MENGENAL LEBIH MENDALAM PUNGUTAN CUKAI
Oleh : Surono (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai)
Pungutan cukai adalah salah satu jenis pajak tidak langsung yang dipungut oleh otoritas negara terhadap obyek pajak berupa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu sesuai yang ditetapkan. Dikatakan sebagai pajak tidak langsung, oleh karena subjek yang harus menanggung beban cukai pertama kali adalah pihak produsen, baik dalam kapasitasnya sebagai pembuat atau sebagai pengimpor.
Beban pungutan cukai tersebut
kemudian dialihkan kepada konsumen terakhir atau pemikul pajak yang sebenarnya. Bila ditinjau dari sisi objek, maka Cukai adalah salah satu pungutan pajak yang memiliki karakteristik unik dibanding dengan pajak-pajak lainnya. Cakupan pemilihan objek cukai bersifat diskriminatif, dalam artian hanya berlaku untuk barang-barang tertentu saja. Bila ditinjau dari sisi maksud dan tujuan pemungutan, cukai dapat digunakan sebagai alat fiskal pemerintah dalam rangka menarik dana dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran pemerintah (revenue collector). Di sisi lain tujuan cukai juga dapat diarahkan untuk kepentingan pengaturan (regulerend) dalam rangka mencapai maksud-maksud tertentu yang diinginkan pemerintah, antara lain: pembatasan produk yang berdampak negatif, pembatasan peredaran, kompensasi biaya eksternalitas, asas keadilan dan kesimbangan, dan sebagainya.
1
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum mengenai konsep dasar pungutan cukai.
Ruang lingkup penjelasan yang akan penulis
sampaikan mencakup: sejarah pemungutan cukai, karakteristik dasar cukai dan penjabaran mengenai objek atau subjek pungutan cukai di Indonesia. Mudahmudahan deskripsi yang singkat ini akan memberikan wawasan yang jelas mengenai konsep pungutan cukai kepada para pembaca.
Sejarah Pemungutan Cukai Sejarah pemungutan cukai modern diawali oleh bangsa Holland (bagian dari negara Netherland) yang pertama kali mengembangkan pungutan cukai dalam bentuk pungutan pajak modern yang dikelola oleh penguasa pada sekitar abad ke 17. Kemudian disusul Inggris yang menetapkan aturan tentang pungutan cukai secara resmi dalam bentuk perundang-undangan pada tahun 1643 dalam rangka meningkatkan pendapatan pemerintahnya. Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan pungutan cukai pertama kali terhadap produk distilled spirits (minuman beralkohol) pada tahun 1791 (Encarta, 2006). Sejarah pemungutan cukai pertama di Indonesia dimulai pada zaman kolonial Belanda pada tahun 1886 terhadap minyak tanah berdasarkan Ordonnantie van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249. Selanjutnya pungutan cukai lainnya diberlakukan terhadap komoditi tertentu lainnya, sebagai berikut : 1)
Alkohol Sulingan, berdasarkan Ordonnantie Van 27 Februari 1898, Stbl. 1898 Nomor 90 en 92;
2)
Bir, berdasarkan Bieraccijns Ordonnantie, Stbl. 1931 Nomor 488 en 489;
3)
Tembakau, berdasarkan Tabsacccijns Ordonnantie, Stbl. 1932 Nomor 517; 2
4)
Gula, berdasarkan Suikeraccijns Ordonnantie, Stbl. 1933 Nomor 351.
Dalam perkembangannya produk hukum warisan kolonial Belanda tersebut beserta peraturan pelaksanaannya masih diberlakukan hingga tahun 1995 meskipun bangsa Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945. Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undangundang Dasar 1945. Pemberlakuan
ordonansi
cukai
produk
kolonial
Belanda
pasca
kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki banyak kekurangan dan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945, antara lain : 1)
diskriminatif;
2)
obyeknya terbatas;
3)
tidak sejalan dengan tuntutan pembangunan;
4)
tidak mencerminkan semangat kemandirian.
