MENGEMBANGKAN PENALARAN MATEMATIS DAN MEMBIASAKAN MEMBERIKAN ALASAN YANG MASUK AKAL DALAM MENJAWAB PERMASALAHAN MATEMATIK
Wisulah E-mail:
[email protected] ABSTRAK: Penalaran matematis merupakan fundamental dari belajar matematika. Memberikan jawaban yang disertai alasan yang masuk akal merupakan komponen penting dari bernalar secara matematis. Jawaban yang disertai alasan yang masuk akal secara praktis digunakan dalam berbagai macam kegiatan sehari-hari, mulai dari penentuan harga, membuat perubahan, memutuskan dosis suatu obat, memilih ukuran pakaian yang tepat, dan sebagainya (Alajmi:2009). Sementara sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan berkenaan kemampuan siswa mengevaluasi jawaban dengan memberikan alasan yang msuk akal (Sowder, 1992;. Verschaffel et al, 2007). Menyadari jawaban yang disertai alasan yang masuk akal dinilai sebagai tujuan pembelajaran penting dalam dokumen matematika utama (National Committee on Mathematical Requirements, 1923; National Council of Supervisions of Mathematics, 1989; National Council of Teachers of Mathematics, 1980, 1989, 2000). Namun, perhatian terhadap jawaban yang masuk akal tidak memiliki prioritas tinggi di negara-negara di seluruh dunia (Reys & Nohda, 1994; Yang, 2005, Alajmi,2009). Kurikulum di negara kita adalah termasuk salah satu negara yang memberikan sedikit perhatian dalam kurikulum matematika untuk mengembangkan penalaran matematis dalam kegiatan pembelajaran dan memberikan alasan yang masuk akal dalam menjawab suatu permasalahan matematik. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan proses pembelajaran matematika dalam upaya mengembangkan penalaran matematis, dilengkapi bentuk evaluasi RAT (Reasonable Answers Test) dalam upaya membiasakan memberikan alasan yang masuk akal dari suatu jawaban permasalahan matematik, bagi mahasiswa calon guru yang akan mengajar matematika di Sekolah Dasar. Kata Kunci: Penalaran matematis, Reasonable Answer Test (RAT)
Tujuan pembelajaran matematika di setiap jenjang pendidikan, tertera pada Standar Isi dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006, bahwa mata pelajaran Matematika diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar dengan maksud untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan berpikir seperti yang disebutkan di atas erat kaitannya dengan kemampuan bernalar, kemampuan berpikir reflektif
mengga- bungkan pengetahuan yang telah ada dalam skema dengan pengetahuan atau informasi baru. Dalam dokumen yang sama di bagian lain disebutkan bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006:346). Hal ini bersesuaian dengan Principles and Standards for School Mathematics dari The National Council of Teachers of
405
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 406
Mathematics (NCTM) (2000) mengenai perlunya mengembangkan pemahaman dan penggunaan keterkaitan (koneksi) matematika dalam ide atau pemikiran matematika siswa. NCTM menyatakan bahwa program pembelajaran di sekolah mulai dari Pra-Taman Kanak-Kanak sampai dengan kelas 12 seharusnya memungkinkan siswa untuk: 1) Mengenali dan menggu- nakan koneksi antar ideide atau gagasan dalam matematika. 2) Memahami bagaimana keterkaitan atau koneksi ide-ide dalam matematika dan menyusunnya untuk menghasilkan suatu hubungan yang koheren. 3) Mengenali dan menawarkan matematika dalam kontekskonteks permasalahan di luar matematika. Menurut Asep Jihad (2008:154) bahwa orientasi pembelajaran matematika saat ini adalah upaya membangun persepsi positif dalam mempelajari matematika di kalangan anak didik. Hasil studi Direktorat PLP sebagaimana dikutip oleh Rachmadi Widdiharto (2004) menyebutkan bahwa pembelajaran di sekolah cenderung text book oriented, dan kurang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa. Hal itu selaras dengan hasil refleksi penulis sebagai pelaksana proses pembelajaran matematika selama ini merasakan bahwa: (1) di pihak proses: pembelajaran matematika di kelas cenderung prosedural, hanya menekankan algoritma pengerjaan, pembelajaran matematika cenderung tersekat di kelas, ada batas yang menganga antara matematika yang dipelajari di kelas dan kebutuhan matematika dalam kehidupan nyata; (2) di pihak kemampuan pedagogi guru: bahwa keterampilan dasar mengajar guru terkait dengan “mengajukan pertanyaan” masih cenderung pada level memotivasi siswa untuk berpikir tingkat rendah, proses pembelajaran dengan urutan materi cenderung mengikuti urutan yang ada pada buku paket; (3) sementara pada pihak
siswa: kepercayaan diri siswa sangat rendah, dalam menjawab pertanyaan cenderung hanya secara prosedural tanpa mengerti makna dari apa yang ditulis atau yang diucapkan, perhatian siswa pada saat proses pembelajaran cenderung lemah, sedangkan (4) di sistem penilaian cenderung didasarkan pada hasil akhir tanpa melihat proses penalaran siswa. Lebih khusus lagi penulis memiliki catatat – catatan hasil refleksi pada saat mengajar menemukan bahwa: (1) banyak (maha) siswa menjawab pertanyaan tanpa mengikutsertakan proses berpikir reflektif sehingga jawaban yang diberikan tidak masuk akal. Dokumen catatan lapangan penulis sebagai pengampu mata kuliah Matematika Dasar pada mahasiswa Program studi PGSD angkatan 2010 berikut patut disimak. Contoh 1: Ini terjadi pada mahasiswa calon guru Sekolah Dasar. Ketika presentasi hasil kerja permasalahan verbal tentang Persamaan Kuadrat “Seorang tukang batu yang sudah berpengalaman dapat membangun sebuah tembok 6 jam lebih cepat daripada seorang tukang batu pemula. Mereka dapat membangun tembok selama 4 jam bersama – sama. Berapa lama waktu yang diperlukan oleh tukang batu pemula jika dia bekerja sendiri membangun tembok tersebut? Dengan percaya diri mahasiswa tersebut mempresentasikan hasil kerjanya sebagai berikut: Misal x = orang pemula Y = orang pengalaman Persamaan 1 : x – 6 = y Persamaan 2: x + y = 4 Masukkan x + (x – 6) = 4 2x -6 = 4 X = 5 (Dok. 14-12-2012)
Gambar 1.1
407, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Contoh 2: Ini terjadi pada mahasiswa calon guru Sekolah Dasar di Universitas Kanjuruhan Malang. Ketika mengerjakan permasalahan verbal tentang Persamaan Linear yang melibatkan pemecahan masalah (salah satu bentuk soal UAS mata kuliah Matematika Dasar) “Pak Ketut memiliki sekelompok mahasiswa. Jika mahasiswa tersebut masuk di gedung G yang terdiri dari 2 tingkat dan masing – masing tingkat terdiri dari 4 kelas, ternyata masing – masing kelas masih tersisa 3 kursi. Sedangkan jika sekelompok mahasiswa tersebut masuk ke gedung B yang terdiri dari 7 kelas ternyata ada 23 mahasiswa yang tidak mendapat tempat duduk. Jika masing – masing kelas memiliki kapasitas tempat duduk yang sama banyak, berapa banyak mahasiswa Pak Ketut tersebut?” Dari 91 mahasiswa peserta tes terdapat 54 orang yang menjawab seperti tampak berikut
Gambar 1.2
Pada gambar 1-1 pengerja soal tidak menyadari bahwa, jika nilai x dimasukkan sebagai waktu yang diperlukan oleh tukang pemula yang menurutnya bekerja selama 5 jam, maka waktu yang diperlukan oleh tukang ahli menjadi -1 jam. Dan, jawaban itu tidak masuk akal, karena tidak ada lama waktu negatif. Sedangkan pada gambar 1.2 terlihat bahwa 54 dari 91 mahasiswa (Dok. 14-02-2013) lemah dalam kemampuan komunikasi matematika, mereka salah dalam menterjemahkan informasi yang diketahui dalam kalimat verbal ke dalam kalimat matematika yang berupa simbol – simbol matematika yang berupa persamaan linear satu variabel.
Berdasar hasil refleksi di atas, kiranya perlu perhatian pembahasan pada desain bentuk evaluasi matematika dalam upaya menumbuhkembangkan penalaran matematis. Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical reasoning. Karin Brodie (2010:7) menyatakan bahwa, “Mathematical reasoning is reasoning about and with the object of mathematics.” Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran matematis adalah penalaran mengenai objek matematika. Ahli belajar (learning theorist) Gagne telah membagi objekobjek matematika,yaitu materi yang dipelajari siswa menjadi objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsungnya adalah fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan (FKPK). Sedangkan objek tak langsungnya adalah kemampuan yang secara tak langsung akan dipelajari siswa ketika mereka mempelajari objek langsung matematika seperti kemampuan: berpikir logis, kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, ketelitian, dan lain- lain (Shadiq, 2008:1, online). Ditinjau dari kajiannya, objek matematika adalah merupakan kelima standar isi dalam Prinsiples and Standart for Mathematics NCTM, yaitu Bilangan dan Operasinya (Number and Operations), Aljabar (Algebraic), Geometri (Geometry), Analisis data Statistik dan Peluang ( Data Analysis Statistic and Probability), Pengukuran ( Measurement). Penalaran dan Pembelajaran Matematika Penalaran dalam matematika memilki peran yang amat penting dalam proses berfikir seseorang. Penalaran juga merupakan fondasi dalam pembelajarn matematika. Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan manjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contohcontoh tanpa mengetahui maknanya. Untuk mencapai daya matematika, berbagai model penalaran matematika dilibatkan misalnya, induktif (inductive),
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 408
deduktif (deducttive), bersyarat (conditional), perbandingan (propor-sional), grafik (grafical), keruangan (spatial), dan penalaran abstrak (abstract reasionang). Penalaran (Reasoning) adalah proses berpikir, khususnya proses berpikir logis atau berpikir memecahkan masalah (Lasantha:2011). Berkaitan dengan istilah berpikir, menurut Vincent Ruggiero (Johnson,2006) berpikir adalah sebagai seluruh aktivitas mental yang membantu dalam merumuskan atau memecahkan, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami. Dengan demikian berpikir menekankan pada kegiatan mental yang disadari untuk membantu dalam mengelola, merumuskan, mempertimbangkan, memecahkan, memutuskan, atau usaha memenuhi keinginan untuk memahami sesuatu. berpikir mengarah pada berpikir tingkat tinggi, salah satunya adalah berpikir kritis (Johnson, 2006). Menurut Scriven (dalam Lasantha,2011) berpikir kritis adalah proses disiplin intelektual untuk aktif dan terampil mengkonseptualisasi, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dari atau yang dihasilkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi sebagai suatu panduan terhadap keyakinan dan tindakan. Kemampuan berpikir reflektif dalam matematika yang membuat kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif sama seperti kemampuan berpikir lainnya, akan berkesempatan dimunculkan dan dikembangkan ketika siswa sedang berada dalam proses yang intens tentang pemecahan masalah. (Sabandar:2008). Ennis (1996) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses yang bertujuan agar kita dapat membuat keputusan-keputusan yang masuk akal, sehingga apa yang kita anggap terbaik tentang suatu kebenaran dapat kita lakukan dengan benar. Terdapat elemen dasar dalam berpikir kritis yang diakronimkan dengan FRISCO, yaitu : (1) Fokus (Focus) terhadap situasi yang menggambarkan masalah utama, dalam hal kita dapat mengajukan pertanyaan: apa yang terjadi / diketahui, apa masalah yang
