Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (Enforcing Constitutional Supremacy in Building Rule of Law) Oleh T. Nazaruddin1
Abstract This study is aimed to describe and analyze the essence of how the rule of law, constitution and constitutionalism, supremacy of the constitution and constitutional awareness culture. This type of research from the standpoint of the interests or goals is normative legal research, often also referred to as a kind of doctrinal legal research. Efforts to find legal in doctrinal legal research was done by studying the main elements in the form of legislation, judicial decisions, cases, and legal expert opinion. Indonesia's legal needs are very urgent "to bring justice to the people." Development of the rule of law is directed at countries that are legal in the sense of material, the Rule of Just Law which aims to organize the general physical and spiritual well-being . Essential meaning of the constitution in the idea of constitutionalism based on the underlying general agreement or agreement (consensus) among the majority of the building with respect to the idealized state. The Constitution placed as the highest source of law because it is considered a result of the agreement of all the people as sovereign. Thus, the foundation enforceability constitution as the supreme law of the people's sovereignty is its own. Supremacy of the constitution requires that every institution of state officials and all citizens carry the 1945 Constitution. Keywords: Supremacy of Constitution, Constitutionalism, Rule of Law
A. 1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
Sejak negara Indonesia diproklamirkan menjadi negara merdeka, para pendiri republik ini (the founding fathers) sepakat bahwa negara ini berlandaskan pada hukum (yang diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis) yang mencerminkan adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip 1
Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 23
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
pemisahan dan pembatasan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD), adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam UUD, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk tiadanya penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.2 Konstitusi dalam pemikiran politik modern sangatlah khas karena ia merupakan proses pengendalian aktivitas pemerintahan secara efisien.3 Oleh sebab itu, tidak boleh ada kegiatan pemerintahan4, termasuk dalam pembuatan undang-undang, yang berada di luar kendali konstitusi.5 Dengan demikian, supremasi konstitusi harus senantiasa dijunjung tinggi, karena konstitusi diciptakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan-perubahan konstitusi itu sendiri, sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas, maka muncul beberapa permasalahan dan penelitian ini sekaligus berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis mengenai bagaimana hakikat negara hukum, konstitusi dan konstitusionalisme, supremasi konstitusi serta budaya sadar berkonstitusi?. 2.
Tinjauan Pustaka
a.
Hakikat Negara Hukum
Hukum merupakan “rules of the game,” aturan-aturan permainan yang akan mencegah atau menghalangi penguasa dan manusia biasa berbuat sewenangwenang. Oleh karena itu, menurut A. Mukthie Fadjar, hukum merupakan batas-batas kebebasan individu dan penguasa dalam setiap interaksi kemasyarakatan, sehingga hukum akan merupakan perlindungan atas ketentraman umum dan keadilan dalam Imam Anshori Saleh, Membenahi Hukum Dari Proklamasi ke Reformasi Urgensi Prolegnas dalam Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: Konstitusi Press.2009), hlm. 3. 3 Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America. (Weldham, Mass: Blaisdell Publishing Company, 1967). 5th edition, hlm. 3. 4 Kegiatan pemerintahan dalam arti luas mencakup kegiatan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; namun dalam arti sehari-hari istilah kegiatan pemerintahan sering diberi arti sempit sebagai kegiatan eksekutif saja. 5 Moh. Mahfud MD, et.al., Constitutional Question, Alternatif Baru Pencarian Keadilan Konstitusional. (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010), hlm. 15. 2
24
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tanpa berlakunya hukum dan penegakan hukum yang benar dan adil dalam masyarakat akan menimbulkan kekacauan dan kesewenang-wenangan, baik itu dilakukan oleh negara maupun dilakukan oleh individu manusia.6 Konsep Stahl tentang negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) negara didasarkan pada teori trias politica; (3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undangundang (wetmatiq bestuur); dan (4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrech matige overheidsdaad). Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang7. Negara hukum atau the Rule of Law yang hendak kita perjuangkan atau tegakkan di negeri ini ialah suatu negara hukum dalam artian yang bersifat materiil, the Rule of Just Law yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar warga negara betul-betul dihormati (to respect), dilindungi (to protect), dan dipenuhi (to fulfill).8 Daniel S. Lev menggambarkan cita-cita negara hukum Indonesia merupakan cita-cita yang terus hidup dalam masyarakat Indonesia. Sebagai gagasan ia sambut dengan antusias dan dibahas dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.9
A. Mukthie Fadjar, “Perjuangan untuk Sebuah Negara Hukum yang bermartabat.” Dalam Tim Penulis, Membangun Negara Hukum yang Bermartabat, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 2. 7 Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, makalah, September, 1988, hlm. 2. Lihat pula, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 89. 8 A. Mukthie Fadjar, op.cit.., hlm. 5. 9 Abdul Hakim G. Nusantara, Menuju Negara Hukum Indonesia: Refleksi Keadaban Publik dan Prospek Transisi Demokrasi Indonesia, makalah disampaikan pada Diskusi Forum Rektor di Jakarta, 2005. 6
25
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
b.
