Prolog: Senja Ambon, 2000 Bocah itu terkejut. Tiba-tiba, suara ledakan keras terdengar tak jauh dari arah belakangnya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Berkali-kali. Ia tak sanggup menghitungnya. Saat ia menoleh, tampak asap hitam mengepul di udara mengganggu penglihatan. Itu ledakan bom rakitan. Bocah berkulit putih itu terperanjat ketika melihat beberapa orang berusaha keluar dari kubangan asap. Mereka terluka, badan mereka bersimbah darah. Suasana
kampung
itu
berubah.
Orang-orang
berhamburan tak tentu arah. Mereka saling kejar, saling pukul, dan saling melukai. Seorang wanita datang tergopoh-gopoh. Kerudung di kepalanya sudah tak berbentuk. Wajahnya cemas penuh ketakutan. Ia segera menggendong bocah itu dan pergi menjauh secepatnya dari tempat tersebut. Tiba-tiba, dari arah belakang, seorang pria bertopeng mengejarnya. Wanita berkulit gelap itu semakin ketakutan. Ia kewalahan berlari sambil menggendong anak. Sang pria yang mengejarnya mendekat dan langsung menarik
keras
kerudungnya 1
hingga
ia
kehilangan
keseimbangan. Ia dan anak yang ada di gendongannya jatuh tersungkur menghantam tanah. Jilbabnya terlepas. Makhluk bengis itu kemudian langsung menarik rambut dan menyeret tubuh wanita tersebut dan membuatnya meronta kesakitan. Namun, entah ada keberanian dari mana, wanita itu mengambil sebongkah batu di sampingnya dan langsung menghantamkan ke wajah pria bengis bertopeng itu. Topengnya terlepas, wajah sangarnya tampak lebam dan berdarah. Ia meringis kesakitan. Emosinya memuncak. Tanpa berpikir panjang, pria bengis itu mengeluarkan sebilah parang dan langsung menebas leher wanita itu. Darah segar memancar dengan deras. Tanpa rasa bersalah, pria biadab itu langsung pergi meninggalkan wanita beranak satu yang tinggal jasad itu. Sepasang mata mungil menjadi saksi haru biru tragedi kelam itu. Bumi seakan berhenti berputar ketika si bocah kecil itu harus menerima kenyataan pahit. Ibu, jangan pergi! Lalu mega di langit Ambon pun semakin merah, burungburung kembali ke sangkarnya, matahari mulai terbenam dan hari akan segera redup.[]
2
1. Jakarta Pagi Ini Ia hanya berharap negeri ini tak mau menolak perubahan... Jakarta, 2011 Televisi di sudut ruangan berdinding biru cerah itu masih menyala sejak semalam. Suara lagu bergenre blues dan rock melantun dari speaker-nya, menciptakan suasana hangat di pagi yang mendung ini. Pagi dingin 'gak ada sinar mentari Dan langit pun terlihat gelap Mendung datang lagi Dan aku berdiri di atas gedung yang tinggi Memandang ramainya Jakarta Menyambut pagi ini Tembang dari band terkenal itu mampu menyihir pagi ini. Seakan kasihan dan tak mau menerima lirik lagu tersebut, perlahan-lahan awan kelabu di langit Jakarta memecah diri menjadi titik-titik putih tak menentu. Suasana kota pun turut menikmati irama hangat pagi ini. Rayyan Al-Makky masih terlelap di atas pembaringan. Sinar mentari pagi sayup-sayup memasuki jendela apartemen mewah itu, membangunkan pemuda tersebut dari mimpi indahnya. Aku di sini... sendiri 3
Aku di sini... oh sepi Mengapa aku di sini Jakarta pagi ini Pagi sunyi 'gak ada burung bernyanyi Putih embun pun kini telah terkontaminasi Aku seperti terbang 'gak memijak bumi Di antara merahnya emosi Jakarta yang semakin ternodai Lagu Slank masih terus berirama. Pemuda yang lebih dikenal dengan nama Ray Makky itu bangkit dari pembaringannya dan berdiri di depan jendela kamarnya. Posturnya terlihat tinggi, tubuhnya berisi tapi cenderung kurus, rambut lurusnya dibiarkan panjang melewati alis. Seperti kebiasaannya setiap pagi, Mata cokelatnya akan mengintip setiap lekuk aktivitas pagi ibu kota Indonesia ini lewat sebuah teropong yang telah disiapkan di samping jendela. Apartemennya, yang berada di lantai teratas, membuat matanya leluasa memandang luasnya Kota Jakarta. Pemuda itu sangat suka dengan ketinggian. Cahaya perak mentari memantul-mantul dari kaca gedung-gedung yang menjulang tinggi. Kendaraan-kendaraan telah memenuhi setiap ruas jalan. Sepagi ini, Jakarta sudah macet. Suara hatinya berkata; Inikah kota yang disebut metropolitan? 4
