan pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan belum dilakukan secara optimal, hal ini terlihat dari angka kematian 2 Lihat Riant Nugroho D, 2003, Kebijakan Publik, Adeksi, h.245
46
Derajad S. Widhyharto, DEMOKRASI DAN KOMODIFIKASI PERLINDUNGAN KESEHATAN PEREMPUAN
ibu dan bayi yang masih cukup tinggi. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia tidak jelas datanya. Angka terendah yang sering digunakan adalah data resmi, 373 per 10.000 kelahiran hidup. Organisasi Kesehatan Dunia menyodorkan angka 470 per 100.000 kelahiran. Data lain lagi 650 per 100.000 kelahiran. Namun, menggunakan angka mana pun, angka kematian ibu di Indonesia tergolong kedua tertinggi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Yang pertama adalah Afghanistan dengan 1.700 per 100.000 kelahiran hidup, disusul Indonesia, kemudian Pakistan (Kompas, 15/12/2003). Di samping itu, orientasi pelayanan yang masih dis kriminatif kaya-miskin dan komersial semakin memperburuk kondisi pelayanan kesehatan perempuan. Kondisi tersebut dibuktikan dengan semakin terpuruknya peringkat Human Development Index (HDI, 2002) yang saat itu mencatat Indonesia pada peringkat 112 dari 175 keseluruhan peringkat yang ada. Paradoks kesehatan sebagai hak dan komoditi merupakan hal yang sangat krusial untuk ditelaah lebih lanjut. Munculnya dikotomi hak, yang direpresentasikan oleh UDHRuniversal declaration of human right, dan komoditas, yang direpresentasikan dengan eksistensi WTO (World Trade Organization), tentu saja terkait dengan proses industrialisasi di seluruh dunia. Tarik ulur antara kebijakan komersialisasi dan idealisme perlindungan kesehatan memang bukan hal baru lagi. Demikian pula di Indonesia, jika diamati langsung untuk memahami persoalan tersebut diper lukan sebuah keberpihakan yang jelas terhadap pembuatan kebijakan pelayanan kesehatan. Tentu saja, keberpihakan ideal isme pelayanan kesehatan harus lebih
diutamakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan optimal. Asumsi bahwa modal diperlukan dalam mengelola pelayanan kesehatan tidak salah, tetapi bahwa modal bisa digunakan untuk mendukung peningkatan dan pengembangan pelayanan kesehatan akan lebih bisa dipahami. Berbagai persoalan akan muncul apabila logika uang sudah merasuk dalam sistem pelayanan kesehatan. Kondisi sosial dan ekonomi politik Indonesia telah terkooptasi dengan logika kapital yang kuat. Bahkan jika diamati lebih jauh, konsep pelayanan kesehatan masyarakat yang direpresentasikan oleh eksistensi Puskesmas sebagai tempat pertolongan pertama dan berobat yang bisa diakses oleh masyarakat miskin sekarang sudah tidak lagi berfungsi secara efektif melayani masyarakat miskin lagi3. Keadaan menjadi terbalik mereka yang mampu/kaya justru memanfaatkan pelayanan kesehatan yang disubsidi oleh pemerintah, hal ini menunjukkan logika uang atau orientasi uang (money oriented) sudah dikenal dalam setiap pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa “Eksistensi Perda tentang retribusi telah mengubah semangat pelayanan kesehatan yang berorientasi pada proses menjadi berorientasi output”. Tentu saja, hal ini berpengaruh terhadap perkembangan paradigma pelayanan kesehatan. Alhasil, pasien enggan memeriksakan kesehatannya karena pelayanan yang tidak optimal dan mahalnya biaya pelayanan termasuk harga obat. Argumentasi tersebut cukup memberi penjelasan bahwa pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan meru 3 Lihat data akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (SUSENAS 2001).
47
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
pakan kebijakan krusial yang harus dires pon serta dianalisis secara periodik dan komprehensif. Ini akan membuat ekses negatif dari pertentangan antara hak memperoleh pelayanan dan komoditas yang berorientasi pada kapital dapat dipetakan secara jelas.
nilai pesat dan merata di Pulau Jawa seharusnya berimplikasi positif pada pelayanan kebutuhan dasar masyarakat yang semakin membaik. Ternyata fakta di lapangan berbicara lain, tingkat pen didikan perempuan yang rendah, dan ketidakjelasan akses perempuan terhadap informasi tentang pelayanan kesehatan dasar, menjadikan pengetahuan perempuan akan berbagai haknya terhadap kebutuhan kesehatan kurang. Sebagai ilustrasi dalam hal pendidikan, tak lebih dari 64,5 persen penduduk berusia 10 tahun hanya tamat SD, tidak tamat SD, dan tidak bersekolah sama sekali, 43,9 persen di antaranya buta huruf dan 79,6 persen-nya adalah perempuan. Rendahnya tingkat pendidikan perempuan berpengaruh kepada pemahaman mereka mengenai kesehatan sehingga memper lemah posisi mereka dalam hubungan antar individu maupun sosial, seperti dengan pasangan dan orang lain (Kompas, 14/07/2003).
Masuknya sektor kapital atau modal dalam ruang pelayanan kesehatan perem puan tersebut semakin diperkuat dengan adanya kebijakan desentralisasi yang sesuai dengan semangat otonomi daerah saat itu. Dengan dalih mengembangkan potensi dan peningkatan pendapatan daerah puskesmas dipaksa mempunyai fungsi sebagai pe ngumpul dana fund raising. Ini yang kemudian memunculkan isu privatisasi Puskesmas yang oleh beberapa daerah sudah dibuatkan Peraturan Daerahnya. Pada kenyataannya, dengan memberikan peluang kapital masuk ke dalam ruang publik justru semakin mengukuhkan juga eksistensi pengambilalihan atau take over yang dilakukan pemodal untuk menguasai pelayanan kesehatan. Jika hal tersebut terjadi, maka bisa dipastikan berbagai kemahalan pelayanan kesehatan akan mengikuti seiring dengan argumentasi demand dan supply. Secara makro urai an di atas merepresentasikan urgensi dan kompleksitas persoalan kesehatan perempuan. Berangkat dari asumsi itu tidaklah berlebihan jika persoalan kese hatan, khususnya yang terkait dengan kesehatan perempuan perlu mendapat perhatian secara lebih konkret.
Kondisi ini, tentu saja berpengaruh pada persepsi masyarakat terhadap pe layanan kesehatan perempuan. Sebagai hasilnya, tingkat kematian ibu dan bayi masih membayangi kehidupan masyarakat Kota Madiun. Angka kematian Ibu dan bayi telah memberikan gambaran konkret tentang persoalan kesehatan perempuan di Kota Madiun. Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2003, jumlah penduduk Kota Madiun sebanyak 192.807 terdiri dari 92.724 lakilaki dan 100.083 perempuan. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang mencapai sekitar 5.802 jiwa/Km2. Rasio jenis kelamin 92,65 persen yang berarti setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 93 laki-laki, sehingga jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Se
Tidak jauh berbeda dengan konteks nasional, dalam konteks lokal, Kota Madiun juga mempunyai cerita tersendiri yang terkait dengan persoalan pelayanan kesehatan perempuan. Diawali dengan asumsi bahwa pembangunan yang di 48
Derajad S. Widhyharto, DEMOKRASI DAN KOMODIFIKASI PERLINDUNGAN KESEHATAN PEREMPUAN
lanjutnya, hal lain yang menarik adalah stagnasi angka kematian bayi dan ibu yang masih cukup besar, yaitu angka kematian bayi tahun 2003; 18 bayi per 1000 kelahiran sedangkan angka kematian ibu tahun 2003; 3 ibu per 1000 persalinan4. Angka tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya 2002 dan 2001. Selain itu, perkembangan kesehatan di Kota Madiun menunjukkan terjadi peningkatan angka kasus balita buruk dari 1,33% menjadi 3,3%, rendahnya gizi ibu dan bayi, serta rentannya keselamatan ibu hamil dan ibu pascamelahirkan. Keselamatan ibu dan bayi yang baru lahir tidak semata-mata karena persoalan medis saja, tetapi juga sangat bergantung pada pengetahuan masyarakat dan keluarga tentang pentingnya kesehatan lingkungan, makanan bersih dan bergizi, serta penanganan dan perlakuan terhadap masa kehamilan dan pasca melahirkan (PROPEDA Tahun 2001-2005).
nesia. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Demo krasi (liberal) menurut Georg Soren sen adalah liberal dahulu (bertujuan untuk membatasi kekuasaan negara atas masyarakat sipil dan demokrasi kemu dian (bertujuan untuk meciptakan struk tur yang akan mengamankan mandat rakyat untuk para pemegang kekuasaan negara)5. Banyak definisi-definisi lain tentang demokrasi, termasuk berbagai jenis demokrasi yang berkembang sejak kelahirannya di Yunani. Maksud tulisan ini tidak untuk memperdebatkan definisi dan perkembangan demokrasi yang kemu dian menjadi kredo suci hampir semua Negara di dunia dalam rangka perubahan tata pemerintahan suatu negara ke arah yang lebih ‘baik’. Namun kita akan melihat bagaimana proses demokrasi dan demokratisasi membawa dampak besar pada perempuan terkait dengan pelayanan kesehatan di Indonesia umumnya dan lebih khusus lagi Kota Madiun.
Kondisi tersebut semakin mengukuhkan absurditas konsep perlindungan dan pelayanan kesehatan perempuan di Kota Madiun. Hal inilah yang menjadikan Kota Madiun dianggap cukup relevan menjadi lokasi penelitian saat itu. Selanjutnya, hal tersebut juga digunakan untuk melihat tingkat keseriusan pemerintah setempat dalam melakukan perubahan kebijakan. Dan sekaligus mendorong pembuatan kebijakan lokal yang sesuai konteks pelayanan kesehatan yang sensitif gender. B.
Proses pembangunan di Indonesia sebagaimana juga terjadi dengan pem bangunan di negara-negara dunia ketiga lainnya, dalam wacana pembangunan dapat dipahami dari beberapa perspektif6. Lihat Sorensen, Georg, Demokrasi dan demo kratiasi, Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. 6 Terjadi pergeseran paradigma pembangun an yang memicu peranan perempuan dalam pembangunan dan sekaligus menjadi acuan pembangunan di berbagai negara, yaitu, dari production-centered development menuju people-centered development. Kalau pem bangunan yang berorientasi produksi meletak kan nilai produksi dan produktivitas pada tempat yang utama, meskipun dengan konse kuensi mendegradasikan manusia sebagai utility-maximizer atau profit-maximixer, dan menempatkan manusia sebagai pelengkap faktor 5
Demokrasi dan Pembangunan Tercerabut
Kesehatan sebagai komoditas meru pakan bagian tidak terpisahkan dari per kembangan sistem demokrasi di Indo 4 Diolah dari Data Dinas Kesehatan Kota Madiun
49
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
Pada dasarnya pembangunan yang saat ini berlangsung dipandang sebagai suatu proses perkembangan kapitalisme dalam bentuk dan mekanisme yang beragam. Pertanyaan krusial yang masih relevan dipertanyakan, apakah integrasi dunia ketiga dalam suatu dunia kapitalis global akan memberikan kesempatan pada negara-negara dunia ketiga untuk berkembang ataukah justru akan melembagakan keterbelakangannya.
masuk semakin jauh, maka peran negera yang direpresentasikan oleh pemerintah harus dipersempit. Pemerintah harus memberi kesempatan masyarakat untuk berpastisipasi dalam pembangunan. Mono poli secara tegas ditolak dalam demo krasi karena menutup ruang kompetisi yang akan menutup kemungkinan masya rakat menjadi bagian dalam proses pem bangunan. Artinya, demokrasi mem bolehkan masyarakat (kapital) mengelola sektor-sektor yang terkait ‘hajat hidup orang banyak’ yang selama ini dipegang oleh Negara, termasuk dalam hal pelayanan publik. Dalam perspektif yang lebih liberal, kehadiran negara (yang direpresentasikan oleh pemerintah) hanya diperlukan untuk menjaga keamanan8. Fungsi utama pemerintah hanyalah fungsi untuk men jaga keamanan dan ketertiban serta melakukan kontrol dalam masyarakat. Sementara fungsi lain sepenuhnya menjadi wewenang masyarakat. Dengan kalimat yang lebih terbuka, biarlah mekanisme pasar yang menentukan. Argumentasinya, dengan tingkat kompetisi yang tinggi pasti pelayanan akan semakin baik.
Pertanyaan berikutnya yang perlu diajukan adalah: apa hubungan kapitalisme dan demokrasi? Demokrasi mensyaratkan kompetisi, pastisipasi dan kebebasan politik7. Setelah tumbangnya rezim otoritarian pada tahun 1998, Indonesia memasuki babak baru demokrasi. Parti sipasi dan kebebasan politik meningkat tajam, Hal ini bisa dilihat dari pemilu multi partai yang berlangsung tahun 1999 yang diikuti hampir 50 partai politik. Partaipartai itu berkompetisi memperebutkan kursi anggota dewan. Sejalan dengan itu, babak baru demokrasi itu juga membuka pintu bagi perusahaan multi-nasional masuk, termasuk dalam bidang kesehatan. Untuk memuluskan kapitalisme global
7
Privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang terkait dengan hajat hidup orang banyak yang menguasai sumberdaya alam, air, dan kemungkinan ke depan udara merupakan bagian dari upaya penyem pitan peran Negara. Sementara sektor pelayanan publik yang semula dikelola sepenuhnya, kemudian diserahkan ke pihak swasta. Yang terjadi kemudian sektor-sektor penting yang terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya kapi talisme, termasuk pelayanan kesehatan
produksi semata-mata, maka pembangunan yang berorientasi kemanusiaan bertujuan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kema nusiaan, seperti respect, identitas, authencity, kemandirian, kebebasan, harga diri, dan sebagai nya. Penerapan people-centered development paradigm tidak saja tidak mungkin mengabaikan lebih dari separuh umat manusia, akan tetapi juga mengungkap adanya kecenderungan masyarakat di semua negara menempatkan perempuan pada posisi sekunder atau sub-ordinasi (Preston, 1996:h.83) Lihat Hans-Jorgen Nielsen grouped these eihgt in a similar way in Den Chilenske Transitionproces (Chilean process of transition)(Aarhus: Univer sity Aarhus, institute of political science, 1991), hal 5 dalam Sorensen, Georg, Demokrasi dan demokratiasi, Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
8 Lihat Pratikno, Fungsi-Fungsi Pemerintahan, Makalah “Pendalaman Materi Bidang Tugas DPRD”, 1997/1998
50
Derajad S. Widhyharto, DEMOKRASI DAN KOMODIFIKASI PERLINDUNGAN KESEHATAN PEREMPUAN
bagi perempuan. Dengan menggunakan cara pandang kompetisi, partisipasi dan kebebasan kita akan melihat lebih jauh bagaimana demokratisasi pelayanan kesehatan memberikan efek buruk pada perempuan, khususnya perempuan miskin.
Jika berpegang pada pandangan Soren sen, terkait dengan konteks pelayanan kesehatan di Indonesia umumnya dan Kota Madiun khususnya, yang dimaksud struktur yang mengamankan mandat rakyat adalah pasar (kapital). Kompetisi yang diharapkan menumbuhkan persaingan yang sehat adalah kompetisi yang terjadi di wilayah kapital. Perusahaan multi-nasional saling berlomba memperebutkan lahan subur pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan. Hal ini terjadi karena peran pemerintah telah diperkecil hanya sebatas fungsi kepolisian yang menjaga ketertiban dan keamanan. Negara telah berhasil dijinakkan oleh kapital. Dalam arti yang lebih luas, fungsi kepolisian untuk mengamankan kapital-perusahaan multinational yang bergerak di bidang kesehatanmelakukan penetrasi pasar ke tingkat yang paling bawah sekali pun. Perusahaan multi-nasional tidak berjalan sendiri dalam upaya mencapai itu, mereka menggandeng pemerintah untuk mempermudah penetrasi pasar.
C.
Relasi Demokrasi, Perlindungan dan Komodifikasi
Mengacu pada pandangan Sorensen bahwa demokrasi bertujuan untuk men ciptakan struktur yang akan mengamankan mandat rakyat untuk para pemegang kekuasaan Negara. Kita harus melihat lebih jauh kondisi yang berkembang-meminjam istilah Sorensen-sesungguhnya demokrasi yang berkembang di Indonesia adalah demokrasi yang lemah dan tidak solid. Hal ini ditandai dengan kepemimpinan politik yang tidak mempunyai landasan moral dan legimitasi ideologi yang dibutuhkan agar mereka dipatuhi oleh masyarakat dan birokrat9. Pemerintahan yang kuat bukan berarti pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan yang kuat memiliki biro krasi yang efisien dan tidak korup, memiliki elit politik yang berkemauan dan mampu memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi dan kebijakan yang dirancang dengan baik untuk mencapai tujuan pembangunan10. Salah satu tujuan dari pembangunan di Indonesia adalah mensejahterakan rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi.
Dalam konteks pelayanan kesehatan di Kota Madiun, kita bisa melihat dua elemen besar ini bersinergi dalam menghapuskan peran dukun bayi yang dianggap sebagai rival atau saingan bidan maupun dokter. Modernisasi bidang pelayanan kesehatan memang memberi dampak yang luas diantaranya: semakin canggihnya teknologi kedokteran, berkembangnya infrastruktur pelayanan kesehatan, dan semakin banyak nya ahli medis dan kedokteran. Hal ter sebut juga di dukung oleh pesatnya industri kesehatan dapat dilihat dalam perkembangan industri farmasi di Indo nesia, setidaknya ada 205 produsen obat yang terdaftar oleh pemerintah. Obat yang diproduksi tersebut didistribusikan 2.463
9 Lihat Sorensen, Georg, Demokrasi dan demo kratisasi, Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003 10 Lihat Sorensen, Georg, Demokrasi dan
demokratisasi, Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003
51
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
perusahaan dan 5.250 unit apotek, 5.625 unit toko obat. Adapun nilai ekspor obatobatan tersebut mencapai 120 juta dollar AS per tahun, sedangkan nilai impor bahan baku, obat dan teknologi tinggi sebesar 300-500 juta dollar AS per tahun (Kompas, 6/08/05). Sedangkan implikasi negatif yang dirasakan oleh masyarakat saat ini adalah semakin besarnya biaya pelayanan kesehatan karena tuntutan kecanggihan teknologi dan segmentasi pelayanan kese hatan sebagai akibat dari tidak adanya standar pelayanan yang sama. Bagi perempuan hamil dan melahirkan kondisi tersebut semakin memperberat beban yang harus dipikul perempuan, setelah proses persalinan yang menyakitkan, perempuan juga harus menanggung besarnya biaya persalinan itu sendiri. Apabila perempuan tersebut memilih pelayanan yang murah tentu saja, pelayanannya pun akan berbeda pula. Padahal jika mau jujur dukun sebenarnya bisa dilatih untuk membantu persalinan masyarakat yang tidak bisa menjangkau fasilitas kesehatan.
fisik kesehatan perempuan semata yakni, ketersediaan bidan, fasilitas persalinan, dan berbagai obat-obatan. Padahal esensi perlindungan sebenarnya adalah bagaimana menjaga perempuan hamil dan melahirkan bebas dari berbagai penyakit maupun persoalan kandungan sampai dengan perempuan tersebut melahirkan dengan selamat. Persoalan kemudian banyak muncul manakala perlindungan diartikan sebuah larangan dalam kesehatan perempuan. Hasil wawancara triangulasi mengemuka banyak ditemui upaya perlindungan identik dengan larangan yang diberlakukan dokter maupun paramedis serta bidan terhadap perempuan hamil dan melahirkan. Larangan tersebut meliputi penggunaan obat-obatan tradisional, termasuk berobat ke dukun bayi. Dukun bayi tidak lagi punya tempat dalam kehidupan masyarakat miskin, lebihlebih dalam industri kesehatan yang cepat, efisien, dan higienis untuk melakukan perlindungan dan pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan. Higienis merupakan kampanye besar negara dan perusahaan obat multi-nasional untuk menyingkirkan dukun bayi.
Namun, ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pemahaman perlindungan yang me mang masih simpang siur diintepretasikan dalam kesehatan perempuan. Masya rakat awam menganggap perlindungan sama dengan “asuransi” pada umum nya. Tentu saja pemaknaannya sangat berbeda, jika asuransi lebih merujuk pada perlindungan terhadap pelayanan kese hatan dan sifatnya yang berorientasi bisnis. Maka, perlindungan kesehatan perem puan hamil dan melahirkan merujuk pada upaya pelayanan, perawatan kesehatan perempuan hamil sampai dengan melahir kan. Di Kota Madiun, pemahaman perlin dungan perempuan hamil dan melahirkan juga masih dipahami seputar pelayanan
Asumsi bahwa pelayanan kesehatan adalah isu public commodity, program sosial, Verliest Post (pembiayaan yang tidak memberi dampak balik dari segi ekonomi) ternyata tidak benar. Pelayanan kesehatan -khususnya pelayanan kesehat an perempuan hamil melahirkan- ternya ta merupakan tambang emas bagi penye lenggara pelayanan kesehatan saat ini, bahkan sekarang sudah masuk ke isu private commodity. Ini terlihat dari ber bagai ketergantungan perempuan hamil dan melahirkan terhadap susu, obat-obatan, teknologi kedokteran dan tenaga kesehatan. 52
Derajad S. Widhyharto, DEMOKRASI DAN KOMODIFIKASI PERLINDUNGAN KESEHATAN PEREMPUAN
Maka bisa dipastikan yang diperoleh pe rempuan bukanlah sebuah standar pe layanan maupun perlindungan kesehatan yang optimal. Ironisnya, bagaimana sebuah perlindungan akan dilakukan jika perem puan masih menghadapi banyak ”larangan”, bahkan sifat eksternalitas perempuan hamil dan melahirkan telah menjadikan perempuan tidak mempunyai pilihan akan kesehatannya sendiri. Misalnya; keharusan operasi cesar dengan alasan yang tidak jelas, resep dokter yang menggunakan obatobat tertentu yang mahal dan sebagainya.
Kesenjangan diawali dari berbagai variasi persoalan yang muncul diseputar kebijakan kesehatan itu sendiri. Sebagai contohnya, sebut saja status gizi anak balita. Jumlah anak balita di Kota Madiun tahun 2003 sebanyak 10.132 anak dan seluruhnya telah memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS). Jumlah anak balita terbanyak di wilayah Puskesmas Oro-oro Ombo 2.878 anak, puskesmas Banjarejo 2.351 anak, Puskesmas Manguharjo 2.039 anak, Puskesmas Demangan 1.822 dan Puskes mas Patihan sebanyak 1.042 anak. Adapun analisis status gizi anak balita menunjukkan bahwa; 1) balita dengan status gizi lebih sebanyak 512 anak (6,10%), 2) balita dengan status gizi baik sebanyak 5.411 anak (64,46%), balita dengan status gizi kurang 1.768 anak (21,06%) dan status gizi buruk sebanyak 280 anak (3,34%). Kesenjangan terjadi manakala standar nasional untuk kelompok balita dengan status gizi buruk dalam suatu wilayah tidak boleh lebih atau sama dengan 1% sedangkan balita gizi kurang tidak boleh lebih atau sama dengan 20%. Apabila didapatkan keadaan melebihi standar yang ditentukan maka analisisnya termasuk masalah berat. Berdasarkan kondisi tersebut jelas bahwa status gizi balita di Kota Madiun termasuk yang mempunyai masalah berat. Tentu saja hal tersebut bertolak belakang dengan kebijakan pembangunan kesehatan yang telah di buat.
Absurditas pelayanan kesehatan un tuk perempuan hamil dan melahirkan semakin menjauhkan bara dari kayu saat pemerintah mengenakan biaya retribusi pada Puskesmas, Dokter dan Paramedias sebagai peningkatan pendapatan daerah (PAD). Berdasarkan Perda Nomor 14/2003 Kota Madiun yang mewajibkan kalang an profesi kesehatan membayar retribusi kepada Pemerintah Kota Madiun sebagai konsekuensi kegiatan profesi yang mereka lakukan. Meski sudah setahun disosialisasi kan gagasan itu dilontarkan, tak urung penerapan Perda tersebut mengagetkan pekerja medis dan paramedis (Jawa Pos, 21/08/03). Di satu sisi, kebijakan tersebut lebih mewakili kepentingan Pemerintah Kota Madiun untuk meningkatkan pendapatan daerah, sementara tuntutan pembangunan infrastruktur kesehatan yang memerlukan banyak dana dan tidak bisa ditawar lagi. Ironisnya, dalam pelaksanaannya orientasi pelayanan kesehatan justru berujung pada prioritas pembangunan fisik. Alhasil, kesen jangan antara substansi kesehatan dengan pembangunan fisik kesehatan menjadi timpang.
Absurditas pelayanan kesehatan yang seperti itu telah ikut mendorong lahirnya wacana dikotomi dan komodifikasi per lindungan kesehatan perempuan. Komo difikasi dimaksudkan pada upaya melihat segala sesuatu yang bisa mendatangkan profit atau bisa dijual. Komodifikasi me lahirkan dua efek, yaitu : Pertama, usaha
53
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
diganti dengan kapital (uang), segala macam usaha dapat diganti dengan kapital termasuk usaha negatif maupun positif untuk mendapatkan sesuatu. Efek kedua, timbul anggapan bahwa semua dari yang terburuk sampai yang terbaik harus bisa menghasilkan kapital (harus bisa meng hasilkan uang). Artinya, komodifikasi merupakan proses menjadikan sesuatu apapun untuk dapat “dijual”. Alhasil, terjadi pemilahan gender yang ketat telah membawa eksklusifitas perempuan sebagai sosok lain (asing). “Kelainan” tersebut telah mendorong budaya kesehatan komersil dalam pelayanan kesehatan perempuan, layaknya sebuah slogan yang secara spontan diungkapkan salah satu petugas Puskesmas di Kota Madiun kepada seorang pasien perempuan yang kemudian ditirukan kembali olehnya “jika ingin sehat, ya, berani bayar”. Hal tersebut memperlihatkan semakin kentalnya dialektika materialisme, tak pelak berbagai obat-obatan, produk susu kaleng dengan formulasi susu perempuan hamil berbagai macam jenis lainnya sengaja diciptakan. Dengan mengatasnamakan kesehatan perempuan mengkonsumsinya merupakan sebuah keharusan.
akan muncul adalah partisipasi pasif. Partisipasi dimana modernisasi di bidang pelayanan kesehatan, obat-obatan, dan susu formula sebagai produk perusahaan farmasi sebagai sebuah keharusan yang tidak bisa ditolak. Kemudian hal itu menjadi life style, membentuk pola hidup di kalangan perempuan hamil dan me lahirkan, misalnya, bahwa susu formula lebih baik dari ASI. Susu formula memiliki kandungan-kandungan gizi yang sesuai dengan perkembangan bayi. Fakta di lapangan menunjukan hal itu seperti yang diakui Ibu Hanum (bukan nama sebenarnya), pengurus Ikatan Bidan Indonesia Cabang Kota Madiun bahwa telah terjadi perubahan pola pengasuhan dan menyusui oleh perempuan hamil mau pun pasca melahirkan. Fenomena susu kaleng dan dot buatan telah memaksa perempuan hamil dan melahirkan di Kota Madiun untuk menggunakannya, meskipun informasi ASI eksklusif lebih baik untuk meningkatkan kesehatan si anak, seringkali perempuan hamil dan melahirkan di Kota Madiun lebih tertarik menggunakan kecanggihan teknologi menyusui tersebut. Bahkan sangat yakin dengan menyerahkan sepenuhnya pertumbuhan si anak dengan mengkonsumsi formula susu instan buatan pabrik.
