Suara Millenium Development Goals (MDGs)
Edisi No.1 Januari-Maret 2011
Agar Luh tak Sekedar Peluh
Kabar dari Redaksi
M
DGs sebagai sebuah cita-cita besar tentu harus diterjemahkan dalam langkah-langkah kecil untuk mencapainya. Adalah menjadi keharusan bagi setiap komponen masyarakat untuk mendialogkan berbagai informasi yang mendorong pencapaian cita-cita mulia itu. Menjadi komitmen kami untuk menghadirkan ruang tersebut pada lembar-lembar halaman di media ini. Adapun pada edisi pertama ini, kami mengangkat topik mengenai Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali yang merubah posisi perempuan dalam masalah hak waris serta berbagai masalah lainnya. Kami meyakini, keputusan itu adalah sebuah langkah strategis untuk memajukan posisi kaum perempuan di Bali. Dalam konteks MDGs,kami percaya bahwa penguatan posisi itu akan mempercepat upaya-upaya pencapaian tujuan MDGs. Untuk memperdalam pemahaman me ngenai soal MDGs, pada setiap edisinya kami akan membuka sebuah forum tanya jawab yang akan diasuh oleh LSM Bali Sruti. Pada rubrik tersebut, pembaca dapat menanyakan seputar pengertian MDGs serta penerapannya di lapangan. Kami juga berusaha merekam berbagai aktivitas yang relevan dengan program MDGs baik di tingkat lokal maupun nasional. Harapannya tentu saja agar informasi tersebut menjadi inspirasi serta catatan untuk melang kah lebih baik di masa depan. Pada setiap edisi, kami juga akan berusaha menampilkan tokoh perempuan berprestasi sebagai pendorong untuk partisipasi yang lebih besar dari kalangan perempuan dalampencapaian MDGs. Di sisi lain, kami juga memberi kesempayan kepada teman-teman sastrawan untuk menampilkan karya yang relevan dengan topik MDGs. Hal itu sebagai sebuah cara untuk melakukan pencatatan dan penafsiran dengan cara yang berbeda.
2|
Februari - April 2011
apa kabar?
Indeks Berita Hal 3
Apa Kabar?
Hal 4
Forum MDGs
Hal 12
Laporan Utama: Agar Luh tak Hanya
Peluh (Keputusan MUDP Bali soal Hak
Waris Perempuan)
Hal 22
Opini:
- I Ketut Sudantra: Pembaruan Hukum Adat dan Angin Segar bagi Perempuan
- Gek Ela Kumala Parwita: Sangkar Diskriminasi Dibalik Hukum Adat
Hal 28
Dialog Interaktif di RRI tentang MDGs
Hal 30
Profil
Hal 36
Album
Hal 40
Resensi Buku
Hal 43
Opini:
Sita van Bemmelen/Luh Anggreni: Sudahkah Hukum Berempati?
Hal 48
Cerpen: Perempuan yang Kawin
dengan Keris
Suara Millenium Development Goals (MDGs)
Pemimpin Umum Luh Riniti Rahayu Sekretariat Suharyati Koordinator Redaksi Fiqi Hasan Redaktur Khusus Made Sukaja, Luh Anggreni Pembantu Umum Sri Sulandari Desain FX
[email protected] Alamat Jl. Pulau Serangan I No. 2 Denpasar, Bali Telp/fax: 0361 222 464, Hp: 0811 396 646 Email:
[email protected] Website: www.balisruti.co.id
Kembalinya Majalah Bali Sruti
M
Luh Riniti Rahayu
ajalah Bali Sruti yang merupakan suara nurani perempuan, terbit bulan Januari 2006. Seiring perjalanan waktu, majalah yang dibidani para pegiat LSM Bali Sruti, tidak mampu lagi terbit karena permasalahan klasik, masalah dana. Namun permasalahan perempuan tidaklah pernah berhenti, semakin hari permasalahan perempuan semakin terkuak. Pemberdayaan perempuan terus dilakukan para pegiat melalui berbagai cara. Ide-ide pemberdayaan melalui media massa seperti media elektronik dan media cetakpun terus dikuatkan. Di Penghujung tahun 2010 Bali Sruti bekerja sama dengan Kemitraan untuk memperkuat Kepemimpinan Perempuan dalam rangka pencapaian Milenium Development Goals (MDGs). Akhirnya bara api yang sempat meredup itu memerah lagi, kontak-kontak kembali terjalin dan disepakati untuk menerbitkan kembali majalah ”Bali Sruti”. Hanya formatnya berubah, ukuran majalah diperkecil, direncanakan terbit per triwulan dengan tema setiap edisi akan menyangkut persoalan-persoalan MDGs di Bali. MDGs merupakan penjabaran resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 55/2 ”Milenium Declaration” yang disepakati 8 September tahun 2000 oleh para pemimpin dunia dari 189 negara, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid dari Indonesia. Fokus utama dalam MDGs adalah pemba ngunan manusia, target MDGs adalah menurunkan besaran angka kemiskinan hingga setengahnya pada tahun 2015. Rapat redaksi segera digelar, disepakati untuk edisi perdana hidupnya kembali majalah Bali Sruti adalah mengangkat permasalahan MDGs yang ketiga dari delapan point tujuan pembangunan milenium, yaitu ”Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan”. Menyangkut kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bali maka, kesepakatan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali tentang hak-hak waris perempuan Bali sangat relevan untuk diangkat dan disosialisasikan. Pesamuan Agung MUDP telah berlangsung pada tanggal 15 Oktober 2010, bersukur para anggota MUDP kini terdiri dari laki-laki dan perempuan, meskipun dalam pengambil keputusan adat di tingkat Desa Pekraman hanya laki-laki yang berhak. Kini para anggota laki-laki MUDP juga terdiri dari para tokohtokoh Bali dan ilmuan yang paham akan kesetaraan gender. Selama 2 minggu ini tim inti redaksi yakni Riniti, Rofiqi, Titik, Anggreni dan Sri Sulandari mempersiapkan segala sesuatunya. Hunting materipun segera bergerak cepat, kontak penulis, wawancara, persiapan artistikpun segera digarap. Terima kasih kepada para nara sumber yang telah bersedia diwawancarai, dan para penulis yang memberikan kontribusi tulisannya. Dan akhirnya dengan segala kerendahan hati, kami menyapa Anda dengan menghadirkan kembali media majalah Bali Sruti.
Februari - April 2011
|3
Forum MDGs
Forum MDGs Millenium Development Goals (MDGs) sudah sering diucapkan oleh banyak tokoh melalui berbagai media. Namun banyak pihak yang sejatinya belum mengetahui secara persis seluk beluk serta implikasi dari komitmen itu. Apalagi mengenai langkah-langkah riil yang harus dilakukan. Karena itu, majalah Bali Sruti pada setiap edisinya membuka forum tanya jawab yang memberi kesempatan kepada para pembaca untuk menyampaikan pertanyaan. Forum ini diasuh oleh LSM Bali Sruti, Pertanyaan bisa disampaikan melalui email ke lsm_balisruti@ yahoo.com atau melalui kontak ibu Titik 0811396646. Pada edisi pertama ini, kami memuat paparan mengenai MDGs.
4|
Forum MDGs
Millenium Development Goals (MDGs)
Komitmen Mengakhiri Kemiskinan Dunia
K
omitmen MDGs sudah diluncurkan pada bulan September 2000 pada Konferensi Ting kat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat yang dihadiri oleh 189 kepala negara dan kepala pemerintahan. Para kepa-
penyakit, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menjamin pendidikan dasar bagi setiap orang dan mendukung prinsip-prinsip Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan serta dukungan langsung dari negara-negara maju kepada negara-negara
3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan 4. Menurunkan angka kematian balita 5. Meningkatkan kualitas kesehatan ibu melahirkan 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain 7. Menjamin kelestarian fungsi lingku nganhidup 8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan Setiap tujuan memiliki satu atau bebe-
rapa target beserta indikatornya. MDGs ini menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan, memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. Selain itu MDGs didasarkan pada konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut. Disepakati bahwa kedelapan goals tersebut akan tercapai pada tahun 2015.
Fokus utama dalam MDG adalah pembangunan manusia, dengan meletakkan dasar pada konsensus dan kemitraan global untuk pembangunan. la pemerintahan dan kepala negara negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan tersebut kemudian sepakat untuk menandatangani Deklarasi Milenium atau kemudian dikenal sebagai Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals). Dalam KTT tersebut seluruh perwakilan negara yang hadir sepakat untuk menurunkan proporsi penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 1 per hari menjadi setengahnya antara periode 1990-2015, menemukan solusi untuk: mengatasi kelaparan, masalah gizi buruk dan
Februari - April 2011
berkembang dalam bentuk bantuan, perdagangan, pembebasan utang dan investasi. Fokus utama dalam MDGs adalah pembangunan manusia, dengan meletakkan dasar pada konsensus dan kemitraan global untuk pembangunan. Diharapkan, negara-negara yang lebih kaya dapat mendukung negara-negara miskin dan berkembang dalam melak sanakan tugas pembangunan mereka. Tujuan Pembanguan Millenium ini terdiri dari 8 (delapan) goalsyaitu: 1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan 2. Memenuhi pendidikan dasar untuk semua
balebengong.net
kampanye: Kalangan aktivis LSM di Bali juga bersemangat menyuarakan pentingnya MDGs. Seperti kegiatan “Stand Up for MDGs” yang juga dihadiri Sekda Provinsi Bali Nyoman Yasa.
Februari - April 2011
|5
Forum MDGs
Forum MDGs orang. Sedangkan Laporan Perkembangan MDGs Indonesia, 2005, menunjukkan bahwa sasih ada 28% balita di seluruh Indonesia yang belum memperoleh akses terhadap imunisasi. Ini artinya, ada sekitar 1 juta balita yang rentan terhadap penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Sementara itu Sensus Kesehatan tahun 2002-2003 menunjukkan bahwa 48,7 % masalah akses pelayanan kesehatan disebabkan karena kendala biaya, jarak dan transportasi. Ketidaksetaraan jender dalam pendidikan dan lapangan kerja pun masih
berlangsung. Perempuan masih merupakan minoritas dalam angkatan kerja di sektor non pertanian di Indonesia yakni hanya sebesar 28% (Laporan Perkembangan MDG Indonesia, 2005). Dari segi pendidikan, hingga tahun 2003 ada sekitar 57,2% gedung SD/MI dan sekitar 27,3% gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Alokasi anggaran pemerintah bagi pendidikan baru mencapai 1,3% untuk kurun waktu 1999-2001. Sebaliknya, Malaysia, Thailand dan Filipina telah mengalokasikan sebesar 7,9%, 5,0%
dan 3,2% (RPJM 20042009). Kemitraan global dalam goal kedelapan pun sejauh ini masih perlu mendapatkan dorongan lebih jauh. Perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki konsep favorit Company Social Responsibility (CSR) dalam pelaksanaannya ternyata masih menerapkan prinsip sukarela sehingga kemung kinan untuk berkompromi dengan keuntungan seringkali mengalahkan konsep CSR itu sendiri. Padahal kemitraan merupakan salah satu prasyarat dalam mencapai tujuan kesatu hingga ketujuh.
Tantangan di Tingkat Lokal zul t eduardo
stop kemiskinan: Musuh bersama masyarakat dunia yang telah disepakati adalah kemiskinan.
MDGs di Indonesia Dengan menandata ngani Deklarasi Milenium, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menempatkan MDG menjadi referensi penting dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Hal ini ditunjuk kan dengan menggunakan MDG sebagai bahan acuan dalam pembangunan, mulai dari tahap perencanaan seperti yang dinyatakan dalam Rencana Pembangunan
6|
Februari - April 2011
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sampai tahap implementasi.
pencapaian tersebut masih jauh dari harapan. Hingga pertengahan dekade Mil-
Sekitar 1 juta balita yang rentan terhadap penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. MDG bahkan telah menjadi dasar perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di tingkat nasional dan daerah. Meski demikian, tampaknya
lenium, BPS (Maret 2006) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 39 juta orang (17,75%) dari total penduduk sebesar 220 juta
Setelah era otonomi daerah, daerah mendapatkan kewenangan untuk menge lola termasuk program dan kebijakan bagi daerah
kemiskinan dengan pendekatan komprehensif untuk mencegah pemiskinan lebih lanjut. Dalam konteks MDGs, pendekatan proyek
Karenanya proses dan target pencapaian MDGs memang amat tergantung bagaimana daerah memaknai mandat yang diberikan dalam MDGs. nya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa hampir semua tantangan MDGs berlangsung di tingkat lokal misalnya berkaitan dengan program penanggulangan
tidak pernah bisa menyebabkan seluruh masyarakat terjangkau padahal semua program pencapaian MDGs perlu mencapai seluruh Indonesia. Hal ini dikarena-
kan juga pemenuhan tujuan MDGs memprioritaskan wilayah-wilayah yang masih tertinggal, daerah terpencil di pegunungan, pulau-pulau kecil, daerah perbatasan, dll. Dengan demikian, penanggulangan intensif harus difokuskan pada wilayah-wialyah khusus seperti “kantong-kantong kemiskinan”, daerah rawan bencana, pasca konflik, “kantong-kantong” malaria, TBC dan HIV/AIDS, wilayah dengan angka kematian balita / ibu melahirkan yang tinggi, dsb. Karenanya proses dan Februari - April 2011
|7
Forum MDGs target pencapaian MDGs memang amat tergantung bagaimana daerah memaknai mandat yang diberikan dalam MDGs. Keberhasilan pencapaian MDGS amat tergantung pada daerah-daerah yang bersang kutan. Target & indikator MDGs dapat disesuaikan menurut konteks kondisi & tantangan daerah, misalnya : a) Sasaran bukan hanya menurunkan separuh, tetapi sebanyak mungkin; b) Target waktu bisa lebih cepat, atau sesuai masa bakti pemerintah daerah; c) Indikator tambahan yang aplikatif bagi daerah.
