Foto : Taufik Rinaldi
Bagian IV:
Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah mendokumentasikan proses peradilan non-negara di tingkat desa terutama dari segi inklusifitas sosial dan perspektif pihak-pihak yang terpinggirkan. Tulisan ini juga mencoba untuk memahami dinamika perubahan peradilan non-negara dan menerapkannya ke dalam strategi yang memanfaatkan kelebihan maupun mengatasi kelemahan penyelesaian sengketa informal. Kesimpulan Utama •
Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. Peradilan informal merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin.
•
Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi.
•
Namun juga memiliki kelemahan yang signifikan. Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks dan ada keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak di atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal serta dikombinasikan dengan tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas bisa menciptakan kesewenangwenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang menentukan proses dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa. Kasus-kasus mengenai hak atas tanah dan kekayaan didalamnya, adalah kasus yang paling rumit dan sulit dipecahkan.
•
Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. Sistem politik dan demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagi pihak di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan inklusif.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
57
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah bahwa peradilan non-negara merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Perpaduan antara kemudahan diakses dan kewenangan sosial berarti bahwa sistem peradilan informal –mediasi dan negosiasi melalui kepala desa, pemimpin agama, hukum adat dan pemimpin masyarakat–merupakan pengalaman keadilan satu-satunya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya, dalam mengadakan pembaharuan sektor peradilan di Indonesia, pendekatan yang terfokus terhadap sistem negara menjadi tidak cukup karena sebagian besar masyarakat mencari keadilan di tingkat desa dan bukan di pengadilan negara. Temuan penting kedua adalah bahwa cara berjalannya peradilan non-negara akan sangat berdampak pada stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Kasus yang diteliti mencakup akses terhadap tanah dan sumber daya alam, sengketa kekeluargaan, perceraian dan warisan, tindak pidana berat dan konflik kekerasan antar suku. Ketidakberhasilan penyelesaian sengketa menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi bagi perseorangan dan masyarakat. Untuk sebagian besar kasus ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan efektif. Masyarakat lebih puas dengan kinerja mekanisme peradilan non-negara daripada pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Legitimasi dan kewenangan sosial merupakan sumber kepuasan masyarakat terhadap peradilan non-negara, namun di lain sisi pelaksanaan kewenangan sosial yang tidak terpantau justru menjadi kelemahan utamanya. Tanpa pengawasan, kelompok terpinggirkan sering tidak diikutsertakan, pembuatan putusan berjalan sewenangwenang dan penyelesaian sengketa lebih ditentukan oleh relasi kuasa daripada negara hukum. Peradilan nonnegara cenderung mencerminkan dan dipengaruhi oleh kedekatan hubungan sehingga merugikan perempuan dan kelompok terpinggirkan. Padahal jelas bahwa ketidakadilan seperti inilah yang memicu meluasnya konflik kekerasan. Konflik lahan—yang mempunyai nilai ekonomi yang jelas—adalah hal yang paling sering memicu konflik dan sulit untuk diselesaikan. Karena itu, hal ini terlalu penting untuk diabaikan. Kegagalan dalam mendukung peradilan non-negara berarti berlanjutnya ketidaksamarataan, hilangnya hak atas ekonomi dan meningkatnya peluang terjadinya konflik. Tetapi mencari solusi bukanlah hal yang mudah. Perbedaan prosedur dan substansi peradilan non-negara di masing-masing daerah mempersulit proses untuk membuat kerangka kerja yang berkaitan dengan sistem peradilan non-negara. Karena itu tidak mengherankan bahwa penelitian ini tidak menemukan contoh perubahan atau pembaharuan yang menyeluruh yang membuka kesempatan bagi perempuan dan kelompok terpinggirkan. Namun, keterbukaan politik dan demokrasi menciptakan dinamika progresif dimana beberapa kelompok lokal menggali pembentukan model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan tepat sasaran. Munculnya gerakan yang mendesak perubahan dan adanya perubahan yang didorong dari bawah – baik berasal dari pemerintah maupun masyarakat madani – merupakan pertanda bahwa sudah mulai ada perubahan. Hal ini perlu didukung.
Pemahaman Peradilan Non-Negara di Indonesia: Temuan-temuan Utama Peradilan Non-Negara telah menjadi Mekanisme Utama dalam Penyelesaian Sengketa Meskipun sering dipandang sebagai cara penyelesaian alternatif seringkali peradilan non-negara merupakan satu-satunya pengalaman di bidang keadilan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Kepala desa, petugas pemerintahan desa dan agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat diakui oleh sebagian besar rakyat desa sebagai pelaku utama dalam penyelesaian sengketa. Sebagai perbandingan, hanya dua persen dari masyarakat
58
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
pernah berhubungan dengan pengadilan formal. Berhubungan dengan jaksa dan pengacara juga hampir tidak dilakukan.
Adanya Kaitan antara Keadilan, Stabilitas dan Kemiskinan Peradilan non-negara menangani persengketaan secara luas, termasuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan stabilitas dan kehidupan sosial. Kejahatan, konflik tanah, warisan, perkawinan dan perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk-bentuk masalah hukum yang paling umum. Penyelesaian adil dari sengketa-sengketa tersebut membantu pihak perempuan mendapatkan harta gono-gini dalam perceraian dan memastikan bahwa anak mereka memiliki status hukum untuk mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dan pastinya tidak ada yang lebih penting bagi keamanan dan kesejahteraan mereka selain kepastian hak penguasaan tanah.