Melihat fakta yang terjadi di lapangan, proses demokratisasi pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan yang diserahkan sepenuhnya pada pasar justru melahirkan ketimpangan sosial dengan semakin tidak optimalnya pelayanan kesehatan bagi perempuan hamil dan melahirkan karena kondisi ekonomi perempuan. Kondisi tersebut memunculkan asumsi demokrasi telah termodifikasi yang menempatkan pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan hanya sebagai obyek pasar. Dengan situasi seperti itu, maka bisa dipastikan partisipasi yang
Uraian tersebut diperkuat dengan data pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-4 tahun di Kota Madiun saat itu yang menyatakan bahwa dari jumlah 2.697 bayi, setengahnya saja yakni 1.801 bayi atau 66.78% bayi di Kota Madiun yang diberi ASI eksklusif. Kondisi tersebut mengindikasikan masih cukup banyak bayi yang belum diberi ASI eksklusif. Ini semakin membuktikan telah terjadi perubahan pola asuh dan status gizi bayi, tentu saja perubahan ter 54
Derajad S. Widhyharto, DEMOKRASI DAN KOMODIFIKASI PERLINDUNGAN KESEHATAN PEREMPUAN
sebut berpengaruh pada penurunan gizi bayi dan anak. Bagaimana bisa menolak jika konsultasi Dokter kandungan atau Bidan mensyaratkan konsumsi susu buatan pabrik. Sebagai ilustrasi; Harian Jawa Pos (16/07/04) menginformasikan pendapat seorang Dokter lokal, bahwa susu yang harus dikonsumsi ibu hamil berbeda dengan susu yang diminum ibu biasa (tidak hamil). Ada tiga nutrisi yang menjadi persyaratan mutlak susu diminum oleh ibu hamil. Nutrisi tersebut meliputi kalori, mineral, AA (asam linoleat) plus DHA (docosahexaenoic acid). “Untuk mineral dibutuhkan kalsium, natrium, zat besi serta asam folat,” kata nya. Sebab, ketiga nutrisi tersebut sangat berperan pada kesehatan ibu hamil. Sekali gus membantu perkembangan organ janin saat organogenesis (pembentukan organ). “Sehingga, sangat disarankan minum susu saat hamil muda.”
itu. Sebagimana sudah disampaikan di atas, maka tidak bisa disangkal jika pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya di Kota Madiun jauh dari optimal. Pelayanan kesehatan tidak berpihak pada perempuan terutama perempuan miskin. Asumsi bahwa modernisasi dan pembangunan akan mensejahterakan rakyat, jauh dari harapan. Kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi adalah wacana kosong seperti menabur garam di laut. Negara yang seharusnya mensejahterakan dan melindungi rakyat adalah utopia ketika peran negara hanya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban. Dalam konteks pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan, demokrasi Indonesia berjalan ke arah yang sebaliknya. Liberalisme dalam bidang kesehatan merupakan kutup berbeda dari demokrasi sosial dan pem bangunan inklusif yang memberi ruang bagi obyektifitas kualitas perlindungan dan pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan. Peran dan fasilitasi negara merupakan bentuk reformasi ter hadap kapitalisme untuk menghilangkan ketidakadilan yang ditimbulkannya dan mewujukan sosialisme melalui cara-cara demokratis dan evolutif11. Demokrasi mengakui dan menerapkan pasar bebas, tapi di pihak lain, terdapat kepercayaan bahwa demokrasi mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dari kapitalisme yang tidak terkendali12. Dengan kata lain, Negara masih memegang peran melindungi dalam pelayanan publik (public services). Di Indonesia, demokrasi yang termodifikasi tidak memungkinkan terjadinya kondisi pelayanan ideal yang
Partisipasi pasif merupakan partisipasi ketidakberdayaan perempuan hamil dan melahirkan di tengah serbuan perusahaan farmasi yang “memaksa” mereka untuk menggunakan produk perusahaan kese hatan tersebut. Sekali lagi, demokrasi dalam konteks ini telah termodifikasi dalam pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan yang tidak memberikan pilihan lain selain “kebebasan” memilih produkproduk yang dikeluarkan perusahaan far masi. Dalam wacana demokrasi dan demo kratisasi, Indonesia merupakan salah satu negara yang tunduk pada mekanisme pasar. Dengan kata lain, Indonesia meng anut liberalisme dimana kapitalisme pasar bebas dan hak-hak individu menjadi acuan dalam setiap geraknya. Studi kasus pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan di Kota Madiun membuktikan
11 Lihat Ibrahim, Rustam, Hubungan Demokrasi dan Bisnis Menurut Paham Neoliberal dan Demokrasi Sosial 2007: h:6. 12 Ibid, h:7.
55
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
difasilitasi Negara. Dalam konteks walfare state proses mutualisasi Fraser diartikan sebagai berkembangnya peran konsumen perempuan menuju transformasi menjadi klien negara yang pasif13. Lalu secara bersamaan kapitalisme memperkecil kese taraan peran perempuan terhadap laki-laki sebagai warga negara. Kondisi tersebut bisa dipastikan akan memperbesar ”lingkaran setan” kapitalisasi Negara.
pelayanan kesehatan perempuan hamil dan melahirkan di Kota Madiun, telah meminggirkan dan menjadikan perempuan sebagai obyek dari pelayanan kesehatan itu sendiri. Kompetisi, pastisipasi dan kebebasan hanya terjadi di wilayah kapital yang dipegang oleh perusahaanperusahaan farmasi yang keterlibatannya diperkuat oleh Negara dengan dalih peningkatan pendapatan daerah (PAD). Karena perempuan adalah obyek, maka mereka berdiri diluar lingkaran kapital itu. Perempuan merupakan sub ordinat dan penerima dampak dari kapitalisme di bidang pelayanan kesehatan tanpa bisa melakukan apa-apa. Mereka tidak berdaya atas kesehatan diri mereka sendiri. Kesehatan mereka sudah ditentukan dalam kaidah-kaidah yang telah diterbitkan oleh perusahaan farmasi dalam propaganda mereka yang sistematis.
Sebagaimana yang terjadi di negara ber kembang seperti Indonesia, jika Negara yang memberi kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya melalui berbagai tunjangan saja masih juga bisa mengelabui perempuan seperti dalam proses mutualisasi di atas. Maka dengan mengatasnamakan krisis dan status negara berkembang, Pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk mem perjuangkan hak kesehatan perempuan. Jangankan proses mutualisasi, tunjangan kesehatan maupun prioritas pelayanan dan perlindungan kesehatan perempuan saja masih sulit direalisasikan. Wacana gender mainstreaming ternyata tidak cukup me ndorong dan memberi tekanan dalam berbagai pembuatan kebijakan. Alhasil adalah berbagai siasat kebijakan sengaja dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dan formalitas program pembangunan kesehatan perempuan. D.
Demokratisasi perlindungan kesehatan merupakan jalan terjal bagi Perempuan, pernyataan tersebut seolah mengungkapkan proses demokrasi yang diagungkan di Indonesia khususnya di Kota Madiun belum berpihak secara substantif terhadap perlindungan dan pelayanan kesehatan perempuan. Merespon hal tersebut diper lukan upaya konkret untuk menggeser posisi perempuan dari obyek menjadi subyek (pelaku) dalam kesehatan perempuan hamil dan melahirkan. Ketika posisi subyek perempuan muncul, diharapkan akan terjadi penguatan demokrasi, sehingga demokrasi tidak termodifikasi oleh ekses kompetisi, partisipasi dan kebabasan politik. Sebaliknya, perempuan akan terasah dan menjadi berpengalaman dalam kompetisi, partisipasi dan bisa menikmati kebebasan yang diamanatkan demokrasi itu sendiri.
Penutup
Demokrasi dengan berbagai eksesnya, di satu sisi membawa dampak yang baik. Kesempatan untuk masyarakat agar lebih berkembang dalam bidang sosial, ekonomi dan politik terbentang lebih luas. Namun di sisi lain, dalam studi kasus 13 Lihat Bohman, James, Beyond Distributive Justice and Struggles for Recognition Freedom, 2002: h.267–276.
56
Derajad S. Widhyharto, DEMOKRASI DAN KOMODIFIKASI PERLINDUNGAN KESEHATAN PEREMPUAN
Pratikno, 1998, Fungsi-Fungsi Peme rintahan, Makalah “Pendalaman Materi Bidang Tugas DPRD” (tidak dipublikasikan), Yogyakarta. Sorensen, Georg, 2003, Demokrasi dan Demokratiasi, Proses dan Pros pek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sukmaningsih, Indah dkk, 2003, Meng organisir Konsumen Kesehatan Reproduksi, YLKI, Jakarta.
Jadi jika kita melihat kasus Bunga dalam gambaran yang sesungguhnya terjadi di Kota Madiun yang diuraikan di atas, sesungguhnya kita melihat ketidakmampuan Negara dalam melindungi dan memberikan pelayanan kesehatan bagi perempuan hamil dan melahirkan. Sebab Negara telah invalid dan tidak punya kekuatan untuk melindungi dan memberikan pelayanan kesehatan dalam sistem pasar yang digemakan akan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Setelah memahami kasus Bunga, lalu pelajaran apa yang diperoleh, apakah setelah bertahun-tahun berlalu sudah ada perbaikan dan berubah menuju perlindungan kesehatan yang lebih baik atau sebaliknya, belum ada perubahan?
Publikasi Khusus: Perda No.14. Tahun 2003 Tentang Retribusi Profesi Kesehatan Profil Dinas Kesehatan Kota Madiun Tahun 2000-2001 Profil Dinas Kesehatan Kota Madiun Tahun 2001-2002 Profil Dinas Kesehatan Kota Madiun Tahun 2002-2003 Profil Data SUSENAS 2001 Propeda Kota Madiun Tahun 2001-2005 UU No.10. Tahun 1992 Tentang Perkem bangan Kependudukan dan Pem bangunan Keluarga Berencana UU No.23. Tahun 1992 Tentang Kesehatan
E. Daftar Pustaka. Bohman, James, 2002, Beyond Distributive Justice and Struggles for Recog nition Freedom, Democracy, Saint Louis University, European Journal of Political Theory, SAGE Publications Ltd, Los Angeles, London, New Delhi and Singapore, ISSN: 1474-8851, 6(3) 267–276. Ibrahim, Rustam, 2007, Hubungan Demo krasi dan Bisnis Menurut Paham Neoliberal dan Demokrasi Sosial, Makalah “Bisnis dan Demokrasi” diselenggarakan Yayasan Melania, Jeneponto. Mansour Fakih, 2001, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Nugroho, Riant, D, 2003, Kebijakan Publik, formulasi, implementasi dan eva luasi, Elex Media Komputindo. Jakarta. Preston P.W., 1996, Development Theory An Introduction, Blackwell Publisher.
Surat Kabar: Kompas, 13/05/05. Kompas, 15/12/2003 Kompas, 14/07/2003 Kompas, 6/08/05 Jawa Pos, 16/07/04 Wawancara: Dinas Kesehatan Kota Madiun, tanggal 23 Februari 2004. Ikatan Bidan Indonesia, Cab. Kota Madiun, tanggal 7 Februari 2004
57
DEMOKRASI EKONOMI LOKAL Mahendra Wijaya
ABSTRAK ” Artikel ini ingin menunjukkan mengenai sisi demokratis dari usaha bisnis kecil terutama batik di Solo. Dengan menggunakan jaringan sosial berbasiskan kepercayaan dan juga nilai-nilai lokal yang berbasiskan agama dan budaya, usaha bisnis kecil ini dapat bertahan dalam era neoliberal. Semua faktor-faktor ini berhubungan satu sama lain dan menjadi alat utama untuk menciptakan jaminan sosial. Hal ini menunjukkan keterlekatan aktivitas ekonomi dengan konteks sosial budayanya. Berangkat dari realitas tersebut, artikel ini mengusulkan bahwa pemerintah seharusnya memberikan prioritas yang lebih kepada usaha bisnis kecil sebagaimana telah tertulis dalam undang-undang dasar terkait dengan demokrasi ekonomi.”
Kata kunci: demokrasi ekonomi, usaha kecil lokal, jaringan sosial, keterlekatan
ABSTRACT ” This article wants to show the democratic side of small scale business especially batik in Solo. Using social network based on trust and also local values based on religion and culture, this small scale business can survive in neoliberal era. All of these factors linked each other and become the main tools to create social security. It shows the embededness of economic activity in its social cultural context. From this reality, this article suggest that the state should give more priority to local small scale business, as written in Indonesia’s constitution related with economic democracy.” Keywords: economic democracy, local small business, social network, embededness A. Pendahuluan
D
mian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas-asas kekeluargaan. Ciri-ciri perekonomian tersebut teru mus pada GBHN 1978 yang berisi 8 ciri-
emokrasi ekonomi nasional ber dasarkan pada Undang–Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan perekono 58
Mahendra Wijaya, DEMOKRASI EKONOMI LOKAL
ciri positif demokrasi ekonomi. Ciri-ciri positif demokrasi ekonomi antara lain 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas-azas keke luargaan, 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, 3) Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, 4) Sumbersumber kekayaan dan keuangan Negara digunakan dengan permufakatan Lembagalembaga Perwakilan Rakyat, serta peng awasan terhadap kebijaksanaannya ada pada Lembaga Perwakilan Rakyat pula, 5) Warga Negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak, 6) Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat, 7) Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga Negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batasbatas yang tidak merugikan kepentingan umum, 8) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara1.
ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. Secara normatif, demokrasi ekonomi menunjuk pada cara produksi dan cara mengelola usaha. Cara produksi disusun berdasarkan usaha bersama, partisipasi, saling menghormati, toleransi terhadap perbedaan dan mengutamakan tujuan bersama. Cara mengelola usaha berdasar kan azas-azas kekeluargaan seperti azas kepercayaan, tolong-menolong dan kerja sama. Pembahasan sistem demokrasi ekonomi di negara-negara sedang berkembang yang amat penting dibahas adalah sebagai berikut: Pertama, pengertian, sifat-sifat dan pelaksanaan dari demokrasi ekonomi dibentuk, ditentukan dan dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri bukan dari masyarakat lain. Bukan import pengertian kata demokrasi sosialis pada blok timur, kata demokrasi liberal pada blok barat ataupun demokrasi neo liberal dari glo balisasi ekonomi. Pengertian, sifat-sifat dan pelaksanaan dari demokrasi ekonomi harus bertumpu pada kearifan lokal (local wisdom). Kedua, kesejahteraan bersama (collective gains) menuntut keterlibatan segenap anggota masyarakat untuk memi liki akses terhadap sumber daya produktif guna menghasilkan kebutuhan dasar yang memadai bagi diri-sendiri, keluarga, kelompok dan masyarakat. Ketiga, ke adilan distribusi (distributional equity) berlangsung melalui hubungan-hubungan produksi dan distribusi. Jaringan produksi dan distribusi bersifat terbuka yang men jamin setiap anggota masyarakat dapat mengambil bagian pekerjaan dan penda patan. Keempat, sistem perekonomian yang memprioritaskan kepentingan mayoritas anggota masyarakat.
Disamping ciri-ciri positif disebutkan pula ciri-ciri negatif yang harus dihindari antara lain: 1) Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menumbuhkan dan mem pertahankan kelemahan struktural posisi Indonesian dalam ekonomi dunia, 2) Sistem etatisme dalam mana Negara beserta aparatur ekonomi Negara bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor Negara, 3) Pemusatan kekuatan 1
Mubyarto. 1980. Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan. Yogyakarta: Yayasan Agro Ekonomika
59
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
Berdasarkan pokok bahasan di atas pantas dan penting dipertanyakan mengapa sistem perekonomian Indonesia cenderung semakin menjauh dari demokrasi ekonomi? Pada era orde baru mengembangkan politik ekonomi kapitalisme liberal suatu sistem perekonomian digerakkan oleh kekuatan pemilikan modal besar, dorongan untuk memperoleh keuntungan, persaingan bebas dan akumulasi kapital. Ekonomi kapital isme berbeda-beda di satu negara dengan di negara lain, perbedaan tersebut terkait dengan perbedaan sosial budaya politik di masing-masing negara.
nyimpang jauh dari ekonomi kapiatalisme yang demokratis. Ekonomi kapitalime liberal semakin liar bersamaan dengan globalisasi ekonomi. Lembaga ekonomi internasional seperti World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank mengembangkan sistem pasar bebas dengan cara menghapus sekat-sekat ekonomi negara-negara di dunia. Ekonomi kapitalisme menciptakan kebebasan baru (neoliberal) melalui lembaga ekonomi internasional. Transnational Corporation (TNC) membimbing, mengarahkan dan mengembangkan kapitalisme neo liberal sebagai kekuatan pasar yang tidak terkendali. Globalisasi pasar bergerak dengan modus privatisasi, ekspansionis dan predatory.
Di Indonesia, gaya pemerintahan pa trimonial mengkondisikan terciptanya ekonomi kapitalisme buruk, dipenuhi oleh praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Di bidang perbatikan, kebijak an ekonomi Orde Baru berorientasi pada teknologi tinggi dan padat modal untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Kebi jakan ekonomi tersebut mendorong pertumbuhan industri batik printing skala besar. Cara produksi manufaktur batik printing menghasilkan batik printing secara masal, produk halus dan harga murah dibandingkan dengan batik cap. Persaingan tinggi antara batik printing dengan batik cap tidak dapat dihindari, karena kedua jenis produk tersebut ditujukan pada segmen pasar yang sama. Dalam persaingan tersebut, batik printing mempunyai nilai kompetitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk batik cap. Akibatnya produk batik cap kalah bersaing baik dari segi kualitas maupun harga dan dampaknya tak pelak lagi, sebagian besar pabrikan batik cap di Surakarta terpaksa harus tutup di era tahun 1980-an.
Transnational Corporation (TNC) me miliki modal sangat besar, misalnya pada tahun 2002 Wal Mart memiliki asset ekonomi sebanyak 217,89 billion USD, sementara asset ekonomi Indonesia pada tahun 2002 hanya 145 billion USD. Dalam kaitannya dengan industri batik, TNC dengan mudah mendominasi industri dan perdagangan bahan baku seperti benang, kain dan zat kimia pewarna. Globalisasi pasar bermakna ganda di satu sisi sangat menguntungkan bagi TNC di negara –negara industrial dan di sisi lain mematikan (predatory)2 perusahaan-perusahaan domestik di negara berkembang. Pada awal abad ke 21, industri benang dan kain rayon lokal banyak yang gulung tikar akibat dipermainkan dan kalah bersaing dengan produk benang dan kain rayon dari TNC di bidang pertekstilan Cina. Sistem perekonomian kapitalisme neo liberal beroperasi seperti kuda liar yang tidak menentu sepak terjangnya. Gagal 2 lihat Gelinas, Jaques B. 2003. Juggernaut Politics. Understanding Predatory Globali zation. London & New York: Zed Books. Hal 5677
Pada akhir 1990-an ekonomi kapital isme liberal semakin tidak terkendali me 60
Mahendra Wijaya, DEMOKRASI EKONOMI LOKAL
B.
membangun ekonomi kapitalisme yang bersifat demokratis, seperti kuda pacu berlari kencang pada jalurnya. Ekonomi kapitalisme neo liberal mendesak ruang gerak ekonomi lokal dan menimbulkan masalah kemiskinan struktural yang ber kepanjangan. Pembangunan demokrasi ekonomi yang diorganisir oleh masyarakat pusat atau golongan elite menghasilkan jalan buntu bahkan menyimpang jauh dari cita-cita bangsa Indonesia.
Ekonomi Lokal Kampung Batik Laweyan 3
Asal usul batik tulis Jawa, baik dari segi corak maupun sisi komersialnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Mataraman. Desa Laweyan merupakan desa kuno yang sudah ada sebelum berdiri nya kerajaan Pajang. Penduduk desa Laweyan hanyalah masyarakat kecil atau biasa disebut wong lumrah, tidak banyak meninggalkan situs sejarah yang berarti. Desa Laweyan baru dianggap berarti setelah dikaitkan dengan keberadaan situs sejarah Ki Ageng Anis seorang pejabat negara kadipaten Pajang yang bertempat tinggal di Laweyan pada tahun 1546 Masehi. Disamping itu Ki Ageng Anis juga dikenal sebagai tokoh agama syiar Islam dan empu kerajinan batik. Islam dan kerajinan batik tidak dapat dipisahkan. Pada masa itu, kerajinan batik tulis merupakan hasil karya seni yang mulai ditekuni oleh masyarakat di sekitar sungai Kabanaran. Desa Laweyan menjadi bandar dari prau-prau yang hilir mudik memuat barang dagangan di sepanjang aliran sungai Kabanaran. Pada saat itu sungai Kabanaran menyediakan air berlimpah dan sangat memungkinkan daerah tersebut dijadikan sebagai tempat penjemuran, pencucian dan bandar batik yang ramai. Potensi lingkungan mendukung usaha batik tulis cepat berkembang di tepi sungai Kabanaran. Desa Laweyan kuno yang dikenal menghasilkan kain batik tulis dengan corak batik tulis geometrisan Jawa Mataraman4.
Pembangunan demokrasi ekonomi na sional memang seharusnya berakar dari ekonomi lokal bukan terpusat dari golongan elite. Pada ekonomi lokal, kelompok-kelom pok sosial ekonomi mempunyai perasaan sebagai satu komunitas. Masalah ekonomi harus diselesaikan secara bersama melalui pertukaran ekonomi yang adil. Ekonomi komunitas memiliki karakteristik sosial budaya yang beragam, berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Seperti sosial budaya komunitas petani padi sawah berbeda dengan komunitas nelayan dan komunitas pengrajin pembatik. Kampung batik Laweyan memiliki karakteristik sosial ekonomi unik dan spesifik berbeda dengan pada umumnya karakteristik sosial budaya masyarakat kota Solo. Ekonomi kampung batik laweyan terbukti dapat bertahan dari berbagai tekanan politik ekonomi dari zaman ke zaman. Ketahanan ekonomi kampung batik Laweyan terkait dengan basis nilai-nilai budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, inisiatif dan kreativitas serta organisasi ekonomi lokal.
3 Wijaya, Mahendra. 2008. Ekonomi Komersial Ganda: Perkembangan Kompleksitas Jaringan Sosial Ekonomi Perbatikan Di Surakarta. Disertasi S3 Pascasarjana UGM. 4 Sejarah Kampung Laweyan lihat Priyatmono, Alfa Febela. 2000. Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan Di Kampung Laweyan Surakarta. Program Pascasarjana Universitas
61
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
Sedangkan keberadaan batik tulis dengan corak atau pola batik Surakarta berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta. Pakoe Boewono III membuat busana dengan gaya batik Surakarta baik pola, warna maupun makna pemakaiannya. Pada abad ke-19 kerajaan Kasusunan Surakarta mengalami pertumbuhan ekonomi sehingga menimbulkan kebutuhan penduduk akan kain batik tulis meningkat. Pada saat itu masyarakat Surakarta mengenal produk batik halus (batik tulis) dan batik kasar atau batik saudagaran (batik cap) yang ditujukan pada segmen pasar yang berbeda5. Batik halus diproduksi oleh kerabat abdi dalem karaton Kasunanan Surakarta dan batik saudagaran diproduksi di kampung batik Laweyan.
bisa hidup berkumpul menjadi saudara. Keenam, menggerakkan hati umat Islam supaya bersatu dan bertolong-tolongan. Ketujuh, di dalam lingkungan dan batas undang-undang Negara, melakukan segala daya upaya kesentausaan dan tumpah darahnya. Hal ini dapat dimaknai bahwa keberadaan Sarekat Dagang Islam di ekonomi kampung batik Laweyan ber orientasi pada ekonomi produktif, egaliter, saling menghormati, kebersamaan, tole ransi dan tolong-menolong. Anggota Syarekat Islam berkembang dengan cepat dan meluas sampai ke pelosok Jawa dan luar Jawa. Pada tahun 1913 anggota Sarekat Islam sebanyak 80.000 orang meningkat pada tahun 1918 menjadi 450.000 orang dari 87 anak cabang yang tersebar di Hindia Belanda. Keberadaan Sarekat Islam dengan cepat meningkatkan jaringan perdagangan batik pribumi Surakarta sampai kepelosok wilayah Hindia Belanda
1. Sarekat Dagang Islam Kejayaan produsen dan pedagang batik terkait dengan keberadaan Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi dan tokoh lainnya pada tahun 1912 di Laweyan Solo. Sarekat Dagang Islam kemudian berganti nama Sarekat Islam dengan tujuan Pertama,memajukan perdagangan. Kedua, memberikan pertolongan kepada para anggota yang mendapat kesukaran Ketiga, memajukan kepentingan jasmani dan rokhani kaum bumiputera. Keempat, memajukan kehidupan agama Islam. Kelima, menyusun masyarakat Islam, agar 5
Pemerintah kolonialis Belanda menjadi sangat khawatir akan kekuatan sosial ekonomi penduduk pribumi muslim,maka ia melakukan serangkaian tekanan politik ekonomi terhadap keberadaan Sarekat Dagang Islam.Tekanan politik ekonomi secara terus-menerus akhirnya membuat Sarekat Dagang Islam menjadi lemah dan mengakibatkan kemunduran jaringan per dagangan batik pribumi 6.
Gadjah Mada. Yogyakarta. H Santosa Doellah mengemukakan batik tulis merupakan proses sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional beragam hias pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam lilin batik sebagai bahan perintang warna. Kerajinan batik tulis menggunakan teknologi tradisional , ketelitian kerja, tahap produksi yang panjang, waktu produksi lama dan produktivitas kerja rendah dalam Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Penerbit Danarhadi Sura karta.2002.hal:10.
Pedagang perantara bahan baku batik keturunan Tionghoa memiliki modal dan solidaritas kuat memanfaatkan kemun duran usaha batik pribumi. Mereka eks 6 George D. Larson mengungkapkan kolonialisme Hindia Belanda memotong dukungan Kraton Kasunanan Surakarta terhadap Sarekat Islam dalam Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Gadjah Mada University Press. Hal :72-76.
62
Mahendra Wijaya, DEMOKRASI EKONOMI LOKAL
pansi ke dalam usaha produksi batik dengan corak dan warna batik khas Cina, seperti merah dan biru. Mereka mengem bangkan mode produksi putting out, yaitu hubungan antara pedagang bahan baku batik keturunanTionghoa dengan pengrajin pembatik atau pekerja rumahan di pedesaan. Sejak saat itu terjadi persaingan tinggi antara pengusaha batik pribumi dengan pedagang batik keturunan Tionghoa dalam produksi dan perdagangan batik di Surakarta.
Arti dan makna kerja sebagai ibadah dan sillahturohmi mendatangkan barokah te lah mengakar kedalam kehidupan sosial ekonomi para santri. Keberadaan batik tidak hanya sebagai simbol seni budaya Jawa namun juga sebagai simbol kesejahteraan santri dan kemakmuran masjid. Hal itu mendukung terpeliharanya hubungan saling percaya, norma-norma resiprositas dan kerja sama dalam hubungan-hubungan produksi dan hubungan-hubungan dagang. Dalam perkembangannya pengusaha dan pengusaha muslim di kampunng batik Laweyan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Muhamadiyah di bagian barat Laweyan dan kelompok Nahdatul Ulama di bagian timur Laweyan. Kedua kelompok sosial keagamaan Islam ter sebut sebagai wadah pengusaha dan pe ngusaha batik di Laweyan. Kedua lem baga keagamaan tersebut memiliki kelompok-kelomok majelis taklim untuk mengembangkan kegiatan peribadatan Islam sesuai dengan aliran mereka masingmasing. Majelis taklim dimanfaatkan juga oleh para anggotanya sebagai wadah saling berbagi informasi bisnis, seperti informasi harga, barang dagangan, transportasi, modal dan pasar bahkan dalam batas-batas tertentu sebagai wadah saling berbagi order pekerjaan dan saling pinjam-meminjam modal usaha. Kepercayaan, hubungan timbalbalik dan jaringan kerja sama di dalam kelompok–kelompok majelis taklim tersebut menunjang kegiatan ekonomi pengusaha dan pengusaha batik di Laweyan.
Tekanan politik ekonomi kolonialisme Belanda dan persaingan bisnis dengan pedagang batik keturunan Tionghoa me nimbulkan industri rumah tangga batik tulis dan pabrikan batik cap yang mandiri terfragmentasi kedalam unit-unit usaha mbatik, mbironi, medel dan babaran. Mode produksi industri rumah tangga tidak mandiri lagi di suatu tempat, melainkan proses produksi terpecah-pecah kedalam unit–unit usaha yang terspesialisasi. Kondisi tersebut dan kekuatan modal sosial menumbuhkan hubungan produksi nempakke yaitu jaringan hubungan pro duksi antar unit-unit usaha spesialisasi. Hubungan produksi nempakke terbentuk dari hubungan saling percaya, timbalbalik dan kerja sama. Hubungan produksi nempakke terus bertahan hingga sekarang ini. 2. Ethos Kerja Santri Kampung batik Laweyan di Surakarta berkembang sebagai kampung santri yang taat menjalankan ibadah Agama Islam. Hal itu terkait dengan keberadaan Kyai Ageng Anis pada akhir abad ke 16 di Laweyan. Ajaran ulama besar Islam tersebut secara turun-temurun menjiwai dunia kehidupan para santri di kampung batik tersebut.
