BAB I
A. Alasan pemilihan judul Negara Indonesia merupakan negara yang plural dari sisi etnisitas, budaya, bahasa dan agama. Keanekaragaman (pluralitas) etnis dalam sebuah negara menjadi titik tolak keragaman yang lain. Di Indonesia sendiri fakta pluralitas ini terejawantahkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebuah ikhtiar yang lahir dari berbagai perbedaan yang mustahil bisa disamakan namun tetap berharap untuk tidak sekedar bisa bersama. Lebih dari itu para founding father bangsa kita ingin agar perbedaan itu bersatu dan bersinergi menjadi kekayaan bangsa. Adanya kemajemukan agama di Indonesia, di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara antara lain dinyatakan pula agar semua umat beragama dapat terus memelihara kerukunannya, baik diantara sesama penganut agama tertentu maupun dengan penganut agama lain. Diharapkan diantara umat beragama yang berbeda itu terwujud hubungan yang akrab, saling menghormati dan menghargai terhadap agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing, serta terjalin kerja sama saling bantu membantu dalam melaksanakan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, dan selanjutnya dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam praktik, kehidupan beragama dan hubungan antar-pemeluk agama sering kali bermasalah, seperti kasus Ambon dan Poso serta kasus lain yang masih
1
baru terjadi yaitu penutupan gereja di beberapa tempat di Bogor, penusukan anggota jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Pondok Timur Indah Bekasi, kasus Ahmadiah di Cikeusik dan kerusuhan di Temanggung . Selain kasus-kasus yang mendapatkan porsi publikasi media massa yang besar, ada juga persoalan-persoalan dalam kehidupan beragama yang kurang terekspos media, misalnya diskriminasi terhadap aliran-aliran kepercayaan dan agama di luar agama utama yang ada di Indonesia dalam hal pembuatan kartu tanda penduduk (KTP). Biarpun tidak terekspos secara luas, diskriminasi yang didasarkan pada faktor agama dan keyakinan pada dasarnya adalah wujud dari pelanggaran hak dasar manusia. Aliran kepercayaan atau kepercayaan sering disebut juga dengan istilah agama asli. Yang di maksudkan dengan agama asli adalah kerohanian khas dari satuan bangsa atau dari sukubangsa, sejauh itu berasal dan di perkembangan di tengahtengah bangsa itu sendiri dan tidak ditiru atau dijiplak dari kerohanian bangsa lain. Kerohanian itu timbul dan tumbuh secara spontan bersama dengan timbul dan tumbuhnya (suku) bangsa itu sendiri. Dia murni terhadap campuran dengan kerohanian agama lain dan sebegitu, secara asli, hanya terdapat pada masyarakat yang tertutup terhadap pergaulan antar bangsa. Karena agama yang membadani kerohanian semacam itu juga disebut agama etnis, agama suku, agama preliterate atau agama sederhana. Akan tetapi asas setempat itu, bila kemudian berkontak dengan agama lain, mungkin mempertahan kan diri dan berkembang berkat pengelolaan unsur-unsur keagamaan dari luar. Unsur-unsur itu disesuaikan dengan kerohanian semula, sehingga corak khas asli tidak lenyap, melainkan mewujudkan diri lebih lengkap. 2