ISSN 2302-6219
Konstitusi dan Konstitusionalisme
Secara sederhana, konstitusi dapatlah didefinisikan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematis untuk menata dan mengatur pada pokok-pokoknya struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk dalam ikhwal kewenangan dan batas kewenangan lembaga-lembaga itu. Dalam arti yang lebih sempit, konstitusi bahkan “cuma” diartikan sebagai dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan hukum tersebut. Ide konstitusionalisme sebagaimana bertumbuh kembang di bumi aslinya, Eropa Barat, dapat dipulangkan ke dua esensinya. Esensi pertama ialah konsep “negara hukum” (atau di negeri-negeri yang terpengaruh oleh sistem hukum Anglo Saxon disebut rule of law) yang menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya). Esensi kedua ialah konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh konstitusi, dan kekuasaan itupun hanya mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja.10 c.
Supremasi Konstitusi
Dalam negara modern, penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan berdasarkan hukum dasar (droit constitusional). Undang-undang Dasar atau verfassung oleh Carl Schmidt dianggap sebagai keputusan politik yang tertinggi.11 Sehingga konstitusi mempunyai kedudukan atau derajat supremasi dalam suatu negara. Yang dimaksud dengan supremasi konstitusi yaitu dimana konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara.12 Benarkah konstitusi atau UUD mempunyai derajat yang tertinggi dalam suatu negara? Terhadap pertanyaan ini, K.C. Wheare memberikan ulasan cukup panjang
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ElSAM dan HuMa, 2002), hlm. 404-405. 11 Ismail Saleh, Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum, (Jakarta: Depkeh RI, 1998), hlm. 18. 12 Parlin M. Mangunsong, Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Salah Satu Sarana Perubahan UUD, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 22. 10
26
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
lebar. Pada intinya kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral. Pertama, konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi (supremasi). Dasar pertimbangan supremasi konstitusi itu adalah karena beberapa hal: a. Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-undang atau lembaga-lembaga. b. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk kepentingan mereka. c. Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya. Superioritas konstitusi mempunyai daya ikat bukan saja bagi rakyat/warga negara tetapi termasuk juga bagi para penguasa dan bagi badan pembuat konstitusi itu sendiri. Kedua, jika konstitusi dilihat dari aspek moral landasan fundamental, maka konstitusi berada di bawahnya. Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral. Oleh karena itu dilihat dari constitusional phyloshofi, apabila aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya konstitusi dikesampingkan. William H. Seward mencontohkan bahwa konstitusi yang mengesahkan perbudakan sudah sewajarnya tidak dituruti. Contoh lain seandainya konstitusi melegalisir sistem apartheid, dengan sendirinya ia bertentangan dengan moral.13 Karena konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap paling tinggi tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum itu juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah: (a) keadilan; (b) ketertiban; dan (c) perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding fathers and
Dahlan Thaib, et.al., Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 68-69. 13
27
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