Hal ini mendorong semangat para pemikir di DJBC untuk memperbaharui Undang-undang yang mengatur Cukai sesuai dengan semangat kemandirian sebagai bangsa yang merdeka. Pengertian diskriminatif adalah adanya pemberlakuan ketentuan cukai yang berbeda untuk kelima obyek cukai tersebut apabila diimpor dari luar negeri, yaitu untuk gula, hasil tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai atas pengimporannya sedangkan bir dan alkohol sulingan tidak dikenakan cukai. Kondisi lain yang diskriminatif adalah pemberlakuan ordonansi cukai alkohol sulingan eksklusif hanya untuk Pulau Jawa dan Madura saja, sementara wilayah lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak berlaku.
3
Pengertian obyek yang terbatas bahwa pemberlakuan ordonansi cukai lama hanya terbatas pada kelima jenis barang dan Undang-undang tersebut tidak memberikan kemungkinan adanya perluasan obyek cukai. Hal ini memberikan ruang gerak yang terbatas bagi pemerintah untuk menggali potensi penerimaan yang ada, khususnya terhadap komoditi-komoditi yang harus dikontrol atau dibatasi peredarannya. Berkaitan dengan tuntutan pembangunan dan semangat kemandirian, diperlukan
suatu
peraturan
perundang-undangan
tentang
cukai
yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam rangka menggantikan produk-produk hukum kolonial Belanda yang sudah tidak relevan lagi digunakan. Untuk itulah segala upaya dan pemikiran dikerahkan oleh pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyusun suatu Undang-undang tentang cukai yang sesuai dengan perkembangan jaman dan sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945. Sejak tanggal 1 April 1996 Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai resmi diberlakukan menggantikan kelima ordonansi cukai lama. Dalam Undang-undang tersebut diatur suatu ketentuan baru tentang cukai yang terintegrasi dan mengatur hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ada, antara lain: ketentuan sanksi administrasi, lembaga banding, audit di bidang cukai, penyidikan, pengawasan fisik dan administratif, serta kemungkinan untuk memperluas obyek cukai. Materi Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 selain bertujuan membina dan mengatur juga memperhatikan prinsip-prinsip: 1)
keadilan dalam keseimbangan, yaitu kewajiban cukai hanya dibebankan kepada orang-orang yang memang seharusnya diwajibkan dan diterapkan secara sama dalam hal dan kondisi yang sama;
4
2)
pemberian insentif yang bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian nasional berupa fasilitas pembebasan cukai;
3)
pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat di bidang kesehatan, ketertiban, dan keamanan;
4)
netral dalam pemungutan cukai yang tidak menimbulkan distorsi pada perekonomian nasional;
5)
kelayakan administrasi dengan maksud agar pelaksanaan administrasi cukai dapat dilaksanakan secara tertib, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat;
6)
kepentingan penerimaan negara, dalam arti bahwa fleksibilitas ketentuan Undang-undang ini dapat menjamin peningkatan penerimaan negara;
7)
pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi nasional dan kebijakan
politik pemerintah diperlukan suatu perubahan terhadap Undang-undang cukai agar mampu menampung dan memberdayakan peranan cukai sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Amandemen terhadap Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai dilaksanakan dengan pengesahan Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 yang mulai berlaku pada tanggal 15 Agustus 2007. Beberapa materi perubahan dalam amandemen Undang-undang tentang Cukai tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut: 1)
perluasan cara pelunasan cukai yang lebih akomodatif untuk menyesuaikan dengan praktek bisnis tanpa mengabaikan pengamanan hak-hak negara;
5
2)
penyempurnaan sistem penagihan utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi
administrasi
berupa
denda
dengan
menambahkan
skema
pembayaran secara angsuran; 3)
menghapus
ketentuan
yang
mengatur
lembaga
banding
untuk
menyesuaikan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Badan Peradilan Pajak; 4)
penyelenggaraan pembukuan yang diselaraskan dengan perkembangan zaman dan ketentuan audit cukai;
5)
penegasan penggunaan dokumen cukai dan dokumen pelengkap cukai dalam bentuk data elektronik dan sanksi terhadap pelanggaran terhadap pihak yang mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai secara tidak sah;
6)
pengaturan tentang pembinaan pegawai DJBC dengan kode etik dan penyelesaian pelanggarannya melalui komisi kode etik serta pemberian insentif kepada DJBC berdasarkan kinerja;
7)
pengaturan pemberian penghargaan (reward) bagi yang berjasa;
8)
pengaturan tentang bagi hasil dari cukai hasil tembakau kepada pemerintah daerah.