Kerohanian asli tersebut biasanya tidak diketahui secara refleksif, tidak pula dinyatakan dalam ajaran sistematis. Akan tetapi kerohanian itu dihayati dalam sikap batin terhadap zat tertinggi bagaimana juga dinamakan yang mengatasi manusia. Dia diungkapkan dalam kepercayaan, kesusilaan, adat, nilai upacara serta perayaan aneka warna. Melaui ungkapan lahir itu pokok batin dapat disadari, dapat ditentukan dan diperinci lebih lanjut.1 karena bagaimanapun bagi para penganut suatu agama, agama yang dianutnya itu merupakan suatu kebenaran mutlak. Dengan demikian tentunya agak sulit untuk dapat memahami ajaran-ajaran atau pandangan agama lain. Apalagi bila terbentur pada cara berpikir yang sempit, maka bisa saja cara berpikir atau tingkah laku kita dapat mengganggu keseimbangan dalam pergaulan hidup sehingga jauh dari kerukunan hidup antar umat beragama, bahkan seagama. harusnya agama asli Indonesia (aliran kepercayaan) juga harus di hormati sepertihalnya agama impor yang ada, karena sebelum agama Kristen, Islam, Hindu dan Budha masuk ke Indonesia masyarakat Indonesia sudah mempunyai agama aslinya sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Masyarakat suku Samin mengatakan agama dalam arti kepercayaan dan keyakinan semua sama, yaitu semua agama mempunyai tujuan baik.pandangan mereka yang demikian ini
berpangkal pada pendirian bahwa
manusia ini adalah sama, tidak ada bedanya karena sama makluk hidup yang mempunyai kepentingan yang sama pula. Yang berbeda adalah tingkah laku dan budi pekertinya. Menurut mereka meskipun seseorang telah memeluk sesuatu agama,
1
Y. W. M. Bakkers. Y. Agama Asli Indonesia, Pro Munuscrpto, Yogyakarta. 1976 : 1.
3
namun tingkah lakunya jahat, tidak dapat hidup rukun dangan sesama manusia (sesama hidup) adalah juga tetap sebagai manusia jahat.2 Penulis melihat bahwa diskriminasi terhadap kepercayaan/agama/asli lokal merupakan hal yang masih juga sering terjadi, termasuk terhadap masyarakat penganut aliran kepercayaan Marapu di Sumba Barat. Diskriminasi tidak hanya muncul dari hubungan horinzontal di antara pemeluk agama/kepercayaan, melainkan terkadang juga muncul dari sistem hukum yang kurang memberikan perlindungan dan kurang okomodatif terhadap para pemeluk aliran kepercayaan. Dengan seiring berjalannya waktu Penganut aliran kepercayaan dipaksa harus menjadi munafik saat akan mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). karena tidak ada kolom untuk aliran kepercayaan, yang ada hanya kolom agama di KTP, maka para penganut aliran kepercayaan dipaksa harus mengisi dengan memilih salah satu agama yang diakui pemerintah. Berdasarkan pengamatan, ternyata mereka hanya pemeluk agama dalam KTP saja, karena umumnya mereka banyak yang tidak pernah atau belum tahu bagaimana menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu (agama yang diakui oleh pemerintah), mereka hanya memilih salah satu agama yang di akui oleh pemerintah tapi dalam hal ibadah keagamaan mereka tidak melakukannya sama sekali, mereka hanya melakukan ibadat sesuai dengan aliran kepercayaan Marapu itu sendiri.Selain itu dengan menjadi munafik dengan memilih salah satu agama pemerintah, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah.
2
Dr. Andik Purwasito DEA. Agama Tradisional. Lkis. Yogyakarta. 2003 : 79.
4
Suatu hal yang memprihatinkan karena mereka terpaksa beralih agama untuk alasan tersebut. Atas dasar itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk melihat dan menganalisa bagaimana hukum di Indonesia memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan yang rentan terhadap perilaku diskriminatif. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik tersebut dengan mengambil fokus pada masyarakat penganut aliran kepercayan Marapu di kabupaten
Sumba
Barat.