Mekanisme Peradilan Non-Negara didominasi oleh Norma-norma Sosial Penyelesaian sengketa informal secara keseluruhan tidak memiliki sistem jelas yang menyeluruh, melainkan merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang berpengaruh. Di beberapa wilayah, misalnya Sumatera Barat, dimana dewan adat setempat telah terbentuk, peradilan nonnegara ditegakkan dengan baik dan memiliki struktur serta hukum dan prosedur tertulis. Namun di kebanyakan wilayah proses berjalan serupa dengan yang terjadi di Kalimantan dan Maluku, dimana kepala desa atau pemimpin agama menyelesaikan sengketa berdasarkan pandangan lokal terhadap keadilan ataupun pendapat subyektif. Keputusan sering tidak ditunjuk kepada hukum negara, agama atau adat. Norma sosial dan relasi kekuasan menentukan keputusan. Ketidakjelasan prosedur peradilan non-negara memberi pelaku peradilan non-negara keleluasan dalam menentukan penyelesaian dan sanksi yang sesuai dengan budaya lokal. Tapi hal ini juga dapat mengakibatkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi kaum lemah.
Menjaga Kerukunan dapat Menghasilkan Kebebasan dari Hukuman (Impunitas) Kemampuan mengembalikan kerukunan antar pihak adalah salah satu kekuatan utama dari peradilan nonnegara. Namun kepentingan kerukunan dapat juga disalahgunakan untuk mempertahankan status quo. Selain itu, pada masyarakat yang memiliki marga atau suku, upaya mencapai kerukunan umumnya mengutamakan menjaga keseimbangan hubungan antar-marga. Seringkali tercapainya kerukunan berarti hilangnya hak asasi manusia dan keadilan secara individu. Hal ini sangat jelas terlihat pada kasus Sepa, dimana keluarga dari korban perkosaan yang berusia tujuh belas tahun dipaksa untuk meminta maaf pada pelaku. Kasus ini merupakan contoh dimana dorongan untuk mengembalikan kerukunan digunakan untuk menekan keluhan yang sah dan berdasar dari kaum lemah. Tidak adanya proses pengawasan berarti kaum lemah tidak mempunyai saluran untuk banding ataupun menolak keputusan yang tercapai. Upaya menjaga kerukunan juga berpengaruh terhadap penentuan sanksi dalam sistem peradilan non-negara. Sanksi terhadap sengketa perdata dan pidana biasanya berupa kompensasi berbentuk uang, sehingga tampak menyamakan unsur hukuman dengan ganti rugi kerusakan material. Penelitian ini juga mencatat adanya hukuman fisik, termasuk cambuk dan pukulan, yang secara hukum berada diluar wewenang pelaku peradilan non-negara. Tanpa adanya kerangka pengawasan yang efektif, pemberian sanksi secara berlebihan dapat terjadi dan begitu juga pembebasan dari hukuman.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
59
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Kekuatan: Kemudahan Akses dan Legitimasi Sosial Kombinasi dari flexibilitas dan legitimasi serta kewenangan sosial di tingkat lokal memberi banyak keuntungan. Peradilan non-negara, selain lebih populer daripada peradilan formal, kinerjanya juga dilaporankan memberikan tingkat kepuasan kepada warga masyarakat yang lebih tinggi, yaitu sekitar 69 persen untuk peradilan non-negara dan 59 persen untuk peradilan negara. Sengketa sederhana dan ringan di dalam masyarakat umumnya terselesaikan dengan cepat. Dari empat belas kasus yang tercatat dalam studi ini, sebelas diantaranya dapat diselesaikan tanpa kesulitan berarti. Pada kasus sederhana, kemudahan akses, kelonggaran, biaya ringan dan kecepatan kinerja dari peradilan nonnegara membawa keuntungan yang lebih signifikan daripada peradilan formal. Kasus-kasus yang diteliti rata-rata terselesaikan dalam dua sampai tiga minggu, bahkan kurang. Biaya untuk administrasi kasus biasanya ringan. Kesukarelaan dan dasar mufakat juga memungkinkan kembalinya hubungan harmonis yang tidak dapat dilakukan dengan keputusan dari pengadilan. Dalam kasus penikaman di Kalimantan, tercapai penyelesaian yang memenangkan keduabelah pihak melalui penyelesaian adat yang memungkinkan keluarga pelaku dan korban tetap menjalin hubungan yang baik. Kekuatan utama dari peradilan non-negara berada pada wewenang dan legitimasi sosial yang dimilik para pelakunya. Legitimasi yang melekat pada kepala desa, pemimpin agama dan tokoh masyarakat mampu meyakinkan pihak yang bersengketa untuk mencari jalan keluar secara bersama dan juga memungkinkan penegakkan putusan yang dihasilkan dari proses mediasi tersebut.
Kelemahan: Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Kurangnya Pertanggungjawaban Meskipun legitimasi sosial adalah kekuatan hukum adat, pelaksanaannya yang tidak diawasi dapat mengarahkannya pada ketidakadilan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang lebih berkuasa untuk menggunakan pengaruh mereka untuk mengatur norma-norma dan proses penyelesaian sengketa. Hal ini sangat jelas pada kasus penghinaan adat di Sumatera Barat dimana norma-norma diterapkan secara selektif sesuai wewenang orang-orang yang bersengketa. Kasus perkelahian di pasar dan Anggeng juga menunjukkan bahwa kekuasaan orang-orang yang bersengketa dapat membuat mereka kebal dari kewajiban pelaksanaan putusan.