sebenarnya, bagaimana membuktikannya. (2) Alasan (Reason). Memformulasi argumen-argumen yang menunjang kesimpulan, mencari bukti yang menunjang alasan dari suatu kesimpulan sehingga kesimpulan dapat diterima, mengidentifikasi dan menjustifikasi masalah. Terhadap suatu masalah kita harus menemukan masalah utama, memutuskan, mempertimbangakan semua aspek yang mungkin, mempelajari dengan seksama, serta menyimpulkannya. Hal ini dilakukan tidak hanya pada akhir, tetapi dilakukan sepanjang kita memecahkan masalah tersebut (3) Inferensi (Inference), apakah alasan yang kita kemukakan sudah tepat, bila ya, seberapa kuatkah alasan itu dapat mendukung kesimpulan yang kita buat. (4) Situasi (Situation), aktifitas berpikir juga dipengaruhi oleh lingkungan atau situasi yang ada disekitar kita. (5) Klarifikasi (Clarify), hal itu dapat dilakukan dengan menanyakan : apa maksudnya, dapatkah memberi contoh lain, dapatkah kamu mencarinya dengan cara lain. (6) Keseluruhan (Overview), memandang secara keseluruhan. Berdasarkan pendapat Ennis maka dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis sesungguhnya adalah suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal mengenai sesuatu yang dapat ia yakini kebenarannya serta yang akan diputuskan atau dilakukan . Kilpatrick et al. (2001, hal. 116) menjelaskan pandangan bahwa kesuksesan pembelajaran matematika secara komprehensif dan apa makna kemampuan matematika, terdapat lima strand yang saling terjalin dan saling tergantung . Kelima strand tersebut adalah pemahaman konseptual (Conceptual Understanding CU), yang memuat: pemahaman konsep matematika, operasi, dan hubungan antar operasi atau hubungan antar konsep; kefasihan prosedural (Procedural FluencyPF), Melibatkan keterampilan dalam melaksanakan prosedur fleksibel, akurat, efisien, dan tepat; kompetensi strategis (Strategic competence - SC), yang merupakan kemampuan untuk merumuskan, merepresentasikan, dan meme-
409, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
cahkan masalah matematika; penalaran adaptif (Adaptive Reasoning -AR), yang merupakan kemampuan berpikir logis, reflektif, memberi penjelasan, dan pembenaran (justifikasi); dan disposisi produktif (Productive disposition - PD), kecenderung- an kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang masuk akal, berguna, dan bermanfaat, ditambah dengan percaya bahwa seseorang memiliki kemampuan sendiri untuk mengenal matematika. Kilpatrick et al. (2001) berpendapat bahwa kemampuan matematika tidak dapat dicapai dengan memfokuskan pada satu atau dua strand saja tetapi membangun di semua lima strand meningkatkan standar kemam- puan matematika, karena setiap strand berinteraksi dan saling memperkuat satu sama lain. Brodie (2010) menyarankan, "siswa yang memiliki kesempatan untuk mengembangkan masing-masing kelima strand tersebut cenderung memiliki kemampuan lebih dan menjadi benarbenar kompeten. Oleh karena itu, guru perlu menyusun aktivitas struktur kelas, sehingga terjadi kegiatan yang menekankan dan mensinkronkan kelima strand tersebut. Brodie (2010) memberikan follow up dari penelitiannya yang melibatkan lima guru di Afrika yang mengajar matematika dengan memperhatikan lima “strand” penalaran dari Kilpatrick (2001), bahwa aspek–aspek yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran yang menekankan pada penalaran (Reasoning) dibagi dalam lima subkategori yaitu: (1) Selipkan (Insert), (2) Munculkan (Elicit), (3) Tekankan (Press), Tegaskan (Maintain) dan, (5) Konfirmasi- kan (Confirm). “An initial coding of my data showed that there were a large number of follow up moves which functioned differently, so I further divided this category into different kinds of follow up. The five subcategories of follow up are (1) Insert The teacher adds something in response to the learner’s contribution. She can elaborate on it, correct it, answer a question, suggest something, make a link etc; (2) Elicit
While following up on a contribution, the teacher tries to elicit something new from the learner or other learners. She elicits additional information or a new but related idea to take the lesson forward. Elicit moves often, but not always, narrow the contributions in the same way as funneling; (3) Press The teacher pushes or probes the learner for more on her/his idea, to clarify, justify or explain more clearly. The teacher does this by asking the learner to explain more, by asking why the learner thinks s/he is correct, or by asking a specific question that relates to the learner’s idea and pushes for something more; (4) Maintain The teacher maintains the contribution in the public realm for further consideration. She can repeat the idea, ask others for comment, or merely indicate that the learner should continue talking; (5) Confirm The teacher confirms that s/he has heard the learner correctly. There should be some evidence that the teacher is not sure what s/he has heard from the learner, otherwise it could be press.” (Brodie, 2010:140) Pada sub kategori Selipkan (Insert) kegiatan yang dilakukan guru dalam membimbing siswa antara lain: menambahkan suatu ide, informasi, fakta atau pengetahuan lain yang mendorong untuk menumbuh-kembangkan penalaran siswa melalui pertanyaan, respon balik atas jawaban siswa, membuat keterkaitan dengan pengetahuan terdahulu dan sebagainya. Pada sub kategori Munculkan (Elicit), dengan tanya jawab guru berusaha memotivasi siswa untuk memunculkan gagasan baru yang terkait dengan materi pelajaran yang akan dibahas. Sedangkan pada subkategori Tekankan (Press) guru memotivasi siswa untuk memberi penekanan, mengklarifikasi, membenarkan atau menerangkan lebih jelas dari ide yang muncul, dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan “kenapa …”, “mengapa …, sebutkan contoh lain, dan sebagainya. Pada subkategori Tegaskan (Maintain) guru memotivasi dan mendorong siswa untuk menegaskan atas ide yang muncul, dengan cara mengulanginya, atau meminta siswa lain untuk menjelaskan dengan cara lain menurut bahasanya sendiri, atau juga
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 410
memberi isyarat bahwa kerja siswa bisa dilanjutkan atau perlu pembenahan. Pada sub kategori terakhir Brodie memberikan follow up bahwa guru harus memberikan Konfirmasi (Confirm) atas ide – ide yang benar, memberikan bukti, memberikan kesimpulan dan penegasan. Di bawah ini gambar 1.3 ditampilkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada seorang siswa kelas VIII, dengan melibatkan lima aspek pembelajaran untuk mengembangkan penalaran matematis. Pada saat kerja berpasangan setelah siswa (kelas VIII) menemukan rumus Panjang busur dan Luas juring , diberikan permasalahan luas juring yang melibatkan konsep lain seperti berikut: Pada gambar di bawah besar ∠AOB = 26° dan ∠COD = 104°, jika luas juring COD = 64 cm². Tentukan luas juring AOB!