Forum MDGs Tentu saja hal ini juga tidak terlepas dari data yang tersedia. Mencermati bahwa salah satu kelemahan pencapaian MDGs adalah data maka daerah perlu meningkatkan penggalangan data lebih akurat pada tiap program yang telah berjalan maupun yang khusus dikembangkan bagi pencapaian MDGs. Selain itu perlu melakukan revitalisasi institusi pelayanan dasar yang sudah menurun dan mengoptimalkan yang sudah baik Pada sisi lain, komitmen MDGs seharusnya dituang kan dalam rencana aksi
dengan alokasi anggaran yang “pro-poor”, berbasis kinerja dan berkelanjutan. Tertuju pada program pemecahan masalah secara terpadu (bukan hanya proyek-proyek sektoral)“propoor” tidak berarti menekan pertumbuhan, “pro-poor budget” tidak selalu berarti peningkatan anggaran pengeluaran publik, tapi diprioritaskan bagi program pemberdayaan masyarakat miskin. Investasi publik bagi infrastruktur dasar seperti listrik, transportasi darat/laut/sungai, dll dirancang khusus untuk menghilangkan kesenjangan.
TUJUAN
TARGET
indikator
Tujuan 1: Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar per hari menjadi setengahnya antara 1990 -2015
- Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional - Proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari $1 per hari - Kontribusi kuartil pertama penduduk berpendapatan terendah terhadap konsumsi nasional - Prevalensi balita kurang gizi - Proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum (2.100 kkal/kapita/hari)
Tujuan 2: Mencapai pendidikan dasar bagi semua
Penguatan Peran Masyarakat di Daerah Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan pencapaian MDGs mensyaratkan sinergitas kerja antara pemerintah dan masyarakat sipil. Namun demikian, kerjasama tersebut dapat terjalin dengan baik apabila keduanya ada dalam posisi yang sama-sama setara dan berdaya. Pemberdayaan masyarakat diperlukan agar mampu mendorong perubahan/perbaikan kebijakan/program pembangunan dan memastikan adanya rencana pencapaian MDGs, terutama di tingkat lokal. Pemberdayaan pemerintah (lokal) penting supaya dapat melahirkan program dan kebijakan yang kondusif untuk pencapaian MDGs. Sayangnya pada titik tertentu, kapasitas pemerintah terutama lokal dan masyarakat sipil masih harus diperkuat. Oleh karena itu fokus pemberdayaan adalah pe-
8|
Februari - April 2011
ningkatan kapasitas masyarakat sipil utk memantau kebijakan / program serta kinerja pemerintahan & komitmen pemihakan pada si miskin (pro-poor) para politisi daerah. Dan kapasitas pemerintah daerah diperkuat untuk menyediakan data yang komprehensif serta program dan kebijakan yang kondusif. MDGs bisa menjadi rumusan sasaran & kerangka kerja pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, maupun daftar “check-list” kebijakan / program yang masuk ke masyarakat Sumber rujukan: Witoelar, Erna, “Pencapaian MDGs melalui Tata Pemerintahan yang Baik”, makalah, 2006 www.standupindonesia.org www.forumdesa.org
Tujuan 3: Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990- 2015 Target 3: Menjamin semua anak perempuan dan lakilaki di area menyelesaikan jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP)
Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.
- Angka partisipasi murni di SD - Angka partisipasi murni di SMP - Proporsi murid yang berhasil mencapai kelas 5 - Proporsi murid di kelas 1 yang berhasil menamatkan SD - Proporsi murid di kelas 1 yang berhasil menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar - Angka melek huruf usia 15-24 tahun - Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki - Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki - Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor pertanian
Februari - April 2011
|9
Forum MDGs
Forum MDGs
TUJUAN
TARGET
Tujuan 4: Menurunkan angka kematian anak Tujuan 5: Meningkatkan ibu
kesehatan
Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain
Target 5: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua-pertiganya antara tahun 1990 dan 2015. Target 6: Menurunkan angka kematian ibu antara tahun 1990 dan 2015 sebesar tiga-perempatnya. Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015.
Target 8: Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lain nya pada tahun 2015.
10 |
Februari - April 2011
indikator - Proporsi kursi DPR yang diduduki perempuan - Angka kematian balita - Angka kematian bayi - Presentase anak di bawah 1 tahun yang diimunisasi campak - Angka kematian ibu - Proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih - Angka pemakaian kontrasepsi - Prevalensi HIV di kalangan ibu hamil yang berusia antara 1524 tahun - Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi - Penggunaan kondom pada contraceptive prevalence rate - Presentase anak muda usia 1524 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV & AIDS - Prevalensi malaria dan angka kematiannya - Presentase penduduk yang menggunakan cara pencegahan yang efektif untuk memerangi malaria - Presentase penduduk yang mendapat penanganan malaria secara efektif - Prevalensi TBC dan angka kematian penderita TBC dengan sebab apapun selama pengobatan OAT - Angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru - Angka kesembuhan penderita tuberkulosis
TUJUAN Tujuan 7: Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
Tujuan 8: Mengembangkan kemitraan global untuk pem bangunan
TARGET Target 9: Memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang.
Target 10: Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. Target 11: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk mis kin di pemukiman kumum pada tahun 2020. Target 12: Pengembangan sistem perdagangan di dae rah yang terbuka, berbasis aturan, dapat diprediksi serta tidak diskriminatif (termasuk membangun komitmen untuk menerapkan tata pemerintahan yang baik). Target 18: Bekerja sama dengan pihak swasta untuk memastikan pesebaran keuntungan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
indikator - Proporsi luas lahan yang tertutup hutan - Rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan - Energi yang dipakai (setara barel minyak) per PDB (juta rupiah) - Emisi CO 2 perkapita - Jumlah konsumsi zat perusak ozon - Proporsi penduduk berdasarkan bahan bakar untuk memasak - Proporsi penduduk yang menggunakan kayu bakar dan arang untuk memasak - Proporsi penduduk dengan akses terhadap air minum yang terlindungi dan berkelanjutan - Proporsi penduduk dengan akses terhadap sanitasi yang layak . - Proporsi rumah tangga dengan status rumah milik atau sewa
- Kemudahan dan kejelasan dalam memperoleh izin usaha bagi siapa saja - Perlindungan terhadap wirausaha mikro dan kecil (termasuk yang bersifat informal)
- Terdapat kerjasama dengan swasta di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang manfaatnya dapat dirasakan oleh penduduk secara luas.
Februari - April 2011
| 11
Laporan Utama
Laporan Utama
P
Agar Luh tak Sekedar Peluh Majelis Utama Desa Pekraman Bali (MUDP) memberikan hak waris kepada kaum perempuan. Sebuah kemajuan setelah 110 tahun.
enggalan puisi dari karya Oka Rusmini itu menjadi pegangan bagi Ni Luh Terik Dianti, salah-satu peserta “Pelatihan Kesadaran Gender bagi Perempuan Muda” di Denpasar, akhir 2010 lalu. Sebagai anak perempuan pertama di keluarga sederhana dengan dua saudara laki-laki, dia harus selalu mengalah, Anak lakilaki selalu dianggap lebih istimewa karena menjadi pewaris keluarga.
Tapi Ni Luh tak mengeluh. Seringkali ia ingin memprotes keadaan itu namun akhirnya hanya disimpannya dalam hati. Mereka mendapat prioritas untuk pendidikan yang lebih baik meskipun dalam pekerjaan sehari-hari justru anak perempuan yang lebih banyak membantu. Anak laki-laki adalah anak yang dipersiapkan untuk tanggungjawab yang lebih besar dalam peran
di masyarakat dan hanya kepadanyalah orang tua akan menggantungkan hidup. Meski terlihat mereka menjadi lebih manja dibanding anak perempuan. Tapi Ni Luh tak menge luh. Seringkali ia ingin memprotes keadaan itu namun akhirnya hanya disim-
upacara: Perempuan Bali berperan besar dalam pelaksanaan upacara zul t eduardo
12 |
Februari - April 2011
rofiki hasan
Februari - April 2011
| 13
Laporan Utama pannya dalam hati. Pilihan pun ditegaskannya untuk bekerja mencari nafkah sendiri untuk membiayai sekolahnya hingga di Perguruan Tinggi dan membuat orang tuanya bangga. Seringkali tubuh ringkihnya memprotes dan ia pun jatuh sakit. Namun semangat yang kuat mengalahkan semua rintangan itu. Baru setelah ia berhasil meraih gelar sarjana, keluarga menjadikannnya sebagai teladan bagi adikadik prianya. “Saya tak menyimpan rasa benci, saya hanya ingin membuk tikan bisa berprestasi dan menjadi contoh bagi adikadik,” tulisnya. Kisah-kisah semacam
Anggreni
14 |
rofiki hasan
Laporan Utama
Wayan P Windia
itu gampang ditemukan dalam pergaulan sehari-hari. Posisi pria dalam hukum adat Bali memang jauh lebih berkuasa dengan garis Purusa yang diberikan kepadanya. Purusa yang dilekatkan kepada pria Bali berakar pada aturan yang ditetapkan pada masa kolonial.Tepatnya melalui Lavering Adat Bali yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 13 Oktober 1900. Status Purusa berarti kemampuan untuk mengurus dan menerus kan Swadharma (tanggung jawab) keluarga. Yakni, dalam masalah parahyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan sosial) dan palemahan (pengaturan lingkungan). Kaum perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memikul tanggungjawab itu. Konsekuensinya, mereka tak diberi swadika-
Februari - April 2011
rofiki hasan
ra (hak waris) sedikit pun. Ekses dari konsep itu melebar kemana-mana. Ketika perempuan masuk dalam sebuah keluarga melalui perkawinan, posisinya menjadi sangat lemah. “Apalagi kalau tidak memiliki pekerjaaan dan penghasilan sendiri,” kata aktivis perempuan Luh Anggreni. Itu sebabnya, rata-rata perempuan Bali adalah pekerja keras dan bahkan mau mengerjakan pekerjaan fisik yang di tempat lain dikerjakan oleh para pria. Di sisi lain, kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kerap terjadi. Anak laki-laki pun mendapat keistimewaan untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Yang paling berat adalah ketika terjadi percerai an. Pihak perempuan sama sekali tidak mendapat pem-
Khusus mengenai masalah perceraian, MUDP memutuskan bahwa, harta gunakaya harus dibagi secara merata antara laki-laki dan perempuan.
zul t eduardo
Februari - April 2011
| 15
bagian dari harta gunakaya alias harta dari usaha bersama. Hak asuh atas anakanak umumnya jatuh ke tangan suami, apalagi bila anaknya adalah laki-laki. Anggreni yang menjadi pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali sudah menangani puluhan kasus semacam itu. “Hakim selalu berpegang pada konsep Purusa itu,” ujarnya. Bila pengadilan memutuskan hak asuh diberikan kepada ibunya, sang suami umumnya kemudian menolak bertanggungjawab membiayai anaknya. Setelah lebih dari 110 tahun berlaku, sebuah perubahan besar telah terjadi. Tepatnya ketika Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) yang menghimpun Desa Adat di seluruh Bali menggelar Pasamuhan Agung III pada 15 Oktober 2010. Dalam keputusan dengan Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/ X/2010 disepakati adanya hak waris bagi perempuan. “Karena situasi sudah berubah dan perempuan pun bisa meneruskan swadharma keluarga,” kata Ketua Nayaka (Dewan Penasehat) MUDP Wayan P Windia. Sebelum harta keluarga diwariskan kepada anakanak, harta itu dipilah menjadi dua. Pertama, harta pusaka yang diwariskan
16 |
turun temurun sebagai harta bersama yang tidak bisa dibagi karena merupakan sarana memelihara warisan immaterial. Penguasaannya bukan kepemilikannya diserahkan kepada anak ke purusa. Kedua, harta gunakaya atau harta hasil usaha orang tua yang bisa dibagi dengan proporsi ategenasuwun (sepikul-segendongan) atau 1 : 2 antara anak perempuan dan lakilaki. Namun harta yang dibagi itu sebelumnya harus
Hindu,” kata Windia yang juga adalah Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana. Keputusan itu diharapkan akan meningkatkan kebersamaan dalam memikul kewajiban adat istiadat serta agama Hindu. Keputusan penting lainnya adalah diakuinya jenis perkawinan pada gelahang. Yakni, perkawinan yang tidak menghilangkan garis keturunan pihak pria maupun wanita. Status purusa
Warisan itu berhak didapatkan oleh semua anak termasuk perempuan yang sudah menikah dan mengikuti suaminya. dikurangi dulu oleh harta duwe tengah (harta bersama) sebesar sepertiga dari gunakaya untuk kepentingan bersama keluarga . Warisan itu berhak didapatkan oleh semua anak termasuk perempuan yang sudah menikah dan mengikuti suaminya. Demikian pula dengan anak laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana atau diangkat oleh keluarga lain. Satu-satunya yang kehilangan hak adalah anak yang berpindah agama atau disebut ninggal kedaton penuh. “Sebab mereka tidak mungkin melanjutkan swadharma orang tua secara agama
Februari - April 2011
atau garis keturunan anakanak ditentukan berdasarkan kesepakatan orang tua. Menurut Windia, jenis perkawinan ini adalah untuk mengantisipasi kecenderungan keluarga-keluarga di Bali yang kini memilih hanya memiliki satu atau dua orang anak saja. Bila mengikuti perkawinan biasa atau nyentana bisa berakibat putusnya garis keturunan salah-satu keluarga. Khusus mengenai masalah perceraian, MUDP memutuskan bahwa, harta gunakaya harus dibagi secara merata antara laki-laki dan perempuan. Adapun mengenai hak asuh anak,
pihak perempuan bisa mendapatkannya tanpa berarti memutus status purusa. “Jadi tetap ada kewajiban untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga besar si anak,” ujar Windia. Di pihak lain, keluarga purusa diwajibkan untuk tetap memberi jaminan hidup bagi anak itu. Keputusan MUDP itu selanjutnya akan disosialisasikan melalui Majelis Madya Desa Pekraman (MMDP) di tingkat Kabupaten yang akan menerus kannya sampai ke Desa-desa Adat di wilayahnya. Bila terjadi sengketa, keputusan itu yang akan menjadi acuan. Pihak MUDP Bali juga akan menyampaikannya ke instansi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan agar menjadi acuan dalam mengatasi masalah terkait dengan adat. “Ini kita dorong akan menjadi hukum positif yang berlaku di Bali,“ujarnya. Perubahan itu jelas merupakan pengakuan terhadap eksistensi perempuan yang sudah sejak lama memiliki peran besar. “Dalam berbagai upacara adat pun, mereka sangat penting,“ ujar Anggreni. Adalah perempuan yang menyiapkan berbagai sesaji dan keperluan upacara lannya serta membawanya ke Pura.