Kurangnya Keterwakilan Perempuan Perempuan dan minoritas kurang terwakili dalam institusi penyelesaian sengketa di desa. Kepala desa dan kepada dusun adalah pelaku utama penyelesaian sengketa, tetapi hanya 3 persen dan 1 persen dari keduanya adalah perempuan. Hal ini tidak mengakibatkan tertutupnya sama akses terhadap keadilan, sebagaimana tetap banyaknya perempuan yang menyetujui pendapat seorang penduduk desa perempuan di desa Sembuluh II di Kalimantan Selatan bahwa, ‘Akan lebih mudah (untuk melaporkan masalah) dengan perempuan. Terkadang kami malu dengan pria’. Kasus perceraian di Kalimantan dan beberapa kasus lahan dari Sumatera Barat menunjukkan bahwa kurangnya perwakilan perempuan di institusi peradilan informal membuat mereka mudah dimanfaatkan dan dirugikan. Ini
60
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
juga berarti bahwa masalah hukum perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius. Lebih serius lagi, untuk kasus peka seperti kekerasan dalam rumah tangga, banyak perempuan yang tidak melapor karena khawatir akan dampak sosialnya.
Sengketa Antar Suku, Antar Desa dan “Pihak Ketiga” Sulit untuk Diselesaikan Sengketa lintas suku atau agama sulit untuk diselesaikan. Terutama karena dalam mekanisme yang berdasarkan adat pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu berasal dari golongan elit dari suku setempat. Suku minoritas dan transmigran sering diberi status kelas dua oleh hukum adat. Konflik antara suku Batak dan kelompok Minang lokal di Kinali, Sumatera Barat, dan kembalinya orang Madura ke Kalimantan Tengah memunculkan keraguan atas kemampuan sistem peradilan yang berdasarkan hukum adat tradisional untuk menjawab kebutuhan keadilan dengan tetap tanggap menghadapi kebutuhan modernitas keberagaman Indonesia. Kelompok minoritas, terutama di daerah yang pernah berkonflik, secara konsisten lebih memilih sektor peradilan formal karena menganggap sistem formal cenderung lebih netral, tidak melihat perbedaan suku, dan lebih bebas dari pengaruh politik. Sengketa lintas wilayah perbatasan juga sulit diselesaikan. Jarang ada pelaku hukum adat yang dapat membangun wewenangnya di luar batas wilayah atau sosial mereka. Kenyataan ini diperburuk dengan rendahnya tingkat kepercayaan sosial antar desa yang berbatasan. 58 persen penduduk desa menyatakan bahwa orang-orang yang berada di lingkungan mereka dapat dipercaya, tapi hanya 36 persen mengatakan bahwa orang-orang dari desa-desa tetangga dapat dipercaya. Kasus “Tembok Berlin” di Lombok adalah contoh yang luar biasa. Pada sebuah pulau tempat pesiar yang indah, perselisihan dan bentrokan antar kampung mengakibatkan didirikannya tembok pemisah antar kampung setinggi tiga meter. Pemimpin lokal tidak memiliki wewenang untuk menghentikan kekerasan.
Pentingnya Sengketa Tanah Sengketa kecil dalam desa tentang batas-batas tanah umumnya dapat diselesaikan tanpa kesulitan melalui sistem hukum adat. Namun, seperti yang jelas terlihat pada kasus pertambangan Gunung Sari dan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, masalah menjadi lebih rumit ketika melibatkan kepentingan kelompok luar yang berkuasa. Aparat desa biasanya tidak memiliki kewenangan maupun pengaruh yang cukup untuk mencegah timbulnya masalah-masalah lingkungan dan sengketa lahan dimana pihak perusahaan swasta – yang biasanya didukung oleh pemerintah – mulai terlibat. Lemahnya aparat desa dalam kondisi seperti ini dapat berakibat munculnya konflik horizontal di tingkat lokal, seperti di Sampang di pertambangan Sari Gunung dan lokasi penelitian lain di Kalimantan Tengah. Program pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan perkebunaan kelapa sawit secara besarbesaran ikut memperumit pokok permasalahan. Sistem peradilan formal maupun informal belum mampu bekerja secara efektif untuk menyelesaikan sengketa semacam ini. Sistem peradilan non-negara gagal karena ketidakseimbangan kekuasaan dan pengaruh seperti yang telah disebutkan diatas. Pengadilan formal gagal dengan alasan yang sama, dan juga karena persengketaan tersebut seringkali mencakup lebih dari permasalahan hukum murni. Masyarakat sering juga menginginkan kerja sama dengan perusahaan swasta melalui persetujuan hak guna tanah bersama. Namun sering juga inti sengketa tidak terletak pada hak dan kewajiban hukum dan lebih terletak pada penegakan prinsip kewajaran dan keadilan sosial – misalnya berkaitan dengan para penghuni liar jangka lama di tanah milik negara; ataupun komunitas penghuni yang mendapat ijin tinggal tidak resmi namun tetap dipaksa untuk pindah ke tempat yang baru. Masalah-masalah ini membutuhkan hasil mediasi yang lentur berdasarkan kepentingan publik.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
61
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Mekanisme peradilan informal tidak berfungsi sebagai forum mediasi yang efektif untuk sengketa-sengketa ini. Maka dibutuhkan sebuah mekanisme alternatif. Mekanisme alternatif ini harus berdasarkan mediasi dan dapat mewakili semua pihak yang berkepentingan – pemerintah, sektor swasta, kelompok masyarakat madani dan masyarakat itu sendiri.
Ketidakjelasan Persinggungan antara Sistem Formal dan Informal Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan informal dan formal, khususnya mengenai kewenangan, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kesempatan untuk mencari keuntungan dan manipulasi sengketa. Seperti yang terjadi pada kasus perceraian di Kalimantan, polisi menentukan kasus apa akan dimediasikan atau diteruskan secara sepihak dan tanpa mengikuti prosedur resmi. Seperti pada kasus Anggeng dan carok, pengadilan juga memutuskan secara sepihak untuk menerima atau menolak adat istiadat lokal tanpa mengunakan kriteria yang jelas. Ketidakpastian seperti ini membuat masyarakat lemah dan tidak berpendidikan menjadi mudah dieksploitasi. Tidak adanya kejelasan hak untuk mengajukan banding terhadap hasil peradilan non-negara di pengadilan negara juga mengurangi pertanggungjawaban fungsi aparat hukum negara.
