Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
MENCARI PENANGGUNG JAWAB PERS Wina Armada Sukardi e-mail:
[email protected]
Abstract: article 12 of Law No. 40 Year 1999 on Press stipulates that the press corporate leaders in charge of business and editing will be responsible for any wrongdoing in their media publication. Since most of the Indonesian press legal entity is "Perseroan Terbatas" (PT), so the board of directors is considered the responsible body to represent the whole elements in the corporation. But, this law does not give any clear explanation whether its president director can delegate such responsibility to his subordinates as adopted in the previous regulation. The author of this article elaborates several concepts of press liability and finally, recommends a very possible solution for this controversy. Keywords: liability, press legal entity, waterfall system, fictive and successive system. Pendahuluan
P
ers telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Kehadiran pers di seluruh dunia, bukan hanya sudah tidak dapat ditolak lagi, tetapi juga memiliki peranan sangat penting dan strategis. Pers menjadi salah satu faktor yang menentukan arah perkembangan peradaban dunia. Pers mendorong terciptanya masyarakat yang demokratis. Pers ikut menggiring masyarakat menuju kondisi yang lebih sejahtera. Pers membantu penegakan hukum. Pers memberikan alternatif secara terbuka dalam pilihan gagasan dan sikap hidup. Perkembangan teknologi informasi yang luar biasa pesat menambah daya powerful pers. Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan karya pers kini tidak lagi dikukung oleh ruang dan waktu. Terjadinya konvergensi teknologi informasi menyebabkan proses pengolahan berita bukan lagi berlangsung detik per detik, tetapi sudah dapat menjadi “refleksi nyata pada waktu yang bersamaan.” Sebuah peristiwa dapat langsung diberitakan dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula karya pers dapat “dinikmati” di mana saja di atas bumi tanpa terlampau dibatasi ruang karena dibantu teknologi informasi, seperti satelit. Alat penerima berita sudah portable. Artinya, dapat dibawa ke mana saja. Alat-alat ini pun compatable satu sama lain, sehingga bersifat masal. Teks, foto, gambar bergerak dan suara dapat diterima dengan hanya suatu alat yang praktis. Berita menjadi seperti bagian kehidupan masyarakat, dan ini membuat kekuatan pers semakin dahsyat saja.
Penulis adalah Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia, Anggota Dewan Pers, dan dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara.
ISSN : 2085 1979
35
Wina Armada Sukardi: Mencari Penanggung Jawab Pers
Peranan Pers Menurut UU No. 40 Tahun 1999 Di Indonesia Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers) memberikan peranan yang sangat penting dan luas terhadap pers nasional. Sedemikian luas dan pentingnya peranan pers nasional menurut UU Pers membuat pers nasional benar-benar ditempatkan sebagai “pilar keempat”, mulai dari peran klasik memberikan informasi kepada masyarakat sampai peran ikut memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Menurut Pasal 6 UU Pers, pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: (1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (2) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan; (3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informsi yang tepat, akurat dan benar; (4) melakukan pengawasasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (5) memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dengan peranan yang disandang pers nasional ini, pers nasional sesungguhnya memiliki “kewenangan” publik yang sangat besar. Atas nama (demi) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, pers nasional dapat mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah dan memiliki informasi tanpa ada yang boleh menghalang-halanginya. Pers dapat membongkar dan menyebarkan informasi yang sebelumnya tertutup rapat dan tidak pernah dibeberkan ke publik. Atas nama melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap kepentingan umum, pers dapat mengemukakan pendapat dengan merdeka. Rangkuman fakta, opini dan konstruksinya bebas diutarakan pers. Peranan ini di satu sisi membuat pemerintah menjadi lebih terbuka, berhati-hati dan memperhatikan aspirasi rakyat. Sebaliknya di sisi lainnya rakyat diajak untuk ikut berpartisipasi mengikuti seluruh tindakan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Apabila ada yang merugikan kepentingan umum masyarakat langsung mengetahui dan segera dapat memberikan reaksi, termasuk saran perbaikannya. Mekanisme ini menciptakan pemerintah yang memiliki kesadaran untuk mementingkan kepentingan umum dan bekerja dengan terbuka dan bersih. Sebaliknya masyarakat didorong untuk aktif menyalurkan aspirasi sekaligus memikirkan masalah-masalah yang ada. Kesemua itu diharapkan akhirnya dapat menciptakan bangsa yang demokratis, sejahtera, dan tertib. Tetapi pers bukan dewa yang tidak memiliki kelemahan dan bias. Pers bukan lembaga super yang tidak mungkin membuat kesalahan, sengaja atau tidak sengaja. Dalam prakteknya, dengan memiliki peranan yang sedemikian besar dan penting itu tidak otomatis pers selalu menampilkan diri secara berimbang dan netral serta berkualitas. Pers yang memiliki kepentingan erat dengan dunia bisnis dan pemerintah, dalam hal-hal tertentu dapat memutarbalikkan atau mendistorsikan informasi. Berbagai studi menunjukkan, pers yang dikuasai oleh swasta tertentu cenderung lebih mewakili pandangan-pandangan dan kepentingan pemiliknya. Di negara-negara yang media besarnya dimiliki oleh swasta dan seluruhnya didanai dari iklan, seperti di Amerika Serikat dan Italia, pers tersebut cenderung bersekutu denga manasyarakat korporat. Pada pers yang lebih cenderung mengejar keuntungan semacam ini maka berita akan menjadi alat bargaining dengan para pemilik. Bagi pers yang beroperasi dalam sistem pasar besar (dan terutama yang kapitalistik), informasi adalah komoditas yang harus 36
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
dikemas, didistribuskan dan dijual dengan beragam cara yang perlu menjamin nilai-nilai komersial terus terjaga, termasuk kepentingan para pihak yang memberikan keuntungan. Di sinilah seringkali isi berita tak selalu ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat, apalagi nilai-nilai yang mencerahkan rakyat. Sebagai komoditas yang harus laku jual, kemasan pemberitaan pun mulai mengalami perubahan. Kini berita sudah dikemas bagaikan serial opera sabun yang mempertentangkan karakter si baik dan si buruk dalam plot penuh konflik yang menegangkan, dramatis, dan penuh kejutan serta menimbulkan rasa ingin tahu yang berkelanjutan (Lebih lanjut lihat Waterboll, The Soap Opera Paradigm, 2004) Sementara itu, para pemilik modal, tentu saja, tidak akan membiarkan pers yang mereka kuasai menjadi sarana penyebar informasi yang mengancam kepentingan perekonomian mereka. Para pemilik perusahaan pers itu akan memperlakukan setiap kepentingan yang membahayakan kepentingannya dengan sikap yang defensif dan jika perlu memarjinalkan informasi tersebut. Agenda setting megenai apa yang penting bagi masyarakat yang sebelumnya didengungdegungkan berada di news room atau ruang rapat redaksi, kini beralih kepada ruangan-ruangan kantor bisnis pemilik pers. Pemilik pers semakin lama semakin memperlakukan berita sebagai komoditas publik. Jika sebelumnya aspek kepentingan publik menjadi titik tolak utama, kini cenderung beralih menjadi keuntungan perusahaan atau profit menjadi titik tolak utama. Dalam kerangka seperti itulah kemudian timbul pertanyaan, apabila terjadi penyimpangan dalam peranan pers, atau apabila ada masyarakat yang tidak puas dan bahkan merasa diperlakukan dengan tidak adil, siapakah dari pihak pers yang harus bertanggung jawab? Pihak manakah dari pers yang harus mempertangungjawabkan dari segi hukum terhadap berita-berita yang mereka buat? Pihak wartawan yang menyiarkan beritakah, pemimpin redaksikah, atau pemimpin badan hukum perusahaan persnya? Bagaimana denga kedudukan para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan yang langsung atau tidak langsung dapat menjadi pemegang kendali yang sebenarnya dari arah pemberitaaan pers? Siapakah yang Dimaksud Penanggung Jawab? Persoalan siapa yang harus bertanggung jawab pers dalam UU Pers masih sangat simpang siur dan oleh karena itu masih menjadi bahan perdebatan. Memang soal penanggung jawab sudah diatur dalam penjelasan Pasal 12 UU Pers. Tetapi ternyata isi penjelasan Pasal 12 undang-undang ini tetap tidak memberikan jawaban yang tuntas mengenai siapa yang yang dimaksud dengan penanggung jawab. Isi penjelasan resmi Pasal 12 soal penanggung jawab berbunyi, “Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.” Penjelasan Pasal 12 harus dikaitkan dengan penjelasan Pasal 18 ayat (2) berbunyi, “Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan pers tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 12.” Dilihat dari isi penjelasan ini maka yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah: (1) penanggung jawab perusahaan pers, (2) penanggung jawab yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi,dan (3) orang yang mewakili perusahaan dalam kasus pelanggaran pidana.