Penelitian
tersebut
diusulkan
dengan
judul
“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMELUK ALIRAN KEPERCAYAAN MARAPU”
(STUDI
TERHADAP
PEMELUK
ALIRAN
KEPERCAYAAN
MARAPU DI KECAMATAN KOTA WAIKABUBAK, KABUPATEN SUMBA BARAT)
5
B. Latar belakang masalah Bagi "agama" yang tidak diakui oleh negara, tidak otomatik negara harus melarangnya seseorang untuk meyakini suatu keyakinan tertentu. Negara tidak boleh melarang seseorang untuk meyakini atau tidak meyakini agama atau kepercayaan tertentu, tetapi negara hanya mengatur aspek administratifnya. Meskipun suatu "agama" tertentu tidak diakui sebagai agama oleh negara, negara tetap bertanggungjawab untuk memberi jaminan perlindungan hukum kepada penganutnya, tetapi dalam kapasitasnya sebagai kelompok masyarakat (umum). Kepercayaan religius biasanya dilukiskan sebagai suatu ciri homogen dari seseorang individu, seperti tempat tingalnya, jabatannya, posisinya dalam keuarganya dan seterusnya. Tetapi kepercayaan religius di tengah-tengah ritus, dimana kepercayaan itu meliputi keseluruhan pribadi, mengangkutnya, sejauh ia memusatkan perhatiannya, kedalam cara berada yang lain, dan kepercayaan religius sebagai batas, refleksi yang di ingat atas pengalaman itu di tengah-tengah kehidupan sehari-hari tidak persis merupakan hal yang sama; dan kegagalan untuk mewujudkan ini menyebabkan kebingungan tertentu, terkhusus dalam hubungannya dengan apa yang disebut masalah mentalitas-primitif.3
Negara tidak boleh melarang orang untuk
mengikuti keyakinan atau kepercayaan tertentu, karena kepercayaan atau keyakinan adalah urusan yang sangat pribadi dan berada dalam dunia batin atau dunia pikir seseorang.Tetapi, apabila orang melakukan perbuatan berdasarkan keyakinannya dan 3
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta. 1992 : 42.
6
perbuatan tersebut mengganggu hak orang lain atau ketertiban umum, maka negara dapat mengatur dan bahkan melarangnya. Alasannya, bukan melarang kepercayaan atau keyakinan seseorang, tetapi karena mengganggu ketertiban umum atau ketertiban masyarakat. Oleh sebab itu, pengembangan ajaran agama yang menyimpang dari ajaran agama yang kemudian dikatakan “sesat” adalah mengenai isi dari suatu ajaran agama, maka penilaiannya diserahkan dan ditentukan oleh agama atau pemeluk agama yang bersangkutan. Indonesia memberikan jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan dan beri beribadah, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 28 (E) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pada UUD 1945 Bab XI tentang Agama, pasal 29 ayat 1-2 dinyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan pasal tersebut, berarti negara Republik Indonesia tidak berdasarkan agama tertentu, melainkan berdasarkan kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti pula bahwa semua agama dan kepercayaan yang ada dihormati kedudukannya dan seluruh warga negara bebas
7
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing serta bebas untuk melaksanakan ibadatnya masing-masing. Apabila dilihat dari uraian di atas maka hal ini sangat bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR. Pada Pasal 18 berbunyi : 1. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu atau dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau swasta, untuk 8
menyatakan agama atau kepercayaan dalam ibadah, praktek ketaatan, dan pengajaran. 2. Tidak seorangpun dapat dikenakan paksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya. 3. Kebebasan untuk mewujudkan satu agama atau kepercayaan dapat tunduk hanya pada pembatasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar dan kebebasan orang lain. 4. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, bila diperlukan, wali hukum untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya, hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Negaranegara yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius Hak Asasi Manusia. Indonesia mengakui keberadaan agama-agama utama yaitu Islam, Kristen, 9
Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu tertuang dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 yang diundang-undangkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA , yang menetapkan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu merupakan agama resmi penduduk di Indonesia. Pada kenyataannya di Indonesia masih terdapat aliran kepercayaan diluar agama/kepercayaan mainstream antara lain : 1. Aliran Kepercayaan Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di Kanekes (Banten), 2. Aliran Kepercayaan Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur di Kuningan, Jawa Barat, 3. Aliran Kepercayaan Buhun di Jawa Barat, 4. Aliran Kepercayaan Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 5. Aliran Kepercayaan Parmalim di Batak, 6. Aliran Kepercayaan Kaharingan di Kalimantan, 7. Aliran Kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara, 8. Aliran Kepercayaan Tolottang di Sulawesi Selatan, 9. Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Lombok, 10. Aliran Kepercayaan Marapu di Sumba, 11. Aliran Kepercayaan Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku. Dalam upaya untuk mengenal dan lebih memahami salah satu kehidupan beragama di Indonesia, maka perlu diketahui pula keberadaan salah satu aliran 10
kepercayaan yang masih hidup dan dianut oleh sebagian masyarakat di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kepercayaan asli suku Sumba di sebut Marapu. Orang Sumba yang tidak menganut agama resmi di Indonesia mengindentifikasikan dirinya sebagai orang Marapu. seluruh bidang kehidupan orang Sumba terikat dengan pemahaman tentang Marapu. Beberapa penulis mencoba memberikan pengertian atau definisi tentang Marapu, L. Onvlee berpendapat bahwa kata Marapu terdiri dari dua kata yaitu ma dan rapu. Kata ma berarti yang dan kata rapu berarti di hormati, disembah, dan di dewakan . A.A Yewangoe menduga kata Marapu terdiri dari dua kata yaitu ma dan rappu. Kata ma berarti yang dan rappu artinya tersembunyi. Dengan demikian, Marapu berarti yang tersembunyi atau sesuatu yang tersembunyi, yang tidak dapat di lihat. A.A Yewangoe juga memberikan kemungkinan lain tentang kata marapu yaitu kata mera berarti serupa dan appu berari nenek moyang. Marapu artinya serupa dengan nenek moyang.4 Dari turun temurun nenek moyang orang Sumba mewarisi adat istiadat dan agama kepada penerusnya dan sampai sekarang ini masih bertahan dan terus di wariskan. Penduduk pulau Sumba mempercayai tokoh ilahi yang di sebut Marapu (agama asli orang sumba), agama Marapu terdiri dari bermacam-macam dan berpangkat-pangkat : 1. Marapu iyangita (Marapu langit) atau Marapu awange (Marapu awan), yang tidak termasuk alam manusia, melainkan berada di alam atas. Marapu-
4
F.D. Wellem, Injil dan Marapu, Sekolah Tinggi Teologi. Jakarta, 1995 : 41.
11
Marapu ini memiliki kekuasaan atas hidup dan nasip manusia. Yang termasuk golongan Marapu ini adalah : a. Marapu yang tertinggi, yang di Sumba Barat disebut : ina kalada-Ama kalada (kakek-nenek) yang di pandang sebagai pencipta. Oleh suku lain disebut juga ina matunggu-ama matunggu. Pada umumnya Marapu ini hanya ada di dalam kenang-kenagan yang samar-samar saja, sehingga tidak memiliki sebutan yang jelas. Tentang Marapu ini hanya di katakan, bahwa ialah yang menjadikan atau yang mengayam manusia. Ia bersemayam di atas awan-awan, yang tak pernah mendekati manusia. b. Di bawahnya ada Marapu yang memerintah, yaitu yang melaksanakan kehendak Marapu yang tertinggi tadi. Marapu inilah yang menyebabakan tata-tertib di dalam dunia ini. Segala sesuatu tunduk kepadanya. c. Marapu yang kedua ini membawahkan Marapu pengawas para dewa, yang melaksanakan segala yang di rencanakan oleh Marapu yang memerintah. Jadi ia berfungsi semacam asas yang menghidupkan. d. Di samping ketiga Marapu yang tinggi ini masih ada lagi Marapu yang disebut putera bapa dan ibu, yang mewakili segala Marapu dalam hubungannya dengan dunia manusia, yang juga disebut Marapu yang datang dan pergi, yang memberikan laporan akan segala yang dilihatnya dan di dengarnya di dalam dunia manusia. Jadi ia di pandang sebagai Marapu yang berada di mana-mana. 2. Marapu yang tergolong kepada alam manusia di bedakan antara : 12
a. Marapu mate (Marapu orang mati), yaitu Marapu yang terjadi dari arwah orang mati, yang mengalami perpindahan dari alam gaib. b. Marapu moripa (Marapu hidup), yaitu roh-roh yang keadaannya memang menjadi Marapu. Mereka hanya mungkin di dekati manusia dengan perantara Marapu mate. 3. Kecuali Marapu-marapu yang sudah disebut di atas, segala sesuatu yang di pandang sebagai berkaitan dengan kuasa gaib juga disebut Marapu, di antaranya adalah : a. Watu kabala (batu meteor), yang diminta pertolongannya untuk membunuh atau mencelakakan musuh. Kadang-kadang kepada watu kabala ini juga di persembahkan perjanjian. b. Alat-alat kerja dan senjata, yang dahulu di pakai oleh nenek moyangnya. Semuanya dipandang sebagai berpengaruh baik atau pun jahat kepada manusia. c.