Pada kelompok Muhammadiyah ter jadi perubahan ideologis terjadi karena munculnya generasi baru yang lebih terpelajar tapi mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah sosial ke agamaan. Mereka menafsirkan agama 63
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan umum untuk memahami masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi umat serta menemukan jawaban-jawaban praktisnya. Oleh karena itu perubahan kehidupan beragama memberi imbas bagi perubahan etos kerja. Ajaran yang menganjurkan agar seorang Muslim melakukan yang terbaik untuk kepentingan dunianya seolah dia akan hidup selamanya. Melakukan hal yang sama untuk kehidupan akheratnya seolah dia akan mati keesokan harinya. Dalam interpretasi barunya itu, kalangan Muhammadiyah menganjurkan perlunya keseimbangan antara penekanan terhadap pentingnya kehidupan relegius yang bisa dijadikan bekal bagi kehidupan setelah mati dan tidak ditinggalkan masalah dunia karena hal itu akan memberi kontribusi bagi dilaksanakannya kehidupan relegius. Interpretasi ini menumbuhkan dorongan rasional ekonomi dalam mengembangkan usaha batik. Aktivitas usaha batik dikem bangkan melalui perencanaan dan per siapan kedepan yang lebih baik
baru ini menumbuhkan dorongan moral ekonomi dalam mengembangkan usaha batik. Pengusaha dan pengusaha batik membangun kepercayaan, hubungan tim bal-balik dan jaringan sosial ekonomi perbatikan dalam mengembangkan usaha. Pengalaman pahit akibat persaingan bisnis antara batik printing dengan batik cap yang tidak berimbang mengakibatkan batik cap kalah bersaing dan sebagian tutup usaha. Pengalaman pahit berikutnya sengitnya persaingan bisnis di era globalisasi pasar. Hubungan ekonomi internasional makin terbuka karena kepentingan pelaku ekonomi suatu negara untuk meningkatkan produksi dan distribusi makin saling tergantung dengan pelaku ekonomi negara lain. Oleh sebab itu permasalahan ekonomi lokal bukanlah semata-maka akibat dari kondisi ekonomi domestik, tetapi juga merupakan konsekuensi dari adanya saling ketergantungan antar pelaku ekonomi negara dengan negara lain. Peningkatan ekspor akan produk batik mendatangkan keuntungan bagi produsen - pedagang batik lokal. Akan tetapi juga dapat menimbulkan masalah bagi produsen-pedagang batik lokal. Permasalahan ekonomi tersebut bersumber dari ketidaksiapan produsenpedagang batik lokal dalam mempersiapkan. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atas kreasi batiknya. Buyer luar negeri memanfaatkan ketidaksiapan tersebut untuk mengambil alih hak merk produk batik buatan kampung batik Laweyan Surakarta. Pengalaman dalam dunia bis nis tersebut menimbulkan perubahan pemaknaan terhadap persaingan bisnis.
Pada kelompok Nahdatul Ulama terjadi perubahan pemaknaan yang berhubungan dengan masalah dunia dan akhirat. Kehidupan akherat tidak terlepas dari masalah duniawi, karena praktek-praktek peribadatan memerlukan dukungan faktor duniawi. Doa umum yang sering dipanjatkan oleh setiap santri “Robbana Atina Fidduniaaaa hasanah wafil akhirati hasanah waqina azabannar” Ya allah berilah kami kebaikan di dunia dan di akherat nanti, dan jauhkanlah kami dari api neraka. Meminta kebaikan di dunia dan akherat nanti menunjukkkan bahwa pada dasarnya kehidupan akherat memiliki moralitas nilai yang sama dengan kehidupan di dunia. Interprestasi
Perubahan pemaknaan terhadap ideo logi dan persaingan bisnis menimbulkan revitalisasi ethos kerja Mbok Mase yaitu
64
Mahendra Wijaya, DEMOKRASI EKONOMI LOKAL
bekerja dengan ulet dan gigih yang berarti kerja keras, rajin,disiplin, juga terkenal gemi setiti lan ngati-ngati artinya teliti, hemat, dan menabung7. Mbok Mase menghormati dan menjalankan ungkapan wong temen iku tinemu artinya orang yang rajin dan tekun bekerja akan menemukan kebahagiaan. Setiap hari Mbok Mase bekerja sekitar 12 jam baik di dalam perusahaan maupun di pasar. Mbok Mase dibantu Mas Nganten menjalankan serangkaian kegiatan usaha dari menentukan bahan baku kain, menentukan corak batik, membagi tugas kepada para tukang dan buruh , meramu zat pewarna , pengepakkan kain, sampai dengan berdagang di pasar. Mbok Mase terkenal sebagai orang yang tak mau kompromi dengan siapapun, seperti dengan teman, tetangga, kerabat, bahkan dengan anaknya sendiri dalam rangka menegakkan disiplin kerja. Ia dikenal sangat menghargai waktu dalam kehidupan sehari-harinya, membagi waktu untuk kepentingan ibadah, bekerja, keluarga ,dan kegiatan sosial. Ia juga teliti dalam mengendalikan kualitas produksi untuk menjaga mutu produk batik untuk memuaskan pelanggan. Rajin mencatat barang dan uang yang masuk dan keluar setiap harinya. Hemat dalam mengeluarkan uang, setiap mengeluarkan uang selalu diperhitungkan agar tidak mengganggu pengembangan usahanya. Pengusaha Mbok Mase tergolong orang yang suka membangun rumah besar yang dikelilingi tembok tinggi sekitar 3-4 meter. Mengembangkan tata ruang rumah lengkap dengan ruang keluarga, ibadah, produksi dan showroom.
punyai kesadaran baru akan penting nya persaingan dalam bisnis. Memiliki keberanian untuk bersaing dalam bisnis dengan cara sportip. Keberanian tidak sekedar emosional melainkan keberanian yang telah dipikirkan, dirancang dan disiapkan dengan baik. Kesadaran pen tingnya mengejar prestasi untuk me menangkan persaingan bisnis. Kreativitas dan inovatif menciptakan pola batik, pewarnaan dan desain pakaian sesuai dengan perkembangan zaman. Munculnya kesadaran akan pentingnya citra “merk” produk batik buatan lokal sebagai produk unggulan dalam persaingan bisnis Peng usaha dan pengusaha memiliki kesadaran akan pentingya waktu dalam persaingan bisnis.Memanfaatkan waktu sebaik mung kin untuk mempersiapkan atau merencakan usaha ke masa depan yang lebih baik. Pengusaha batik semakin terbuka bagi kritik dan saran membangun dari para stake holder melalui acara bulanan Selaweyan dengan media sarasehan, pertunjukan seni, pasar murah kepada masyarakat umum baik dari dalam negeri maupun turis luar negeri. 3. Unit Usaha Berbasis Keluarga Besar Unit usaha batik berbasis dan dikelola oleh keluarga besar. Struktur keluarga besar terdiri dari Mbok Masse sepuh-Mas Nganten sepuh dan Mbok Mase-Mas Nganten serta Den Bagus -Den Rara adalah serangkain kakek- nenek, bapak - ibu dan anak perempuan–anak laki-laki yang gigih dan ulet mengelola usaha batik. Keluarga besar mendukung dan mempercayakan Mbok Mase untuk mengembangkan usaha batik. Pengusaha batik Mbok Mase di kampung batik Laweyan Surakarta me ngembangkan jaringan kelompok usaha
Pengusaha dan pengusaha batik mem 7
Soedarmono.1987. Munculnya Kelompok Pengusaha Batik di Laweyan Pada Awal Abad XX.Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
65
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
induk-semang berdasarkan ikatan keke rabatan menurut garis keturunan lakilaki. Jaringan hubungan induk (orang tua) dan semang (anak) berdasarkan hubungan saling percaya, hubungan saling tolong-menolong dan hubungan kerja sama di bidang usaha perbatikan. Jaringan kelompok induk semang sebagai saluran kerja sama bisnis,seperti saling memberikan informasi pasar, saling pinjam meminjam barangan dagangan, modal uang tunai dan saling pinjam-meminjam sarana transportasi serta saling memberi order pekerjaan.
kepentingan perseorangan. Seperti dalam ungkapan pengusaha batik tuna sathak bani sanak, laba sedikit tidak apa-apa asalkan banyak saudara. Hal itu terbentuk berkaitan dengan kepadatan tali pengikat di antara pengusaha batik seperti ikatan keagamaan, ikatan persaudaraan dan ikatan ketetanggaan membentuk keber samaan usaha. Pedoman hidup dalam hubungan-hubungan sosial sebagaimana ungkapan Ojo dumeh, sebagai peringatan agar setiap orang selalu ingat sesamanya. Ojo dumeh sugih, tumindake lali karo wong ringkih artinya janganlah mentangmentang kaya, lalu perbuatannya tidak mengingat mereka yang lemah ekonomi. Ojo dumeh kuwasa, tumindake daksura lan daksia marang sepadha-padha, artinya janganlah mentang mentang berkuasa sehingga tindak tanduknya sombong dan sewenang-wenang terhadap sesamanya. Ojo dumeh menang tumindake sewenangwenang, artinya janganlah mentangmentang telah dapat mengalahkan lawan, lalu tindakannya sewenang-wenang ter hadap yang dikalahkan. Ojo dumeh pinter tumindake keblinger,artinya jangan mentang-mentang pintar, lalu tindakannya menyimpang dari aturan-aturan yang seharusnya. Ojo dumeh kuat lan gagah , tumindake sarwo gegabah, artinya jangan mentang-mentang kuat dan gagah, lalu tindakannya semaunya sendiri. Pengusaha batik mengutamakan kepentingan ber sama dari pada kepentingan orang per orang dalam usaha batik. Mendahulukan keselamatan bersama dari pada risiko yang dapat mengancam dirinya sendiri. Seperti ikatan sapu lidi, satu per satu lidi sangat mudah dipatahkan akan tetapi ikatan puluhan/ratusan lidi tidak dapat dipatahkan oleh kekuatan apapun.
Pengusaha batik membentuk modal ekonomi, sosial dan budaya berbasis keluarga besar. Modal ekonomi terdiri dari tempat usaha, peralatan produksi, modal uang tunai, bahan baku, barang dagangan,alat komunikasi dan sarana transportasi. Modal sosial terdiri dari kepercayaan, norma tolong-menolong dan jaringan sosial. Modal budaya terdiri dari pengetahuan, teknologi dan ketrampilan mengelola usaha. Modal sosial budaya ekonomi cenderung semakin besar karena terakumulasi secara turun temurun. Aku mulasi modal ekonomi sosial budaya merupakan sumber daya produktif yang membimbing, mengarahkan dan mengembangkan industri dan perdagangan batik. 4. Partisipasi dan Kebersamaan Pengusaha Batik. Belajar dari pengalaman pahit runtuh nya industri batik cap skala kecil akibat kalah bersaing dengan industri batik printing skala besar, tumbuhlah kesadaran akan pentingnya kebersamaan usaha dalam komunitas. Pengusaha batik meng utamakan kepentingan bersama dari pada
66
Mahendra Wijaya, DEMOKRASI EKONOMI LOKAL
Kesadaran sosial ekonomi itulah mendorong partisipasi pengusaha batik membangun Paguyuban Kampung Batik Laweyan pada tahun 2004. Paguyuban tersebut kemudian berganti nama Forum Kampung Batik Laweyan. Keberadaan Forum Kampung Batik Laweyan mem bangkitan kembali dinamika usaha batik. Forum Kampung Batik Laweyan berfungsi sebagai saluran partisipasi pengusaha batik dalam sosialisasi budaya batik, mengembangkan ketrampilam tenaga kerja, meningkatkan teknologi informasi dan komunikasi bisnis, memantapkan tek nologi produksi dan memajukan pemasaran bersama.
berkembang menjadi pasar pedagang batik tulis dan cap. Jaringan perdagangan batik meluas dari sentra-sentra produksi batik di Surakarta dan sekitarnya sampai ke pasar domestik. Program benteng dalam bidang perbatikan di Surakarta berhasil menumbuhkan pabrikan batik cap/ industri rumah tangga batik tulis. Pabrikan batik cap dan industri rumah tangga batik tulis dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Kota Surakarta dan sekitarnya,seperti Kauman, Laweyan Semanggi, Sangkrah, Kedunglumbu Pasar Kliwon Surakarta, Bayat Klaten, Masaran Sragen ,dan Bekonang Sukoharjo.
5. Koperasi Batik
6. Hubungan Kerja Kemanusiaan : Ngenger
Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintahan orde lama me ngeluarkan kebijakan program benteng yang bertujuan untuk menumbuhkan kewiraswastaan pribumi. Dalam bidang perbatikan, pemerintah mendirikan ko perasi sekunder Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang anggotanya terdiri dari koperasi primer di daerahdaerah. Sejak tahun 1950 GKBI memiliki lesensi monopoli impor bahan baku. Oleh sebab itu, GKBI berhasil membantu pengadaan bahan baku mori, obat-obatan dan pemasaran batik sekitar 10 hingga 15 persen dari hasil produksi para anggotaanggotanya. Program benteng secara umum dianggap distorsi dan gagal menumbuhkan wiraswasta pribumi di Indonesia, na mun di bidang perbatikan program tersebut menimbulkan efek positif,.yaitu pemupukan modal, penyerapan tenaga kerja, peningkatan keterampilan kerja, dan meluasnya industri batik tulis dan cap di berbagai penjuru Kota Surakarta. Pada tahun 1960-an Pasar Klewer mulai
Ungkapan sapa gawe nganggo, sapa nandur ngunduh artinya siapa membuat akan memakai dan siapa menanam akan memetik. Setiap perbuatan yang baik tentu akan menghasilkan kebaikan. Ungkapan ini melandasi berkembangnya hubungan kerja ngenger, pengusaha batik memaknai hubungan dengan buruh batik seperti hubungan orang tua dengan anak. Pengusaha batik merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memberi kesejahteraan dan ketrampilan bagi masa depan anak asuhnya. Hubungan kerja ngenger ber fungsi mentransfer ilmu pengetahuan, ketrampilan membatik dan mengelola pabrikan. Sistem ngenger memungkinkan terjadinya proses mobilitas vertikal ke atas dari buruh batik menjadi pengusaha batik. Pengusaha batik dengan tulus memberi pengetahuan dan ketrampilan membatik kepada buruh ngenger, sehingga buruh ngenger tersebut lambat laun berhasil menjadi pengrajin pembatik. Pengrajin pembatik yang gigih dan ulet belajar mem batik membatik dari majikannya, sehing 67
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
ga pengrajin pembatik tersebut suatu saat mampu berkreasi menciptakan pola batik. Kualitas pengrajin pembatik terus berkembang menjadi seorang pengrajin pembatik spesialisasi ahli dalam membuat pola batik. Pengrajin pembatik spesialisasi tersebut sedikit-demi sedikit menabung untuk bekal masa depan. Berbekal penge tahuan, ketrampilan, sikap kerja dan hasil tabungan maka pengrajin pembatik spesialisasi tersebut merintis usaha sendiri, atau industri rumah tangga batik tulis mandiri di desa asalnya. Pengrajin pembatik mandiri memanfaatkan keterikatan historis dengan mantan pengusaha batiknya untuk menjalin hubungan kerja sub kontrak industrial.
lagi bekerja di rumahnya masing-masing, tetapi pekerja datang ke pabrik untuk menyelesaikan serangkaian tugas di bawah satu atap. Teknologi canting diganti dengan teknologi cap atau stempel, sehingga proses produksi batik cap lebih cepat dari pada proses produksi batik tulis. Demikian pula hasil produk batik dari pabrikan batik cap lebih banyak dari pada industri tumah tangga batik tulis. 3) Mode produksi manufaktur batik printing hampir sama dengan mode pro duksi pabrikan, tetapi berbeda dalam tingkat teknologi yang digunakan. Dalam bentuk pabrikan, rangkaian pekerjaan diselesaikan oleh pekerja secara manual. Tetapi dalam mode produksi manufaktur, rangkaian pekerjaan dominan diselesaikan oleh mesin : printing sablon dan printing mesin import untuk menghasilkan produk massal
7. Jaringan Sosial Ekonomi Perbatikan Berbasis Kepercayaan. Perkembangan teknologi perbatikan menciptakan peningkatan mode produksi batik dan pada gilirannya menumbuhkan kompleksitas jaringan sosial ekonomi. Peningkatan mode produksi batik yang berlangsung di kampung batik Laweyan adalah sebagai berikut.
4) Mode produksi campuran, yaitu mode produksi manufaktur batik printing tulis, pabrikan batik cap tulis. Mode produksi ini menggabungkan teknologi lokal-impor dalam proses produksi pem buatan batik Mode produksi campuran ini menumbuhkan keterkaitan vertikal dan antar ruangan antara industri rumah tangga batik tulis pada sektor ekonomi tradisional dengan pabrikan batik cap tulis dan manufaktur batik printing tulis pada sektor ekonomi modern
1) Mode produksi industri rumah tangga batik tulis di kelola oleh pengrajin pembatik dibantu oleh tenaga kerja keluarga tanpa upahan dan beberapa tenaga kerja upahan dari luar keluarga. Keseluruhan kegiatan dilaksanakan secara manual dibantu oleh teknologi produksi lokal seperti canting, gawangan, anglo, kipas angin dan lainlain. Proses produksi berlangsung panjang , lama. dan menghasilkan produk batik tulis secara bijian.
Peningkatan mode produksi menum buhkan kompleksitas jaringan sosial ekonomi sebagai berikut:
2) Mode produksi pabrikan batik cap sangat berbeda dari mode produksi industri rumah tangga batik tulis. Para pekerja tidak
68
Mahendra Wijaya, DEMOKRASI EKONOMI LOKAL
Bagan 1.1 Jaringan Sosial Ekonomi Perbatikan No
Tipe Jaringan Hubungan Produksi
Unit-unit usaha/tipe pelaku yang terkait
Pola Hubungan Kerja
a.
Jaringan hubungan sub kontrak industrial spsialisasi
Antara industri rumah tangga dengan industri besar
Pola hubungan produksi kerja sama saling menguntungkan
b.
Jaringan hubungan produksi nempakke
Pengusaha pemroses, mandor penggarap dan pengrajin pembatik
Pola hubungan produksi kerja sama saling menguntungkan
c.
Jaringan hubungan dagang ngalap nyaur
Pengusaha dengan pengusaha batik di dalam dan di luar Pasar Klewer
Pola hubungan dagang kerja sama saling menguntungkan
d.
Jaringan hubungan dagang induk semang
Pedagang induk dan pedagang semang (orang tua dan anak)
Pola hubungan dagang kerja sama saling menguntungkan
e.
Jaringan hubungan dagang dengan sistem koodinator wilayah
Pengusaha batik dari kampung batik Laweyan dengan pengusaha batik luar kota
Pola hubungan dagang kerja sama saling menguntungkan
f.
Jaringan hubungan sub kontrak komersial domestic
Pengusaha batik dari kampung batik Laweyan dengan pengusaha batik luar kota
Pola hubungan dagang kerja sama saling menguntungkan
g.
Jaringan sub kontrak komersial eksport
Perusahaan batik lokal dengan perusahaan dagang luar negeri.
Pola hubungan dagang kerja sama saling menguntungkan
Ada kecenderungan pola jaringan hu bungan sosial ekonomi perbatikan ber sifat hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Hal itu berkaitan dengan sikap pengusaha batik terhadap pengusaha batik lainnya yang dilandasi oleh keper cayaan dan tepa selira (toleransi) yang berarti bahwa apabila kita merasa senang
dan bahagia jika orang lain berperilaku baik terhadap kita, maka kita hendaknya juga berusaha berperilaku baik terhadap orang lain. Nilai sosial inilah yang melandasi terbangunnya jaringan hubungan sosial ekonomi perbatikan. Kompleksitas jaring an sosial ekonomi yang berbasis pada hubungan saling kepercayaan, hubungan
69
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
saling menguntungkan (reciprocity) dan kerja sama.
baku kain ATM rayon dan ATBM primisima menimbulkan kenaikan biaya produksi batik dan harga kain. Demikian pula pakaian batik ikut meningkat harganya mencapai 30 persen. Kenaikan harga bahan baku kain batik dan produk batik cap printing menyebabkan daya beli masyarakat dan permintaan domestik akan produk batik ikut menurun.
8. Strategi Rasional Pengusaha Batik Strategi rasional merupakan pola-pola berbagai usaha yang direncanakan oleh pengusaha batik untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam produksi dan perdagangan batik. Dimensi rasional dari tindakan-tindakan ekonomi pengusaha batik tampak pada aktivitas produksi dan perdagangan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dan lingkungannya. Keuntungan bagi lingkungan berdasarkan pertimbangan nilai kebersamaan, kepercayaan dan timbal balik.
Kondisi ekonomi tersebut mendorong pengusaha batik memilih strategi rasional mengembangkan produksi berorientasi ekspor. Pengusaha memanfaatkan tekno logi informasi dan komunikasi internet sebagai media promosi kedalam pasar global. Jaringan relasional pemasaran batik semakin bertambah dari waktu ke waktu disertai kenaikan permintaan batik. Omzet pemasaran batik ke luar negeri terus menerus meningkat dan keuntungan usaha terus bertambah. Kunci keberhasilan produksi batik dalam memenuhi permin taan ekspor melalui peningkatan jaringan hubungan produksi. .
(1). Strategi Rasional Dalam Produksi Pada akhir tahun 2006. harga bahan baku kain batik ATM (Alat Tenun Mesin) rayon untuk terus meningkat. Kenaikan kain rayon tersebut bersumber dari kenaikan harga serat rayon di pasaran internasional. Perusahaan serat rayon lokal meraup keuntungan besar dari perdagangan ekspor serat rayon ke negeri Cina. Di negeri Cina serat rayon tersebut digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk kertas dan pempers. Oleh sebab itu persediaan serat rayon di Indonesia makin terbatas, sehingga harga serat rayon meningkat. Kenaikan serat rayon diikuti oleh kenaikan harga benang rayon dan kain rayon. Harga kain rayon meningkat dari harga Rp 15 000,- per meter pada akhir tahun 2006 menjadi Rp 20.000,- per meter pada akhir tahun 2006 atau naik 33,33 persen. Demikian pula kain ATBM (alat tenun bukan mesin) primisima pada awal tahun 2006 seharga Rp 20.000,per meter menjadi Rp 30.000,- per potong atau naik 33,33 persen. Kenaikan bahan
(2). Strategi Rasional Dalam Perdagangan. Pengusaha batik untuk mengirimkan barang dagangan ke buyer di luar negeri terkait dengan kebijakan negara setempat. Kebijakan ekonomi pemerintah Malaysia terbuka bagi produk batik buatan Indonesia, akan tetapi dalam realisasinya masuknya produk batik buatan Indonesia ke Malaysia sangat sulit. Kesulitan ini berhubungan dengan prosedur dan pemeriksaan do kumen ekspor terkesan mencari-cari kesalahan. Dalam situasi prosedur ekspor seperti itu maka tidak mengherankan kalau pengusaha batik Laweyan memutuskan untuk ekspor kain dan sarung batik menggunakan merk perusahaan dagang luar negeri. Cara itu memudahkan batik
70
Mahendra Wijaya, DEMOKRASI EKONOMI LOKAL
buatan Laweyan Surakarta mudah masuk ke negeri Malaysia. Tindakan tersebut dapat dimaknai pengambilan alih hak merk merupakan suatu tindakan rasionalitas pengusaha batik untuk ekspor. Pengusaha menggunakan strategi rasional dalam ekspor dalam rangka mencari keuntungan.
dan memperoleh informasi patokan har ga barang dagangan. Keuntungan bagi pengusaha adalah mendapatkan informasi produk yang sesuai dengan permintaan konsumen masing-masing wilayah, mem peroleh kepastian aliran barang dagang an dan uang kontan yang teratur juga mengurangi risiko perdagangan serta promosi pemasaran. Kunci kesuksesan jaringan hubungan dagang korwil adalah masing–masing tingkatan lembaga ekonomi dari industri ke agen distributor dan pedagang pengecer saling menyesuaikan ritme bisnisnya masing-masing.
Pengusaha batik Laweyan Surakarta mempertahankan perdagangan domestik dengan cara membangun jaringan hu bungan pedagang dengan sistem koor dinator wilayah (korwil). Pengusaha batik membangun saluran distribusi batik tulis melalui beberapa pengusaha sebagai koor dinator wilayah dagang di kotanya masingmasing. Aliran pasokan barang dagangan dan uang berdasar langganan tetap ngalap nyaur. Pengusaha memasok barang dagangan pada awal bulan dan pengusaha korwil membayar barang dagangan tersebut satu bulan kemudian.
9. Jaminan Sosial Ekonomi Pengusaha Mbok Mase di kampung batik Laweyan mengembangkan kelompok usaha induk-semang berdasarkan ikatan kekerabatan menurut garis keturunan laki-laki. Hubungan induk (orang tua) dan semang (anak) berdasarkan hubungan saling percaya, hubungan saling tolongmenolong dan hubungan kerja sama di bidang usaha perbatikan.
Pengusaha batik membangun jaringan hubungan relasional dengan jaringan per dagangan dengan sistem korwil relatif lama. Landasan utama jaringan hubungan dagang dengan sistem korwil berdasarkan pengalaman hubungan dagang yang lama dan panjang . Hubungan dagang antara pengusaha dengan pengusaha korwil harus disiplin, jujur, berprestasi, saling percaya, timbal balik dan kerja sama tim. Pengusaha menciptakan standarisasi pengiriman ba rang dagangan, kualitas produk, harga per satuan produk dan keuntungan per satuan produk.Barang dagangan diusahakan ber variasi sesuai dengan permintaan pelanggan di wilayahnya masing-masing. Keuntungan yang diperoleh pedagang korwil adalah kesempatan memperoleh persediaan ba rang dagangan sesuai dengan pemin taannya secara teratur. Selain itu, pedagang korwil akan memperoleh potongan harga
Keluarga besar berfungsi memberikan perlindungan sosial-ekonomi bagi para anggotanya dan menjamin para anggotanya untuk memperoleh pekerjaan dan pen dapatan di bidang usaha perbatikan. Kelompok induk semang sebagai saluran kerja sama bisnis, seperti saling mem berikan informasi pasar, saling pinjam meminjam barang dagangan, modal uang tunai dan saling pinjam-meminjam sarana transportasi serta saling memberi order pekerjaan. Pengalaman pahit akibat kalah per saingan dengan industri batik printing di tahun 1980-an mendorong pengusaha batik semakin loyal pada kelompok usaha induk semang dan kooperatif dengan sesama
71
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
pengusaha batik. Pengusaha batik semakin takut tampil beda pengusaha-pengusaha batik lain dalam kampung batik Laweyan. Hal itu memantapkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan rejeki kepada manusia sesuai dengan kebutuhan hidup nya. Allah lebih tahu kebutuhan yang sesuai dan tepat bagi seseorang dan kampung batik. Ketentraman seseorang ditentukan oleh rejeki yang tidak lebih dan yang tidak kurang dari pendapatan anggota-anggota lain dalam kelompok kerjanya. Jika ada pengusaha batik jatuh bangkrut akibat dari tindakannya yang neko-neko, dapat mengganggu ketentraman orang lain. Agar tidak neko-neko maka antar pengusaha batik mengembangkan kebersamaan, to long-menolong dan kerja sama.
batik Laweyan. Etos kerja santri ulet, gigih dan te kun, usaha bersama berbasis keluarga besar dalam kelompok-kelompok usaha bersama indung-semang, partisipasi dan kebersamaan dalam mengelola aktivitas ekonomi bersama dalam Forum Pengem bangan Batik Laweyan, hubungan kerja kemanusiaan ngenger antara pengusaha dengan buruh batik, keterlekatan nilai budaya tepa slira dalam hubungan-hu bungan produksi dan perdagangan batik, jaringan hubungan sosial ekonomi per batikan berdasarkan hubungan saling per caya, saling menguntungkan dan kerja sama serta jaminan sosial bagi setiap anggota komunitas untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Keterlekatan nilai-nilai budaya dalam tindakan ekonomi pengusaha batik tersebut terbukti bersifat adaptif terhadap perubahan sosial dari zaman ke zaman. Proses budaya ekonomi kampung batik Laweyan cenderung bersifat demokratis.
Prinsip kebersamaan membentuk ja ringan hubungan produksi nempakke dan jaringan hubungan dagang nitip dan hubungan dagang ngalap nyaur. Setiap pelaku ekonomi diberi kesempatan untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan perdagangan. Jaringan hubungan pro duksi nempakke dan jaringan hubungan dagang nitip dan ngalap nyaur berfungsi sebagai perlindungan bagi setiap pelaku ekonomi untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan. C.
Kehandalan demokrasi ekonomi lokal kampung batik Laweyan mengamanatkan perlunya keberpihakan pemerintahan pusat terhadap ekonomi lokal. Kebijakan ekonomi nasional diharapkan memprioritaskan dan bertumpu pada ekonomi lokal. Pem bangunan demokratisasi ekonomi nasional harus berakar dari ekonomi lokal yang berlangsung dengan kearifan ilmu penge tahuan dan teknologi, nilai–nilai sosial budaya, inisiatif dan kreativitas, organisasi sosial ekonomi dan kemandirian lokal. Demokratisasi ekonomi nasional yang sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Penutup
Sarekat Dagang Islam mengembangkan keterlekatan nilai-nilai budaya kedalam tindakan ekonomi pengusaha batik. Nilai–nilai budaya yang berorientasi pada egaliter, produktif, saling menghormati, kebersamaan, toleransi dan tolong-me nolong. Nilai-nilai budaya tersebut seba gai pendorong dan pembimbing dalam perkembangan ekonomi lokal kampung
72
Mahendra Wijaya, DEMOKRASI EKONOMI LOKAL
D. Daftar Pustaka Gelinas, Jaques B. 2003. Juggernaut Politics. Understanding Predatory Globalization. London & New York: Zed Books. Doellah, Santosa, H. 2002. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Surakarta: Penerbit Danarhadi Larson, George D.1990. Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada Univer sity Press. Priyatmono, Alfa Fabela. 2004. Studi Kecenderungan Perubahan Mor fologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Soedarmono.1987. Munculnya Kelompok Pengusaha Batik di Laweyan Pada Awal Abad XX. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Soetrisno, Loekman. 1991. Peran Industri Kecil di Indonesia Sebagai Wa hana Pembangunan Pedesaan : Perkembangan dan Masalahnya. Dalam Gembong Tjitrosoepomo (eds) Industri Pedesaan dan Masalah Perkembangannya. Yogyakarta: Adytia Media. Wijaya, Mahendra. 2008. Ekonomi Komersial Ganda: Perkembangan Kompleksitas Jaringan Sosial Ekonomi Perbatikan Di Surakarta. Disertasi S3. Yogyakarta: Pasca sarjana UGM.