mothers). Misalnya, empat tujuan bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. d. Budaya Sadar Berkonstitusi Setiap lembaga dan segenap warga negara akan dapat melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 45, diperlukan adanya budaya sadar berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi diperlukan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar dalam konstitusi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pasti mengetahui dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan. Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan konstitusi. Salah satu bentuk nyata pentingnya budaya sadar berkonstitusi bagi pelaksanaan konstitusi adalah terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Pengujian tersebut dilakukan untuk menentukan apakah suatu ketentuan dalam suatu undang-undang, bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Namun Mahkamah Konstitusi dalam hal ini tidak dapat bertindak secara aktif. Mahkamah Konstitusi hanya dapat menjalankan wewenang tersebut jika ada permohonan pengujian suatu undang-undang yang diajukan oleh masyarakat. Dalam pengajuan permohonan ini diperlukan adanya budaya sadar berkonstitusi berupa kesadaran akan hak konstitusionalnya sebagai warga negara baik sebagai perorangan maupun kelompok bahwa hak-hak konstitusional telah dilanggar oleh suatu ketentuan undang-undang. Di sisi lain, juga diperlukan adanya kesadaran untuk mendapatkan perlindungan atas hak konstitusional yang dilanggar
28
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
dengan cara mengajukan permohonan pengujian konstitusional atas ketentuan undang-undang yang merugikannya.14 3.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini dari sudut pandang kepentingan atau tujuannya adalah penelitian hukum normatif, kerap juga disebut sebagai jenis penelitian hukum doktrinal. Upaya menemukan hukum dalam penelitian hukum doktrinal dilakukan dengan cara mempelajari bahan utamanya berupa peraturan perundang-undangan, putusan peradilan, kasus-kasus, dan pendapat ahli hukum.15 Dengan mengurai dokumen-dokumen hukum tersebut diharapkan dapat dicapai hasil untuk tujuan praktis, berupa pemecahan masalah hukum tertentu. Dalam hal itu juga, dicapai tujuan teoritik seperti ditemukannya falsafah, asas-asas hukum dan kerangka berfikir tentang hukum yang mengatur suatu permasalahan tertentu16. B. 1.
PEMBAHASAN Hakikat Negara Hukum
Di Indonesia pada umumnya, negara hukum berasal dari pengertian rechstaat dan the rule of law. Meskipun keduanya menginginkan adanya perlindungan hak asasi manusia melalui peradilan yang bebas dan tidak memihak namun memiliki latar belakang sejarah dan pelembagaan yang berbeda. Konsep rechstaat banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dianut dan dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law. Dengan latar belakang yang berbeda, titik berat dan ciri masing-masing pun berbeda (Mahfud, 2006). Konsep rechstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian disamakan dengan rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before the law (kesamaan semua orang di hadapan hukum).17 Didik Sukriono, Hukum, Konstitusi dan Konsep otonomi, Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 55. 15 Soetandyo Wignjosoebroto, op.cit.., hlm. 139. 16 Sulistyo Irianto, Kedudukan Pendekatan Socio-Legal dalam Penelitian Hukum (dari Perspektif Antropologi Hukum), makalah, Fakultas Hukum UI, 1997, hlm. 4. 17 Imam Anshori Saleh,op.cit.., hlm. 15. 14
29
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
Namun demikian, konsep Negara Berdasar Hukum Indonesia tidak muncul dari perkembangan sosial seperti yang terjadi di Eropa itu, oleh karena ia tidak diciptakan sebagai hasil keharusan sosial yang ada pada suatu saat, atau dalam bahasa yang lain, ia lahir dari sebab-sebab yang berbeda dari lahirnya konsep Rule of Law di Eropa. Oleh karena itu, Satjipto Rahardjo18 menegaskan, “kita tidak bisa mengharapkan bahwa hukum modern yang juga dipakai di negeri kita mampu melakukan pekerjaan seperti yang bisa dilakukan oleh konsep Rule of Law... Sejak sistem hukum liberal yang dipakai memang tidak direncanakan untuk memenuhi kebutuhan Indonesia sekarang ini, maka diperlukan tekad untuk sedikit banyak merombak praktik dan cara berfikir yang dianut oleh dunia praktik selama ini.” Maksud pikiran alternatif adalah kebutuhan Indonesia yang sangat mendesak, yang disebutnya sebagai “to bring justice to the people” (membawa keadilan kepada rakyat). Mengutip A. Mukthie Fadjar, yaitu negara hukum atau the Rule of Law dalam artian bersifat materiil, the Rule of Just Law yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah. 2.