ISSN : 2085 1979
37
Wina Armada Sukardi: Mencari Penanggung Jawab Pers
Perusahaan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 2 UU Pers adalah badan hukum Indonesia. Berdasarkan hukum Indonesia, untuk perusahaan berbadan hukum penanggung jawabnya adalah pengurus perusahaan tersebut. Jika berbentuk perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT), maka pengurusnya adalah direksinya, sehingga direksi inilah yang menjadi penanggung jawab. Direksi atau pengurus badan hukum mewakili perusahan ke dalam dan keluar. Artinya, pengurus (direksi) merupakan penanggung jawab terhadap seluruh aktivitas perusahaan. Tangung jawab itu ada di pundak mereka karena mereka adalah pengendali perusahaan (badan hukum). Ketentuan ini memang cocok dengan isi penjelasan resmi Pasal 18 ayat (2) yang menegaskan dalam masalah pidana perusahaan pers diwakili oleh penanggung jawab. Ini juga sesuai dengan isi penjelasan resmi Pasal 12 yang menyebut penanggung jawab adalah penanggung jawab pers yang meliputi bidang usaha dan redaksi. Masalahnya adalah, apakah tangung jawab itu dapat dialihkan kepada pihak lainnya oleh penanggung jawab yang sudah ditentukan oleh undang-undang? Misalnya saja apakah boleh direksi mengalihkan tangung jawab di bidang redaksi kepada redaktur pelaksanaan atau bahkan kepada wartawan yang menulis atau menyiarkan suatu berita yang menjadi masalah hukum? Berbeda dengan undangundang sebelumnya yang dengan jelas menerapakn sistem air terjun, dalam UU Pers saat ini (UU No 40 Tahun 1999) tidak ada satu ketentuan pun yang menegaskan adanya kewenangan atau kebolehan dari penanggung jawab perusahaan pers untuk mengalihkan tangung jawab itu kepada pihak lain, termasuk kepada bawahan penanggung jawab. Ini berarti pengurus badan hukum (direksi) harus bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan perusahaan pers, termasuk dampak hukum dari berita yang muncul, kendati mungkin direksi perusahaan pers yang bersangkutan tidak terlibat atau tidak memahami berita yang disiarkan. Berita-berita yang ditulis oleh para wartawan dengan memakai by line (pencatuman nama jelas penulisnya) juga menjadi tangung jawab penanggung jawab perusahaan pers dan bukan si penulis berita itu. Apabila kebetulan pemimpin redaksinya merangkap sebagai salah satu direksi (misal sebagai direktur pemberitaan), tidak akan menjadi masalah. Dalam posisi ini si pemimpin redaksi juga memang sudah merangkap sebagai penanggung jawab perusahaan pers karena dia merupakan salah satu pengurus (direksi). Bagaimana jika pemimpin redaksinya tidak meranagkap jabatan sebagai pengurus perusahaan pers, apakah dia boleh menjadi penanggung jawab? Begitu pula dengan redaktur pelaksanaa (managing editor) apakah boleh menjadi penanggung jawab? Soalnya penjelasan Pasal 12 UU Pers sendiri sudah menegaskan penanggung jawab adalah penanggung jawab perusahaan pers dan meliputi bidang usaha dan redaksi. Seorang pemimpin redaksi yang merangkap sebagai direksi masuk dalam klasifikasi penanggung jawab perusahaan, sedangkan pemimpin redaksi yang tidak mernagkap jabatan sebagai direski tidak termasuk dalam klasifikasi penanggung jawab perusahaan. Apalagi seorang redaktur pelaksana. Seorang redaktur pelaksana bukanlah penanggung jawab perusahaan, dan tidak pula bertanggung jawab terhadap bidang usaha dan redaksi. Redaktur pelaksana hanya bertanggung jawab di bidang redaksi untuk bagian-bagian berita yang berada di bawah kewenangan dan pengawasannya. Tanpa ada jabatan di bidang usaha, seorang redaktur pelaksana tidak berwenang mewakili urusan usaha. Jika berpenggang kepada ketentuan 38
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
penjelasan Pasal 12, level redaktur pelaksanaan ke bawah tidak dapat diklasfiikasi sebagai penanggung jawab. Pada prakteknya seorang pemimpin redaksi yang tidak merangkap jabatan di direksi sering dicantumkan sebagai penanggung jawab. Begitu juga para redaktur pelaksana sering diumumkan sebagai penanggung jawab I, II dan seterusnya. Ini berarti diam-diam telah diterapkan sistem air terjun atau pelimpahan tangung jawab dari penanggung jawab menurut UU Pers kepada bawahannya. Apakah hal ini diperbolehkan? Dilihat dari ruang lingkup siapa yang dinamakan penanggung jawab menurut UU Pers, peralihan tangung jawab secara diam-diam ini bertentangan dengan UU Pers itu sendiri. Dari isi penjelasan resmi Pasal 12 maka yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah: (1) Penanggung jawab perusahaan pers. Pemimpin redaksi yang tidak merangkap jabatan direksi dan level redaktur pelaksana ke bawah menurut hukum yang berlaku bukan pengurus badan hukum dan karena itu tidak termasuk dalam kelompok penanggung jawab perusahaan pers. (2) Penanggung jawab yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Pemimpin redaksi yang tidak merangkap jabatan direksi dan level redaktur pelaksana ke bawah kewenangannya hanya di bidang redaksi dan tidak meliputi bidang usaha dan karena itu tidak termasuk kelompok ini. (3) Orang yang mewakili perusahaan dalam kasus pelanggaran pidana. Sesuai dengan undang-undang hanya mereka yang termasuk ke dalam kelompok penanggung jawab perusahan sajalah yang berhak mewakili perusahaan. Padahal pemimpin redaksi yang tidak merangkap jabatan dreksi dan level redaktur pelaksana ke bawah tidak termasuk dalam klasifikasi ini. Penanggung jawab harus menjadi penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Mereka yang tidak memenuhi syarat ini oleh undang-undang tidak dibenarkan bertindak sebagai penanggung jawab. Penjelasan ini menunjukkan, pencatuman nama orang sebagai penanggung jawab perusahaan pers yang dimaksud hanya untuk menjadi penanggung jawab di bidang redaksi tidak sesuai dan berlawanan dengan ketentuan UU Pers. Tetapi, lagi-lagi UU Pers dibuat dengan konstruksi hukum yang tidak konsisten, sehingga kesimpulan seperti ini pun tidak dapat dilaksanakan secara mutlak. Penyebabnya, pada sisi lain UU Pers sendiri membuka terjadinya pansifran yang lain. Penjelasan resmi Pasal 12 UU Pers sendiri juga menegaskan pencatuman penanggung jawab tidaklah dapat dilepaskan dari konteks pers dan karena itu seluruh sistem pertanggungjawabannya juga harus dikaitkan dengan mekanisme kerja pers. Penjelasan resmi Pasal 12 antara lain menegaskan, “Pengumuman tersebut dimaksud yang diterbitkan atau disiarkan.” Jadi, pengumuman identitas perusahaan pers sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 12 harus dilihat pula dalam rangka tangung jawab pers. Menurut mekanisme sistem kerja di pers, pemimpin redaksi yang bukan direksi pun memang bertanggung jawab terhadap isi pemberitaan. Begitu pula level redaktur pelaksanaan memang bertanggung jawab terhadap isi berita yang berada dibawah kewenangan dan pengawasannya. Dari segi ini pencatuman nama pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana sebagai penanggung jawab isi berita memang sesuai dengan mekanime redaksi dan itu senafas dengan penjelasan Pasal 12 bahwa pengumuman dalam Pasal 12 adalah sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik. Sebaliknya peraturan di bidang badan hukum perseroan terbatas. Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, seorang karyawan dapat diminta ISSN : 2085 1979