Batu-batu yang berada di Sumba Tengah dan Sumba Timur disebut katoda. Batu-batu ini di pandang sebagai berpengaruh juga, karena dapat meneruskan perjanjian-pejanjian yang di letakan disitu atau meneruskan permohonan-permohonan orang yang di naikkan kepada Marapu yang bersangkutan. Jadi batu-batu ini berfungsi sebagai tempat bersaji.5
5
Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba, BPK Gunung Mulia, 1985 : 30.
13
Walaupun aliran kepercayaan Marapu diartikan berbeda-beda, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya sang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri,tetapi kepada sang maha pencipta yaitu nai marapu lolu jaga (tuhan pencipta dan pencaga). Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan dalam acara atau ritual adat atau upacaraupacara keagamaan seperti dalam upacara “wulla podu” (bulan suci), yang terdapat pada Kecamatan Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat. Wullla Poddu mempunyai arti yang sangat mendalam bagi masyarakat Loli, dimana “wulla” berarti bulan dan “poddu” berarti suci”. Jadi Wulla Poddu berarti bulan suci. Dengan demikian Wulla Poddu dapat diartikan sebagai bulan suci atau bulan tabu. Maka setiap orang atau masyarakat pendukung harus mematuhinya sebagai tanda kepatuhan dan penghormatan mereka pada pelaksannan ritus Wulla Poddu, maka semua aktifitas lain yang tidak ada hubungannya dengan ritus tersebut dihentikan yang ada, hanyalah ritus penyembahan terhadap Marapu (leluhur atau dewa). Termasuk agama-agama lain yang berada di kecamatan Kota Waikabubak selalu mematuhi larangan-larangan yang di tetapkan tua-tua adat yang berlaku bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Seperti halnya dengan religi-religi lain dari berbagai suku-bangsa di dunia, maka religi marapu juga mempunyai empat unsur pokok, yaitu : 1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius.
14
2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (sepernatural). 3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, Dewa-dewa, atau makluk-makluk halus yang mendiami alam gaib. 4. Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dalam mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya.6 Menurut para pemeluk aliran kepercayaan Marapu, sang pencipta tidak boleh dicampur adukkan dengan urusan-urusan yang bersifat duniawi karena dia adalah Tuhan yang maha kuasa yang suci yang dapat berbuat apa saja yang hendak ia kehendaki dan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya, oleh karena itu upacara-upacara adat nama sang pencipta tidak di sebutkan secara langsung atau hanya secara kiasan saja karena untuk menyebut nama nya saja di pantangkan. Meskipun banyak peraturan-peraturan yang tidak mendukung adanya aliran kepercayaan Marapu, jumlah penganutnya masih terbilang banyak di kabupaten sumba barat, hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 1 No 1 2 3 6
Agama Kristen Katolik Islam
Jumlah pemeluk 65.350 22.084 8.543
Koenjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, PT. Gramedia, Hal. 137-138.
