MENGERJAKAN SOAL LATIHAN MATEMATIKA: HANYA AGAR TERJAWAB DENGAN CEPAT DAN AKURAT? Abdur Rahman As’ari
PENDAHULUAN Seorang sahabat bertanya kepada Asari: “As, bagaimana mengajarkan soal berikut kepada siswa? Ketika dulu di KTSP bukankah ini diajarkan di kelas 9. Sekarang kok mau diajarkan di kelas 7. Terlalu sulit itu As.”
BELAJAR MATEMATIKA DALAM ERA K 13 Soal di atas adalah salah satu soal dalam buku matematika (buku siswa) yang dirancang untuk penerapan Kurikulum 2013. Sahabat Asari itu baru tahun ini menerapkan kurikulum 2013. Mengingat waktu pelatihan yang hanya kurang lebih 1 minggu atau bahkan hanya 5 hari, wajar jika yang bersangkutan agak kaget dengan soal ini. Kalau dalam kurikulum sebelumnya soal seperti ini diberikan di kelas 9, maka sekarang soal ini diberikan di kelas 7. Apalagi, pengalaman dia menunjukkan bahwa soal itu memiliki jawaban tunggal. Sahabat Asari tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 memang dikembangkan dengan maksud untuk menghasilkan insan Indonesia yang produktif, inovatif, kreatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan (Kasim, 2014). Karena itu, pembelajaran matematika pun harus diarahkan untuk membentuk insan yang produktif, inovatif, kreatif, dan afektif tersebut. Untuk mencapai hajat itu, menurut hemat penulis, pembelajaran matematika tidak boleh didefinisikan sekedar upaya untuk mantransfer pengetahuan matematika kepada anak. Pembelajaran matematika harus diarahkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir matematis, yang merupakan faktor yang sangat penting untuk hidup di abad 21 (Doyle, tanpa tahun).
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
1
Menurut Chamberlin (2010), terdapat 9 cara berpikir dalam matematika yang dimiliki oleh orang yang hebat matematikanya, yaitu: 1. Menganalisis secara cermat struktur masalah yang dihadapi dan membangun persepsi yang tepat berdasarkan struktur tersebut, 2. Mengetahui kapan dan dimana suatu konsep atau prinsip matematika bisa diterapkan, 3. Mengoperasikan lambang bilangan dan simbol, 4. Menyusun secara urut, 5. Menyadari ketidakefisienan dan mengetahui bagaimana menyederhanakan proses, 6. Membalik proses mental dengan cara bekerja mundur, 7. Memikirkan secara fleksibel, 8. Menggunakan ingatan matematis terutama bilangan, rumus yang penting dalam pemecahan masalah, dan 9. Bekerja dengan konsep spasial keruangan. Kalau pendidikan matematika di Indonesia diharapkan mencetak orang-orang yang hebat dalam berpikir matematisnya, berbagai upaya harus dilakukan. Pembelajaran matematika harus mendorong anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki ketekunan untuk menggali informasi, kemampuan memilah dan memilih informasi, kemampuan merangkai dan mengasosiasikan informasi yang tersedia, dan menghasilkan kesimpulan yang baru. Pembelajaran matematika harus mengutamakan peningkatan kemampuan berpikir siswa. Karena itu, Chamberlin (2010) menyarankan agar 1/3 dari alokasi waktu belajar yang ada dicurahkan untuk menyelesaikan soal biasa, 1/3 berikutnya untuk mengerjakan soal-soal yang problematis, dan 1/3 sisanya untuk mengerjakan tugas problem solving yang realistik. Kendatipun begitu, semua itu harus diarahkan untuk membantu anak belajar berpikir secara matematis. MEMBANTU BELAJAR BERPIKIR MATEMATIS Menurut Watson & Mason (2006), belajar memiliki makna yang luas, mulai dari sekedar penguasaan fakta (factual acquisition), penataan ulang konsep and pengembangan skema (conceptual reorganization and schema development), sampai kepada perubahan sikap dan persepsi (alteration of predispositions and perceptions). Berdasarkan klasifikasi tersebut, belajar berpikir matematis, tentu bukan dalam ranah penguasaan fakta atau bahkan penataan ulang konsep dan pengembangan skema. Belajar berpikir matematis lebih mengarah kepada pembentukan perubahan sikap dan persepsi. Terkait dengan definisi belajar tersebut, pembelajaran pun memiliki rentang tujuan yang bervariasi. Akan tetapi, menurut Doyle (2008), apapun definisinya, pembelajaran hendaknya membantu anak belajar sesuatu yang tahan lama (long-lasting), bermanfaat (useful), bisa diterapkan (applicable), dan bisa ditransfer (transferable). Pembelajaran dikatakan berhasil hanya terjadi jika siswa mampu mengingat informasi yang diperlukan, baik untuk keperluan pembelajaran berikutnya maupun untuk keperluan Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