Hanya kemudian saat upacara, kaum prialah yang berdiri di muka. Bagi dia, konsep purusapradana mestinya diletakkan dalam keseimbangan antara peran dan hak laki-laki serta perempuan. Hal itu yang diperjuangkan para aktivis perempuan di Bali dalam 10 tahun terakhir. Setelah menunggu cukup lama, mo-
yang ditolak oleh perwakilan dari MMDP Karangasem. Sebab, dianggap bisa mengacaukan garis keturunan dan aturan tentang hak waris. Karena tak ditemukan titik temu, akhirnya disepakati untuk memberikan pengakuan terhadap adanya perkawinan semacam itu sambil melihat masalah yang timbul. Sebab,
Bagi dia, konsep purusa-pradana mestinya diletakkan dalam keseimbangan antara peran dan hak laki-laki serta perempuan. mentum perubahan terasa tepat karena justru dimulai dari lembaga adat yang merupakan jantung kehidupan warga Bali. Keputusan pun diambil tanpa perdebatan yang terlalu alot. Sebab sebelumnya sudah didahului dengan proses panjang untuk berdiskusi dan saling memahami. “Selalu kita tekankan, kita semua lahir dan dibesarkan oleh seorang perempuan,” tegasnya. Pendekatan ini rupanya cukup manjur. Apalagi kemudian diakui, dalam pengalaman sehari-hari terlihat anak perempuan lebih dekat hubungan emosionalnya dengan orang tua dibanding anak laki-laki. Satu-satunya yang polemik keras adalah konsep perkawinan pada gelahang
kenyataannya sejumlah keluarga memang telah mempraktekkannya. Bagi Ketut Widi, 34, (bukan nama sebenarnyared), keputusan MUDP itu memberi harapan untuk kembali berkumpul dengan kedua anaknya. Pada akhir Desember lalu, Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan permohonannya untuk bercerai dengan suaminya yang jarang pulang ke rumah dan tak bertanggungjawab. Namun hakim juga memutuskan, hak asuh anak jatuh ke tangan pihak suami dengan alasan purusa. Padahal selama ini, anak-anak itu berkumpul dengan dirinya. “Akan saya ajukan banding dengan melampirkan keputusan ini,”ujarnya. Tim Bali Sruti
Februari - April 2011
| 17
Laporan Utama
Laporan Utama
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasilhasil Pasamuhan Agung III Majelis Utana Desa Pakraman (MUDP) Bali. Diselenggarakan 15 Oktober 2010 di Gedung Wiswasabha, Kantor Gubernur Prov. Bali.
A. Kedudukan Wanita Bali dalam Keluarga dan Pewarisan Sistem kekeluargaan patrilineal (purusa) yang dianut oleh orang Bali-Hindu menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu), maupun pale-
mahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu). Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa sajalah yang memiliki swadikara (hak) terhadap harta warisan, sementara keturunan yang berstatus pradana (perempuan), tidak mungkin dapat meneruskan swadharma, sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton), dan oleh karena itu, dianggap tidak berhak atas harta warisan dalam keluarga.
zul t eduardo
perempuan: Perempuan Bali penggerak perekonomian rakyat.
18 |
Februari - April 2011
Dalam perkembangannya, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa ada orang ninggal kadaton tetapi dalam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton terbatas), dan ada pula kenyataan orang ninggal kadaton yang sama sekali tidak memungkinkan lagi bagi mereka melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton
Mereka yang dikategorikan ninggal kadaton penuh, tidak berhak sama sekali atas harta warisan penuh). Mereka yang dikategorikan ninggal kadaton penuh, tidak berhak sama sekali atas harta warisan, sedangkan mereka yang ninggal kadaton terbatas masih dimungkinkan mendapatkan harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu). Mereka yang tergolong ninggal kadaton terbatas adalah sebagai berikut. a. Perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa. b. Laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana/nyeburin. c. Telah diangkat anak (kaperas sentana) oleh keluarga lain sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali. d. Menyerahkan diri (makidihang raga) kepada keluarga lain atas kemauan sendiri. Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali memutuskan mengenai kedudukan suami istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya sebagai berikut. 1. Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mempunyai kedudukan yang sama da-
lam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan immateriil. 2. Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya-nya (harta yang diperoleh selama dalam status perkawinan). 3. Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (lakilaki atau perempuan) yang belum kawin, pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya orangtuanya. 4. Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (lakilaki atau perempuan) berhak atas harta gunakaya orangtuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orangtuanya. 5. Anak yang berstatus kapurusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yang diterima oleh seorang anak yang berstatus kapurusa. 6. Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup. 7. Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan, tetapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris. Februari - April 2011
| 19
Laporan Utama
B. Pelaksanaan Perkawinan dan Perceraian Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya pasa ngan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu segera disikapi. Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama Hindu,
20 |
Februari - April 2011
Laporan Utama Kerja keras: Perempuan Bali terkenal dengan etos kerja kerasnya.
zul t eduardo
sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Apabila diperhatikan uraian di atas, tampak jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian
dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan. Berdasarkan fakta-fakta di atas maka Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut. 1. Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan. 2. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihakpihak yang berkepentingan. 3. Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut. a. Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian. b. Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk
memperoleh keputusan. c. Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu. d. Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian. 4. Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut. a. Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal. b. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata). c. Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa. Februari - April 2011
| 21
opini
opini
Pembaruan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan
Angin Segar Bagi Perempuan Oleh: I Ketut Sudantra*) Selama ini norma-norma hukum adat Bali mengenai pewarisan sangat kental dengan dominasi budaya patriarki sehingga dianggap kurang menguntungkan bagi perempuan. Seperti diketahui, sudah menjadi pengetahuan umum dalam masyarakat, bahwa perempuan bukanlah ahli waris, baik atas harta peninggalan orang tuanya maupun harta peninggalan almarhum suaminya.
M
emang, hukum adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami. Penempatan anak lakilaki sebagai ahli waris terkait erat dengan pandangan bahwa laki-laki Bali mempunyai tanggungjawab yang besar dalam keluarga, sementara tanggungjawab anak perempuan terhadap keluarga berakhir dengan
22 |
kawinnya anak tersebut yang selanjutnya akan masuk dan menunaikan tanggungjawabnya secara total di lingkungan keluarga suami. Itu sebabnya, harapan yang sangat besar digan tungkan kepada anak lakilaki, mulai dari harapan sebagai penerus generasi, memelihara dan memberi nafkah ketika orang tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara agama, seperti menyelenggarakan upacara kematian, penguburan atau pembakaran jenazah (ngaben) anggota keluarganya yang meninggal serta menyemayamkan dan
Februari - April 2011
dok pribadi
memuja roh leluhur mereka di tempat persembahyangan keluarga (sanggah/merajan); menggantikan kedudukan bapaknya dalam masyarakat melaksanakan kewajiban (swadharma) sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat, seperti krama banjar/desa pakraman) atau krama dadia ketika anak tersebut sudah kawin. Bahkan, tanggung jawab anak laki-laki tidak berhenti pada kewajibankewajiban di dunia nyata (alam sekala), tetapi juga merambah ke alam niskala (dunia gaib), di mana kaum laki-laki (melalui
cucu laki-laki) diharapkan akan mengantarkan roh leluhur keluarga tersebut ke alam sorga, seperti sering diungkapkan dalam kepercayaan Bali yang menyatakan “i cucu nyupat i kaki“. Sebagai penghargaan atas tanggung jawab yang besar itulah kemudian anak laki-laki diberikan hak (swadikara) sebagai ahli waris, sedangkan anggota keluarga yang meninggalkan tanggung jawabnya dalam keluarga baik karena perkawinan, diangkat anak, pindah agama, disebut ninggal kedaton (meninggalkan tanggung jawab) sehingga digugurkan haknya atas harta warisan.
Angin Segar Bagi Perempuan Sistem kekeluargaan kapurusa yang diterapkan selama ini dalam masyarakat Bali memang telah memberi perlakuan berbeda antara anak laki-laki dan perempuan di bidang pewarisan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa perlakuan berbeda itu wajar karena esensi pewarisan dalam hukum adat Bali adalah keseimbangan antara hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma). Dalam hal ada kenyataan bahwa salah satu pihak (laki-laki) tetap melaksanakan kewa-
jibannya dalam keluarga dan ada pihak lain (perempuan) meninggalkan kewajibannya, maka logis bila hak mereka masing-masing terhadap harta orang tuanya juga menjadi berbeda. Belakangan ini, berkembang
kewajibannya terhadap orang tuanya (ninggal kedaton terbatas), maka berkembang pemikiran yang mengarah kepada adanya persamaan hak antara lakilaki dan perempuan dalam bidang pewarisan. Pemiki-
Peserta seminar telah menyarankan: “supaya hukum waris Bali dimodernisir sehingga hak perempuan sama dengan hak laki-laki dengan tidak mengabaikan norma-norma agama pemikiran bahwa swadharma seorang anak (perempuan) kepada orang tuanya tidak selalu putus walaupun anak tersebut telah kawin. Bahkan tidak jarang, rasa tanggung jawab anak perempuan yang sudah kawin terhadap orang tuanya tetap berlangsung, ia tetap memperhatikan kehidupan orang tuanya, memberikan nafkah, dan merawat orang tuanya dikala orang tuanya sakit atau sudah tua renta. Bahkan kadang-kadang rasa tanggung jawab anak perempuan lebih besar dari rasa tanggungjawab anak laki-laki. Dalam kondisi demikian, apakah anak perempuan tetap dianggap ninggal kedaton sehingga kehilangan haknya atas harta warisan orang tuanya? Berdasarkan fakta bahwa anak yang telah kawin masih dapat melaksanakan
ran tersebut sesungguhnya sudah mulai berkembang sejak lama. Paling tidak, gagasan itu telah disuarakan di dunia akademis pada tahun 1971 ketika di Denpasar diselenggarakan Seminar Hukum Adat Waris atas prakarsa Lembaga Pembinan Hukum Nasional. Dalam seminar yang diselenggarakan selama dua hari, 5-6 Maret 1971, itu dibahas beberapa makalah yang membahas persoalan hukum waris, khususnya hukum waris yang berlaku di Bali. Pada hasil seminar, khususnya pada bagian rekomendasi, peserta seminar telah menyarankan: “supaya hukum waris Bali dimodernisir sehingga hak perempuan sama dengan hak laki-laki dengan tidak mengabaikan norma-norma agama“.
Februari - April 2011
| 23
opini
opini
Gagasan tersebut cukup lama tidak muncul lagi sebagai wacana publik, walaupun para aktivis perempuan di Bali tidak pernah berhenti memperjuangkannya. Perjuangan para aktivis perempuan di Bali bagi persamaan hak antara lakilaki dan perempuan dalam bidang pewarisan mulai mendapat perhatian serius lagi ketika Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali mengadakan lokakarya dalam rangka menyongsong Pesamuan Agung yang ke-3. Lokakarya diadakan di Ruang Pertemuan Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dihadiri tokoh-tokoh adat dan para aktivis perempuan, membahas kertas kerja tunggal yang saya sampaikan berjudul: “Beberapa Pemikiran Kearah Pembaruan Hukum Adat Bali Untuk Perempuan Dan Anak”. Saya ingat betul bagaimana dinamisnya pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam lokakarya tersebut. Ketika saya mengajukan usul yang moderat bahwa orang tua atau saudara (dalam hal orang tua sudah meninggal) berhak memberikan bekal harta kepada anak yang ninggal kedaton, yaitu harta yang berupa harta pegunakaya (harta bersama yang diperoleh selama perkawinan
24 |
berlangsung), dengan catatan pemberian tersebut tidak boleh merugikan ahli waris yang ada, langsung disambut dengan usul yang lebih tegas oleh para aktivis perempuan yang hadir. Mereka mengusulkan, bukan “orang tua berhak memberikan“, melainkan “anak yang telah kawin berhak atas“ harta pegunakaya orang tuanya. Usulan tersebut akhirnya menjadi kesimpulan hasil lokakarya yang kemudian di bawa ke Pesamuan Agung Majelis Utama Desa Pakraman. Pada akhirnya, Pesamuan Agung Ke-3 mengakomodasi perkembangan pemikiran yang dihasilkan oleh lokakarya tersebut, khususnya yang berkaitan dengan hak waris anak perempuan. Seperti diketahui, Pesamuan Agung Ke-3 Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali yang diselenggarakan di Denpasar pada 15 Oktober 2010 telah melahirkan beberapa keputusan yang membawa angin segar bagi perempuan dan anak. Barangkali timbul pertanyaan, apakah keputusan-keputusan Pesamuan Agung tersebut akan serta merta menjadi pola kelakuan yang ajeg dalam masyarakat sehingga berlaku sebagai hukum adat dalam kenyataan? Tentu kita ha-
Februari - April 2011
rus bersabar untuk sampai pada tahap perkembangan tersebut. Keputusan-keputusan Pesamuan Agung MUDP tersebut tentu saja akan menjadi pedoman dalam revitalisasi hukum adat Bali melalui penyuratan awig-awig desa pakraman, karena salah satu fungsi MUDP adalah melakukan pembinanan terhadap awig-awig desa pakraman. Dengan begitu, akan terjadi sosialisasi dan internalisasi di kalangan masyarakat hukum adat Bali mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Keputusan MUDP tersebut. Lebih dari itu, keputusan Pesamuan Agung MUDP tersebut akan memudahkan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum adat dalam tugasnya menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, ketika hakim di Pengadilan-pengadilan yang ada di Bali mengadili kasus-kasus pewarisan. *)
Penulis adalah dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Saat ini, penulis juga menjadi Pengurus Harian (Prajuru) pada Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali disamping sebagai Sekretaris Pusat Studi Wanita dan Perlindungan Anak Universitas Udayana.