39
Wina Armada Sukardi: Mencari Penanggung Jawab Pers
pertanggungjawaban pidana apabila melakukan suatu perbuatan yang dianggap bertentangan dengan kebijakan perusahaan atau melakukan tindakan yang memang bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan perundang-undangan yang berlaku. Apapun pilihannya, hal ini memberikan dilema. Pilihan terhadap pilihan yang ada dari beberapa pilihan pada waktu yang bersamaan, dapat digolongkan benar, tetapi sekaligus dapat digolongkan bertentangan dengan undang-undang. Ketidakjelasan dari penyusun UU Pers dalam memilih sistem pertanggungjawaban menyulitkan penegakan hukum di bidang pers. Ketidakjelasan Sistem Pertanggungjawaban Hukum Sebenarnya prinsip perlindungan yang diberikan oleh UU Pers terhadap kemerdekaan pers sudah memadai. Hanya saja, adanya ketidakjelasan sistem pertanggungjawaban hukum ini justru membuka kembali jalan untuk menyimpang dari jiwa UU Pers yang sudah demokratis. Dengan ketidakjelasan sistem pertangunngjawaban dalam UU Pers, maka memungkinkan lahirnya sikap otoriter kembali terhadap pers. Untuk memahami dan melihat dengan jernih sistem pertanggungjawaban hukum dalam UU Pers, kita harus menghubungkan beberapa pasal. Hal ini karena ketentuan ikhwal pertanggungjawaban hukum tersebar di beberapa pasal, dan terkadang hubungan-hubungan itu tidak dinyatakan secara eksplsit atau tersurat. Dalam hal ini pertama-tama sekali kita harus melihat ketentuan Pasal 12 UU Pers yang berbunyi: “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah dengan nama dan alamat percetakan.” Mengapa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkuatan dan khusus penerbitan bahkan ditambah dengan nama dan alamat percetakannya? Ada yang menilai ketentuan ini hanya bersifat deklarator sekadar sebagai untuk informasi memudahkan mengetahui identitas atau siapa pengelola pers yang bersangkutan. Bahkan ada yang mengaitkannya sekadar untuk mudah diketahui untuk masalahmasalah administratif. Sebenarnya di balik ketentuan Pasal 12 secara implisit atau tersirat, terkandung maksud menunjukkan sistem pertanggungjawaban hukum yang dianut oleh undang-undang ini. Isi Pasal 12 secara tidak langsung sebenarnya pada satu sisi pembuat UU Pers ingin menegaskan bahwa undang-undang ini tidak memakai sistem pertanggunngjawaban personal, proporsional dan sistem pertangunngjawaban hukum penyertaan. Kewajiban mencatumkan siapa penanggung jawab dari perusahaan pers sebenarnya menunjukkan UU Pers menganut sistem pertangungjawaban fiktif atau suksesif. Pengumuman siapa penanggug jawab perusahaa pers tidak dapat ditafsirkan lain kecuali dalam kaitannya dengan sistem pertanggungjawaban yang dipilih. Dengan diketahuinya siapa penanggung jawab perusahaan pers, maka menjadi jelas bagi pihak ketiga kepada siapa meminta pertanggunjawaban hukum perusahaan pers. Begitu pula kewajiban mengumumkan identitas percetakan adalah sebagai penegasan tidak berlakunya ketentuan sistem pertanggungjawaban penyertaan, sehingga membebaskan percetakan yang mencetak pers bersangkutan dari tanggung jawab hukum. 40
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU Pers ini, jika ada pers dinilai melakukan pelanggaran hukum, penyidik (polisi atau jaksa) tidak dapat mememanggil dan menahan wartawan dari pers yang dituduh melakukan pelanggaran hukum. Sesuai dengan sistem pertanggungjawaban fiktif dan suksesif yang daitur dalam Pasal 12, semua kesalahan yang dibuat oleh pers diambil alih oleh penanggung jawab pers yang bersangkutan. Dengan kata lain, penanggunng jawab dari perusahaan pers yang bersangkutan yang harus diminta pertanggunjawabannya. Bukan yang lain. Ketentuan Pasal 12 ini sejajar dengan ketentuan mengenai perusahaan pers. Pasal 9 ayat (1) UU Pers menegaskan, “Setiap perusahaan pers harus bebentuk badan hukum Indonesia.” Ketentuan ini merupakan penjabaran dari pengertian perusahaan pers sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (2) yang antara lain berbunyi, “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia...” Di sini perlu diperhatikan badan hukum yang dimaksud oleh UU Pers adalah “perusahaaan” atau korporasi, karena istilah yang dipakai juga adalah “perusahaaan.” Hal ini memberikan pengertian bahwa hanya badan hukum perusahaan atau korporasi saja yang dapat menjadi penyelenggara pers, sedangkan badan hukum yang tidak berbentuk perusahaan tidak termasuk dalam kategori ini. Dalam sistem pertanggungjawaban hukum sebagai subjek hukum, perusahan berbada hukum memang biasanya yang diwakili oleh penanggung jawab atau pengurus perusahaan. Konstruksi hukum demikian yang sudah dibangun oleh Pasal 12 yo Pasal 9 ayat (1) yo Pasal 1 butir 2 UU Pers menjadi berantakan dan tidak lagi mendasar dengan adalanya isi penjelasan Pasal 12 itu sendiri. Selengkapnya isi penjelasan resmi Pasal 12 Undang-Undang Pers sebagai berikut: Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara: (a) Media cetak memuat kolom nama, alamat dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan; (b) Media elektronik menyebut nama, alamat dan penanggung jawabnnya pada awal dan akhir setiap siaran karya jurnalistiknya; (c) Media lainnya menyesuaikan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan. Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Sepanjang menyangkut menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan resmi Pasal 12 ini menjungkirbalikkan konstruksi hukum yang sudah dibangun oleh isi Pasal 12 itu sendiri. Konstruksi perumusan penjelasan resmi Pasal 12 ini sangat kacau dan menyalahi sistem drafting sebuah pembuatan undang-undangan dengan alasan sebagai berikut: 1. Isi penjelasan resmi Pasal 12 ini tidak hanya membuat sebuah penjelasan tetapi telah pula membuat sebuah norma baru atau delik baru yang seharusnya berada di dalam isi sebuah perundang-undangan. Penjelasan yang menegaskan “sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku” adalah penambahan norma baru dan bukan sekadar tambahan penejalasan. 2. Isi penjelasan resmi Pasal 12 pertentangan dengan isi Pasal 12 sendiri sendiri. Isi Pasal 12 mengarahkan kepada sistem pertangungjawab fiktif atau suksesif, tetapi penjelasan resmi Pasal 12 justru membuka peluang ISSN : 2085 1979
