Senja Bertasbih
1 Al Farabi
“Arabi...!” Desah suara panggilan itu terdengar tak jauh dariku, aku mulai bangkit mencari arah suara yang memanggilku, sehingga kakiku melangkah sambil pandangan mataku mencari asal suara. Ternyata suara itu terdering dari bibir gadis cantik dari balik pohon yang rindang. Saat aku menatapnya, gadis itu memanggil namaku kembali. “Arabi, cepat ke sini.” “Tunggu sebentar,” jawabku singkat, langsung saja aku melangkah menuju ke tempat Vega yang sedang duduk di kursi bawah pohon beringin, dengan tiupan angin semilir menambah kesejukan, baik tubuhku maupun sekitarku yang saat ini akan berbicara berdua bersama Vega. Sesampai di dekat Vega aku bertanya dengan lemah lembut. Tapi, sebelum sempat kukeluarkan kata-kata, Vega memberiku senyum yang terasa manis melebihi manisnya madu, aku pun membalas dengan senyum juga. 1
Rahadian Alfarizi Al Fiqri
“Ada apa memanggilku, Ga?” Suaraku pelan namun penuh wibawa yang selalu dijadikan kata pujian oleh Vega yang sudah kukenal sejak kelas satu madrasah aliyah. Suaranya memang mampu menggetarkan hatiku. Kalau seandainya Allah Swt tidak mengokohkan urat jantung di dadaku mungkin satu desah suara Vega yang terdengar mampu membuatku roboh karena tak mampu menahan suara saktinya yang sekarang setiap hari kudengar. “Duduk dulu, entar Vega omongin.” Tanpa banyak kata aku pun duduk di satu kursi yang tidak jauh, kira-kira satu meter. Walaupun hanya sejarak semeter saja jantungku dibuatnya berdegup kencang seperti baru berlari jarak pendek dengan kekuatan maksimal, sungguh menggetarkan. Untung suara angin yang datang menerpa daun pohon dan tubuhku sehingga suara detak jantungku cuma sekilas khayalan saja. Vega Ariani. Itulah nama lengkapnya. Hampir sama dengan temanku yang juga satu kelas denganku yang wajahnya hampir mirip dengan Vega. Kalau mereka berdua berjalan, banyak yang bilang kalau mereka kembar. Temanku tersebut bernama Eji Ariani. Nama di belakang, yaitu Ariani yang membuat orang kadang nggak percaya kalau mereka nggak ada hubungan darah. Cuma takdir yang membuat dua temanku memiliki nama akhir yang sama. Vega dan Eji memiliki kulit yang sama, wajah yang hampir sama, tapi yang paling membuat beda hanya suara dan gerak tubuh mereka. Yang sekarang ada di dekatku bernama Vega Ariani yang wajahnya menurutku lebih cantik daripada 2
Senja Bertasbih
tokoh Aisyah dalam film “Ayat-Ayat Cinta”. Dia seorang gadis cerdas, fasih bahasa Arab sama bahasa Inggris. Kalau bahasa Jerman dan Spanyol masih kayak anak SD, tapi masih mendingan dia mempunyai kemampuan memahami bahasa asing. Wajahnya bagiku sangat cantik karena di sekolah dia dijuluki bidadari yang pertama. Sebab yang kedua bernama Fitri yang merupakan saudaraku dan yang ketiga Eji Ariani yang hampir kembar sama Vega. Satu hal yang paling kusuka dari Vega selain ia bisa diajak berbicara berbagai bahasa. Paling suka kalau diajak membicarakan soal ilmu agama Islam. Apa saja, bukan hanya satu ilmu, bahkan aku sendiri sampai kewalahan untuk menjawab puluhan pertanyaan kalau di waktu jam istirahat. Pernah aku diajak untuk mengobrol masalah fikih perempuan. Aku dibuat grogi dan juga nggak enak kalau rahasia pribadi perempuan dibicarakan secara terbuka. Tapi, Vega seperti seorang pejalan padang pasir, selalu haus untuk mendapatkan sesuatu untuk menghilangkan dahaganya. Kalau dia nggak merasa keberatan untuk mendengar jawabanku, maka dengan penuh perhatian ia mendengarkan, sedang aku berusaha menjawab sesuai ilmu fikih empat mazhab dan aku pun harus menambahkan dalil dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, atsaratsar para sahabat, bahkan nama kitab-kitab yang membahas masalah yang ditanyakan Vega. Lamunanku terhenyak saat Vega mulai memandangku dengan tatapan penasaran apa yang kupikirkan. Ia tersenyum memandangku yang baru tersadar dari melamun. 3
Rahadian Alfarizi Al Fiqri
“Arabi, boleh nggak Vega nanya?” “Boleh, nanya apa?” jawabku pelan, seraya menyeimbangkan tubuhku dari suara Vega yang mendebarkan jantungku. Kakiku pun terasa gemetar sehingga kuhentakkan di tanah biar tidak kesemutan. Kalau sampai kesemutan hanya karena duduk berdua dengan seorang gadis bisa-bisa aku jadi bahan tertawaan iblis dan setan yang mengelilingiku. “Sebenarnya Arabi sayang nggak sama Vega?” Terasa petir berkumandang saat kudengar pertanyaan Vega. Sumpah deh, baru sekali ini Vega bertanya hal ini, dan untuk pertama kali sehingga jantungku bertambah bergetar dan napasku agak cepat hanya mendengar kata yang keluar dari bibir mungil Vega yang mampu membuat kedua mataku terasa lapar untuk terus memandang. “Arabi, kok diam. Memang salah ya kalau Vega nanya hal itu sama Arabi? Apa pertanyaan Vega terasa seperti palu yang menghantam tubuhmu sehingga Arabi diam nggak nanggapin ucapan Vega?” “Kenapa Vega nanya hal itu? Perasaan selama ini antara kita biasa aja. Bener nggak?” Jawabanku yang kususun agak berlepotan sebab keluar tanpa terkontrol, apalagi karena ucapan Vega yang membuat keringat dingin keluar dari sekujur tubuhku, dan lagi terasa kakiku agak linu mungkin akan kesemutan. Gawat, hanya gara-gara cewek ngomong gini aku sudah terasa setengah mati kaku. Apalagi kalau cewek sempat memelukku dan mengatakan cinta lewat bibirnya dekat dengan telingaku mungkin aku bisa pingsan dengan sejuta 4
Senja Bertasbih
rasa malu. Sebab selama ini aku nggak pernah pacaran dan juga cewek yang paling dekat dan agak lengket cuma Fitri, anak Abah Ibrahim yang sudah seperti saudaraku. “Arabi....” Lamunanku buyar semua, hanya dengan suara Vega. Aku tersenyum saat mendengar Vega memanggilku. Dia juga membalas senyumku dengan dua kali lebih manis. Ada lagi yang mungkin nggak akan lupa kalau Vega selain memanggilku dengan nama Aditya atau Al Farabi, dia juga memanggilku dengan panggilan Arabi. Yang hampir mirip tapi sangat berbeda. “Ada apa, Ga?” “Kok bingung, nggak dijawab pertanyaan Vega. Memang ada yang salah dengan pertanyaan tadi? Atau Arabi nggak mau jawab, atau memang Arabi nggak sayang sama Vega? Kalau memang tiada rasa kasih dan sayang di hati Arabi, mendingan Vega pulang, kalau Arabi nggak mau dengerin isi hati Vega, dan rasanya nggak ada guna Vega banyak bicara,” kata Vega dengan wajah agak muram dan pandangan matanya mengarah ke barisan pohon cemara yang kira-kira berjarak dua puluh lima meter dari tempat aku duduk berdua bersamanya. Kulihat wajahnya lagi dan sekali-kali kucuri pandang tepat di matanya, tetapi dia tetap tidak senyum lagi. Gawat, rasanya jadi begini kalau perempuan ngambek, wajah yang bersinar bisa redup dalam hitungan detik. Apa ini salah satu sifat perempuan yang mudah ngambek jika keinginannya tidak terpenuhi? Aku lalu berpikir sejenak untuk mengatasi situasi yang sekarang kuhadapi. 5
Rahadian Alfarizi Al Fiqri
“Entar aja pulangnya, gitu aja ngambek. Jangan nangis, nanti luntur lo cantiknya karena malu sama air matamu yang merayu.” “Emangnya Vega anak kecil yang mudah nangis? Kalau nangis pun itu karena Arabi.” “Mau dijawab nggak pertanyaan tadi?” “Jelas mau, Vega masih nunggu.” Jawaban Vega serentak membuatku agak kaget. Dan saat kupandangi wajahnya terasa awan kelabu menyingkir dari wajahnya hanya dengan satu kalimat saja. Pikirku jadi begini sifat cewek yang mudah ngambek juga mudah ceria kalau keinginan yang selalu dinanti akan tiba. Kuberi satu senyum seraya kedua mata dan alisku kunaik-turunkan serta sedikit tawa keluar dari bibirku. Dia pun membalas senyumku dengan perasaan malu, lalu menundukkan pandangan mata serta mengalihkan pandangannya ke arah pohon cemara yang bergoyang ditendang angin yang berlari. Aku mulai memikirkan kata apa yang pantas dan cocok untuk kutarikan lewat suara yang akan terdengar di telinga Vega, dan Vega bisa memahami maksud ucapanku. Setelah kupikirkan dengan penuh pertimbangan dengan waktu yang hanya beberapa detik, akhirnya kukatakan seraya wajahku menatap pohon cemara seperti yang ia lakukan. “Aku sendiri bingung harus jawab apa, tapi yang penting di antara kita tidak tertanam benih permusuhan dan di antara kita tidak pernah ada saling menyakiti dan juga tak pernah ada dendam. Di dalam hatiku ada rasa kasih sayang kepadamu. Entah seperti apa rasa kasih sayang itu karena sulit untuk dilukiskan lewat kata-kata. Dan Vega juga 6
Senja Bertasbih
sudah memahami selama ini bahwa antara kita ada saling menghormati, menjaga privasi masing-masing, dan tidak ada saling membuka rahasia. Mungkin rasa sayang yang Vega minta dari Arabi sudah Vega rasakan dan sudah dapat Vega temukan buktinya. Aku sayang kamu, seperti aku menyayangi diriku sendiri dan aku yakin Vega juga menyayangi Arabi seperti Vega menyayangi diri Vega sendiri. Sudah jelas kan pertanyaan yang Vega tanyakan? Apa jawaban Arabi ini kurang memuaskan atau kurang tepat?” “Emmzz... jadi bener Arabi sayang sama Vega seperti Vega sayang sama Arabi? Kalau cinta gimana?” “Maksudnya?” tanyaku seraya wajahku menatap wajah Vega yang masih melihat pohon cemara. Dengan rasa kaget juga degup jantungku, apalagi kakiku sudah kesemutan karena saat aku injakkan ke tanah terasa tertusuk seribu jarum. Seraya menginjakkan kaki berulang kali aku terus berusaha mengharap bisa menatap wajah Vega karena ingin melihat ekspresi wajahnya. Yang kutunggu akhirnya datang juga, Vega menolehkan wajahnya menghadap wajahku sehingga kedua mataku menatap dua matanya yang kurasakan ia masuk ke tubuhku dan menelanjangi semua apa yang ada di hatiku. Rasa tak percaya timbul di hatiku, apa Vega jatuh cinta kepadaku atau dia ingin mengujiku ataupun ia ingin menipuku. Tatapan matanya masih melekat di kedua mataku sehingga ada desiran darah yang mengalir cepat ke seluruh tubuh lebih cepat dari tadi dan hal ini membuat badanku terasa panas dingin serta terasa seluruh persendianku linu, 7
Rahadian Alfarizi Al Fiqri
bukan karena sakit tapi karena getaran yang kudapat dari Vega. Lalu Vega tersenyum dengan mengembangkan kedua bibir atasnya sampai terlihat deretan mutiara yang berbaris di balik bibirnya yang mungil, ia seperti mempermainkanku, tatapan matanya pergi dari wajahku dengan tertunduk. “Apa Arabi punya perasaan cinta untuk Vega?” Pertanyaan ini bagai ribuan petir yang menghantam telingaku dan hampir merobohkan hatiku, untung saja aku dapat menguasai diri. Sedangkan Vega diam setelah mengucapkan kata tersebut. Aku lalu berdiri untuk meluruskan kaki dan juga untuk menyembuhkan persendian di tubuhku serta untuk mengonsentrasikan pikiranku yang mulai berkecamuk. Sesudah mendingan, aku duduk kembali, kumasukkan jari tanganku kiri ke tangan kanan, lalu kugerakkan sehingga terdengar seperti tulang jari tanganku patah. Kuhela napas sedalam mungkin lalu kukeluarkan agar peredaran darah di dalam tubuhku normal sehingga konsentrasiku terpusat untuk menjawab pertanyaan Vega yang tak pernah kusangka akan dikeluarkan seperti senapan yang ditodongkan ke arah jantungku. Seperti pertanyaan ingin mati atau hidup, mana yang harus kupilih. “Pertanyaanmu sungguh keterlaluan, buat aku pusing mikirin. Memang aku harus menjawab pertanyaanmu yang belum layak untuk ditanyakan dan belum layak untuk dijawab?” “Apa Arabi nggak sayang sama Vega?” pertanyaan yang pertama diulang. “Arabi sayang sama Vega.” 8
Senja Bertasbih
“Bener?” ucap Vega seraya tersenyum. Aku hanya mengangguk saja tanpa menoleh. “Bener, apa rayuan gombal?” “Vega nggak percaya sama Arabi!” “Sedikit,” ucap Vega dengan bibir agak cemberut, entah apa yang dipikirkannya. Aku berusaha menebak, mungkin ia akan meminta jawaban atas pertanyaan keduanya. Dia memandang langit seraya mengambil napas panjang seraya menutup kedua matanya lalu mengembuskan perlahan. Aku tahu kalau Vega mulai mencari akal entah apa. Kurasa aku akan dibombardir lagi dengan pertanyaan yang tadi belum kujawab yang sudah membuat aku tiarap untuk mengumpulkan tenaga agar bisa berdiri. “Kalau cinta, gimana?” Terasa suara petir kembali menghantamku. Aku agak bingung harus bagaimana, karena aku sendiri belum tahu apa arti cinta yang sebenarnya. Cara mencintai dan juga membuktikan cinta yang memang sangat mudah untuk diucapkan. Tanpa banyak pikir aku pun menjawab sebisaku asal argumenku tepat dan bisa membuat aku tidak dipandang sebagai lelaki yang penakut dan lelaki yang plin-plan nggak tentu. “Kalau cinta, Arabi nggak tahu karena cinta memang mudah untuk diucapkan, sulit dilukiskan dan perlu dibuktikan. Arabi nggak tahu seberapa besar kasih dan sayang yang sudah Arabi berikan, kalau cinta pun Arabi tidak tahu sebesar apa. Bagaimana Arabi harus membuktikan kalau ada cinta dan pengorbanan seperti apa yang harus Arabi pertaruhkan?” 9
Rahadian Alfarizi Al Fiqri
“Apa Arabi nggak pernah merasa ingin selalu dekat sama Vega, selalu bisa bercanda, bisa selalu bersama untuk saling berbagi?” Aku hanya mengangguk saja. “Itulah tanda kalau Arabi punya cinta untuk Vega, rasa ingin selalu dekat, selalu bersama, selalu ingin melindungi, dan juga selalu ingin memberi perhatian. Itu saja sudah cukup bagi Vega sebagai bukti kalau Arabi cinta sama Vega. Apa Arabi tidak pernah merasa kesepian kalau suatu waktu tidak melihat Vega?” “Entahlah,” jawabanku ini asal-asalan, asal nyeplos saja. Aku tak melihat reaksi Vega karena aku mengangkat badanku dari kursi untuk melangkah beberapa langkah ke depan biar kakiku tidak kesemutan lagi. Aku tak pedulikan Vega, entah apa yang dia lakukan di belakangku. Tapi aku mendengar ucapannya. “Kok gitu, Arabi nggak cinta sama Vega, Arabi jahat.” Aku dengar isak tangisnya di belakangku. Aku tak menyangka kalau jawabanku tadi membuat ia sedih dan isak tangisnya terasa menancap ke ulu hatiku bagai pisau belati yang menggores terasa perih, baru kali ini aku merasakan hal ini. Lalu aku membalikkan badan melangkah menemui Vega yang sekarang ada di depanku, ia masih menutupkan kedua tangan ke wajahnya seraya suara isak tangisnya sedikit terdengar. “Vega...!” desahku pelan dengan suara lembut agar dia membuka wajahnya. Tapi ia tetap tidak peduli dengan panggilanku, sehingga kuulangi lagi panggilanku untuk kedua kalinya, tetap saja ia tidak memedulikanku lagi. 10