AMBIVALENSI KOTA DEMOKRASI DALAM FILSAFAT POLITIK AL FARABI STUDI KRITIS MADINAH AL FADHILAH AL FARABI Mohammad Yasin
Mahasiswa Program Islamic Philosophy Pasca Sarjana IC-London in Corporation with Universitas Paramadina Jakarta Email:
[email protected]
ABSTRACT It is fashionable nowadays to be democratic; prompted by the desire to portray Islam as a modern ideology and a progressive government system, they have interpreted Islamic political and juridical theory in democratic terms. In short, some people assumed that democracy is the only good government system. But, in few centuries ago, al-Faraby criticized democracy as a bad government system. Al Farabi said democracy is a good system between bad systems, he proposed “the prime city (Madinah alFadlilah)” system. The prime city is the post democracy system, giving direction to the people to achieve ‘highest happiness’. But in other hand Al Farabi said that democracy possible to grow up men of excellent, more civilized, more populated, more productive and more perfect. It is also possible to glean from it certain parts of the virtuous city. Thus it may include philosophers, rhetoricians, and poets dealing with all kinds of things. Al Farabi seems to tell us that democracy is the most favourable for the founding of a Virtuous city. Al Farabi never tell us how the virtuous city may arise from the city of pigs; but
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
57
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
he tells us how we may glean the various city from democracy. Al Farabi mentioned that democracy is bad system, but he also said that a virtuous city can rise from democracy city. According to me, Al Farabi inconsistent on his theory of democracy and it open to be criticized. This article will explain the Al Farabi’s theory of democracy deeply and criticize it. Keywords: Democracy, City, State, and Madinah-al-Fadhilah,
Pendahuluan Topik tentang demokrasi merupakan tema yang penting didiskusikan, terlebih di semua Negara telah mengklaim bahwa negaranya adalah Negara demokratis. Tidak terkecuali negaranegara berkembang di belahan Asia terutama Negara-Negara Muslim yang gencar menyuarakan bahwa Islam sebagai ideologi modern dan menganut paham progresif lewat para pemikir Muslim yang berlomba menafsirkan kembali teori politik dan paham keagamaan Islam ke dalam istilah-istilah demokrasi. Padahal konsep tentang demokrasi pada beberapa abad silam telah menuai kritik pedas dari seorang Filosof politik Muslim bernama Al Farabi. Al-Farabi mengkritik sistem pemerintahan demokrasi dan meletakkan sistem demokrasi termasuk kategori Negara jahiliyah, demokrasi hanya terbaik diantara sistem-sistem pemerintahan jahiliyah yang ada. Al Farabi kemudian mengusulkan madinah al fadhilah atau kota utama sebagai sistem pemerintahan terbaik. Gagasan Al Farabi ini sebagaimana dtuangkan dalam karya-karya penting filsafat politiknya di antaranya, Al Siyasah Al Madaniyah, dan Mabadi Ara Ahlu Al Madinah Al Fadhilah.1 Penulis sangat tertarik dengan konsep Negara demokrasi Al Farabi dan mencoba melakukan analisis secara kritis terhadap bangunan teori politik Al Farabi terutama yang berkaitan dengan tema demokrasi. Apalagi Al Farabi meletakkan demokrasi sebagai Negara jahiliyah. Sementara faktanya saat ini demokrasi dengan segala perkembangannya telah menyita perhatian dunia dan H zainal Abidin Ahmad, Negara utama; Madinatul Fadhilah (Jakarta: PT. Kinta, 1968), hal. 41-43. 1
58a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
bahkan memungkinkan menjadi sistem Negara yang paling baik. Saat ini Negara-Negara saling klaim bahwa negaranya sebagai Negara demokrasi seperti Negara-Negara di belahan Barat Eropa dan Amerika Utara, Negara-Negara berkambang, dan terbaru adalah Negara-Negara di Timur Tengah.
Biografi Singkat Al Farabi Al Farabi tidak menuliskan riwayat hidupnya, dan tidak ada seseorang di antara para pengikutnya yang merekam kehidupannya. Biografi al-Farabi secara lebih panjang dipaparkan oleh biographer Ibn Khallikan dalam karyanya Wafayat al A’yan,.2 Paling tidak kehidupan al Farabi dapat dipaparkan menjadi dua periode, pertama, kehidupannya sejak lahir hingga berusia lima puluh tahun, masa ini adalah masa dimana al Farabi memulai karir intelektualnya. Kedua, masa tua kehidupan al-Farabi yaitu saat al Farabi berumur lima puluh tahun, pada masa ini al Farabi telah mengalami kematangan dan membentuk karakteristik filsafatnya. Al Farabi bernama lengkap Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn al-Uzlagh al Farabi lahir di Wasij di Distrik Farab (yang juga dikenal dengan nama Utrar) di Transoxiana (sekarang Uzbekistan), pada tahun (257 H / 870 M.), dan wafat di Damaskus pada tahun (337 H/950 M.)3 Dalam sumber-sumber Islam dia lebih akrab dikenal dengan Abu Nashr, wakil terkemuka kedua dari madzhab filsafat paripatetik (masy sya’i) muslim setelah al-Kindi (185-260 H. / 801-873 M).4 Sementara dalam teks-teks latin di abad pertengahan, al Farabi dikenal dengan nama al-Pharabius atau Avennasr.5 Sebutan al Farabi sendiri diambil dari kata tempat di mana dia dilahirkan, yaitu Farab.6 Dalam karir intelektualnya al Farabi tidak hanya Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>” dalam M. M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publication, 1961), hlm. 450. 3 Yamani, Filsafat Politik Islam; Antara dan Khomeini (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 51. 4 Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 26. 5 M. Nastsir Arsyad, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 98. 6 Farab disebut juga dengan Utrar, dahulu termasuk wilayah Iran, 2
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
59
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
mendapat gelar sebagai komentator Aristoteles, tetapi juga bergelar sebagai mu’alim al-tsa>ni (guru kedua).7 Para biographer seperti Said Ibn Said (w. 1070 M.), Ibn al-Nadim (w. 990) dan Abi Usaibah mengungkapkan bahwa ayah al Farabi adalah penduduk asli Iran yang menikah dengan seorang wanita dari Turkestan, ayahnya adalah seorang perwira di Turkestan.8 Beberapa sumber menyebutkan bahwa ayah al Farabi adalah seorang opsir tentara keturunan Persia, namun keluarganya dianggap sebagai orang Turki.9 Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi militer di kalangan dinas ketentaraan Dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi yang memperoleh kekuasaan otonom dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah sejak tahun 260 H/ 874-999 M.10 Uraian di atas membuktikan bahwa latar belakang keluarga al Farabi adalah sebagai seorang keturunan bangsawan yang terhormat dan memiliki kekayaan. Maka bisa dipastikan bahwa kehidupan al Farabi memiliki kemudahan fasilitas untuk memenuhi apa yang diinginkan dalam kehidupannya. Masa kecil dan remaja al Farabi dijalani di kota dimana dia dilahirkan yaitu Farab, sebuah kota yang sebagian penduduknya mengikuti madzhab Syafi’i, dari situ al Farabi belajar berbagai ilmu tentang bahasa termasuk juga aritmatika dan ilmu tentang al-Qur’an.11 Selanjutnya al Farabi pindah ke Damaskus dan kemudian pindah ke Baghdad yang pada masa itu menjadi pusat ilmu pengetahuan akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republuk Uzbekistan dalam daerah Turkestan Rusia. Lihat Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 81. 7 M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (India: Adam Publisher, 1994), hlm. 75. 8 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 81. Lihat Juga Majid Fakhry, Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism: His Life, Work and Influence (Oxford: Oneworld, 2002), hlm. 6. 9 Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia, sebuah dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang Turki. Lihat. Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Kerangka, hlm. 26. 10Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II (Jakarta: UI-Press, 2002), hlm. 44. Lihat Juga Yamani, Filsafat Politik Islam, hlm. 51. 11 M M. Syarif, Para Filosof Muslim Terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 1996), hlm 56.