41
Wina Armada Sukardi: Mencari Penanggung Jawab Pers
menerapkan kembali sistem pertanggunjawaban pidana personal, proporsional, dan penyertaan sebagai perundang-undangan yang berlaku. 3. Isi penjelasan resmi Pasal 12 bertentangan antara satu penjelasan dalam Pasal 12 dengan penjelasan lainnya dalam pasal yang sama. Di antaranya: (a) Di satu pihak disebut pengumuman tersebut dimaksud adalah sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik. Ini berarti pengumuman itu lebih ditujukan untuk memberikan pertanggungjawaban di bidang jurnalistik saja dan tidak termasuk di dalamnya bidang perusahaan. Tetapi di lain pihak disebut penanggung jawab adalah penanggung jawab perusahaan pers yang tidak hanya bidang redaksi tetapi juga bidang usaha. (b) Di satu pihak penjelasannya menekankan kepada peranan penanggung jawab, tetapi lain pihak juga memberikan penekanan dimungkinkan dipakai pertanggungjawaban lainnya. 4. Isi penjelasan resmi Pasal 12 tidak memberikan kejelasan apakah diadakan pemisahan tanggung jawab antara bidang redaksi dan bidang perusahaan. Akibat adanya isi penjelasan resmi Pasal 12, baik subtasial maupun prosedural pemuatannya, menyebabkan ketidakjelasan sistem pertangungjawaban hukum apa yang dipakai oleh Undang-Undang Pers sehingga menyulitkan pelaksanaan hukum atau law enforcement dari undang-undang ini. Ketidakjelasan Sejak Pembahasan Ketidakjelasan sistem pertangungjawaban dalam UU Pers tidak dapat dilepaskan dari proses pembahasan undang-undang ini sendiri. Dalam proses pembahasan antara pemerintah dan DPR soal ini muncul beberapa masalah dan pilihan pertanggungjawaban, antara lain: Siapa yang Bertanggung Jawab Dalam Bidang Hukum Dari catatan sidang masalah ini merupakan salah satu pembahasan yang paling panjang dan penuh perdebatan. Dalam draf konsep awal dipisahkan ada pertanggungjawaban redaksi atau pemberitaan dan pertanggungjawaban non redaksi atau non berita. Dalam rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah disebut apabila pers melanggar hak jawab dan melakukan pemberitaan yang tidak benar, maka harus bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi. Dalam penjelasan draf rancangan undang-undang versi pemerintah, dijelaskan:
“Untuk menghindari terjadinuya dualisme kepemimpinan dalam perusahaan pers, pemimpim umum sebaiknya dijabat direktur utama atau ketua badan hukum perusahaan. Sedangkan pemimpin redaksi dijabat oleh anggota pengurus lainnya dalam badan hukum perusahaan.Ketentuan ini memb rikan pertangungjawban penuh mengenai isi seluruh penerbitan pers kepada pemimpin redaksi.” Selanjutnya dijelaskan pula: “Kebebasan kolektif dalam hal ini pelaksanaannya diwakilkan oleh satu atau dua wartawan atau karyawan pada lembaga media massa yang berskutan. Demikian pula pada tanggungjawab hukum bersifat kolektif, lazimnya diwakili oleh pemimpin redaksi.” Tetapi konsep ini waktu itu tidak disetujui oleh Fraksi Karya Pembangunan yang dimotori oleh Bambang Sadono. Dari awal sampai akhir, Bambang Sadono menekankan harus diterapkan teori “ tiada hukuman tanpa kesalahan.” Artinya, 42
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
hanya mereka yang benar-benar bersalah saja yang harus bertanggung jawab. Sebaliknya yang tidak melakukan kesalahan tidak boleh dihukum. Dengan kata lain ada tanggung jawab riil, sesuai kesalahan dari masing-masing pihak. Untuk itu Bambang menegaskan tidak dapat menerima apabila ada pelimpahan tangung jawab jawab hukum kepada pemimpin redaksi. Pendapat ini didasari kenyataan, jika pemimpin redaksi sedang ke luar negeri atau sakit dan ada berita yang menimbulkan masalah hukum, selama ini pemimpin redaksi harus yang paling bertanggung jawab, padahal dia tidak tahu menahu soal itu. Hal ini bagi Bambang dan Fraksi Karya Pembangunan dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut dinilai tidak adil dan menimbulkan masalah. Menurut Bambang Sadono, “Kalau ada gugatan terhadap lembaga maka pengurus badan hukum yang akan mewakili lembaga itu. Tapi kalau itu kesalahan orang perorangan, maka hukum pidana yang berlaku. Jadi siapa yang bersalah itu yang harus bertanggung jawab.” Terhadap pendapat itu waktu itu pimpinan sidang Aisyah Aminy langsung menanggapi. "Dengan kata lain pemimpin redaksi tidak penanggung jawab terhadap kesalahan pidana baik oleh wartawan maupun oleh perusahaan?” tanya Aisyah Aminy ingin memperoleh ketegasan. Terhadap pertanyaan ini Bambang menjawab, “Tidak otomatis seperti itu, tetapi dalam kenyataan nanti bisa terjadi bahwa ternyata pembuktian pidana itu bahwa dialah orang yang paling bertanggung jawab.Maka nanti ajarannya ajaran penyertaan, bersama-sama. Seberapa besar peran orang-orang ini akan ditentukan di dalam hukum pidana itu, sudah ada aturannya.” Dalam rumusan akhir, kedua pendapat ini terakomodasi, tetapi akibatnya menimbulkan ketidakjelasan siapa yang bertanggung jawab di bidang hukum? Apakah penanggung jawab berarti juga bertanggung jawab secara keseluruhan ataukah hanya bertanggung jawab mewakili perusahaan saja, sedangkan kesalahan pribadi menjadi beban masing-masing. Dalam ini menjadi persoalan yang mana yang menjadi beban tanggung jawab hukum lembaga atau perusahaan pers dan yang mana yang menjadi tanggung jawab pribadi? Jika ada semua berita yang menjadi masalah hukum, apakah ini otomatis menjadi tanggung jawab perusahaan atau lembaga pers sehingga diwakili oleh penanggung jawab, ataukah menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing wartawan.Pertanyaan ini tidak memperoleh suatu jawaban yang tuntas dalam rumusan akhir. Sistem Hukum Mana yang Harus Dipakai Di dalam hukum pidana pada prinsipnya dipakai sistem pertanggungjawaban personal dan proporsional. Artinya, siapa berbuat dialah yang harus beratngungjawab dan pertangungjawabannya adalah sesuai dengan porsi perbuatannya. Jadi pertanggungjawaban riil. Sesuai dengan istilah yang dipakai, pertanggungjawaban personal, sistem tangung jawab ini harus dipikul secara pribadi, secara personal. Pertanggungjawaban ini tidak dapat dialihkan atau diwakilkan kepada orang lain. Sedangkan pada sistem proporsional, sistem pertanggungjawabannya sebatas atau sejauh sesuai dengan perbuatannnya, baik bertindak sendiri atau pun bersama-sama. Kalau sendiri, tanggung jawabnya sesuai dengan perbuatannya. Jika bersama-sama tanggung jawabnya tergantung dari porsi peranannnya dalam tindakan bersama itu.