Otonomi Daerah Merupakan Awal dari Perubahan Otonomi daerah memberi kesempatan untuk mengatasi beberapa kelemahan-kelemahan ini. Peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi memberi wewenang pada pemerintah daerah untuk mengatur bentuk dan struktur pemerintahan desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini memungkinkan lahirnya stuktur dan mekanisme baru untuk mengatasi konflik antar suku, menambah perwakilan perempuan dan mengatasi sengketa antar desa yang rumit. Namun demikian, penelitian lapangan ini tidak menemukan adanya contoh pembentukan struktur ataupun mekanisme baru seperti yang diharapkan. Bahkan di Sumatera Barat, Maluku dan Kalimantan Tengah, wewenang ini justru digunakan untuk menghidupkan kembali struktur pemerintahan tradisional yang berdasarkan adat. Kembalinya ke “cara lama” tidak hanya menegaskan kembali identitas budaya suku lokal, tapi juga melambangkan idealisme yang dibawa dari masa lalu. Seperti yang diungkapkan oleh Benda-Beckmann pada Sumatera Barat, ‘adat telah diberikan kepentingan simbolis dan retorik… dan dianggap sebagai jimat yang dapat membawa masa depan yang lebih baik.’77 Temuan penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kembalinya hukum adat tidak dapat mengatasi kelemahankelemahan peradilan non-formal, seperti kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan kaum minoritas.
Namun Contoh Perubahan yang Baik Juga Ada Penelitian menemukan beberapa contoh pembaharuan di tingkat masyarakat. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi yang muncul dari kesadaran hukum dan mobilisasi masyarakat. Setelah membekali diri dengan pengetahuan mendalam mengenai hukum adat, kini mereka diterima secara baik oleh masyarakat dan mendapatkan hak suara dalam proses penyelesaian sengketa. Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara) di Lombok Barat menganut pandangan yang progresif terhadap adat yang mengakui perlunya budaya lokal untuk beradaptasi dengan realita modern, 77
62
Benda Beckmann (2001), diatas n.22, hal.33.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
termasuk berkaitan dengan perwakilan perempuan. Desa-desa di dalam persekutuan ini telah membangun struktur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas. dengan norma-norma dan prosedur tertulis serta hak untuk mengajukan permohonan banding. Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah membuat sistem formal menjadi lebih mudah diakses semua kalangan. Dengan mengurangi monopoli pelaku sistem peradilan non-negara, peningkatan kesadaran hak dapat memberdayakan kelompok terpinggirkan untuk mendapat hasil pengadilan yang lebih baik. Contoh dari Negara tetangga seperti Sistem Pengadilan Barangay di Filipina dan Unit Perantara Peradilan Komunitas di Papua Nugini juga dapat memberi inspirasi bagi pembuat kebijakan dalam memperkuat kemampuan, keberhasilan dan keterbukaan mekanisme peradilan informal. Walaupun contoh perubahan positif masih terbatas, diskusi dengan ratusan pegawai pemerintah, anggota DPRD, aktivis, pemimpin desa, dan masyarakat umum memperlihatkan bahwa banyak pihak yang ingin menuntut ataupun mendorong perubahan. Pihak pro-perubahan seperti ini dapat dan harus didukung.
B. Saran-saran Saran-saran Utama • Menggabungkan perubahan di tingkat masyarakat dan perubahan kebijakan. Menemukan titik keseimbangan yang bermakna yang mensyaratkan gabungan antara perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat lokal. • Memperkuat pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Memberdayakan kelompok yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut kualitas pelayanan yang lebih baik dari peradilan non-negara. • Meningkatkan kualitas peradilan non-negara. Meningkatkan kapasitas dan keahlian teknis dari institusi dan pelaku peradilan non-negara. • Memperluas ”bayangan” hukum (“Shadow of the law”). Meningkatkan akses ke sistem peradilan formal untuk menambah pilihan dalam memproses sengketa tingkat lokal. • Meningkatkan pertanggungjawaban kepada negara dan pengadilan formal. Membentuk pedoman nasional untuk memperkuat persinggungan dengan peradilan formal dan peraturan daerah supaya prinsip-prinsip utama yang memajukan kesetaraan dan sejalan dengan standar Undang-Undang Dasar dapat dilembagakan.