15
4 Hindu 199 5 Budha 0 6 Lain-lain (Marapu) 14.148 Sumber : Sumba Barat dalam angka tahun 2010 (Dinas BAPPEDA Kab.Sumba Barat)
Apabila dilihat dalam tabel tersebut diatas agama Kristen dan Katolik merupakan agama yang paling banyak di anut oleh warga Kabupaten Sumba Barat, tetapi semuanya bukanlah penghayat murni agama Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu, dari jumlah tersebut diatas sudah termasuk orang kepercayaan Marapu yang terpaksa memilih agama Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu yang merupakan agama mayoritas.orang Marapu memilih agama itu hanya sebagai formalitas belaka untuk mendapat KTP, sedang tata cara beribadahnya mereka sama sekali tidak pernah melakukannya sesuai dengan agama KTP yang mereka pilih. Budaya orang sumba tidak pernah lepas dari hubungannya dengan Marapu itu sendiri. Seperti halnya upacara adat Wulla Podu di Kecamatan Kota Waikabubak dan acara adat Pasola di Kecamatan Wanukaka, kedua upacara adat tersebut merupakan andalan pariwisata di kabupaten Sumba Barat yang terbukti telah menyedot wisatawan asing maupun wisatawan lokal, hal ini memberikan dampak positif terhadap perokonomian untuk pemasukan devisa negara. Dari tahun ketahun jumlah wisatawan yang datang melihat acara ini semakin bertambah. Oleh karena itu perbaikan-perbaikan sarana dan prasarana di lakukan oleh PEMDA kabupaten Sumba Barat seperti pembuatan jalan setapak pada kampung-kampung adat, pembuatan
16
tribun penonton pada tempat di laksanakannya pasola, pembuatan jamban pada kampung-kampung adat, dan pelebaran jalan menuju tempat pelaksanaan Pasola. Perlindungan hukum yang di maksud dalam judul adalah suatu bentuk kepastian, kejelasan, jaminan yang di berikan oleh hukum yang berlaku kepada para penganut Marapu untuk dilindungi/diperhatikan kepentingan-kepentingannya dan hak-haknya sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. penganut agama lokal Marapu, terutama mereka yang disebut sebagai penghayat murni, beberapa masalah yang sering timbul oleh aliran kepercayaan adalah sebagai berikut : 1. Banyak dari pemeluk aliran kepercayaan Marapu yang tidak membuat KTP, karena harus mengisi kolom agama pada KTP, padahal dalam pasal 64 ayat 1 dan
2,
Undang-undang
NO
23
tahun
2006
tentang Administrasi
Kependudukan mengatakan (1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, lakilaki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya. (2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud 17
pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. tapi dalam prakteknya di lapangan tidak pernah terjadi, hal ini sangat membuat penganut aliran kepercayaan merasa terdiskriminasi. 2. Dalam pengurusan kartu keluarga juga harus mencantumkan agama. padahal dalam pasal 61 ayat 1 dan 2, Undang-undang NO 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatakan (1) KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua. (2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan. 3. Pernikahan di kalangan mereka tidak mendapatkan akte dari kantor Catatan Sipil karena kantor Catatan Sipil tidak mau mencatatnya dengan alasan bahwa pernikahan mereka itu adalah pernikahan di luar agama atau pernikahan yang tidak berdasarkan agama.oleh karena itu para pemeluk kepercayaan Marapu hanya melakukan pernikahan secara adat istiadat saja. Padahal dalam UndangUndang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1. 18
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Di perbolehkan adanya perkawinan secara aliran kepercayaan sedangkan dalam prakteknya di lapangan tidak pernah terjadi. 4. anak-anak dari keluarga kepercayaan atau agama lokal ini dapat kehilangan hak atas pendidikannya hanya karena orangtuanya adalah penghayat murni. Ini secara nyata dialami oleh sebagian besar pemeluk Marapu di sumba yang sangat merasa di terdiskriminasi7.