73
GERAKAN ANTI PENUAAN: POLITIK IDENTITAS USIA LANJUT DALAM KONSTRUKSI INDUSTRI MEDIS Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah
ABSTRAK “Gerakan Anti Penuaan adalah bagian dari usaha menikmati kehidupan, sehingga hari tua tetap harus dilihat secara sekuleristik. Hidup di masa tua harus dinikmati dengan konstruksi baru, yaitu tetap sehat, tidak sakit-sakitan, dan tetap produktif serta sehat sampai ajal menjemput. Kesehatan tidak harus dipecahkan dengan sebuah pendekatan medis, melainkan perlu dilihat dari berbagai perspektif. Pertama; konstruksi identitas komunitas Lansia mengikuti perkembangan lingkungan sosial yang membentuk identitasnya, kedua; komunitas Lansia dikonstruksikan identitasnya oleh industri medis yang bergerak di bidang anti penuaan. Ketiga; penyebaran wacana sehat dan perlunya gerakan anti penuaan yang berfokus pada relasi kuasa industri medis itu sendiri.” Kata Kunci: Gerakan Anti Penuaan, Relasi Kuasa, Komunitas Lansia. ABSTRACT “Anti-aging movement is part of the effort to enjoy life, so the old period still has to be seen in secular way. Elderly life should be enjoyed with new constructions, which are keep healthy, fit and productive until the end of life. Health does not have to be resolved with a medical approach, however it can resolved with many perspectives. First, identity construction of elderly community has to follow the social environment that construct its identity. Second, identity of elderly community is constructed by medical industry in the field of aging. Third, the spread of healthy discourse and the need for anti-aging movement that focused on power relation within the medical industry itself.” Keywords: anti-aging movement, power relation, elderly community A.
Pendahuluan
P
Angka kematian bayi lahir dan ibu hamil pada waktu itu masih sangat tinggi, yang disebabkan oleh berbagai faktor sosial ekonomi, terutama kondisi kemiskinan
ada dekade tujuhpuluhan hingga delapanpuluhan, Indonesia meng hadapi berbagai masalah kesehatan yang berkaitan dengan isu mortalitas.
74
Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, GERAKAN ANTI PENUAAN: Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis
warga masyarakat yang memprihatinkan. Dari aspek politik, belum adanya kebijakan di bidang pelayanan kesehatan komprehensif yang menambah kian buruknya kondisi kesehatan masyarakat. Sementara itu, dari aspek kultural, rendahnya kesadaran dan belum membudayanya perilaku hidup sehat juga ikut memberikan pengaruh signifikan terhadap tingginya angka kematian.
sebanyak 7% adalah di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Provinsi Bali. Peningkatan jumlah penduduk Lansia ini terjadi antara lain karena: 1) tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat; 2) kemajuan di bidang pelayanan kesehatan; dan 3) tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat. Mendiskusikan anti penuaan sebagai sebuah gerakan terhadap kekuatan industri medis, berkait juga dengan apa yang dikenal sebagai politik identitas. Klaus Von Beyme (1996) menganalisis perkembangan gerakan politik identitas dalam beberapa tahap, mulai dari tahap pramoderen sampai postmodern. Tahap pertama ialah gerakan politik pramoderen. Perpecahan fundamental, kelompok-kelompok kesuku an, dan kebangsaan memunculkan gerak an sosial yang menyeluruh. Dalam hal ini mobilisasi secara ideologis diprakarsai oleh para pemimpin. Tujuannya adalah perampasan dan perebutan kekuasaan dari satu penguasa ke penguasa yang baru. Pada tahap modern, gerakan tersebut muncul dengan adanya pendekatan kondisional, keterpecahan membutuhkan sumbersumber untuk dimobilisasi. Terjadi keseim bangan mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah, peran pemimpin tidak lagi dominan dan tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan. Kemudian, pada tahap postmodern, munculnya gerakan itu berasal dari dinamikannya sendiri, protes muncul atas berbagai macam kesempatan individual, tidak ada satu kelompok atau pecahan yang dominan. Pola aksi dan kegiatannya berdasarkan kesadaran diri yang bersifat otonomi sebagai tujuan finalnya (Abdillah, 2002: 17).
Akan tetapi, dalam dua dekade terakhir, terjadi perkembangan menarik terkait dengan kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal itu bukan pada per soalan di seputar isu mortalitas, tetapi kecenderungan semakin meningkatnya jumlah usia lanjut. Angka harapan hidup orang Indonesia semakin meningkat, dan bahkan diprediksi jumlah usia lanjut di Indonesia akan menjadi terbesar ketiga di Asia. Dalam lima tahun terakhir, angka harapan hidup manusia Indonesia naik dari 68,6 tahun menjadi 70,7 tahun. Indeks pembangunan manusia Indonesia naik dari 68,7 pada tahun 2004 menjadi 71,1 pada tahun 2008. Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan pada sidang paripurna 2009 menegaskan, tingkat kematian bayi juga menurun, dari 33,9 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 26,2 pada tahun 2009. Sementara itu angka kematian ibu turun dari 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 228 pada tahun 2007 (Laporan Kementerian Negara Koordinasi Kesra, 2009). Oleh karena itu, Indonesia adalah ter masuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population). Hal itu karena jumlah pen duduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Provinsi yang mempunyai jumlah penduduk Lanjut Usia (Lansia) nya
Semakin meningkatnya jumlah usia lanjut, juga tidak lepas dari fenomena 75
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
gerakan anti-aging atau anti penuaan yang dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia semakin marak. Sekarang ini bahkan telah berdiri Perhimpunan Kedokteran Anti Penuaan Indonesia (Perkapi) yang berupaya mengatsi masalah anti penuaan melalui ilmu kedokteran tingkat tinggi. Ilmu kedokteran tersebut terutama dipakai untuk mendeteksi, mencegah, mengobati, hingga membalikkan perjalanan kelainankelainan atau penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan. Bersamaan de ngan itu, gerakan anti penuaan ini juga tumbuh di kalangan masyarakat. Berbagai perkumpulan gerakan anti penuaan yang diprakarsai oleh masyarakat terus mengalami peningkatan cukup signifikan.
Bagi kalangan bisnis, fenomena ini adalah sebuah peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan. Maka beredarlah berbagai bahan kosmetika yang diklaim sebagai anti aging atau anti penuaan dalam berbagai bentuk dan kemasan. Kesan yang dimunculkan adalah, kalau proses penuaan bisa dicegah, sehingga seseorang terlihat awet muda dan cantik, kenapa tidak? Bahan baku yang banyak dilirik para pakar kosmetika adalah penggunaan zat yang berasal dari embrio atau sel-sel muda yang ada di sekitarnya (Hadiwinoto, 1999). Selsel yang masih sangat belia itu memiliki kemampuan untuk memberikan nutrisi bagi tubuh guna melakukan reproduksi sel. Salah satu bahan yang saat ini mulai digunakan adalah Extract of Whole Embryo (EWE) yang merupakan embrio atau janin bayi yang diekstrak. Bahan ini masih banyak mengandung vitamin, protein yang mudah diserap, enzim dan bahan-bahan aktif lainnya.
Kecenderungan maraknya gerakan anti penuaan tersebut ditangkap oleh kalangan bisnis sebagai peluang baru, dan bahkan telah tumbuh menjadi pasar potensial bagi perekonomian baru. Berbagai produk dan jasa ditawarkan, mulai dari yang berkaitan dengan medis seperti obat-obatan, per alatan kesehatan, suplemen, dan jasa konsultasi. Sementara itu yang berkaitan dengan penampilan, sekarang telah muncul tawaran produk anti keriput, anti tulang keropos, anti lemah, dan lain-lain yang menentang citra lama tentang ketuaan. Sedangkan dalam tawaran yang mengisi waktu luang (leasure) pun terus mengalir seperti wisata lansia, cafe lansia, dan lainlain yang berkaitan dengan upaya menjadi kualitas hidup lansia.
Selain untuk dioleskan sebagai kos metika, EWE juga dilaporkan digunakan sebagai makanan/minuman suplemen yang mampu memberikan efek segar dan anti penuaan dari dalam. Zat-zat itulah yang dimanfaatkan untuk menggantikan sel-sel baru, baik untuk kulit maupun rambut. Maka kosmetika dengan bahan aktif EWE tersebut kemudian diklaim sebagai kosmetika yang memberikan efek anti penuaan, membuat kulit lebih mulus, segar dan muda. Siapa yang tidak tergiur dengan efek yang dijanjikan itu?
Penuaan adalah hal yang paling ditakut kan oleh sebagian wanita, meskipun semua orang juga tahu, proses itu adalah hal alamiah yang pasti akan terjadi. Maka apapun dilakukan agar tetap muda dan cantik, termasuk dengan kosmetika atau mengonsumsi aneka tablet dan ramuan.
Citra lansia pun kemudian mengalami pergeseran. Jika dahulu lansia adalah sosok yang tua renta berkulit keriput, cerewet dan menjengkelkan, serta senantiasa menjadi beban, tetapi sekarang direkonstruksi dengan citra baru. Diskripsi dan gambaran 76
Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, GERAKAN ANTI PENUAAN: Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis
usia lanjut dikonstruksi sebagai sosok yang tetap kelihatan muda, vitalitas tinggi, dan tetap produktif. Segala sesuatu yang memberikan gambaran bahwa usia lanjut adalah bersifat natural, segera diubah dengan citra baru yang ditopang oleh kekuatan akal budi manusia melalui ilmu kedokteran dan kemajuan teknologi. Semboyan hidup mulai usia empatpuluhan pun semakin dipopulerkan, dan bahkan diubah dengan semboyan hidup mulai usia enampuluhan. Prinsip kelihatan awet muda pun terus dipopulerkan, dengan asumsi jika seseorang berpenampilan muda dan berpikir muda terus, ia akan kelihata muda. Menurut seorang anggota Perkapi, Erik Tapan, penerapan prinsip koneksi tubuhpikiran yang memang merupakan hal yang sangat efektif dalam menjaga penampilan awet muda.
sosial, interaksi sosial, dan analisis kelas dari perspektif kritis. Perspektif kritis dalam studi sosiologi kesehatan sebagaimana dikatakan oleh Peter Conard dan Rochelle Kern adalah: A critical perspective is one that does not consider the present fundamental organization of medicine as sacred and inviolable. Nor does it assume that some other particular organization would neces sarily be a panacea for all oru health-care problems. A critical perspective accepts no “truth” of “fact” merely because it has hitherto been accepted as such. It examines what is, not as something given or static, but are something out of which change and growth can emerge. Moreover, any theoretical framework that claims to have all the answers to understanding health and illness is not a critical perspective. The social aspect of health and illness are too complex for a monolithic approach (Conard dan Kern, 1986:4).
Deby Susanti Vinski yang telah men dapat julukan “Ratu Antiaging Indonesia” menjadi semakin populer di kalangan lanjut usia masyarakat urban, terutama di kota-kota besar. Sosok ini juga menjadi utusan resmi World Society of AntiAging (WOSAAM) di Indonesia, dan terus mengkampanyekan gerakan anti penuaan dengan menekankan pentingnya tindakan prefentif. Deby juga berupaya bermitra dengan Departemen Pendidikan Nasional dan beberapa universitas untuk membuka jurusan kedokteran anti-aging.
Akan tetapi, sebegitu jauh, studi yang melihat gerakan anti-penuaan dari kajian budaya masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, studi ini akan mencoba melihat fenomena maraknya anti penuaan dari perspektif cultural studies, dengan memfokuskan pada dinamika formulasi identitas komunitas usia lanjut dalam arus idustri kesehatan yang semakin menguat, terutama industri yang memproduksi obatobatan, suplemen, dan kosmetik. Untuk lebih mengungkap relasi kuasa yang ada dalam gerakan anti-aging, studi ini juga akan mencoba membongkar bagaimana struktur dominasi kapitalisme global meng konstruksikan citra-citra baru usia lanjut, yang mampu menggelisahkan komunitas usia lanjut, dan menciptakan kebutuhan yang pada akhirnya menjadi pasar potensial.
Berbagai studi telah dilakukan terhadap fenomena meningkatnya gerakan antiaging, baik dari aspek kesehatan medis, psikologis, dan sosiologis. Perspektif psiko logis melihat masalah anti penuaan dari aspek kejiwaan manusia yang berkaitan dengan dinamika perilaku individual. Studi sosiologis memfokuskan pada masalah anti penuaan dalam kaitannya dengan struktur 77
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
Beberapa pertanyaan yang akan di jawab dalam studi ini adalah bagaimana warga usia lanjut merumuskan identitas diri di tengah arus industri kesehatan?; siapa yang mengkonstruksikan identitas baru lansia, dan bagaimana bentuk-bentuk konstruksinya?; dan bagaimana relasirelasi kuasa beroperasi dalam gerakan anti penuaan? B.
tahun akibat radikal bebas. Sebagaimana diketahui, radikal bebas ini menyerang tidak hanya kulit, tetapi semua organ. Sedangkan teori hormon berasumsi bahwa setelah usia 30 tahunan, hormon tubuh manusia khususnya hormon pertumbuhan mengalami penurunan. Implikasinya massa otot turun, dan berakibat bila asumsi total kalori yang dimakan sama, sehingga orang akan mengalami proses kegemukan. Kondisi ini diperberat dengan makanan yang manis dan berlemak yang mendorong konsumsi kalori secara berlebihan (Toruan, 2008, http//www.qbheadlines.com/lifestyle).
Kajian Teori
Pada mulanya memang harus diakui, bahwa masalah anti penuaan lebih di dominasi oleh wacana medis, seperti misalnya munculnya istilah anti aging medicine sebagaimana yang dipopulerkan oleh Robert Goldman dari Amerika Serikat. Perspektif kedokteran mendifinisikan anti penuaan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang spesifik dengan menggunakan tek nologi kedokteran tingkat tinggi, yang dimanfaatkan untuk mendeteksi, men cegah, mengobati, dan membalikan per jalanan kelainan-kelainan atau penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan (Tapan, 2009).
Berkaitan dengan pandangan teori radikal bebas, untuk menjaga agar orang awet muda maka orang harus meng konsumsi zat antioksidan. Penangkal radikal bebas yang telah diketahui dan diyakini adalah antioksidan. Bersamaan dengan terapi sulih hormon yang fisiologik, antioksidan diyakini sebagai salah satu cara efektif dalam memperpanjang usia di abad ini. Oleh karena itu, diskusi pengetahuan tentang antioksidan, cara mendapatkan dan memanfaatkannya telah mendominasi wacana masyarakat modern, khususnya kalangan kelas menengah. Kelompok masyarakat ini sangat sensitif terhadap isu penuaan, sehingga tingkat kecemasan dalam menghadapi hari tua sangat tinggi. Akumulasi kecemasan mendorong perilaku melawan kecenderungan normal alamiah, yang membuat mereka mencari jawaban dari ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya ilmu dan teknologi kedokteran.
Dari pandangan medis, teori penuaan yang dianut selama ini secara garis besar ada 3, yaitu teori genetika, radikal bebas, dan teori penurunan hormon. Teori genetik memandang bahwa manusia sudah diset usianya sesuai dengan gen yang diperoleh dari orangtuanya. Teori radikal bebas melihat bahwa penuaan terjadi karena sel tubuh rusak lebih cepat dari yang seharusnya akibat diserang oleh radikal bebas yang berasal dari berbagai sumber. Misalnya sel kulit yang umurnya 28 hari menjadi 24 hari, sehingga jika digabung dengan asumsi teori genetika, maka seseorang yang seharusnya berumur 84 tahun, berkurang menjadi 72
Berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, stroke, gagal ginjal, dan kanker senantiasa menjadi persoalan yang sangat mencemaskan kalangan kelas menengah ke atas. Mereka sangat men cemaskan kecenderungan semakin mening 78
Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, GERAKAN ANTI PENUAAN: Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis
katnya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit degeneratif. Akan tetapi diskusi dalam upaya mengatasi penyakit degeneratif masih didominasi oleh perspektif kedokteran. Dominasi wacana kedokteran ini pada akhirnya juga mempengaruhi pada komunitas lanjut usia, yang sebagian besar memandang gerakan anti penuaan hanya direduksi sebagai masalah medis.
komprehensif, bukan secara parsial (Augros dan Stanciu, 1987). Kesatuan substansi tubuh manusia, memberikan keunikan manusia dari tingkat mikromolekuler hingga makromolekuler dengan kekhasan DNA-nya, hemoglobin, enzim, protein yang mampu menandai pemilik tubuhnya atau signature of its owner (Yen, 2009). Oleh karena itu, kerusakan salah satu organ tubuh manusia tidak semena-mena bisa diganti sebagaimana mengganti suku candang mesin yang tidak punya karakteristik.
Dalam menghadapi epidemi kanker misalnya, pengobatan medis lebih men dominasi dengan memberikan pilihan terapi seperti penyinaran, kemoterapi, dan pengangkatan jaringan yang terkena sel kanker. Prinsip yang dipakai adalah membasmi sel-sel ganas yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada sel yang sehat. Akibat terapi itu, maka sel sehat yang jumlahnya jauh lebih berlipat ganda itu dikorbankan oleh pengobatan yang membunuh sel ganas. Pendekatan medis menjadikan tubuh ibarat medan pertempuran. Sela kanker dalam jumlah kecil tetapi sangat agresif, menyerbu dan mengalahkan sel-sel sehat, dan pasien dibombardir dengan sinar-sinar dan obat beracun (Hartiningsih, 2010).
Dunia kesehatan atau tepatnya ilmu kedokteran saat ini tidak membedakan tubuh dengan badan manusia yang tam pak riil secara jasmaniah sehari-hari. Praktisi kesehatan dalam melihat tubuh manusia sebatas tubuh yang tampak dan terlokalisasi pada organ tertentu, terpisah dari tubuh manusia yang dihadapinya, yang mempunyai proses kebertubuhan yang unik dan personal (Yen, 2009). Sains modern sejak abad 17 yang melahirkan prinsip-prinsip mekanistik ternyata me mengaruhi pendekatan manusia ter hadap tubuhnya. Karena itu, ketika tubuh mengalami gangguan, pandangan mekanistik instrumentalis diterapkan ke dalam penatalaksanaan penanganan tubuh sehingga timbul istilah “diobati” dan rekonstruksi persepsi manusia terhadap tubuhnya (Hartiningsih, 2010).
Metode pengobatan kanker dari pers pektif budaya dapat dipandang sebagai perang kimia di dalam tubuh manusia: musuh adalah “others” (liyan) tak bernama yang harus dihancurkan. Tubuh menjadi sesuatu yang asing dari rasa kebertubuhan; suatu paradox yang memisahkan dua yang sesungguhnya satu (Hartiningsih, 2010).
Barbara Ehrenreich (2009), mengkritik bahwa pendekatan yang digunakan oleh kalangan medis dalam menyembuhkan penyakit degeneratif, terutama kanker, sangat bersifat reduksionis. Dalam pan dangan reduksionisme telah membuat manusia tercerai-berai dari keutuhannya sebagai the living being. Dengan mengutip dari pandangan Francois Jacob (1987), the living being tidak hanya mampu mem
Mengobati tubuh dengan memisah kannya dari rasa kebertubuhan, membuat tubuh dipandang tidak lebih dari kesatuan tatanan (unity of order), padahal mahkluk hidup sesungguhnya adalah kesatuan substansi (unity of substance) yang jika terkena penyakit perlu dilihat secara lebih 79
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
perbarui jaringannya, tetapi juga mampu mereparasi diri hingga tahap tertentu tanpa membutuhkan bantuan eksternal. Dengan kata lain, the living being, mempunyai sifat self healing, self preparing, dan self regenerating.
dan antropologi “kerja lapangan”, atau kombinasi etnografi sebagai praktek dan etnografi sebagai produk. Bahkan kombinasi antara metode kuantitatif dan kualitatif. Pilihan etnografi semacam itu sebenar nya sudah ditekankan oleh Malinowski dan hingga sekarang dipakai oleh kebanyakan studi antropologi sosial. Etnografi lebih dari sekadar metode atau metodologi, dan bahkan lebih dari sekadar observasi partisipatif itu sendiri. Istilah etnografi sekarang adalah dipakai mendiskripsikan baik etnografi sebagai praksis – kerja lapangan di mana observasi partisipan merupakan kegiatan utama yang dikombinasikan dengan inter view dan survei kuantitatif (seperti koleksi data geneologis dan demografis); maupun etnografi sebagai produk – teks tertulis atau monograf etnografik (Miller, 1997: 16).
Pendekatan reduksionis membuat orang lupa bahwa situasi internal di dalam diri dan kondisi eksternal (di luar tubuh) mem punyai hubungan ketersalingan. Kese hatan sel-sel di dalam tubuh bergantung pada kondisi keduanya. Ini mencakup konsumsi sehari-hari, relasi sosial, dan kondisi lingkungan sekitar. Sementara itu pendekatan reduksionis yang meng andalkan teknologi, di mana teknologi telah menghasilkan begitu banyak produk konsumsi yang tidak sehat karena rantai produksinya semakin jauh dari material asal yang dihasilkan alam. Gaya hidp sehat mengisyaratkan kesehatan menyeluruh; mencakup lingkungan alam yang sehat, lingkungan hidup yang sehat, makanan yang sehat, lingkungan sosial yang sehat (termasuk hubungan antarmanusia yang sehat), pikiran yang sehat dan kondisi jiwa yang sehat. Dengan begitu, pendekatan kesehatan dan pengobatan berbasis tekno logi kedokteran modern saja rasanya masih jauh dari cukup (Hartiningsih, 2010). C.
Teknik pengumpulan data dalam studi ini menggunakan teknik observasi partisipan, wawancara, dokuementasi, dan focus group disscussion (FGD). Da lam observasi partisipasi ini penulis ber usaha terlibat secara langsung dalam dinamika aktivitas komunitas antiaging. Pengamatan langsung di lokasi penelitian diperlukan untuk menentukan lokasi mana saja yang memiliki dinamika tinggi dalam mengkonstruksi identitas yang kemudian dijadikan sebagai daerah kerja lapangan. Pengamatan secara akurat diarahkan untuk mengamati obyek fisik dan non fisik. Obyek fisik meliputi daerah yang digunakan untuk wahana ekspresi identitas seperti perkumpulan anti penuaan, kegiatan organisasi, pasar, dan berbagai lokasi yang menjadi wahana pertemuan komunitas antiaging. Sedangkan obyek non-fisik adalah pengamatan yang diarahkan ke pada perilaku gerakan antiaging secara individual, kelompok dan perbincangan
Metode Penelitian
Dalam upaya mencari penjelasan dan jawaban atas pertanyaan utama dalam studi ini, maka penelitian ini mempunyai pilihan metode etnografi. Etnografi di sini tidak hanya dipahami sebagai model lama atau baru, melainkan etnografi yang lazim dipakai dalam penelitian antropologi sosial kontemporer yang mengkombinasikan an tara studi antropologi “di belakang meja”
80
Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, GERAKAN ANTI PENUAAN: Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis
tentang konstruksi identitas baru tentang lansia dan penuaan.
intensif dalam konstruksi identitas kaum usia lanjut. Informan kunci yang dianggap paling kompeten untuk memberikan infor masi secara mendalam tentang kons truksi identitas lansia yang telibat dalam gerakan anti penuaan meliputi, anggota perkumpulan anti penuaan, pengurus organisasi anti penuaan, para pebisnis yang bergerak dalam menyediakan produk untuk keperluan anti penuaan, dan bebe rapa pegawai birokrasi pemerintah di departemen terkait.
Menggunakan wawancara sebagai tek nik pengumpulan data merupakan kon sekuensi dari pilihan metodologi. Ketika seorang peneliti memilih metode pene litian kualitatif, maka wawancara yang biasanya dikombinasikan dengan obser vasi menjadi pilihan utama sebagai tek nik mengumpulkan data. Meskipun demi kian, teknik wawancara bukan monopoli metode penelitian kualtatif, dalam pene litian kuantitatif pun teknik ini juga bisa digunakan. Hanya saja, biasanya pertanya annya lebih bersifat terstrukur.
Di samping mengumpulkan data dengan teknik observasi langsung dan wawancara mendalam, perlu juga dilaku kan studi dokumentasi untuk melengkapi data dan informasi yang telah terkumul. Studi dokumentasi ini sekaligus dapat di pergunakan sebagai pembanding dan alat pengecekan ulang kebenaran hasil wawancara yang telah dilakukan dengan informan. Dengan cara pengumpulan data melalui lintas metode ini menurut Moleong diharapkan dapat menjamin kelengkapan dan kesahihan data.
Dengan teknik wawancara akan diper oleh data verbal dan non-verbal, tetapi dalam wawancara yang sering diutamakan adalah data verbal yang diperoleh melalui percakapan atau tanya jawab. Tetapi ucapan seorang responden/informan disertai oleh gerak-gerik tubuh, perubahan raut mu ka, intonasi bicara, gerak bibir, gerakan mata dan lain, semua itu adalah data nonverbal. Dalam aktivitas penelitian, data non-verbal perlu diperhatikan karena kaya akan konteks, sedangkan data verbal kaya informasi. Keduanya merupakan data yang diperlukan untuk memahami makna ucapan dalam wawancara. Dalam wawancara, data berupa persepsi responden/informan se perti pendapat, pengalaman, perasaan, pengetahuan, dan sikap. Karena itu tuju an utaman wawancara adalah untuk me ngetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain, bagaimana pan dangan tentang dunia, yaitu hal-hal yang tidak dapat kita ketahui melalui observasi.
Analisis data merupakan proses peng organisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data. Sedangkan interpretasi data diartikan sebagai pemberian arti yang signifikan terhadap analisis, penjelasan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Dalam penelitian kualitatif ini ana lisis akan dilakukan mulai dari proses pengumpulan data. Informasi data yang diperoleh dari awal kegiatan penelitian ini, yaitu mulai tahap observasi perndahuluan sampai wawancara, kemudian langsung di
Dalam studi ini, wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci yang dianggap mengetahui atau terlibat secara
81
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
organisir yaitu disusun dan dikelompokan berdasarkan jenis, kategori data, dan satuan uraian sesuai dengan keperluan dan prioritas penafsiran atau pembahasan hasil penelitian. D.
tua-renta, berkulit keriput, dan karena itu aktivitasnya harus dikurangi, dan kalau perlu berhenti (dalam bahasa Jawa: sudah harus leren atau ngaso). Ungkapanungkapan seperti “sudah tua, tidak perlu macam-macam” (neka-neka); “sudah tua kok tidak tahu diri” (ora nyebut); dan “sudah tua, tidak perlu banyak bertingkah berlagak muda” (kakehan polah), merupa kan konstruksi budaya yang dianut oleh kalangan konservatif.
Temuan Penelitian dan Analisis
Terdapat tiga temuan yang dipandang relevan dengan permasalahan yang diaju kan dalam studi ini, yaitu konstruksi identitas diri komunitas lansia; konstruksi identitas lansia oleh industri medis; dan relasi kuasa dalam gerakan anti penuaan.
Konstruksi lansia seperti itu dipengaruhi oleh lingkungan sosial budayanya melalui penanaman nilai di lembaga keluarga dan lembaga sosial yang ada. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat tertanam sedemikian rupa sehingga mempengaruhi pandangan warganya. Sudah sejak lama bahwa kalau sudah tua yang tidak perlu melakukan perawatan tubuh, karena akan dipandang oleh lingkungan sosial sebagai suatu tindakan yang tidak mene rima kenyataan. Bahkan mereka yang membangun identitas ketuaannya dengan tampil seperti orang muda, akan dipandang sebagai orang yang menolak takdir ketuaan nya.
1. Konstruksi Identitas Komunitas Lansia Pembentukan identitas seseorang baik sebagai individu maupun kelompok pada perinsipnya melalui dua proses relasi, yaitu relasi dengan orang lain dan dirinya sendiri. Dalam relasinya dengan orang lain itulah kemudian membuka peluang bahwa pembentukan identitas sangat dipengaruhi faktor eksternal. Berangkat dari asumsi itu, menyangkut pertanyaan bagaimana komunitas lansia mengkonstruksi diri berkait erat dengan faktor eksternal. Dalam studi ini menemukan bahwa terdapat dua konstruksi yang membentuk identitas lansia, yaitu perspektif tradisional dan perspektif modern.