Pentingnya peradilan non-negara menunjukkan bahwa sebuah strategi yang menyeluruh dalam mendukung penegakan hukum di Indonesia harus melihat jauh hingga ke luar pengadilan. Strategi yang hanya meliputi pengacara, proses litigasi dan pengadilan formal tidak akan menjangkau masyarakat miskin, khususnya di daerah perdesaan. Namun perencanaan strategi seperti ini dipersulit dengan besarnya keragaman pelaku, institusi dan proses. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat adanya norma sosial dan struktur kekuasaan yang tidak dapat ditiadakan oleh peraturan dan kebijakan negara. Rekomendasi untuk memperbaharui institusi lokal dengan mudah dapat diabaikan karena dianggap terlalu sulit ataupun karena ketidaklayakannya atau diartikan sebagai upaya sentris untuk merekayasa dan mengubah struktur sosial di tingkat lokal. Ada anggapan bahwa kerumitan peradilan non-negara sedemikian rupa hingga tidak ada yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya. Berdasarkan pandangan ini, masalah-masalah yang telah dikemukakan tidak bisa dipecahkan sama sekali. Mendukung peradilan non-negara hanya akan mempertahankan “keadilan yang lemah”
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
63
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
bagi orang miskin. Sehingga sumber daya yang ada lebih baik diarahkan untuk upaya meningkatkan efektivitas pengadilan formal.78 Namun pandangan lain menganggap peradilan non-negara dan adat lebih ideal sehingga layak diakui secara luas oleh negara.79 Sama halnya dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini juga memiliki cacat, karena seakan-akan meremehkan permasalahan yang timbul dari tidak adanya standar minimum dan pengawasan yang efektif. Diantara keduanya adalah pandangan yang lebih realistis. Peradilan non-negara adalah mekanisme utama dalam penyelesaian sengketa. Daya tahannya telah terbukti. Karena itu, pelibatan sistem informal harus menjadi elemen inti dalam setiap program yang bertujuan mendukung penegakan hukum di Indonesia. Seperti kata Xanana Gusmao, yang terpenting adalah memupuk bagian yang baik dan membuang bagian yang jelek. Dapat dikatakan dengan adanya desentralisasi yang efektif pemerintah memberi ruang untuk menerapkan pendekatan “penyatuan parsial” (partial incorporation) sistem peradilan non-negara. Bagaimanapun, pendekatan ini belum diterjemahkan dalam tindakan nyata. Di daerah dimana telah ada tindakan, seringkali hasilnya justru kembali ke “cara lama”, yang cenderung tertutup dan melawan arus kemajuan sosial. Tulisan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membentuk “titik keseimbangan” antara sistem peradilan non-negara dan pengadilan formal. Pendekatan ini mencoba untuk menggabungkan akses sosial, wewenang dan legitimasi dari proses non-negara dengan mekanisme pertanggungjawaban, baik terhadap masyarakat dan negara. Pendekatan ini menyadari realita pluralisme hukum di Indonesia dan juga bahwa penetapan satu model untuk seluruh bentuk peradilan non-negara tidak diinginkan ataupun dimungkinkan. Karena itu titik keseimbangan tersebut harus mengakomodir perbedaan sosial budaya dan adat istiadat dengan tetap memperkenalkan prinsip-prinsip umum guna melindungi masyarakat terpinggirkan. Jadi di bagian akhir ini, kami memberi beberapa saran dalam membentuk titik keseimbangan tersebut. Tujuannya bukan untuk membuat peradilan non-negara yang ideal atau sempurna, tetapi lebih ditujukan pada dua kelemahan (i) mengatasi ketidakadilan dan menyeimbangkan wewenang sosial dengan pertanggungjawaban sosial; dan (ii) untuk meningkatkan kinerja peradildan non-negara dalam melayani perempuan dan kelompok minoritas. Saran-saran ini ditujukan pada pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, organisasi masyarakat yang aktif di bidang ini dan pihak donor yang mendukung mereka.
Menggabungkan Aksi Masyarakat di Tingkat Akar Rumput dengan Perubahan Kebijakan Studi kasus, analisa dan contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa pembentukan titik keseimbangan membutuhkan gabungan dari perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat lokal. Perubahan ini harus memberdayakan kaum lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan melalui mekanisme peradilan informal dan menetapkan standar minimum yang jelas melalui perubahan peraturan. Jadi, ada empat tingkatan dari tindakan yang disarankan. 78 Hohe dan Nixon membedakan antara “idealis’, yang berpegang pada sistem pengadilan yang sempurna, dan “realis”, yang lebih cenderung untuk bekerjasama dengan apa yang ada. Lihat Tania Hohe & Rod Nixon (2003) ‘Reconciling Justice: “Traditional” Law and State Judiciary in East Timor’ (Laporan Kerja yang disiapkan untuk United States Institute of Peace, January 2003), 38. Untuk “pendirian” tipologi umum, Negara dapat menggunakan kepada mekanisme hukum adat, lihat Connolly (2005), diatas n.11. 79 Studi baru LP3ES mengenai mediasi desa menggembarkan beberapa elemen terkait dengan pendekatan ini: Widodo S. Dwi Saputro, Burhanuddin, Adnan Anwar & Badrus Sholeh (2007). Balai Mediasi Desa: Perluasan akses hukum dan keadilan untuk rakyat, Jakarta: LP3ES & NZAID.
64
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
1.
2. 3. 4.
Pertama, lakukan kegiatan di tingkat akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi. Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di tingkat menengah untuk mengembangkan kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal. Prioritas ketiga di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka pilihan dan memperluas ”bayangan” hukum. Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah perubahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i) pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif sehingga sesuai dengan standar konstitusi.
Tabel 4: Kerangka kerja Tingkat
Tindakan Prioritas
Akar Rumput/ Masyarakat
Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh masyarakat Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar
Lembaga desa dan Pelaku Peradilan Informal
Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional Mendukung klarifikasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa
Tingkat Kabupaten/Kota
Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah
Tingkat Nasional
Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifikasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a-vis pengadilan Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas) di Kementerian Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini).
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
65
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
1. Mendukung Pertanggungjawaban ke bawah: Memberdayakan Masyarakat terpinggirkan untuk Menuntut Keadilan yang Lebih Baik Contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk membawa perubahan adalah melalui tindakan di tingkat masyarakat yang memberdayakan kelompok lemah dan terpinggirkan untuk menuntut pelayanan pengadilan yang lebih baik. Kasus Afrida di atas menunjukkan bagaimana kekuatan informasi hukum dapat mendorong keterwakilan perempuan di dewan adat. Termasuk dalam saran khusus adalah: •
Kesadaran akan hak-hak hukum: program penyuluhan hukum yang berfokus pada jenis-jenis sengketa utama yang telah diidentifikasi dalam penelitian ini (yaitu sengketa tanah, kekerasan dalam rumah tangga, dan hukum keluarga) akan membantu masyarakat untuk memamahi hak-hak mereka dan juga cara mempertahankannya. Hal ini juga melindungi kelompok lemah dan terpinggirkan agar tidak dimanipulasi dan ditipu oleh pihak yang berkuasa.