Karakteristik Cukai menurut Teori Dasar Cukai Cukai adalah salah satu instrumen fiskal yang cukup penting bagi otoritas negara. Berdasarkan sifat-sifat dasar atau karakteristiknya, cukai
merupakan
salah satu jenis pajak atas pemakaian atau pajak konsumsi (Brotodihardjo, 1995). Bila merujuk kepada konsep dasar cukai yang bersifat universal, Cnossen (2005) mendefinisikan tiga feature dasar dari pungutan cukai yaitu selectivity in
6
coverage, discrimination in intent dan form of quantitative measurement. Penjelasan terhadap definisi dasar pungutan cukai ini dapat diuraikan berdasarkan pendapat dari Agung (1999) yang penulis sarikan berikut ini : a.
Selectivity in coverage Cukai memiliki kedudukan yang sama seperti halnya pajak-pajak konsumsi
lainnya, seperti pajak penjualan (PPn) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Akan tetapi karakteristik cukai berbeda dengan PPn atau PPN. Bila dilihat dari sisi pemilihan obyek maka PPN atau PPn bersifat general tanpa membedakan jenis barang. Berbeda halnya dengan pemilihan obyek cukai yang bersifat terbatas (selectively). Pembedaan ini bukan tanpa maksud, karena memang tujuan dasar pemungutan cukai berbeda dengan pajak konsumsi lainnya. Konsekuensi lain berkaitan dengan karakteristik cukai yang bersifat selektif adalah bahwa tingkat tarif cukai untuk masing-masing produk yang dipungut cukai akan ditentukan secara terpisah. Perbedaan tingkat tarif tersebut dapat saja dikaitkan dengan tujuan dasar pengenaan cukai itu sendiri. Sebagai contoh, untuk produk minuman beralkohol dapat saja dikenakan tarif cukai yang lebih tinggi dibandingkan dengan tarif cukai produk hasil tembakau. Sifat negatif dan dampak sampingan dari konsumsi hasil tembakau tidak sebesar produk minuman beralkohol. b.
Discrimination in intens Pungutan cukai ditujukan untuk maksud-maksud tertentu yang diinginkan
otoritas pemerintah agar suatu produk tidak leluasa dikonsumsi masyarakat. Alasan pengenaan cukai tentu saja bersifat diskriminatif sesuai dengan tujuan dasar yang diinginkan pemerintah. Berkaitan dengan tujuan pungutan cukai,
7
Cnossen
(2005)
mengidentifikasikan
beberapa
tujuan
mendasar
dari
pemungutan cukai oleh otoritas negara, antara lain : 1)
Untuk meningkatkan pendapatan (to raise revenue) Sama halnya dengan pungutan pajak lainnya, instrumen cukai juga memiliki fungsi budgetair, yaitu sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang cukup penting. Sebagai contoh, Cnossen menjelaskan bahwa di Denmark peranan cukai mencapai 5,6% dari gross domestic product (GDP). Di Indonesia sendiri, peranan cukai juga cukup penting dan memberikan kontribusi sekitar 9% dari total penerimaan pajak dalam negeri.
2)
Untuk mengkompensasikan biaya eksternalitas (to reflect external costs) Biaya eksternalitas adalah kerugian atau keuntungan-keuntungan yang diderita atau dinikmati pelaku ekonomi karena tindakan pelaku ekonomi lain. Biaya eksternalitas akan menyebabkan pasar tidak bisa mencapai efisiensi (diseconomies
externality).
