Aktualisasi Filsafat Al-Farabi dalam Era Modern (Telaah Kritis Teori Kenegaraan al-Madinah al-Fadhilah) Salmah, S.Pd.I
Abstract: This study aims to look at the same theoretical concepts about the state of Al-Farabi it describes in the book fi mabadi 'fig Ahl al-Madina al-Fadhilah. In addition to proving that the philosophy of al-Farabi is really a Muslim philosopher original creativity and explains the ideological aspects of the birth of Al-Farabi's philosophy, then to renew the understanding of the philosophy of al-Farabi to fit the context of modernity. This study uses historical-factual assessment which is based on the ideas of AlFarabi in the field of state history using descriptive-analytical approach via history (historical approach). As the subject of his research is the state philosophy of AlFarabi. Collecting data in this study conducted in the form of library research (library research). The study concluded that the state's theory of al-Medina al-Fadhilah is the format of the Main State which reflects a demand for a blend synergy between rationality (aql), religion (din) and nationality (nation).
Key words: philosophy of al-Farabi, rationality, religion, nationality
BAB I. PENDAHULUAN Pada masa pemerintahan Abbasiyah, dunia Islam mengalami kemajuan yang mencapai titik kulminasi pada bidang ilmu pengetahuan khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari tahun pemerintahan dinasti Abbasiyah. Berkat dukungan dari penguasa waktu itu, gairah dan geliat para ilmuwan dari berbagai cabang ilmu mencapai puncaknya. Para ahli bahasa Arab dengan penuh gairah
menyusun kaidah bahasa – nahwu dan sharaf. Pada masa itu juga terkodifikasi buku-buku kumpulan hadis termasuk SHahuh bhukari dan Shahih muslim.1 Dalam bidang hukum islam (Fiqh), mazhab-mazhab bermunculan dan empat diantaranya sampai sekarang masih tetap eksis dikalangan sunni yaitu Mazhab Hanafi, Hanbali, Maliki dan syafi’i. khalifah Abbasiyah yang ketujuh Makmun memiliki kepedulian
yang tinggi terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan, tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama dan sosial, tetapi juga ilmu lain seperti ilmu pasti dan ilmu alam. Makmun juga dikenal sebagai pengagum ilmuilmu Yunani termasuk filsafatnya. Dalam salah satu kebijakannya yang menunjukkan dukungan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, Makmun memerintahkan untuk melengkapi perpustakaan Negara Bait al-Hikmah dengan buku-buku asing di samping buku-buku islam, selain itu juga memerintahkan membeli karya-karya tulis Yunani untuk disalin dan diterjemahkan ke dalam bahasa arab.2 Al-Farabi3 adalah seorang tokoh filsafat yang sangat terkenal pada abad ke-4 H. orang Arab menamakan al-Farabi sebagai “Guru Kedua”, dan memandang Aristoteles sebagai guru pertama. Dimana keduanya dikenal sebagai pakar ilmu mantik (ilmu logika). Filsafat al-Farabi merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Negara dan Teori-teori Kenegaraan. Max Weber dalam bukunya Politics As a Vocation memberikan definisi bahwa Negara yang kerap digunakan dalam teori-teori politik masa kini adalah 1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, SEjarah dan Pemikiran, (Jakarta :UI Press, 1993), Hal.41. 2 Ibid,. 3 Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn tharkhan ibn Auzaluqh (atau Uzluqh). Biografi-biografi penting abad pertengahan yang menjadi sumber tentang kehidupan al-Farabi adalah : Ibn Al-Nadim (w.380 H/990 M al-Mas’udi (w.345/956 M); Said ibn ahmad ibn Said Al-Taqlhibi (w.463 H/1070 M) ibn abi Asaibiyah (w.668 H/1269-70M); ibn Khallikan (w.680 H/1282M); Al-Baihaqi (w.565 H/1170M); ibn al-Qifthi (w.646 H/1248M); Untuk rangkuman yang lengkap mengenai data ini, lihat walzer (1965): 778-9, dan juga pendahulluan walzer tentang al-Farabi (1985); FAkhri (1983) dan Madkour (1963). Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. (Bandung, Mizan,2003). Hal.667