Konstitusi dan Konstitusionalisme
Negara pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktik ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson sebagai: “a body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the state and that regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen.” Konstitusi Inggris itu menurutnya adalah suatu bangun aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan organ-organ negara
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. viii. 18
30
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
dan yang mengatur hubungan di antara berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertianpengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organorgan negara tersebut dengan warga negara.19 Menurut Soetandyo, dalam praktik ketatanegaraan dan dalam polemik-polemik hukum tata negara, perhatian orang acapkali hanya tertuju secara terbatas pada ikhwal konstitusi itu saja, per se, baik dalam makna substantifnya sebagai ketentuanketentuan hukum maupun dalam makna formilnya sebagai rumusan-rumusan perundang-undangan, sebagaimana termuat dan terbaca (sebagai pasal-pasal) dalam dokumen Undang-undang Dasar, dan kurang mengajukan lebih dalam lagi. Sebenarnya konstitusi itu cumalah raga atau wadah saja, dan bukanlah makna kulturalnya. Untuk memahami konstitusi secara utuh dan menyeluruh, orang haruslah mampu membongkar dan menelaah isi blackbox, dan tidak cukup kalau cuma menangkap cuatan-cuatan indikatifnya yang tampak dipermukaan saja.20 Dengan membongkar kotak hitam yang memuat informasi lengkap tentang sejarah perjalanan dan perkembangan konstitusi dan fungsinya dalam kehidupan ketatanegaraan, maklumlah kita bahwa makna hakiki konstitusi bermukim teguh-teguh di dalam ide konstitusionalisme. Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich “constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action.” Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kuncinya 19 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 17. 20 Soetandyo Wignjosoebroto, Loc,Cit., hlm. 403.
31
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi.21 Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa makna hakiki konstitusi terkandung secara mendasar di dalam ide konstitusionalisme. Sedangkan konstitusionalisme bergantung pada kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara rakyat pada umumnya mengenai negara yang hendak dibangun atau diidealkan. 3.
Menegakkan Supremasi Konstitusi
Beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional, atau negara berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada tiga tujuan negara, yaitu: (1) untuk memelihara ketertiban dan ketentraman; (2) mempertahankan kekuasaan; dan (3) mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan-kepentingan umum. Sementara itu, Maurice Hauriou menyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah untuk menjaga keseimbangan antara: (1) ketertiban (orde); (2) kekuasaan (gezag); dan (3) kebebasan (vrijheid). Kebebasan individu warga negara harus dijamin, tetapi kekuasaan negara negara juga harus berdiri tegak sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. Ketertiban itu sendiri terwujud apabila dipertahankan oleh kekuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara tetap tidak terganggu.22 Pandangan yang menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara lahir dari pemaknaan konstitusi sebagai pernyataan mendasar tentang hal-hal yang oleh sekelompok orang yang sepakat mengikatkan dirinya sebagai warga negara dari suatu bangsa dianggap sebagai ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai dasar kehidupan bersama mereka dan kepada ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai dasar itu pula mereka sepakat untuk terikat.23 Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sesudah perubahan merupakan penegasan dianutnya supremasi konstitusi. Artinya, sebagai kekuasaan tertinggi, Jimly Asshiddiqie, op.cit.., hlm. 21. Didik Sukriono, Loc.Cit., hlm. 7. 23 Hilaire Barnett, Constitutional & Administrative Law. Fourth Edition, (LondonSydney: Cavendish Publishing Ltd, 2002), hlm. 5-6. 21 22
32
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