•
Mobilisasi sosial: khususnya untuk sengketa yang melibatkan kepentingan pihak luar, masyarakat harus belajar bagaimana cara mengambil tindakan bersama. Pendampingan hendaknya disediakan untuk dan oleh LSM demi meningkatkan kemampuan lokal dalam mengorganisir dan melakukan pembelaan agar dapat menandingi kekuatan dari sektor swasta dan kepentingan pihak luar yang berkuasa.
•
Pemilihan pelaksana peradilan non-negara pada tingkat desa: dimana memungkinkan dan mendapat dukungan lokal, pelaksana peradilan non-negara hendaknya dipilih untuk menjamin adanya pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Hal ini bisa dimuat dalam peraturan daerah atau desa. Namun saran ini tidak akan berlaku untuk beberapa daerah tertentu dimana norma-norma dan praktek lokal dalam menentukan pelaksana peradilan non-negara sudah berjalan dengan baik, seperti di Sumatera Barat.
2. Peningkatan Kualitas: Mengembangkan Kapasitas dan Mendorong Perubahan Struktural Di beberapa daerah di Indonesia mekanisme informal tidak lagi cukup berfungsi secara memadai. Hal ini khususnya ditemui di lokasi penelitian di Kalimantan Tengah, dimana banyak damang merasa kekurangan sumber daya dan keahlian teknis dalam menyelesaikan sengketa secara efektif. Kerjasama dengan institusi tingkat lokal untuk memenuhi kebutuhan ini hendaknya dipusatkan pada:
66
•
Pengembangan pelatihan dan keahlian: Program pelatihan yang dikhususkan pada mediasi, jender dan dokumentasi kasus akan sangat berguna. Pelatihan dan pengembangan keahlian hendaknya mengutamakan pihak yang paling sering terlibat dalam proses penyelesaian sengketa informal—yaitu pemimpin masyarakat, pemimpin adat, kepala desa dan polisi. Pelatihan dan pengembangan keahlian hendaknya diutamakan pada penyelesaian dari bentuk sengketa yang paling sering terjadi—tindakan pidana, sengketa tanah, warisan dan perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
•
Pengadaan program akreditasi untuk pelaksana peradilan non-negara: Pengembangan pelatihan dan keahlian hendaknya diupayakan agar mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Pelatihan harus meliputi prosedur dan substansi dasar dari sistem pengadilan formal dan juga memberi keahlian dalam mediasi dan penyelesaian sengketa. Program seperti ini akan meningkatkan legitimasi mekanisme informal dimata pelaksana formal dan sebaliknya.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
•
Pengupayaan perwakilan dengan terus melibatkan kelompok terpinggirkan tertentu: Mendorong keterwakilan membutuhkan dua pendekatan. Pertama, sarana perwakilan perempuan dan kelompok terpinggirkan harus disediakan. Contoh dari Sumatera Barat dan juga seorang kepala desa perempuan di Maluku menunjukkan bahwa lobi dan keterwakilan dapat membuat perbedaan. Namun penetapan aturan yang menentukan batas minimum perwakilan tidak akan menjamin hasil di lapangan. Keterwakilan harus berjalan sesungguhnya. Untuk memastikan partisipasi kelompok terpinggirkan – seperti perempuan, suku dan agama minoritas – dibutuhkan pemberdayaan dan pengembangan kapasitas. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah menunjukkan bagaimana hal ini dapat dilakukan.
•
Mendukung prakarsa pembukuan/kodifikasi sistem peradilan non-negara: Memperjelas prosedur dan struktur mekanisme informal memberi beberapa kelebihan. Mekanisme yang lebih transparan dan mudah dimengerti masyarakat lokal dapat memberdayakan masyarakat. Hal ini juga dapat memperjelas hubungan dengan sistem pengadilan formal. Bagaimanapun, ada juga resiko yang signifikan. Upaya kodifikasi dapat menjadi penghalang bagi kelenturan mekanisme informal. Selain itu, upaya kodifikasi juga dapat dimanfaatkan untuk mengukuhkan pendapat kelompok elit tentang mekanisme informal dan struktur kekuasaan yang ada. Meskipun demikian, penelitian ini menemukan bahwa kodifikasi peradilan non-negara semakin umum dilakukan. Dimana ada permintaan akan kodifikasi maka masyarakat sipil dan donor harus memberi dukungan agar dapat mengurangi akibat-akibat yang negatif. Jelasnya, dukungan ini dapat berbentuk: (a) mendukung proses partisipasif yang melibatkan semua pemegang kepentingan, khususnya perempuan dan kelompok minoritas; dan (b) mengadakan analisa jender dan hak asasi manusia atas norma-norma yang terdapat pada langkah dan substansi peradilan non-negara setempat.
•
Pengembangan kapasitas forum antar desa: Kapasitas mekanisme peradilan non-negara pada tingkat desa untuk menyelesaikan sengketa antar desa dan sengketa yang melibatkan pihak luar sangat kurang. Forum antar desa yang telah ada harus didukung dengan upaya pengembangan kapasitas mereka,.
•
Pendirian Unit Perantara Peradilan Komunitas di Kementerian Hukum dan HAM di tingkat pusat dan daerah. Unit ini dapat berfungsi sebagai badan pengawas, menjalankan program peningkatan kapasitas pelaku peradilan non-negara, menjalankan program peningkatan kepedulian bagi kelompok terpinggirkan, serta pendokumentasian dan penyebaran informasi mengenai prakarsa lokal di tingkat internasional, nasional dan daerah. Unit ini dapat mengembangkan kerjasama dan kesesuaian antara sistem peradilan non negara dan negara—yaitu menjadi agen aktif dalam membentuk “titik keseimbangan” antara kedua sistem peradilan tersebut.