Diskriminasi Dibalik Hukum Adat Penulis: Gek Ela Kumala Parwita
T
erlahir menjadi perempuan adalah karunia yang begitu besar dari Tuhan. Tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan mempunyai peran yang begitu penting dalam menjalankan kehidupan. Tugas sebagai seorang ibu yang mengandung, menyusui serta melahirkan menjadikan perempuan adalah makhluk yang istimewa dan perlu diberikan penghormatan khusus. Dari rahim seorang perempuanlah lahir benih-benih baru yang akan melanjutkan kehidupan ini nantinya. Begitu besar peranan seorang perempuan seharusnya membuat kedudukan perempuan lebih dihormati dan dihargai. Namun disisi lain masih ba nyak ditemuai kasus-kasus yang berhubungan dengan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Pendiskriminasian ter hadap perempuan terjadi meluas diseluruh daerah di Nusantara. Diskrimina-
si perempuan disadari atau tidak juga sudah terjadi di Bali. Sebagai pulau Dewata, Bali mempunyai begitu banyak kebudayaan dan adat yang dipegang kukuh oleh masyarakatnya. Adat Bali yang dimaksud meliputi nilai, norma dan perilaku dalam masyarakat Bali. Adat inilah yang membuat beberapa orang Bali mempunyai pikiran kolot tentang adanya anak perempuan di tengah-te ngah keluarga mereka. Beberapa keluarga di Bali khususnya yang beragama Hindu melakukan berbagai macam cara untuk bisa mempunyai anak lakilaki. Biasanya meski mereka telah mempunyai anak perempuan, orang-orang Bali cendrung merasa tidak mempunyai anak. Ini dikarenakan anak perempuan dipandang tidak akan bisa meneruskan purusa dan garis keturunan keluarga. Adanya fenomena seperti inilah yang membuat be-
berapa keluarga Hindu di Bali sering merasa sedih, putus asa dan seperti tidak mempunyai harapan untuk masa depan jika tidak mempunyai anak laki-laki. Dari permasalahan ini terlihat masyarakat Bali menyepelekan kehadiran anak perempuan karena menganut sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik keturunan dari garis lakilaki. Dalam sistem kekerabatan patrilinial ini sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Dari sinilah muncul diskriminasi gender yang terselubung dalam hukum adat di Bali. Anak laki-laki di Bali berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Pengagungan terhadap
Februari - April 2011
| 25
opini
opini
anak laki-laki menyebabkan anak perempuan dianggap sebagi nomor dua dan tidak mendapat perhatian lebih. Bahkan di beberapa wilayah di Bali ada orang tua yang sengaja tidak memberikan pendidikan yang layak untuk anak perempuannya karena mempu nyai pikiran nantinya anak perempuan itu tidak bisa memberikan apa-apa karena akan dibawa keluarga dari pihak suaminya. Sekalipun orang tua mempu nyai dana untuk membiayai pendidikan anaknya pasti yang lebih diutamakan adalah menyekolahkan anak
laki di Bali. Salah satu contohnya dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 4766K/Pdt/1998 tertanggal 16 November 1999 yang menyatakan bahwa anak perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris. Namun seperti tidak mempedulikannya, beberapa masyarakat Bali masih saja menggunakan dalih hukum adat untuk menging kari hukum yang berlaku di negara ini. Hukum adat Bali secara fungsional telah menggeser keberadaan hukum nasional yang akibatnya menciptakan suatu
secara nyata, namun hal ini sebenarnya berlangsung terus menerus dan telah menjadi bagian dari rahasia umum di Bali. Adanya diskriminasi dibalik hukum adat Bali harus segera diselesaikan. Jangan sampai nantinya timbul masalah baru yang diakibatkan adanya diskriminasi terselubung di balik adat yang sudah tertanam di Bali. Pada keadaan seperti inilah orang tua-orang tua di Bali harus lebih bersikap netral agar nantinya tidak menyinggung perasaan si anak perempuan. Mereka harus siap dan rela jika
Diskriminasi ini dapat membuat seorang anak perempuan menjadi merasa kehadirannya tidak dianggap dan diperlukan ditengah keluarga. laki-laki dibandingkan anak perempuan. Oleh karena itu banyak anak perempuan di Bali yang tidak mengenyam pendidikan secara layak. Mereka cendrung dibiarkan dirumah untuk membantu pekerjaan rumah atau dibiarkan bekerja mencari uang tambahan untuk membantu ekonomi keluarga. Hal inilah yang merupakan contoh kecil namun merupakan masalah besar yang harus segera dicari jalan keluarnya. Dari segi hukum sebenarnya pemerintah telah menciptakan kesetaraan antara perempuan dan laki-
26 |
sangkar diskriminasi bagi perempuan Bali. Diskriminasi ini dapat membuat seorang anak perempuan menjadi merasa kehadirannya tidak dianggap dan diperlukan ditengah keluarga. Keadaan seperti ini nantinya bisa menjadikan psikologis anak tersebut menjadi terganggu. Adanya ketidakadilan struktural serta sobordinasi ini menyebabkan secara tidak langsung masyarakat Bali telah melakukan diskriminasi psikologis terhadap anak perempuan. Memang adanya pengkotak-kotakan gender ini dilakukan tidak
Februari - April 2011
nantinya diberikan karunia seorang anak perempuan. Sikap ini setidaknya juga dilakukan mengingat anak adalah titipan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang harus dijaga apapun bentuk dan keadaanya. Selain itu dalam beberapa kitab suci agama Hindu disebutkan kita harus menghormati keberadaan perempuan sama halnya dengan meng hormati keberadaan lakilaki. Misalnya saja dalam Kitab Suci Manawa Dharmacastra Bab.III. sloka 58 dan 59 serta Manawa Darmacastra IX, 96. 58: “ Bagi setiap keluar-
ga yang tidak menghormati kaum perempuan, niscaya keluarga itu akan hancur lebur berantakan. Rumah di mana perempuannya tidak dihormati sewajarnya, mengungkapkan kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib” 59: “ Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera, harus selalu menghormati perempuan, kitab suci mewajibkan semua orang menghormati perempuan”. 96:”Tidak ada perbedaan putra laki-laki dengan putra perempuan yang diangkat statusnya, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban suci. Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari badan yang sama” . Sementara untuk masalah purusa dan melanjut kan keturunan, seharusnya masyarakat Bali bisa mencarikan solusi baik-baik tanpa adanya diskriminasi. Sebenarnya pada masyarakat patrilinial di Bali dikenal lembaga sentana rajeg di mana anak perempuan dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya dengan status anak laki-laki. Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status dan
kedudukannya sama de ngan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam kaitan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedang kan dalam hal yang lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan
ral dimasyarakat diperlukan suatu keadilan tanpa memandang atau melecehkan seseorang hanya karena ia perempuan atau laki-laki. Permasalahan kecil yang berdampak begitu besar ini harus dicarikan solusi dan jalan keluarnya. Oleh karena itu persoalan mengenai diskriminasi ini jangan dijadikan sekedar wacana
Adanya pembelokan terhadap kepatuhan hukum adat menjadikan muncul diskriminasi kepada kaum perempuan. kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya. Memang susah jika melihat permasalahan dis kriminasi perempuan di Bali. Adanya pembelokan terhadap kepatuhan hukum adat menjadikan muncul diskriminasi kepada kaum perempuan. Begitu beratnya diskriminasi yang ada dibalik hukum adat ini membuat perempuan sulit melakukan perlawanan. Kekakuan masyarakat Bali terhadap adat yang berkembang menjadikan anak perempuan yang lahir di Bali menjadi pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa. Adat dan budaya adalah sesuatu yang dibuat manusia dan tidak mengandung kebenaran mutlak. Memang adat diperlukan untuk menjaga tradisi yang ada tapi untuk menjaga kesetaraan struktu-
saja. Harusnya ada kejelasan yang berhubungan dengan hukum adat di Bali sehingga nantinya tidak ada dampak negatif yang terjadi bagi anak-anak perempuan yang lahir di Bali. Adat yang merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Bali (Hindu) seharusnya menjadi aturan yang memberikan kemudahan bagi masyarakatnya dan bukan malah mempersulit atau menimbulkan masalah baru. Ini tantangan bersama masyarakat Bali ke depannya! Penulis adalah siswa SMA 3 Denpasar. Tulisan ini memenangkan “Lomba Essay Nasional” Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nopember 2010 dan dimuat pada buku “ Ktika Asa Masih Ada”
Februari - April 2011
| 27
interaktif
interaktif
Forum Diskusi di RRI
MDGs dan Penguatan Perempuan
U
ntuk membahas berbagai langkah dan kemajuan dalam pencapaian MDGs, LSM Bali Sruti secara rutin menggelar Dialog Interaktif di Radio Republik Indonesia (RRI) Denpasar. Dialog ini berlangsung setiap hari Sabtu, minggu kedua setiap bulannya pada pk. 08.00 - 09.00 Wita. Berikut kami sajikan kembali transkruip dari acara tersebut. Pengantar moderator (Luh Putu Anggreni) Pada pertemuan kali ini, kami akan menghadirkan Ibu Luh Arjani, Ketua Pusat Studi Wanita Universitas Udayana. Adapun topik yang dibahas adalah Kesetaraan Gender yang merpakan salah-satu dari tujuan MDGs. Narasumber (Luh Arjani) Sekedar mengingatkan, MDGs adalah singkatan dari Milenium Development Goal’s, atau prioritas pembangunan utama yg akan dilakukan. Sesuai dgn kesepakatan dalam konferensi PBB di tahun 2000. Ada 8 goal yg akan diunggulkan diselesaikan permasalahannya di thn 2015. Adapun 8 goal itu yaitu : 1. Kemiskinan (pengentasan kemiskinan) 2. Pendidikan (pendidikan utk semua/ PUS 3. Mendorong kesetaraan bagi perempuan/gender, tema ini menjadi focus bagi PSW juga Bali Sruti. 4. Menurunkan angka kematian bayi 5. Menurunkan angka kematian ibu 6. Penanganan HIV/AID 7. Pelestarian lingkungan hidup
28 |
Februari - April 2011
8. Membangun jaringan global Indonesia ikut juga dlm menyetujui MDGs, target hrs tercapai di 2015. Terkait dgn fokus ke 3 program MDGs, targetnya adalah pencapaian IPG (indeks pembangunan gender) setinggi-tingginya. Kondisi kesetaraan gender di Bali tentu terkait dengan budaya Bali. Karena itulah hasil Pesamuan MUDP itu merupakan bagian dari tercapainya target MDG’s, yaitu tentang hak waris bagi perempuan Bali. Seperti diketahui, bahwa budaya Bali menganut paham patrilinial, yang meng akibatkan perempuan Bali, sebagian besar tidak dapat memiliki hak waris secara adat. Memang di beberapa daerah, dimungkinkan perempuan dalam perkawinan berkedudukan sebagai purusa, tapi tidak berlaku di seluruh daerah Bali. Diharapkan juga dgn adanya kesepakatan MUDP juga, keluarga Bali yg fanatik dengan idiologi patriarkhi yg menempatkan nilai anak laki-laki lebih utama, dapat berubah. Karena konsep seperti itu berimplikasi kepada kesempatan menempuh pendidikan bagi anak perempuan yg lebih rendah daripada anak laki-laki. Karena itu diharapkan perempuan Bali akan mendapat kesempatan pendidikan yg sama dengan laki-laki, sehingga akan mendorong kesetaraan gender. Terkait dengan itu, untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam keluarga Bali, dapat diberikan hak yg sama bagi anak laki2 & perempuan. Yaitu terutama dalam hak waris. Pertanyaan pendengar ; Ibu Titin : terkait dengan budaya Bali yg menganut patrilinial, hasil kesepakatan MUDP memberi angin segar bagi perempuan, tapi diperlukan sosialisasi yg luas.