Contoh kasus : Seingu dukku adalah salah seorang anak yang orang tuanya adalah pemeluk aliran kepercayaan Marapu, pada saat ia mendaftarkan diri pada salah satu sekolah negeri ia tidak jadi mendaftar karena guru memaksakan kepada orang tua agar memilih salah satu agama yang di akui oleh negara. Dan orang tua dari anak itu tidak lain adalah salah satu Rato (sebutan bagi kepala agama Marapu) yang sering memimpin nobba (pemimpin dalam menjalankan doa) pada ritual wulla podu (hari raya agama Marapu di masyarakat Loli, Sumba Barat). Tradisi adat wulla podu akan di lanjutkan oleh seingu rua, itu merupakan alasan dari orang tua seingu dukka8. seharusnya negara harus memberikan perlindungan kepada aliran kepercayaan asli seperti Marapu karena aliran ini sudah ada sebelum negara ini berdiri dan agama-
7 8
Wawancara dengan raga seingu, juli 2010. Wawancara dengan Ruwa dato, 11 Agustus 2010, jam 2.
19
agama resmi sekarang ini ada. agama di pandang sebagai suatu institusi yang lain,yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun modial. Maka dalam tinjauannya yang terpenting ialah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama (agama-agama) cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani) dapat terwujud.9 Berdasarkan masalah diatas peneliti tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi sebuah tulisan.
C. Rumusan Masalah Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum bagi pemeluk
aliran
kepercayaan Marapu di Kecamatan Kota Waikabubak ? D. Tujuan Penelitian Menggambarkan bentuk-bentuk dan pelaksanaan perlindungan hukum bagi pemeluk aliran kepercayaan Marapu di Kecamatan Kota Waikabubak. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum (peraturan-peraturan yang berlaku) dengan fenomena atau kenyataan yang terjadi dilapangan. 9
Drs. D. Hendropuspito. OC, Sosiologi Agama. Kanisius, Yogyakarta. 1983: 29-30.
20
2. Pendekatan penelitian Berdasarkan rumusan masalah
dan tujuan penelitian yang di atas, maka
dibutuhkan suatu pendekatan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah sebuah metode yang di gunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna sendiri merupakan data yang sebenarnya, data yang pasti, merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. 3. Jenis Data 1) Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dilokasi penelitian melalui wawancara responden. 2) Data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari tulisan ilmiah atau buku-buku yang berhubungan dengan penulisan ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data, maka cara atau teknik yang digunakan adalah a. Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sum ber data (responden). Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.10 Beberapa sumber yang akan di wawancarai yaitu : 1. Dinas kependudukan dan pencatatan sipil. 10
Rianto Adi. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Granit. Jakarta. 2004 : 72.
21
2. Jemy saba ora ,SSTP (PNS/Sekretaris camat kota waikabubak) 3. Anderias Umbu Lele (kepala Desa Kalimbukuni). 4. Dukka Bongo (salah seorang penghayat murni Marapu). 5. Pale seingu (penghayat kampung adat kanakat pada ritus wulla podu/bulan suci). 6. Rowa Dima (Rato kampung adat BodoMaroto pada ritus wulla podu/bulan suci) 7. Tagubore Nono (penghayat aliran kepercayaaan Marapu kampung adat Bodo Maroto pada ritus wulla podu/bulan suci)
5. Lokasi Penelitian Yang menjadi lokasi dalam kegiatan penelitian ini adalah Kecamatan Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat.
6. Unit amatan dan unit analisa a. Unit amatan
adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk
memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan
22
tentang satuan analisis.11 Maka yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini
adalah penganut aliran kepercayaan Marapu di
Kecamatan kota, Kabupaten Sumba barat. b. Unit analisis adalah suatu keberadaan atau populasi yang tentangnya dibuat kesimpulan atau kerampatan empirik.12 Dengan demikian unit analisa dalam penelitian ini adalah Perlindungan hukum Terhadap para penganut aliran kepercayaan Marapu.
11
John Ihalauw. Bangunan Teori. Fakultas Ekonomi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. 1985 : 174. 12 John Ihalauw. Bangunan Teori. Fakultas Ekonomi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. 1985 : 29.
23