C B
A B Wildan (WD) datang menghampiri guru (G), dan terjadi tanya jawab berikut: WD : (Dengan membawa sketsa gambar “Bu untuk menentukan x yang paling gampang dengan cara apa, Bu?” 64 D 104 O C B A
26 x
WD : (menulis di kertas)
2 100 6
p
G : Untuk mencari p bagaimana? (Maintain) WD: (Setelah diam beberapa saat …….. “ O …. Iya bu, …. Iya bu aku ingat, enam kali seratus dibagi dua”) G : “Coba tuliskan p = …….”(Maintain)
WD : (menulis di kertas ) G : “ Dengan cara yang sama coba buat perbandingannya untuk soal kamu tadi…….”(Maintain) WD: (menulis di kertas)
D O
WD : “ 2 permen Rp 100,- kalau 6 permen berapa …….. G : “Coba tuliskan perbandingannya!” (Press)
B G : “Gunakan perbandingan “ (Elicit) WD: ( terdiam) G : “Kamu ingat kalau beli 2 permen harus bayar Rp100,-, kalau beli 6 perman yang sama harus bayar berapa?” (Insert) WD:” Rp 300,- Bu!” G : “Pintar. Tadi cara kerjanya bagaimana? (Press)
G : “Biasakan , corat – coret (menyederhanakan) untuk mempercepat perhitungan, dilihat mana yang bisa dicoret” (Maintain) WD : (Diam agak lama ……) G : “ Coba 26 dengan 104 bisa apa ndak itu dicoret …….”(Maintain) WD : ( masih saja diam ……) G : “ Kita coba gunakan pendekatan (maksudnya Estimasi) kalau 26 kita dekatkan dengan 25 dan 104 kita dekatkan dengan 100, nah sekarang 100 dibagi 25 berapa ……?”(Insert) WD : 4 Bu …..! G : “Sekarang kembalikan apakah benar 26 × 4 = 104” (Confirm) WD : “Benar Bu ……” G : “Jadi …….. WD : (melanjutkan bekerja ) ……. “ hasilnya 16 … Bu” G : “Okay, berarti kalau ada masalah serupa kamu bisa menggunakan perbandingan, jangan lupa biasakan tidak mengalikan semuanya dan membaginya, tapi gunakan “coret – coret “ supaya bilangan kita tidak terlalu besar dan mencoba menggunakan pendekatan untuk menghitungnya” (Confirm)
(DOK. 21-03-2013)
Gb.1.3
411, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Teori Belajar Yang Mendukung 1.Pembelajaran Beracuan Konstruktivis Pembelajaran matematika menurut pandangan kontruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi konsep-konsep matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Saran Davis (1996) Maher, & Noddings, 1990), pandangan kontruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada : (1) Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamanya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorgani- sasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis. Marshall (1990) and Hand (1996) merekomendasikan bahwa guru seharusnya berubah dari yang otoritas figure dan penuh kekuasaan dalam kelas menjadi lebih sebagai fasilitator. Memberi kesempatan siswa untuk berkolaborasi, memecahkan masalah dan mengkonstruk penalarannya. Karena memahami matematika bukan sekedar dapat menyebutkan suatu fakta atau konsep, bukan hanya dapat menghitung atau mengerjakan soal dengan memilih jawaban yang benar saja, melainkan harus juga mempertimbangkan pemecahan masalah (problem solving) , komunikasi matematika (Mathematic communications), penalaran (Reasoning), dan hubungan – hubungan matematika (Mathematical Conections) (NCTM:2000). Di situ ditegaskan pula bahwa pemecahan masalah merupakan central dari pembelajaran matematika. Masalah matematika adalah merupakan pertanyaan
yang tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah ada. Salah satu definisi dari masalah adalah “situasi di mana seorang individu atau kelompok diminta untuk mengerjakan tugas yang tidak ada algoritma/prosedur yang didapat untuk menentukan penyelesaian sepenuhnya. Perlu ditambahkan bahwa definisi ini mengasumsikan keinginan sebagian individu atau kelompok untuk mengerjakan tugas” (Lester, 1980, halaman 287). Definisi ini menunjukkan sifat non-rutin masalah sebagai tugas yang membutuhkan kreativitas untuk menyelesaikannya (Ernest: 2007). Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses. Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter, 1992). Carpenter dan Lehrer (1999) mengusulkan lima bentuk aktivitas mental dari mana pemahaman matematika berkembang. Kelima aktivitas tersebut adalah (a) membangun hubungan, (b) memperluas dan menerapkan pengetahuan matematika, (c) mencerminkan tentang pengalaman, (d) mengaartikula sikan apa yang diketahui, dan (e) membuat sendiri pengetahuan matematika sesuai apa yang diketahui (Carpenter & Lehrer, 1999, p. 20). Melibatkan siswa dalam kegiatan mental memungkinkan mereka untuk membangun pemahaman mereka sendiri
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 412
harus menjadi bagian sentral dari setiap kelas matematika. Oleh karena itu, ketika mengajar untuk bernalar dan memahami, guru harus memastikan bahwa mereka menetapkan norma-norma kelas yang memungkinkan siswa untuk terlibat dalam kegiatan mental, memberikan tugas matematika yang banyak memfasilitasi pemikiran, menggabungkan ekuitas yang menuntut semua anak memiliki kesempatan untuk belajar, dan menggunakan penilaian untuk terus memantau perkembangan penalaran dan pemahaman siswa (Fennema et al., 1999). Namun kita juga perlu memperhatikan pendapat Rutherford dan Ahlgren bahwa siswa mempunyai ide sendiri tentang hampir semua permasalahan, ide atau pendapat mereka terhadap permasalahan itu ada yang betul dan ada juga yang salah. Jika ide yang salah ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, maka kepahaman atau kepercayaan asal mereka itu akan tetap kekal dalam pemikirannya walaupun mereka mungkin memberi jawaban seperti yang dikehendaki oleh guru. Oleh karena itu matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia dalam hal ini siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Graveimejer, 1999). John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan proses pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkelanjutan. John Dewey juga menekankan kepentingan penyertaan siswa di dalam setiap aktivitas proses pembelajaran. Dari persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik perencanaan dan
proses pembelajaran, penilaian, tindak lanjut dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaedah pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada guru (Teacher Centered Learning) ke arah pembelajaran yang berorientasi pada keaktifan siswa (Student Centered Learning). Sedangkan Cinzia Bonotto (2000) menyarankan untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-sehari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari. Oleh karena itu pembelajaran matematika yang berorientasi masalah realistik sangat cocok untuk mendukung paham ini. 2. Pembelajaran RME Pembelajaran matematika realistik (Realistic Mathematics Education) memberikan kesempatan kepada siswa unutk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan cara-cara informal untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan pengkonstruksian konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema (jaringan representasi) anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan menjadi lebih kuat sehingga pengertian siswa tentang konsep yang mereka konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan demikian, pembelajaran matematika realistik akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.
413, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Seperti saran (Pape et al, 2003., P. 180, Fuchs et al. 1996) bahwa pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari harus menjadi fokus utama pengajaran matematika; penalaran tentang matematika, daripada menghafal aturan dan prosedur, membantu anak memahami matematika. Matematika adalah cara berpikir dan jaringan ide-ide dan konsep-konsep yang terkait, serta sebagai wahana untuk mengembangkan pemikiran kritis, berpikir kreatif, dan kemampuan pengambilan keputusan. 3. Pembelajaran Berbasis Masalah Menurut (Sabandar,Online) pilar utama dalam mempelajari matematika adalah pemecahan masalah. Dalam mempelajari matematika orang harus berpikir agar ia mampu memahami konsep-konsep matematika yang dipelajari serta mampu menggunakan konsep-konsep tersebut secara tepat ketika ia harus mencari jawaban bagi berbagai soal matematika. Model pengajaran berdasarkan masalah ini telah dikenal sejak zaman John Dewey. Menurut Dewey (dalam Trianto, 2009:91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengejaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajarn ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun penge-
tahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajarn ini cocok untuk pengetahuan dasar maupun kompleks. Pembelajaran berbasis masalah dilandasi teori konstruktivis. Pada pembelajaran ini dimulai dengan menyajikan masalah nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerjasama antar siswa, guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan, guru memberi contoh mengenai penggunaan ketrampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan. Guru menciptakan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa. Adapun karakteristik PBM menurut Sovie dan Hughes (dalam Santyasa 2008:3) yaitu: (1) Belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) Memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) Mengorganisasikan pelajaran di seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu. (4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) Menggunakan kelompok kecil, (6) Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Setelah mengetahui uraian tentang karakteristik dan tujuan dari pembelajaran berbasis masalah maka sudah tampak sangat jelas bahwa dengan adanya masalah yang dapat dimunculkan oleh siswa dan guru, kemudian siswa dapat memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang perlu diketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Fokus masalah dalam pembelajaran berbasis masalah ini adalah masalah yang dapat diselesaikan siswa dan mampu
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 414
mengembangkan kemampuan penalaran matematis siswa. Di saat memecahkan masalah, ada beberapa cara atau langkah yang sering digunakan. Cara yang sering digunakan orang dan sering berhasil pada proses pemecahan masalah inilah yang disebut dengan Strategi pemecahan masalah. Setiap manusia akan menemui masalah. Karenanya, strategi ini akan sangat bermanfaat jika dipelajari para siswa agar dapat digunakan dalam kehidupan nyata mereka. Beberapa strategi pemecahan masalah matematika yang sering digunakan adalah: a. Membuat diagram. Strategi ini berkait dengan pembuat sket atau gambar coret-coret untuk mempermudah memahami masalahnya dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaian. b. Mencobakan pada soal yang lebih sederhana Strategi ini berkait dengan menggunakan kaus khusus yang lebih sederhana agar lebih mudah dipelajari, sehingga gambaran umum penyelesaian yang sebenarnya dapat ditemukan. c. Membuat tabel Strategi ini digunakan untuk membantu menganalisis permasalahan atau jalan pikiran kita, sehingga segala sesuatunya tidak dibayangkan hanya oleh otak yang kemampuannya sangat terbatas. d. Menemukan pola Strategi ini berkait dengan pencarian keteraturan-keteraturan. Keteraturan (pola) tersebut akan memudahkan kita menemjukan penyelesaiannya. e. Memecah tujuan Strategi ini berkait dengan pemecahan tujuan umum yang hendak kita capai menjadi satu atau beberapa tujuan bagian. Tujuan bagian ini dapat digunakan sebagai batu loncatan
f. Memperhitungkan setiap kemungkinan Strategi ini berkait dengan penggunaan aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh si pelaku selama proses pemecahan masalah sehingga tidak akan ada satupun alternatif yang terabaikan. g. Berpikir logis Strategi ini berkait dengan penggunaan penalaran maupun penarikan kesimpulan yang sah atau valid dari berbagai informasi atau data yang ada. h. Bergerak dari belakang Dengan strategi ini, kita mulai dengan menganalisis bagaimana cara mendapatkan tujuan yang hendak dicapai. Dengan strategi ini, kita bergerak dari yang diinginkan lalu menyesuaikannya dengan yang diketahui. i. Mengabaikan hal yang tidak mungkin Dari berbagai alternative yang ada, alternative yang sudah jelas-jelas tidak mungkin agar dicoret/diabaikan sehingga perhatian dapat tercurah sepenuhnya untuk hal-hal yang tersisa dan masih mungkin saja. j. Mencoba-coba Strategi ini biasanya digunakan untuk mendapatkan gambaran umum pemecahan masalahnya dengan mencoba-coba dari yang diketahui. Penilaian Penalaran Matematis Dragonosky (2012: online) secara implicit menyarankan bahwa langkah kerja penyelesaian masalah kontekstual melibatkan penalaran yang masuk akal adalah: (1) menterjemahkan masalah verbal ke bahasa simbul matematika, (2) membuat perhitungan Estimasi, (3) memilih dan menentukan strategi penyelesaian, (4) menentukan selesaian dengan strategi pilihan, (5) membandingkan hasil perhitungan dengan hasil estimasi, (6) berpikir reflektif untuk
415, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