2
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran juga dikatakan sukses hanya jika siswa mampu menggunakan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupan, baik secara langsung (apply), maupun dengan melakukan modifikasi dan pengembangan lain (transfer). Karena itu, pembelajaran tidak boleh hanya untuk keperluan sesaat. Pembelajaran memang boleh diarahkan untuk keperluan saat ini. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah untuk keperluan jangka panjang. Karena itu, berdasarkan konsep Doyle ini, belajar dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir matematis lebih diarahkan kepada belajar untuk transfer. Setelah mempelajari suatu konsep atau bahkan untuk keperluan mempelajari suatu konsep, siswa seringkali diharapkan dengan berbagai macam soal. Kadang kegiatan mengerjakan soal ini hanya untuk keperluan latihan semata, tetapi sebenarnya pengerjaan soal itu memiliki potensi yang lebih dari itu. Pengerjaan soal bisa untuk keperluan yang lebih luas. Untuk itu, soal yang dipilih hendaknya memenuhi kriteria tertentu. Cai & Lester (2010) memberikan sekumpulan kriteria soal yang layak diberikan kepada siswa. Kriteria-kriteria tersebut adalah bahwa soal yang diberikan kepada siswa haruslah: 1. 2. 3. 4.
Penting dan bermanfaat, Menuntut pemikiran tingkat tinggi, Berkontribusi kepada pengembangan konsep siswa, Menciptakan peluang bagi guru untuk menilai keberhasilan belajar siswanya serta mengetahui dimana mereka mengalami kesulitan 5. Memiliki banyak solusi, 6. Dapat didekati dengan berbagai cara, 7. Mendorong keterlibatan siswa secara aktif, 8. Memiliki hubungan dengan topik matematika lainnya yang penting, 9. Mendorong penggunaan matematika secara terampil, 10. Memberikan peluang mengembangkan keterampilan. Menurut hemat penulis, uraian di atas menunjukkan pentingnya memberikan soal yang bukan semata untuk melatih kecepatan dan kelancaran penyelesaiannya. Soal yang diberikan hendaknya mengembangkan keterampilan berpikir matematis tingkat tinggi yang bermanfaat, baik untuk kepentingan belajar di jenjang lebih tinggi maupun untuk sukses di dalam kehidupan. Berkenaan dengan soal yang dipermasalahkan atau dikeluhkan oleh sahabat Asari di atas, dalam forum ini penulis tertantang untuk memberikan sedikit uraian tentang perlunya guru mengenali potensi soal yang ada untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis siswa. Dengan menguraikan potensi soal yang ada, penulis berharap para guru akan belajar untuk selalu mengenali potensi soal dan memanfaatkannya di kelas dengan bijak. Dengan penerapan yang baik, semoga soal-soal yang diberikan
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
3
kepada siswa tidak sekedar untuk keperluan latihan, tetapi lebih dari itu adalah untuk kepentingan pengembangan kemampuan berpikir matematis siswa. PEMBAHASAN Ketika guru merancang suatu proses pembelajaran, mereka perlu mempertimbangkan beberapa hal penting, antara lain: (1) apa yang kemungkinan bisa dilakukan oleh siswa, (2) apa yang mungkin akan mereka lihat, dengar, dan pikirkan, dan (3) bagaimana kemungkinan respons yang akan ditampilkan (Watson & Mason, 2006). Salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah jenis dan kualitas tugas yang harus dilakukan siswa. Tugas yang diberikan guru oleh siswa akan menentukan kualitas pengalaman belajar siswanya. Tugas berikut dengan sistem sosial, budaya, dan lingkungan serta tingkat kesulitan, jenis tagihan yang diminta, dan variasi muatan yang mungkin dibuat merupakan tawaran yang menentukan siswa tertarik dan tertantang untuk belajar atau tidak. Mengerjakan latihan soal atau memecahkan masalah adalah salah satu contoh tugas yang biasanya diberikan guru kepada siswa dalam setiap pembelajaran matematika. Bahkan, tidak jarang, guru hanya berbicara sebentar untuk menjelaskan konsep, dan meminta siswa untuk