60a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
dan pusat pemerintahan. Setelah beberapa tahun menimba ilmu di Baghdad al Farabi pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil, dan tidak lama kemudian dia kembali ke Baghdad dan tinggal di Baghdad selama 30 tahun. Masa tua al Farabi dijalani di Damsyik, setelah puluhan tahun tinggal di kota Baghdad, al Farabi meninggal di Damsyik pada tahun 330 H./ 941 M.12 Latar belakang keluarga al Farabi bahwa dia adalah anak seorang militer sangatlah penting dalam kaitannya mengenai karier intelektual yang dibangunnya. Karena di era al Farabi tentara khalifah terutama terdiri dari pasukan-pasukan Turki, melalui hubungan keluarga militer al Farabi membangun akses hubungan dengan para sekretaris negara dan wazir di Baghdad yang menjadi patron filsafat. Risalah besar al Farabi mengenai musik, misalnya, ditulis atas permintaan wazir Abu Ja’far alKharkhi.13 Ibrahim Madzkour mengungkapkan bahwa basis pendidikan dasar al Farabi adalah di bidang ilmu-ilmu religius dan bahasa. Pada bidang ilmu-ilmu religius dia belajar tentang fiqih, hadis, al-Qur’an dan tafsir, sementara pada wilayah bahasa dia belajar bahasa Arab, Persia dan Turki,14 selain itu dia juga belajar aritmatika dasar.15 Apa yang dipelajarinya dari tingkat dasar, baik di bawah bimbingan guru privat di rumahnya maupun dalam pertemuan-pertemuan formal di masjid tidak jauh berbeda dengan kurikulum tradisional yang diberikan pada anak-anak muslim sebayanya.16 Bahwa basis pendidikan dasarnya adalah keilmuan yang bersifat religius diperkuat oleh pernyataan Ibn Khaldun, berdasarkan kajiannya terhadap berbagai metode pendidikan anak yang digunakan di kota-kota Muslim, menyebutkan, bahwa kurikulum di kawasan Timur Islam bersifat campuran, ilmu-ilmu religius dan bahasa menjadi kurikulum pengajarannya. Sementara Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 81. Lihat Juga Majid Fakhry, Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic, hlm. 7. 13 Yamani, Filsafat Politik Islam, hlm. 52. 14 Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 451. 15 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 28. 16 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 27-28. 12
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
61
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
bahwa telah banyak belajar tentang kesusastraan dan ilmu bahasa diperkuat oleh para sejarawan, yang memiliki laporan bahwa menjelang akhir hayatnya telah mengenal banyak bahasa seperti Arab, Turki, Persia, Syria, Yunani dan juga menguasai berbagai dialek bahasa Asia Tengah serta bahasa-bahasa lokal.17 Fase kedua pendidikan al Farabi adalah di Bukhara setelah di Farab, di Bukhara al Farabi mengembangkan keilmuannya di berbagai disiplin termasuk di bidang musik.18 Setelah mendapatkan pendidikan awalnya, terutama studi ilmu-ilmu religiusnya, al Farabi kemudian menjadi seorang hakim (qadhi), dan selanjutnya pergi ke Merv / Marw Khurasan (sekarang Iran). Kemudian al farabi ke Baghdad dan bertemu dengan seorang ahli logika terkemuka di masa itu yaitu Yuhanna Ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w. 940 M) seorang penerjemah karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Kepada merekalah dia belajar tentang logika dan sejak itu pula ia meninggalkan pekerjaannya sebagai al-qadhi (hakim) dan mulai sibuk dan tenggelam mempelajari ilmu-ilmu di bidang tersebut.19 bidang logika al Farabi telah mampu menjelaskan sesuatu yang rumit dan mengungkap rahasianya serta memberikan perhatian terhadap aspek-aspek yang telah ditinggalkan oleh al-Kindi lewat metode dan analisisnya.20 Kota Baghdad, saat al Farabi menggali ilmu di sana, menjadi kota yang dianggap sebagai pemilik ahli waris utama tradisi filsafat dan kedokteran Alexandria. Salah satu sumbangan terpenting al Farabi pada dunia intelektual Baghdad adalah ia bersama para guru logikanya membentuk salah satu rantai paling awal antara filsafat Yunani dengan dunia Islam.21 Pada masa kekhalifahan al-Mu’tadid (892902 M.) al Farabi dan Yuhanna Ibn Hailan (gurunya) telah mampu Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 29. Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 29. 19 Minat al-Fa>ra>bi> terhadap filsafat terutama ilmu logika sebenarnya sudah sejak dia tinggal di Bukhara, kalau kemudian dia mengalihkan perhatiannya dari mempelajari bidang filsafat tidak lebih karena masih langkanya pengajar di bidang ini. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 30. 20 Majid Fakhry, Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism, hlm. 6-7. 21 Deborah L. Black, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 221. 17 18
62a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
menyumbangkan dalam penempaan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab, meskipun dia juga menyadari akan perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.22 Minat al Farabi pada logika dan ilmu-ilmu yang bernuansa filosofis, termasuk metafisika muncul sejak pertama kali dia mempelajari dalam disiplin ilmu linguistik dan religius.23 Tepatnya di kota Marv (Marw) di Khurasan tempat pertama kalinya al Farabi berkenalan dengan logika dan ilmu-ilmu filsafat, terutama logika Aristoteles.24 Namun, pengetahuannya mengenai logika Aristotelian baru sebatas unsur-unsur yang diterima atau yang dikritik oleh disiplin kalam. Dari sini, al Farabi mengalami ketidakpuasan, kemudian al Farabi mengembangkannya di Baghdad dengan berguru kepada Yuhanna Ibn Hailan dan Abu Bisyr Matta. Di Baghdad dan Harran dia belajar hanya melanjutkan studinya terdahulu untuk menguasai beberapa penerapan tentang logika, dan di Baghdad dia telah menguasai pemikiran Aristoteles dengan mempelajari karya Analitics Posateriora bersama Ibn Hailan. Pada masa Khalifah al-Muqtadir (908-932 M.) al Farabi pindah dari Baghdad menuju Konstantinopel, besar kemungkinan karena pengaruh pemikiran Ibn Hailan, kepindahannya ke konstantinopel Yunani, dimana Konstantinopel pada masa itu menjadi salah satu madzhab filsafat yang erat kaitannya dengan madzhab Alexandria. Di Universitas Konstantinopel al Farabi mempelajari seluruh silabus filosofis dan ilmu-ilmu lain, selama Yamani, Filsafat Politik Islam, hlm. 55. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Osman Bakar bahwa sebelum masanya kalam maupun Ushul Fiqih telah berkembang hingga pemakaian sistem logika yang menampilkan banyak unsur dan gambaran umum logika Stoik. Dimana logika Yurisprudensial-teologis yang dikenal dengan adab alkalam telah ditunjukkan oleh Makdisi sebagai bagian integral dari kurikulum ilmu-ilmu religius sebelum dan selama masa . Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 30. 24 Jawaban atas pertanyaan di mana pertama kalinya mulai berkenalan dengan studi logika Aristotelian dan filsafat menjadi perdebatan para sarjana modern. Namun Walzer dan Mahdi menyebut kota Marv (Marw) di Khurasan sebagai tempat dimana berkenalan dengan filsafat dan logika Aristotelian, sementara Majid Fakhry, F.E. Peters, De Boer dan F.W. Zimermann bertempat di Baghdad. Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 31. 22 23
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
63
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