mengambil keputusan, (7) memberikan alasan yang masuk akal dari jawaban yang diberikan. Agar lebih jelas di bawah ini (gambar2.1) diselipkan pengantar dan contoh dari modul “Evaluating Reasonable Solutions” dari Dr.Dragonosky (2012: online) Dengan evaluasi yang melibatkan penalaran yang mendorong siswa untuk berpartisipasi dalam perbedaan dan mengecek kembali jawaban dapat memonitor tentang penalaran konsep matematika siswa. (Pape, Bell, & Yetkin, 2003, p. 181). Penelitian menunjukkan bahwa siswa menggunakan salah satu dari dua kriteria untuk menilai alasan suatu jawaban yang masuk akal (Gagne, 1983; Johnson, 1979; Hiebert, 1984; Reys, 1985; McIntosh & Sparrow, 2004): (1) Hubungan antar bilangan dan akibat dari suatu operasi dan (2) kepraktisan jawabannya. Kriteria pertama mencerminkan pemahaman tentang hubungan antar bilangan dan akibat hasil operasi dari bilangan tersebut. Menggunakan kriteria ini, seseorang akan mampu mengidentifikasi batas jawaban yang masuk akal. Sebagai contoh, mempertimbangkan pengurangan dua pecahan , 9/11-4/5. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa siswa akan mengurangi pembilang dan penyebut dan melaporkan 5/6 sebagai hasilnya. Namun, jika siswa memanfaatkan pengertian bilangan akan melihat bahwa kedua pecahan tersebut sangat dekat dengan 1, maka perbedaan itu harus kecil. Dan, mereka diharapkan menyadari bahwa 5/6 juga sangat dekat dengan 1 dan, karena itu,jawaban mereka tidak masuk akal. Sedangkan kriteria kedua berkaitan dengan kepraktisan jawaban. Siswa menggunakan kriteria ini membandingkan jawaban dengan sesuatu yang masuk akal dalam kehidupan sehari-
hari mereka. Mereka memeriksa apakah besarnya jawaban dan jenis bilangan masuk akal berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Misalnya, harga tiket masuk menyaksikan pertandingan Arema dengan Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang untuk 6 orang tidak mungkin Rp21.000. Atau bilangan pecahan tidak dapat menjadi jawaban tentang banyaknya orang yang lewat atau jumlah mobil di jalan raya. Sejauh mana siswa memanfaatkan kriteria ini tergantung pada kisaran pengalaman mereka tentang dunia nyata dan kesediaan mereka untuk membuat keputusan. Kedua kriteria untuk menilai alasan kewajaran suatu jawaban yang saling terkait. Ketika seorang individu mencerminkan jawaban, ia bisa menilai hasil menggunakan salah satu atau kedua kriteria, tergantung pada jenis masalah serta bilangan dan operasi yang terlibat. Gambar 1.4 berikut ditampilkan contoh bentuk RAT (Reasonable Answer Test). Bentuk RAT ini mengikuti format “Module # 4 of 15 Evaluating for a Reasonable Solution ( Dr. Dragonosky Presents Texas: 2012 (online)) dan Examining eighth Grade Kuwaiti Students’ Recognition of Reasonable Answers (Alajmi :2009) dengan mengubah, menambah di beberapa bagian berkenaan dengan bahasa dan redaksi dan tingkat kesulitan disesuaikan dengan kaidah dan situasi pada kehidupan nyata di lingkungan kita. Reasonable Answer Test (RAT) ini digunakan untuk menilai kinerja (maha) siswa dalam mengenali kewajaran jawaban. Setiap item mewajibkan (maha) siswa untuk memberikan jawaban serta menyertakan alasan kewajaran jawaban dan kemudian menjelaskan bagaimana mereka sampai pada keputusannya.
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 416
Item pada RAT memanfaatkan empat operasi dasar (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian) pada bilangan Rasional.
KERJAKAN SOAL BERIKUT DENGAN LANGKAH – LANGKAH SESUAI DENGAN PERMINTAAN! Melisa ingin membeli beberapa buku binder untuk membuat kumpulan puisi dan cerpen di saat liburan. Harga sebuah buku binder Rp 6.400, dan tertera PPn (Pajak Pertambahan nilai yang dibebankan pada konsumen ) sebesar 10 %. Jika dia mempunyai uang Rp 30.000 untuk membeli buku binder. Berapa buku yang dapat dibeli Melisa?
Diketahui: Ditanyakan: Rumus / strategi yang digunakan: Penyelesaian: (Jelaskan mengapa, Melisa hanya bisa membeli buku binder sebanyak itu?)
Gambar 1.4
Sistem Penilaian RAT dapat dilihat pada tabel 1.1, mengikuti format dari “Evaluating Reasonable Solutions” dari Dr.Dragonosky (2012: online) yang memiliki 7 aspek: (a) menterjemahkan masalah verbal ke bahasa simbul matematika, (b) membuat perhitungan Estimasi, (c) memilih dan menentukan strategi penyelesaian, (d) menentukan selesaian dengan strategi pilihan, (e) membandingkan hasil perhitungan dengan hasil estimasi, (f) berpikir reflektif untuk mengambil keputusan dengan mengecek balik jawaban, (g) memberikan alasan yang masuk akal dari jawaban yang diberikan. Aspek indikator 1-4 penskoran dilakukan dengan kriteria “Jenis jawaban” dan aspek 5-7 penskoran dilakukan dengan kriteria “Penjelasan”. Masing – masing diberikan rentangan skore 0-3, dengan rincian sebagai berikut: Skore Jenis Jawab an 0
1 2
3
Biasakan untuk mengecek jawaban yang telah didapat. Cocokkan dengan situasi dan kondisi yang sesungguhnny
a
Keterangan
Skore Penjel asan
Tidak ada Jawaban sama sekali Jawaban tidak sesuai Jawaban kurang sesuai
0
Jawaban Benar
3
1 2
Keterangan Tidak ada Penjelasan sama sekali Penjelasan tidak sesuai Penjelasan Kurang masuk akal Penjelasan masuk akal
417, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Tabel 1.1 Sistem Penilaian RAT
NO
1
2 3
4
5
6
7
ASPEK INDIKATO R
Jenis Jawab an
Penje lasan
Skore Total
menterjemahk an masalah verbal ke bahasa simbul matematika membuat perhitungan Estimasi memilih dan menentukan strategi penyelesaian menentukan selesaian dengan strategi pilihan membandingk an hasil perhitungan dengan hasil estimasi, berpikir reflektif untuk mengambil keputusan (cek ulang hasil kerja) memberikan alasan yang masuk akal dari jawaban yang diberikan.