dialog: Para pengasuh dialog publik MDGs di RRI Denpasar. dok bali sruti
Apa yg akan dilaksanakan jika ada perempuan yg menjadi korban? Sebenarnya apa isi keputusan itu? Jawab : Perempuan berhak mendapat warisan yang berasal dari harta gunakaya orang tuanya. Ini merupakan revolusi sosial pada budaya bali yang perlu diperbaiki, karena merupakan buatan manusia, memang seharusnya hukum adat bisa diperbaiki jika nilai-nilai itu sudah kurang pas dgn kondisi dan 2 jaman yang sudah berubah. Tentu diperlukan sosialisasi dan advokasi bagi perempuan yang mengalami masalah. Bapak Maya : Harta warisan yang mana yg dimaksud untuk bisa diperoleh bagi perempuan Bali? Jawab : Harta hasil pernikahan atau gono gini, akan diberikan kepada semua anak tanpa melihat jenis kelamin secara sama rata (hal tersebut sudah mulai umum dilakukan saat ini karena secara hukum juga dimung
kinkan pelaksanaannya seperti itu). Praktek seperti ini, akan membuat posisi perempuan lebih baik dimata keluarga suami, sehingga lebih dihormati dan dihargai di keluarga laki-laki. Diharapkan dengankondisi seperti itu, dapat mengurangi terjadinya kasus2 KDRT bagi perempuan. Juga akhirnya mendukung tercapainya MDGs jika keputusan MUDP ini benar2 dilaksanakan tidak hanya tertulis saja, karena itu butuh disosialisasikan secara luas. Pada kenyataannya, sesuai penelitian yang dilakukan Pusat Studi Wanita (PSW) sejak 3 tahun lalu, ditemukan kondisi, bahwa dalam rapat-rapat banjar mulai melibatkan perempuan, suara dan pendapat perempuan mulai didengarkan dan diberikan hak untuk berpendapat untuk menentukan keputusan-keputusan banjar. Tapi yang perlu digarisbawahi, kesetaraan gender bukanlah bermaksud membalik peran dalam rumah tangga. Namun ada komitmen untuk kesetaraan dalam peran dalam rumah tangga. Februari - April 2011
| 29
profil
profil
Luh Putu Haryani
Prestasi Berawal dari Keluarga
B
irokrasi adalah sebuah mesin raksasa dengan berbagai jenjang kepangkatan serta fungsi yang terintegrasi. Kesempatan untuk mendakinya itu hanya dimiliki oleh sejumlah kecil pegawai saja. Lebih sedikit lagi oleh kaum perempuan karena masalahmasalah internal yang dihadapinya. Dari yang sedikit itu, Luh Putu Haryani termasuk yang beruntung. Ia kini menduduki jabatan Ketua Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Perempuan cantik kelahiran Luwus, Tabanan, 9 April 1961 ini memulai karirnya pada tahun 1986 ketika diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Jadi sekarang sudah hampir 20 tahun,” ujarnya. Ia pertama kali ditempatkan di Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) dan saat itu Dewa Beratha (mantan Gubernur Bali) sebagai Ketua BKPMD. Seiring waktu, pengalaman saya berkembang. Saya pernah ditarik ke Biro Bina Sosial dengan jabatan Kepala Bagian Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Bidang Tehnis Fungsional di Balai Diklat, Kepala Sub Dinas Kesenian Dinas Kebu-
30 |
Februari - April 2011
dayaan dan Kepala Biro Kesra sebelum ditugaskan sebagai Kepala BP3A. Bagi Haryani, posisinya sebagai ibu rumah tangga sama sekali tidak pernah menjadi hambatan. “Saya sejak kecil dididik untuk mandiri dan tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan,” ungkapnya. Seperti soal setir mobil, semua anakanak harus bisa. Dalam keluarganya, juga ada pelajaran untuk kebebasan dan keberanian berpendapat dalam segala hal dengan prinsip saling menghormati. Adapun di ling kungan birokrasi, ia memang merasakan adanya intrik-intrik karena laki-laki medok humas pemprov rasa tersaingi dan ada juga perasaan kalah. Karena itu kemudian ada juga tanggapan miring terhadap pres tasinya. Tapi hal itu ditepisnya dengan keyakinan bahwa semua posisi yang diperolehnya adalah karena berpijak pada kemampuan dan kerja kerasnya. “Saya pegang pernyataan suami bahwa semakin tinggi karir ini nanti akan banyak persoalan yang dihembuskan mulai soal tidak mampu yang bisa saya lawan dengan kerja keras, soal suap yang bisa ditepis dengan menjaga integritas dan transparan-
aktif: Sebagai birokrat perempuan, Luh Putu Hariani (tengah) juga aktif dalam aktifitas bersama kalangan aktifis perempuan. dok humas pemprov
si. Kalau itu tak mempan, saya pasti akan diisukan selingkuh atau dipengaruhi partai politik. Semua sudah pernah saya alami,” paparnya. Awalnya, berbagai intrik itu membuatnya sakit hati. “Kok tega sekali, padahal saya bekerja keras dengan tulus” sesal dia. Tapi lama kelamaan dia terlatih untuk menghadapinya dengan tenang dan menerimanya sebagai
sebuah resiko pekerjaan. “Saya ambil hikmahnya, kalau di awal karir saya tak mendapat pengalaman itu, mungkin sekarang saya akan lemah dan gampang jatuh. Sekarang tak pernah saya pikirkan , kapan kerjanya kalau saya pikirkan itu,” tegasnya. Di lingkungan kerja, ia menerapkan prinsip kesetaraan dan tidak ada pembedaan berdasarkan gender. Semuanya berdasarkan
fungsi dan kewenangannya. Bukan karena tugas yang enak kemudian diberikan kepada perempuan. Kalau ada pertemuan diluar kota dan memang pegawai perempuan yang harus jalan ya itulah yang dia perintahkan. Ibu Nanik- begitu dia akrab dipanggil- mengakui jumlah perempuan yang bisa memiliki kepangkatan cukup tinggi di birokrasi masih sedikit. Hal itu kare-
Februari - April 2011
| 31
profil
dialog
na prosentase laki-laki BIODATA di birokrasi memang lebih banyak. Dari Nama : Luh Putu Haryani, SE.MM perempuan sendiri ada Panggilan : Nanik hambatan dimana baTTL : Luwus, 9 April 1961 nyak yang tidak terlalu Jabatan : Ketua Badan Pemberdayaan Perempuan dan ingin berkarir karena Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bali konsekuensinya kalau Pendidikan : - S1 Ekonomi Perusahaan Fakultas Ekonomi UNUD dipindah-pindah malas. - S2 Magister Manajemen UNUD “Apalagi yang suamiPendidikan Penjenjangan : Dikat Pimpinan I Tahun 2008 nya cukup mapan,“ kaSuami : Prof.Dr.W.G Supartha SE.SU tanya.Hal itu dinilanya sebagai bias Patriarkhi dimana perempuan selalu mengalah dan lebih mengutamakan keluarga. “Saya sendiri merasa beruntung karena suami seorang dosen yang tidak merasa kalah kalau jenjang kepangkatan istri lebih tinggi,“ ujarnya. Di luar birokrasi, dia menilai, peran perempuan sudah jauh lebih maju. Terutama di Partai Politik dan lembaga legistatif. Kesan bahwa dunia politik itu keras dan bukan tempat kaum perempuan pelan-pelan terkikis. Di bidang lain juga begitu, sudah banyak pengusaha dan profesional perempuan yang merubah stereotype tentang perempuan. Tapi dia berharap perubahan itu berbasis pada keluarga kecil yang harus sudah diterapkan perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan. “Beri kesempatan yang sama untuk belajar, menyampaikan pendapat dan berbagi peran. Demikian pula di lingkungan banjar,“ ujarnya. Tim
dok bali sruti
aspirasi: Aktivis perempuan memberikan aspirasi kepada Ketua DPD Partai Demokrat Bali.
Partai Harus Wadahi Kaum Perempuan
S
ebuah momentum yang jarang terjadi berlangsung, Selasa (25/1). Yak ni saat Bali Sruti bersama Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Forum Mitra Kasih, dan sejumlah LSM Perempuan lainnya mendatangi Kantor DPD Partai Demokrat Bali. Rombongan yang terdiri dari para aktivis perempuan itu bukan karena ingin berdemonstrasi. Tapi sekedar berdialog menjelang penyusuna pengurus PD setelah dilakukan Musya warah Daerah partai itu. Berikut adalah dialog para aktivis dengan dengan Ketua Terpilih DPD Partai Demokrat Bali Made Mudarta Made Mudarta : Terima kasih sudah bersedia hadir di kantor kami. Saat ini kami sedang melakukan penjaringan pengurus DPD Partai Demokrat Periode 2011-2015. Sebagai Partai Modern kami selalu membuat mekanisme yang terbuka dengan sistim fit and propper test, kemudian ada kontrak kerja dan semua harus menandatangani
32 |
Februari - April 2011
Pakta Integritas. Selanjutnya kami persilahkan dari KPPI untuk menyampaikan hal-hal yang ingin dibicarakan. Nyoman Masni : Saat ini saya menjabat sebagai Ketua KPPI dan disini kami hadir bersama sejumlah teman yang merupakan tokohtokoh organisasi perempuan yang independen. Ada ibu Luh Riniti Rahayu dari Bali Sruti yang menjadi insiator pertemuan, Luh Anggreni dari Forum Mitra Kasih, Putu Suwartini dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dll. Secara umum misi kami adalah untuk mendorong partisipasi perempuan yang lebih besar di dunia politik karena saat ini masih sangat minim dan kami merasa itu kurang baik bagi kita semua, bukan hanya bagi perempuan. Karena itu dalam kaitannya dengan pembentukan kepengurusan Partai Demokrat, kami berharap adanya kesempatan bagi kaum perempuan untuk masuk dalam struktur di segala lini, tentunya dengan melihat kualitas yang ada. Memang tidak Februari - April 2011
| 33
dialog
dialog DPD , paling tidak 33 adalah dari kaum perempuan atau minimal 30 % . Posisi perempuan ini sangat strategis baik untuk kepentingan eskternal maupun internal. Saya sendiri percaya Surga di bawah telapak kaki ibu, kalau situasi panas ada perempuan biasanya lebih sejuk dan semua mau menahan diri. Jadi kami memiliki komitmen yang jelas sehingga suatu saat nanti tidak perlu ada lagi Departemen Pemberdayaan Perempuan.
rofiki hasan
dialog: Aktifis perempuan yang ikut dalam pertemuan dengan Partai Demokrat. Nyoman Masni (KPPI), Ida Ayu Widnyani (KPUD), Siti Safurah (BBS), Putu Suartini (KPAID), Luh Riniti (Bali Sruti), Titik Suhariyati (Bali Sruti), Luh Putu Anggreni (Forum Mitra Kasih), Dayu Pradnyani (BBS).
harus 30% sesuai amanat UU, tapi kemungkinan harus dibuka selebar-lebanya. Pada akhirnya nanti, kami juga akan membantu memberikan dorongan kepada kaum perempuan yang berkiprah termasuk dengan memberikan pelatihan-pelatihan apabila memang diperlukan. Hal yang sama akan kami suarakan kepada partaipartai yang lain. Luh Riniti Rahayu : Kami ucapkan selamat sebelumnya, apalagi ini sesuai dengan moto Demokrat untuk memilih pemimpin muda. Adapun aspirasi kami agar perempuan masuk ke kepengurusan partai itu juga untuk meng antisipasi Pemilu 2014 agar nantinya tidak terkesan partai politik hanya merekrut pe rempuan beberapa saat menjelang pencalegan. Itu kurang baik karena perempuan sendiri menjadi kurang siap dan mereka belum ada pengetahuan maupun pengalaman untuk terjun ke politik. Sampai saat ini keterwakilan perempuan masih terlalu rendah dimana hanya 28 orang di seluruh lembaga legistatif di Bali atau 7,5 %. Akibatnya, meskipun mereka
34 |
Februari - April 2011
berkualitas, suara mereka jarang terdengar. Ini pun masih jauh dari amanah UU yang mendorong keterwakilan hingga 30 %. Namun kami realistis saja, di pemilu 2014 nanti minimal bisa naik sampai 10 % . Ini bukan tuntutan. Tapi mohon dipahami bahwa laki-laki dan perempuan kan bersama-sama membangun rumah tangga, nah ibaratnya masyarakatnya itu kan terdiri dari laki-laki dan perempuan juga. Jadi mestinya bersama-samalah berada di rumah rakyat untuk kepentingan bersama. Kami yakin sebagai partai besar, demokrat bisa memahami keinginan ini. Kami harapkan ke depannya juga ada proporsi yang seimbang sampai di tingkat kabupaten dan kecamatan. Made Mudarta : Terima kasih atas aspirasi tadi. Kami sampaikan juga bahwa Demokrat ini juga adalah Partai Perempuan, Ibu lihat yang sekarang dari 4 anggota DPRD Bali yang perempuan, 2 adalah Demokrat dan kami berusaha juga agar di Kabupaten lebih banyak. Untuk kepengurusan kami di DPD, kamai berkomitmen bahwa dari 111 personil
Titik : Kami berharap juga agar jangan sampai perempuan hanya ditempatkan di posisi terbawah. Hanya sekedar untuk memenuhi kuota 30 % tapi benar-benar sesuai dengan kemampuannya dan loyalitasnya. Made Mudarta : Kami memastikan hal itu dan perempuan berhak untuk menduduki posisi manapun. Kami sesuaikan juga dengan tugas dan fungsi, misalnya untuk Tanggap darurat yang perlu gerak cepat ya prioritasnya kaum laki-laki, kecuali kalau ada perempuan yang bersedia dan mampu. Putu Suwartini : Mohon disesuaikan pula agar mekanisme yang kecil tidak sampai menghambat peran perempuan. Misalnya, soal rapat. Kalau bisa siang kenapa harus di malam hari yang situasinya kurang baik bagi perempuan. Putu Anggreni : Mohon diungkapkan pula agenda politik ke depan yang berkaitan dengan peran perempuan? Made Mudarta : Kalau soal rapat , kami aturannya jelas. Harus mulai pukul 2 siang dan tidak boleh belama-lama kalau tidak jelas uru-
sannya. Soal agenda, untuk perempuan kami punya lembaga Perempuan Demokrat yang merupakan jejaring nasional untuk kaderisasi di kalangan perempuan. Tentu langkah kongkrit untuk pening katan Caleg perempuan itu akan kami programkan, misalnya soal nomor urut yang sering jadi masalah. Nah, nanti kalau setelah diurutkan berdasarkan matrik potensi ternyata ada kader pria yang nilainya tinggi dan kemungkinan terpilih besar, maka bisa saja kader perempuan yang kita taruh di angka kecil untuk meyakinkan pemilih akan kualitasnya. Luh Riniti : Soal matrik itu, biasanya perempuan itu akan kalah dalam soal pengalaman, karena memang selama ini terjunnya ke politik belakangan. Jadi mohon untuk dipertimbangkan juga, tidak begitu saja dibandingkan sama dengan kaum laki-laki. Ini juga bentuk Affirmative Action. Made Mudarta : Kita pastikan komitmen itu. Kami pun akan jauh-jauh hari meyiapkan Caleg. Jadi pada pertengahan 2012 sudah akan mulai ada seleksi. Ini penting karena, pada 2014, pemilih pemula itu akan 40 % sehingga perlu strategi yang baru. Berkaitan dengan penyusunan pengurus, kami mempersilahkan kalau ada dari ibu-ibu yang akan bergabung atau merekomendasikan perempuan calon pengurus. Luh Riniti : Kami ini dari kelompok independen dan masih akan diluar untuk jadi kompor. Tapi kami akan membantu sosialisasi ke jaringan-jaringan. Kami juga akan memantau sejauh mana komitmen itu akan dilaksanakan oleh Partai ini, juga oleh Partai-Partai yang lain. Februari - April 2011
| 35
album
album
Peringatan Hari HAM
U
ntuk memperingati hari HAM sedunia, LSM Mitra Kasih bersama kalangan aktivis perempuan menggelar sejumlah kegiatan. Diantaranya adalah Dialog Publik mengenai isu HAM dan Kekerasan pada Perempuan dan Anak pada 16 Desember 2010. Pada dialog tersebut, anggota Komisi I DPRD Bali, Ni Made Sumiati berjanji akan mengusulkan Perda Inisiatif Dewan terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak. “Diperlukan langkah nyata agar perlindungantidak sebatas wacana,” tegasnya. Ketua DPRD Bali AA Ngurah Oka Ratmadi pun berjanji untuk memberikan dukungan. Selain, acara dialog, pada 14 Desember, para aktivis perempuan juga mengunjungi
rofiki hasan
ham: Tokoh-tokoh perempuan tampil dalam peringatan hari HAM.
tahanan anak-anak dan perempuan di LP Kerobokan. Kunjungan itu diharapkan memberi semangat dan inspirasi, agar mereka yang pernah terlibat tindak pidana tidak berputus asa akan nasibnya. Tim
Restoratif Justice
Alternatif bagi Bocah Terpidana
K
urangnya jumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak memaksa 3.916 atau 57 % narapidana anak harus berkumpul dengan narapidana dewasa. Akibatnya, napi anak rentan dieksploitasi dan terpengaruh kondisi kejiwaannya. Alasan itu pula yang mendorong Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA) Bali menggelar Lokakarya Restoratif Jus tice di Hotel Shanti Denpasar, Kamis (23/12). Dalam acara itu, Ketua LPAI Bali Nyoman Masni meminta, agar SKB Restoratif Justice lebih cepat diterapkan. ”Anakanak adalah masa depan bangsa, jangan sampai mereka rusak karena kesalahan kita dalam menangani mereka,“ ujarnya. Selama tahun 2010, LPAI BALI mencatat, terdapat 118 anak di Bali yang terli-
36 |
Februari - April 2011
bat kasus hukum. Sebanyak 45 anak adalah sebagai pelaku dan 73 anak sebagai korban. Sebanyak 41 anak yang menjadi pelaku telah diadvokasi oleh LPAI dan mendapat penempatan di Lapas Anak atau di RSPA serta mendapat bantuan bersyarat agar dapat melanjutkan sekolahnya. Restoratif Justice adalah pendekatan dalam penanganan masalah hukum dengan mempertimbangkan masa depan pelaku maupun korban dalam sebuah kasus pelanggaran hukum. Pendekatan ini layak diterapkan kepada anak-anak karena mereka harus tetap mendapat kesempatan untuk memperbaiki dirinya di masa depan. Dasar hukum penerapannya adalah ratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990.Tim
rofiki hasan
pecandu: Pecandu minta diperlakukan manusiawi dan diberi kesempatan menjalani rehab.