Berbeda dengan komunitas lansia yang hidup di lingkungan sosial tradisional, maka di lingkungan masyarakat modern identitas lansia terus dibangun melalui berbagai upaya agar tetaptampil muda dan tetap produktif. Inilah yang kemudian diperkuat dengan masuknya nilai baruyang dibawa oleh gerakan antiaging. konstruksi lansia sebagaimana yang masih bertahan dalm masyarakat tradisional kemudian dilawan oleh gerakan antiaging melalui wacana baru yang bersumber pada konsep modernisasi kesehatan. Ilmu kedokteran modern dan cara pandang orang modern terhadap kesehatan itu sendiri berkaitan
Dalam komunitas lansia yang pandangan dunianya lebih dipengaruhi tradisionalisme, berpendapat bahwa orang lanjut usia me mang merupakan sesuatu yang alamiah. Namun demikian pandangan tradisional tentang wacana penuaan ternyata bukan hanya menyerahkan pada proses alamiah, tetapi juga terdapat konstruksi budaya. Usia lanjut dalam teks dan praktik budaya tradisional dikonstruksikan sebagai lemah,
82
Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, GERAKAN ANTI PENUAAN: Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis
dengan keyakinan modernitas itu sendiri. Modernitas menyimpan tiga keyakinan dasar, yaitu kemajuan, rasionalitas dan kebahagiaan. Masyarakat modern percaya pada gerak kemajuan yang membawa situasi lebih baik. Utopisme dengan rasionalitas sebagai penopang utama. Maka kepercayaan diletakkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat modern yakin bahwa ilmu pengetahuan dan kemajuan akan mengantar ke kebahagiaan. Oleh karena itu prinsip-prinsip yang dipakai oleh gerakan antiaging antara lain: “meskipun tua harus tampil muda”; “tua harus tetap aktif dan produktif”; “hidup baru mulai pada usia 60 tahun”; dan “tua renta harus dilawan”. Dalam proses inilah kaum gerakan antiaging sedang merumuskan identitas baru.
“kesehatan yang paripurna” membuat manusia modern lebih menyandarkan masalah kesehatannya pada teknologi canggih ilmu kedokteran modern. Diungkapan dalam kalimat yang berbeda adalah bahwa masalah anti penuaan dalam perpektif modernitas, harus dicari jawabannya melalui ilmu kedokteran. Berbagai penelitian dilakukan untuk mencari produk obat-obatan yang mampu mengatasi penuaan. Ketika kecenderungan ini berkelindan dengan kepentingan kapitalisme global, maka industri medis menjadi pasar potensial bagi kaum pendukung liberalisme eko nomi. Berbagai produk obat-obatan, kos metika, dan peralatan kesehatan khusus untuk anti penuaan terus mengalir memenuhi permintaan pasar. Orang pun menjadi semakin tergantung dengan cara pandangnya sendiri, bahwa anti penuaan bukan harus dibiarkan secara alamiah, akan tetapi dapat dilawan dengan usaha rasional manusia melalui ilmu kedokteran. Oleh karena itu kosepsi akan ketuaan pun mengalami perubahan dan direkonstruksi.
Untuk memenuhi wacana sebagai teks perlawanan budaya itu, maka juga gerakan antiaging melakukan praktek budaya baru yang merupakan manifestasi identitas baru sebagai penyandang usia lanjut. Dalam upaya menjaga identitas barunya itu, mereka menggunakan berbagai jasa ilmu kedokteran yang canggih, mengkonsumsi obat-obatan, suplemen, kosmetika, dan peralatan kesehatan baru, yang semua nya untuk menjalankan praktik budaya antiaging. Situasi seperti itu dimanfaatkan oleh kapitalisme kesehatan, dengan me nawarkan berbagai produk dan sekaligus dijadikan sebagai pasar potensial. Kehi dupan masyarakat kontemporer yang menghendaki segala sesuatu serba instan membuat orang juga menghendaki kondisi sehat yang instan. Situasi itu membuat produsen obat dan suplemen tidak sulit menjual produk-produk yang menjanjikan tubuh sehat. Jargon promosi yang men janjikan “kehidupan yang lebih baik” dan
2. Konstruksi identitas lansia oleh Industri medis Dalam masyarakat industri kapitalisme adalah moda produksinya yang memiliki kekuatan luar biasa dalam mengontrol kesadaran hingga tindakan manusia baik pada tataran individual maupun kelompok. Kapitalisme menjadi faktor menentukan dalam mengkonstruksi identitas orang, termasuk kelompok manusia Lansia, sehingga komunitas ini terus memperbaruhi identitasnya. Pada situasi ini konstruksi baru tentang konsepsi ketuaan itu lebih didominasi oleh kepentingan kapital. Pada akhirnya konsepsi baru tentang ketuaan
83
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
yang dikendalikan oleh kaum kapitalisme global itu, telah menciptakan pola konsumsi baru yang menguntungkan bagi ekonomi liberal.
tidak sulit menjual produk-produk yang menjanjikan tubuh sehat. Jargon promosi yang menjanjikan “kehidupan yang lebih baik” dan “kesehatan yang paripurna” membuat manusia modern lebih menyandarkan masalah kesehatannya pada teknologi canggih ilmu kedokteran modern.
Pada posisi seperti itu, gerakan antiaging terjebak pada ambiguitas modernitas itu sendiri. Berupaya melawan wacana tradisional tentang penuaan dengan ber sandar pada wacana modern, tetapi pada akhirnya gerakan ini masuk dalam perangkap modernitas, yang memposisikan mereka sebagai konsumen atas produk kesehatan modern dan jasa ilmu kodokteran modern. Gerakan ini pada akhirnya tidak mampu tampil secara otonom dengan bersandar pada prinsip kesehatan living of being. Pendekatan reduksionis membuat orang lupa bahwa situasi internal di dalam diri dan kondisi eksternal (di luar tubuh) mempunyai hubungan ketersalingan. Kese hatan sel-sel di dalam tubuh bergantung pada kondisi keduanya. Ini mencakup konsumsi sehari-hari, relasi sosial, dan kondisi lingkungan sekitar. Sementara itu pendekatan reduksionis yang meng andalkan teknologi, di mana teknologi telah menghasilkan begitu banyak produk konsumsi yang tidak sehat karena rantai produksinya semakin jauh dari material asal yang dihasilkan alam. Gaya hidup sehat mengisyaratkan kesehatan menyeluruh; mencakup lingkungan alam yang sehat, lingkungan hidup yang sehat, makanan yang sehat, lingkungan sosial yang sehat (termasuk hubungan antarmanusia yang sehat), pikiran yang sehat dan kondisi jiwa yang sehat.
Ilmu kedokteran modern dan cara pandang orang modern terhadap kesehatan itu sendiri berkaitan dengan keyakinan modernitas itu sendiri. Modernitas me nyimpan tiga keyakinan dasar, yaitu kemajuan, rasionalitas dan kebahagiaan. Masyarakat modern percaya pada gerak kemajuan yang membawa situasi lebih baik. Utopisme dengan rasionalitas sebagai penopang utama. Maka kepercayaan diletakkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat modern yakin bahwa ilmu pengetahuan dan kemajuan akan mengantar ke kebahagiaan (Haryatmoko, 2009). Oleh karena itu, masalah anti penuaan dalam perpektif modernitas, harus dicari jawabannya melalui ilmu kedokteran. Berbagai penelitian dilakukan untuk mencari produk obat-obatan yang mampu mengatasi penuaan. Ketika kecende rungan ini berkelindan dengan kepen tingan kapitalisme global, maka industri medis menjadi pasar potensial bagi kaum pendukung liberalisme ekonomi. Berbagai produk obat-obatan, kosmetika, dan peralatan kesehatan khusus untuk anti penuaan terus mengalir memenuhi permintaan pasar. Orang pun menjadi semakin tergantung dengan cara pandang nya sendiri, bahwa anti penuaan bukan harus dibiarkan secara alamiah, akan tetapi dapat dilawan dengan usaha rasional manusia melalui ilmu kedokteran. Oleh karena itu kosepsi akan ketuaan pun
Kehidupan masyarakat kontemporer yang menghendaki segala sesuatu serba instan membuat orang juga menghendaki kondisi sehat yang instan. Situasi itu membuat produsen obat dan suplemen 84
Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, GERAKAN ANTI PENUAAN: Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis
mengalami perubahan dan direkonstruksi. Hanya saja konstruksi baru tentang konsepsi ketuaan itu lebih didominasi oleh kepentingan kapital. Pada akhirnya konsepsi baru tentang ketuaan yang dikendalikan oleh kaum kapitalisme global itu, telah menciptakan pola konsumsi baru yang menguntungkan bagi ekonomi liberal.
mempunyai peran untuk menyembuhan. Kedua, social iatrogenic, yaitu kondisi masyarakat yang kecanduan perlakuakn medis dalam rangkan memecahkan pro blem kesehatannya. Ketiga, structural iatrogenic, yang meliputi destruksi otonomi pasien di hadapan rezim medis, atau meningkatknya kontrol dokter terhadap pasien yang disertai dengan menurunnya otonomi pasien terhadap dokter. Penyakit tipe pertama adalah urusan orang-orang medis, tetapi penyakit tipe kedua dan ketiga adalah urusan para ilmuwan sosial.
Berhimpit dengan perspektif modernis me, juga berpengaruh terhadap dunia kesehatan modern, yang melihat segala persoalan kesehatan dapat diselesaikan dengan rasionalitas instrumental. Sebagai ilustrasi misalnya adalah tentang konsep sehat dari perspektif medis. Definisi sehat yang menentukan bukan lagi pasien tetapi penguasa medis dengan cara melakukan berbagai proses pengujian-pengujian me dis (laboratorium, uji klinis, cek up dll). Ini merupakan legitimasi mereka untuk bertindak karena ketergantungan semakin meningkat, hubungan menjadi dominatif dan pasien menjadi tidak berdaya di hadapan penguasa medis. Dari perspektif kapitalis sebagai sistem, ketergantungan ini memang sebagai kondisi yang tidak dapat dielakkan dan secara sosiologis diciptakan supaya problema medical industrial complex mendapat saluran pemecahannya (Joe Eyer, 1984).
Pada tahap perkembangan lebih lan jut rezim medis ini tidak hanya me ngontrol orang sakit tetapi orang sehat pun dikontrolnya. Melalui pelembagaan ideologi medicalization of life seperti bagaimana hidup sehat (pengetahuan nutrisi, gizi, sanitasi) atau seperti yang sering diiklankan sebagai gaya hidup baru ketaatan masyarakat dituntut hidup sehat, maka semua orang harus mengikuti garis perintah medis. Implikasi politik secara makro adalah kehidupan sosial yang didominasi oleh lembaga biomedis dan menempatkan penguasa medis sebagai penguasa yang paling tinggi, bahkan kekuasaanya pun kadang-kadang melebihi penguasa politik. Penguasa medis atau rezim medis menciptakan suatu opini medis dalam masyarakat yang akhirnya menjebak masyarakat untuk tetap tergantung pada penguasa ini. Barangkali maksud dicipta kannya opini itu baik secara normatif tetapi dalam pengertian phronesis, yaitu agar masyarakat sehat secara biologis atau terhindar dari penyakit. Akan tetapi justru opini itu menjadikan masyarakat sakit karena semua orang panik ingin menjadi sehat. Setiap orang yang terlanda ideologi medikalisasi menjadi cenderung sakit, dan
Ilmu medis modern pada dasarnya hanya melihat apa yang terjadi dengan konsep sakit dikaitkan dengan morbidity dan mortality dan tidak melihat persoalan kesehatan secara luas. Illich melihat bahwa kehidupan modern telah dikontrol oleh rezim medis sehingga justru dari lembaga itulah wabah penyakit muncul. Dalam konteks ini Illich membentuk 3 kategori penyakit. Pertama, clinical iatrogenic yaitu penyakit biologis yang harus dibuktikan secara klinis dan dalam hal ini dokter 85
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
ini menjadi wabah baru dalam masyarakat kapitalis meskipun yang sakit serius adalah orang yang memiliki kondisi lebih buruk.
melakukan kampanye untuk mencegah penyakit atau merupakan juga “antisipasi perawatan kesehatan”, dengan demikian penemuan teknik baru justru menciptakan jenis ketergantungan baru antara proto patient dan rezim medis. Kesulitan akan timbul untuk meyakinkan bahwa proto pateint tersebut secara potensial sakit karena mereka biasanya tanpa keluhankeluhan tertentu. Dokter akan meyakinkan dengan berbagai legitimasi medisnya bahwa mereka sakit dan juga memerlukan perawatan. Saat itulah proto patient tidak punya pilihan lain lagi kecuali harus tunduk dan taat pada segala advice atau perintah yang diberikan oleh dokter.
Kebiasaan hidup yang higienis merupa kan gaya hidup yang dikonstruksikan oleh penguasa medis. Sebagai contoh hidup secara “bersih” dan “kotor” merupakan garis demarkasi antara apa yang disebut “sehat” dan “tidak sehat”. Kebiasaan ma kan juga mendasarkan diri pada advice dokter, misalnya bagaimana mengatur menu yang sehat. Bagi orang yang tidak ingin gemuk atau orang yang sudah gemuk melakukan diet juga berdasarkan berbagai pertimbangan medis atau dinamakan rasio nalisasi medis. Pendek kata dari urusan berat badan, kebugaran, jasmani, nutrisi, gizi hingga cara hidup yang sehat seharihari diperlukan rekomendasi dari dokter atau penguasa medis. Medikalisasi ini merupakan proses yang dilembagakan atau dibudayakan melalui berbagai cara, yang akibatnya seperti thesis di atas, kita (baik sakit maupun sehat) hidup dibawah kontrol penguasa medis.
Berdasarkan uraian di atas, dalam profesionalisasi masyarakat modern pada umumnya, terselip di belakangnya suatu ideologi dominasi. Mendominasi penge tahuan berarti mendominasi sumber legiti masi kekuasaan dan mendominasi sumber legitimasi kekuasaan berarti memiliki kekuasaan itu sendiri. De Swaan menyebut sebagai memiliki power surplus. Hal ini seperti yang terjadi dalam dunia kedokteran, yaitu ada monopoli pengetahuan yang disahkan secara formal, dan yang berhak melakukan terapi medis hanya orang yang memiliki ijazah kedokteran. Kalau memiliki power surplus maka memiliki kekuasaan untuk mendominasi orang lain. Bahkan kadang-kadang dalam situasi tertentu dokter bisa menentukan apakah orang sakit parah itu sebaiknya dimatikan atau tidak. Otoritas yang tinggi itu membuat totalitas kekuasaan ada di pihak penguasa medis atau balance of dependency ber ubah menjadi total dependency. Dalam dunia kedokteran atau penguasa medis sendiri ada hierarki kekuasaan, ideologi dan worldview. Pendek kata salah satu
Dengan digunakannya teknologi tinggi dalam dunia medis maka secara sosio logis penguasa medis semakin mem punyai legitimasi untuk menentukan lebih dini apakah seseorang sakit atau tidak. Alat modern itu gunannya untuk memonitor lebih dini datangnya penyakit. Maksudnya jelas baik secara moral, yaitu untuk menghindarkan supaya seseorang tidak terlanjur jatuh sakit. Namun aspek sosiologisnya adalah justru kekuasaan penguasa medis semakin dominan. Bah kan muncul pasien baru yang disebut proto patients, yaitu pasien yang belum sakit benar tetapi potensial untuk sakit. Argumen yang selalu didengungkan oleh penguasa medis adalah bahwa kami sedang 86
Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, GERAKAN ANTI PENUAAN: Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis
indikasi meningkatnya ekspansi penguasa medis dalam masyarakat adalah bahwa baik pasien riil maupun pasien potensial semakin tergantung terhadap rezim ini.
melalui proses pendidikan atau pengalaman selama berpraktik mengobati si pasien. Ketika dokter dan pasien berada dalam satu jalinan komunikasi, maka yang ter jadi adalah relasi kuasa di mana dokter berposisi sebagai pihak yang dominan, dan pasien berada dalam posisi sub-ordinan. Pasien yang tidak lain adalah juga warga masyarakat, maka berada dalam posisi yang dikendalikan secara penuh oleh dokter ketika sedang dihadapkan pada pro blem kesehatan. Oleh karena itu pasien akan tunduk secara total terhadap apa saja yang dikehendaki oleh dokter. Pasien akan menggunakan obat atau anjuran diet, atau yang lainnya sesuai dengan petunjuk dokter yang pada prinsipnya adalah sebuah rezim. Dalam rezim medis, dokter adalah penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak untuk mengontrol perilaku pasien, sehingga dokter memiliki semacam mantra dan sabda yang bermuatan menundukan si pasien ketika akan bertindak mengatasi problem kesehatannya. Dengan kata lain, oleh karena mantra dokter adalah sangat kuat dan bermuatan kontrol tinggi, maka dokter lengkap dengan pengetahuan adalah sebuah rezim yang memiliki kontrol kuat terhadap tindakan warga masyarakat dalam urusan kesehatan.
3. Relasi Kuasa Politik Anti Penuaan Pada prinsipnya baik dokter maupun IDI adalah institusi yang telah memiliki legitimasi bagi rujukan masyarakat modern untuk memecahkan problem kesehatan dalam rangka mengurangi kecemasan. Situasi ini yang kemudian menyebabkan dokter dan IDI memiliki posisi menen tukan di hadapan para pasien dan warga masyarakat pada umumnya, ketika ber kaitan dengan upaya penyelesaian problem kesehatan. Bahkan dalam masyarakat modern, dokter adalah pemilik otoritas tunggal dalam menentukan boleh tidaknya menggunakan obat atau suplemen. Posisi pasien berada dalam pihak yang kurang berdaya ketika berelasi dengan dokter, sehingga apa saja yang dikatakan otau yang dianjurkan oleh dokter hampir dapat dipastikan akan dilaksanakan oleh pasien, yang tidak lain adalah anggota warga masyarakat. Berkembang dalam masyarakat bahwa jika ingin sembut dan keluar dari problem kesehatannya, maka taatilah anjuran dokter. Semakin taat pasien pada anjuran atau petunjuk dokter, maka semakin tinggi tingkat kesembuhan penyakit yang disandang oleh pasien. Ibarat sebuah mantra, maka apa saja yang dianjurkan oleh dokter akan senantiasa dituruti oleh pasien. Sektritis apa pun seseorang dalam bidang tertentu, akan tetapi akan tunduk tak berdaya manakala berurusan dengan dokter yang sedang mengobati penyakit yang disandangnya. Dari mana sumber legitimasi dokter tersebut, antara lain adalah dari pengetahuan yang diperolehnya
Dalam posisinya yang seperti itulah dokter sekaligus renta terhadap komo difikasi, terutama jika berkaitan dengan industri rumah sakit dan industri farmasi. Inilah sebabnya mengapa industri farmasi terus berusaha mendekati dokter sebagai sumber legitimasi medis yang sangat pen ting bagi perluasan pasar. Rekomendasi dokter atas berbagai produk atau jenis obat farmasi, akan memiliki kekuatan luar biasa mempengaruhi warga masyarakat yang menjadi pasar industri produk farmasi. Jika 87
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
E.
sebuah obat mendapat rekomendasi dokter, maka akan mendapat kepercayaan pasien sebagai sebuah solusi untuk mengobati penyakitnya.
Kesimpulan
Memperhatikan informasi yang diper oleh melalui serangkaian data di lapangan dan juga analisis atas fakta empiriknya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: pertama, konstruksi identitas komunitas Lansia mengikuti perkembangan lingkung an sosial yang membentuk identitasnya. Dalam lingkungan sosial yang masih didominasi oleh perspektif tradisional terhadap kesehatan, konstruksi identitas Lansia masih tetap memandang anti penuaan menjadi bagian dari proses alamiah, bahwa manusia memang pada akhirnya harus menerima kenyataan kondisi ketuaannya yang lemah, sakitsakitan, dan penampilan tidak menarik. Sedangkan lingkungan sosial modern, memandang anti penuaan adalah bagian dari usaha untuk menikmati kehidupan di dunia sehingga hari tua tetap harus dilihat secara sekuleristik. Oleh karena itu hidup di masa tua harus dinikmati dengan konstruksi baru, yaitu meskipun tua harus tetap sehat, tidak sakit-sakitan, dan tetap produktif dan sehat hingga tiba-tiba mati. Jadi pandangan baik yang menyerahkan pada proses alamiah maupun pandangan yang modern adalah konstruksi sosial yang bersumber dari nilai-nilai tradisional yang tersosialisasi melalui institusi sosial.
Akan tetapi posisi pasien tetaplah bukan pihak yang menentukan, atau tidak otonom terhadap pilihan sebuah obat. Otoritas itu ada di tangan dokter, sehingga pasien hanya bersikap pasif, hanya menuruti kehendak dokter. Jadi ketika dokter telah menentukan pilihan terhadap produk atau jenis obat tertentu untuk mengobati penyakit si pasien, maka tidak ada kekuatan sedikit pun bagi si pasien untuk menolaknya. Pasien harus menuruti pilihan dokter yang telah dianggap memiliki sumber otoritas, yaitu pengetahuan medis. Ketika industri farmasi telah mendapatkan rekomentasi dokter atas produk yang ditawarkannya, maka besar kemungkinan produk tersebut akan laku di pasaran. Oleh karena itu, dapatlah dimengerti mengapa di setiap tempat di mana di situ dokter berpraktik, maka di situ pula akan banyak dijumpai para detailman, atau orang yang menawarkan produk sebuah perusahaan obat. Industri farmasi memang tidak mungkin akan mengabaikan dokter dalam upaya memperluas pasar atas produknya. Jalinan kerjasama ini, dengan mudah akan berubah menjadi jalinan bisnis dengan basis kekuasaan dokter sebagai pemegang otoritas pemilih obat atau produk farmasi yang akan mengontrol pasien. Tentu saja hubungan transaksional antara profesi kedokteran dengan jaringan industri far masi tidak mudah dilacak, akan tetapi nuansa bisnis obat dan suplemen sering kali sangat terasa jika memperhatikan suasa yang tercipta di ruang tunggu pasien.
Kedua, komunitas Lansia mengalami di mana ketika mengkonstruksi identitasnya ditentukan oleh industri medis yang bergerak di bidang antiaging. Ini merupa kan konsekuensi logis dari semakin men dominasinya perspektif modern dalam melihat masalah kesehatan, termasuk kesehatan di usia lanjut. Konstruksi iden titas Lansia oleh kekuatan kapital ini melalui produksi wacana secara terus menerus dengan menekankan pentingnya 88
Mahesa Mandiraatmadja, Heru Nugroho dan Irwan Abdullah, GERAKAN ANTI PENUAAN: Politik Identitas Usia Lanjut dalam Konstruksi Industri Medis
gerakan antiaging. Konstruksi industri medis ini tidak absen dari kepentingan ekonomi, dalam arti kesehatan di komunitas Lansia adalah potensi pasar. Dengan mengkonstruk identitas Lansia seperti itu membuat produsen obat dan suplemen tidak sulit menjual produk-produk yang menjanjikan tubuh sehat. Jargon promosi yang menjanjikan “kehidupan yang lebih baik” dan “kesehatan yang paripurna” membuat manusia modern lebih menyan darkan masalah kesehatannya pada tekno logi canggih ilmu kedokteran modern. Jadi dilihat dari sudut pandang industri medis, manusia sebagai sebuah gejala budaya adalah pasar sepanjang masa.
diletakkan dalam konteks yang lebih luas. Masalah kesehatan tidak harus dipecahkan dengan satu pendekatan medis, tetapi perlu dilihat dari berbagai perspektif. Sehat dalam kaitan ini adalah sehat berdasarkan pengertian positif (biologis dan nonbiologis) yaitu dengan terwujudnya ke samaan otonomi, adanya pemberdayaan masyarakat, menurunnya tingkat ketidak berdayaan (depowering) masyarakat ter hadap lembaga medis, dan sehat dalam pengertian lingkungan. Menjadi sehat tidak hanya untuk lapisan yang sehat dalam pengertian ekonomi, tetapi sehat untuk semuanya tanpa kecuali. Ini merupakan sebuah wacana alternatif yang terus me lakukan perimbangan dan bahkan resistensi terhadap dominasi wacana anti penuaan yang pro kapital.
Ketiga penyebaran wacana sehat dan perlunya gerakan anti penuaan oleh industri medis itu kemudian masuk dalam relasi kuasa, di mana komunitas Lansia tetap dalam posisi yang didominasi oleh rezim medis. Mengikuti konsep relasi kuasa dari Michel Foucaut, bahwa kekuasaan bersumber pada pengetahuan. ada hubungan timbal balik yang saling membentuk antara kekuasaan dan pengetahuan sehingga pengetauan menjadi tak dapat dipisahkan dari rezim kekuasaan. Dalam konteks ini rezim medis terus memproduksi wacana sebagai sebuah pengetahuan yang mendominasi kesadaran komunitas Lansia. Melalui pengetahuan ilmu kedokteran, dokter anti penuaan terus berusaha menundukan pasien Lansia. Relasi kuasa ini tetap mapan dan sengaja dimapankan oleh rezim medis karena demi kepentingan ekonomi.
F. Daftar Pustaka Albercht, Gary L; Seelman, Katherine D; dan Bury, Michael,. 2001. Handbook of Disability Studies, Sage Publications. Atkinson, Paul, 2001, Handbook of Ethnography, London. Thousand Oaks. New Delhi: Sage Publications. Aunger, Robert, 1995, Isu Utama: Otoritas Etnografi dan Penjelasan Kultural, Current Anthoropology (CA) Volume 16, Nomor 1, Februari. Barker, Chris, Cultural Studies: Theory and Metode, Hall, Stuart (ed). 1992, The Question of Cultural Identity. London : Sage Publications. Brackette William,. 1995. Etnography Outhority and Cultural Expla nations, Current Anthoropology (CA) Volume 16, Nomor 1, Februari. Conrad Peter dan Rochelle Kern, 1986, The
Merespons atas dominasi wacana anti penuaan yang dikontrol oleh ideologi ekonomi politik seperti itu, maka dalam komunitas dokter sendiri juga muncul gerakan antiaging berwacana kritis yang berasumsi bahwa masalah kesehatan harus 89
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
Sociology of Health and Illness, Critical Perspective, second edition, New York: St. Martin’s Press. Fung, Anthony, 2002. Identity politics, resistance and new media techno logies: A Foucauldian approach to the study of the HKnet, New Media Society 2002; 4; 185 Haryatmoko. 2009. Petaka Hiper modernisme, Majalah Basis. Nomor 05-06, tahun ke -58, Mei-Juni. Jorgensen, Marianne W., dan Louise J. Phillips, 2007, Analisis Wacana: Teori dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maleong, Je. Lexy, 1991, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda karya. Piñero, Verónica B. 2006. Panopticism vis-à- vis criminal records: some socio-legal implications, Centre de Recherche sur la Citoyenneté et les Minorités, University of Ottawa. Price, E. Janet. 2007. Engaging Disability, Feminist Theory;8;77. Quibell, Ruth. 2004. Unmaking The Others ? ; Discourses of Intellectual Disability in Contemporary Society, Department Of Sociology, Faculty of Life and Social Sciences, Swinburne University of Technology Hawthorn Australia. Sharon Macdonald. 2001. British Social Antropology, dalam Handbook of Ethography, (edt.) Paul Atkinson dkk, London. Thousand Oaks. New Delhi: Sage Publications. Supartini, 2009, Dominasi Narasi Medis terhadap Penyandang Cacat di Indonesia, Jurnal Dialog Publik: Badan Informasi Publik Depkominfo Edisi No. 7/Oktober/
Tahun III/2009. Wood, David (Editorial).1997. Foucault and Panopticism Revisited, Surveillance & Society 1(3): 234-239.
90
IBADAH KELAS ALA REALITY SHOW DI TELEVISI Ratna Noviani
ABSTRAK “ Reality show merupakan jenis tayangan televisi yang semakin diminati, dan bahkan mampu menempati posisi prime time di Indonesia. Kemiskinan dan kehidupan kaum miskin merupakan salah satu tema yang cukup populer yang diangkat dalam tayangan realitas ditelevisi.Tulisan ini membahas fenomena tayang anrealitas di Indonesia, khususnya bagaimana program tayangan realitas mengkonstruksi ibadah keagamaan dan distingsi kelas. Empat tayangan realitas yang disiarkan pada momen bulan suci Ramadan 1432 H yaitu Bukan Puasa Biasa(TransTV), Orang Pinggiran (Trans7), Jika Aku MenjadiRamadan (Trans TV), dan Big Brother Indonesia (Trans TV) menjadi focus kajian dalam tulisan ini. Kajian mendalam terhadap ke empat tayangan realitas tersebut menunjukkan bahwa ada proseses tetikasi dan obyektifikasi realitas kemiskinan guna mendefinisikan dan menggarisbawahi ibadah kelas.Tayangan realitas tentang kelas bawah cenderung menampilkan banalitas pesan tentang kemiskinan.Realitas hidup dan ibadah agama kelas bawah hanya menjadi project bagi kelas diatasnya untuk memperbaiki kualitas spiritual keagamaannya dan untuk membangun citra positif tentang sikaya.Persoalan kemiskinan, pada akhirnya, hanya dianggap sebagai problem individual yang bisa dilalui atau diatasi dengan religiu sitas dan ketekunan ibadah individual.” Kata kunci: Reality Show, Televisi, Ibadah, Kelas ABSTRACT “ Reality shows have become increasingly popular and aired on prime-time in Indonesian televisions. Themes such as poverty and the life of lower class have gained more attention from the shows. This study examines the way in which Indonesian reality TV shows construct religious piety and class distinction. The study corpuses are four reality TV shows which aired during Ramadan 1432 H, namely, Bukan Puasa Biasa (TransTV), Orang Pinggiran (Trans7), Jika Aku Menjadi-Ramadan (Trans TV), and Big Brother Indonesia (Trans TV). The close examination to those corpuses reveals that there is a dichotomy betweenupper class and lower class religious piety. In this sense, poverty and life of the lower class have been aestheticized and objectified to define classed-religious piety. The life of the lower class becomes a merely spectacle for the upper class, both within and outside the TV-screen. Such reality TV shows also tend to represent the simplification and banality of poverty by underscoring that poverty is an individual problem rather than structural.In this regard, individual religious piety is considered as the best solution for poverty. “ Keyword: Reality Show, Television, Piety, Class 91
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
A.