Dalam
konteks
pungutan
cukai,
biaya
eksternalitas yang dimaksudkan adalah beban yang harus ditanggung pemerintah
sebagai
akibat
konsumsi
terhadap
produk-produk
yang
dikenakan cukai. Ilustrasi sederhananya sebagai berikut: konsumsi terhadap rokok akan berpengaruh terhadap kesehatan individu dan masayarakat. Pemerintah setiap tahunnya harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk penanggulangan penyakit yang disebabkan (baik langsung atau tidak langsung) oleh rokok, seperti: penyakit paru-paru, jantung, dan sebagainya. Cnossen memberikan beberapa contoh diseconomies externality yang dapat dikenakan cukai, antara lain: global warming dan pollution. Sehingga penggunaan terhadap produk-produk yang memicu diseconomies externality
8
potensial untuk dikenakan cukai, antara lain: leaded patrol, pestisida, pupuk kimia, sulphur, disposable containers, basic chemicals, batteries, freon, dan sebagainya. 3)
Untuk mengendalikan konsumsi (to discourage consumption) Cukai adalah instrumen efektif yang dapat menghalangi konsumsi terhadap produk-produk yang berdampak negatif seperti rokok dan minuman beralkohol, terutama kepada kaum muda. Pada dasarnya pemerintah punya dua pilihan dalam mengendalikan konsumsi rokok dan minuman beralkohol. Pertama, dengan meningkatkan beban cukai setinggi-tingginya atau melakukan cara-cara preventif dengan program-program penyuluhan kesehatan mengenai bahaya akibat mengkonsumsi kedua produk tersebut.
4)
Untuk mengenakan biaya penggunaan jalan yang disediakan oleh Pemerintah (to charge road users for government-provided services) Pada
dasarnya
penyediaan
prasarana
umum
kepada
masyarakat
merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah. Terlebih apabila pembiayaan infrastruktur yang dibangun tidak diminati oleh sektor swasta. Apabila infrastruktur jalan dibiayai oleh pemerintah maka pemerintah dapat saja memungut cukai atas penggunaan jalan tersebut. Hal ini berguna untuk meningkatkan efisiensi dan untuk menutup biaya perawatan jalan tersebut. 5)
Untuk tujuan-tujuan lainnya, seperti: membiayai riset ilmu pengetahuan, mendukung peningkatan lapangan pekerjaan, dan lain-lain.
c.
Some form of quantitative measurements Desain pungutan cukai biasanya berimplikasi terhadap beberapa bentuk
pengawasan fisik. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan tax liability serta
9
meyakinkan agar para subyek cukai compliance with the law. Sebagai contoh: penerapan kewajiban kepada para reksan cukai untuk melaporkan jumlah produksi mereka secara reguler (dokumen ck-4), kebijakan tertutup terhadap pabrik MMEA dengan cara penempatan petugas bea cukai, dan sebagainya.
Karakteristik Cukai Berdasarkan Undang-undang Cukai Menurut Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, definisi cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai. Adapun sifat atau karakteristik dasar pungutan cukai sebagaimana dimaksud dalam definisi tersebut adalah : 1)
konsumsinya perlu dikendalikan;
2)
peredarannya perlu diawasi;
3)
pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup;
4)
pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
a.
Konsumsinya perlu dikendalikan Salah satu prinsip dasar pemungutan cukai yang berlaku universal adalah
adanya maksud “pembatasan” terhadap konsumsi suatu produk. Otoritas negara menghendaki agar masyarakatnya tidak mengkonsumsi secara berlebihan terhadap suatu produk. Alasannya dapat bermacam-macam, antara lain: karena
10
sumber daya yang terbatas, alasan kesehatan, berdampak negatif terhadap lingkungan dan sebagainya. Indonesia termasuk salah satu negara yang menggunakan alasan pembatasan konsumsi dalam sistem pemungutan cukai. Pungutan cukai dipakai sebagai instrumen fiskal yang akan membatasi konsumsi terhadap barangbarang yang dapat merusak kesehatan, seperti : etil alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dan produk hasil tembakau. Pungutan cukai cocok digunakan sebagai instrumen pengendali konsumsi terutama di negaranegara berkembang oleh karena pola behaviour konsumsi masyarakatnya cenderung price sensitively. Apabila beban cukai diterapkan dalam besaran yang tepat maka pola konsumsi masyarakat cenderung akan menurun. Khusus terhadap produk hasil tembakau, organisasi kesehatan dunia (WHO) memberikan warning yang cukup tegas kepada otoritas negara-negara anggotanya mengenai bahaya rokok bagi kesehatan. WHO telah merintis suatu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sejak tahun 1999. Pada akhirnya FCTC berhasil disepakati pada tanggal 28 Mei 2003 di Genewa dan mulai diberlakukan tanggal 27 Februari 2005. Hingga bulan Juli 2009, FCTC telah diratifikasi oleh 166 negara. Posisi Indonesia sendiri hingga saat ini masih belum menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut, walaupun kebijakan ke arah tersebut sudah menjadi wacana yang cukup sering dibahas oleh otoritas pemerintah.