penggunaan kekerasan, tidak adanya institusi social, sehingga konsep dan tujuan Negara tidak terwujud. Keadaan ini yang demikian melahirkan anarki, dan kekerasan dalam suatu Negara. Dengan demikian Negara menurut Max Weber adalah satu-satunya sumber hak dalam menggunakan kekerasan.4 H. Sabine salah seorang Profesor dari Cornell University, Amerika Serikat, membagi teori kenegaraan dalam 3 golongan : 1. Teori Negara Kota. (The Teory of The City-State), teori ini di dalam islam dilanjutkan oleh Al-Farabi dengan konsepsi “Negara Utama”. 2. Teori masyarakat Universal (The Teory of the universal community), yang diawali oleh romawi, yang berkembang hingga abad pertengahan oleh kaum gereja. Teori ini dalam islam dipelopori oleh al-Ghazali dengan Negara Moralnya. 3. Teori Negara Nasional (The teory of the National State), yang dimulai dari Zaman renaissance pada abad ke-15 sampai perkembangnya prinsip nasional sekarang ini. Teori ini dalam islam dipelopori oleh Ibnu Khaldun dengan teori ashabiyah dan Negara Kemakmurannya.5
B. Sejarah Berkembangnya Teori Kenegaraan Secara eksplisit diakui bahwa teori kenegaraan baerawal dari teori hubungan internasional yang berawal dari inggris pada 1919, Dewan Politik internasional dibentuk di University of Wales, Aberystwyth, lewat dukungan yang diberikan oleh David Davies, menjadi posisi akademis pertama yang didesikasikan untuk hubungan internasional. Pada awal 1920-an, jurusan hubungan Internasional dari London School of Economics didirikan atas perintah seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Philip Noel-Baker. Pada 1927, Graduate Institute of International Studies (Institut Universitaire de hautes studes intenationales), didirikan di Jenewa, Swiss; institute ini berusaha menghasilkan kelompok personel khusus untuk Liga Bangsa-Bangsa. Program hubungan international tertua di Amerika Serikat ada di Edmund A. Walsh School of 4 5
Max Weber: Politics as a Vocation vol.2 (Univ. Of. Press,1978), Hal.901-910. Makmud Syaltut,Min tawwdjihat el Islam, Vet III, (Cairo, Darul Qalam, 1966)
Foreigh Service yang merupakan bagian dari Georgetown University. Sekolah tinggi pertama jurusan hubungan internasional yang menghasilkan lulusan bergelar sarjana adalah Fletchel Schooldi Tufts. Meskipun pelbagai sekolah tinggi yang didedikasikan untuk studi hubungan interbasional telah didirikan di Asia dan Amerika Selatan, hubungan internasional sebagai suatu bidang ilmu tetap terutama berpusat di Eropa dan amerika Utara.6
C. Teori Kenegaraan dalam Islam Sejarah telah mencatat bahwa diantara perosalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau yang juga disebut persoalan al-imamat (imamah)7 Unsur-unsur kekerajaan. Dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits memang tidak disebutkan secara eksplisit apakah Negara itu berbentuk republic atau kerajaan, system presidensil dan pemberhentian kepala Negara. Demikian juga, bagaimana mekanisme kekuasaan yang ada, apakah terdapat keharusan memisahkan (separation of power), pembagian (distribution of power) atau penyatuan kekuasaan (integration of power), antara kekuasaan eksekutif, legislative maupun yudikatif. Yang jelas ketiga kekuasaan ini terdapat dalam praktik Rasulullah dan Al-Qur’an, antara lain Q.S An-Nisa’: 58-59: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (58). Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah 6
Padmo Wahjono,Ilmu Negara suatu sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara dan Jellinek, (Jakarta, Study Group, 1977) Hal.152. 7 Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin abi Bark Ahmad al-Syahratani, Al-Milal wa alMihal, (Mirsh: Mushthafa al-Bab al-Habibi wa wa Auladuh, 1387 H), I, hal.24; Bandingkan :Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The Macmillan Press Ltd., 1970), Hal.139: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta:UI Press,1978), 92.
(Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar berikan kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.8
BAB III. AL-FARABI DALAM LINGKUP SEJARAH A. Biografi al-Farabi Kemampuan
Al-Farabi
menguasai
17
bahasa
sangat
membantu
pemahamannya di bidang filsafat. Di Baghdad lah lahir sebagian besar karyanya, yang meliputi bidang fisika, filsafat politik, dan filsafat pengetahuan (epistemologi), sang guru kedua ini- seperti halnya Al-Kindi- juga mendasarkan pemikirannya pada ajaran Aritoteles dan Neoplatonisme. Pendalaman Al-FArabi terhadap kedua ajaran itu tak tanggung-tanggung. Ia mengaku telah 200 kali membaca karya Aristoteles dan 40 kali mengunyah karya Plotinos. Dalam metafisika, al-Farabi lebih condong pada konsep Plato ketimbang Aristoteles bahwa alam ada awalnya dan ada akhirnya. Alam idea Plato pun ditafsirkannya sesuai dengan ajaran islam.9 Al-Farabi sangat menguasai filsafat Aristoteles, yang dijuluki Al-Muallim al-awwal (guru pertama), sehingga tidak mengherankan bila Ibnu Shina, yang menyandang predikat al-Syeh Al-Rois (Kyai utama), dan mendapatkan kunci dalam memahami silfasat Aristoteles dari buku al-Farabi, yang berjudul Fi Aghradhi ma ba’d al-Thabi’at.10
B. Kondisi Kehidupan pemerintahan dan sosial keagamaan. Pada zaman kekuasaan Abbasiyah diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan memberontak. Hingga akhirnya pemerintahan Abbasiyah mengalami kemunduran yang ditandai dengan menelahnya kekuasaan Khalifah, kemudian digantikan oleh dinasti-dinasti baru yang berasal dari turki dan Persia.
8
Lihat QS. An-Nisa’: 58-59 http://wikipedia.org/biografi al-farabi 10 MM. Syarif, (Ed). Para filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), Hal. 452 9
Pada akhirnya, dinasti-dinasti ini menguasai Baghdad dan Khalifah pun praktis merupakan boneka ditangan mereka.11 C. Pokok-pokok pikiran al-Farabi dan Karyanya a. Ketuhanan Pembuktian adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil wajib Al-Wujud dan Mumkin al-Wujud . menurutnya segala yang ada hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang ketiga, yakni wajib al-wujud dan mumkin al-wujud.12 b. Filsafat al-Faid Term al-faid dalam filsafat islam, pertama kali dipakai oleh al-Farabi, yang terpengaruh oleh paham emanasi Plotinus,13 untuk memecahkan persoalan yang dilontarkan Plato (427/347 SM) dan Aristoteles (384/322 SM), yakni hubungan antara Tuhan yang Gaib dan alam yang empiris, antara substansi dengan aksidensi. c. Filsafat al-Nafs (Jiwa) Pemikiran al-FArabi tentang jiwa sangat diwarnai oleh pemikiran para filosif yunani, terutama Aristoteles dan Plato.14 Menurut Aristoteles manusia adalah bagian dari alam yang terdiri dari dua unsure : materi (badan) dan formal (jiwa). Jiwa dan badan sangat erat hubungannya. Badan tidak dapat ada tanpa wujud, yaitu jiwa.15 Kesatuan antara jiwa dan badan merupakan kesatuan antara accident antara keduanya, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya pada jiwa, jiwa manusia disebut dengan al-Nafs Al-Mantiqoh, yang berasal dari alam ilahi.16 d. Filsafat Al-Madinah al-Fadhillah Negara umum (Al-Madinah al-Fadhillah) yang digambarkan Al-Farabi adalah suatu masyarakat yang lengkap bagian-bagiannya, diibaratkan 11
Yamani, Antara Al-farabi dan Khomaini, Filsafat Politik Islam, (Bandung, Mizan, 2002). Hal.52 Muhammad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa al-falsafat, (Mesir: Dar al-Ma’rif, 1119), Hal.55 13 Tim Penulis sysarif hidayatullah, ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta, djambatan,TT) Hal. 229. 14 Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, Hal.41 15 C.A Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (Trj) dic Hartoto, Gramedia, Jakarta, 1980, Hal.323 16 Sirajuddin Zar, filsafat Islam, IAIN Iman Bonjol Press, Padang, 1999. Hal, 60 12
sebagai suatu organism tubuh manusia dengan anggota yang lengkap. Masing-masing organ tubuh akan merasakan penderitaan jika salah satu ada yang sakit demikian pula anggota Negara utama yang digambarkan oleh al-Farabi. Hidup saling bantu membantu dengan kata lain senasib sepenanggungan masing-masing mereka harus diberi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi mereka.17 e. Akal Al-Farabi mengelompokkan akal menjadi dua bagian yaitu : Akal praktis (amaliyah) yaitu hasil-masil pengalaman yang mengajak manusia untuk bekerja dan melanjutkan pengalaman-pengalaman baru, dan akal teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa, akal teoritis dibagi menjadi, akal fisik (material), yang terbiasa (habitual), dan yang diperoleh acquired.