delapan tahun.25 Rentang waktu tahun (910-920 M.) al Farabi kembali ke Baghdad mendalami filsafat, sesudah menguasai ilmu logika serta mengajar dan menulis dan mengulas karya-karya filsafat. Pada masa itu tercatat bahwa Matta’ Ibn Yunus, al-Mawarzi dan Quwairi adalah para ahli logika terkemuka, yang begitu berpengaruh terhadap murid-muridnya, al Farabi juga menjadi salah satu muridnya. Pada masa itu kemampuan al Farabi dalam mengungkap bahasa-bahasa yang dianggap sangat rumit dengan istilah-istilah yang mudah dicerna dan dipahami menaikkan reputasinya. Tercatat bahwa sebagai ahli logika di masanya al Farabi telah membaca (juga mengajar) Physic-nya Aristoteles sebanyak empat puluh kali dan Rhetoric-nya Aristoteles dua ratus kali serta telah membaca bukunya De Anima-nya Aristoteles sebanyak seratus kali.26 Pada akhir tahun 942 M karena gejolak politik Baghdad yang semakin memburuk al Farabi pindah ke kota Damaskus, di bawah kekuasaan Dinasti Ikhsyidiyah, Damaskus pada masa itu menjadi kota yang tenang dan damai. Pada masa awal tinggal di Damaskus diterangkan bahwa al Farabi bekerja sebagai penjaga kebun sepanjang siang hari dan mencurahkan waktu untuk menulis dan membaca buku-buku filsafat di siang harinya.27 Menurut Abi Usaibiah di Damaskus al Farabi menyelesaikan karyanya A>ra>>’ Ahl al-Madi>>nah al-Fa>dhilah yang sebelumnya telah mulai ditulis di Baghdad. Karena alasan yang sama, al Farabi pindah ke Mesir setelah dua tahun tinggal di kota Damaskus, yaitu karena terjadinya ketegangan politik antara dinasti Hamdaniyyah dari Mosul dan Ikhsyidiyah dari Siria, sehingga memaksa kota Damaskus pada masa itu diduduki dinasti Hamdaniyyah selama periode 945-946. Di mana mesir pada masa itu dibawah kekuasaan Ikhsidiyyah, dan menurut Ibn Khallikhan di Mesir al Farabi menyelesaikan Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 34. Yamani, Filsafat Politik Islam, hlm. 55. 27 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 36. Lihat juga Majid Fakhry, AlFa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism, hlm. 7. 25 26
64a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
karyanya yang berjudul Siyasah al-Madaniyah yang semula telah mulai ditulis di Baghdad. Pada tahun 949 M al Farabi kembali ke Damaskus, al Farabi kemudian berjumpa dengan putra mahkota dinasti Hamdaniyah Saif al-Daulah sang penyokong besar seni dan kesusastraan di Aleppo. Di sinilah al Farabi bertemu dengan lingkaran orangorang terpelajar yang dikumpulkan oleh Saif al-Daulah seperti al-Mutanabbi, Abu Firas, Abu al-Fajar dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih. Saif al-Daulah sangat menghormati al Farabi karena kecerdasan dan keahliannya menguasai berbagai pengetahuan, juga karena sikap al Farabi yang sangat sederhana baik dalam hal pakaian maupun tingkah lakunya, bahkan dia hanya menerima pensiunan harian sebesar empat dirham meskipun dia menjadi penasehat negara.28 Pada bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M, al Farabi meninggal dunia di Damaskus pada usia delapan puluh tahun. Dia dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil kota bagian selatan.29 Dari uraian panjang mengenai latar belakang pendidikan dan kehidupan ilmiahnya, tidak dapat diragukan bahwa al Farabi mempunyai pengetahuan yang luas, bahkan dia hampir dapat menguasai segala macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa hidupnya, sehingga tidak ada keraguan sama sekali bagi kita bahwa al Farabi memahami sepenuhnya filsafat Yunani.30 Al Farabi hidup pada periode kedua masa pemerintahan Abbasiyyah: suatu masa di mana dari sisi politik, Khalifahkhalifah yang memerintah di Baghdad tidak lagi kuat seperti sebelumnya, sehingga mereka tidak kuasa melawan kehendak para perwira pengawal keturunan Turki, dan dari sisi intelektual dan ideologi ditandai dengan munculnya kembali pengaruh ajaran Salaf menyusul memudarnya aliran Mu’tazilah. Menurut Khudhari periode kedua Bani Abbas ini merentang dari tahun 874 M, masa ke Khalifahan al-Mutawakkil, sampai tahun 945 M, Majid Fakhry, Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism, hlm. 7. Lihat juga Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 37. 29 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 37. 30 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 60. 28
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
65
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
masa kekuasaan al-Mustakhfi.31
Periode kedua masa pemerintahan Abbasiyyah biasa juga disebut dengan periode akhir Abbasiyyah, dimana kekuasaan para khalifah mengalami kemunduran, sedangkan yang berkuasa sesungguhnya adalah Dinasti-dinasti baru yang sebagian besar berasal dari Turki dan Persia yang berada di batas luar pemerintahan. Namun, pada puncaknya justru Dinasti-dinasti baru itu yang menguasai Baghdad sementara khalifah hanya menjadi boneka di tangan mereka.32 Al Farabi hidup pada masa terjadinya pergolakan dan pergeseran arus pemikiran di Baghdad, yaitu: pertama, rasionalisme kalam Mu’tazilah yang pada mulanya berpengaruh pada kekuasaan mulai tersingkir digantikan oleh kaum Salaf. Kedua, adanya ketegangan antara ulama’ fikih dengan kaum sufi. Bersamaan dengan itu di Bukhara tempat di mana al Farabi menghabiskan masa mudanya terjadi perkembangan bahasa dan sastra yang sangat pesat, sedangkan di Aleppo (sekarang Siria) dan Damaskus dua tempat dimana al Farabi menekuni karier intelektual dan menghabiskan masa tuanya, berkembang pemikiran filsafat dan logika yang sangat besar. al Farabi sendiri faham dengan trend besar zamannya ini karena dia menyaksikan dan bahkan terlibat langsung dalam gerak intelektual tersebut.33 Karya-Karya al Farabi Menurut Ahmad Daudy ada sekitar tiga puluh karya al Farabi yang dijumpai dalam bentuk Bahasa Arab.34Karya-karya al Farabi paling tidak dapat dikelompokkan dalam beberapa tema di antaranya: logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa risalah yang berisikan tentang sanggahan atau tanggapan atas pemikiran para filosof tertentu. Di bidang Muhammad al-Khudhari, Muha>darat al Umam al-Isla>miyah (Kairo: Tp, 1921), hlm. 542-543. 32 Yamani, Filsafat Politik, hlm. 52. 33 Yamani, Filsafat Politik Islam; Antara, hlm. 53-54 34 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 27-28. 31
66a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
logika al Farabi menguraikan Organon karya Aristoteles secara tuntas, yang mencakup Hermeneutika, Analitika Prior, Analitika Posterior, Sofistik, puisi atau syair dan retorika, selain itu al Farabi juga menguraikan Isagoge Phorphyry. Al Farabi menulis risalah pendek yang secara khusus membahas aspek-aspek logika di antaranya: Risa>lah Sudi>ra Biha> al-kita>b, Risa>lah fi> Jawa>b alMasa>’il Su’ila ‘nha> dan Risa>lah fi> Qawa>nin Shina’at al-Syi’r. Naskah-naskah yang orisinil tentang logika yang pembahasannya jauh lebih pelik dari pada Categories karya Aristoteles dan Isagog karya Porphyry di antaranya adalah al-Alfaz al-Musta’malah fi> al-Mantiq (istilah-istilah logika), al-Fushu>l alKhamsah (lima pasal logika) dan Risa>lah fi> al-Mantiq (Pengantar Logika) dan semua karya-karya ini masih terdokumentasi dengan baik. Sementara di bidang fisika (fisika dalam pengertian tradisional, khususnya dalam pengertian Paripatetik dan filsafat alam), al Farabi menulis beberapa uraian tentang pemikiran Aristoteles dan filsafat Yunani di antaranya: Syarh Kita>b al-Sama’ al-Thabi’i li Aristhu>thalis dan Syarh Kita>b al-Sama’ Wa al-Alam li Aristhu>thalis serta Syarh Maqa>lat al-Iskandar al-Afrudisi’i fi> alNafs. al Farabi juga menulis mengenai risalah-risalah lepas yang mencakup ilmu Psikologi, zoologi, meteorologi, ruang waktu dan vakum di antaranya: Risa>lah fi> al-Khala’, Kala>m fi> al-A’dha’ alHayawan, Kalim fi> al-Haiz Wa al-Miqdar dan Maqa>lat fi> Ma’a>ni al-Aql. Karya-karya al Farabi yang merupakan sanggahan atas pandangan dan pemikiran para filosof dan teolog mengenai filsafat alam. Di antaranya adalah Kita>b al-Raad Ala> Jalinus fi> Ma> Ta Awwaluhu Min Kala>m Aristhu>, dan Kita>b al-Raad Ala> Ibn al Rawandi fi> al-Adab al-Jadal, dan al-Raad Ala> Yahya al-Nahwi fi> Ma> Raddahu Ala> Aristhu> serta kitab al-Raad Ala> al-Razi fi> al-Ilm al-Ila>hi. Sementara tentang musik al Farabi menulis karya yang berjudul Kita>b al-Musi>qa al-Kabi>r dan al Farabi juga menulis tentang astrologi yudisial yang berjudul fi> Ma> Yashihh Wa Ma> La> Yashihh Min Ahka>>m al-Nuju>m. Pada bidang metafisika al Farabi menulis beberapa uraian, sanggahan dan risalah lepas di antaranya: Maa>lat fi> Aghradh Ma> Ba’d al-Thabi’ah dan Kita>b al-Huru>f dan karya-karyanya yang masih terselamatkan dalam Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