Dana Rehab untuk Pecandu Narkoba
M
enjadi pecandu narkoba ternyata menyakitkan. 90 % diantaranya, bahkan ingin mendapat kesempatan untuk menyembuhkan dirinya. Namun beratnya biaya rehab sering menjadi penghambat. Untuk itu para mantan pecandu narkotika di Bali, Senin (23/1) mendatangi DPRD Bali. Mereka yang tergabung dalam Ikatan Korban Narkotika (IKON) Bali meminta penyaluran dana APBD Bali untuk membantu melakukan rehabilitasi serta mendirikan panti rehab. “Kami ini juga anak bangsa yang sah. Meskipun pernah melakukan kesalahan, kami berharap bisa memperbaiki diri di masa depan,“ kata Koordinator IKON Made Petradi. “Sebab, menjadi pecandu itu sakit, kesepian dan tak bisa melakukan apa-apa kalau tidak mendapat obat,“ ujarnya. Namun untuk dapat menyembuhkan diri adalah hal yang tidak mudah karena mahalnya biaya perawatan. Kebutuhan akan panti rehab menjadi lebih mendesak setelah Pengadilan Negeri (PN) saat ini mulai menetapkan vonis re-
hab bagi pecandu yang tertangkap polisi. Sebab, untuk rehabilitasi itu, pecandu harus membiayai dirinya sendiri. Biaya untuk rehab sendiri berkisar antara Rp 1 juta hingga 3 juta tergantung fasilitas serta jenis obat yang diberikan. Sementara kesembuhan minimal setelah 3 bulan perawatan. Adapun IKON yang memiliki sekitar 120 anggota menghimpun mantan pecandu serta pecandu yang sedang berusaha menyembuhkan dirinya. “ Untuk pengurus harus benar-benar yang sudah sembuh,“ kata Petradi. Mereka membantu mengurus mereka sampai mendapat tempat rehat yang tepat. Menanggapi desakan itu Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Komang Kariyasa menyebut, kemungkinan mengalokasikan dana itu cukup terbuka. “Kami melihat ada semangat untuk sembuh dari kecanduan dan harus didorong oleh semua pihak,” ujarnya. Alternatif lainnya adalah dengan menggunakan dana Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang memberikan pengobatan gratis bagi penduduk Bali yang mengalami masalah kesehatan. Tim Februari - April 2011
| 37
album
album
Moratorium TKI Belum Saatnya
M
rofiki hasan
Kawasan Bebas Rokok Terganjal
K
omitmen untuk meningkatkan kualitas kesehatan melalui Kawasan Bebas Rokok (KWR) belum bisa sepenuhnya diterapkan di Bali. Meski telah diajukan oleh Dinas Kesehatan sejak 7 bulan lalu, Perda tentang KWR masih terganjal di Biro Hukum Pemprov Bali. Padahal DPRD Bali berharap, Perda itu segera diajukan. “Alasannya, mereka masih bingung, apakah Perda ini kewenangan Provinsi atau Kabupaten,“ kata Anggota Komisi IV DPRD Bali Utami Dwi Suryadi di selasela pertemuan Jaringan Forum Nasional Aliansi Total Ban, Sabtu (22/1). Kondisi itu jelas sangat disayangkan. Sebab, Perda KWR akan dapat menekan kebiasaan untuk merokok sembarangan. Utamanya juga adalah agar generasi muda menghindari kebiasaan merokok yang tidak baik bagi kesehatan mereka dan juga mengganggu orang lain yang tak merokok. Secara nasional, kondisi bahaya merokok itu makin menjadi keprihatinan. Gara-gara di-
38 |
Februari - April 2011
temukannya sejumlah anak berusia dibawah 11 bulan yang sudah mengisap rokok, Indonesia kini dijuluki ‘Negeri Baby Smooker’ oleh kalangan aktivis anti rokok internasional. Koordinator Forum Nasional Aliansi Total Ban Arist Merdeka Sirait menegas kan, masih banyak orang tua yang kurang peduli akan bahaya merokok. „Tahun lalu ada 12 kasus baby smokers yang kita temukan,“ ujarnya dalam pertemuan dengan jaringan forum itu di Denpasar, Sabtu (22/1). Sebelumnya, Indonesia sudah dijuluki sebagai negara “Kid Smookers” karena banyaknya anak-anak berusia 5-15 yang sudah terbiasa merokok. Jumlahnya mencapai 24,5 persen dari total populasi anak laki laki dan 2,3 persen pada anak perempuan Kebiasaan itu terbentuk terutama karena promosi iklan rokok yang sangat gencar menyasar usia tersebut. Perusahaan rokok membutuhkan mereka, karena perokok dari golongan dewasa cenderung bertahan pada satu merk saja. Tim
enteri Pemeberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar menolak usulan melakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Alasannya, keberangkatan warga negara untuk mencari kerja adalah bagian dari Hak Asazi Manusia. “Lagipula kalau ke inginan sangat tinggi dan peluangnya memang terbuka, moratorium justru akan mendorong peningkatan TKI illegal,” katanya dalam dialog dengan pelajar serta aktivis organisasi perempuan di Denpasar, Senin ( 3/1). Dia menyebut fakta bahwa jumlah TKI saat ini sudah mencapai sekitar 4 juta orang. Dari jumlah itu, TKI yang terlibat kasus hanya 4.000 orang saja setiap tahunnya. “Mari kita lihat juga mereka yang sukses agar bisa seimbang memberi penilaian,” tegasnya. Kasus-kasus umumnya terjadi karena kurang nya persiapan TKI sebelum dikirim atau pun karena kesalahan dalam prosedur pengiriman. Bagi dia, langkah yang terbaik adalah dengan me-
maksimalkan perlindungan bagi TKI melalui revisi UU Nomor 39 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. UU itu, menurutnya, masih terlalu dominan pada sisi Penempatan dan sangat lemah pada sisi perlindungan. Dia mencontohkan, kondisi TKI di negaranegara Timur Tengah yang rata-rata adalah perempuan. Mereka dipekerjakan de ngan alamat yang tercatat
(SMK) diharapkan akan makin dominan mewarnai sistim pendidikan Indonesia. Selain itu, pemerintah telah mengucurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bisa digunakan untuk modal bekerja di luar negeri. Selama ini dicurigai banyaknya TKI yang berangkat dengan meminjam uang pada rentenir. Sementara itu Walikota Denpasar Ida Bagus Rai
di Konsulat RI hanya berupa nomor Kotak Pos majikannya. Akibatnya, bila terjadi suatu kasus akan sangat sulit dipantau dan diketahui. “Sekarang harus dipastikan bahwa alamat lengkap mereka diketahui dan mereka harus memiliki alat komunikasi,”tegasnya. Pemerintah, menurut nya, juga akan mendorong pengiriman tenaga kerja yang memiliki ketrampilan dibandingkan tenaga kasar. Karena itu peran Sekolah Menengah Kejuruan
Mantra menegaskan, pemberian ketrampilan serta modal kepada kaum perempuyan adalah cara yang effektif agar nmereka dapat bekerja di lingkungannya sendiri. “Tapi lebih penting lagi adalah sikap kreatif menghadapi masalah dan tantangan,” ujarnya. Posisi perempuan di ruang publik, menurutnya, sudah tidak lagi diragukan apalagi dalam sisi industri kratif yang membutuhkan kepekaan dann ketekunan. Tim
Februari - April 2011
| 39
resensi buku
resensi buku
Menelisik Sejarah Kontemporer Bali Judul : Bali Benteng Terbuka, 1995-2005 Penulis : Henk Schulte Nordholt Penerbit : Pustaka Larasan, Denpasar dan KITLV Jakarta Cetakan : Juni 2010 Tebal : 120 Halaman
M
ulai diputarnya film “Eat, Pray, Love” yang dibinta ngi oleh Julia Robert mem buat Bali dikenal den gan julukan baru sebagai “The Island of Love”. Sebutan ini seperti melanjutkan tradisi untuk mengimajinasikan Bali sebagai sebuah daerah yang aman, damai dan sejahtera dengan keindahan alam yang mempesona. Sebuah gambaran tentang Bali yang sudah dipromosikan sebelumnya dalam brosur-brosur pariwisata dengan istilah “The Island of Paradise”. Namun di bawah selapis tipis kulit ari pariwisata itu Bali senyatanya adalah
desentralisasi dan otonomi daerah ini menyaj ikan gambaran yang utuh mengenai masa transisi itu. Peneliti dari Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV) Leiden merangkai fakta-fakta yang menunjukkan bahwa pergolakan di Bali tak kalah keras nya dengandaerah-daerah lain. Perumusan identitas bersama dalam wacana “Ajeg Bali” pada akhirnya harus
Perumusan identitas bersama dalam wacana “Ajeg Bali” pada akhirnya harus berhadapan dengan realitas politik nasional yang mewariskan sentralisasi kekuasaan di tangan partai politik. daerah yang terus bergelut dengan berbagai persoalan. Konflik dan harmonisasi menandai pergulatan warga Bali dalam merespon perkembangan politik nasional maupun interaksi dengan kekuatan ekonomi dan budaya global. Reformasi 1998 membuat dinamika itu menjadi semakin kasat mata dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru setelah kekalahan Partai Golkar dan dominasi kekuatan militer. Buku yang disarikan dari penelitian Henk Schulte Nordholt mengenai dampak
40 |
Februari - April 2011
berhadapan dengan realitas politik nasional yang mewariskan sentralisasi kekuasaan di tangan partai politik. Identitas itu pun harus berhadapan dengan diaspora kekuatan sosial, ekonomi dan budaya lokal yang seringkali tidak sejalan dengan tafsir utama atas wacana itu. *** Nordholt membuka bukunya dengan tulisan tentang perayaan Ulang Tahun Bali Post ke 55 pada 16 Agustus 2003
dimana koran tertua dan terbesar di Bali itu menyajikan liputan khusus mengenai seminar “Menuju Strategi Ajeg Bali”. Sebuah seminar yang berusaha merumuskan Bali sebagai daerah yang memiliki keunikan secara sosial, ekonomi dan budaya. Keunikan yang harus dipertahankan di tengah keprihatinan atas dampak pariwisata seperti kerusakan lingkungan, serbuan pendatang luar, kriminalitas, bisnis narkoba dan sikap materialistis yang me ngancam Bali.
sejak tahun 70-an saat pertama kalinyapariwisata Bali dirancang. Gagasan yang ada saat itu adalah, bagaimana mengundang sebanyak mungkin turis seraya menjaga agar kebudayaan Bali berada dalam jarak yang aman. Strategi yang ditempuh adalah dengan memusatkan pariwisata massal di kawasan Nusa Dua, Badung. Dalam perkembangannya, Gubenur Bali kemudian membuat kawasan-kawasan wisata untuk merespon protes atas ketidakseimbangan ekonomi
Gagasan yang ada saat itu adalah, bagaimana mengundang sebanyak mungkin turis seraya menjaga agar kebudayaan Bali berada dalam jarak yang aman. Ajeg Bali menjadi semacam rencana induk baru yang menghormati keseimbangan dalam hubungan manusia dengan para Dewa, dengan manusia dan lingkungannya. Tersirat di dalamnya adalah upaya revitalisasi spiritual dan pengu atan rasa percaya diri kultural seraya menekankan pentingnya pengetahuan lokal dan peran lembaga adat. Namun Nordholt mencatat, seminar yang dihadiri oleh kalangan cendekiawan, praktisi pariwisata dan pemimpin lokal lainnya itu hanya sedikit sekali menya jikan solusi praktis. Terutama solusi untuk dua masalah yang sangat nyata, yakni perpecahan administratif lokal akibat kebijakan desentralisasi yang bertumpu di kabupaten/kota. Masalah lainnya adalah, bagaimana menangkal pengaruh luar dan pendatang yang tak diinginkan sementara Bali membutuhkan pengunjung asing, investor dan tenaga kerja murah untuk menjaga ekonominya. Bab-bab selanjutnya memberikan gambaran yang detail mengenai dilema-dilema itu. Nordholt menelusuri akar masalahnya
serta meningkatnya minat untuk berinvestasi. Pada akhirnya, perkembangan yang membuat Bali bukan lagi suatu daerah agraris itu mengundang protes berbagai pihak khususnya setelah dinilai melampaui batas-batas adat dan spiritual. Seperti yang terjadi pada protes atas pembangunan Bali Nirwana Resort (BNR) di Tabanan yang dianggap terlalu berdekatan dengan Pura Tanah Lot. Meskipun kemudian dapat diredam, protes atas proyek yang didanai oleh Grup Bakrie itu pada 1993 menjadi penanda dimana pariwisata dianggap mulai meresahkan Bali. Kemakmuran Bali sebagai daerah wisata juga menghadirkan dampak yang lain seperti membanjirnya pendatang lokal pasca kerusuhan Mei 1998 serta ancaman terorisme di tengah rapuhnya keamanan Bali. Ancaman teroris kemudian terbukti oleh adanya serangan bom pada 12 Oktober 2002. Di ranah politik lokal, buku ini mengu raikan akar dukungan kepada Megawati sebagai ekspresi sentimen anti Orde Baru yang korup. Ketika Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pecah pada 1996, Februari - April 2011
| 41
resensi buku
opini
Nodholt pun membongkar aneka kepentingan dibalik “Ajeg Bali’ sehingga motivasi untuk mempromosikannya bisa dianggap tak lagi murni. Bali menyambut Mega dengan berbagai aksi dukungan. Puncaknya adalah ketika Mega menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa PDI yang melahirkan PDI Perjuangan. Puluhan ribu orang membanjiri lokasi untuk menunjukkan dukungannya. Munas itulah yang mengantar PDIP memenangi Pemilu Nasional dan di Bali berhasil menguasai 80 % suara. Menariknya, ketika terjadi kerusuhan masal pasca kegagalan Mega untuk menduduki kursi Presiden pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1999, Nordholt mencatatnya bukan sebagai ekspresi spontan rakyat (hal 20). Dia mengutip sumber sumber yang menyatakan adanya truk-truk tak teridentifikasi yang datang dari Jawa di Bali Utara. Di Denpasar, kerusuhan dimainkan oleh orang-orang tak dikenal. Kemenangan mutlak PDIP sendiri a tidak memberikan jaminan atas kestabilan politik dan arah masa depan Bali. Nordholt mencatat, para birokrat Golkar berhasil mempertahankan posisinya. Sementara itu di tingkat Kabupaten, muncul wirausahawan politik yang berhasil memecah suara PDIP seperti di Kabupaten Jembrana dan Buleleng. PDIP juga tidak mampu menjadi kekuatan yang effektif dengan agenda yang jelas dan bahkan terus dibayangi konflik internal. Puncaknya adalah pada pemilihan Gubernur tahun 2003 dimana pada tingkat lokal menginginkan tokoh Puri Satria Cokorda Ratmadi sebagai calon mereka. Dukungan ini bertabrakan dengan keinginan Megawati untuk tetap mempertahankan Dewa Made Beratha. Pemilihan pun ke-
42 |
Februari - April 2011
mudian berlangsung dengan kemenangan Beratha tetapi isu suap hingga milyaran rupiah melanda partai itu. Sementara itu Bali Post kemudian memanfatakan slogan “Ajeg Bali” untuk mengambil peran sebagai rekonsiliator. *** Buku ini menarik untuk dibaca karena penjelasannya yang gamblang dengan menggunakan kacamata desentralisasi dan demokratisasi dalam perspektif lokal. Jalinan kejadian bahkan berani mengung kap hal-hal yang sensitif dan tak pernah dikuak di media massa. Sebutlah, kaitan antara PDIP dengan kelompok preman di Denpasar dan Karangasem guna mengefektifkan jalannya pemerintahan. Kekerasan juga menjadi bahasa yang kerap digunakan khususnya pada saat menjelang Pemilu. Nodholt pun membongkar aneka kepentingan dibalik “Ajeg Bali’ sehingga motivasi untuk mempromosikannya bisa dianggap tak lagi murni. Pada akhirnya, seperti dilambangkan oleh sampul buku ini yang menggantungkan botol Coca-Cola di sebuah pintu berukir tradisional Bali, pulau ini adalah sebuah daerah yang mau tak mau harus berinteraksi dengan berbagai petanda nasional dan global. Nordholt mengkritik para cendekiawan dan kelas menengah Bali yang terlalu menekankan keotentikan dan cenderung hegemonik. Padahal perekonomian yang terbuka sama sekali tidak cocok dengan identitas yang tertutup itu. Tim
Substansi, Penegak Dan Budaya Hukum
Sudahkah Hukum Berempati?