11
Adapun hal-hal pokok yang direkomendasikan dalam FCTC sebagai upaya pengendalian konsumsi rokok dunia, adalah sebagai berikut : 1)
Penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan. Banyak negara di dunia yang menggunakan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi produk hasil tembakau. Khusus di Indonesia, pemerintah dapat menerapkan pungutan cukai dengan tarif maksimal sebesar 57% dari harga jual eceran atau 275% dari harga jual pabrik.
2)
Pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur. Dampak
negatif
produk
hasil
tembakau
bagi
kesehatan
cukup
mengkhawatirkan. Beberapa referensi kesehatan menyebutkan bahwa Konsumsi rokok menjadi salah satu pemicu utama berbahaya seperti: jantung, stroke,
berbagai penyakit
hipertensi, kanker paru, dan
sebagainya. Hasil kajian WHO menyebutkan bahwa tingkat konsumsi konsumsi rokok di negara-negara Asia (negara berkembang) semakin meningkat, terutama pada usia produktif. Kebiasaan merokok pada usia dini biasanya akan terus dibawa hingga memasuki usia remaja karena sifat rokok dapat menimbulkan rasa ketergantungan (addict). Pemerintah Indonesia juga sudah menyadari dan peduli dengan dampak negatif produk hasil tembakau. Bentuk kepedulian pemerintah tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor No.19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. 3)
Pelarangan penjualan rokok dalam batangan/dalam jumlah kecil. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan jumlah konsumsi produk hasil tembakau adalah kemudahan akses mendapatkan produk tersebut. Apabila penjualan eceran rokok dilakukan dalam jumlah kecil (dalam
12
kemasan
batang)
harganya
relatif
semakin
terjangkau
konsumen.
Dampaknya akan semakin meningkatkan jumlah konsumsi rokok karena semain banyak orang yang mampu membeli produk murah tersebut. Berkaitan dengan aturan kemasan penjualan eceran produk hasil tembakau, pemerintah Indonesia juga telah memberikan batasan yang tegas sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor Kep-79/BC/2002 sebagaimana telah diubah dengan P-37/BC/2008 tentang Kemasan Penjualan Eceran Hasil Tembakau. Batasan penjualan eceran hasil tembakau buatan dalam negeri harus memenuhi kriteria kemasan penjualan eceran sebagaimana tertera dalam tabel I.1 berikut. Tabel 1 Batasan Isi Kemasan Penjualan Eceran Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri
13
b.
Peredarannya perlu diawasi Obyek pungutan cukai tertentu yang memiliki dampak langsung terhadap
kehidupan masyarakat perlu dijaga dan diawasi peredarannya. Tujuan utamanya adalah agar tidak menimbulkan gangguan terutama pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satu obyek cukai yang memiliki kriteria ini adalah produk MMEA. Dampak negatif yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat terhadap peredaran MMEA yang tidak terkontrol adalah dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Oleh karenanya otoritas pemerintah perlu memberikan instrumen fiskal yang dapat mengontrol peredaran MMEA di pasaran. Lantas, apakah karakteristik ini hanya menyangkut BKC MMEA saja, bagaimana dengan produk hasil tembakau dan etil alkohol? Pertanyaan ini mungkin muncul dalam benak anda. Kalau melihat dasar alasan pengenaan cukai terhadap etil alkohol, kurang lebih hampir sama dengan dasar alasan pungutan cukai terhadap MMEA. Hanya saja, etil alkohol bukan merupakan produk yang langsung dapat dikonsumsi tetapi digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan industri. Sama seperti MMEA, peredaran etil alkohol juga diawasi oleh pemerintah. Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap MMEA dan Etil alkohol, adalah : Pada level distributor dan pengecer disyaratkan untuk memiliki ijin di bidang cukai (nomor pokok pengusaha barang kena cukai); Pengangkutan BKC etil alkohol dan MMEA walaupun sudah dilunasi cukainya wajib dilindungi dokumen cukai. Untuk etil alkohol, dalam jumlah lebih dari 6 liter dan MMEA dalam jumlah lebih dari 6 liter dan kadar lebih dari 5%
14
Khusus untuk produk hasil tembakau, alasan pengenaan cukainya lebih ditujukan pada karakteristik pengendalian konsumsi dan juga karakteristik produk yang dapat berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Produk hasil tembakau dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan individu yang menghisapnya dan juga lingkungan sekitar. Perlakuan pengawasan terhadap peredaran produk rokok relatif lebih longgar dibanding kedua BKC lainnya. Pada level distributor maupun pengecer tidak diwajibkan memiliki ijin khusus di bidang cukai. Termasuk tidak adanya kewajiban melindungi dengan dokumen cukai terhadap peredaran produk hasil tembakau. c.
Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif Bila melihat cukai berdasarkan prinsip dasar yang bersifat universal,
pungutan cukai hanya dipungut terhadap barang-barang tertentu (selective coverage) sesuai dengn maksud-maksud yang diinginkan otoritas pemerintah (discremination in intens). Salah satu “intention” yang juga bersifat universal adalah untuk membatasi barang-barang yang dapat berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Pungutan cukai dapat digunakan sebagai alat atau instrumen fiskal yang akan membebani pihak-pihak yang menggunakan suatu produk yang berpotensi menimbulkan dampak negatif. Ketiga BKC (etil alkohol, MMEA dan hasil tembakau) yang menjadi pilihan pemerintah Indonesia untuk dikenakan cukai memiliki karakteristik dapat menimbulkan dampak negatif. Etil alkohol dan MMEA memiliki dampak negatif terhadap kesehatan individu dan juga dampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Hasil tembakau memiliki dampak negatif terhadap kesehatan individu dan juga masyarakat secara luas.
15
Esensi konsep “berdampak negatif” dalam penerapan pungutan cukai pada hakekatnya memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar alasan berdampak negatif terhadap kesehatan saja. Apabila kita melakukan benchmarking dengan sistem pengenaan cukai di negara-negara lain maka akan ditemukan beberapa produk yang mempertimbangkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan. Beberapa jenis barang yang dipungut cukai, antara lain : Tabel 2 Jenis Barang yang Dipungut Cukai Berdasarkan Dampaknya
No.
1.
Alasan Pemungutan
Jenis barang yang
Cukai
dipungut cukai
Negara pemungut
Alasan kesehatan
Produk tembakau
Hampir semua negara
masyarakat
Minuman beralkohol
Hampir semua negara
Sugar/saccharine
France, Germany, India, Japan, Singapore, Malaysia
2.
Alasan lingkungan
Coffee
Japan
Tea
Japan
Semen
India, Malaysia
Soap
India, Malaysia
Electricity
Japan
Ban
Malaysia
Bahan perusak ozon (Air
Thailand, Japan
Conditioner units) Battery
India
16
3.
Alasan menjaga
Gasoline
Singapore, Japan
kelestarian sumber daya
Water
Singapore
Petroleum products
Thailand
Furs (bulu binatang),
Japan
wood, timber
17
d.
Pembebanan atas dasar keadilan dan keseimbangan Berdasarkan penjelasan pasal 2 Undang-undang Cukai, pengertian
karakteristik ini mengacu pada status cukai sebagai instrumen fiskal yang dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan mewah dan/atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok. Tujuan utamanya adalah menjaga keseimbangan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah. Bila dikaitkan dengan instrumen fiskal lainnya maka karakteristik dasar ini memiliki kemiripan dengan karakteristik dasar Pemungutan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). PPnBM merupakan jenis pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dasar hukum pemberlakuannya satu paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Berbeda dengan obyek pungutan cukai, PPnBM dikenakan terhadap obyek berupa: 1)
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean, dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
2)
impor BKP yang tergolong mewah PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP mewah oleh
pabrikan dan pada saat impor BKP mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM, dasar pertimbangan pengenaan PPnBM adalah: 1)
perlu
keseimbangan
pembebanan
pajak
antara
konsumen
yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
18
2)
perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah;
3)
perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
4)
perlu untuk mengamankan penerimaan negara; Adapun pengertian BKP Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang PPN dan PPnBM adalah : 1)
bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
2)
barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3)
pada
umumnya
barang
tersebut
dikonsumsi
oleh
masyarakat
berpenghasilan tinggi; atau 4)
barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5)
apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol. Dari uraian perbandingan antara cukai dan PPnBM ini dapat disimpulkan
bahwa salah satu karakteristik cukai dapat beririsan dengan karakteristik pungutan PPnBM. Dengan kata lain, instrumen cukai dapat menggantikan fungsi PPnBM yang selama ini dipungut pemerintah terhadap barang-barang yang termasuk kategori mewah. Wacana yang berkembang saat ini adalah pengalihan beban pajak dari PPnBM menjadi pungutan cukai, khususnya terhadap minuman beralkohol. Semula terhadap MMEA dikenakan dua kali pungutan pajak konsumsi yaitu cukai dan PPnBM dengan pertimbangan karakteristik yang hampir sama. Ke depannya terhadap MMEA hanya akan dikenakan pungutan cukai tentu saja dengan pembebanan pajak yang ditinggikan.