67
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
bidang ini adalah Fushu>s al- H~ikam, Kitab fi> al-Wahi>d Wa alWahdah serta kitab yang ditujukan guna menyelaraskan gagasan Plato dan Aristoteles seperti Falsafat Aristhu>thalis, Kitab Falsafah Afla>thu>n Wa Ajzaha dan Kitab al-Jam‘ bain Ra’yai al- Haki>main: Afla>thu>n Wa Aristhu>. Karya al Farabi mengenai teori pengetahuan dan prinsipprinsip pertama dari ilmu-ilmu khusus di antaranya Kitab Fi Ushu>l Ilm al-Thabi’ah dan Ihsha’ al-Ulu>m, Fushu>s al-Hika>m, Ta’liqat fi> al-H~ikam, Kitab fi> Dzuhu>r al-Falsafah. Karya al Farabi mengenai filsafat politik diantaranya Kitab A>ra>>’ Ahl al-Madi>>nah al-Fa>dhilah, Kitab al-Syiyasah al-Mada>niyah, Kitab al-millat al-Fa>dhilah, Fushu>sh al-Madani> sementara karyanya mengenai konsep kebahagiaan berjudul Tahsil al-Sa’a>dah.
Filsafat al Farabi Menurut Massignon, seorang sarjana Prancis, al Farabi adalah filosof Muslim pertama dalam arti sesungguhnya. Sebelum al Farabi memang telah tampil al-Kindi (185-260 H. / 801-873 M) yang membuka pintu filsafat ke dunia Islam. Tetapi, bagi Massignon, al-Kindi tidak memiliki sebuah filsafat yang sistematis. Sebaliknya, al Farabi, dalam pandangan Massignon, telah menciptakan suatu filsafat yang lengkap dan sekaligus menjadi guru dari para filosof Islam yang datang sesudahnya seperti Ibnu Si>na dan Ibn Rusyd.35 Al-Kindi mengalami kebingungan dalam memastikan perbedaan yang mendasar pemikiran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Lain halnya dengan al Farabi, dia telah mampu memahami perbedaan mendasar tentang pemikiran para filosof Yunani tersebut. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan karya al Farabi yang berjudul al-Jama’ Baina Ra’y al-Hakimain,36 Posisi unik al Farabi dalam sejarah filsafat Islam tampak Abu Ahmadi, Filsafat Islam (Semarang: Toha Putra, 1982), hlm.
35
102.
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 76-77. Lihat Juga dalam Muhsin Mahdi, Al-Fa>ra>bi>’s Philosophy of Plato and Aristotle, (New York: The Free Press of Glencoe, 1962), hlm. 3-10. 36
68a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
dari sejumlah risalah “metodologis” nya, seperti Philosophy of Plato and Aristotle dan Reconciliation of Plato and Aristotle, yang kesemuanya itu berupaya melempangkan jalan bagi pengembangan studi filsafat dikemudian hari. Dalam Ihsha’ alUlu>m (Enumerasi Sains), misalnya, al Farabi mengantarkan para pembaca pada kurikulum filsafat Yunani. Dalam kurikulum filsafat Yunani, ilmu pengetahuan terklasifikasi ke dalam ilmu bahasa, alam, filsafat dan seterusnya.37 Filasafat al Farabi mempunyai corak dan tujuan yang berbeda dengan para filosof sebelumnya (baik dari Yunani maupun Islam), dia mengadopsi doktrin-doktrin para filosof terdahulu kemudian membangun kembali dengan disesuaikan lingkup kebudayaannya dan disusun dengan sangat sistematis dan harmonis atau selaras.38 Unsur-unsur penting filsafat al Farabi dapat dilihat dari tiga pokok pemikirannya yaitu logika, kesatuan filsafat (the unity of philosophy) dan teori intelek (akal). Pada masa muda, al Farabi lebih tertarik mempelajari logika, sebagian karyanya pun banyak yang dipusatkan pada studi tentang logika. Menurut al Farabi seni logika umumnya memberikan aturan-aturan yang bila diikuti memberi pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan. Menurut al Farabi logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu matra dengan syair. Selain itu logika juga membantu untuk membedakan antara yang benar dengan yang salah dan menunjukkan bagaimana memperoleh cara yang benar dalam berpikir serta menunjukkan dari mana seharusnya memulai berpikir dan mengarahkannya kepada kesimpulan-kesimpulan akhir.39 Masalah pokok logika menurut al Farabi adalah topik-topiknya yang membahas aturan-aturan pemahaman, dimana topik-topik itu dikelompokkan menjadi delapan yaitu: pengelompokan, penafsiran, pengupasan pertama, pengupasan Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am. (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 46. 38 Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 454. 39 Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 455. 37
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
69
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
kedua, topik, sofistik, retorik dan puisi yang semua itu merupakan tujuan utama logika. al Farabi meletakkan landasan bagi lima bagian penalaran demonstrative, dialektik, sofistik, retorik, dan puitis.40 al Farabi memberi ketegasan bahwa ada perbedaan mendasar antara logika dengan bahasa, menurutnya tata bahasa hanya berkaitan dengan kata-kata sedangkan logika berkaitan dengan arti dan kata-kata yang merupakan penjelmaan makna, selain tata bahasa selalu berkaitan dengan aturan-aturan bahasa tetapi logika berkaitan dengan pemikiran manusia yang selalu sama dimana dan kapan pun.41 Al Farabi membangun keilmuan logikanya mengikuti logika Aristoteles dengan menambahkan retorika dan puisi, kecerdasan al Farabi dalam menjabarkan logika Aristoteles ke dalam bahasa Arab dan memaparkan prinsip-prinsip silogisme Aristoteles sekaligus merubah dari contoh-contoh yang dipaparkan oleh Aristoteles (yang begitu sulit dipahami oleh para filosof atau sarjana muslim) dengan contoh-contoh kejadian sehari-hari kehidupan dalam masyarakat Arab dinilai sebagai sumbangan terbesar oleh para filosof Islam setelahnya. Sehingga menjadikan al Farabi dijuluki sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles. Setelah logika pikiran pokok dalam filsafat al Farabi adalah kesatuan filsafat (the unity of philosophy). al Farabi berpendapat bahwa pada hakekatnya filsafat merupakan satu kesatuan karena itu satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran, oleh karenanya menurut al Farabi tidak ada aliran filsafat yang ada hanya satu yaitu “aliran kebenaran”, oleh karenanya kebenaran agama dan kebenaran filsafat menurut al Farabi secara nyata adalah satu meskipun secara formal berbeda.42 Ajaran al Farabi ini didasarkan pada dua hal yaitu pertama, al Farabi bermaksud memperbaiki filsafat pengikut Aristoteles dan membungkusnya dalam bentuk Platonis agar lebih sesuai dengan ajaran Islam dan kedua, memberikan penafsiran rasional tentang kebenaran agama. Maka tujuan utama filsafat al Farabi adalah menerangkan filsafat dengan cara agama dan memfilsafatkan agama sehingga mendorong keduanya pada satu arah dan dapat dipahami secara Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 456. Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 455. 42 Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 456-457. 40 41
70a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