Karya-karya al-Farabi Diantara beberapa karyanya : 1) Ihsha’al-‘Ulum (klasifikasi ilmu), 2) al-Madina al-Fadilah (Negara Utama), 3). Al-Musiqa al-Kabir (music agung), 4). Al-Ta’liqat, 5). Risalah fima Yajidu Ma’rifat Qabla Ta’allumi al-falsafah, 6) Kitab Tahsin al-Sa’adah. 7). Risalah fi Itsbar al-Mufaraqah, 8)’Uyun al-Masa’il 9) Maqalat fi Ma’ani al-aql, 10) Fushul al-Hukm, 11) Risalah al-Aql 12) Al-siyasah al-Madaniyyah 13) al-Masa alfalsafiyah wa al-ajwibah’anha. Judul-judul ini member kesan bahwa al-Farabi adalah seorang filosof kemanusiaan bukan filosof alam.
17
Ibid, Hal,83
BAB IV. KONSEP KENEGARAAN AL-MADINAH AL-FADHILLAH ALFARABI DAN AKTUALISASINYA DALAM ERA MODERN A. Teori Negara Utama (al-Madinah al-Fadhillah) Al-Farabi Cita-cita kenegaraan al-Farabi tergambar dalam konsep Negara utamanya yakni al-Madinah al-fadhilah. Konsep tersebut menjelaskan bahwa Negara adalah berasal dari masyarakat kota, maka memperbincangkan masalah Negara dimulai dari soal manusia yang akan menjadi warga Negara dari Negara tersebut, dan yang membentuk masyarakat. Manusia sebagai warga Negara mempunyai dasardasar pikiran dan pendapat yang mengharuskan untuk bekerja dan berjuang untuk mencapai tujuan Negara, yakni kebahagiaan.18 Untuk menggambarkan warga Negara utama, Al-Farabi menyadur pendapat kaum sufi yang mengemukakan faham ittisal19 dan faham ittihad20 Kebahagiaan material, dapat dirasakan dengan pola hidup yang bersih dan terbebas dari nafsu”egoistic individualism” dan negaranya terhindar dari nafsu “monopolistic capitalism”. Dan kebahagiaan spiritual, karena akhlak rakyat bersih dari krisis moril, dan rohani mereka serta dapat berhubungan langsung dan bersatu dengan Tuhannya.21 Atas dasar inilah al-Farabi menegakkan teori yang dicipatakannya, ialah “theory of the compact for mutual renunciation of rights”, bahwa segenap warga Negara secara bulat dengan sukarela dan penuh keikhlasan saling menghilangkan hak-hak pribadinya demi kebahagiaan masyarakat dan Negara. Maka secara positif, sifat gotong royong, kolektif dan kooperatif adalah menjadi sifat hidup yang menjiwai seluruh warga Negara.22 Berdasarkan uraian diatas, al-Farabi dengan tegas mengutamakan soal-soal warga di dalam membicarakan Negara : keadaan itulah yang member corak, sifat dan bentuk bagi Negara yang didirikannya. Berbeda dari sarjana-sarjana lainnya 18
Al-Farabi, Al-Madinah al-Fadhilah (Jakarta, PT Kinta,tt) hal.97 Ittisal berarti manusia harus dapat menghilangkan diri pribadinya dan melupakan kebutuhan jasmaninya untuk mengadakan hubungan langsung dengan tuhan,Ibid 20 Ittihad tingkat yang paling tinggi, berarti manusia yang berhubungan langsung dengan Tuhan itu mempunyai kesucian rohani yang begitu luhurnya sehingga dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan,Ibid. 21 Ibid, 22 Ibid, 19