Pendahuluan
“R
lapisan masyarakat, baik lapisan sosial maupun ekonomi. Meskipun demikian, riset Nielsen menengarai bahwa tayangan realitas ternyata paling digemari oleh kelompok masyarakat yang tinggal di daerah urban (dalam Onishi, 2009). Dari riset Nielsen ini juga diketahui bahwa pada akhir tahun 2008 tayangan realitas sudah disiarkan oleh 11 stasiun televisi swasta nasional dan 10 televisi lokal di Indonesia. Sementara, masing-masing stasiun televisi bisa saja menayangkan lebih dari satu program tayangan realitas. Menurut Penelope Coutas (2008: 111), sampai tahun 2008 ada lebih dari 50 tayangan realitas yang diproduksi secara lokal dan disiarkan di stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia. Jumlah ini meningkat cukup signifikan pada tahun 2009, di mana jumlah tayangan realitas di televisi Indonesia sampai dengan bulan Mei 2009 sudah mencapai 79 program (Onishi, 2009).
eality TV was replacing shows on prime time, and it allowed pretty much anyone who had the desire to be on TV to do so.” (Jack Benza, 2005). Dalam bukunya So You Wanna Be on Reality TV, Benza memaparkan betapa popularitas program realitas di televisi telah menggeser program-program lain yang awalnya menempati posisi manis pada prime-time. Program realitas di televisi juga telah membuka pintu bagi siapa saja untuk bisa tampil di layar kaca. Menjadi “bintang” di layar kaca tidak lagi menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan karena reality show memfasilitasi terwujudnya impian dan hasrat untuk menjadi ‘terkenal’ via televisi. Tayangan realitas atau biasa dikenal dengan reality show memang merupakan jenis tayangan yang semakin diminati oleh industri pertelevisian, termasuk di Indonesia. Hal ini terbukti dari maraknya tayangan-tayangan yang menghadirkan penggalan realitas atau potongan kejadian nyata yang terjadi dalam kehidupan seharihari di layar televisi. Varian program dari tayangan realitas ini pun beragam, mulai dari tayangan yang disebut talent contest seperti Indonesian Idol (RCTI), Pildacil (ANTV), dan Indonesia Mencari Bakat (TransTV); atau life diary semacam Big Brother Indonesia (TransTV) dan Penghuni Terakhir (ANTV); atau tayangan-tayangan realitas yang merekam pengalaman-peng alaman sosial seperti Jika Aku Menjadi (TransTV), Orang Pinggiran (Trans7) dan Tukar Nasib (SCTV).
Meskipun tayangan-tayangan realitas itu diproduksi secara lokal, namun jika dilihat dari substansinya sebagian besar dari tayangan realitas itu terinspirasi atau merupakan adaptasi dari format tayangan realitas yang disiarkan di luar negeri. Tayangan realitas berupa talent contest seperti Indonesian Idol misalnya, merupakan versi Indonesia dari tayangan realitas Pop Idol yang sudah ditayangkan di British. Dalam perkembangannya, semakin banyak tayangan realitas yang bisa dinikmati di stasiun televisi swasta di Indonesia yang meniru atau merupakan franchise dari tayangan realitas yang lebih dulu populer di negara lain, seperti misalnya Big Brother Indonesia atau Masterclass Indonesia.
Riset AGB Nielsen pada tahun 2008 menunjukkan bahwa tayangan-tayangan realitas seperti itu disukai oleh seluruh
Popularitas dari tayangan realitas juga
92
Ratna Noviani, IBADAH KELAS ALA REALITY SHOW DI TELEVISI
misalnya Bukan Puasa Biasa (TransTV) atau SM*SH Ngabuburit1 (SCTV).Selain itu, ada juga tayangan realitas yang sudah ditayangkan sebelum Ramadan tiba, namun penayangan acara itu memang dikaitkan dengan datangnya Ramadan, seperti misalnya Rumah Pildacil (ANTV).
tampak nyata pada momen bulan puasa. Ketika bulan Ramadan tiba, televisi-televisi di Indonesia ikut melakukan ‘ritual’ dengan cara memproduksi dan menayangkan berbagai program untuk menyambut bulan suci umat Islam ini. Tayangan realitas bertema Ramadan menjadi salah satu program yang cukup diunggulkan oleh beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia.Menurut AGB Nielsen dalam Newsletter bulan Agustus 2010, program reality show merupakan salah satu program acara yang banyak diminati oleh penonton selama bulan puasa.Program tayangan realitas yang disiarkan pada saat berbuka puasa seperti Termehek-mehek atau Jika Aku Menjadi misalnya, mampu menarik perhatian sekitar 2,6 juta penonton.
Dalam tayangan realitas yang muncul pada bulan Ramadan, ada kecende rungan untuk menjadikan ibadah yang dianjurkan selama bulan Ramadan sebagai tema besarnya.Hal ini bisa dilihat terutama dalam tayangan realitas yang mengangkat tema tentang kehidupan kaum miskin dan marjinal. Bagaimana kaum miskin dan marjinal itu menjalani hidup yang sulit dengan keterbatasan kapital ekonomi maupun kapital budaya ditambah lagi dengan kewajiban berpuasa di bulan Ramadan merupakan aspek yang diangkat dan dieksplorasi melalui tayangan realitas itu. Dalam hal ini, ada relasi antara persoalan kelas dan persoalan spiritualitas keagamaan yang direpresentasikan di dalam tayangan realitas tersebut.
Pada bulan Ramadan 2011, kecen derungan stasiun telvisi swasta untuk mengunggulkan tayangan realitas bertema Ramadan juga masih terlihat jelas. Dari pengamatan yang dilakukan oleh penulis sampai dengan tiga hari pertama puasa, ada 10 tayangan realitas yang ditayangkan setiap hari di enam stasiun televisi swasta yaitu di SCTV, RCTI, TransTV, Trans7, MNC TV dan ANTV. Dari10 tayangan realitas itu, empat di antaranya ditayangkan oleh TransTV.Secara umum, tayangan realitas yang ditayangkan selama bulan puasa merupakan tayangan reguler yang sudah ada dan disiarkan sebelum puasa tiba. Khusus di bulan puasa, judul dari beberapa tayangan itu diberi tambahan label “Ramadan”, seperti misalnya Jika Aku Menjadi-“Ramadan” atau Cinta dan Uya Sama-Sama Kuya “Spesial Ramadan” (SCTV). Namun, ada juga tayangan realitas yang khusus diproduksi untuk menyambut Ramadan seperti
Tulisan ini lebih menitikberatkan pada fenomena tayangan realitas di Indonesia, khususnya bagaimana program tayangan realitas mengkonstruksi relasi antara kelas dengan kualitas spiritual keagamaan. Untuk itu, tulisan ini mengkaji empat program tayangan realitas yang disiarkan di televisi swasta pada momen bulan suci Ramadan 1432 H. Tayangan realitas yang dipilih 1
93
Istilah “ngabuburit” merujuk pada aktivitas khusus yang hanya dilakukan pada saat bulan Ramadan. Istilah ini berasal dari bahasa Sunda burit yang artinya waktu sore menjelang malam. Jadi, kata “ngabuburit” diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan di sore hari dengan tujuan menunggu buka puasa atau azan Magrib. Untuk informasi lebih lanjut tentang “ngabuburit” lihat Ajaibnya Puasa (Fasting is Amz) (Yunus R.,tt)
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
adalah tayangan realitas yang menunjukkan kecenderungan untuk berbicara tentang persoalan kelas dan ibadah kelas dalam setiap tayangannya. Keempat program tayangan realitas itu adalah Bukan Puasa Biasa (TransTV), Orang Pinggiran (Trans7), Jika Aku Menjadi-Ramadan (Trans TV), dan Big Brother Indonesia (Trans TV).
Dengan cara seperti itu, sebetulnya pro dusen acara berharap agar penonton memiliki kedekatan dengan para partisipan sehingga penonton pada akhirnya bisa ikut ‘terlibat’ di dalam observasi [melalui kamera] itu. Pada perkembangannya, genre tayangan realitas tidak hanya ditemukan dalam dunia film tetapi juga menjadi bagian dari sejarah pertelevisian. Annette Hill (2005: 451) mencatat bahwa program realitas mulai disukai massa dan menempati ruangruang media televisi pada saat prime-time terutama pada dekade 1990-an. Di British, program realitas seperti docu-soap atau reality-soap bahkan dikatakan sebagai “motor of prime-time” pada pertengahan tahun 1990-an. Ada sekitar 65 program docu-soap yang ditayangkan di saluransaluran utama televisi British dan ditonton oleh sekitar 12 juta penonton. Popularitas genre ini tidak hanya terjadi di negaranegara Barat seperti British dan Amerika, tetapi juga berkembang sampai ke negaranegara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
B. Pembahasan 1. Tayangan Realitas: Definisi dan Sejarah Pengertian dari istilah reality television yang merujuk pada program tayangan realitas di televisi hingga saat ini masih dalam perdebatan.Munculnya tayangan realitas di televisi sebetulnya berasal dari dunia sinema atau film; dan tayangan realitas ini merupakan sub-genre dari film dokumenter (Kolker, 2009: 189). Istilah tayangan realitas atau reality show itu sendiri sebetulnya berasal dari bahasa Perancis cinema vérité, yang berkembang pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Cinema vérité merujuk pada penciptaan ilusi yang dihasilkan dari kerja kamera yang mendokumentasikan serangkaian peristiwa yang sedang terjadi tanpa ada interupsi dari si pembuat film. Di dalam cinema vérité ini juga tidak ada suara narator. Naratifnya berkembang secara spontan dan tergantung pada karakter-karakter atau partisipan yang sedang diobservasi [oleh kamera]. Dengan kata lain, tayangan realitas merupakan penciptaan ilusi melalui observasi yang tidak dimediasikan. Kadangkadang memang ada pembawa acara atau host, tetapi fungsi host di sini hanya memperkenalkan peristiwa dan kadangkadang berbicara dengan para partisipan.
Ada ciri khas yang dimiliki oleh gen re tayangan realitas yaitu bahwa pro gram tayangan realitas biasanya tidak menggunakan skenario, bintang atau karak ter yang bermain dalam program itu adalah the real people dengan keseharian mereka masing-masing. Seperti yang disampaikan oleh Hill (2005: 41) “There are a variety of styles and techniques associated with reality TV, such as non-professional actors, unscripted dialogue, surveillance footage, hand-held cameras, seeing events unfold as they are happening in front of the camera.” Sementara itu, Richard Kilborn (1994) mengemukakan bahwa tayangan realitas di televisibisa diartikan sebagai upaya 94
Ratna Noviani, IBADAH KELAS ALA REALITY SHOW DI TELEVISI
Brother mulai digemari oleh stasiun televisi dan menjadi bestseller (Hill, 2005: 452).
untuk melakukan simulasi atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan riil melalui berbagai bentuk rekonstruksi dramatis, atau inkorporasi peristiwa riil yang diedit sedemikian rupa ke dalam bentuk program televisi yang atraktif (dalam Holmes & Jermyn, 2004: 2).
Program tayangan realitas juga mem peroleh sorotan karena sifat ‘realitas’ yang dimunculkannya. Meskipun awalnya genre ini berasal dari film dokumenter yang notabene lebih banyak merepresentasikan the real, namun dalam perkembangannya banyak yang mengatakan bahwa ‘realitas’ dalam program tayangan realitas hanya artifisial saja. Hartley (2002: 97) misalnya, menggarisbawahi bahwa realitas yang disajikan dalam tayangan realitas sebetul nya merupakan produk dari nilai-nilai produksi. Sedangkan Kronig (2000: 47) lebih mengarahkan kritiknya pada aspek sensasionalisasi emosi yang ingin dimunculkan oleh tayangan realitas. Ia mengatakan bahwa tayangan realitas di televisi merupakan “a triumph of emotional sensationalism over serious issues from politics to science”.
Jadi, bisa dikatakan bahwa disain awal dari program tayangan realitas ada lah menyajikan penggalan realitas dalam kehidupan sehari-hari kepada para penon ton. Namun, menurut Corner (2001), dalam perkembangannya tayangan reali tas mengalami variasi dan modifikasi. Ia mengatakan bahwa trajectory dari tayangan realitas di negara-negara Barat, seperti British atau Amerika, mengalami ekspansi format yang luar biasa karena adanya kombinasi kepentingan ekonomi dan perubahan praktik budaya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari pergeseran yang terjadi misalnya dari sisi partisipan atau karakter yang terlibat di hadapan kamera, yang awalnya fokus pada orang biasa atau ordinary people menjadi orang-orang terkenal seperti kalangan selebritas atau figur publik. Hal yang sama juga diidentifikasi oleh Hartley (2002: 97), yang menyebutkan bahwa program tayangan realitas yang muncul di awal perkembangannya yaitu pada tahun 1990an lebih banyak berupa tayangan realitas kriminal, namun kemudian bergeser men jadi docu-soap atau reality-soap yang merupakan perpaduan antara dokumentasi dan soap opera. Format ini cenderung lebih mengedepankan aspek hiburan daripada aspek sosialnya, dan melalui format ini orang-orang biasa yang menjadi partisipan akhirnya bisa menjadi bintang atau selebritas. Pada tahun 2000, format reality game show seperti Survivor atau Big
Cara tayangan realitas untuk melibat kan dan mengaduk-aduk emosi memang banyak dijadikan sorotan. Air mata, pen deritaan, ekspresi kekecewaan, kesedihan, kegembiraan sebagai elemen-elemen reali tas yang dimunculkan dalam tayangan itu difungsikan sedemikan rupa untuk memunculkan sensasi emosi pada diri penonton. Elemen-elemen ini oleh Roscoe (dalam Hartley, 2002: 97) disebut sebagai “flickers of authenticity”, yang seolah me nunjukkan pengalaman-pengalaman oten tik partisipan atas sebuah peristiwa hidup yang mereka alami kepada para penon tonnya. Annette Hill (2005: 452) menyoroti sifat voyeuristic yang dimunculkan oleh tayangan realitas di televisi, di mana realitas yang dikemas untuk membidik emosi
95
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
penonton pada akhirnya bisa memunculkan semacam pleasure atau kesenangan dan juga hiburan ketika penonton melihat tayangan tersebut. Akibatnya, perbedaan antara yang fakta dan yang fiktif menjadi kabur; dan penonton pun cenderung untuk tidak terlalu peduli dengan terpilin-pilinnya fakta dan fiksi tersebut.
lain yang juga bekerja dalam proses pendefinisian kelas, yaitu kapital budaya (seperti pendidikan, keterampilan, apresiasi seni, leisure), kapital sosial (relasi dengan orang lain, network) dan kapital simbolik (reputasi, status). Keempat kapital itu saling berhubungan satu sama lain. Kepemilikan sebuah kapital bisa mendukung pencapaian kapital yang lain, yang sekaligus bisa me nentukan dan mengubah posisi kelas seseorang dalam masyarakat.
2. Kelas dalam Tayangan Realitas Salah satu tema yang sering diangkat di dalam program-program tayangan realitas adalah kehidupan kelas, terutama kelas bawah. Persoalan hidup yang dialami oleh kelas bawah menjadi topik yang sering dieksplorasi habis-habisan oleh produsen acara realitas ini. Impian kelas bawah untuk mengalami kehidupan kelas di atasnya atau melakukan upward mobility menjadi salah satu varian tema yang sering diangkat. Pendefinisian kelas dan perbedaan posisi individu dalam struktur sosial sering ditampilkan melalui penanda-penanda seperti kepemilikan material atau praktik budaya, seperti pilihan selera, gaya hidup dan perilaku konsumsi.
Dalam konteks tayangan realitas di televisi, posisi kelas seseorang didefinisikan berdasarkan kepemilikan kapital-kapital seperti yang dikemukakan oleh Bourdieu. Hal ini misalnya bisa dilihat dalam tayang an realitas yang bercerita tentang makeover atau perubahan yang dilakukan oleh individu-individu kelas bawah untuk “menjadi” individu di kelas atas. Tayangan seperti Joe Millionaire, I Want to Be a Hilton [Paris Hilton], Extreme Makeover yang ditayangkan di Amerika misalnya, merupakan beberapa program tayangan realitas yang merepresentasikan kehidupan dan mimpi kelas bawah untuk melakukan mobilitas kelas ke atas. Individu kelas bawah, dalam hal ini, sering ditampilkan sebagai sosok yang kapital ekonomi dan kapital budayanya minim. Mimpi kelas bawah untuk berada pada posisi kelas di atasnya diarahkan pada peningkatan kepemilikan atau penguasaan atas kapital ekonomi dan budaya. Dalam tayangan Joe Millionaire yang ditayangkan stasiun televisi Amerika, Fox, misalnya, seorang kelas bawah mengalami transformasi men jadi kelas atas lewat perubahan kapital ekonomi (ditandai dengan kepemilikan uang, mobil mewah dan rumah mewah) serta kapital budaya (pilihan leisure, fashion, selera makan dan sebagainya).
Pierre Bourdieu, dalam bukunya Distinction (1984), mengulas keterkaitan kelas sosial dengan praktik-praktik kon sumsi yang melibatkan selera dan preferensi gaya hidup. Menurut Bourdieu, pilihanpilihan gaya hidup merupakan indikator yang penting dari posisi seseorang di dalam struktur sosial (dalam Giddens, 2006: 322). Pada dasarnya, ketimpangan sosial, dalam pandangan Bourdieu, bersumber pada distribusi kapital yang tidak seimbang dalam masyarakat. Dalam kajiannya ten tang kelas, Bourdieu tidak hanya menyoroti kapital ekonomi saja (seperti kepemilikan properti, kekayaan dan income), tetapi ia juga menyebutkan tiga bentuk kapital
96
Ratna Noviani, IBADAH KELAS ALA REALITY SHOW DI TELEVISI
Ada juga program tayangan realitas yang lebih banyak mengeksposisi kerja keras yang dilakukan oleh kelas pekerja dengan penghasilan yang minim di tengah kondisi perekonomian yang sedang krisis. Menurut Pepi Leistyna, citra tentang kelas bawah di dalam tayangan realitas cenderung memposisikan kelas bawah sebagai kumpulan orang bodoh yang mengalami disfungsi dalam kehidupan sosialnya (2009: 348). Keterbatasan kapital ekonomi dan kapital budaya dari kelas bawah membuat mereka hanya bisa bermimpi “menjadi” dan menikmati hidup kelas atas.
juga disiarkan di televisi-televisi swasta di Indonesia. Menurut Onishi (2009) tayangan realitas yang menampilkan perbedaan kelas sosial memperoleh popularitas tersendiri di Indonesia. Pada konteks Ramadan 1432 H, program tayangan realitas yang mengangkat kehidupan kelas bawah yang miskin pun menghiasi layar televisi. Ada beberapa program reguler yang di luar jadwal Ramadan tidak berbicara tentang kelas bawah dan kemiskinan, pada episode yang ditayangkan selama bulan Ramadan tiba-tiba ikut berbicara juga tentang kelas bawah dan kemiskinan.Program Big Brother Indonesia (Trans TV) misalnya, yang pada tayangan reguler lebih banyak fokus pada kehidupan para housemate yang ada di rumah Big Brother, pada episode yang ditayangkan pada bulan Ramadan tiba-tiba berbicara tentang keluarga pemulung miskin.
Tayangan realitas yang menawarkan make-over menjadi semacam solusi bagi kelas bawah untuk melakukan upward class-passing. Class-passing sendiri adalah sebuah terminologi yang perlu dibeda kan dengan mobilitas kelas. Di dalam class-passing ada kepura-puraan atau pretending, seolah-olah berada pada posisi kelas lain (biasanya kelas atas) padahal realitasnya tidak demikian (Foster 2005, 4). Seperti dalam kasus pengkelasan warna kulit, seseorang bisa mengalami upward-class passing hanya dengan mengubah warna kulitnya menjadi putih [karena warna putih dianggap lebih baik atau diposisikan dalam strata yang lebih tinggi daripada kulit berwarna]. Dalam tayangan realitas yang mengedepankan kerja keras dari kelas bawah, Leistyna juga mengamati bahwa televisi cenderung menjadikan kesusahan, kerepotan, dan resiko sosial yang dialami oleh kelas bawah dalam menghadapi kerasnya hidup sebagai hiburan saja, karena aspek edukatif dari tayangan itu tidak jelas.
Stasiun TransTV bahkan memproduksi tayangan realitas yang secara khusus diputar pada saat bulan Ramadan.Tayangan realitas itu adalah Bukan Puasa Biasa yang membahas kehidupan kaum papa dan bagaimana mereka menjalankan ibadah puasa.Ada juga program Jika Aku Menjadi edisi Ramadan yang sebetulnya tidak jauh berbeda dengan tayangan regulernya yaitu memotret pengalaman orang kaya dari daerah urban yang hidup bersama dan menjalani kehidupan orang miskin. Si kaya harus tinggal selama beberapa waktu bersama keluarga miskin dan harus menjalani aktivitas keseharian dari keluarga miskin itu. Bedanya, pada edisi Ramadan setting waktunya pun disesuaikan yaitu pada saat bulan puasa. Kehidupan keluarga miskin di tengah suasana Ramadan menjadi fokus utama dari tayangan realitas ini. Sedangkan pada program Orang Pinggiran
Tayangan realitas yang mengangkat tema tentang kehidupan dan relasi kelas 97
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
(Trans7) yang dibahas adalah kehidupan orang miskin, khususnya pada saat bulan Ramadan. Acara ini menyorot kehidupan orang-orang yang mengalami marjinalisasi dalam kehidupan sosialnya, baik karena keterbatasan kapital ekonomi maupun karena mengalami keterbatasan mental dan fisik.
atasnya ditampilkan dalam konteks bulan suci Ramadan. Sementara, pada tayangan Orang Pinggiran dan Bukan Puasa Biasa, tayangan lebih difokuskan pada praktik ibadah yang dilakukan oleh kelas bawah saja. Ibadah kelas, khususnya kelas bawah, yang ditampilkan di televisi sengaja dikait kan dengan manfaat dan hikmah dari ibadah Ramadan. Apalagi, salah satu hikmah Ramadan adalah untuk membangun empati terhadap kaum fakir miskin, seperti yang disampaikan oleh Abdul Manan bahwa salah satu maksud dari ibadah puasa adalah menyerupai kaum fakir miskin sehingga bisa merasakan keadaan mereka secara lebih mendalam (2005: 29). Hikmah dari ibadah Ramadan inilah yang diangkat sebagai tema besar oleh keempat tayangan realitas yang menjadi obyek analisis dalam tulisan ini.
3. Ibadah Kelas dan Purifikasi Spiritualitas Dalam empat tayangan realitas yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini, substansi tayangan dengan sengaja dihu bungkan dengan atmosfer dan nilai-nilai ibadah Ramadan. Persoalan kelas, dalam hal ini, dikaitkan dengan kualitas keagamaan yang dimanifestasikan lewat ritual-ritual seperti sholat, puasa, berdoa, mengaji atau aktivitas ke-Islam-an di masjid atau mushola. Ada proses inkorporasi nilainilai ibadah yang dianjurkan selama bulan suci Ramadan ke dalam tayangan realitas tersebut. Inkorporasi nilai-nilai ibadah Ramadan itu dilakukan melalui dua cara.
Jika Aku Menjadi-Ramadan yang di tayangkan pada hari kedua Ramadan 1432 H misalnya, menampilkan seorang foto model cantik dari Jakarta yang sengaja ditempatkan dalam sebuah keluarga miskin pencari pasir kuarsa di Lampung Timur. Sang foto model harus tinggal dan menjalani kehidupan seperti layaknya keluarga pen cari pasir kuarsa tadi. Tayangan realitas ini mengeksposisi gigihnya perjuangan si miskin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di tengah keterbatasan sosial ekonomi, keluarga miskin yang terdiri dari suami istri yang sudah lanjut usia itu tetap taat menjalankan ibadah agama. Si miskin ditampilkan sebagai sosok yang memiliki kepasrahan dan ketaatan spiritual pada Tuhan, yang digambarkan melalui frekuensi dan intensitas yang bagus dalam menjalankan ritual keagamaan seperti sholat maupun puasa. Kepasrahan si miskin
Cara yang pertama adalah dengan memoles elemen-elemen naratif seperti setting, backsound, atau penampilan karakter yang bermain dengan penandapenanda yang merujuk pada hal-hal yang dihubungkan dengan Islam seperti masjid, mushola, jilbab, baju koko, sajadah atau musik padang pasir. Cara yang kedua adalah dengan mengkonstruksi story tentang iba dah yang dilakukan oleh karakter-karakter yang sedang dibicarakan dalam tayangan itu. Realitas ibadah yang disorot tentu saja dikaitkan dengan ibadah-ibadah yang dianjurkan pada bulan Ramadan. Pada program Jika Aku Menjadi-Ramadan dan Big Brother Indonesia terlihat bagaimana ibadah agama dari kelas bawah dan kelas di
98
Ratna Noviani, IBADAH KELAS ALA REALITY SHOW DI TELEVISI
pada Tuhan ditekankan secara repetitif di dalam tayangan itu, misalnya terlihat pada kutipan kata-kata si foto model berikut ini: “Seharian kerja banting tulang [mengayak pasir] cuma dapat Rp.10.000,-, aku benerbener nggak habis pikir. Tapi kata si embah, mereka tetap bersyukur, berapapun uang yang bisa diterima, itu rejeki dari Allah.” Selain itu, narasi dan visualisasi tentang aktivitas ibadah yang dilakukan oleh si miskin juga ditonjolkan dalam tayangan tersebut, seperti bagaimana si bapak tua yang miskin berpuasa, mengaji atau membersihkan masjid. Alur cerita dalam tayangan itu menunjukkan bagaimana kuantitas dan kualitas ibadah si miskin memberi inspirasi dan pembelajaran bagi si foto model yang kaya untuk melakukan refleksi diri. Dengan melihat derita dan ketidakberdayaan sosial ekonomi dari si miskin, si kaya kemudian seperti tersadar bahwa selama ini ia menjadi makhluk Tuhan yang kurang bersyukur dan kurang taat menjalankan ibadah agama.
realitas kehidupan sehari-hari. Fokus dari acara Big Brother edisi Ramadan ini sebetulnya adalah menyorot bagaimana kemampuan para housemate dalam menjaga dan mengendalikan emosi dalam konteks Ramadan. Dalam hal ini, para housemate harus menunjukkan kemampuan mereka untuk berbagi dan berempati dengan orang-orang miskin. Keanehan dan kelucuan sikap dan perilaku kelas bawah ketika berada pada habitus kelas di atasnya juga menjadi tontonan tersendiri dalam tayangan Big Brother. Faktor empati dijadikan alat oleh Big Brother untuk menilai kemampuan para housemate dalam mengendalikan emosi terhadap perilaku kelas bawah yang tinggal bersama mereka. Siapa yang tidak mampu menunjukkan empati, maka keberadaannya di rumah Big Brother bisa jadi akan berakhir atau tereliminasi. Dari kedua tayangan realitas itu, terlihat adanya dikotomisasi ibadah yaitu ibadah kelas bawah dan ibadah kelas atas. Kualitas spiritual keagamaan dari kelas bawah direpresentasikan melalui kepasrahan dan keikhlasan menjalani hidup yang berat di tengah keterbatasan sosial ekonomi dan melalui keikhlasan menjalani praktikpraktik ritual keagamaan seperti sholat, berdoa, aktif dalam kegiatan masjid dan berpuasa. Sebaliknya, kualitas spiritual dari kelas atas digambarkan kurang atau belum bagus, yang ditandai dengan pengakuan mereka bahwa mereka kurang rajin mengaji, kurang bisa bersyukur pada Tuhan, kurang sabar dan sebagainya. Dengan hidup bersama dengan kelas bawah, kelas atas kemudian bisa melakukan introspeksi diri dan bercita-cita untuk memperbaiki kualitas spiritualnya, misalnya dengan cara memperbaiki frekuensi dan intensitas
Empati si kaya pada fakir miskin juga terlihat misalnya pada tayangan realitas Big Brother Indonesia. Pada tayangan edisi Ramadan 1432 H, di rumah Big Brother dihadirkan keluarga pemulung miskin yang selama ini tinggal di kawasan kumuh di Jakarta. Partisipan acara Big Brother atau dikenal dengan istilah housemate wajib untuk hidup bersama dengan keluarga pemulung itu. Berbeda dengan tayangan Jika Aku Menjadi-Ramadan yang mengharuskan si kaya melakukan downward class-passing, pada tayangan Big Brother ini si miskin yang diajak untuk melakukan upward class-passing yaitu pura-pura menjadi dan berada dalam posisi kelas atas, menjadi bagian dari kelas yang berada di atas kelas sosialnya sendiri dalam
99
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
mereka dalam menjalankan ritual agama seperti sholat, puasa atau membaca AlQuran. Kehidupan keluarga miskin yang di tampilkan dalam tayangan realitas itu difungsikan sebagai arena purifikasi jiwa bagi kelas di atasnya, yang tadinya kotor dan terkontaminasi oleh dorongan materi dan hasrat keduniawian dikembalikan ke jiwa yang lebih religius dan, dalam konteks Ramadan ini, ke jiwa yang lebih islami. Jadi, dengan mengalami downward classpassing atau menempatkan diri pada posisi kelas bawah, maka orang-orang kelas atas dimungkinkan untuk melakukan transformasi spiritual keagamaan ke arah yang lebih baik (baca= islami). 4. Realitas Kelas Bawah sebagai Tontonan Media Tayangan realitas yang menyajikan pertarungan hidup kelas bawah menun jukkan kecenderungan bahwa kesusah an dan kemiskinan tidak lebih sebagai sebuah tontonan media. Kesusahan dan kemiskinan mengalami proses estetikasi sehingga kemiskinan tidak lagi menjadi bahan komentar atau perenungan sosial tetapi hanya menjadi citra-citra atau tandatanda tanpa makna yang jelas. Proses estetikasi ini, merujuk pada pendapat Mike Featherstone (1991: 67), merupakan sebuah kecenderungan yang muncul dalam masyarakat yang semakin memuja komo ditas. Media, dalam hal ini, memegang peran yang sangat penting dalam proses manipulasi citra-citra komersial hasil rekaan industri. Penderitaan kaum miskin dalam tayang an realitas pun tidak lebih dari sekedar citra media yang bisa mendatangkan keuntungan komersial. Dalam bahasa pemikir Perancis,
Guy Debord, kecenderungan seperti ini dinamakan sebagai spectacle, yaitu ketika relasi-relasi individu dalam kehidupan sosial ditransformasi dan dimediasikan melalui citra-citra yang berfungsi sebagai pemuas mata saja (2002: 7). Kehidupan kelas bawah hanya menjadi project dari industri media maupun dari kelas di atasnya. Seperti yang terlihat dalam tayangan Orang Pinggiran dan Bukan Puasa Biasa, kesusahan dan beratnya hidup si miskin mengalami obyektifikasi demi sebuah tontonan yang bisa menguras air mata dan rasa iba dari penonton. Rumah yang reyot, baju yang sudah kumal, sajadah bekas yang sudah sobek, atau makanan yang seadanya menjadi penandapenanda kesusahan dan derita si miskin. Penanda-penanda kemiskinan seperti ini difungsikan oleh tayangan realitas untuk menyajikan sensasionalisasi emosi. Hal ini diperkuat lagi dengan menghubungkan penanda-penanda kemiskinan tadi dengan tontonan tentang kegigihan si miskin untuk tetap beribadah seperti sholat dan puasa di tengah terik matahari bulan Ramadan. Seperti pada episode penyadap karet, program Orang Pinggiran menggambarkan gigihnya perjuangan si penyadap karet yang miskin dan sakit-sakitan untuk mencukupi kehidupan keluarganya yang hidup di rumah yang reyot karena dimakan rayap dan tidak berpenerangan listrik di malam hari. Berbagai aspek yang menunjukkan ketidakberdayaan si penyadap karet dieks posisi dan digarisbawahi oleh cerita sang narator. Tidak lupa kemampuan si penyadap karet untuk pasrah dan bersyukur atas apa yang diperolehnya—meskipun sebetulnya kurang—ditampilkan secara repetitif di dalam tayangan itu.