selaras.43 Pemikiran al Farabi ini membawa pengaruh pada filosof setelahnya seperti Ibn Rusyd dan Ibnu Si>na yang cenderung memadukan antara filsafat dan agama atau mengharmonisasikan keduanya. Al Farabi mendasarkan penyelarasan antara filsafat dengan agama didasarkan atas revisi filsafat para pengikut Aristoteles yang didasarkan pada dua teori yaitu teori kosmologis dan teori psikologis yaitu teori akal dan intelek sepuluh yang penjelasan rasionalnya bertumpu pada dua teori yaitu melalui penafsiran al-Qur’a>n dan teori kenabian. Oleh karenanya bangunan seluruh filsafat al Farabi dapat dikatakan terangkum dalam emapat teori ini yang saling berkaitan dan semuanya mengarah ke satu tujuan.44 Bagi al Farabi, filsafat mencakup matematika, dan matematika bercabang pada aritmatika, geometri, astronomi, astrologi, musik, mekanika, dan seterusnya. Sementara itu, ilmuilmu alam terbagi menjadi delapan, mengikuti delapan tema fisika Aristoteles, yakni Physics, Heavens, Generation and corruption, Meteorology, Book of Minerals, on Plants, Zoology, dan on the Soul. Semua bagian ilmu ini berlanjut pada “metafisika”. Dalam sumber-sumber Arab, “Metafisika” ini lazim pula disebut “ilmu ketuhanan“. Menurut al Farabi, bagian metafisika ini secara lengkap dipaparkan oleh Aristoteles dalam Metaphysics, yang sering jadi acuan dalam sumber-sumber Arab sebagai Book of Letters.45 M Saeed Shaikh menyimpulkan menjadi lima pokok pembahasan mengenai pandangan atau pemikiran filosofis al Farabi yaitu ontologi, teologi metafisik, kosmologi, psikologi rasional dan filsafat politik. Ontologi mencakup pembahasan tentang “yang ada” kemudian teologi metafisik berbicara tentang bagaimana Tuhan itu berada serta bukti-bukti yang menunjukkan ke-eksistensian-Nya, rasional Psikologi membahas tentang tubuh dan jiwa, dan filsafat politik mengkaji tentang gagasan kota utama, pemimpin yang ideal dan sebagainya.46 Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm.457. Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm.457 45 Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 457. 46 M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy, hlm. 77-88. 43 44
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
71
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
Minat dan perhatian al Farabi yang amat besar terhadap ilmu pengetahuan, diikuti oleh kecerdasan dan ketekunannya yang mendalam dan keterbukaannya terhadap segala macam pandangan atau gagasan yang dijumpainya, menyebabkan dia tidak dapat mengelak dari pengaruh tokoh-tokoh filsafat Yunani klasik, diantaranya Plato, Aristoteles dan Plotinus. Di mana pandangan para filosof Yunani klasik telah merasuki dalam pemikiran al Farabi.47 Plato mempengaruhi al Farabi pada pemikiran tentang etika dan politik, Aristoteles mempengaruhi al Farabi pada bidang ilmu logika, sementara pengaruh Plotinus terhadap al Farabi pada ajaran-ajarannya tentang bagaimana yang banyak ini berasal dari yang Esa yang tunggal yaitu ajaran emanasi. Yang kemudian teori emanasi dikembangkan oleh al Farabi dengan sepuluh akal yang mengalir dari Tuhan, dan pelimpahan itu terjadi dengan sendirinya ibarat mengalirnya cahaya / sinar dari matahari tanpa mengurangi zatnya sedikit pun.48 Filsafat al Farabi merupakan campuran antara filsafat yang bercorak Aristotelean dengan Neo Platonisme dan pemikiran ke-Islaman yang jelas dan corak aliran Syi’ah Imamiah. Dalam masalah logika dan filsafat misalnya dia mengikuti Aristoteles, dalam masalah etika dan politik al Farabi menganut Plato, sementara masalah metafisika dia merujuk pada pemikiran Plotinus.49 Dalam kaitannya dengan dirinya yang dinobatkan sebagai ‘guru kedua’ karena pencapaian keilmuan dalam bidang logika, hal ini berkaitan dengan kemampuan al Farabi dalam menulis banyak komentar dan paraphrase atas kumpulan karya logika Aristoteles yang dikenal dengan Organon, Rethoric dan Poetics yang menjadi bagian Organon dalam tradisi Suryani dan Arab ataupun Isagog karya Porphyry, juga dikomentari oleh al Farabi. Naskah-naskah yang orisinil tentang logika yang pembahasannya jauh lebih pelik dari pada categories karya Aristoteles dan Isagog karya Porphyry di antaranya adalah al-Alfaz al-Musta’malah fi> Syaifuddin, ”Konsep Pemikiran Tentang Kenabian”, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001. hlm. 24-25. 48 Syaifuddin, ”Konsep Pemikiran Tentang Kenabian”, hlm. 29. 49 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 83. 47
72a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
al-Mantiq (istilah-istilah logika), al-Fushu>l al-Khamsah (lima pasal logika) dan Risalah fi> al-Mantiq (Pengantar Logika) dan semua karya-karya ini masih terdokumentasi dengan baik.50 Tentang alam al Farabi lebih condong ke pemikiran Plato, dia sependapat dengan Plato bahwa alam ini baru dan terjadi dari yang tidak ada. Sementara mengenai proses terjadinya alam dan bagaimana hubungan Khalik dengan makhluk al Farabi begitu juga al-Kindi menganut ajaran emanasi Neo-Platonisme. Mula pertama al Farabi memahami prinsip Aristoteles bahwa Tuhan adalah akal yang berfikir, al Farabi menyebutnya dengan akal murni. Prinsip Aristoteles itu kemudian diisi oleh al Farabi dengan teori emanasi Neo Platonisme dan Plotinus.51
Sekilas Filsafat Politik al Farabi Perkembangan ilmu politik secara umum dan khususnya persoalan demokrasi saat ini tidak bisa lepas dari Filsafat politik Plato, Plato menjelaskan bahwa manusia secara natural adalah makhluk politik karena fitrahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri kecuali melalui perkumpulan atau kelompok.52 Filosof Muslim, Al Farabi meletakkan dasar filsafat politik Islam melalui karyanya philosophy of Plato dimana Al Farabi menghadirkan Plato sebagai seorang ahli politik yang dalam karya-karya filsafat filosof Muslim sebelumnya yaitu Al Kindi dan al Razi filsafat politik tidak dihadirkan.53 Tidak berbeda dengan filsafat politik Plato, Al Farabi meletakkan dasar filsafat politiknya dengan mengkaji psikologi manusia dan kebahagiaannya. Manusia, menurut Al Farabi termasuk dalam spesiesMajid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, Terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 45-46. 51 Poerwanto, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Rosda Karya, 1994), hlm. 135. 52 Fauzi M Najjar, “Democracy In Islamic Political Philosophy” dalam Jurnal Studia Islamica, La Loi du 1957, G.P Maisonneuve et Larose 1980, hal. 108-122 53 Muhsin S Mahdi, Al Farabi and the Foundation of Philosophy, dalam (ed) Parvis Morwedge Islamic Philosophy and Mysticism. (New York: Carvana Book, 1981), hal. 14-16 50
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
73
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
spesies yang tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan penting mereka ataupun mencapai keadaan baik mereka kecuali melalui asosiasi (perkeumpulan) banyak kelompok dalam suatu tempat tinggal yang sama.54 Psikologi manusia menurut Al-Farabi mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan hidup bersama orang lain, dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut masyarakat, kota dan Negara.55 Al Farabi mengibaratkan Kota atau Negara dengan tidak ubahnya susunan tubuh manusia yang sehat dan sempurna dimana masing-masing saling berusaha dan bekerjasama, dalam tubuh manusia ada kepala, hati, jantung, tangan, dan kaki yang bekerja sesuai dengan tugasnya. Begitu pula dalam Negara, masing-masing rakyat mempunyai tugas dan kadar kecerdasan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan saling kerjasama dimana harus ada kepala Negara, dan yang lain membantu dalam berbagai kedudukan sehingga tercapai kebahagiaan. Gagasan Al Farabi ini sebagaimana diungkapkan dalam karya-karya penting filsafat politiknya di antaranya, Al Siyasah Al Madaniyah, dan Mabadi Ara Ahlu Al Madinah Al Fadhilah.56 Hirarki wuju>d-nya al-Fa>ra>bi dijadikan landasan untuk mengembangkan teori politiknya, terutama tentang konsep pengaturan sebuah kota atau negara. Al Farabi mengajarkan bahwa sebuah kota atau negara harus diatur berdasarkan tingkatan-tingkatan hierarki yang di dalamnya dan yang paling atas mengatur yang di bawahnya secara berturut-turut dan bertahap. Yang paling tinggi adalah pengatur utama dan mutlak, sementara yang paling bawah adalah yang diatur secara mutlak, kemudian yang berada di antaranya mempunyai kedua aspek sekaligus, yaitu mengatur yang di bawahnya dan diatur oleh yang Yamani, Al Farabi Filosof Politik Muslim, (Jakarta: Teraju, 2005),
54
hal. 37.