kedaulatan yang ada di tangan rakyat harus dilaksanakan oleh dan dengan cara sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Dengan demikian konstitusi yang merupakan sumber rujukan tertinggi penyelenggaraan kekuasaan negara.24 Konstitusi ditempatkan sebagai sumber hukum tertinggi karena dipandang merupakan hasil perjanjian seluruh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Maka, landasan keberlakuan konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah kedaulatan rakyat itu sendiri. Rakyat adalah pemilik constituent power yang produknya bukan hukum biasa, melainkan hukum tertinggi atau constituent act. Sedangkan, yang diberi wewenang untuk menjalankan constituent power adalah MPR. Oleh karena itu, MPR tetap dipandang sebagai penjelmaan rakyat, namun hanya sebatas pada saat MPR menjalankan wewenang untuk mengubah dan menetapkan UUD. Adapun sebagai lembaga, kedudukan MPR tetap sama dengan lembaga tinggi negara yang lain. Sebagai hukum tertinggi, konstitusi harus dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara negara dan segenap warga negara tanpa kecuali. Ketentuan itu berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan, yang menentukan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya. Pasca perubahan UUD 1945, kedaulatan dilaksanakan dalam bentuk kekuasaan penyelenggaraan negara. Kekuasaan tersebut dijalankan sesuai dengan wewenang lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945. Supremasi konstitusi mengharuskan setiap lembaga penyelenggara negara dan segenap warga negara melaksanakan UUD 1945. Dikatakan Janedjri M. Gaffar, Jika UUD 1945 telah dilaksanakan sesuai dengan wewenang dan fungsinya masingmasing, tentu tidak perlu terjadi pertentangan dalam penyelenggaraan negara. Kalaupun hal itu terjadi, UUD 1945 telah menentukan mekanisme penyelesaiannya, yaitu melalui Mahkamah Konstitusi. Sekalipun demikian, wewenang yang dimiliki MK tersebut tidak membuat kedudukannya lebih tinggi dari penyelenggara negara lain. Kewenangan tersebut dimiliki semata-mata karena ditentukan demikian oleh UUD 1945.25
24 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional, Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), hlm. 79. 25 Ibid. Hlm.82.
33
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
Meskipun demikian, menurut Abdul Mukthie Fadjar, MK sering dicap sebagai lembaga super (superbody) di antara lembaga-lembaga negara lainnya di Indonesia, mungkin hal itu disebabkan lima kewenangan konstitusional yang dimiliki MK yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu “menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil Pemilu, dan memutus „impeachment‟ DPR terhadap Presiden dan/atu Wakil Presiden.”26 Barangkali, prima pacie, pandangan atau kritikal bahwa MK itu “superbody” atau menjadi “rechstaat” masuk akal jika hanya dikaitkan dengan lima kewenangannya. Namun, jika memperhatikan kelembagaan MK, sesungguhnya MK di seluruh dunia adalah lembaga peradilan, bahkan merupakan organ konstitusi yang paling lemah, karena tidak mempunyai aparat dan/atau instrumen yang dapat memaksakan putusan-putusan MK dipatuhi dan dilaksanakan. Dilaksanakan atau tidaknya putusan-putusan MK tergantung sepenuhnya pada kesiapan dan kesediaan lembaga negara atau organ konstitusi lainnya untuk menerima dan mematuhinya, demikian kira-kira yang dikemukakan oleh Prof. Ernst Benda, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (1971-1983).27 UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, tentunya tidak semata-mata merupakan dokumen hukum atau sekedar “politico legal document,” namun juga merupakan dokumen antropologi yang mengandung pergulatan kemanusiaan yang mengekspresikan kosmologi bangsa, mengejawantahkan cita-cita, harapan dan mimpi-mimpi tentang membangun negara, hal ini berarti menempatkan manusia sebagai titik sentral.28 Oleh karena itu, esensi konstitusionalisme adalah penghormatan atas harkat dan martabat manusia (Laica Marzuki, 2011). Sebagai konsekuensinya, maka dalam membentuk, menerapkan, dan menegakkan hukum yang terdiri dari ribuan peraturan perundang-undangan (yang berarti kita berada dalam ranah legislasi, yudikasi, dan eksekusi), harus selalu
Abdul Mukthie Fadjar, 2307 Hari Mengawal Konstitusi, (Malang: In-TRANS Publishing, 2010), hlm. 55. 27 Ibid., hlm. 57. 28 Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-undang Dasar (Suatu pembahasan dari optik ilmu hukum umum), (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 31. 26
34
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
merujuk pada sumber tertingginya, yakni konstitusi, khususnya Pembukaan UUD Negara RI 1945 sebagai “moral reading of the constitution” (Dworkin, 1996).29 Terkait dengan eksistensi MK ini memang ada persoalan, yakni adanya beberapa vonis MK yang dinilai melampaui batas kewenangan dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusannya bersifat final dan mengikat. Selain itu, seperti disebutkan diatas, pengaturan konstitusi tentang pengujian peraturan perundangundangan telah sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan antara konflik peraturan dan konflik orang dan atau lembaga. Masih ada soal lain yakni adanya putusan MK No.005/PUU-V/2006 yang mengeluarkan hakimhakim MK dari objek pengawasan Komisi Yudisial. Untuk masalah pertama, ada beberapa putusan MK yang bersifat ultra petita (tidak diminta) yang mengarah pada intervensi ke dalam bidang legislasi; ada juga putusan yang dapat dinilai melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri), serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan pada pertentangan antara satu undangundang dengan undang-undang lain, padahal judicial review untuk uji materi yang dapat dilakukan oleh MK adalah bersifat vertikal yakni konstitusionalitas undangundang terhadap UUD, bukan masalah benturan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Karena itu MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai lembaga yang super body sebab dengan selalu berlindung di dalam ketentuan UUD bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini adakalanya membuat putusan-putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan konstitusionalnya.30 Oleh sebab itu, menjadi wajar jika ada gagasan agar ada amandemen UUD dan /atau amandemen atas UU MK yang dapat membatasi kewenangan dan dapat mengontrol MK. Arahnya adalah larangan bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yudikatif. Dalam melakukan pengujian UU atas UUD misalnya, MK harus tetap dijaga agar dalam melaksanakan kewenangannya itu selalu sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) UU dan isi UUD yang dijadikan dasar pengujian. 29 Abdul Mukthie Fadjar, “Hukum yang Berlandaskan UUD Negara RI Tahun 1945” dalam Jurnal Konstitusi. Volume I No.1, November 2012, (Malang: Puskasi FH Ugama-MKRI), hlm. 2. 30 Moh. Mahfud MD, Ibid, hlm. 13.
35
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
4.
ISSN 2302-6219
Budaya Sadar Berkonstitusi
Dalam pengajuan permohonan hak konstitusional ke Mahkamah Konstitusi, diperlukan adanya budaya sadar berkonstitusi berupa kesadaran akan hak konstitusionalnya sebagai warga negara baik sebagai perorangan maupun kelompok bahwa hak-hak konstitusional telah dilanggar oleh suatu ketentuan undang-undang. Di sisi lain, juga diperlukan adanya kesadaran untuk mendapatkan perlindungan atas hak konstitusional yang dilanggar dengan cara mengajukan permohonan pengujian konstitusional atas ketentuan undang-undang yang merugikannya.31 Selama ini (sejak adanya Mahkamah Konstitusi) telah banyak undang-undang yang diujikan, karena isi undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. Tidak semua permohonan pengujian dapat dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Ada yang dikabulkan semua, ada yang dikabulkan sebagian, dan ada yang tidak diterima, karena tidak memenuhi syarat adanya pengujian. Yang diajukan oleh masyarakat adalah uji materiil.32 Sedangkan Pengujian formil juga telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Di antaranya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan uji formil dan uji materil terhadap Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) yang diajukan oleh beberapa LSM dan perorangan. MK menyatakan menolak menggunakan hak untuk melakukan pengujian formil mengenai prosedur pembentukan UU SDA dan uji materil mengenai apakah UU SDA bertentangan dengan UUD 1945. Berkaitan dengan uji formil, Mahkamah Konstitusi menyatakan proses pembentukan UU SDA telah sesuai dengan prosedur pembentukan UU. Sedangkan dalam pengujian materil, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU SDA tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dalil-dalil yang dikemukakan pemohon tidak beralasan sehingga harus ditolak.33 Demikian pula, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian formil Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Didik Sukriono, op.cit.., hlm. 55. Imam Anshori Saleh, Loc.Cit., hlm. 112. 33 Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, MK Putuskan UU SDA Telah Sesuai UUD 1945, www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw1907053gt.htm, akses tanggal 12 Oktober 2013. 31 32
36
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
Dalam pertimbangannya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan, bahwa apabila Undang-undang yang diujiformilkan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena dalam Undang-undang tersebut justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari undang-undang yang diubah. Selain itu, peraturan tersebut sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam sistem kelembagaan yang diatur dalam Undang-undang a quo dan yang berkaitan dengan berbagai undangundang, antara lain Undang-undang kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Peradilan Umum dan lembaga lain yang memiliki hubungan antara Komisi yudisial dengan Mahkamah Agung.34 Berdasarkan dua kasus diatas, pembuat undang-undang, DPR dan Pemerintah masih dapat merasa lega karena Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian formal tersebut. Namun dengan adanya kewenangan uji formal yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, di samping kewenangan uji materiil, pembuat undang-undang, DPR dan Pemerintah akan lebih berhati-hati. Karena bila undang-undang yang diuji formal ternyata melanggar tata cara dan prosedur pembuatannya, maka seluruh undang-undang dapat dinyatakan batal. Ini berbeda dengan uji materiil yang dapat membatalkan bagian-bagian ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, dari sejumlah permohonan yang diajukan ke MK sejak 2003 hingga 2012, tercatat 1.166 perkara yang telah ditangani oleh MK. Dari jumlah tersebut, jika dipilah berdasarkan kewenangan, terdapat 532 perkara (45,6%) PUU, 21 perkara (1,8%) SKLN, 116 perkara (10%) PHPU Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden, serta 497 perkara (42,6%) PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dari total pemeriksaan perkara selama kurang lebih sembilan tahun tersebut, MK telah memutus sebanyak 1.086 perkara, yang terdiri atas 222 perkara (20,44%) dikabulkan, 525 perkara (48,34%) ditolak, 274 perkara (25,23%) tidak dapat diterima, dan 65 perkara (5,99%) ditarik kembali.35
34 Tribunnews. com, MK Tolak Uji Formil UU MA., www.tribunnews.com, tanggal 16 Juni 2010. Akses tanggal 30 Oktober 2013. 35 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi 2012. www.mahkamahkonstitusi.go.id. Akses tanggal 28 Oktober 2013.
37
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
Banyak alasan yang melatarbelakangi sebuah norma undang-undang dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi. Di antaranya, bisa disebabkan oleh kurangnya profesionalisme pembentuk undang-undang dan dugaan berbagai kepentingan dengan tukar menukar kepentingan politik (political trade off) dalam pembetukan undang-undang. Di tengah potensi korupsi pada berbagai bidang dan aspek termasuk korupsi kebijakan saat ini terbukti di persidangan dan KPK menyatakan tahun 2012 ada tersangka korupsi dengan jumlah terbanyak di lembaga wakil rakyat, sehingga potensi politik transaksional. C.
PENUTUP
1. Kesimpulan a. Negara hukum berasal dari pengertian rechstaat dan the rule of law. Meskipun keduanya menginginkan adanya perlindungan hak asasi manusia melalui peradilan yang bebas dan tidak memihak, namun memiliki latar belakang sejarah dan pelembagaan yang berbeda. Kebutuhan hukum di Indonesia yang sangat mendesak ialah “to bring justice to the people” (membawa keadilan kepada rakyat). b. Memahami sejarah perjalanan dan perkembangan konstitusi dan fungsinya dalam kehidupan ketatanegaraan, kita akan paham makna hakiki konstitusi di dalam ide konstitusionalisme. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. c. Konstitusi ditempatkan sebagai sumber hukum tertinggi karena dipandang merupakan hasil perjanjian seluruh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Maka, landasan keberlakuan konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah kedaulatan rakyat itu sendiri. Supremasi konstitusi mengharuskan setiap lembaga penyelenggara negara dan segenap warga negara melaksanakan UUD 1945. Terkait dengan eksistensi MK, ada persoalan, yakni adanya beberapa vonis MK yang dinilai melampaui batas kewenangan dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusannya bersifat final dan mengikat. MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai lembaga yang super body sebab dengan selalu berlindung di dalam ketentuan UUD bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini adakalanya membuat putusan-
38
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
putusan yang justru konstitusionalnya.
dapat
dinilai
melampaui
kewenangan
d. Salah satu bentuk nyata pentingnya budaya sadar berkonstitusi bagi pelaksanaan konstitusi adalah terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Pengujian tersebut dilakukan untuk menentukan apakah suatu ketentuan dalam suatu undang-undang, bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Terkait pula dengan hak-hak konstitusional warga negara. 2. Saran a.
Agar pembangunan negara hukum lebih diarahkan pada negara hukum dalam artian yang bersifat materiil, the Rule of Just Law yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar warga negara betul-betul dihormati (to respect), dilindungi (to protect), dan dipenuhi (to fulfill).
b.
Agar rekonstruksi konstitusi makin memperkuat landasan kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) yang merupakan dasar berkenaan dengan negara yang idealkan.
c.
Perlunya dilakukan amandemen UUD dan/atau amandemen atas UU MK yang dapat membatasi kewenangan dan dapat mengontrol MK. Arahnya adalah larangan bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yudikatif.
39
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2011. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Barnett, Hilaire. 2002. Constitutional & Administrative Law. Fourth Edition. LondonSydney: Cavendish Publishing Ltd. Friedrich, Carl J. 1967. Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America. Weldham, Mass: Blaisdell Publishing Company. 5th edition. Irianto, Sulistyo. 1997. Kedudukan Pendekatan Socio-Legal dalam Penelitian Hukum (dari Perspektif Antropologi Hukum), makalah, Jakarta: Fakultas Hukum UI. Mukthie, A. Fadjar. 2013. “Perjuangan untuk Sebuah Negara Hukum yang bermartabat.” Dalam Tim Penulis. Membangun Negara Hukum yang Bermartabat. Malang: Setara Press. -----------. “Hukum yang Berlandaskan UUD Negara RI Tahun 1945” dalam Jurnal Konstitusi. Volume I No.1, November 2012. Malang: Puskasi FH UgamaMKRI. -----------. 2010. 2307 Hari Mengawal Konstitusi. Malang: In-TRANS Publishing. M. Gaffar, Janedjri. 2012. Demokrasi Konstitusional, Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press. Mahfud MD, Moh. et.al. 2010. Constitutional Question, Alternatif Baru Pencarian Keadilan Konstitusional. Malang: Universitas Brawijaya Press. Mangunsong, Parlin M. 1992. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Salah Satu Sarana Perubahan UUD. Bandung: Alumni. Nusantara, Abdul Hakim G. 2005. Menuju Negara Hukum Indonesia: Refleksi Keadaban Publik dan Prospek Transisi Demokrasi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Forum Rektor di Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 2010. Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing. ---------- . 2007. Mendudukkan Undang-undang Dasar (Suatu pembahasan dari optik ilmu hukum umum). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi 2012, www.mahkamahkonstitusi.go.id. Akses tanggal 28 Oktober 2013.
40
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Membangun Negara Hukum (T. Nazaruddin)
Sukriono, Didik. 2013. Hukum, Konstitusi dan Konsep otonomi, Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi. Malang: Setara Press. Saleh, Imam A. 2009. Membenahi Hukum Dari Proklamasi ke Reformasi Urgensi Prolegnas dalam Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: Konstitusi Press. Saleh, Ismail. 1988. Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum. Jakarta: Depkeh RI. Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, MK Putuskan UU SDA Telah Sesuai UUD 1945, ww1.pu.go.id/uploads/berita/ppw1907053gt.htm, akses tanggal 12 Oktober 2013. Tribunnews. com, MK Tolak Uji Formil UU MA., www.tribunnews.com, tanggal 16 Juni 2010. Akses tanggal 30 Oktober 2013. Tahir Azhary, Muhammad. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2004). Thaib, Dahlan, et.al. 2003. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM dan HuMa. Wahyono, Padmo. Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, makalah, September, 1988.
41