ISSN : 2085 1979
43
Wina Armada Sukardi: Mencari Penanggung Jawab Pers
Selain itu, dalam sistem pertanggungjawaban personal atau pertanggunjawaban penggantian kerugian oleh pelaku pidana tidak menghilangkan unsur pidana atau hukuman yang harus dilaksanakan kepada pelaku. Contoh yang paling mudah adalah apabila seseorang yang cukup kaya melakukan pencurian, dan pencurian tersebut kemudian diketahui dan terbukti, maka orang yang melakukan pencurian ini sendirilah secara personal harus bertanggung jawab. Tidak bisa karena dia punya cukup kekayaan kemudian dia minta orang lain mewakili dirinya untuk menjalankan hukuman dengan memberikan konpensasi uang kepada orang yang akan menjalani hukuman itu. Orang kaya yang mencuri itu tidak boleh mengalihkan atau mewakilkan hukumannya kepada pihak ketiga dan harus menjalaninya sendiri secara personal. Begitu pula, kendati dia mempunyai uang atau harta yang lebih dari cukup untuk mengganti barang yang telah dicurinya dan bahkan memang dia telah mengembalikan barang yang dicurinya itu, tidak menyebabkan orang tersebut dilepaskan dari tanggung jawabnya. Meskipun dia telah memberi ganti rugi, dalam sistem pertanggungjawaban hukum pidana pelaku tindak pidana harus tetap dihukum. Apabila tindak pidana itu dilakukan oleh beberapa orang, maka ganjaran atau hukuman yang diberikan kepada mereka yang melakukakan tidak pidana adalah sesuai dengan kadar kertelibatannya masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam perkembangannya kemudian hukum pidana juga menempatkan perusahaan atau korporasi juga sebagai subjek hukum yang dapat harus mempertanggungjawabkan tindakan hukumnya. Untuk perusahaan atau korporasi pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada empat kemungkinan: 1. Korporasi atau perusahaan itu sendiri; 2. Panangung jawab hukum (pengurus) dari korporasi atau perusahaan itu; 3. Pelaku perbuatan korporasi; dan 4. Kombinasi salah di antara korporasinya atau perusahaannya sendiri, penanggung jawab hukumnya (pengurus) dan pelakunya atau ketiganya sekaligus. Hukum pidana sendiri sebenarnya sudah sejak awal memberikan pengecualian untuk perbuatan tertentu. Untuk pers cetak misalnya, sudah sejak awal menyimpang dari sistem personal dan proporsional dalam penyertaan. Dalam pers cetak apabila indentitas penerbit dan pencetaknya diketahui maka pencetak pers tersebut dibebaskan dari tanggung jawab hukum. Pasal 61 dan Pasal 62 KUHP mengatur soal ini. Itulah sebabnya dalam pers cetak sering disebut “isi di luar tangung jawab percetakan.” Berdasarkan sifat dan hakikatnya, khusus untuk pers juga diadakan pengecualian terhdap prinsip pertanggungjawaban personal, proporsional dan penyertaan. Dalam bidang pers, hasil sebuah karya bukanlah semata-mata hasil kerja personal atau individual seseorang, melainkan lebih banyak hasil kerja kolektif dengan pemimpin redaksi sebagai orang yang paling berperan dan paling bertanggung jawab terhadap berita yang disiarkan. Dari sinilah kemudian muncul sistem pertanggungjawaban fiktif atau suksesif. Berbeda dengan sistem pertangungjawaban personal dan proporsional yang semua kesalahan atau kelalalaian tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, dalam sistem pertanggungjawaban fiktif atau suksesif pertanggungjawaban seorang wartawan 44
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
dapat diambil alih oleh pimpinan perusahaan atau pemimpin redaksi. Dengan kata lain, dalam sistem fiktif atau susektif, walaupun seorang reporter melakukan kesalahan namun tangung jawab kesalahan itu dapat diambil alih oleh oleh pemimpin redaksinya atau pimpinan perusahaannya. Lebih jauh lagi, terhadap pengecualian sistem pertanggungjawaban hukum ini ternyata diberikan pengecualian lagi. Seorang atasan atau pemimpin redaksi yang bertadasarkan sistem pertanggungjawaban fiktif atau suksesif harus bertanggung jawab jawab dalam prakteknya dapat melimpahkan lagi tanggung jawabnya itu ke bawahannya, dan bawahannya ini dapat pula melimpahkan lagi tanggung jawab tersebut kepada bawahannya lagi dan seterusnnya sampai kepada para pelakunya sendiri. Inilah yang dinamakan sistem pertanggungjawaban waterfall system atau sistem pertanggungjawaban air terjun. Kalau ditelisik dengan teliti, dalam sistem pertanggungjawaban fiktif atau suksesif dengan tambahan sistem air terjun, dapat pula berlaku sistem pertanggungjawaban personal. Berbeda dengan sistem personal murni, dalam sistem fiktif atau suksesif, pertanggungjawaban personal harus lebih dahulu melalui penerapan sistem pertanggungjawabannya fiktif atau suksesif. Apakah pimimpin umum atau pimpinan perusahaan akan menerapakan sistem pertanggungjawaban air terjun atau langsung memikul tanggung jawab itu tergantung kapada pemimpin redaksi atau pimpinan perusahaan itu. Jika mereka, karena alasan moral ingin mengambil seluruh tanggung jawab itu, maka tidak ada sistem pertangungjawaban air terjun. Sebaliknya apabila karena satu dan lain hal mereka memandang lebih adil memakai sistem pertangungjawaban air terjun, maka barulahn sistem pertangungjawaban air terjun dapat diterapkan. Waktu UU Pers ini dibahas, ada perdebatan, di satu sisi Fraksi Karya Pembangunan sebagai mayoritas anggota bersikukuh menerapkan sistem pertangungjawaban personal dan proporsional atau pertanggungjawaban riil, tetapi pada sisi lain ada juga yang menghendaki agar untuk pemberitaan tetap menjadi tangung jawab pemimpin redaksi, tetapi untuk lembaga diwakili oleh penanggung jawab. Berikut kutipan dari sebagian pendapat Fraksi Karya Pembangunan yang menegaskan bahwa dalam masalah pers yang harus dipakai adalah sistem pertanggungjawaban pidana pada umumnya:
“Jadi FKP ingin mengembalikan kepada peraturan hukum yang berlaku, kalau ini menyangkut masalah pidana, pertama kita mematuhi kepada prinsip hukum pidana, yaitu menganut asas riil. Artinya siapa yang bersalah dialah yang bertanggung jawab, itu satu. Kemudian kalau ini menyangkut mewakili perusahaan maka ketentuan mengenai perusahaan itu yang harus dipegang.” Di bagian lain sidang Fraksi Karya Pembangunan menegaskan lagi:
“Maka FKP mengusulkan agar kita kembali kepada sistem yang tunggal, sistem tangungjawab pidana. ... bagaimana kalau kesalahan ini merupakan kesalahan kolektif? Artinya yang melakukan kesalahan mungkin tidak hanya wartawan, mungkin ditambah kesalahan redaktur, kemudian ditambah lagi oleh pemimpin redaksi atau itu semua mau oleh pemimpin redaksi, hukum pidana mengenal teori penyertaan. Jadi satu tindak pidana yang dikerjakan bersama-sama hukum nanti meniliti seberapa besar porsi kesalahan yang dilakukan masingmasing. Kalau tanggung jawab itu ternyata dalam kenyataan pemimpin redaksi yang paling besar maka porsi kesalahan paling besar ada pada dia! Sebaliknya ISSN : 2085 1979
45
Wina Armada Sukardi: Mencari Penanggung Jawab Pers
sistem ini akan lebih adil, kalau di dalam kenyataan misalnya pemimpin redaksi sedang pergi keluar negeri atau sedang sakit, atau sedang tidak berada di tempat itu, maka tidak mungkin dia melakukan perbuatan pidana. Inilah maka kami tadi mengusulkan sebenarnya hukum pidana sudah punya mekanisme sendiri. Itulah kami FKP tetap konsisten. Tetap mengingatkan marilah kembali kepada supremasi hukum. Sudah siap semua. Tidak ada masalah.”
Bambang sebagai anggota Fraksi Karya pembangunan mencoba menyakinkan bahwa dalam sistem pertanggungjawaban personal dan proporsional atau tanggung jawab riil, bukan berarti yang terkena sanksi cuma reporter atau redaktur saja dan pemimpin redaksi tidak akan terkena sanksi. Bambang juga menepis sistem yang diajukan pihaknya tidak adil. Dijelaskan:
“.. Kemudian kalau tadi dikatakan bahwa wartawan yang paling potensial melakukan kesalahan, sedangkan pemimpin redaksi itu paling sedikit kesalahannya, maka wartawan yang yakin banyak, hukum sudah mengatur itu. Jadi, yang dinamakan bertanggung jawab itu, itu belum tentu bahwa yang melakukan kesalahan nantinya dipidana lebih rendah dari yang lain. Ada istilah aktor intelektual. Jadi siapa suruh, itu juga kena. Ini sudah ada mekanisme. Jadi, kita tidak perlu khawatir bahwa nanti pemimpin redaksi itu tidak kena–kena. Justru ini pertanggungjawaban riil. Bapak dan Ibu sekalian, saya ingin kasih contoh yang ekstrim, tadi tidak pimpinan redaksi tidak pergi ke luar negeri, pemimpin redaksi sakit keras malam itu juga ketika terjadi kesalahan itu. Pemimpin redaksi meninggal. Kok tidak ada siapa yang berbuat. Kalau begitu siapa yang salah ?Apakah dia? Hukum tidak bisa, orang yang meninggal ini dituntut. Inilah persoalan-persoalan yang harus kita antisipasi. ... Ada terori kunci di dalam hukum pidana itu “tiada pidana tanpa kesalahan.” Ini yang harus kita hindari: jangan sampai orang yang secara riil tidak melakukan kesalahan itu dipidana!” Justru sistem pertanggungjawaban fiktif dalam Undang-undang Pokok Pers yang lama yang ingin diganti oleh Fraksi Karya Pembangunan sesuai dengan penegasan anggotanya Bambang Sadono:
“...Istilah ini karena memang di dalam undang-undang ini mengintroduksi satu sistem yang baru dibandingkan dengan sistem pertangungjawban di dalam Undang-undang Pokok Pers yang yang ada. Ini yang kita tekankan. Jadi ada satu sistem yang baru. Kalau bapak mengerti, mengenai Undang-Undang Pokok Pers yang lama itu mengggunakan tanggung jawab fiktif, itu yang ingin kita ralat atau ingin kembalikan kepada sistem tangung jawab pidana yang umum. Ini yang ingin kita kembalikan. .....Jadi nanti kalau pertanggungjawaban kita cantumkan itu tidak ada lagi pemimpin redaksi yang bertanggung jawab... “ Selama perdebatan hampir tidak ada yang membantah pendapat Fraksi Karya Pembangunan ini, sehingga pendapat ini menjadi dominan dalam proses pembahasan rancangan undang-undanga tentang pers. Masalahnya, dalam pembahasan itu sama sekali tidak disinggung apakah sistem pertangungjawab riil memang sudah cocok dengan sifat hakekat bidang pers? Tidak ada bantahan bawha sebenarnya dengan menerapkan sistem pertanggungjawaban personal dan proporsional atau tanggungjawab riil, akan sangat merugikan dan sangat merepotkan pers. Sebab penerapan sistem pertanggungjawaban personal dan proporsional atau tangung jawab riil dapat membawa ketidakadilan bukan hanya 46
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
bagi pers tetapi juga bagi sebagian besar masyarakat. Sebagai contoh, apabila ada suatu berita yang dituduh telah melanggar peraturan pidana, maka yang harus menjadi tersangka atau terdakwa merembet kepada semua pihak. Pertama-tama, tentu wartawan yang melaporkan. Kemudian kedua, penulisnya. Ketiga, redaktur yang memeriksa. Keempat, redaksi pelaksana sebagai penanggung jawab bidang atau departemen dari berita itu. Kelima, pemimpin redaksi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dan berwenang mengatur sistem di redaksi. Selain itu, keenam, bagian desainer yang ikut menyusun tata letak. Ketujuh, korporasi yang telah membolehkan berita itu juga harus itiku bertanggung jawab. Kedelapan, bagian ekspedisi. Kesembilan agen dan kesepuluh loper atau pengecernya. Tanpa pengikutsertaaan percetakan yang memang diberikan pengecualian, sistem pertanggungjawaban pidana personal dan proporsional atau tangung jawab riil, jelas menyeret pula semua pihak yang terlibat yang sebenarnya juga sama sekali tidak mengetahui adanya kemungkinan pelanggaran pidana, tapi menurut sistem pertanggungjawaban pidana ini tetap harus ikut bertanggung jawab. Ini menimbulkan ketidakadilan. Tetapi selama pembahasan rancang undang-undang pers ini tidak ada yang membantah dalil ini. Begitu pula apabila sistem pertanggungjawaban pidana personal dan proporsional atau sistem pertanggungjawaban riil yang diterapkan, betapa merepotkan, menyulitkan dan bahkan secara langsung dapat menghentikan aktivitas sebuah usaha penerbitan pers. Misalnya apabila ada berita yang dianggap mengandung unsur tindak pidana selalu wartawan dan rangkaian yang terkait dengan pemberitaan itu harus menghadap kepada penyidik, akan menghabiskan waktu yang luar biasa. Hal ini dapat menyebabkan sebagian besar wartawan harus bolak-balik menghadap penyidik, sehingga hampir tidak akan ada waktu luang lagi untuk mengolah berita. Lama kelamaan tentu saja hal ini