Artikel OPINI – Harian Joglosemar
1
MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)
Turunnya hujan di beberapa daerah yang mengalami kekeringan hari-hari ini membuat masyarakat menjadi senang. Bencana kekurangan air untuk keperluan sehari-hari sudah mulai hilang dari hadapan. Musim hujan mulai datang. Namun begitu, ternyata datangnya musim hujan malah menimbulkan masalah yang selalu berulang yakni banjir dan tanah longsor. Beberapa daerah yang rawan terhadap bahaya banjir dan tanah longsor harus siap-siap untuk mengantisiapasi kemungkinan yang terjadi. Bahkan terkadang hujan juga disertai dengan kencangnya hembusan angin dan topan. Berita tentang banjir, angin topan dan tanah longsor pun mulai menghiasi media massa. Di beberapa kota, karena buruknya infrastruktur, hujan dengan intensitas yang rendah pun sudah menimbulkan permasalahan akibat terjadinya genangan dan banjir. Beberapa aktifitas dan roda perekonomian pun terganggu. Kondisi demikian tentunya sangat memprihatinkan dan menjadikan ironi bagi kita, karena setiap pergantian musim, selalu dihadapkan pada permasalahan yang berkaitan dengan siklus air. Air sebenarnya merupakan sumber daya penghidupan yang cukup penting apabila dapat dikelola dengan baik.
Setiap musim kemarau tiba, kita dihadapkan juga pada permasalahan ketersediaan air yang berkurang drastis. Beberapa daerah bahkan terancam bahaya kekeringan, Sungai-sungai dan sumber-sumber mata air tidak lagi dipenuhi air yang mengalir. Sumur-sumur dangkal maupun sumur bor dalam mengalami kekeringan dan tak mampu menyediakan air. Untuk minum pun terkadang terpaksa membeli air bersih, yang ternyata harganya tidaklah murah. Bahkan beberapa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) terpaksa menggilir jatah air dan ‘dropping’ dengan mobil tangki bagi konsumennya karena persediaan sumber air bakunya telah menurun cukup drastis.
Artikel OPINI – Harian Joglosemar
2
Ketersediaan air merupakan siklus yang selalu berputar. Terjadinya penguapan air di seluruh permukaan bumi akan menyebabkan terjadi awan, yang selanjutnya akan menjatuhkan hujan. Bumi menyerap dan mengalirkannya melalui permukaan dan di dalam tanah, serta mengeluarkannya melalui sumber-sumber air seperti mata air, sumur gali, sumur bor, sumur artesis, sungai, danau, waduk dan sebagainya.
Tata Guna Lahan Proses demikian akan selalu berlangsung dalam keseimbangan dan secara terus menerus dan sangat berkaitan erat dengan tata guna lahan suatu daerah. Lahan tidak hanya mengalirkan air hujan saja (drainase) tapi juga mampu menyerap dan menyimpan air dengan optimal sebagai cadangan air. Menurut Viessman Jr. W, perubahan tata guna lahan dapat menaikkan atau mengurangi volume runoff dan waktu konsentrasi dari suatu daerah/area. Faktor yang paling besar mempengaruhi volume aliran adalah laju infiltrasi dan kapasitas tampungan permukaan. Jika perubahan tata guna lahan ini menyebabkan berkurangnya laju infiltrasi dan kapasitas tampungan permukaan, maka volume runoff akan meningkat. Peningkatan runoff dan berkurangnya waktu konsentrasi ini akan menaikkan debit maksimum hidrograf banjir. Luas tata guna lahan ini sangat bergantung pada perubahan pola penggunaan lahan dan kebijaksanaan pengelolaan tata guna lahan oleh pemerintah daerah yang biasanya tertuang dalam Rentana Umum Tata Ruang (RUTR). Sehingga perubahan tata guna lahan akan sangat mempengaruhi karakteristik hidrologi suatu daerah. Seperti diungkapkan oleh Sri Harto Br., bahwa tata guna lahan merupakan salah satu anthropogenic factors yang sulit dihindari, karena adanya tekanan pembangunan yang tinggi, lebih-lebih di daerah dengan kepadatan penduduk tinggi.