Langkah evaluasi bisa dilanjutkan dengan menginterview secara mendalam (Reasonable Answer Interview -RAI) bagi mahasiswa sebagai subyek belajar untuk mengetahui strategi apa yang digunakan. RAI difokuskan pada memeriksa proses yang digunakan (maha) siswa untuk menentukan kewajaran jawaban dan menguji strategi yang digunakan (maha) siswa dalam menentukan alasan yang
wajar dari jawaban. Pada awal wawancara, perlu dijelaskan tujuan wawancara kepada (maha) siswa dan kemudian meminta mereka untuk menggambarkan pemikiran mereka dengan suara keras (think aloud) tentang kewajaran dari jawaban yang disajikan. (Maha)siswa juga ditanya apakah mereka memiliki cara lain untuk menilai kewajaran jawabannya. Sebagai tindak lanjut perlu diajukan pertanyaan yang bertujuan untuk memperjelas dan memberikan penjelasan lebih detail tentang pemikiran mereka (misalnya, Bisakah Anda menjelaskan apa yang Anda maksud dengan ...?). Pertanyaan perlu dilanjutkan sampai siswa memberikan penjelasan yang dapat dimengerti oleh penulis. Bentuk RAT dapat dilihat pada lampiran. PENUTUP Bentuk kegiatan dan RAT yang dikembangkan dalam artikel ini hanya terbatas sebagai contoh pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas mahasiswa calon guru yang akan mengajar matematika di Sekoah Dasar. Namun demikian sebenarnya dapat dikembangkan dan akan lebih bermanfaat jika dikembangkan RAT matematika sekolah bagi siswa di tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Akhirnya, semoga sekelumit usaha ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang peduli dengan kemajuan pendidikan anak bangsa, khususnya pada pembelajaran matematika.
KAJIAN PUSTAKA Alajmi, A. (2010). Examining Eight Grade Kuwaiti Students’ recognition and
Interpretation of Reasonable Answer. International Journal of
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 418
Science and Mathematics Education (2010) 8: 117Y139 # National Science Council, Taiwan Bonotto, C. (2005). How informal out-ofschool mathematics can help students make sense of formal Inschool mathematics: The case of multiplying by decimal numbers. Bloomberg & Volpe, 2008. Completing Your Qualitative Disertation. A Roadmap From Beginning to End. SAGE.London Brodie. K et.al. (2010) Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classrooms. School of Education University of the Witwatersrand JohannesburgSouth Africa
[email protected] © Springer Science+ Business Media, LLC 2010 Choy, S. Chee & Pou San Oo (2012) Reflektive Thinking and Teaching Practises: a Precursor For Incorporating Crirical Thinking into the Classroom? International Journal of Instruction January 2012 Vol.5, No.1 e-ISSN: 13081470 www.e-iji.net p-ISSN: 1694609X Confrey J, Kazak S (2006) A thirty-year reflection on constructivism in mathematics education in PME. In: Gutierrez A, Boero P (eds) Handbook of research on the psychology of mathematics education: past, present and future. Sense Publishers, Rotterdam Davis RB, Maher CA (1997) How students think, the role of representation. In: English LD (ed) Mathematical reasoning: analogies, metaphorsm images. Lawrence Erlbaum Associates, Hillsdale, NJ Depdiknas. 2006. Kurikulum Standar Kompetensi Matematika Sekolah
Menengah Atas dan Madrasah aliyah. Jakarta: Depdiknas. Dvora Peretz (2006) Enhancing Reasoning Attitudes Of Prospective Elementary School Mathematics Teachers. Journal of Mathematics Teacher Education 9:381–400 _ Springer 2006DOI 10.1007/s10857-006-9013-9 Dragonosky Presents. (2012: online) Evaluating for a Reasonable Solution 8thGrade Module # 4 of 15 (On Line) 11914 Dragon lane, SanAntonio, Texas. 78252 Telp. (210) 622-4300 Southwest ISD. 2012 Eggen, P.D., Kauchak, D.P. 1996. Strategy for Teacher : Teaching Content and Thinking Skill. 3rd Edition. USA. Allyn & Bacon. Emerson Jodie (2010) Connections Made through Higher Level Questioning. In partial fulfillment of the MAT Degree Department of Mathematics University of Nebraska – Lincoln Ennis, R.H. (1996). Critical Thinking. Prentice Hall New York. Ernest P (1991) The philosophy of mathematics education. Falmer Press, London Fraivillig JL, Murphy LA, Fuson KC (1999) Advancing children’s mathematical thinking in everyday mathematics classrooms. J Res Math Educ 2:148–170 Grayer,Marlena.(2009) Reasonable or Not? A Study of the Use of Teacher Questioning to Promote Reasonable Mathematical Answers from Sixth Grade Students in partial fulfillment of the MAT Degree Department of Mathematics University of NebraskaLincoln
419, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Greeno JG, Collins AM, Resnick LB (1996) Cognition and learning. In: Berliner DC, Calfee RC(eds) Handbook of educational psychology. Simon and Shuster, MacMillan, New York, Jihad, Asep. 2008. Pengembangan Kurikulum Matematika (Tinjauan Teoritis dan Historis). Bandung. Multi Pressindo Joyce, B., et al . 2009. Models of Teaching, 8th Edition. USA. Allyn and Bacon. Kilpatrick J, Swafford J, Findell B (eds) (2001) Adding it up: helping children learn mathematics. National Academy Press, Washington, DC Lampert M (2001) Teaching problems and the problems of teaching. Yale University Press, New Haven Lincoln, NE, Marlene Grayer (2009) Reasonable or Not?A Study of the Use of Teacher Questioning to Promote Reasonable Mathematical Answers from Sixth Grade Students. University of NebraskaLincoln Marshall, H.H. (1990). Observing teachers’ knowledge bases and teaching roles. In D.F. Treagust, R. Duit & B.J. Fraser (Eds.), Improving teaching and learning in science and mathematics (pp. 212–220). New York: Teachers College Press. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA. The National Council of Teacher of Mathematics, Inc. Polya G (1994/1990) How to solve it. Penguin, USA Reys, E., & Yang, D. (1998). Relationship between computational performance and number sense among sixth- and eighth-grade students in