K
alau ingin menempuh jalan hukum, siapapun akan berhadapan dengan tiga unsur yang ikut menentukan nasibnya di pengadilan dan di kemudian hari. Pertama, isinya undang-undang (substansi hukum). Undang-undang nasional dan juga hukum adat mengatur perkawinan dan juga perceraian. Kedua, aparat penegak hukum: polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Dan tentunya ada orang yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam kasus perceraian: suami-istri yang bersangkutan, keluarga masing-masing dan masyarakat sekitarnya. Masingmasing mempunyai gambaran mengenai apa yang adil dan apa yang tidak bila terjadi perceraian. Norma mengenai keadilan yang dianut masyarakat juga disebut budaya hukum.
Antara Hukum Nasional dan Adat Undang-undang yang mengatur perceraian adalah UU Perkawinan No.1 tahun 1974. Di situ dijelaskan sejumlah alasan perceraian yang bisa diterima
hakim. Hak masing-masing pasangan atas separoh harta bersama dan hak asuh anak juga diatur. Khususnya untuk kasus-kasus KDRT ada UU Penghapusan KDRT, No.23 Tahun 2004. Kalau kejadian KDRT bisa
- yang belum memilikinya. Bagi mereka undang-undang ini hanya bisa diberlakukan bila ingin cerai apabila akte perkawinan diurus sebelumnya. Seandainya, salah satu pihak tidak bersedia, maka proses perce-
dibuktikan, maka itu bisa dipakai sebagai alasan perceraian dan hakim akan mengabulkan permohonan. Dua undang-undang sudah cukup melindungi hak perempuan. Hanya, masih ada beberapa kendala. Misalnya, para perempuan yang dapat memanfaatkan kedua UU tersebut, harus mempunyai akte perkawinan. Sedangkan, masih sangat banyak perempuan Bali – begitu pula laki-laki
raian menjadi sulit. Perlu diketahui, klian adat tidak berwenang mengeluarkan surat putusan cerai. Persoalan ini menunjukkan adanya kemajemukan hukum di Indonesia. Di samping hukum nasional, Negara mengakui hukum adat setempat. Susahnya, hukum nasional dan hukum adat tidak selalu sinkron. Contohnya, hukum nasional dan hukum adat Bali bertentangan soal hak
Februari - April 2011
| 43
opini
opini
perempuan atas harta gono-gini dan hak asuh anak. Hukum nasional menjamin hak perempuan, sedangkan hukum adat tidak. Hakim di pengadilan negeri diamanatkan untuk menegakkan hukum. Tetapi hukum yang mana? Peraturan hukum juga menentukan bahwa permohonan atas keputusan perceraian dan permohonan tentang harta gonogini harus diajukan secara terpisah. Ini menyebabkan proses memperoleh hak ini cenderung lama.
Hakim Yang Kurang Peka Bila perempuan berupaya mencari keadilan dalam perceraian, keadilan itu ada di tangan hakim. Hakim tentunya harus melihat latar belakang masalah yang timbul dalam perkawinan dan mengambil keputusan yang terbaik bagi semua pihak bersangkutan. Ada di antaranya yang sungguhsungguh mencoba untuk menegakkan hukum sesuai dengan undang-undang nasional, berpihak pada perempuan yang tidak bersalah atas kehancuran perkawinannya dan berupaya agar perempuan itu dapat hak gono-gini dan hak asuh anak demi keadilan. Tetapi ada juga yang
44 |
serta-merta mengacu pada hukum adat dalam putusannya. Seringkali, begitu muncul perebutan hak asuh anak, para hakim terpaku pada apa yang diminta oleh para pengacara pihak suami: sesuai hukum adat purusa, sang anak harus diasuh oleh bapaknya. Tidak jarang hak asuh juga diberikan pada pihak bapak dengan pertimbangan dialah yang mampu untuk membiayai anak. Dengan demikian, masa depan istri, yang perkawinannya sudah dihancurkan oleh sang suami (misalnya karena kekerasan, selingkuh, penelantaran), kemudian dihancurkan lebih dalam lagi oleh hakim. Sungguh menyedihkan, tidak adil dan belum tentu yang terbaik bagi anak. Si ibu setelah perceraiannya biasanya tidak habis pikir nasib anaknya yang tinggal dengan bapaknya yang terbukti tidak layak sebagai suami dan ayah. Ada juga jenis kasus lain yang cenderung memperlihatkan ketidakadilan bagi perempuan. Ada hakim yang begitu mudah memutuskan perceraian atas permintaan suami. Misalnya, hakim terima saja bila suami mengatakan istrinya sudah pergi dan tidak tahu dimana keberadaannya, sehingga keputusan dapat
Februari - April 2011
diambil tanpa menghadirkan istri. Padahal, sang suami sebenarnya tidak punya alasan yang sah untuk bercerai dan hanya ingin secepatnya mengawini selingkuhannya secara sah. Tentunya kebanyakan hakim masih bersih. Tetapi kadang-kadang „keadilan” bisa dibeli. Seorang klien perempuan LBH, namanyaDewi, yang ingin mendapatkan hak asuh untuk anaknya mengaku dia ikut main uang. Karena dia tahu suaminya juga melakukannya. Bukan hukum yang bisa dibeli, tetapi ada hakim yang bisa. Karena kaum laki-laki rata-rata lebih banyak duit, maka merekalah yang lebih sering bisa menang.
Ada Pengacara Mata Duitan dan Berpihak Selain hakim, pengacara juga ikut berperan dalam mencapai sebuah keputusan. Ibarat namanya pengacara, mereka diharapkan membela kepentingan kliennya. Untuk itu ada pengacara yang minta fee yang tinggi demi sebuah kemenangan. Kesepakatannya dengan klien juga bisa berupa persen dari harta yang direbutkan. Khususnya kalau pasangan memiliki harta yang ban-
anaknya yang tetap cinta sama ibunya.
Mari Kita Mulai..
yak, ini bisa mendorong pengacara untuk bekerja ekstra keras memenangkan pihak kliennya. Karena seringkali harta dipegang pihak lelaki, maka klien perempuan perlu pengacara yang pintar agar dapat hak atas harta gono gini. Khususnya pengacara yang „mata duitan” juga bisa mengeksploitasi lahan yang tercipta oleh keinginan kedua bela pihak untuk mendapatkan anak. Seperti disinggung di atas, ada yang memperjuangkan hak asuh untuk pihak suami atas nama hak purushanya, tanpa mempertimbangkan apakah anak lebih pantas sama ibunya atau kepentingan anak itu sendiri.
Masyarakat Memojokkan Masyarakat Bali pada umumnya masih menem-
patkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Karena laki-laki sebagai ahli waris, laki-laki sebagai penerus nama keluarga. Laki-laki juga mempunyai peran lebih besar dalam pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat. Kondisi demikian mewarnai norma yang dianut masyarakat seputar perceraian. Perempuan tidak pantas minta cerai, tidak diakui hak atas harta bersama, begitu pula hak atas anaknya. Kalau dia tidak bersalah, keluarga dan masyarakat kadang-kadang masih mau terima bila dia minta cerai dan dapat haknya. Tetapi kalau salah, pantaslah dia tidak dapat apapun. Bahkan seringkali seorang ibu tidak diizinkan bertemu dengan anaknya setelah perceraian. Kemungkinan besar ini menimbulkan stres berat pada
Perempuan yang ingin bercerai sungguh berhadapan dengan banyak tantangan dan resiko. Peraturan hukum belum mendukung sepenuhnya hak perempuan, para penegak hukum belum semua mau peka, dan masyarakat masih menomorduakan haknya. Lagipula, banyak perempuan belum melek hukum dan tidak kuat ekonominya. Sehingga mudah dikalahkan haknya bila tidak ada pembelaan yang baik. Tetapi yang paling utama, perempuan takut berpisah dengan anak. Sebaiknya bagi pasangan Hindu yang bercerai, keputusan hakim tetap berpatokan pada prinsip apa yang terbaik bagi anak, sesuai dengan UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Dan mari masyarakat kita mulai mengaku hak asuh anak seorang ibu, khususnya apabila suaminya memang terbukti tidak layak sebagai suami dan ayah. Anak paling dirugikan biar terjadi perceraian. Mari kita mulai sungguhsungguh menjamin kepentingannya agar tetap dekat sama kedua orang tuanya. (Anggreni/Sita)
Februari - April 2011
| 45
puisi
puisi
Bunga, Luka dan Kematian Aku mendapat bunga hari ini meski hari ini bukan hari istimewa dan bukan hari ulang tahunku semalam untuk pertama kalinya kami bertengkar dan ia melontarkan kata-kata menyakitkan aku tahu ia menyesali perbuatannya Karena hari ini ia mengirim aku bunga Aku mendapat bunga hari ini meski hari ini bukan ulang tahun perkawinan kami atau hari istimewa kami semalam ia menghempaskan aku ke dinding dan mulai mencekikku Aku bangun dan rasa sakit sekujur tubuhku aku tahu ia menyesali perbuatannya Karena ia mengirim bunga padaku hari ini Aku mendapat bunga hari ini meski hari ini bukan hari ibu atau hari istimewa lain semalam ia memukuli aku lebih keras dibanding waktu-waktu yang lalu aku takut pdanya tapi aku takut meninggalkannya aku tidak punya uang Lalu bagaimana aku bisa menhidupi anak-anakku Namun aku tahu ia menyesali perbuatannya semalam Karena hari ini ia kembali mengirimi aku bunga Ada bunga untukku hari ini Hari ini adalah hari istimewa, inilah hari pemakamanku Ia menganiayaku sampai mati tadi malam Kalau saja aku punya cukup keberanian dan kekuatan u/ meninggalkannya aku tidak mendapat bunga lagi hari ini
Pujian Bagi Tanganmu Oleh: Warih Wisatsana Tanganmu seperti senja hilang cahaya tanganmu seperti dua bayang bersilang di petang yang lengang Setiap kali kata punya goa dan jejak rahasia Tanganmu menuliskannya, menulisnya sambil mengenang aku Laki-laki sia-sia yang datang padamu di usianya yang hampa Tanganmu seperti gerimis yang ingin menghapus tangis yang ingin mengusap pilu langit biru Tanganmu seperti mata si mati di pagi hari yang menembus hutan bayang yang menggemakan gaung murung di dinding-dinding, di puing-puing kota masa tua ibumu Aku laki-laki yang membaca semua sajakmu, mendatangimu mengigaukan tangan yang lebih lembut dari maut mengigaukan tangan yang lebih lengang dari petang Aku laki-laki yang sesat di baris pertama, tak percaya sungguh tak percaya, kenapa di akhir kata seseorang terbawa rasa hampa; kenapa cerita tentang sorga tak membuatnya bahagia tak menjadikannya suka cita seperti ketika kecil dulu terlena seharian di sisi ibu Tanganmu buah-buah kenari yang berjatuhan sepanjang hari tanganmu senyap batu beradu di dasar kolam yang menunggu Tanganmu,tanganku, tangan waktukah yang lunglai hilang lambai Aku dan maut datang dengan wangi bunga yang sama Maut dan aku berbagi derita rahasia kecupan pertama; tapi bukan dalam sajakmu.