19
Obyek dan Subyek Cukai di Indonesia Dalam Undang-undang Cukai, barang yang menjadi obyek pengenaan cukai dikenal dengan istilah Barang Kena Cukai (BKC). Pengertiannya adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam
Undang-undang
Cukai.
Saat
ini
pemerintah
Indonesia
baru
memberlakukan pungutan cukai terhadap 3 jenis BKC, sebagai berikut: 1)
etil Alkohol atau Etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;
2)
Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dalam kadar berapapun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;
3)
hasil Tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembaku iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
Ketentuan Undang-undang Cukai memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk menetapkan obyek cukai baru yang mana pengaturannya dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah. Subyek yang harus menanggung beban cukai atas pemakaian atau konsumsi BKC, berdasarkan konsep pajak tidak langsung yang dijelaskan pada bagian awal dapat disebutkan sebagai berikut: 1)
penanggung jawab cukai dan penanggung cukai, adalah individu yang sama yaitu: Subjek yang berada di sektor hulu dalam mata rantai produksi dan peredaran BKC. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah: Pengusaha Pabrik BKC, Pengusaha Tempat Penyimpanan Etil Alkohol dan Importir BKC ;
20
2)
pemikul cukai, yaitu orang-orang atau konsumen akhir yang mengkonsumsi BKC.
Simpulan .
Pungutan cukai merupakan jenis pajak tidak langsung yang dipungut oleh
otoritas negara terhadap obyek pajak berupa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu sesuai yang ditetapkan. Ada dua fungsi utama yang dapat dilakukan dengan instrumen cukai, yaitu : fungsi sebagai revenue collector dan regulerend. Pemerintah dapat mengkombinasikan kedua fungsi ini sesuai dengan kebijakan strategis yang ditentukan. Sejarah pemungutan cukai di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1886, dengan pengenaan objek minyak tanah berdasarkan Ordonnantie van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249. Selanjutnya pungutan cukai lainnya diberlakukan terhadap komoditi tertentu lainnya, berupa: Alkohol Sulingan, Bir, Tembakau, dan Gula. Dalam perkembangannya produk hukum warisan kolonial Belanda tersebut digantikan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007. Berdasarkan teori dasar cukai maka pungutan cukai memiliki tiga feature yang menjadi ciri khas atau karakteristik dasar cukai, yaitu: selectivity in coverage,
discrimination in intent dan form of quantitative measurement.
Aplikasi teori dasar cukai ini juga mewarnai rumusan dasar karakteristik cukai sebagaimana diatur dalam Undang-undang Cukai di Indonesia.
Menurut
Undang-undang Cukai, definisi cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik berupa: 21
konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, serta pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Referensi : Agung, R.B. Permana. (1999). Paper Kecil Tentang Cukai. Agung, R.B. Permana. (2004). Optimalisasi Tarif Cukai Tembakau, Suatu Analisis dengan Kurva Laffer. Makalah dalam Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (Ed.). Jakarta : Kompas. Brotodihardjo, R. Santoso. (1995). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. Cnossen, Sijbren. (2005). Theory and Practice of Excise Taxation: Smoking, Dringing, Gambling, Polluting and Driving. New York: Oxford University Press-USA. Surono. (2010). Bahan Ajar Teknis Cukai I. Tangerang: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
22