bukan hanya nakan dapat mengganggu aktivitas pekerjaan redaksi, namun juga dapat melumpuhkan kegiatan redaksi. Hanya saja sudut pandang atau argumentasi ini juga tidak akan yang mengemukakan dalam sidang-sidang proses pembahasan rancangan undangundang ini. Akibatnya UU Pers menerapkan berbagai sistem pertangungjawaban hukum secara tumpang tindih dengan kacau balau. Di sinilah salah satu kelemahan utama dari UU Pers. Celah ini bukan saja menciptakan pertanggungjawaban hukum pers menjadi tidak jelas, tetapi juga sekaligus membuka peluang terjadinya tafsir hukum yang tidak demokratis bagi pers yang bisa merugikan kemerdekaan pers sendiri. Ketentuan Perundang-undangan Pidana yang Berlaku Dalam alenea terakhir isi penjelasan resmi Pasal 12 disebutkan, “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundangundangan yang berlaku.” Dari rumusan seperti ini ada dua pertanyaan yang dapat diajukan : pertama, apakah yang dimaksud dengan “sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana.” Pertanyaan kedua, ruang lingkup apa saja “ketentuan perundang-undangan pidana yang berlaku?” Sebelum kedua pertanyaan itu dapat terjawab, harus lebih dahulu difahami pengertian istilah “pertanggungjawaban.” Istilah “pertanggungjawaban” secara umum berarti segala sesuatu yang menyangkut atau berhubungan dengan tanggung jawab. Setidaknya ada tiga hal yang terakiat dengan arti istilah “pertanggungjawaban,” yaitu: ISSN : 2085 1979
47
Wina Armada Sukardi: Mencari Penanggung Jawab Pers
1. 2. 3.
Proses dari tangungjawab. Dalam hal ini bagaimana proses tangung jawab itu berlangsung atau terjadi. Bentuk dari tangung jawab. Dalam hal ini bagaimana bentuk dari tanggung jawab itu. Siapa yang tanggung jawab. Dalam hal ini siapa yang harus menerima atau memikul tanggung jawab terhadap hal yang terjadi.
Hal ini berarti, segala hal yang menyangkut proses, bentuk dan siapa yang tanggung jawab secara pidana di bidang pers menganut ketentuan perundangundangan yang berlaku. Sesudah memperoleh pengertian ini, barulah kedua pertanyaan tadi dapat dibahas lebih lanjut. Untuk pertanyaan pertama, apakah yang dimaksud dengan “sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana.” ada yang berpendapat ketentuan pidana ini hanya terbatas untuk ketentuan pidana Pasal 12 saja, yakni hanya jika perusahaan pers melanggar pasal 18 ayat 3. Dalam kaitan ini, pasal 18 ayat 3 menegaskan perusahaan pers yang tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya dikenakan hukuman pidana denda Rp 500 juta (lima ratus juta rupiah). Tafsir yang membatasi berlakunya penjelasan Pasal 12 hanya khusus untuk pidana Pasal 12 saja, tidak sesuai baik dengan isi penjelasan pasal-pasal lainnya maupun dengan tujuannya diberikan pejelasan itu sendiri. Adapun alasannya sebagai berikut: 1. Dalam penjelasan resmi pasal 18 justru yang diberikan penjelasan hanya ayat 2 saja. Sedangkan ayat (1) dan ayat (3) tidak diberikan penjelasan kecuali dengan kata “cukup jelas.” Isi penjelasan resmi pasal 18 ayat (2): “Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka yang perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana disebut dalam Pasal 12.” Pasal 18 ayat (2) mengatur perusahaan pers yang melanggar kewajiban memuat berita yang menghormati norma-norma agama, kesusialaan dan asas praduga tak bersalah, tidak melayani hak jawan dan hak koreksi serta melanggar pemuatan iklan. Sedangkan pasal 18 ayat (1) mengatur orang yang menghambat dan menghang-halangi pelaksanaan kemerdekaan pers. Lalu pasal 18 ayat (3) mengatur soal pelanggaran perusahan pers yang wajib berbadan hukum dan perusahaan pers yang tidak mengumumkan nama, alama dan penanggung jawabnya. Tetapi penjelasan pasal 18 justru hanya menguraikan mengenai masalah 18 ayat (2) dan bukan penjelasan pasal 18 ayat 3 yang menyangkut pengumuman nama, alamat dan penggung jawab. Ini membuktikan tidaklah benar bahwa pertanggungjawaban pidana yang dimaksud hanya khusus untuk pelanggaran yang menyangkut pengumuman nama, alamat dan penanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 12. 2. Tidak ada satu pun ketentuan dalam UU Pers yang menegaskan bahwa berlakunya isi penjelasan Pasal 12 hanya khusus untuk Pasal 12 saja. 3. Istilah “pertanggungjawaban” tidak hanya memberikan pengertian yang sempit hanya semata-mata menyangkut soal pencatuman indentitas penyelenggaran pers, tetapi sebaliknya mempunyai pengertian yang luas termasuk juga menyangkut proses, bentuk dan siapa yang bertanggung jawab. Ruang lingkup seperti dimaksud dengan pengertian istilah 48
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
“pertanggungjawaban” ini tidak hanya terbatas pada isi yang diatur dalam Pasal 12 saja. Pertanyaan kedua, ruang lingkup apa saja “ketentuan perundang-undangan pidana yang berlaku?” Pengertian rumusan ini mencakup makna yang luas sekali, baik itu perundang-undangan pidana dalam arti hukum pidana material seperti isi KUHP maupun yang tersebar di luar KUHP. Pengertian ini juga mencakup hukum acara pidananya seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No 8 Tahun 1981 berserta hukum acara pidana lainnya. Tentu saja pengertian ini membawa konsekuensi hukum yang luar biasa dalam penegakan hukum di bidang pers. Menurut KUHAP apabila penyidik mempunyai bukti permulaan yang cukup, sudah dapat penangkap seorang untuk diperiksa atau bahkan dijadikan tersangka. Begitu pula berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang umum, termasuk dalam KUHAP, penyidik dapat menelusuri semua bukti-bukti dan menanyakan semua pihak yang terkait sebagai saksi. Jika hal ini yang diterapkan di bidang pers, tentu amat merugikan perkembangan pers. Hal ini karena penyidik dapat memeriksa semua catatat, rekaman dan sebagai dari kerja para wartawan. Begitu pula penyidik dapat menanyakan semua wartawan sebagai saksi atas suatu perkaran. Apabila ini yang terjadi, seluruh data, termasuk yang seharusnya dirahasiakan pers, akan dapat terbongkar secara tidak sepatutnya. Demikian pula setiap saat wartawan dapat diperiksa, tangkap dan ditahan. Tak pelak lagi, dengan peristiwa semacam ini