100
Ratna Noviani, IBADAH KELAS ALA REALITY SHOW DI TELEVISI
Hal yang tidak jauh berbeda juga diper lihatkan dalam program Bukan Puasa Biasa yang menghadirkan sosok pemulung tua. Kualitas spiritual keagamaan si pemulung bahkan diperlihatkan melalui visualisasi ibadah sholat Dzuhur yang dilakukannya di bantaran sungai yang kotor. Adegan ketika si bapak pemulung sholat Dzuhur dengan menggunakan sajadah dekil dan sobek hasil temuannya di sungai ditampilkan dengan iringan backsound yang menyayat hati. Sajadah itu dicucinya terlebih dahulu dan diangin-anginkan sebentar untuk kemudian dia gunakan sebagai alas bersembahyang. Kerja kerasnya di bawah terik matahari untuk mengumpulkan barang-barang bekas dilakukannya dengan penuh semangat, penuh keikhlasan dan tanpa keluh kesah. Si bapak pemulung, seperti ditegaskan oleh sang narator, memang bukan sosok yang suka mengeluh meski harus kerja berat di bulan puasa. Sensasionalisasi emosi atas realitas kemiskinan yang dihadapi kelas bawah pada akhirnya tidak berujung pada kebaikan bagi kelas bawah, tetapi justru menjadi alat tercapainya kebaikan kelaskelas di atasnya. Dalam kaitannya dengan bulan Ramadan, realitas kemiskinan kelas bawah hanya menjadi project perenungan individu kelas atas dan menjadi stimulus terbukanya kesadaran individu tersebut untuk memperbaiki kualitas spiritual keagamaannya. Dengan kata lain, realitas kemiskinan dan ibadah yang dilakukan kelas bawah diharapkan berdampak positif bagi perbaikan kualitas spiritual kelas di atasnya. Selain itu, problem si miskin tampaknya juga hanya dijadikan alat bagi si kaya untuk membangun citra-citra positif di layar kaca, seperti si kaya yang mau berefleksi diri, si kaya yang empatik dan si
kaya yang bertekad memperbaiki kualitas spiritual keagamaannya. Sementara, problem kemiskinan kelas bawah tetap menjadi persoalan individual dari kelas bawah itu sendiri. Dalam hal ini, tayangan-tayangan realitas cenderung melakukan simplifikasi dan individualisasi problem kemiskinan. Tidak ada satu pun tayangan realitas yang mewacanakan problem kemiskinan sebagai persoalan struktural, di mana peran negara sangat krusial dalam menyediakan jaminan sosial bagi warganya. Problem kemiskinan dalam tayangan realitas adalah problem individual yang bisa diatasi jika si individu punya semangat hidup yang tinggi, sabar, ikhlas dan pasrah pada Yang Maha Kuasa. Dalam tayangan-tayangan realitas yang berbicara tentang kemiskinan itu, si miskin tidak diajak untuk memproblematisasi kemiskinannya dan bagaimana cara mengatasi kemiskinan itu. Sebaliknya, perhatian diberikan justru pada bagaimana si miskin bisa sabar, pasrah dan tetap mensyukuri hidupnya yang serba kekurangan. Solusi kemiskinan dibelokkan kepada urusan pribadi masing-masing dan pada level religiusitas individu. Akibatnya, tayangan realitas cenderung menganggap bahwa kunci utama untuk menghadapi problem kemiskinan adalah pada bagus tidaknya kualitas spiritual individual. C. Kesimpulan Program-program tayangan realitas yang mengangkat tema tentang pergulatan hidup kelas bawah dalam konteks Ramadan menunjukkan adanya praktik inkorporasi nilai-nilai ibadah Ramadan demi sebuah tontonan media. Ada dikotomi ibadah yang direpresentasikan dalam tayangan reali tas yang muncul selama bulan Ramadan
101
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
1432 H, yaitu ibadah kelas bawah dan ibadah kelas atas. Dalam hal ini, terjadi proses estetikasi dan obyektifikasi realitas kemiskinan guna menggarisbawahi di kotomisasi ibadah kelas tersebut. Selain itu, tayangan realitas tentang kelas bawah cenderung menampilkan banalitas pesan tentang kemiskinan. Kesengsaraan dan kerasnya perjuangan hidup yang dilakukan oleh kaum miskin ditonjolkan sedemikian rupa, bukan untuk membantu si miskin agar bisa memberdayakan diri. Namun, realitas hidup dan ibadah agama kelas bawah hanya menjadi project bagi kelas di atasnya untuk memperbaiki kualitas spiritual ke agamaannya dan untuk membangun citra positif tentang si kaya. Persoalan kemiskinan, pada akhirnya, hanya dianggap sebagai problem individual yang bisa dilalui atau diatasi dengan religiusitas dan ketekunan ibadah individual. D. Daftar Pustaka Coutas, Penelope 2008 Fame, Fortune, Fantasy: Indonesian Idol and the New Celebrity dalam Heryanto, Ariel (ed), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identity in PostAuthoritarian Politics. London: Routledge, hal 111-129 Debord, Guy 2002 The Society of the Spectacle. Canberra: Hobgoblin Press Featherstone, Mike 1991 Consumer Culture and Postmodernity. London: Sage Publication Foster, Gwendolyn Audrey 2005 ClassPassing: Social Mobility in Film and Popular Culture. Southern Illinois, USA: Southern Illinois University Press Hartley, John 2002 Communication,
Cultural and Media Studies: The Key Concepts. London: Routledge Hill, Annette 2005 Reality TV: Audiences and Popular Factual Television. London: Routledge Holmes, Su & Jermyn, Deborah 2004 Introduction: Understanding Reality TV. Dalam Holmes, Su & Jermyn, Deborah (Eds). Under standing Reality Television. London: Routledge hal 1-32 Kolker, Robert 2009 Media Studies: An Introduction. Oxford: WileyBlackwell Kronig, J 2000 Elite versus Mass: The Impact of Television in an Age of Globalization, dalam Historical Journal of Film, Radio and Television Vol 20 No. 1, hal 43-49 Leistyna, Pepi 2009 Social Class and Entertainment Television: What’s So Real about Reality TV? dalam Hammer, Ronda & Kellner, Douglas. Media/Cultural Studies: Critical Approaches. New York: Peter Lang, hal. 339-359 Manan, Abdul 2005 Kesempurnaan Ibadah Ramadan. Jakarta: Penerbit Republika Nielsen Newsletter 2010. 8th edition, 30 Agustus 2010. www. agbnielsen. co.id [diakses tanggal 30 Juli 2011] Onishi, Norimitsu 2009. Do Wee See Indonesia in Reality TV? dalam http://www.thejakartaglobe.com/ home/do-we-see-indonesia-inreality-tv/277838 [diakses tanggal 2 September 2011] R, Ayi Yunus (tanpa tahun). Ajaibnya Puasa (Fasting is Amz). Bandung: DAR Mizan
102
DOMESTIFIKASI ETNISITAS: PEMEKARAN WILAYAH DAN RUTINISASI KEKERASAN ANTAR ETNIS DI MALUKU UTARA1 Nurul Aini
ABSTRAK “ Tulisan ini melakukan analisis tentang sejauh mana pemekaran wilayah memiliki dampak pada terjadinya proses rutinisasi kekerasan, khususnya kekerasan yang berbasis pada etnik atau identitas tertentu. Pemekaran wilayah, juga menjadi arena konflik baru, dimana tujuan awal dari ide desentralisasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal menjadi diabaikan. Justru pemekaran wilayah telah menyulut adanya konflik di berbagai daerah, khususnya karena etnik, identitas, agama, dan solidaritas primordial, lebih banyak digunakan sebagai pertimbangan bagi sebuah daerah yang hendak dimekarkan, dibanding dengan berdasarkan pertimbangan penguatan masyarakat sipil.” Kata Kunci: Etnisitas, rutinisasi kekerasan, konflik, pemekaran ABSTRACT “ This paper is aimed at elaborating how splitting area (pemekaran wilayah) policy which put into effect in several areas of Indonesia has grown the process of routinization of violence which mainly based on ethnic and identity groups or sub-groups. To some extent, splitting areas has became the new conflict arena, and it has made the aim of the notion of decentralization to strengthen people’s welfare is left behind. On contrary, there is the fact that splitting area has ignited conflict in local area, since splitting area is mainly based on ethnic, identity, religon and other primordial solidarity considerations rather to the need to strengthen civil society” Keywords: Ethnicity, routinization of violence, conflict, splitting area
A.
Pendahuluan
W
ilayah Kepulauan Maluku Utara mencatat sejarah kelam pada periode tahun 1999-2000, seiring dengan pembentukan Maluku Utara menjadi propinsi baru, yang saat itu masih menginduk pada propinsi
103
Maluku yang beribukotakan Ambon. Pasca pemekaran propinsi baru Maluku Utara, dinamika politik lokal terus menerus berubah. Perubahan dinamika politik lokal inilah yang kemudian melahirkan berbagai macam isu konflik, mulai dari isu perebutan
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
wilayah, isu agama, isu identitas, hingga isuisu konflik yang berakar dari konflik yang sebelumnya belum sepenuhnya selesai. Keenam desa yang yang diteliti dalam tulisan ini, yakni desa Bobaneigo, Akelamo, Pasir Putih, Dum-dum, Tetewang dan Akesahu, adalah desa-desa yang menjadi medan dan arena konflik yang berkait dengan sengketa batas wilayah antara kabupaten Halmahera Barat, dan kabupaten hasil pemekaran, Halmahera Utrara. Ketika mencoba menelusur kepada akar persoalan ini, kita akan menemukan kompleksitas persoalan, yang didalamnya analisis yang determinan ekonomi, atau determinan politik belum tentu bisa mengurai akar konflik, karena di dalamnya termasuk pula ada problem perebutan identitas yang sebagian diantaranya masih terus menerus dikontestasikan. Apalagi jika kita melihat bahwa persoalan identitas adalah persoalan yang secara aktif selalu dimunculkan dan dinegosiasikan. Persoalan identitas ini seringkali justru menimbulkan polarisasi yang jauh lebih tajam, apalagi jika ditambah dengan isu perebutan kekuasaan politik di tingkat lokal. Dinamika politik di Maluku Utara, khususnya di Halmahera, lebih spesifik di 6 desa yang hingga sekarang masih ber sengketa soal batas wilayah, bisa dikata kan sangat tinggi. Sejarah persengketaan berkait dengan penentuan batas wilayah, mulai mengemuka sejak pelaksanaan Program Transmigrasi Lokal (Translok) pada tahun 1975. Pada saat itu, terjadi gelombang migrasi masyarakat di Pulau Makian ke Pulau Halmahera terjadi karena faktor bencana alam. Proses migrasi besar-besaran komunitas etnis Makian yang sering disebut sebagai “bedol pulau” yang diregulasikan melalui peraturan
Pemerintah Kabupaten Dati II Maluku Utara ini, secara langsung maupun tidak langsung turut berkontribusi pada formasi relasi antar etnis di pulau Halmahera pada saat ini. Dalam era pasca otonomi daerah, relasi antar etnis di propinsi Maluku Utara, ikut dipengaruhi oleh konflik berkait penentuan batas wilayah yang hingga kini masih bersengketa,terutama dalam penentuan wilayah kabupaten Halmahera Utara (Halut) dan Halmahera Barat (Halbar). Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1999 tentang Pembentukan dan Penataan beberapa Kecamatan di Wilayah II Kabupa ten Daerah tingkat II Maluku Utara (PP 42 tahun 1999) dan Undang-undang No 1 Tahun 2003 tentang pembentukan Pembentukan Kab. Halut, Kab Halsel, Kab. Kep. Sula, Kab. Haltim, Kab. Kota Tidore Kepulauan (selanjutnya disebut UU Nomor 1/2003), dinilai sebagai dua peraturan pemerintah yang hingga kini masih menjadi pemicu konflik di wilayah tersebut. UU ini menyebutkan bahwa status wilayah 6 (enam) desa ini adalah bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Utara. Konflik terjadi ketika warga di enam desa tersebut menolak masuk ke wilayah Halmahera Utara dan tetap ingin masuk ke kabupaten sebelumnya yakni kabupaten Halmahera Barat. Terjadi gelombang penolakan dari aparat pemerintah Desa dan Kecamatan, serta sebagian warga di enam desa untuk bergabung dalam wilayah Halmahera Utara. Sebagian dari warga memilih menjadi bagian dari wilayah Halmahera Barat. Dari sisi kontestasi identitas, pemihakan kepada satu wilayah administrasi tertentu ini tentu menimbulkan ketegangan yang kemudian penolakan bergabung dihubungkan dengan
104
Nurul Aini, DOMESTIFIKASI ETNISITAS: Pemekaran Wilayah Dan Rutinisasi Kekerasan Antar Etnis Di Maluku Utara
faktor perbedaan identitas Halmahera Utara dan Halmahera Barat. Dari sisi administratif, tentu apabila dibiarkan berlarut-larut, konflik identitas antara warga Halmahera Utara dan Halmahera Barat akan menyebabkan sulitnya peraturan perundang-undangan diimplementasikan secara efektif. Konsekuensi dari adanya sengketa mengenai wilayah administratif adalah munculnya dua pemerintahan desa di dua kecamatan, yakni Kecamatan Kao (Kabupa ten Halmahera Utara) dan Kecamatan Jailolo Timur (Kabupaten Halmahera Barat). Polarisasi ini semakin kuat karena warga di kedua desa juga terseret dalam arus konflik. Konflik yang melibatkan warga ini menemukan momentum melalui sengketa batas wilayah administratif akibat pemekaran kabupaten ini. Ini mem bangkitkan kembali konflik di Maluku Utara yang sebelumnya telah memiliki sejarah yang panjang. Proses polarisasi melalui isu sengketa wilayah administratif ini menjadi momentum bagi munculnya konflik-konflik yang lain. Klinken (2007: 180), menyebut bahwa momentum munculnya konflik ini menghasilkan dinamika polarisasi, yang mana ini menjadi dynamic of contention— kondisi dimana ruang politik mengalami pelebaran isu dan aktor yang sebelumnya tidak terlibat menjadi terlibat. Konflik di Maluku Utara jika dirunut lebih jauh, sebenarnya lebih kompleks dari sekadar penetapan batas wilayah. Gerry Van Klinken (2007) menyebut bahwa sejak masa Orde Baru, koalisi politik telah memunculkan konflik diantara Kao dan Makian. Karena Kao terdiri dari KristenMuslim dan Makian hampir keseluruhan adalah Muslim, maka ketika ditemukan kesempatan untuk terjadi konflik, isu
konflik antara orang Kao dan Makian bisa berubah menjadi konflik antara orang Muslim dan Kristen. Pertikaian antara Kao dan Makian dibawah isu konflik agama sempat muncul pada tahun 1999. Empat tahap sebagaimana dituliskan oleh Klinken (2007: 181) terjadi disepanjang tahun 1999. Bulan Agustus 1999, konflik terjadi di pusat kota Halmahera dengan isu konflik antara Kao (yang terdiri dari Kristen dan Muslim) dan Makian (Muslim). Pada bulan Oktober 1999, simpatisan Muslim yang simpati terhadap pengungsi Muslim Makian di Ternate menyerang orang-orang Kristen di Ternate, sebagai bentuk solidaritas sesama Muslim. Selanjutnya ini juga mendorong terjadinya konflik antara Islam dan Kristen di wilayah yang mayoritas Kristen seperti di Tobelo, dan di tahap terakhir konflik terjadi di akhir tahun 1999, ketika konflik meletus di kota Ternate. Konflik antara Kao dan Makian, semakin diperparah dengan adanya kebijakan lebih banyak bersifat top down dibanding bottom up. PP no 42 tahun 1999, sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini, direspon dengan kerusuhan. PP ini membentuk kecamatan Makian Malifut, dan mencaplok 5 desa di wilayah kecamatan Kao ( Desa Tobobo, Balisosang, Sosol, Wangeotak, dan Gayok) dan 6 desa di Kecamatan Jailolo (Desa Bobaneigo, Pasir Putih, Tatewang, Akesahu, Akelamo Kao, dan Dum Dum). Penamaan Kecamatan Makian Malifut juga dianggap lebih mewakili kepentingan orang-orang Makian. Padahal desadesa dibawah nama kecamatan Makian Malifut, terdiri tidak hanya dari orangorang Makian, tetapi juga Kao, Jailolo, dan kelompok etnis lain yang lebih heterogen. Didalam5 desa di kecamatan Kao dan 6 desa di kecamatan Jailolo terdapat berbagai
105
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
etnis, seperti Ternate, Tidore, Tobaru, Tobelo, Galela, Ibu, Sangir, Sahu, Jailolo, Buton, dan Makian. Penamaan Makian Malifut pada PP 42 tahun 1999 dianggap problematik, karena PP ini dianggap terlalu condong kepada etnik Makian, dan mengesampingkan adanya kenyataan bahwa ada kelompok etnis lain yang juga tumbuh dan berdiam disana. PP yang dikeluarkan pemerintah ini dianggap terlalu pro terhadap orang Makian. PP ini dianggap lebih menjelaskan status wilayah orang Makian, yang selama beberapa puluh tahun terkatung-katung pasca relokasi terkait dengan letusan gunung Kie Besi di Pulau Makian pada tahun 1975. Respon terbesar terhadap pengeluaran PP ini berasal dari etnis Kao. Beberapa alternatif jawaban menunjukkan bahwa PP ini menjadi salah satu momentum yang memunculkan kembali ketegangan antara etnis Makian dan Kao, yang sebenarnya telah lama memiliki potensi konflik. Etnis Kao adalah kelompok etnis yang wilayah adatnya didiami oleh etnis Makian, ketika etnis Makian “bedol pulau” ke Halmahera. Proses pemindahan yang dipaksakan oleh negara membuat orang Kao merasa hakhaknya terampas oleh etnis Makian. Cerita ini sebenarnya bermula dari pemindahan besar-besaran etnis Makian dari pulau Makian ke pulau Halmahera karena meletusnya gunung Kie Besi pada tahun 1975. Pemindahan karena proses transmigrasi karena adanya bencana alam mendorong terjadinya forced migration (migrasi yang dipaksakan) yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang dari etnis Makian di Pulau Makian. Pemindahan ini memindahkan orang-orang Makian ke Halmahera. Proses kontestasi etnis dimulai ketika orang Makian yang pendatang mulai
membangun hidup mereka, dan berjuang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik di tempat mereka yang baru yakni Pulau Halmahera. Di tempat baru orang Makian mulai menduduki jabatan di bidang birokrasi, berhasil dalam perdagangan, dan pendidikan—yang mana ini menimbulkan kesenjangan dengan orang Kao—yang notabene merasa tanahnya digunakan oleh orang Makian. Teori-teori tentang migrasi dan iden titas telah banyak dibahas oleh ilmuwan sosial. Migrasi dalam level yang lebih global sering diistilahkan sebagai diaspora. Konsepsi diaspora tidak hanya merujuk pada perpindahan orang secara fisik, tetapi juga mencakup aspek kultural, gaya hidup, memori kolektif tentang masa lalu, termasuk diantaranya ketahanan mental mereka yang lebih baik, karena kaum migran ini adalah orang-orang yang harus mengatasi problem disilusi (dissilution) dan displacement di wilayah yang baru. Proses pemindahan kelompok etnis ter tentu memberi konsekuensi yang lebih berat daripada migrasi antar kategori ras. Proses pembentukan identitas etnis lebih dipahami sebagai identitas yang diwariskan (inherited) dan tidak bisa dipindahkan. Konsep etnis juga membawa konsekuensi pada praktek sosiologis yang lebih kental (Jenkins, 1997, dalam Isin dan Wood, 1999). Dalam relasi dengan negara, kategori etnis juga menjadi kategori yang lebih mudah untuk melakukan pembedaan atau distingsi pada kelompok yang lain. Kategori etnik di dalam negara seringkali menjadikan “politic of difference” dengan mudah diberlakukan. Kelompok etnis yang menjadi representasi penguasa kemudian menjalankan praktek pembeda kepada kelompok etnis yang lain. Demikian halnya
106
Nurul Aini, DOMESTIFIKASI ETNISITAS: Pemekaran Wilayah Dan Rutinisasi Kekerasan Antar Etnis Di Maluku Utara
dengan kelompok etnis yang memiliki kekuasaan di tingkat lokal berpotensi menjadi kelompok yang mendomominasi kelompok yang lain. Dalam kasus ini, kelompok Makian merupakan kelompok etnis yang menarik untuk dilihat, karena Makian sebagai kelompok etnis yang bermigrasi karena “dipaksa” oleh negara karena kekhawatiran meletusnya gunung Kie Besi, menjadi kelompok etnis yang cukup dominan di tempat yang baru. Kelompok Makian sebagai pendatang, seringkali membawa sifat alami yang dibawa oleh para pendatang, seperti ulet, tekun, dan berjuang di tempat mereka yang baru (Klinken, 2007). Keuletan dan ketahanan etnis pendatang di tempat baru, sangat berkait dengan upaya mereka mengatasi problem disilusi dan displacement. Di pulau Halmahera, Makian kemudian menjadi etnis yang menonjol, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara politik. Menonjolnya kelompok etnis Makian di pulau Halmahera telah menjadi pemicu bagi munculnya ketegangan antar etnis disana. Proses pembentukan ketegangan dalam hubungan antar etnis di Pulau Halmahera, juga terkait dengan “politics of differance” yang diberlakukan oleh pihak yang berkuasa. Terlibatnya etnis Makian dalam struktur birokrasi diindikasi menjadi faktor yang membuat PP ini pada akhirnya ditetapkan. Peraturan pemerintah ini justru dianggap mempertegas “politics of difference”, yang tentu saja semakin meningkatkan ketegangan dalam relasi etnis. Peraturan pemerintah dianggap kurang memperhatikan aspek kultural masyarakat, khususnya masyarakat yang heterogen
dalam level sub-etnis, sebagaimana yang bisa ditemui di propinsi Maluku Utara. Pemekaran wilayah pasca desentralisasi tahun 1999 dituding menjadi faktor yang mendorong terjadinya artikulasi terhadap identitas etnis—yang dalam banyak kasus, justru mendorong terjadinya konflik etnis yang lebih kuat. Tulisan ini menyadari adanya komplek sitas persoalan yang terkait dengan konflik dan kontestasi antar kelompok. Kontestasi antar etnis di Ternate mengalami penguat an karena banyak faktor. Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana masingmasing aktor dalam kontestasi politik mengkonstruksikan persoalan yang ada, khususnya aktor yang terlibat dalam pem bentukan “politics of difference”—dalam hal ini relasi mayoritas dan minoritas yang melahirkan rutinisasi kekerasan. Teori tentang rutinisasi kekerasan ini digunakan untuk menganalisis bagaimana konflik dan kekerasan ini “dilembagakan” sehingga kekerasan seringkali tidak disadari dan berada dalam tataran simbolik karena telah mengalami proses rutinisasi. Konteks pemekaran wilayah, menjadi konteks yang penting untuk melihat bagaimana legitimasi terhadap identitas etnis sebagai penanda identitas yang tunggal, semakin mendapat tempat. B.
Pemekaran Wilayah sebagai Pemantik Konflik Etnis
Walaupun bingkai kekerasan yang terjadi di pulau Halmahera selama beberapa tahun terakhir ini adalah kekerasan yang berlatar belakang politik, tetapi narasi kekerasan juga melibatkan hal yang lain, seperti ekonomi dan relasi antar etnis yang lebih kompleks. Otonomi daerah yang
107
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
diberlakukan sejak tahun 1999 membawa dampak besar bagi daerah-daerah di Indonesia. Secara sederhana, otonomi atau desen tralisasi bermakna pengurangan kekuasaan pemerintah pusat untuk mengatur tata kelola pemerintahan di tingkat daerah. Bagi daerah, otonomi daerah dimaknai sebagai otonomi untuk menerjemahkan daerahnya sendiri, termasuk mempertanyakan kembali apakah sistem administrasi di daerah mere ka telah final. Hasil yang paling terlihat adalah meningkatnya angka daerah yang ingin dimekarkan di Indonesia. Kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia pada saat ini kembali ditilik ulang efektivitas dan keberhasilannya. Salah satunya adalah karena pemekaran wilayah, alih-alih mensejahterakan, justru membuat konflik di tingkat daerah semakin tersulut. Pemekaran wilayah lantas menjadi arena baru untuk konflik. Ini justru sema kin menyingkirkan alasan utama ke bijakan pemekaran sebagai peningkat kesejahteraan karena asumsinya tata kelola pemerintahan menjadi semakin efektif (Juanda, 2008). Pemekaran wilayah terbukti semakin kontra produktif karena tidak adanya pertimbangan terhadap aspek sosial, ekonomi, serta keuangan (Hasyim, Dharmawan, Juanda, 2010). Kontra pro duktifnya pemekaran ini juga ditunjuk kan dengan justru semakin menguatnya kontestasi antar etnis pasca pemekaran. Pertimbangan satu wilayah untuk dimekar kan seringkali lebih berdasar pada per timbangan terhadap identitas-identitas yang sifatnya primordial, seperti identitas etnis, suku, agama. Disini, pemekaran wilayah justru semakin memperkuat primordialisme dan esensialisme etnis.