Oh, Jakarta, kota sejuta mimpi, tempat orang-orang mengadu nasib, tempat para pengemis, orang-orang mapan, serta tempat bernaung para pemimpin negeri ini. Kota ini menjadi tumpuan harapan, mesin pencetak uang, dan alat penyambung kehidupan. Lihatlah di bawah sana, seorang anak kecil sedang memangku setumpuk koran sambil menunggu lampu lalu lintas berwarna merah. Dari raut wajahnya, tampak sebuah harapan besar yang tak jelas mau dibawa ke mana. Jika lampu berwarna merah, segera ia tawarkan koran dari mobil ke mobil, motor ke motor. Anak-anak seperti itu bukan hanya satu atau dua di kota besar ini, melainkan masih banyak lagi. Pekerjaan mereka bermacam-macam, dari loper koran, pengamen, pengemis, sampai ada yang menjadi copet. Mata yang memandang dari balik teropong di jendela apartemen itu seperti kaku, terasa seperti memutar waktu. Ada garis sejarah yang hilang dari raut wajahnya. Mungkin dilupakan atau mungkin juga disembunyikan. Rasa miris dalam hatinya serta sedih atas nasib anak jalanan yang tak tahu tanggung jawab siapa. Terkadang ia risi kepada pemilik mobil mewah yang melintas di depan mereka. Mobil-mobil itu hanya melaju tak acuh dan sama sekali tidak menghiraukan anakanak tersebut. 5
Inilah Ibu Kota, yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri. Mungkin hampir semua orang yang berlalu-lalang di setiap sudut Kota Jakarta prioritasnya adalah uang. Uang memang bukan segalanya, tapi dengan uang orang bisa bertahan hidup. Hal unik yang terjadi di kota ini, hampir setiap tahun semakin banyak saja orang kaya, tapi semakin banyak juga orang miskin. Jika kau datang ke kota ini, kau akan merasa seperti
di
dunia
dongeng.
Bangunan-bangunan
yang
menjulang tinggi bagaikan istana megah yang dihuni para raja. Sementara di balik istana itu ada permukiman rakyat jelata yang selalu menumpuk harapan kepada para raja. Namun yang terjadi di dongeng ini, para raja sangat kejam dan hanya mementingkan diri sendiri sehingga rakyat jelata semakin melarat.
Para
raja
semakin
menumpuk
kekayaannya,
sementara para rakyat semakin susah mencari nafkah. Itu bukan khayalan, melainkan realitas yang terjadi di kota ini. Dan, Jakarta adalah gambaran besar negeri ini. Pemuda itu merasa serba salah. Apakah ia termasuk raja yang kejam itu? Sementara itu, di televisi, acara telah berganti menjadi berita pagi yang mengabarkan tentang suhu politik negeri ini yang semakin bergejolak. Para orang yang “pintar” semakin banyak yang ingin merebut kursi kekuasaan. Mereka 6
berlomba-lomba merebut suara rakyat dengan menebar janjijanji manis. Tapi nyatanya, semua hanyalah dongeng sebelum tidur. Mereka mengaku merakyat, nyatanya menyengsarakan rakyat. Rayyan tak peduli terhadap keadaan politik saat ini. Bagi dia, dari dulu sampai sekarang bangsa Indonesia hanya menjadi kelinci percobaan politik kotor yang selalu gagal. Sebab, pada akhirnya rakyat selalu menjadi korban. Para penguasa semakin kaya, sementara rakyat semakin sengsara. Penguasa dan pengusaha sulit dibedakan di negeri ini. Hampir semua penguasa merupakan pengusaha, dan hampir semua pengusaha ingin menjadi penguasa. Dan akhirnya, politik negeri ini hanya menjadi ladang bisnis menggiurkan dengan modal yang sedikit dan untung yang berlimpah. Rakyat jelata hanya menjadi budak untuk menguasai negeri ini. *** Suara dering ponsel membuyarkan lamunan pemuda itu. Dia bergegas mencari arah suara ponselnya. Ada sebuah pesan singkat masuk. “Ray, bersiap diri. Pagi ini, jam 09.50 lo diundang jadi bintang tamu acara talk show di SMTV. Sebentar lagi dijemput Pak Roni.” Wajah Rayyan berkerut. Ia langsung menelepon nomor 7
pengirim pesan itu. “Halo... Mbak Dea, hari ini kan waktu gue kosong,” “Iya, Ray, tapi ini mendadak. Maaf, Ray, tapi acara ini dijamin seru, bakalan banyak bintang tamu. Dan salah satunya lo. Lo harus hadir lah. Gue udah telanjur mengiyakan.” jawab suara dari seberang telepon. “Iya, iya... ya udah gue hadir,” balas Ray kesal, sambil memutus telepon. Ray kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kamarnya. Ia masih kesal kepada Mbak Dea, manajernya. Padahal semalam Mbak Dea mengatakan hari ini waktunya kosong, tidak ada kegiatan. Tapi ternyata Ray harus kembali berkegiatan, sementara rasa lelahnya setelah semalaman nonstop mengisi sebuah acara belum juga sirna. Pesta
Halloween
semalam
saja
sudah
menguras
tenaganya. Pesta yang identik dengan labu itu berlangsung semalam suntuk dan hanya meninggalkan rasa pegal dan lelah di tubuh Ray. Pesta hantu itu dihadiri ratusan anak muda dengan kostum menyeramkan. Budaya Barat itu memang telah masuk ke Indonesia. Tradisi yang dirayakan pada malam 31 Oktober itu berasal dari Irlandia dan dibawa oleh orang Irlandia yang beremigrasi ke Amerika. Dulunya Halloween dirayakan oleh anak-anak dengan memakai kostum seram dan berkeliling dari pintu ke 8
pintu rumah tetangga untuk meminta permen dan cokelat sambil berkata, “Trick or treat!” Ucapan tersebut semacam ancaman yang berarti, “Beri kami (permen) atau kami jahili.” Saat ini, tradisi Halloween telah tersebar ke seluruh dunia dengan bermacam-macam gaya perayaan, termasuk Indonesia. Di negeri ini, ada segelintir anak muda yang merayakannya. Halloween menjadi semacam ajang romantis dan momen berkumpulnya sejoli sambil berkostum hantu. Biasanya, Halloween dirayakan di beberapa mal dan hotel di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta. Anak muda Indonesia memang sangat gampang menerima dan meniru budaya dan gaya hidup dari luar. Hal ini sangat jelas terlihat dari gaya hidup mereka. Seiring waktu, budaya asli Indonesia semakin hilang ditelan budaya baru yang modern. Terlihat jelas dari cara berpakaian dan bertutur mereka. Dan Ray, pemuda yang sedang berbaring di kasur itu, termasuk satu di antara anak muda yang hanyut dalam budaya Barat. Dua tahun terakhir ini, ia telah menjadi idola ternama di Indonesia, sebagai seorang artis multitalenta. Setiap remaja wanita pasti tahu siapa dia, suaranya, wajahnya, dan aktingnya di beberapa film dan sinetron. Rayyan bangkit dari ranjangnya, ia mengambil bungkus rokok dan sebuah korek api gas di atas meja. Lantas ia segera 9
mengeluarkan
sebatang
rokok
dari
bungkusnya
dan
menempelkan puntungnya di bibir merahnya. Ia mengisap perlahan saat api membakar ujung rokok itu. Saat ia membuka mulut, asap mengepul keluar berbentuk tak menentu. Perasaannya lega setelah menyumbang polusi untuk udara pagi ini. Sementara di luar, Jakarta semakin ramai, jalan semakin macet dan kabut putih kian menyelimuti setiap gedung yang menjulang tinggi di atas tanah Ibu Kota. Polusi. Semoga saja masih ada harapan untuk negeri ini.[]
10