Taiwan. Journal for Research in Mathematics Education, 29, 225– 37. Nicol, C. (1999). Learning to teach mathematics: questioning, listening, and responding. Educational Studies in Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. Nieveen, N., McKenney, S., van den Akker (2006). “Educational Design Research” dalam Educational Design Research. New York : Routledge Pape, S., Bell, C., & Yetkin, I. (2003). Developing mathematical thinking and self-regulated learning: a teaching experiment in a seventhgrade mathematics classroom. Educational Studies in Mathematics, 53, 179-202. Plomp (2007). “Educational Design Research : An Introduction”, dalam An Introduction to Educational Research. Enschede, Netherland : National Institute for Curriculum Development Reys, R., & Nohda, N. (1994). Computational alternatives for the twenty-first century: Cross-cultural perspectives from Japan and the United States. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Robert H. Ennis. (2011) Strategies and Tactics for Teaching Critical Thinking. Professor Emeritus, University of Illinois Last revised February R. Soedjadi.1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan). Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 420
Sabandar, Jozua, Berpikir ReflektifProdi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI Sowder, J. (1992). Estimation and number sense. In D. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 371–389). New York: Macmillan. Sumarmo, utari. 2010. Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Artikel pada FPMIPA UPI Bandung. Tersedia (online) pada http://math.sps.upi.edu/?p=58 . Diakses pada tanggal 21 April 2013.
Tang. E.P dan Ginsburg, H.P (1999). Young Children’s Mathematical Reasoning, A Psychological View. Dalam Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Stiff. L.V dan Curcio FR. Ed. 1999 Yearbook NCTM, Reston, Virginia Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Watson A, Mason J (1998) Questions and prompts for mathematical thinking. Association of Teachers of Mathematics, Derby.
421, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
KERJAKAN SOAL BERIKUT DENGAN LANGKAH – LANGKAH SESUAI DENGAN PERMINTAAN! Ali tiap pagi dari rumah menuju ke sekolahnya dengan berjalan kaki, dan pulangnya dari sekolah ke rumah dengan naik bus, atau jika berangkatnya naik bus maka pulangnya berjalan kaki. Perjalanan pulang pergi dengan cara seperti itu memerlukan waktu selama 1 jam. Apabila Ali pulang dan pergi ke sekolah dengan naik bus maka waktu yang diperlukan adalah 20 menit. Tentukan waktu yang digunakan Ali apabila ia pulang dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki.
KERJAKAN SOAL BERIKUT DENGAN LANGKAH – LANGKAH SESUAI DENGAN PERMINTAAN! Untuk meningkatkan semangat belajar Esa , Ibu menjajikan hadiah sebesar Rp 750,00 untuk setiap soal yang dijawab benar dan mendenda Rp 500,00 untuk setiap jawaban yang salah. Setelah 5 soal dijawab oleh Esa, maka ia tidak mendapat uang dari Ibu dan juga tidak kena denda. Bagaimana kondisi kerja Esa dalam menjawab soal-soal tersebut?
Diketahui:
Diketahui:
Ditanyakan:
Ditanyakan:
Rumus / strategi yang digunakan:
Penyelesaian:
Biasakan untuk mengecek jawaban yang telah didapat. Cocokkan dengan situasi dan kondisi yang sesungguhnnya
(Jelaskan bagaimana sampai anda mendapatkan kesimpulan tersebut!)
Rumus/strategi yang digunakan:
Penyelesaian:
Biasakan untuk mengecek jawaban yang telah didapat. Cocokkan dengan situasi dan kondisi yang sesungguhnnya
(Jelaskan mengapa Esa bisa bekerja seperti itu)
Wisulah, Mengembangkan Penalaran Matematis, 422
KERJAKAN SOAL BERIKUT DENGAN LANGKAH – LANGKAH SESUAI DENGAN PERMINTAAN! Seorang pemilik toko TV memesan beberapa TV ukuran 21” dan beberapa TV ukuran 14”. Harga sebuah TV 21” satu setengah kali harga TV 14”. Jika ia memiliki uang Rp 11.000.000,00 untuk TV – TV tersebut. Berapa buah TV yang bisa dipesan, jika dia harus membawa pulang TV ukuran 14” lebih banyak dari TV yang ukurannya 21”.
KERJAKAN SOAL BERIKUT DENGAN LANGKAH – LANGKAH SESUAI DENGAN PERMINTAAN! Di perpustakaan Agung dan Bayu membaca buku yang sama. Agung telah membaca 18 halaman pertama, yang belum dibaca Bayu 76 halaman. Ternyata banyak halaman yang belum dibaca Agung dua kali banyak halaman yang telah dibaca Bayu. Berapa banyak halaman buku tersebut?
Diketahui:
Diketahui:
Ditanyakan:
Ditanyakan:
Rumus / strategi yang digunakan:
Penyelesaian:
Rumus/strategi yang digunakan: Biasakan untuk mengecek jawaban yang telah didapat. Cocokkan dengan situasi dan kondisi yang sesungguhnnya
(Jelaskan bagaimana sampai anda mendapatkan kesimpulan tersebut!)
Penyelesaian:
Biasakan untuk mengecek jawaban yang telah didapat. Cocokkan dengan situasi dan kondisi yang sesungguhnnya
(Jelaskan bagaimana sampai anda mendapatkan kesimpulan tersebut!)