Dikemudian hari, gagasan tentang fitrah sosial ini diulangi oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778 M) dengan konsep “kembali ke alam” ( retur a la nature ) yang kemudian melahirkan konsep Sosial Contrat (kontrak sosial); kemauan untuk bekerjasama demi tercapainya kebutuhan bersama diantara individu. Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Politik , (Jakarta, Gramedia, 1994), 238-239. 56 H. Zainal Abidin Ahmad, Negara utama; Madinatul Fadhilah (Jakarta: PT. Kinta, 1968), hal. 41-43. 55
74a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
di atasnya.57 Sementara mengenai pemimpin utama atau imam dalam pemikiran politik al Farabi, dia mengadopsi dari pemikirannya mengenai struktur akal manusia. Menurut al Farabi adalah mereka yang telah mampu sampai pada akal mustafad yang layak jadi pemimpin, karena orang tersebut telah terhubung dengan akal aktif dan telah tercurahkan oleh akal kesepuluh sehingga teraktualisasikan ilmu pengetahuan dan orang tersebut menjadi tahu tentang hal-hal yang sebelumnya tidak diketahuinya. Menurut al Farabi orang yang telah mencapai tingkat ini sebenarnya kontaknya dengan akal aktif akan berlangsung terus-menerus. Karena ketika akal kenabian bersatu dengan akal aktif, akal kenabian secara terus menerus teraktualisasi dan dia pun menjadi mengetahui tentang segala sesuatu, yang lalu, yang sekarang, dan yang akan datang. Pemimpin yang seperti ini menurut al Farabi terus-menerus berada dalam bimbingan Tuhan, atau dalam istilah teknis filsafat, akal aktif telah menjadi forma atau forma (akal)-nya dan seseorang telah menjadi materi bagi wuju>d komposit yang terdiri dari materi (yang sesungguhnya adalah) forma (akal)-nya dan forma yang sesungguhnya adalah akal aktif itu sendiri.58 Mengenai pemimpin atau imam, al Farabi kemudian memberi rincian karakter yang harus dimiliki, menurut al Farabi ada dua belas karakter bagi seorang imam di antaranya: jujur, cinta keadilan, cerdas, sehat jasmani, lugas, berakhlak mulia, moderat dan pemberani. Teorinya ini mirip dengan konsep Plato tentang raja filosof serta karakter-karakter khalifah menurut para ahli fiqih Islam 59 Hubungan yang akrab antara metafisika dengan filsafat politik dalam pemikiran al Farabi lebih lanjut melukiskan pandangan organik manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, dan dengan sesama manusia, sebagaimana Yamani, Antara Al-Fa>ra>bi> dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
57
hlm. 154.
58
hlm. 157.
Yamani, Antara Al-Fa>ra>bi> dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
Abu Nasr al-Fa>ra>bi>, A>ra>>’ Ahl al-Madi>>nah al-Fa>dhilah, hlm. 197199. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta, hlm. 54. 59
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
75
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
yang diwujudkan dalam sistem kepercayaan Islam. Bagi al Farabi ilmu politik dan etika dipahami sebagai suatu perluasan atau perkembangan metafisika atau sebagai manifestasinya yang tertinggi yaitu teologi, yakni, ilmu tentang Tuhan. Karena itu karya metafisika al Farabi yang agung A>ra>>’ Ahl al-Madi>>nah al-Fa>dhilah tidak dimulai dengan keadilan dan diskusi tentang hubungan manusia dengan negara seperti dalam Republik Plato, tetapi dengan diskusi tentang wuju>d pertama atau yang maha esa menurut Plotinus, sifat-sifat dan caranya mengada di dunia ini. Ciri khas ini benar-benar menunjukkan kemurnian filsafat al Farabi dan model pemikiran al Farabi.60 Oleh karenanya tidak dapat disangkal bahwa al Farabi adalah filosof Muslim pertama yang mampu memberikan teori politik yang didasarkan pada metafisika emanasionis dan kosmologi Plotinus ataupun Proclus. Dan dijalan itulah al Farabi membangun utopia politik yang sejalan dengan kekhalifahan Islam, terutama dalam bentuknya yang diyakini oleh kalangan Syi’ah Ima>mah.61 Pemikiran politik al Farabi ini tidak hanya berpengaruh pada filosof-filosof Islam klasik yang datang setelahnya. Tapi khazanah pemikiran politik al Farabi menjadi sangat penting kaitannya dengan pemikiran politik Islam kontemporer. Pemikiran Ayatullah Khomeini (seorang tokoh revolusi Iran) misalnya, tidak beranjak jauh dari konsep-konsep yang dikembangkan oleh al-Fa>ra>bi. Tidak hanya Khomeini, para pemikir Islam lain seperti Jawad Mughniyyah, Muhammad Baqir Shadr, Kahzhim Hairi juga mengembangkan pemikiran politik al Farabi. Mereka memunculkan konsep pemerintahan yang Islami, dengan dua bentuk spektrum, mulai dari yang paling populist (berorientasi pada rakyat) sampai yang paling statist (berorientasi pada negara). Al Farabi juga membahas tentang pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan politik dengan mensintesakan pemahaman Plato dan hukum Ilahiah Islam. Jika kebahagiaan menurut Plato puncaknya hanya dapat diraih dalam negara (politeia), bagi al Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 177. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta, hlm. 54.