Fenomena pemekaran wilayah sebagai fenomena konflik, dapat ditemui dengan mudah di propinsi Maluku Utara. Isu pemekaran dan perebutan batas wilayah menjadi isu yang menggerakkan konflikkonflik yang ada pada saat ini. Perebutan enam desa masuk ke dalam wilayah Halmahera Barat atau Halmahera Utara diantaranya menyisakan pertanyaan bahwa penolakan mereka untuk masuk ke dalam wilayah kecamatan Malifut (yang banyak terdapat kelompok etnis Makian) berkait erat dengan tidak adanya kesamaan historis, ikatan emosional, dan persamaan identitas. Bagi keenam desa tersebut, secara identitas, mereka merasa lebih dekat dengan kultur Jailolo dan Kao daripada dengan kultur Makian Malifut sehingga mereka menolak untuk masuk dalam daerah pemekaran baru, yakni kabupaten Halmahera Utara (Hasyim, Dharmawan, Juanda, 2010). Kesamaan identitas menjadi faktor yang sangat menentukan pembagian batas wilayah. Konflik yang bermula dengan isu pembagian batas wilayah berkait dengan pemekaran Halmahera Barat ke dalam Halmahera Utara merembetkan isu konflik menjadi isu konflik antara etnis Kao dan Makian, dimana ketika ada momentum, isu konflik antara Kao dan Makian ini berubah isu menjadi konflik antar agama. Makian dianggap merepresentasi populasi Muslim—terlebih karena memang semua Makian adalah Muslim, sedangkan Kao direpresentasikan sebagai bagian dari komunitas Kristen, karena Kao memang terdiri dari Kristen, meskipun ada juga yang Muslim. Konflik dengan isu agama mengalami puncaknya di tahun 1999. Konflik ini berulang lagi pada tahun 2003 dan berlangsung hingga kini, dimana 6 desa diperebutkan oleh dua kabupaten,
108
Nurul Aini, DOMESTIFIKASI ETNISITAS: Pemekaran Wilayah Dan Rutinisasi Kekerasan Antar Etnis Di Maluku Utara
yakni Kabupeten Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Warga enam desa merasa lebih memiliki kedekatan kultural dengan kabupaten Halmahera Barat dibanding dengan kabupaten baru hasil pemekaran yakni Halmahera Utara.
C.
Merutinisasi Kekerasan: Kekerasan sebagai Media bagi Penanda Identitas Etnis
Konflik yang berkait dengan perebutan batas wilayah yang notabene adalah konflik politik seringkali berujung pada kekerasan. Dalam perspektif identitas, kekerasan seringkali menjadi penanda bagi diciptakannya batas bagi kelompok yang lain. Beberapa pengertian identitas menyebutkan definisi identitas sebagai “konstruksi kultural yang membangun sense terhadap diri sendiri (inside) dan sense bagi kelompok yang lain (outside), karena itu identitas ada karena adanya entitas yang lain” (Barker, 2004). Karena itu, identitas menjadi sesuatu yang penting karena dia menandari diri kita, dan tanda tentang diri kita dibangun dari adanya penandaan terhadap kelompok yang lain. Penanda identitas kultural, etnis, atau ras dibahas secara mendalam dalam berbagai macam studi-studi di negaranegara pascakolonial, dimana relasi antara penjajah dan yang dijajah menghadirkan identitas bahwa penjajah adalah “modern” sementara yang terjajah adalah “primitif”. Kolonialisme menggunakan kekuatan (dan kekerasan—dalam warfare atau tradisi peperangan) untuk meneguhkan penanda terhadap perbedaan etnis atau kelompok. Kekerasan memiliki dimensi yang kom plek. Selama ini, kekerasan mengambil peran yang penting dalam relasi sosial.
Kekerasan menghasilkan kompleksitas yang melahirkan perbedaan identitas. Sebagai mana teori identitas mengatakan bahwa identitas menjadi ada ketika ada entitas satu yang berbeda dengan entitas yang lain. Dalam hal ini satu identitas membutuhkan penanda untuk membedakan mana yang in group dan mana yang outgroup, dan kekerasan membantu memberi batas dalam menjelaskan proses in group dan out group ini (Barth, 1972, Broch-Due, 2000). Telah lama kekerasan menjadi salah satu cara bagi sebuah kelompok untuk menaklukkan kelompok lain. Kelompok etnis yang melihat kekerasan sebagai cara untuk meneguhkan kembali identitas mereka, memiliki kecenderungan melihat etnis dengan cara pandang essensialisme. Berbagai macam teori tentang etnis telah lama melihat cara pandang etnis dalam kecenderungan yang esensialis. Esensialisme etnis melihat bahwa etnis (juga ras, suku, agama, gender) adalah kategori biologis yang fixed, tidak dapat dipertukarkan, dan membawa konsekuensi bagi relasi sosial secara natural. Pan dangan esensialis etnis melihat bahwa penerjemahan terhadap identitas etnis melekat pada kategori biologisnya (Hall, 1996). Pandangan esensialisme etnis ini me lihat bahwa pembedaan terhadap kelom pok yang lain bagi kelompok yang berkuasa memberi efek yakni “kepastian” bagi tetap diteruskannya kekuasaan. Mengutip BrochDue (200:23 ) “Violence is often deployed as part of futile quest to produce certainty…a means to reinforce essensialised idea about identity and belonging.”
109
Kekerasan dianggap sebagai arena yang
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
memproduksi kepastian identitas—dimana kepastian identitas sangat dibutuhkan sebagai basis dari solidaritas. Kekerasan terus menerus diproduksi dan direproduksi untuk menciptakan ethnic boundaries. Karena itu, kekerasan menjadi proses yang dirutinisasi ke dalam kehidupan sosial. Narasi sejarah adalah faktor yang sangat penting bagi proses rutinisasi kekerasan. Sejarah, baik secara individual atau kolektif, menjadi cerita atau narasi yang terus menerus digunakan untuk merawat memori kolektif tentang satu peristiwa, termasuk memori kolektif tentang peristiwa kekerasan. Rutinisasi kekerasan ini masuk ke dalam memori setiap kelompok, dimana area jangkauan dari proses rutinisasi kekerasan ini tidak hanya di level publik atau komunitas, tetapi juga di level politik dan ruang-ruang yang bersifat personal. Teori tentang rutinisasi kekerasan ini relevan dalam melihat bagaimana konflik di enam desa yang menjadi “arena kontestasi” antara propinsi Halmahera Utara dan Halmahera Barat. Bahwa isu yang ada, sebenarnya tidak semata-mata isu adanya Peraturan Pemerintah yang kontroversial, tetapi juga ada kaitan bagaimana konflik yang terjadi sebenarnya muncul sebagai bagian dari adanya proses rutinisasi kekerasan, dimana proses rutinisasi keke rasan ini menjadi basis hegemonik bagi kelompok etnis yang kuat. Membincangkan proses rutinisasi ke kerasan tidak bisa lepas dari relasi kese jahteraan dan kewargaan (citizenship) (Broch-due, 2000). Proses rutinisasi keke rasan karena itu juga berkait dengan bagai mana rutinisasi kekerasan juga merutinisasi “eksklusi” atau ketidak terlibatan. Konflik menjadi semakin radikal ketika satu kelom
pok merasakan adanya “sense of exclusion” dan kelompok lain menjadi kelompok yang dominan dan hegemonik. Isu kesejahteraan menjadi sangat penting dalam isu ekslusi karena ketidak terlibatan satu kelompok sosial dalam penguasaan basis material seringkali men jadi penyebab bagi munculnya angka kemiskinan. Kemiskinan secara ekonomi semakin memperkuat perasaan tereksklusi atau tidak terlibat dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan atau minoritas. Isu kemiskinan secara ekonomi menjadi isu konflik yang kuat ketika isu ini bergabung dengan isu etnis, karena etnis adalah kompleks persoalan yang berkait dengan adanya konsep “identitas dan pembeda”. Relevansi terhadap pandangan teoretis ini sangat terkait dengan persoalan yang terjadi pada perebutan keenam desa ter sebut. Sejarah konflik di keenam desa tersebut menunjukkan bahwa transmigrasi lokal etnis Makian dari Pulau Makian ke Halmahera karena letusan gunung Kie Besi di tahun 1975 adalah titik yang paling penting dan menentukan bagi relasi antar etnis khususnya dengan etnis yang dianggap sebagai salah satu etnis penduduk asli Halmahera, yakni etnis Kao. Pemindahan oleh negara melalui pro gram transmigrasi dianggap sebagai pro gram yang hingga saat ini masih cukup kontroversial. Masih segar dalam ingatan kita bahwa konflik komunal yang terjadi di beberapa kota di Indonesia dalam 10 tahun pertama reformasi menghasilkan gelombang eksodus besar-besaran dari kelompok transmigran yang ternyata tidak bisa sepenuhnya diterima oleh penduduk lokal. Misalnya transmigran di Aceh yang terpaksa harus mengungsi pasca konflik
110
Nurul Aini, DOMESTIFIKASI ETNISITAS: Pemekaran Wilayah Dan Rutinisasi Kekerasan Antar Etnis Di Maluku Utara
antara GAM dan pemerintah Indonesia. Juga eksodus besar-besaran transmigran dari Madura yang harus pulang ke tempas asal mereka pasca konflik komunal yang melibatkan etnis Madura dan Dayak di beberapa tempat di Kalimantan. Termasuk diantaranya pemindahan etnis Makian ke pulau Halmahera, dinilai berbagai macam kalangan sebagai pemindahan yang menimbulkan masalah dan kontroversi di kemudian hari. Transmigrasi ini dianggap sebagai program wajib pemerintah guna menyelamatkan mereka dari ancaman letusan gunung berapi—yang ternyata di kemudian hari diketahui tidak jadi meletus dengan dahsyat. Tetapi gelombang migrasi tetap akhirnya terjadi. Etnis Makian, mendiami 16 desa di kecamatan Kao, Halmahera Utara. Perpindahan etnis Makian di wilayah kecamatan Kao ini bersifat bedol kecamatan, dimana perpindahan ini tidak hanya memindahkan orang-orangnya saja, tetapi juga perangkat desanya, pemerintahan lokalnya, dan pemerintahan adatnya. Di tempat yang baru mereka mendiami wilayah yang menjadi wilayah adat etnik Kao.
kekuasaan negara. Kedekatan sebagai bagian dari struktur kekuasaan ini ber padu dengan kepiawaian mereka dalam berwiraswasta ditambah dengan pendi dikan yang tinggi menjadikan etnis Makian dianggap lebih sukses dan sejahtera di wilayah yang dianggap bukan wilayah asli mereka. Keberhasilan orang Makian berbanding terbalik dengan orang Kao, yang tanahnya didiami oleh orang-orang etnis Makian pindahan dari pulau Makian. Walaupun dalam kehidupan sosial etnis Makian dan etnis Kao sebenarnya terintegrasi dengan baik, tetapi kesenjangan ini bagaimanapun menjadi bibit bagi konflik yang terjadi di kemudian hari.
Etnis Makian lantas berdiam dan mem bangun kehidupan baru mereka di pulau Halmahera. Di tempat yang baru, ttnis Makian, sebagaimana menjadi karakter pada migran, menjadi kelompok etnis yang menunjukkan kepiawaian mereka dalam berwiraswasta, berpendidikan dan mengejar jabatan sebagai birokrat, sehing ga beberapa bupati dan pejabat di propinsi Maluku Utara adalah orang Makian (Klinken, 2007).
Konflik antara Makian dan Kao meng alami momentum eskalasi ketika pada tanggal 24 Juni, atas permintaan Bupati Maluku Utara, pemerintah Pusat di Jakarta mengeluarkan PP 42/99 yang menetapkan adanya kecamatan baru, yakni kecamatan Makian-Malifut (atau kecamatan Malifut) (Klinken, 2007). Pembentukan kecamatan baru ini tidak hanya terdiri dari 16 desa yang menjadi desa-desa yang selama ini ditinggali etnis Makian pindahan Pulau Makian, tetapi juga mecaplok 6 desa lainnya di wilayah Kecamatan Kao dan Kecamatan Jailolo yang notabene menjadi wilayah orang-orang etnis Kao dan Jailolo, penduduk asli disana (Hasyim, Dharmawan, Juanda, 2010). Penetapan PP 42/99 menjadi genderang yang kemudian menjadikan konflik menjadi konflik dan kekerasan terbuka.
Keterwakilan orang Makian di dalam struktur birokrasi menjadi kuat karena Makian secara aktif merepresentasikan diri mereka sebagai bagian dari struktur
Dari perspektif identitas etnis, per soalan geografis adalah persoalan yang sangat rentan memunculkan konsepsi primordialisme. Wilayah geografis, yang
111
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
berkoinsidensi dengan aspek etnis dan bahasa akan mengunifikasi gerakangerakan yang berbasis pada keturunan (darah), bahasa, tradisi, dan etnisitas (Broch-due, 2000). Komunitas dalam ba sis esensialisme menjadikan kekerasan sebagai momen penting untuk membangun solidaritas. Dalam konflik ini, Makian dengan berbagai perangkat yang menandai identitasnya—sebagai pendatang, peng usaha, birokrat, orang berpendidikan, dan Muslim, berhadapan dengan etnis Kao (dan Jaiololo) yang direpresentasi sebagai penduduk asli, taat pada adat, tetapi miskin dan terbelakang. Penetapan PP 42/99 yang menyinggung wilayah geografis orang Kao, dianggap sebagai hal yang berlebihan, yang melangkahi orang Kao, dan menjadikan ini sebagai tantangan dari pihak lawan untuk berperang. Batas geografis pada titik ini jelas menjadi batas etnis. Batas terhadap komunitas etnis menjadi batas yang bersifat fisik, yang terukur, yang teresensialisasi (Appadurai, 1998) dan bukan lagi, meminjam istilah Benedict Anderson, sebagai komunitas yang dibayangkan (imagined community). Hal ini menyisakan pertanyaan besar: Apakah batas wilayah adalah juga sekaligus batas etnis? Pertanyaan ini sesungguhnya memun durkan langkah kita. Selama ini, kita menyadari betul bahwa Indonesia adalah negeri yang wilayahnya terdiri dari ber bagai etnis, suku, bahasa, dan agama yang heterogen. Basis integrasi bangsa kita adalah komunitas yang terbayangkan, dimana Indonesia, sejatinya terdiri dari berbagai bentuk formasi sosial yang kita sadari tetapi kita imajinasikan sebagai bagian yang satu. Menurut Benedict Anderson (1983) dalam bukunya Imagined Community,
komunitas terbayangkan dari sebuah ide nations menggantikan basis komunitas yang berdasarkan pada religi/ agama dan kedinastian (kingship). Dari sini, sebenarnya komunitas terbayangkan merujuk pada tatanan masyarakat yang kosmopolitan— dimana basis pengikat salah satunya adalah adanya simultanitas yang dibangun secara kalendrikal melalui kapitalisme cetak, seperti novel atau surat kabar. Kemunculan batas geografis sebagai batas etnis mengingatkan kita pada pem bentukan identitas struktur masyarakat kolonial. Kolonialisme memberi batas yang jelas pada kategori etnis. Negara kolonial secara tegas membedakan antara “diri/ self” dengan “liyan/ the other”. Proses identifikasi terhadap pembeda etnis ini tidak hanya sebatas pada identifikasi biologis tetapi juga menyangkut hal yang lain seperti birokrasi, pemerintahan, struktur sosial dan yang lebih penting adalah struktur ekonomi. Oleh karena itu, politik identitas etnis dalam konteks ini, tidak hanya ingin memunculkan keunggulan salah satu etnis sebagai kategori biologis semata-mata, tetapi juga karena keunggulan etnis memiliki kaitan dengan keunggulan sosial, ekonomi, dan politik. Hal inilah yang membuat kontestasi etnis selalu membutuhkan arena, yakni kekerasan. Dengan kekerasan jugalah, sebuah keputusan yang sepihak dipaksakan kepada pihak lain. Karena itu kekerasan yang dipaksakan kepada pihak yang lain akan menghasilkan pem berontakan (insurrection) (Turner, 1974). Lebih jauh menurut Turner, kekerasan selalu membutuhkan arena, dimana arena dimaknai sebagai: “An arena is a framework—whether institutionalized or not—which manifes tly functions as a setting for antagonistic
112
Nurul Aini, DOMESTIFIKASI ETNISITAS: Pemekaran Wilayah Dan Rutinisasi Kekerasan Antar Etnis Di Maluku Utara
interaction aimed at arriving ar a publicly recognized decision” (1974: 133) Keputusan yang besifat publik ini sangat berkait dengan adanya “political field” atau ruang politik yang terus me nerus diperdebatkan, dikontestasikan, atau bahkan dimanifestasikan melalui kekerasan. Dalam konflik antara etnis Makian dan Kao di Maluku Utara, terlihat bagaimana arena politik ini terus menerus mereproduksi perbedaan etnis dan narasinarasi tentang konflik diantara mereka. Masih mengutip Turner, persoalan “politic al field” ini memiliki beberapa tujuan (1974: 127), yakni (1) Berkompetisi untuk memperebutkan hadiah atau sumber daya yang langka, (2) Berkompetisi untuk mendapatkan hak pengawalan terhadap distribusi sumber daya, (3) Mendapatkan kemampuan untuk mendeterminsasi norma-norma sosial yang khusus. Arena politik inilah yang menjadikan etnis sebagai arena pertarungan yang selalu dirutinisasi untuk memberikan legitimasi terhadap kekuasaan satu kelompok etnik. Di Maluku Utara, kelompok etnis Makian muncul sebagai kelompok etnis yang dianggap mewakili citra sebagai kelompok kuat, dan etnis Kao dan Jailolo sebagai kelompok asli yang “dilemahkan” oleh sistem kekuasaan. Meskipun ada berbagai macam faktor yang melatari, konsepsi etnis yang demikian semakin melegitimasi perbedaan-perbedaan etnis yang sengaja dilembagakan melalui kekerasan untuk terus menerus memberi “batas pembeda” bagi etnis.
D.
Domestifikasi Etnisitas dan Paradoks Desentralisasi: Sebuah Catatan Penutup
Menerjemahkan batas etnis sematamata ke dalam batas geografis adalah kemunduran bagi proses integrasi bangsa Indonesia. Batas etnis diterjemahkan ke dalam wilayah geografis semakin menyu burkan pandangan-pandangan esensialis me dalam melihat identitas, bahwa identitas adalah sesuatu yang fixed, tidak dapat diperdebatkan, dan merupakan kategorikatogori biologis dan fisik yang baku. Sayangnya, negara semakin ikut mem perkuat penerjemahan identitas sebagai semata-mata batas geografis budaya dengan memberi peluang bagi tidak terkendalinya pemekaran wilayah. Sengketa batas wilayah antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat semakin menunjukkan bahwa peme karan wilayah menjadi sebuah arena dimana political field menjadi diperebutkan oleh kelompok-kelompok etnis. Konsekuensi dari logic desentralisasi ini mengingatkan kita pada pengalaman Afrika yang dilanda konflik etnis berlarutlarut sebagai akibat dari warisan politik administrasi kolonial. Mamdani (1996) misalnya berargumen bahwa cara negara kolonial mengontrol dan menundukkan populasi adalah dengan membentuk warga negara sebagai subyek kultural yang diberi ruang adminstrasi politik. Praktek penundukan semacam ini mengabaikan keragaman etnis dalam sebuah teritori, sehingga pembentukan wilayah adminis tratif baru justru memfasilitasi dominasi kelompok etnis mayoritas kepada kelompok etnis minoritas. Argumen tentang Afrika yang dicontohkan Mamdani adalah bahwa negara-negara Afrika pasca kolonialisme, bukanlah pengalaman dekolonisasi, me
113
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
lainkan de-rasialisasi. Transfer kekuasa an berlangsung dari mayoritas penjajah yang rasnya kulit putih ke tangan pribumi yang mereduplikasi perilaku kolonial. Maka proses yang terjadi adalah perebutan akses terhadap sumber daya politik melalui penguasaan atas wilayah administratif warisan kolonial. Disanalah subyek kultural mayoritas minoritas menjadi kategori politik. Kembali ke pokok bahasan kita, menurut PP 125 tahun 2000 tujuan pemekaran wilayah adalah memaksimalkan pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan ma syarakat, meningkatkan demokratisasi, efiensi ekonomi. Desentralisasi memiliki tujuan awal untuk meminimalkan dominasi pemerintah pusat, dan memberi peluang yang besar bagi pemerintah daerah, sehingga pelayanan publik yang diberikan kepada warga negara menjadi lebih dekat. Tetapi pada prakteknya pemekaran wilayah menjadi alat bagi kelompok etnis yang berkuasa untuk terus melanggengkan kekuasaan etnis dan ini dilegitimasi oleh negara. Desentralisasi dalam konteks ini mirip seperti yang dicontohkan oleh Mamdani sebagai perubahan dari proses de-kolonialisme menjadi de-rasialisasi. Dalam konteks ini, desentralisasi justru menguatkan etnisasi warga negara. Akibat dari adanya kekuasaan kelompok yang kuat, sementara kelompok yang lain berusaha menolak legitimasi yang terlalu besar dari kelompok tertentu adalah tidak terelakkannya problem horisontal. Problem horisontal yang terjadi antar identitas semakin diteguhkan dengan adanya campur tangan negara yang terlampau besar. Representasi negara melalui peran pemerintah pusat dan dalam konteks di Maluku Utara adalah keberadaan
PP yakni PP No 42/ 1999 dan UU No. 1/2003 menunjukkan negara dalam hal ini membatasi kelompok tertentu untuk terlibat aktif sebagai warga negara. Relasi antara negara dan warga negara telah cukup banyak dibahas oleh ilmuwan sosial. Kekerasan yang dirutisasi seringkali berganti pada isu negara dan warga negara. Negara sebenarnya adalah entitas yang tunggal, tetapi penerjemahan terhadap entitas yang tunggal seringkali tidak bisa dilepaskan dari berbagai macam faktor seperti gender, etnisitas, kelas, agama, dan pendidikan. Negara sebagai entitas tunggal sebenarnya bisa muncul sebagai unit yang merepresentasi banyak kelompok, tetapi proses kekuasaan menjadikan negara pada akhirnya mewakili kelompok gender, etnisitas, kelas, agama, atau tingkat pendidikan tertentu (Broch-due: 2000). Sebagai sebuah unit yang tunggal, hu bungan antara negara dan warga negara dibingkai dalam upaya “pemenuhan kebu tuhan pokok (basic-needs)” yang mana hal ini sangat terkait dengan bagaimana negara memenuhi kesejahteraan warga negaranya, tidak peduli apa latar belakangnya. Hal ini menjadi kondisi basis bagi bekerjanya hubungan yang baik antara negara dan warga negaranya. Karena itu negara bertugas menginklusi semua warga negara di dalam program kesejahteraan yang dijalankan oleh negara. Kesejahteraan adalah isu semua orang, dimana pemenuhan terhadap kebutuhan dasar (kesehatan, pendidikan, dan rasa aman) adalah hak semua orang. Dengan adanya jaminan kesejahteraan oleh negara, “political field”, kontestasi, atau rutinisasi kekerasan yang dilakukan oleh warga negara bisa dicegah oleh negara, untuk tidak menjadi esensialis.
114
Nurul Aini, DOMESTIFIKASI ETNISITAS: Pemekaran Wilayah Dan Rutinisasi Kekerasan Antar Etnis Di Maluku Utara
Tetapi, yang menjadi akar persoalan adalah, negara didalam dirinya juga tengah mengalami proses rutinisasi kekerasan itu sendiri. Negara yang seharusnya bekerja sebagai unit yang tunggal (dan netral), ternyata juga menjadi arena bagi kontestasi political field. Artinya di dalam negara sendiri tengah berlangsung proses produksi dan reproduksi kekuasaan. Alih-alih berpikir untuk mensejahterakan warga, negara justru mereproduksi dan meradikalkan kekerasan dengan melakukan politics of exclusion atau politics of difference, karena negara lebih merepresentasikan kelompok etnis yang kuat. Bertolak dari kasus konflik komunal pasca desentralisasi dan kasus sengketa enam desa di Maluku Utara, menjadi jelas bahwa terdapat hubungan an tara desentralisasi dan reproduksi keke rasan. Desentralisasi (dalam hal ini kebijakan pemekaran) tidak saja gagal menghadirkan kesejahteraan, tetapi juga menghadirkan drama kekerasan berbasis etnis dalam rangka perebutan sumber daya negara. Membayangkan ter putusnya rantai kekerasan tersebut sama artinya memikirkan kembali relevansi desentralisasi yang terbukti justru semakin memperkuat ethnic boundaries dan rutini sasi kekerasan didalamnya. Daftar Pustaka Anderson, Benedict R.O’G, 1983. Imagined communities. Verso, London Appadurai, Arjun, 1998. Dead certainty: Ethnic violence in the era of globalisation. public culture 10 (2): 225-47 Barker, Chris, 2004. The SAGE Dictionary of cultural studies, London, Thou
sand Oaks, New Delhi: Sage Publication Barth, Fredik, 1988. Kelompok etnik dan batasannya, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Due, Vigdis Broch dan Schroeder, Richard A (ed.), 2000. Producing nature and poverty in Africa, Stockholm: Nordiska Afrikainstitute Hall, Stuart, 1996. Modernity, London, Routledge Hasyim, Aziz, Dharmawan, Arya Hadi, dan Juanda, Bambang, 2010. Analisis konflik perebutan wilayah di propinsi Maluku Utara: studi kasus konflik perebutan wilayah antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat tentang enam desa. Sodality: Jurnal Transdisiplin sosiologi, komunikasi, dan ekologi lingkungan, vol April 2010, hal 293308 Isin, F. Engin dan Wood, Patricia, K, 1999. Citizenship and identity, London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publication Klinken, Gerry van, 2007. Perang kota kecil. Kekerasan komunal dan demo kratisasi di Indonesia, Jakarta: Buku Obor dan KITLV Jakarta Mamdani, Mahmood, 1996. Citizen and subject: contemporary africa and the legacy of late colonialism, Princenton: Princenton University Press Turner, Victor, 1974. Hidalgo: History as social drama. In Dramas, fields, and metaphors, Cornwell University Press 1
115
Tulisan ini adalah hasil dari riset “Building Peace within Community: developing Social Cohesion in Halmahera”, Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada dan Serasi USAID, 2010.
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
BIODATA PENULIS
Derajad S. Widhyharto, Menyelesaikan S2 di Fisipol UGM, pengajar pada Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Mendalami bidang kajian sosiologi ekonomi, kebijakan sosial serta network society. Penulis dapat dihubungi melalui :
[email protected] Heru Nugroho, Guru Besar Sosiologi Fisipol UGM. Ketua Prodi Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM serta Ketua Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Irwan Abdullah, Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Pengajar pada Jurusan Antropologi, UGM. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Mahendra Wijaya, Menyelesaikan S3 di Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Pengajar pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Mahesa Mandiraatmadja, Praktisi budaya dan mahasiswa S3 Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pasca Sarjana, dapat dihubungi melalui :
[email protected] Nurul Aini, Menyelesaikan S2 di Bergen, Norwegia, pengajar di Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM dan peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Penulis dapat dihubungi melalui :
[email protected] Oki Rahadianto Sutopo, Menyelesaikan S2 sosiologi di Universitas Indonesia. Menjadi pengajar pada Jurusan Sosiologi Fisipol UGM dan sekretaris pada Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM. Mempunyai minat yang luas dalam bidang ilmu sosial antara lain sosiologi pengetahuan, kajian budaya, ekonomi politik, kajian kepemudaan serta teori sosiologi. Penulis dapat dihubungi melalui :
[email protected] Ratna Noviani, Menyelesaikan S3 di Universitaet Bochum, Jerman, pengajar pada Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pasca Sarjana UGM, penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Sugeng Bayu Wahyono, Pengajar pada Universitas Negeri Yogyakarta serta Sekolah Pasca Sarjana Sosiologi, Fisipol UGM. Penulis dapat dihubungi melalui: bayu_wahyono@ yahoo.com
117
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.1 Mei 2012
FORMULIR BERLANGGANAN Kepada: Jurnal Pemikiran Sosiologi Jurusan Sosiologi, FISIPOL, UGM Jl. Sosio Yutisia, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281. Nama
: ____________________________________________
Alamat
: ____________________________________________
________________________Kode Pos :___________
Telepon
: _______________________Fax :_________________
Email
: ___________________________________________
Berlangganan Jurnal Pemikiran Sosiologi untuk, Volume
: ____No:___Tahun:________
__________,___________,20____
____________________________ Nama : Harga berlangganan Jurnal Pemikiran Sosiologi Rp 75.000, per tahun, termasuk ongkos kirim, sedangkan harga per eksemplar Rp 35.000.
Pembayaran : Transfer ke No. Rekening : 137-0006260810 a.n Heru Nugroho/Purwanto, Bank Mandiri Kantor Cabang Magister UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Bukti transfer dan formulir (bisa di scan/copy) dapat di email dan fax ke alamat redaksi dengan mencantumkan Redaksi Jurnal Pemikiran Sosiologi
119
120