3. Memperlebar “Bayangan Hukum”: Membuat Sistem Pengadilan Formal Menjadi Lebih Mudah Diakses Keunggulan yang dimiliki peradilan non-negara tidak dapat meniadakan kebutuhan untuk mempermudah akses terhadap peradilan negara dan meningkatkan kemandirian pengadilan. Meski jarang digunakan, pengadilan bertindak sebagai mekanisme pertanggungjawaban. Jika salah satu pihak tidak puas dengan hasil dari proses informal—apakah karena alasan teknis, politik, korupsi atau normatif—keputusan itu dapat “dibanding” atau ditinjau kembali oleh sistem formal. Banyak perempuan dan etnis minoritas yang lebih memilih sistem formal untuk menyelesaikan kasus yang serius. Meningkatkan akses terhadap pengadilan akan memperkuat pengawasan terhadap peradilan non-negara. •
Pendidikan hukum: Data dari GDS menunjukkan bahwa orang yang sadar akan hak-haknya lebih cenderung menggunakan dan mempercayai sistem hukum formal. Karena itu, pendidikan formal merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam mempermudah akses terhadap sistem
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
67
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
pengadilan. Program kesadaran hukum masyarakat hendaknya bertujuan untuk membuat sistem pengadilan formal menjadi lebih jelas dan mudah dimengerti, menyampaikan ruang lingkup dan wewenangnya, dan menunjukkannya sebagai alternatif yang baik. •
Meningkatkan program paralegal sebagai perantara informal-formal: Kesadaran akan hak tidak akan berarti tanpa adanya sumber daya untuk menegakkannya. Paralegal adalah anggota masyarakat, yang telah diberikan pelatihan di bidang hukum, yang dapat dijadikan sumber pertama dalam pencarian bantuan hukum. Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa walaupun jumlah paralegal hanya sedikit, tingkat kepuasan kepada paralelal sangat tinggi. Mereka bisa menyediakan keahlian di bidang organisasi dan membuka akses ke sistem formal.
•
Mendukung program bantuan hukum yang aktif dan berkesinambungan, khususnya untuk kelompok rentan: Agar akses ke sistem formal menjadi berarti, paralegal dan orang yang bersengketa membutuhkan jaringan dimana mereka bisa mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum ini lebih diperlukan untuk beberapa jenis sengketa, seperti tindak pidana berat, pelanggaran berulang, sengketa yang melibatkan tokoh setempat yang berpengaruh, dan sengketa yang secara luas melibatkan sumber daya ekonomi. Dukungan ini juga khususnya penting untuk perempuan, yang sering dihambat oleh tekanan sosial dalam mencari bantuan hukum.
•
Mendukung program pengadilan keliling: pengadilan keliling, dimana hakim melakukan perjalanan ke tingkat daerah dan desa untuk menerima kasus perdata dan pidana ringan, memberi dan membuka kemungkinan untuk mengajukan banding dari hukum adat ke pengadilan negara.
4. Memperkuatkan Pertanggungjawaban ke Atas: Sebuah Kerangka Kerja Kebijakan dan Peraturan Sebuah kerangka kerja kebijakan dan peraturan akan menampilkan sejumlah prinsip dan standar minimum untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan dari peradilan non-negara. Perbaikan kerangka kerja kebijakan dan peraturan tidak akan secara langsung menghasilkan perubahan tindakan. Indonesia, seperti umumnya negara berkembang, marak dengan contoh hukum, peraturan dan kebijakan yang tidak diterapkan. Tapi adanya peraturan tetap merupakan pernyataan niat yang kuat. Hal ini menjadi titik awal dalam pedoman kerja pemerintah, LSM dan donor untuk mengadakan peningkatan kapasitas, pelatihan dan intervensi lainnya dalam meningkatkan kualitas peradilan lokal.
68
•
Pedoman Kebijakan Nasional: Bappenas dalam proses menyusun Strategi Nasional untuk Akses Keadilan untuk dimasukkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2010-2014. RPJMN 2004-2009 saat ini mengadung retorika standar mengenai pentingnya peradilan non-negara, tanpa memberi pedoman mengenai cara membentuk hubungan dengan pengadilan formal ataupun cara mendukung pertanggunjawaban terhadap pencari keadilan dan terhadap negara. Rencana 2010-2014 seharusnya mencakup kerangka kerja menuju perubahan sambil juga memberdayakan pemerintah daerah untuk mengatur agar mendapat hasil yang diinginkan.