60 61
76a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
Farabi kesempurnaan dan kebahagiaan puncaknya hanya dapat diperoleh dalam negara ideal yang sempurna pemerintahannya, yang dipimpin oleh raja-filosof yang identik dengan pemberi hukum dan imam. 62
Demokrasi dalam Filsafat Politik al Farabi Sebagaimana dituliskan dalam karya-karyanya, Al Farabi menggunakan kata madinah (Kota) untuk membahas Negara, tujuan akhir dari Kota atau Negara adalah pencapaian kebaikan atau kebahagiaan. Demi mencapai tujuan akhir berupa kebaikan dan kebahagiaan sebuah Kota atau Negara dalam konteks sistem pemerintahan dan kemungkinan pencapaian kebahagiannya AlFarabi membagi Kota atau Negara dalam beberapa kategori diantaranya; negara jahiliyah, negara fasiq, negara mubadilah, dan negara sesat (dlalah). (1) Negara jahiliyah adalah negara yang pemerintahannya tidak tahu dan tidak mampu mengarahkan rakyatnya pada kebahagiaan; (2) Negara fasiq adalah Negara yang pemerintahannya-- sebenarnya-- tahu dan mampu membawa rakyatnya kepada kebahagiaan, tetapi mereka tidak mengakui dan tidak melakukannya melainkan justru mempraktekkan permainanpermainan politik kotor yang akhirnya menjerumuskan mereka pada martabat rendah; (3) Negara mubaddalah adalah Negara yang pemerintahannya--secara zahir--melakukan tindakan dan kebijakan yang membantu rakyat, padahal yang terjadi sesungguhnya justru sangat merugikan rakyat, semua dilakukan semata demi menutupi kecurangan dan kebobrokan aparat; (4) Negara sesat adalah Negara yang pemerintahannya tidak membawa rakyat pada kedamaian melainkan justru membawa mereka pada pertentangan, disintegrasi, konflik dan kehancuran.63 Di dalam karyanya Al Siyasah Al Madaniyah, dan Mabadi Ara Ahlu Al Madinah Al Fadhilah, al-Farabi tidak memberi uraian lebih rinci tentang tiga sistem pemerintahan yang terakhir, tetapi dia banyak memberikan penjelasan tentang sistem pemerintahan Yamani, Antara Al-Fa>ra>bi> dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
62
hlm. 51-91.
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah dalam Richard Welzer (ed), on The Perfect State, (Oxford, Clarendon Press, 1985), hal 225259. 63
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
77
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
jahiliyah. Menurutnya, pemerintahan jahiliyah setidaknya terbagi atas empat golongan; (1) sistem timokrasi, rezim yang mengutamakan kehormatan atau kewibawaan (karamah), (2) sistem plutokrasi, rezim yang mengutamakan kelompok kecil dimana kekuasaan atau kepemimpinan dipegang orang tertentu dengan cara didasarkan atas perhitungan besar kekayaan, konglomeratisme (baddalah), (3) sistem tirani, rezim yang mengutamakan pemimpin seorang tiran, militerisme (taghallib), (4) sistem demokrasi, rezim yang mengutamakan perwakilan orang-orang banyak (jama`iyah).64 Al Farabi meletakkan Kota demokrasi atau Negara demokrasi termasuk dalam Kota jahiliyah.65 Namun, diantara empat sistem pemerintahan yang tidak baik (jahiliyah) tersebut, sistem demokrasi diakui oleh Al-Farabi sebagai sistem yang paling baik. Menurut Al Farabi, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik diantara rezim-rezim yang jelek. Demokrasi merupakan negara yang paling didambakan dan dianggap paling bahagia, setiap orang menyukainya dan ingin tinggal di dalamnya karena tidak ada satu pun keinginan atau potensi--baik maupun jahat-yang tidak tertampung dan tidak terkembangkan di dalamnya. Menurut Al Farabi, kota demokrasi adalah kota yang tujuan penduduknya adalah kebebasan yang setiap penduduknya melakukan yang dikehendakinya tanpa sedikit pun dikekang kehendaknya.66 Penduduknya setara dan samasekali tidak ada orang yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya.67 Ada dua prinsip yang dianut dalam Kota demokrasi; (1). Prinsip kebebasan (liberty), rezim demokratis disebut juga rezim “bebas” atau “kesatuan orang-orang bebas”. Negara demokrasi berjalan dimana setiap individu berhak dan bebas melakukan apa yang dikehendaki dan disukai, dan tidak seorang pun berhak atas otoritas kecuali berbuat untuk memanfaatkan kebebasaanya. Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah dalam Richard Welzer (ed), on The Perfect State, hal. 225-259. 65 Yamani, Al Farabi Filosof Politik Muslim, hal. 49-54 66 Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah , dalam Richard Welzer (ed), on The Perfect State, hal. 225-259 67 Al Farabi, al-Siyasah al-Madaniyah, Dar wa Maktabah al-Hilal, hal. 29-32. 64
78a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
(2). Prinsip kesejajaran (equality), setiap orang dalam rezim demokrasi adalah sama dan sejajar dihadapan hukum, tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat jelata, bahkan rakyatlah sumber dan pemegang otoritas kekuasaan yang sebenarnya, sedang pemerintah hanya menjalankan tugasnya sesuai yang dikehendaki rakyat.68 Melalui dua prinsip tersebut, terutama kebebasan, sistem demokrasi tidak hanya mendorong lahirnya ilmu dan peradaban tinggi dalam sebuah kehidupan Kota atau Negara, tetapi bersamaan itu juga membuka peluang bagi berkembangnya kekuatan-kekuatan jahat, minimal yang secara moral bertentangan dan menghambat tercapainya kebahagiaan masyarakat, karena tidak ada otoritas atau rasa tanggungjawab untuk mengendalikan nafsu jahat (amoral) dan harapan-harapan warga negara. Inilah ketidaksempurnaan sistem demokrasi, karena itu, meski demokrasi diakui sebagai negara paling besar, paling berperadaban, paling produktif dan paling sejahtera, ia juga merupakan negara yang paling banyak mengandung kejahatan dan keburukan.69 Kota demokrasi memungkinkan di dalamnya berkembang kebaikan dan kejahatan, tetapi ketika ada pemimpin yang berusaha memebawanya pada kebahagiaan penduduk cenderung menentangnya karena faktor kebebasan yang dianut penduduk lebih menghendaki pemimpin yang memudahkan penduduk pada pencapaian keinginannya dan melestarikan yang diinginkannya.70 Berdasar kenyataan atas ketidaksempurnaan sistem demokratis di atas, Al-Farabi mengajukan gagasannya tentang sistem pemerintahan Negara utama (Madinah al-Fadilah). Negara tidak diperintah oleh perwakilan orang banyak (parlemen) melainkan oleh pemimpin utama yang bertugas untuk mendidik dan mengarahkan rakyat pada pencapaian kebahagiaan tertinggi (aktualisasi potensi-potensi terbaik dari ruhani dan pemikiran). Gagasan ini didasarkan atas kenyataan, (1) bahwa susunan Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah , dalam Richard Welzer (ed), hal. 257. 69 Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah , dalam Richard Welzer (ed), hal. 257. lihat juga Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam Jurnal al- Hikmah, (edisi 2, Oktober 1990), 92. 70 Yamani, Al Farabi Filosof Politik Muslim, hal. 76 68
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
79
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
masyarakat atau pemerintahan tidak berbeda dengan badan. Pada badan, semua gerakan yang dilakukan oleh tangan, kaki, kepala dan lainnya, adalah atas perintah hati. Hati bertindak sebagai pemimpin atas tindakan jasad. Begitu pula yang terjadi pada masyarakat, tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada jasad: ia bertindak sesuai dengan perintah pemimpin atau pemerintah, pemerintah adalah pemimpin masyarakat. (2) Bahwa karena perbedaan-perbedaan alamiah, tidak semua orang mengetahui dan memahami kebahagiaan lewat dirinya sendiri atau sesuatu yang harus diperbuatnya guna mencapai kebahagiaan mereka membutuhkan guru, pendidik dan pembimbing. Disinilah tugas dan fungsi pemimpin utama, yakni dengan kesempurnaan dan kebijaksanannya, menunjukkan pada masyarakat tentang objek utama (primary intellegibles) yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan.71 Berdasarkan pemaparan tersebut secara jelas bahwa Al Farabi meletakkan Kota demokrasi atau Negara demokrasi termasuk dalam Kota jahiliyah. Al-Farabi bahkan mengungkapkan kelemahan dan kelebihan Negara demokrasi dan menyatakan bahwa Kota demokrasi hanya terbaik di antara sistem-sistem pemerintahan yang jelek dan kemudian mengajukan Madinah alFadilah (Negara Utama) sebagai sistem pemerintahan terbaik, sistem pemerintahan post-demokrasi. 72