mengerjakan soal latihan matematika dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang lama. Karena itu, pengalaman siswa mengerjakan tugas atau soal matematika merupakan aspek penting untuk pengembangan berpikir matematis siswa. Akan tetapi, tugas atau soal matematika itu harus dipilihkan sedemikian rupa sehingga bermanfaat optimal bagi belajar siswa. Soal tersebut tidak boleh dibuat atau dipilih secara acak dan sekenanya . Menurut Watson & Mason (2004), tugas pengerjaan soal yang memungkinkan siswa belajar dengan baik adalah tugas yang tidak biasa atau not ordinary. Tugas yang baik bukanlah tugas yang hanya sekedar menjadikan siswa berlatih banyak. Tugas yang baik adalah tugas yang diarahkan untuk membantu siswa menguasai keterampilan dan hal penting lain yang diperlukan untuk kesuksesan hidupnya di abad dimana mereka hidup. Saat ini kita berada di abad ke 21. Beberapa keterampilan yang perlu dimiliki dan dikuasai dengan baik agar orang mampu bertahan hidup atau bahkan mewarnai kehidupan di abad 21 ini adalah: (1) creativity and innovation, (2) critical thinking and problem solving, (3) communication, (4) collaboration, (5) information management, (6) effective use of technology, (7) career and life skills, and (7) cultural awareness (Beers, tanpa tahun). Siswa harus kreatif dan inovatif. Siswa harus mampu berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah. Siswa harus mampu berkomunikasi, bekerjasama, mengelola informasi, dan menggunakan teknologi secara efektif. Siswa juga harus mampu memiliki keterampilan untuk mengembangkan karir dan kehidupan mereka. Terakhir, siswa harus memiliki kepekaan terhadap budaya yang ada di sekitar mereka.
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
4
Karena itu, tugas yang harus dikerjakan siswa hendaknya memperhatikan peluang untuk tumbuh dan berkembangnya tujuh hal di atas. Tugas yang diberikan hendaknya mendorong tumbuh berkembangnya daya kreasi, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi, bekerjasama siswa. Tugas juga hendaknya mendorong anak memiliki kemampuan mengelola informasi, menggunakan teknologi, dan peduli pada budaya sekitar. Jadi, tugas apapun, hendaknya dimanfaatkan untuk semua hal di atas. Tugas jangan hanya dipandang untuk keperluan latihan semata. Kembali ke permasalah yang diajukan sahabat Asari di atas. Mengapa sahabat tersebut menanya seperti itu? Menurut hemat penulis, ada beberapa alternatif penyebab mengapa sahabat itu bertanya seperti itu, antara lain: 1. 2.
3.
Beliau terlalu sayang kepada siswa dan khawatir anak tidak bisa menjawabnya kalau kelak soal semacam ini keluar dalam ujian nasional, Beliau tidak percaya diri dengan cara yang bisa digunakan untuk menentukan jawab dari soal ini karena dia sendiri pun tidak bisa menemukan rumus umum yang bisa dipakai untuk menjawabnya, Beliau khawatir kehabisan waktu karena anak berjibaku hanya dengan soal ini saja dan tidak sempat untuk mempelajari hal yang lain.
Hal-hal yang diungkapkan di atas adalah hal yang wajar. Jenis soal UN yang lebih banyak pilihan ganda dan berupa speed test (tes yang diukur dalam waktu tertentu) telah menciptakan praktik “teaching to the test”. Pembelajaran dalam rangka menjawab soalsoal latihan lebih banyak diorientasikan kepada keterjawaban atau keterselesaian soal itu dengan cepat dan tepat. Fokus pembelajaran kurang atau bahkan tidak diarahkan kepada pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan belajar bagaimana belajar (learning how to learn) yang transferable untuk semua masalah (baik matematis maupun kehidupan nyata). Menurut hemat penulis, para pendidik seharusnya mau dan mampu melihat potensi soal yang ada untuk pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan “belajar bagaimana belajar”. Dengan mengetahui potensi soal, guru akan mampu merancang pengalaman belajar yang penting yang perlu dilalui siswa untuk optimalisasi belajar mereka. Berikut disajikan beberapa potensi dari soal-soal yang sempat penulis pikirkan. POTENSI SOAL Berikut disajikan beberapa contoh soal dan potensi yang dimiliki dan dipertimbangkan untuk pengembangannya dalam pembelajaran.
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
5
Soal #1
Soal ini sebenarnya dimaksudkan untuk soal barisan bilangan yaitu untuk KD menemukan pola dan hubungan. Hanya saja, soalnya disajikan dalam bentuk gambar. Kalau diamati secara cermat, barisan bilangan yang adalah barisan sebagai berikut: Suku pertama adalah susunan lingkaran dengan dimensi 1 x 2, Suku kedua adalah susunan lingkaran dengan dimensi 2 x 3, Suku ketiga adalah susunan lingkaran dengan dimensi 3 x 5. Di sinilah menariknya. Kalau guru memahami definisi barisan dengan baik, yakni “fungsi dari himpunan bilangan asli ke ...”, sebenarnya mau diisi susunan lingkaran apapun pada suku berikutnya, jawaban tersebut adalah benar. Sepanjang tidak ada keterangan apapun tentang barisan yang dimaksud, maka guru bisa berpegang pada definisi barisan sebagai fungsi dari himpunan bilangan asli N. Guru tidak perlu berambisi bahwa jawabannya harus tunggal. Jawabannya boleh bermacam-macam. Oleh karena itu, barisan ini mungkin saja memiliki banyak alternatif antara lain. Alternatif 1: Barisannya adalah 1 x 2, 2 x 3, 3 x 5, 1 x 2, 1 x 2, 1 x 2, 1 x 2, dan seterusnya 1 x 2 saja . Artinya, setelah 3 x 5, suku berikutnya konstan dan isinya hanya 1 x 2 saja. Kalau ini terjadi, maka suku ke 100 dari barisan ini adalah 1 x 2. Tidak perlu pakai rumus. Tentunya, bentuk konstan yang lain juga boleh. Terserah siswa. Alternatif 2: Barisannya adalah 1 x 2, 2 x 3, 3 x 5, 4 x 7, 5 x 11, 6 x 13, ... dimana komponen pertamanya adalah barisan bilangan asli dan komponen ke duanya adalah barisan bilangan prima. Karena itu, suku ke 100 dari barisan ini adalah bilangan prima ke 100 yang itu bisa ditentukan dengan pelan-pelan. Alternatif 3: Barisannya adalah 1 x 2, 2 x 3, 3 x 5, 4 x 8, 5 x 12, 6 x 17, 7 x 23, ... Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
6
Komponen pertama adalah barisan bilangan asli dan komponen kedua dari setiap barisan adalah 2, 3, 5, 8, 12, 17, 23, ... dimana beda setiap dua pasang sukunya secara berturut-turut membentuk barisan bilangan asli 1, 2, 3, 4, 5, 6, ... Kalau ini yang terjadi, maka suku ke 100 akan memberi kesempatan kepada anak belajar pola bilangan yang menarik. Alternatif 4: Barisannya adalah 1 x 2, 2 x 3, 3 x 5, 1 x 2, 2 x 3, 3 x 5, 1 x 2, 2 x 3, 3 x 5, ... dimana terjadi pengulanan 1 x 2, 2 x 3, 3 x 5 secara terus menerus. Kalau ini yang terjadi, maka suku ke 100 adalah 1 x 2. Tentu masih banyak lagi alternatif barisan lain yang bisa dibangun dari soal tersebut. Inilah jenis soal yang berbentuk open-ended (satu soal dengan alternatif jawaban bermacam-macam). Dengan memberikan kesempatan dan mendorong anak untuk menemukan berbagai macam jawaban yang mungkin, ada beberapa keuntungan yang bisa diraih, antara lain: 1. anak akan lebih percaya diri dengan jawaban yang dimiliki meskipun jawabnya berbeda dengan jawab temannya, 2. anak akan menjadi lebih berpikiran positif terhadap matematika, karena kreativitas mereka diberi kesempatan berkembang, 3. anak akan lebih toleran dengan jawaban lain sepanjang masuk akal, 4. anak akan menjadi lebih kritis dengan klaim tertentu, karena mereka akan lebih dulu mengkaji asumsi dari klaim tersebut. Praktik pembelajaran kita selama ini memang lebih banyak memberikan soal yang bersifat closed-ended (soal dengan jawaban tunggal) dan itulah sebabnya mengapa kita kurang percaya diri memanfaatkan potensi soal ini untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak. Praktik ujian yang sifatnya pilihan ganda juga ikut berkontribusi terhadap kecemasan guru. Mudah-mudahan ujian nasional kita nanti tidak lagi berbentuk pilihan ganda semata. Soal #2 Diketahui 2/3 siswa pria dan ½ siswa wanita di suatu kelas berkumpul di aula sekolah. Kalau dihitung-hitung, jumlah semua siswa yang di aula itu ternyata sama dengan 60% banyaknya siswa di sekolah itu. Berapakah banyaknya siswa di sekolah tersebut? Soal ini menarik dan banyak guru yang mempertanyakan. Mengapa? Karena salah satu di antara keunikan dari soal ini adalah sifat open-endednya. Kalau kita misalkan banyaknya siswa pria seluruhnya adalah p dan banyaknya siswa wanita seluruhnya adalah w maka kita akan memperoleh persamaan:
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
7
ଶ ଷ
ଵ
ଷ
ଶ
ହ
+ = ݓሺ + ݓሻ.
Bentuk ini akan ekivalen dengan
ଶ ଷ
+
ଵହ ଶ
=ݓ
ଵ଼ ଷ
+
ଵ଼ ଷ
ݓ, dan kalau disederhanakan
ଷ
akan diperoleh bentuk ݓ = . ଶ
Kalau w = 2 maka p = 3 sehingga total siswa di sekolah itu adalah 5 Kalau w = 10 maka p = 15 sehingga total siswa di sekolah itu adalah 25 Kalau w = 100 maka p = 150 sehingga total siswa di sekolah itu adalah 250 Kalau w = 10.000 maka p = 15.000 sehingga total siswa di sekolah itu adalah 25.000 Jawaban terhadap soal ini akan sangat variatif, dan itu memberi peluang kepada siswa untuk berlatih banyak tentang pecahan atau persamaan dua variabel. Di samping itu, kalau kita pandai, kita bisa memanfaatkan ini dengan bertanya: Mungkinkah kita memperoleh sekolah dengan jumlah siswa seperti itu? Kalau mungkin, dimanakah sekolah itu berada? Berapa banyak guru yang diperlukan untuk itu? Untuk kasus seperti apakah sekolah itu dianggap boros? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang memungkinkan terbukanya wawasan siswa dan membantu mereka berpikir kritis, kreatif, dan merasakan manfaat belajar matematika. Soal #3 Ada berapa banyak segitiga yang bisa Anda temukan pada gambar berikut?
Soal ini menarik karena memberi peluang dialami dan bertumbuhnya proses berpikir matematis penting, mulai dari clarifying the problem, sorting and classifying, encoding, representing, comparing and contrasting, finding formulae, and generalizing. Soal ini juga berpotensi untuk membantu untuk menyadarkan seseorang tentang perlunya memiliki persepsi yang luas tentang sesuatu. Kalau hanya segitiga satuan kecil (yaitu segitiga dengan dimensi 1 x 1 x 1 dan berbentuk seperti dan tidak yang Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
8
berbentuk ) yang dipersepsi oleh seseorang sebagai segitiga, dia hanya akan mampu menemukan 16. Tapi kalau dia meluaskan persepsi, sehingga yang berdimensi 2 x 2 x 2, 3 x 3 x 3 dan 4 x 4 x 4 juga termasuk di dalamnya, maka dia akan menemukan lebih banyak lagi segitiga dari gambar tersebut. Soal ini juga memberikan potensi kepada anak untuk mengembangkan strategi perhitungan. Soal ini memiliki potensi untuk menyadarkan anak bahwa cara merepresentasikan yang lebih baik akan memberikan hasil yang lebih baik pula. Mari bandingkan dua macam cara menentukan banyaknya segitiga yang berdimensi 2 x 2 x 2 dan 3 x 3 x 3 berikut (catatan: bentuk segitiga yang diperhatikan hanya dan belum memperhatikan yang berbentuk ). Strategi pertama dilakukan dengan men-trace bentuk segitiga 2 x 2 x 2 dengan lingkaran besar warna merah dan segitiga 3 x 3 x 3 dengan gambar segitiga berwarna biru. Strategi kedua dilakukan hanya dengan menandari titik-titik yang memungkinkan dibentuknya segitiga 2 x 2 x 2 dan 3 x 3 x 3.