•
Peraturan Mahkamah Agung untuk Memfasilitasi Interaksi Formal-Informal: Kewenangan di bidang peradilan masih merupakan fungsi utama dari pemerintahan pusat. Jadi, meski pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk mengatur struktur mekanisme peradilan non-negara, Mahkamah Agung tetap memiliki yurisdiksi untuk menetapkan peraturan dan kebijakan yang memfasilitasi hubungan formal-informal. Hal ini bisa dicapai dengan: (a) memberi definisi yang jelas tentang yurisdiksi mekanisme peradilan non-negara; (b) mengembangkan program mediasi di pengadilan oleh Mahkamah Agung untuk memperluas akreditasi mediator tingkat desa; (c) memfasilitasi keterlibatan Pengadilan Negeri
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
dan Pengadilan Tinggi dalam pengembangan peraturan regional yang berkaitan dengan peradilan non-negara; dan (d) membuat mekanisme dan pedoman yang jelas untuk mengajukan upaya banding dari peradilan informal ke pengadilan formal. •
Membuat Kerangka Kerja Peraturan Daerah: Peraturan tidak akan lansung tercermin pada tindakan namun tetap diperlukan untuk kemudian dapat menerjemahkan kebijakan nasional menjadi standar mininum dan kerangka pertanggungjawaban yang tepat di tingkat lokal. Laporan ini menyarankan ditetapkannya peraturan daerah yang memuat prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan secara luas namun tetap memberi ruang untuk diadaptasi sesuai kebiasaan dan keadaan setempat. Pemerintah daerah disarankan untuk menerbitkan peraturan daerah tentang sistem peradilan informal yang mencakup hal-hal berikut: Yurisdiksi: menjelaskan yurisdiksi antara sistem pengadilan formal dan sistem peradilan nonnegara. o Perwakilan: Memberi jaminan keterwakilan bagi semua anggota masyarakat untuk mekanisme peradilan non-negara, termasuk perempuan dan kelompok minoritas. o Pemilihan Pelaku: Kerangka kerja harus menciptakan pertanggungjawab terhadap pencari keadilan dengan membuat prosedur jelas tentang cara memilih pelaku peradilan non-negara. o Prosedur Dasar: Kerangka kerja harus memuat pedoman umum berkaitan dengan langkahlangkah dalam proses mediasi dan penyelesaian sengketa. Pedoman ini hanya mengatur jaminan terhadap prinsip kesukarelaan, serta hak untuk mendengar dan didengar. o Sengketa antar-komunitas: Mekanisme khusus harus dibentuk mengatasi sengketa antar-desa, sengketa antar-komunitas, dan sengketa antara masyarakat dan pihak luar. o Hak Pengajuan banding: Kerangka kerja harus membuat jalur dan kriteria yang jelas untuk mengajukan banding dari sistem informal ke sistem formal. o Sanksi: Memastikan sanksi yang dijatuhkan oleh sistem peradilan non-negara tidak memberatkan dan tidak bertentangan dengan UUD. Membuat forum antar pihak/mediasi sengketa tanah: Untuk meningkatkan komunikasi dan pengawasan terhadap peradilan desa, forum antar pihak yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi dan pelaku peradilan informal harus dibentuk di tingkat daerah. Dengan pertemuan teratur, forum dapat memberi ruang untuk membahas dan mengatasi sengketa khusus, membangun sikap saling mengerti, memfasilitasi dialog mengenai perubahan peraturan dan hukum, serta melakukan pengawasan terhadap peradilan non-negara. Forum ini juga dapat membentuk mekanisme baru dalam mengatasi sengketa tanah dan sengketa antar etnis yang rumit, dimana mediasi cenderung lebih efektif daripada putusan pengadilan karena sifat sengketa yang peka dan rentan kekerasan. o
•
Saran-saran diatas mencoba untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan pengadilan informal. Saran-saran tersebut didasarkan pada harapan, yang cukup masuk akal, bahwa perubahan secara bertahap dapat meningkatkan keadilan bagi kelompok terpinggirkan. Program Justice for the Poor sedang menindak lanjuti studi ini dengan dua cara. Pertama, berkaitan dengan kebijakan, melalui masukan temuan-temuan dan saran-saran penelitian kepada Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (Stranas) yang sedang dikembangkan oleh Bappenas. Cara kedua lebih berupa operasional, dengan mengupayakan penerapan saran-saran dalam kerjasama dengan beragam pihak di propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Selama pengamatan dalam penelitian ini, kedua propinsi tersebut telah terbentuk kelompok-kelompok kerja yang beranggotakan pejabat pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, anggota DPRD, hakim, jaksa dan polisi, organisasi masyarakat, kepala desa, kepala adat dan organisasi keagamaan.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
69
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Bersama kelompok-kelompok kerja ini, Justice for the Poor telah mengembangkan program-program peningkatan kualitas peradilan non-negara di beberapa desa percontohan, dengan menerapkan saransaran yang dikemukakan di tulisan ini. Pendekatan ini sengaja bekerja secara bertahap dengan tujuan yang tidak muluk-muluk tetapi bersifat mendasar,dengan menanfaatkan institusi yang telah ada. Pendekatan ini juga dipastikan akan disesuaikan dengan keadaan setempat, dengan mengakui bahwa kesempatan dan ruang mengadakan perubahan akan berbeda di setiap lokasi. Di Sumatera Barat, advokasi kebijakan sedang diutamakan karena peraturan daerah tentang hukum adat sedang diujikembali dan diperbaiki. Di NTB, program mengutamakan pendefinisian proses, norma dan strukur penyelesaian sengketa, karena pada sisi-sisi inilah pemangku kepentingan setempat mengidamkan perubahan. Maka, kerangka kerja yang dibuat diatas menawarkan berbagai pilihan-pilihan yang dapat diterapkan pada tingkat yang berbeda di lokasi yang berbeda. Karena itu, kerangka kerja tersebut harus disesuaikan dengan keadaan yang sesungguhnya. Pemerintah Indonesia juga menerapkan beberapa saran-saran dalam tulisan ini dengan membentuk komponen pemberdayaan hukum masyarakat yang berdiri sendiri dibawah proyek Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.80 Laporan ini telah menekankan pentingnya keterkaitan peradilan non-negara dengan stabilitas sosial dan kehidupan ekonomi di tingkat lokal. Strategi menyeluruh yang mendukung penegakan hukum perlu disesuaikan dengan kenyataan dan mencakup mekanisme peradilan non-negara di tingkat desa. Saran-saran yang telah dikemukakan di tulisan ini dapat membantu mendukung perbaikan dan perubahan di tingkat nasional dengan memusatkan bantuan pada tingkatan yang paling dibutukan, memberdayakan kelompok miskin dan terpinggirkan untuk dapat menyelesaikan sengketa, dan mendukung Indonesia dalam menjalankan pembaharuan.
80
70
Lihat http://p2dtk.bappenas.go.id/ .
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia