Mendaki Harapan
Prolog Keindahan alam negeri ini, tidak seindah kehidupan masyarakat didalamnya. Ia seolah menjadi mimpi buruk bagi mereka-mereka yang hidupnya kurang beruntung, yang tumbuh kembangnya di daerah-daerah terisolir, di kaki-kaki Gunung di negeri ini. Meskipun demikian, tentu ada sebuah kedamaian didalamnya, jauh dari kesombongan dan ketamakan. Standard hidup mereka terbangun dari kedamaian itu sendiri. Disisi lain mereka yang hidup ditengah hiruk pikuk kota, dalam keterpaksaan rutinitas, telah membangkitkan egonya dalam standard hidup yang tinggi, bahkan yang lebih tragis ketika moral yang hidup ditengahnya semakin lama semakin terabaikan, dan kesenjanganpun tidak bisa ditepis. Berbahagialah mereka yang mengenal keduanya, yang telah diberi kesempatan merasakan pekatnya kabut, malam dan angin serta baluran matahari disekujur tubuhnya di dataran tinggi bumi pertiwi ini. Dan dengan keberanian mencari jawaban dari soal-soal hidup yang dibalut ketidakpastian didalamnya, serta tetap melangkah 4
Mendaki Harapan
membangun kesadaran untuk memaknai hidup yang memiliki batas dalam ruang dan waktu. Tulisan sederhana ini, bukanlah tulisan yang mengupas tuntas soal-soal pendakian untuk menjadi profesional. Bukan juga panduan pendidikan dasar pendakian. Tulisan ini, merupakan catatan sederhana yang mencoba melihat sisi lain dari sebuah kisah petualangan yang dialami, serta kegelisahan dari sosok Adi yang menjadi sosok sentris dalam rentetan kisah ini.
5
Mendaki Harapan
1 Persahabatan “Alam bukan saja memberikan kita kedamaian, Ia juga mengajarkan kita tentang arti persahabatan dan hangatnya kebersamaan”
Tepat pukul 22.00, bis berhenti di stasiun terakhir, di salah satu terminal Ibukota. Lampu-lampu jalan yang tersebar menyinari sekeliling. Terlihat aktivitas malam di terminal, moda transportasi berbaris rapi tersusun, pedagang kecil turut mengisi suasana terminal tersebut, orang-orang berlalu lalang dengan aktivitasnya berbedabeda, ada yang berjualan sebagai pedagang asongan, penumpang, hingga para calo yang sibuk menggaet para penumpang. Adi beranjak menuju tempat duduk bagian belakang bus, untuk mengambil carrier1, beberapa bus atau angkutan umum, menyediakan bagian belakang bus, sepertinya sebagai pengganti bagasi bagian samping bus, yang sering kita temui. Tempat duduk penumpang bagian belakang terdiri dari 6 baris kursi, bagian belakangnya terdapat ruang dengan lebar yang berukuran ± 1 meter dan panjang 1,5 meter. 12
Mendaki Harapan
Drama Politik Kaum Hipokrisi yang Tak Kunjung Henti, ia mengulangi. “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” (Bertolt Brecht) Bertolt Brecht adalah salah seorang penyair jerman, penentang keras kediktaktoran rezim Hitler (Nazi). Dewasa ini, ada fenomena baru dikalangan generasi muda, sebuah slogan, mungkin. Para generasi muda khususnya mereka yang mengecap pendidikan diperguruan tinggi di berbagai kota besar Indonesia, oleh mereka banyak sudah wadah-wadah, organisasi, kelompok, atau komunitas diluar kampus (ekstra kampus) dibangun. 78
Mendaki Harapan
Kelompok-kelompok tersebut dibangun dengan berbagai latar belakang yang berbeda, entah itu kelompok kedaerahan, keagamaan, kekeluargaan, ataupun kesukuan dan sebagainya. Didalam kelompok-kelompok kecil tersebut, tidak begitu banyak mahasiswa yang terlibat. Mereka yang terlibat, tentu juga dipengaruhi oleh berbagai banyak hal. Namun, kondisi tersebut merupakan suatu
79
Mendaki Harapan
7 Akhir Sebagai Awal “Akhir kisah”
merupakan
awal
dari
sebuah
Akhir dari sebuah perjalanan merupakan batas ruang dan waktu untuk kemudian kembali mengawali kisah yang tertuang didalamnya. Ia menjadi awal dari sebuah cerita yang berakhir. Dan darinya kita semua memiliki peluang untuk menjadi pribadi yang baru dari sebuah kisah terukir. Karena esensi dari petualangan itu sendiri bijak adanya. Dihutan yang sama dengan cerita yang berbeda. Ruang kebersamaan akan selalu ada, namun waktu dan isinya akan terukir dalam kisah yang berbeda. Ia selalu meninggalkan jejak keakraban, mempertemukan kita pada hal-hal baru disetiap langkahnya. Memang waktu petualangan seolah berlalu begitu cepat, namun ia menyisakan kenangan yang bisa kita ciptakan selama yang kita inginkan. Kenangan tentu tidak akan menjadi hal usang, jika kita selalu membuatnya menjadi bagian dalam hidup kita, dan selalu menghidupkannya. 191