Kritik atas Demokrasi al Farabi Menurut penulis, Kota demokrasi Al Farabi meskipun konsepnya tidak sepenuhnya bisa disebut identik dengan demokrasi modern, namun konsep Kota demokrasi Al Farabi mengandung segala elemen demokrasi modern seperti dasar kebebasan dan kesetaraan di dalamnya. Berdasarkan pemaparan di atas penulis perlu mencermati beberapa poin penting untuk dikritisi dan teliti lebih dalam terkait kota demokrasi Al Farabi. Pertama, Al Farabi cenderung bersifat mendua mengenai kemungkinan Kota utama atau Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam Jurnal al- Hikmah, (edisi 2, Oktober 1990), hal. 92 72 Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah , dalam Richard Welzer (ed), hal. 257. 71
80a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
madinatul fadhilah bisa muncul dari Kota demokrasi, sementara dalam penjelasan Al Farabi Negara demokrasi sangat kontras dengan Negara utama bahkan Negara demokrasi termasuk Negara jahiliyah. Melalui prinsip kebebsan dan kesetaraannya, Kota demokrasi, menurut Al Farabi, memungkinkan berkembang menjadi negara paling besar, paling berperadaban, paling produktif dan paling sejahtera, di dalamnya memungkinkan lahir seorang fadhil, intelektual, pemikir dan filosof. Namun, karena prinsip kebebasan dan kesetaraannya, Negara demokrasi juga merupakan negara yang paling banyak mengandung kejahatan dan keburukan sehingga memungkinkan penduduknya mengangkat penguasanya yang memudahkan kebebasan dan keinginan penduduk demi kepentingan individu masing-masing, bukan mengangkat pemimpin dari orang bajik yang membawanya pada kebahagiaan sebagai tujuan sebuah negara.73 Kedua, ada pernyataan yang kontradiktif pada pemikiran politik Al Farabi terkait Kota demokrasi. Al Farabi menjelaskan dalam kitab al siayasah ala madaniayah bahwa pembangunan kota-kota utama dan penegakan pemerintahan orang-orang uatama adalah lebih efektif dan jauh lebih mudah diwujudkan dari kota-kota demokratis dibandingkan dengan kota-kota jahiliyah lainnya.74 Namun, di kitab Al Siayasah Al Madaniyah Al Farabi juga menjelaskan bahwa masyarakat kota demokrasi cenderung tidak menghendaki pemimpin dari orang bijak, kalaupun terpilih menjadi pemimpin akan selalu diganggu dan kedudukannya tidak stabil, masyarakat demokrasi cenderung menolak pemerintahan orang bajik dan tidak menyukainya.75 Menurut penulis, pernyataan Al Farabi tersebut tampaknya mengandung kontradiksi satu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sangat tidak logis. Ketiga, terkait kritik Aristoteles terhadap pemikiran Plato yang sedikit dibahas Al Farabi, meskipun secara tidak langsung tapi melalui tanggapannya tentang pemikiran Plato. Kemungkinan bentuk pemimpin despotik dalam bentuk-bentuk pemerintahan ideal Plato maupun yang dapat juga terjadi di dalam Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam Jurnal al- Hikmah , (edisi 2, Oktober 1990), hal. 92. 74 Al Farabi, al-Siyasah al-Madaniyah, hal. 29-32. 75 Al Farabi, al-Siyasah al-Madaniyah, hal. 29-32. 73
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
81
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
bentuk kota utama disetujui Al Farabi tapi tidak ada tindak lanjut. Bahkan dalam konteks tertentu dia setuju dengan penguasa atau pemimpin yang despotik.76 Menurut Al Farabi despotisme hanya tidak benar dan terkutuk bila penguasanya menjadi dispotik lantaran kecenderungan alaminya, bukan karena diperlukan menjadi seperti itu untuk rakyat. Asumsi yang dapat dilihat dari tidak adanya penjelasan Al Farabi yaitu bahwa dia percaya penuh kemungkinan bentuk despotis negatif tidak akan terjadi pada penguasa kota utama seperti dikhawatirkan Aristoteles terhadap bentuk pemerintahan ideal Plato. Despo-tisme pun diperlukan untuk efektifitas sistem daripada demokrasi. Meski demokrasi memiliki kemungkinan baik jika dilakukan akan membutuhkan waktu yang lama mengingat sistemnya tidak memberikan tempat bagi dispotisme.77
Yamani, Antara Al Farabi dan Khomaeni; Filsafat Politik Islam,
76
hal. 77-78
Yamani, Antara Al Farabi dan Khomaeni; Filsafat Politik Islam,
77
hal. 77-78
82a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
DAFTAR PUSTAKA
Abu Nasr al-Farabi. Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Al Atruk: Al Maktabah Al Azhar, 2002. -------, Al-Farabi’s Philosophy of Plato and Aristotle. Terj. Muhsin Mahdi. New York: The Free Press of Glencoe, 1962 -------, al-Siyasah al-Madaniyah, Dar wa Maktabah al-Hilal Fakhry, Majid Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism: His Life, Work and Influence Oxford: Oneworld, 2002 --------, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2001 Bakar, Osman, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto Bandung: Mizan, 1997 Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II Jakarta: UI-Press, 2002 Arsyad, M. Nastsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah Bandung: Mizan, 1995 Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1996 Sheikh, M. Saeed, Studies in Muslim Philosophy India: Adam Publisher, 1994 Ahmad, zainal Abidin Negara utama; Madinatul Fadhilah Jakarta: PT. Kinta, 1968 Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>” dalam M. M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I Delhi: Low Price Publication, 1961 M M. Syarif, Para Filosof Muslim Terj. Tim Penerjemah Mizan Bandung: Mizan, 1996 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian; Sebuah Pendekatan Praktek. Edisi V. Cet. XII. Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2002 Baker Anton dan Zubair, A. Charis. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisus, 1990
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
83
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat. Cet. II. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986 Copleston, F. A Hsistory of Philosophy I. London: Burns Oates and Washbourne Ltd, 1951 Hadi, Sutrisno. Metode Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987 Morwedge, Parvis (ed.). Islamic Philosophical Theology. Albany: State University Of New York Press, 1979 -------, Islamic Philosophy and Mysticism. New York: Carvana Book, 1981 Netton, I.R. Al-Farabi and His School, Arabic Thought and Culture Series. London and New York: Routledge, 1992 Walzer, Richard. Al-Farabi on the Perfect State : Abu Nasr AlFarabi Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madinah al-Fa>dhilah. Oxford: Clarendon Press, 1985 Wippel, John F (ed.). Studies in Medieval Philosophy. Washington DC: the Catholic University of America Press, 1987 Yamani. Al-Farabi Filosof Politik Muslim. Jakarta: Teraju, 2005 -------, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan, 2002 Fuad al-Ahwani, Ahmad, Filsafat Islam Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 al-Khudhari, Muhammad, Muha>darat al Umam al-Isla>miyah Kairo: Tp, 1921 Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Ahmadi, Abu, Filsafat Islam Semarang: Toha Putra, 1982. Mahdi, Muhsin, Al-Fa>ra>bi>’s Philosophy of Plato and Aristotle, (New York: The Free Press of Glencoe, 1962 Syaifuddin, ”Konsep Pemikiran Tentang Kenabian”, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001. hlm. 24-25. Poerwanto, Seluk Beluk Filsafat Islam Bandung: Rosda Karya, 1994 Najjar, Fauzi M, “Democracy In Islamic Political Philosophy”
84a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
dalam Jurnal Studia Islamica, La Loi du 1957, G.P Maisonneuve et Larose 1980, -------, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam Jurnal al-Hikmah, edisi 2, Oktober 1990 Mahdi, Muhsin S, Al Farabi and the Foundation of Philosophy, dalam (ed) Parvis Morwedge Islamic Philosophy and Mysticism. New York: Carvana Book, 1981, Suseno, Frans Magnis, Etika Politik , Jakarta, Gramedia, 1994
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
85
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
Halaman ini bukan sengaja dikosongkan
86a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013