yang berpendapat bahwa negaralah yang menentukan warganya, dan berbeda pula dengan pendapat bahwa keadaan kepala negaralah yang menentukan perbedaan antara satu Negara dengan Negara lainnya.23 Konsepsi Negara Utama (Madinatul Fadhilah) Al-Farabi ini telah melahirkan beberapa prinsip pokok sebagai berikut : 1. Negara dibentuk atas kemauan dari manusia yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama. Kemauan rakyat itulah yang menjadi pokok pangkal berdirinya Negara. Mereka membentuk masyarkat kota, dan mereka yang berbeda-beda kebutuhan hidupnya dan berlainan kepandaiannya, lalu membentuk kemauan bersama untuk menegakkan Negara. 2. Warga yang membentuk Negara haruslah menjadi kecerdasan akal yang sanggup dikerahkan untuk menggali rahasia segala alam. 3. Setiap warga harus mempunyai ideology sebagai penganggungjawab dari Negara yang didirikannya, maka setiap warga tidaklah boleh kosong dari citacita hidup yang dianutnya.24 Mengenai teori Negara utama (al-madinah al-Fadhilah), dalam hal ini al-Farabi memisahkan antara satu Negara dengan Negara lainnya, berdasarkan idelogi yang dianut oleh Negara tersebut. Pembagian Negara berdasarkan ideology tersebut adalah sbb : 1. Madinatul Fadilah (Negara Utama) Negara yang didirikan oleh warga negara yang mempunyai tujuan yang tegas, ialah kebahagiaan. 2. Madinatul Jahilah (Negara Jahilah) Negara yang tidak mempunyai ideology yang tinggi, serta tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata lain, menganut ideology yang salah yang bertentangan dengan cita-cita kebahagiaan materiil dan spiritual. 3. Madinatul Fasiqah (Negara Fasiq) Negara yang menganut ideology Negara utama dalam prinsip-prinsipnya, tetapi tidka percaya kepada Tuhan, bersifat anti agama. 23 24
Ibid,. Ibid,.
4. Madinatul ‘ddallah (Negara sesat) Negara yang menganut agama, tetapi tidak mempunyai ideology sosialis. 5. Madinatul Mutabaddilah (Negara Penyeleweng) Negara tersebut beragama dan faham sosialis, tetapi di dalam perbuatannya menyeleweng dari prinsip-prinsip ideology. Disisi lain Al-Farabi juga membagi Negara berdasaran penyelewenganpenyelewengan yang dilakukan oleh rakyat atau pemimpinnya. Penyelewengan tersebut dilakukan bukan berarti kekurangan syarat-syarat yang diperlukan, tetapi tidak mempunyai I’tikad baik dalam melaksanakan cita-cita kenegaraannya. Negara-negara tersebut adalah : 1. Madinah ‘ikarumah wa’ttaakrim (Feudal state = Negara Feodal) 2. Madinatu ‘libahiyah (Bourgeoisie state = Negara Borjuis) 3. Madinatu taqallub (Mastery of imperialistic state = Negara Imperealis) 4. Madinatu ruhbaniyah (Theoracic state = (Negara Kependetaan) 5. Madinatu ‘la diniyah (secularistic state = Negara tanpa agama) Kepala Negara haruslah dipilih oleh rakyat. Syarat-syarat bagi suatu Negara ialah adanya rakyat, daerah, pemerintah, dan pengakuan Negara-negara lain. Disamping syart-syarat tersebut al-Farabi menekankan suatu syarat yang dianggapnya lebih penting ialah masyarakat yang teratur dari warga-warga yang mempunyai kesanggupan dan kepandaian yang berbeda-beda serta dapat nenebuhi kebutuhan pokok dari hidup manusia.25 Bersadarkan syarat-syarat tersebut al-Farabi membagi Negara kepada : 1. Madinah kamilah (Negara sempurna), ialah Negara yang masyarakat rakyatnya telah mencapai kesempurnaan yang dinamakan masyarakat kota. 2. Madinah gairah kamilah (Negara tidak sempurna), yaitu Negara yang belum mencapai syarat-syarat kesempurnaan seperti yang disebutkan.