sulit ada lagi pers yang demokratis. Pers akan terbelenggu. Tetapi pengertian “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku” tidak dapat dilaksanakan berdiri sendiri dan tetap harus dihubungkan dnegan pengertian yang baik di dalam penjelasan resmi Pasal 12 itu sendiri maupun dengan pasal-pasal lainnya. Penejalasan pasal 18 ayat (2) dengan jelas menyebut, “Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka yang perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana disebut dalam Pasal 12.” Isi penjelasan ini jelas menunjukkan, apabila terjadi pelanggaran pidana untuk perusahaan pers “diwakili” oleh penanggung jawab. Kata „diwakili” merujuk kepada sistem prtangungjawaban fiktif atau suksesif. Artinya perbuatan pidana yang dilakukan oleh pihak lain dapat diambil alih oleh orang yang mewakilinya sebagai penanggung. Cara seperti ini jelas bukan sistem pertanggungjawaban pidana yang umum berlaku yaitu sistem pertanggungjawaban personal. Ini sekaligus membantah dalil penyidik dapat memeriksa seluruh wartawan apabila ada suatu perkara yang menyangkut pers. Bantahan terhadap dalil penyidik dapat memeriksa semua wartawan lebih diperkuat dengan ada Pasal 4 UU Pers. Menurut pasal 4 ayat 2 terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan dan pelarangan penyiaran. Adanya larangan untuk melakukan penyensoran, pemberedelan dan palarangan siaran berarti, walaupun sedang menghadapi pemasalahan pertanggungjawaban hukum, pers tetap boleh dan dapat melakuka kegiatan jurnalistiknnya. Ini berbeda dalam sistem pertanggungjawaban yang apabila suatu badan hukum atau seseorang sedang menghadapi pertanggungjawaban hukum terhadap kegiatan yang dilakukannya, mereka atau badan hukum itu umumnya untuk sementara
ISSN : 2085 1979
49
Wina Armada Sukardi: Mencari Penanggung Jawab Pers
tidak dapat meneruskan kegiatannya lebih dahulu sampai ada kejelasan apakah kelak kegiatan itu boleh dilanjutkan atau tidak. Ketidakjelasan ini menimbulkan kekaburan aturan mana yang harus dipakai dan dipatuhi, sehingga melahirkan adanya ketidakpastian hukum yang sangat menyulitkan dalam pelaksanaan hukum, baik bagi pihak pers maupun bagi pihak aparat penenggak hukum. Padahal pers harus dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan dan supresmasi hukum sebagaimana dalam Pasal 2 UU Pers yang berbunyi, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi,keadilan dan supremasi hukum.” Proses pemuatan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang sangat cepat pada masa transisi membuat pembuatan undang-undang ini lebih mengutamakan masalah praktis dibandingkan dengan kematangan konseptual. Lebih memintingkan perlindungan kemerdekaan pers daripada kesempurnaan perumusan. Waktu yang terlampau semit akhirnya tidak memungkinkan lagi untuk mensinkronisasikan berbagai konsep dan alternatif yang ada, sehingga melahirkan undang-undang yang tumpang tindih dalam sistem pertanggungjawaban pers. Penutup Sistem pertanggungjawaban manakah yang paling cocok dan tepat untuk pers? Pers merupakan lembaga yang unik. Mekanisme kerja pers membuat pers membutuhkan kerja yang kompak dan terpadu di antara para pelakunya. Tanpa kerja sama yang rapi dan tertata baik, tidaklah mungkin dihasilkan sebuah karya pers yang baik. Hasil kerja sama ditubuh pers inilah yang menciptakan suatu karya pers tertentu. Perpaduan antara visi, sikap, kemampuan teknikal dan gaya jurnalistik melahirkan ciri dan karakter dari masing-masing pers. Itulah sebabnya setiap pers dipandang merupakan kepribadian tersendiri. Dengan demikian dia dapat dipandang pula sebagai subjek hukum yang tersendiri pula. Semakin teratur, semakin baik dan kompak kerja sama dalam sebuah penyelenggaraan pers, kepribadiaan atau karakter wartawannya pun akan semakin tampak. Dalam pers yang sehat, kompak dan teratur, eksistensi seorang wartawan tidak pernah hilang. Pengakuan terhadap wartawan antara lain dapat terlihat dari pencatuman nama mereka (by line) dalam berita-berita yang memang unsur personalnya menonjol. Bahkan bukan hanya nama yang dicantumkan tetapi sejak kemajuan teknologi informasi juga dicantumkan alamat email dari wartawan penulis berita. Pencantuman indentitas semacam ini menunjukkan ada peranan yang besar dari wartawan yang bersangakutan sekaligus menyiratkan pula adanya tangung jawab yang dipikul oleh wartawan yang menulis berita. Lewat uraian itu ingin disampaikan bahwa sistem pertangungjawabkan yang mendekati paling tepat adalah pilihan kombinasi dan keseimbangan antara memberikan tangung jawab pers secara keseluruhan tanpa melepaskan sama sekali tangung jawab wartawannya. Sistem pertanggungjawaban ini menganut asas kepastian hukum yang seklaigus dikombinasikan dengan asas keadilan. Dalam hal ini dapat dipertimbangkan tangung jawab ini tidak dapat pula manafikan bahwa dalam pemuatan berita tidak terlepas dari peranan wartawan yang memuat berita itu sendiri. Walaupun penanggung jawab merupakan orang yang paling memiliki kewenangan tetapi jelas tidak adil jika wartawan yang menulis berita sama sekali terbebas dari kemungkinan tangung jawab hukum 50
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
apapun. Untuk itu perlu dicari suatu bentuk pertangunjawban hukum yang paling ssesuai dan paling adil untuk bidang pers. Untuk mengatasi problematik ini, pada 28 April tahun 2008 Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers No 05 yang menegaskan dalam perkara yang menyangkut karya jnurnalistik, perusahaan diwakili oleh penanggung jawabnya dan hanya dapat ditanya soal berita yang telah dimuatnya. Dengan kata lain, Dewan Pers memisahkan antara pertanggungjawaban dari segi pemberitaan atau jurnalistik dengan pertanggung jawaban dari segi perusahaan atau korporasi. Daftar Referensi Sukardi, Wina Armada. 2007. Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers. Jakarta: Dewan Pers. Schechter, Danny. 2007. Matinya Media dan Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor. The World Bank, 2002. The Right to Tell:the Role of Mass Media in Economic Development. Washington: World Bank.
ISSN : 2085 1979
51