Dua strategi ini menghasilkan dua macam gambar yang berbeda. Tampak bahwa dengan strategi pertama gambar yang ruwet, sedangkan dengan strategi kedua, gambarnya terlihat lebih sederhana. Bahkan, dengan strategi kedua, anak berpeluang untuk menemukan pola lebih baik. Mengalami pengerjaan soal dengan menggunakan dua macam strategi representasi seperti di atas merupakan hal yang penting bagi siswa. Dengan mengalami keduanya, mereka akan bisa melakukan comparing dan contrasting dan akhirnya mengambil kesimpulan strategi mana yang lebih bermanfaat dan menyadari bahwa pemilihan strategi yang baik akan menentukan manfaat yang lebih besar. Pengalaman di atas, juga memberikan peluang besar kepada siswa untuk mampu menyelesaikan soal berikut dengan strategi yang baik dan dengan penuh percaya diri.
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
9
Ada berapa banyak segitiga yang bisa ditemukan pada gambar di samping?
Ada berapa banyak persegi panjang yang bisa ditemukan pada gambar di samping?
Soal #4 Berikut ada soal yang penulis adopsi dari Terwel (2011). Soal ini menarik karena bukan saja sangat jarang diberikan di Indonesia, tetapi juga memberikan peluang tumbuh berkembangnya literasi matematis siswa. Matematika yang mereka pelajari tidak hanya bermanfaat untuk belajar matematika yang sifatnya formal, dan abstrak, tetapi juga bermanfaat untuk kehidupan sekitarnya.
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
10
Dengan soal seperti ini, siswa diharapkan menyadari bahwa matematika itu indah dan dekat serta bermanfaat untuk kehidupan keseharian, Banyak fenomena kehidupan sehari-hari yang bisa dijelaskan dengan matematika. Dengan kesadaran itu siswa diharapkan mampu memasuki dimensi pertama dari dimensi belajar menurut Marzano & Pickering (1997), yaitu good attitude and perception. Jika mereka sudah memiliki sikap dan persepsi yang positif terhadap matematika, diharapkan mereka mampu memasuki dimensi-dimensi yang lain yaitu acquire and integrate knowledge, extend and refine knowledge, use knowledge meaningfully, hingga habits of mind. Jika mereka mampu masuk ke dimensi ketiga, yaitu extend and refine knowledge, mereka akan melakukan beberapa proses berpikir yang penting dan bermanfaat bagi pengembangan kemampuan berpikir matematisnya, yaitu: (1) comparing, (2) classifying, (3) abstracting, (4) inductive reasoning, (4) deductive reasoning, (5) constructing support, (6) analysing errors, dan (7) analysing perspectives (Marzano & Pickering, 1997). Dengan beberapa proses berpikir tersebut, pemahaman mereka akan menjadi lebih baik dan lebih mantap. Mereka tidak hanya sekedar tahu tentang sesuatu. Pemahaman yang mereka miliki akan semakin bermakna. Sebagai contoh, mereka mampu membuat hubungan yang baik antara permutasi di SMA dengan permutasi di perguruan tinggi (Struktur Aljabar). Ketika mereka memasuki dimensi use knowledge meaningfully, mereka melakukan proses berpikir yang juga sangat penting untuk belajar kemampuan berpikir matematis, yaitu: (1) decision making, (2) problem solving, (3) invention, (4) experimental inquiry, (5) investigation, (5) system analysis. Mereka bukan saja memiliki ilmu yang bermakna, tetapi juga bisa melihat manfaatnya dalam kehidupan keseharian mereka. Terakhir, ketika mereka sudah memasuki dimensi yang terakhir, yaitu habits of mind, mereka akan melakukan kegiatan berpikir berpikir kritis, kreatif, dan self regulated. Dengan kemampuan berpikir kritisnya, mereka akan menjadi orang yang: (1) selalu berusaha akurat dan mencari akurasi, (2) selalu jelas dan mengejar kejelasan, (3) selalu berpikiran terbuka, (4) berusaha menghindar dari keterburu-buruan, (5) mampu mengambil jarak secara obyektif dari suatu fenomena, dan (6) mampu merespons sesuai dengan perasaan dan level pengetahuannya). Dengan kemampuan berpikir kreatifnya, mereka akan menjadi orang yang: (1) gigih dan pantang menyerah, (2) mampu mengerahkan seluruh potensi sampai ke batas kemampuan terkahirnya, (3) jujur dan terpercaya sesuai dengan standar yang ada, dan (4) mampu menghasilkan sudut pandang baru dari situasi yang ada. Dengan kemampuan self-regulated-nya, mereka akan menjadi orang yang: (1) menyadari apa yang dipikirkan, (2) mampu merencanakan dengan baik, (3) mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber daya dengan tepat, (4) mampu merespon umpan balik dengan tepat, dan (5) mampu menilai keefektifan suatu tindakan.