25
Ibid,.
B. Analisis Teori Kenegaraan al-Madinah al-Fadhilah al-Farabi Menurut al-Farabi, manusia bersifat social, tidak mungkin hidup sendirisendiri. Manusia perlu hidup bermasyarakat dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam mencapai tujuan, yakni kebahagiaan.26 Masyarakat menurut Al-Farabi terbagi dua yakni : masyarakat sempurna dan masyarakat yang tidak sempurna. Kelompok pertama adalah masyarakat besar, bisa berbentuk masyarakat kota, bisa berbentuk gabungan dari bangsabangsa yang bersatu dan bekerja sama secara internasional. Kelompok kedua adalah masyarakat dalam suatu keluarga atau masyarakat sedesa. Masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang bekerja sama saling membantu untuk mencapai kebahagiaan, masyarakat inilah yang disebut masyarakat utama.27 Fungsi utama dari suatu Negara adalah kepala Negara, yang merupakan dengan fungsi jantung dalam tubuh manusia. Kepala Negara, menurut al-Farabi harus memenuhi beberapa syarat (1) sempurna anggota badannya, (2) besar pengertiannya, (3) bagus tanggapannya, (4) sempurna ingatannya, (5) cakap dan bijaksana, (6) mencintai pengetahuan, (7) tidak hidup mewah dan berpoya-poya (8) tidak serakah makan minum dan hubungan kelamin, (9) cinta kepada kebenaran dan membenci kebohongan, (10) cinta kepada keadilan dan benci kezaliman, (11) sanggup menegakkan keadilan, (12) Mampu dalam kehidupan.28 Syarat-syarat tersebut oleh Al-Farabi diakui sangat sulit terwujud secara bersama-sama pada diri seseorang, tapi ia masih menambahkan syarat lainnya yang sejalan dengan corak umum filsafat dan tasawufnya, dan memiliki akan mustafad yang dapat berkomunikasi dengan kesepuluh pengatur bumi dan penyampain wahyu.
26
Harun Nasution, Filsafat…, Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, hal 57. 28 Ibid., 27
C. Aktualisasi Teori Kenegaraan al-Madinah al-Fadhilah al-Farabi dalam Era Modern. Selama periode pasca-kemerdekaan hingga sekarang, terdapat tiga pola umum system kenegaraan di dunia islam : sekunder, Islam dan Muslim. Turki memiliki jalan sekuler “total” memisahkan Islam dari Negara dan, karenanya, membatasi peran agama dalamkehidupan pribadi, meskipun belakangan di Turki juga terdapat tanda-tanda meningkatnya keinginan kembali ke politik Islam. Negara-negara seperti Arab Saudi, Pakistan atau Iran, paling tidak secara formal, menyatakan bahwa islam adalah agama Negara dan sumber hukum tertinggi. Sementara kebanyakan Negara dengan mayoritas penduduk Muslim, termasuk Indonesia dan Malaysia, tampil sebagai Negara-negara Muslim.29 Secara historis, system kenegaraan memiliki contoh eksklusif dari pribadi Nabi Muhammad sendiri (yakni pada masa Negara kota Madinah), pada periode khalifah-khalifah awal, serta para sultan dan syah yang berkuasa pada abad pertengahan. Gagasan sunni mengenai kekhalifahan dan diktrin Syi’ah mengenai Imamah juga menggambarkan otoritas sentral yang kuat. Dalam kerangka syari’ah, khalifah atau imam tetap mempertahankan otoritas tertinggi dalam bidang politikm administrative, militer, dan peradilan. Kalangan aktivis politik Muslim kontemporer, meski masih mempertahankan posisi eksekutif, cenderung mengontrol otoritas penguasa, misalnya melalui pemilihan umum (langsung atau tidak langsung), dan pembentukan parlemen merupakan versi modern dari lembaga penasehat khalifah, dan penempatan penguasa di bawah control syari’ah. Sebagai seorang warga Negara yang baik (ideal citizens). Al-Farabi menyebut beberapa factor patokan penting yang baik menjadi perhatian dalam konteks era modern saat ini. 1. Negara dibentuk atas “kemauan” yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama. Kemauan rakyat itulah yang menjadi dasar berdirinya Negara. Mereka membentuk masyarakat kota, dan mereka berbeda-beda kebutuhan 29
Untuk membahas tentang perbedaan eksperimen di antara Negara-negara Muslim, lihat, Smith, Islam in Modern History, bab 3-7: J.L Esposito. Islam dan politics, revised, second edition,Syracuse 1987,94ff;Henry Munson, Jr., Islam and Revolution in the Middle East, New Haven, 1988, Hal.39.