46 |
Februari - April 2011
Februari - April 2011
| 47
cerpen
cerpen
Perempuan yang Mengawini Keris Cerpen: Wayan Sunarta
B
erdebar-debar aku menantikan hari yang membahagiakan itu. Hari yang akan menyelamatkan martabat keluargaku dari cemooh dan sindiran orang-orang sedesa. Cemooh dan sindiran yang seringkali menyakitkan hati orang tuaku, meski belakangan mereka tidak menghiraukannya lagi. Atau lebih tepatnya menyimpannya diam-diam dalam lubuk hati paling dalam sebagai suatu nasib yang mesti dijalani. Karena aku perempuan, sungguh berat rasanya menjadi anak tunggal yang harus menanggung sendiri kecemasan orang tua. Duh, seandainya aku memiliki seorang adik, kalau bisa mesti adik lelaki. Tapi HyangWidhi berkehendak lain, karena suatu alasan medis ibuku tidak bisa lagi melahirkan. Maka jadilah aku pewaris tunggal segala kekayaan keluargaku: sehektar tanah sawah di desaku di Tabanan, sebuah rumah cukup mewah di Denpasar, dua mobil sedan terbaru, sebuah hotel melati di Kuta. Mungkin ini pula yang membuat beberapa teman perempuanku seringkali iri padaku. Mereka sering menyebutku perempuan beruntung! “Sudah cantik, kaya, berpendidikan tinggi, wanita karier dan terkenal lagi!” begitulah rata-rata komentar mereka. Pendek kata, di mata mereka, aku perempuan yang sempurna! Tapi sayang, mereka tidak pernah paham, apa yang sedang bergejolak dalam batinku akhir-akhir ini. Aku selalu gagal menjalin percintaan. Kisah cintaku selalu berakhir tragis justru pada saat menjelang pernikahan. Sebenar nya tidak sulit bagiku untuk mendapatkan lelaki yang setara denganku. Seperti ucap beberapa temanku, aku cantik, kaya,
48 |
Februari - April 2011
berpendidikan tinggi, dikenal luas. Lelaki mana yang tidak bertekuk lutut di hadapanku? Tapi, seperti jamaknya laki-laki, mereka mirip penjual obat keliling. Mereka, mantan-mantan pacarku yang kebanyakan eksekutif muda itu, juga suka mengobral janji-janji cinta penuh bungabunga harapan. Janji-janji pernikahan yang kuidam-idamkan selalu mereka bisikkan di kupingku sembari mereka mencumbuiku di kamar-kamar hotel mewah yang kami sewa. Namun, setelah mengetahui keadaanku yang sebenarnya, mereka
Karena aku perempuan, sungguh berat rasanya menjadi anak tunggal yang harus menanggung sendiri kecemasan orang tua. segera mundur teratur. Pada mulanya jelas aku kecewa dengan sikap laki-laki seperti itu. Sampai aku pernah berpikiran bahwa lelaki yang mendekatiku atau yang hendak memacariku hanya kedok untuk mengeruk keuntungan dariku: menikmati tubuhku sekaligus mencicipi kekayaan orang tuaku. Tapi lama kelamaan aku berusaha maklum mengapa setiap lelaki yang pernah menjadi kekasihku akan mundur teratur ketika aku membicarakan masalah pernikahan secara serius. Dan ini pula yang menjadi kecemasan orang tuaku dan yang membebani perasaanku. Sebagai anak yang mencoba berbakti, aku pun memaklumi harapan dan kecemasan orang tuaku. Tentu mereka ingin segera momong cucu yang akan meneruskan keturunannya kelak. Lagi pula kini usiaku ham-
pir kepala tiga, namun belum juga menemukan pasangan hidup, atau lebih tepatnya belum menemukan lelaki yang mau kuajak menikah. Cemooh dan sindiran bahwa aku dianggap tidak laku seringkali mampir di telinga orang tuaku yang membuat mereka terus mendesakku untuk segera menikah. Namun, seperti yang telah kuungkapkan, mencari pacar jauh lebih mudah bagiku ketimbang mencari seorang calon suami. Sungguh susah mencari lelaki yang sudi nyentana di keluargaku. Tahukah kamu, kebanyakan lelaki
dengar, keluarga besar si lelaki biasanya akan menentang keras keinginan anaknya untuk nyentana. Bagi sebagian masyarakat Bali, pernikahan ini dianggap suatu yang memalukan dan penuh dengan cemooh dan sindiran. Si lelaki biasanya akan disindir hanya ingin mengeruk kekayaan orang tua si perempuan, ingin menadah warisan dengan mudah. Bahkan sering pula terjadi kasus si lelaki dilecehkan dan menjadi bulan-bulanan dalam keluarga si perempuan. Menghindari kejadian-kejadian seperti itulah yang me nyebabkan lelaki enggan nyentana meski ia
Hal itu pula yang membuatku cukup maklum kenapa para mantan pacarku mundur teratur ketika kuajak menikah. Bali sangat menghindari jenis perkawinan yang disebut nyentana itu. Sedangkan bagi perempuan Bali yang tidak memiliki saudara lelaki, justru nyentana merupakan perkawinan yang sangat diharapkan. Bagaimanapun juga, di Bali, kelahiran anak lelaki merupakan suatu berkah tak terkira yang harus dirayakan. Anak lelaki adalah penerus garis keturunan suatu keluarga. Maka keluarga yang tidak memiliki anak lelaki, terpaksa mengawinkan anak perem puannya dengan tradisi nyentana. Maka aku pun mengemban amanat berat dari orang tuaku untuk mencari lelaki yang mau diajak nyentana. Boleh kukatakan berat karena memang susah mencari calon suami yang sudi nyentana. Ini menyangkut harga diri dan kehormatan keluarga si lelaki. Sebab lelaki yang memilih untuk nyentana akan tinggal dan menjadi milik keluarga mempelai perempuan. Secara spiritual status lelaki akan berubah menjadi perempuan dan pihak keluarga si lelaki tidak lagi berhak terhadap anaknya. Pendek kata, dalam tradisi nyentana, lelaki dipinang oleh perempuan. Pada banyak kasus yang pernah ku
mencintai perempuan pujaannya itu. Hal itu pula yang membuatku cukup maklum kenapa para mantan pacarku mundur teratur ketika kuajak menikah. Inilah persoalan yang menderaku akhir-akhir ini. Pernah aku mencoba melupakan persoalan pernikahan dengan menyibukkan diri mengurus hotel melati yang kukelola. Tapi nyaris setiap malam ketika aku tidak mampu memejamkan mata, bayang-bayang pernikahan muncul menghantui pikiranku. Hingga tiba pada suatu hari, aku berkenalan dengan seorang lelaki dalam suatu pesta peresmian galeri lukisan di Ubud. Aku merasakan debar yang lain ketika mata kami saling bersitatap. Aku kira lelaki itu pun merasakan hal yang serupa. Lelaki itu memperkenalkan dirinya sebagai seorang pelukis. Pada pesta itu kami banyak bicara tentang seni lukis, suatu bidang yang belum kupahami, tapi sungguh menarik perhatianku. Pelukis yang lumayan ganteng dengan rambut setengah gondrong itu berasal dari Ubud. Ia tiga tahun lebih tua dariku dan menurut pengakuannya belum berkeluarga. Perkenalan kami terus berjalin leFebruari - April 2011
| 49
cerpen
cerpen
wat sms dan telpon-telpon mesra. Entah mengapa aku bisa tertarik dan jatuh hati dengan lelaki itu. Mungkin gaya bicaranya yang terdengar matang dan dewasa, atau sikapnya yang begitu lembut dan mesra terhadapku. Beberapa kali ia berkunjung ke kantorku dan lebih sering lagi mengajakku melihat-lihat pameran lukisan. Ia juga suka mengundangku ke studionya yang sederhana di Ubud. Aku pun telah diperkenalkan sebagai pacar pada keluarganya yang ramah. Begitu pun sebaliknya, aku perkenalkan ia pada keluargaku yang menyambutnya dengan hangat pula. Suatu kali pelukis itu mengutarakan isi hatinya untuk mengajakku menikah. Dari mimiknya yang serius aku merasa ia sung guh-sungguh dengan keinginannya itu. Aku merasa pelukis itulah pelabuhan dan harapan terakhirku untuk mencari lelaki yang bersedia nyentana. Sebelumnya aku telah menceritakan keadaanku, juga harapan orang tuaku. Di luar dugaanku, ia bersedia nyentana, dan orang tuanya pun tidak keberatan. Aku girang alang kepalang mendengar itu semua. Aku memeluk dan menciumnya. Aku merasa bunga-bunga serentak mekar dan semerbak mewangi dalam taman hatiku. Aku pun segera menceritakan kabar gembira itu pada orang tuaku. Mereka
50 |
Februari - April 2011
sangatsuka cita dan terharu mendengarnya. Mereka segera mencari hari baik untuk melangsungkan pernikahan kami. Undangan dicetak mewah dan telah disebar ke sanak saudara, kenalan, kolega bisnis, pejabat lokal, tetangga, kerabat desa. Pesta pernikahan akan dirayakan secara meriah di rumah keluargaku yang berhalaman luas. *** Berdebar-debar aku menunggu hari yang menobatkan aku menjadi mempelai itu. Besok pagi upacara perkawinan kami akan digelar secara adat Bali. Malam harinya aku tidak bisa memejamkan mata. Besok pihak keluargaku akan meminang lelaki pujaanku. Dari jendela kamarku, aku mengintip kesibukan para kerabat mempersiapkan upacara untuk esok pagi. Wajah-wajah mereka nampak sumringah. Kursi pelaminan telah pula dihias dengan kain prada dan bunga warna-warni, terlihat indah dan megah. Aku bangun sebelum ayam sempat berkokok menyambut pagi. Juru rias pilihan telah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Hampir dua jam aku dirias. Pagi ini aku bagai putri dari Kahyangan yang akan menyambut pangeran impiannya.
Sekitar jam sembilan, para undangan mulai berdatangan. Keluargaku menjamu mereka dengan berbagai jenis hidangan pembuka yang lezat-lezat dan mengundang selera. Terlihat wajah-wajah mereka dihiasi senyum dan tawa ceria. Aku duduk dengan anggun di pelaminan, menunggu kedatangan mempelai lelaki. Pendeta yang akan memimpin upacara telah datang dan menunggu dengan sabar. Rencananya, setelah upacara adat selesai, akan disambung dengan pesta resepsi pernikahan sampai malam. Ayah dan ibuku terlihat sibuk menyam but para undangan. Tapi beberapa saat kemudian, Ayah dipanggil oleh seorang kerabat kami. Aku melihat mereka bercakap-cakap dengan wajah serius. Sebentar kemudian wajah ayahku berubah pucat dan tegang. Wajah bahagia ayahku seketika sirna. Aku belum paham apa yang sedang terjadi. Tapi aku juga melihat ketegangan dan keganjilan yang serupa pada wajah para kerabat dekat. Mereka menatapku dengan sorot mata yang memancarkan rasa iba. Aku penasaran dengan perubahan suasana yang mendadak itu. Aku bangkit dari pelaminan dan menghampiri Ayah yang langsung menggiringku ke dalam kamar. Di luar, undangan semakin banyak berdatangan. Sekilas kulihat mereka saling bertegur sapa dan berbincang-bincang penuh tawa canda. Tentu mereka juga merasakan kebahagiaan karena pada akhirnya aku menikah. “Ada apa, Ayah? Mengapa nampak murung?” aku langsung menumpahkan rasa penasaranku pada Ayah. “Betul-betul malang nasibmu, putriku…” Ayah tidak kuasa meneruskan katakatanya. Aku semakin penasaran. Suara gamelan Semarpegulingan mengalun lamat-lamat, begitu syahdu dan romantis. “Apa yang terjadi, Ayah?” aku mera-
sakan ketegangan menjalari syaraf-syaraf halus pada wajahku. Perasaanku campur aduk. Aku teringat si pelukis kekasihku, calon suamiku, pangeran pujaanku. Ayah menatapku dengan trenyuh. Nampak kepedihan mengambang pada mata tuanya. “Putriku, perkawinanmu harus tetap berlangsung, meski Ayah menanggung malu di hadapan para undangan,” Ayah terdiam, wajahnya nampak tegang, “kamu akan Ayah kawinkan dengan keris…” “Keris!? Saya akan kawin dengan keris!? Maksud Ayah bagaimana?” Aku tidak kuasa menyembunyikan kekagetanku. Aku bingung. Mengapa aku harus kawin dengan sebilah keris? Ayah menunduk. Nampak Ayah juga kebingungan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan masalah pernikahanku yang mendadak menjadi rumit dan menyedihkan ini. “Ya, kamu akan kawin dengan sebilah keris, putriku! Keris itu sebagai simbol, pengganti calon suamimu yang ingkar janji. Ia minggat dari rumahnya. Keluarganya pun tidak tahu keberadaannya.” Mendadak mataku berkunang-kunang mendengar penjelasan Ayah. Aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Tapi aku berusaha untuk tabah dan menguasai diri. Musnah sudah impianku. Aku tidak habis mengerti, mengapa lelaki itu mengingkari janjinya? Rasa cintaku perlahan menjelma kebencian pada lelaki itu. Dan kenyataan pahit ini harus kujalani bersama keluargaku. Bagaimanapun juga, upacara perkawinan sudah tidak bisa dibatalkan. Kini, di hadapan para undangan dan kerabat yang saling berbisik, di tengah gema genta dan mantra pendeta yang terasa sumbang, aku melangsungkan upacara perkawinan dengan sebilah keris. Menjelang siang upacara usai, tapi hatiku masih terasa perih disayat-sayat keris hitamyang dingin itu.*** Februari - April 2011
| 51
8 Tujuan Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrim
Dengan usaha yang lebih keras, Indonesia akan dapat mengurangi kemiskinan dan kelaparan hingga setengahnya pada 2015
Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua
Semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar
Mendukung Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Perempuan Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam mengatasi persoalan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan
Mengurangi Tingkat Kematian Anak
Program Nasional Anak Indonesia menjadikan issue kematian bayi dan balita sebagai salah satu bagian terpenting
Meningkatkan Kesehatan Ibu
Yang sangat diperlukan oleh ibu adalah peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas untuk ibu dan anak
Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya Kesadaran dan pengetahuan yang benarmengenai HIV dan AIDS juga masih merupakan persoalan besar di Indonesia
Memastikan Kelestarian Lingkungan
Mengintegritasikan prinsip pembangunan berkelanjutan kedalam kebijakan dan program pemerintah Indonesia
Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan Mengembangkan Kemitraan lebih lanjut yang terbuka, berdasarkan aturan, prediksi, non-diskriminatif perdagangan dan sistem keuangan