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
11
Dengan demikian, soal-soal latihan di atas memiliki potensi-potensi yang baik untuk pengembangan kemampuan berpikir matematis. Sebagai pendidik, kita tidak boleh melewatkan begitu saja potensi yang ada ini untuk sekedar membuat siswa selesai mengerjakan tugasnya. Kemampuan menjawab soal dengan cepat dan tepat hendaknya tidak dijadikan fokus dalam pembelajaran matematika. Potensi pengembangan kemampuan berpikir matematis ini harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. PENUTUP Soal-soal yang ada di buku siswa, khususnya buku yang dikembangkan dalam K 13, pada dasarnya dikembangkan untuk membantu siswa menjadi lebih kreatif dan berani bereksplorasi. Banyak sekali soal di dalam buku itu yang dikemas menjadi soal terbuka (open-ended). Penulis sangat mengharapkan agar guru lebih memberi kesempatan kepada siswa untuk menggali soal-soal yang ada dari berbagai sudut pandang sehingga mereka terbiasa dengan berpikir matematis. Guru hendaknya juga memberikan peluang agar siswa mampu memasuki dimensi belajar yang kelima, yaitu habits of mind. Dengan habits of mind, siswa tentu bisa diharap untuk tumbuh menjadi insan yang kritis, kreatif, dan self regulated yang merupakan syarat utama untuk terbentuknya insan Indonesia yang produktif, inovatif, dan kreatif. Terkait dengan pengembangan sifat afektif, yang tidak sempat dibahas dalam tulisan ini, sebenarnya Kurikulum 2013 telah memberikan arahan kepada kita semua untuk mengupayakannya. Bukan sekedar sikap sopan dan santun yang ingin dikembangkan dalam Kurikulum 2013 ini. Menurut hemat penulis pembelajaran dengan pendekatan 5M harusnya membantu anak menumbuhkembangkan beberapa afeksi yang penting untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa unggulan, yaitu: jujur, obyektif, tekun, disiplin, dan tanggungjawab. Semoga pendidikan matematika, dan pendidikan pada umumnya di Indonesia akan semakin berjaya. REFERENSI Beers, S.Z. tanpa tahun. 21st century skills: preparing students for their future. STEM Cai, J. & Lester, F. 2010. Why is teaching with problem solving important to student learning? Dalam Problem Solving Research Brief. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics Chamberlin, S. 2010. Mathematical problems that optimize learning for academically advanced students in grades K-6. Journal of Advanced Academics, 22, 52 – 76 Doyle, T. Tanpa tahun. Mathematical problem solving: a need for literacy. Queensland, AU: Queensland University of Technology Doyle, T. 2008. Helping students learn in a learner-centered environment: a guide to facilitating learning in higher education. Sterling, VA: Stylus
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
12
Kasim, M. 2014. Implementasi Kurikulum 2013. Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Bidang Pendidikan. Disajikan dalam Workshop Penyegaran Nara Sumber Nasional Pelatihan Kurikulum 2013. Banten: Hotel Yasmin, Tangerang, 15 April 2014. Marzano, R.J. & Pickering, D.J. 1999. Dimensions of learning: Teacher’s manual. Alexandria, VA: ASCD Terwel, J. 2011. Cooperative learning and mathematics education: a happy marriage? Paper presented at the OECD/France workshop, Paris, 23 – 24 May 2011 Watson, A. & Mason, J. 2004. The Exercise as mathematical objects: Dimensions of possible variation in practice. Dalam McNamara, O (Ed.). Proceeding of the British Society for Research into Learning Mathematics 24(2), June 2004 Watson, A. & Mason, J. 2006. Seeing an exercise as a single mathematical object: using variation to structure sense-making. Mathematics thinking and learnin, 8(2), 91 – 111.
Seminar Nasional UHAMKA 20 September 2014
Halaman ke
13