Artikel OPINI – Harian Joglosemar
3
Pada umumnya, sumber air yang dimanfaatkan merupakan sumber air yang mengalir di lapisan pertama permukaan bumi. Bahkan dibeberapa kota besar, penyediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari hampir 70 persen menggunakan air permukaan dari sungai-sungai. Sehingga bila sungai-sungai tesebut mengalami kekeringan maka pasokan air bersih menjadi berkurang. Belum lagi masalah pencemaran sungai oleh limbah-limbah industri maupun rumah tangga semakin menipiskan ketersediaan air bersih. Dalam pengelolaan siklus air pada suatu daerah tak lepas akan dua hal penting yaitu masalah daerah tangkapan/resapan air dan drainase. Luas daerah tangkapan air akan sangat menentukan kuantitas air yang mampu ditampung pada kawasan daerah tersebut. Seberapa besar yang mampu menyerap masuk ke dalam tanah yang akan menjadi sumber air bagi sumur-sumur dangkal, bor maupun artesis atau seberapa banyak yang dapat mengalir melalui sungai dan tertampung dalam danau atau waduk. Sedangkan drainase yang merupakan proses pematusan air (hujan) pada suatu daerah, yang umumnya berupa saluran-saluran drainase, akan menentukan kecepatan air yang mampu untuk dilimpaskan kesaluran yang lebih besar. Sangat jarang drainase yang berupa pematusan arah vertikal ke tanah berupa peresapan, karena kecepatan proses peresapan air yang berbeda pada masing-masing daerah. Saluran drainase yang baik tentunya yang dapat mematuskan suatu daerah dengan cepat dan sedikit mungkin menimbulkan genangan, yang berarti diperlukan saluran-saluran yang memadai untuk melimpaskan air. Oleh karenanya, dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan siklus air ini maka kedua hal tersebut di atas harus dikelola dengan baik dan terintegrasi sehingga masingmasing akan memberikan andil yang baik bagi ketersediaannya air di musim penghujan maupun musim kemarau. Dalam konsep penataan ruang wilayah dan tata guna lahan suatu daerah, selain mengacu dari pengembangan segi ekonomis, tentu juga akan memperhatikan faktor-faktor
Artikel OPINI – Harian Joglosemar
4
pemberdayaan dan pelestarian lingkungan. Dimana masing-masing pemerintahan daerah sudah mengkaji lebih dalam potensi-potensi ekonomis daerah yang tanpa mengabaikan upaya-upaya menyeimbangkan dan melestarikan lingkungan. Kedua konsep tersebut merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Pengembangan potensi ekonomis yang mengabaikan keseimbangan lingkungan justru nantinya akan sangat merugikan secara ekonomis juga. Dan bila dikaitkan dengan upaya optimalisasi ketersediaan air pada suatu daerah, maka konsep tata ruang wilayah dan tata guna lahan suatu daerah harus sudah memperhatikan tata ruang khusus untuk lahan-lahan resapan air dan jaringan drainasenya. Kalau perlu dilakukan kerja sama yang menyeluruh antar daerah untuk menentukan lahanlahan tersebut, karena konsep pengelolaan daerah resapan air dan jaringan drainasenya ini merupakan konsep yang menyeluruh dan intergral antar daerah. Masing-masing daerah tentunya mempunyai karakteristik lahan-lahan resapan air yang berbeda-beda, bahkan ada juga suatu daerah yang lahan-lahan resapan airnya tergantung pada daerah lain. Sehingga terlebih dahulu harus dilakukan survey yang mendalam diantaranya mengenai peta curah hujan, kemiringan lahan, tata guna lahan, dan peta jenis lahan yang akan menentukan tingkat infiltrasi (resapan) air. Kemudian dilakukan penggabungan dari masing-masing data tersebut agar dapat ditentukan dan dibuat kebijakan mengenai tata ruang khusus untuk daerah resapan air. Menurut A. Hamam, daerah resapan air yang ideal adalah daerah yang mempunyai tanah dengan resapan air aktual yang tinggi. Oleh karenanya, daerah ini harus benar-benar dikelola sedemikian rupa agar fungsi sebagai resapan air dapat optimal yang pada akhirnya akan tetap menjaga ketersediaan air yang cukup. Namun demikian, tidaklah mudah dalam penentuan daerah resapan ini karena kecepatan perubahan penggunaan lahan yang demikian pesat. Apalagi di daerah perkotaan dan sekitarnya, dalam waktu sekejap daerah persawahan, rawa atau tambak yang potensial meresapkan atau menampung air sudah
Artikel OPINI – Harian Joglosemar
5
berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, pertokoan dan industri. Bahkan yang lebih memprihatinkan taman-taman kota atau daerah-daerah hijau yang potensial untuk menyerap air hujan banyak yang tak terawat dan berubah fungsi. Hal demikian mengakibatkan air hujan yang turun tidak meresap ke dalam tanah, tapi hampir semuanya menjadi aliran di permukaan yang bila tak tertampung oleh saluran atau sungai akan mengakibatkan banjir. Dampaknya lagi, ketersediaan air tanah yang seharusnya menempati dalam lapisan geologi tanah menjadi terbatas dan pada saat musim kemarau datang tidak cukup lagi untuk digunakan. Di negara yang telah maju, seperti di Jerman, saat ini pembuatan drainase mengikuti konsep alami yang memadukan konsep drainase dan resapan air oleh tanah, dimana permukaan saluran-salurannya dibuat tanpa menggunakan dinding-dinding saluran dari beton atau pasangan batu, melainkan dengan tanaman-tanaman yang dapat menahan erosi. Permukaan tanah akan memungkinkan air juga dapat meresap ke dalam tanah. Perawatan dilakukan dengan membersihkan secara rutin dan meminimalkan potensi-potensi penyebab endapan yang berlebihan atau mengurangi erosi permukaan tanah yang ikut dalam aliran air. Disamping itu, bila dirasa kesulitan membuat waduk, karena keterbatasan lahan, maka dibuat jaring-jaring saluran drainase dan embung, disamping dapat menampung volume air yang lebih banyak, juga dapat menambah luas resapan air. Pada akhirnya kita berharap, pengelolaan keseimbangan siklus air dan tata guna lahan yang baik akan dapat meminimalisir terjadinya bencana banjir dan tanah longsor, serta menjaga ketersediaan air. Di musim penghujan tidak ‘kelebihan’ air, yang malah kadang tidak layak untuk dikonsumsi dan di musim kemarau tidak ‘kekeringan’ air karena persediaannya yang cukup.*** Penulis : Achmad Basuki, ST., MT. Dosen Teknik Sipil FT Universitas Sebelas Maret Surakarta. Alamat : Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UNS.
Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126