hidupnya dan berlainan kepandaiannya, lalu membentuk kemauan bersama untuk menegakkan Negara. Kemauan bersama inilah yang dinamakan oleh j.J Rousseau dengan “Volonte generale” 2. Setiap warga Negara yang membentuk Negara harus mempunyai “kecerdasan akal” yang sanggup dikerahkan untuk menggali rahasia segala alam, baik alam materi maupun immateri. Karena al-Farabi menganjurkan menggunakan akal semaksimal mungkin, untuk kebahagiaan seluruh masyarakat, maka al-Farabi tidak menolak kesenangan dan kemewahan yang dihasilkan oleh kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Warga Negara harus hidup makmur, segala kebutuhan terpenuhi baik sandang, pangan maupun papan. 3. Setiap Negara harus mempunyai “ideology”, sebagai penanggung jawab dari Negara yang didirikannya, maka setiap warga harus mempunyai cita-cita dan pandangan dalam hidupnya. Yakni hidup yang tentram dalam arti sanubari setiap warga. Disinilah letak keagungan konsepsi Al-Farabi, keagungan yang diperolehnya dari ajaran islan yang dianutnya.30
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan Karya ini, walaupun tidak dapat dikatakan sempurna dengan metodologi yang memecahkan, namun setidaknya memberikan beberapa pelajaran yang cukup signifikan untuk memahami teori kenegaraan al-Farabi dalam karya monumentalnya al-madinah al-Fadhilah. Beberapa kesimpulan yang dapat dikongkritkan di wacana diatas adalah : 1. Pemikiran al-FArabi dilaratbelakangi oleh kehidupan sosialnya yang menunjukkan bahwa filsafat al-Farabi merupakan bagian integral dari mazhab intelektual dan kultur islam pada zamannya. Pemikiran al-Farabi merupakan hasil kreativitas filosof muslim yang orisinal. Hal ini sejalan dengan argument kebudayaan yangmenembus berbagai macam gelombang di mana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan serta interaksi ini tentunya melahirkan 30
Syabirin Harahap, Pokok-Pokok Pikiran filsuf-filsuf Islam dan Barat, (Nazamiyah, Semarang, 2004). Hal. 161-162.
pemikiran baru yang tidak harus mengkonsekwensikan perbudakan atau perhambaan. Di samping itu, keterlibatan al-Farabi pada Aristoteles dan Plato tidak mencerminkan suatu perbuatan mengekor, sebab al-Farabi yang mendapat didikan secara Islami dan dijejali dengan ruh peradaban Islam melakukan upaya harmonisasi di antara kedua filosof tersebut. Hal ini menunjukan bahwa al-Farabi menunjuk agama islam sebagai agama Masehi yang ditransformasikan kepada bangsa Arab sebagai pengoreksi. Dan filsafat yang ditransformasikan kepada bangsa Arab adalah filsafat Yunani yang menjadi dasar bagi agama Masehi, dan selanjutnya menjadi dasar bagi agama islam itu sendiri. Demikian juga pemikiran tentang Negara Utama berbeda dengan yang diajukan Plato, Negara Utama al-Farabi mencerminkan suatu tuntutan sinergi bagi perpaduan antara rasionalitas (aql), agama (din) dan kebangsaan (nation). Dengan demikian bahwa filsafat al-Farabi kahir dari landasan ideologis yang dihadapinya. Ia murni sebagai filosof Muslim dan bukan foto copy Yunani. 2. Dimensi pemikiran al-Madinah al-fadhilah al-Farabi yang dituangkan dalam karta monumentalnya al-Madinah al-Fadhilah menghendaki suatu bentuk negaraa yang didalamnya bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Yang diperoleh oleh seorang penguasa yang memiliki berbagai ilmu pengetahuan, yang mampu memahami dengan baik segala apa yang harus dilakukannya, dan mampu membimbing dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Dengan memanfaatkan segala potensi orang-orang
yang memiliki kemampuan, ia mampu
menentukan, mendefenisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan. Pendirian politik Al-Farabi didasarkan atas konsepsi usaha bersama dari manusia untuk mencapai jebahagiaan yang tertinggi, dengan pikiran dan tindakan yang baik, bekerjasama dengan masyarakat, demi terwujudnya kehidupan yang sejati dan harminis. Seorang Kepala Negara harus mencerdaskan kehidupan rakyatnya untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, maka sejatinya seorang kepala Negara adalah seorang Nabi. Jika tidak ada,
maka harus diadakan pemilihan untuk mendapatkan orang yang ahli serta mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Sehingga pada gilirannya dapat terwujud masyarakat dan pemerintahan yang baik. Konsep kenegaraan yang dikembangkan al-Farabi pada prinsipnya mengarah pada system autokrasi, dalam arti seorang pemimpin memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur Negara. Dengan konsep ini, ia mempersyaratkan tingginya moral sang pemimpin. 3. Pemikrian al-Madinah Al-Fadhilah al-Farabi dalam era modern ternyata sangat besar manfaatnya. Teorinya yang sangat penting, yang tetap up to date sampai sekarang, ialah mengenai pembangunan semesta berencana. Artinya pembangunan dilakukan dengan rencana yang matang dan bersifat semesta, yang meliputi segala bidang. Terutama bagi Negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, teori Al-Farabi sangatlah penting untuk diterapkan. Bahkan juga bagi Negara-negara yang maju seperti Amerika. Teori kenegaraan Al-FArabi merupakan perangsang yang paling besar agar menumpahkan perhatiannya kepada suatu pembangunan dunia yang universal membentuk Negara-negara yang sedang berkembang. Dan secara bersamasama serta bergotong-royong membuat rencana semesta demi perdamaian dan kemanusiaan. Sehingga pada gilirannya Negara-negara yang maju membuat rencana semesta secara kolektif untuk membantu Negara-negara yang sedang berkembang. Agar tercapai tarap hidup yang layak dalam pergaulan bangsabangsa. Usaha demikian, dapat dilakukan di antara bangsa-bangsa dan Negara-negara yang sederajat, berkat solidaritas dan tanggung jawab Negaranegara besar. Teori kenegaraan dalam pandangan al-Farabi dapat dikatakan memiliki relevasi dengan zaman modern, termasuk dalam kasus politik di Indonesia. Bahwa pemikiran kenegaraan al-madinah al-Fadhilah merupakan teori Negara yang dapat menjadi solusi dalam mengatasi proses melemahnya solidaritas sosial di Negara kita dna juga degradasi moral yang kini sedang melanda Indonesia.
BIBLIOGRAFI Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :UI Press, 1993). Max Weber: Politics as a Vocation vol.2 (Univ. Of. Press,1978) Makmud Syaltut,Min tawwdjihat el Islam, Vet III, (Cairo, Darul Qalam, 1966) Padmo Wahjono,Ilmu Negara suatu sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara dan Jellinek, (Jakarta, Study Group, 1977) Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin abi Bark Ahmad al-Syahratani, AlMilal wa al-Mihal, (Mirsh: Mushthafa al-Bab al-Habibi wa wa Auladuh, 1387 H), I, hal.24; Bandingkan :Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The Macmillan Press Ltd., 1970), Hal.139: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta:UI Press,1978) QS. An-Nisa’: 58-59 Al-Farabi, Al-Madinah al-Fadhilah (Jakarta, PT Kinta,tt) Smith, Islam in Modern History, bab 3-7: J.L Esposito. Islam dan politics, revised, second edition,Syracuse 1987,94ff; Henry Munson, Jr., Islam and Revolution in the Middle East, New Haven, 1988, Syabirin
Harahap,
Pokok-Pokok
(Nazamiyah, Semarang, 2004).
Pikiran
filsuf-filsuf
Islam
dan
Barat,