MENCARI PANCASILA DI DALAM UU NARKOTIKA RI NO. 35 TAHUN 2009
1. Gugatan terhadap DPR. Secara resmi, legal formal, jika saya tidak keliru, di seluruh wilayah NKRI, sumber dari segala sumber hukum adalah PANCASILA. Artinya sangat jelas, yaitu bahwa hukum diproduksi dari filsafat Pancasila; Bahkan sampai strateginya. Dengan begitu, hukum harus menjabarkan strategi kebudayaan Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, kita akan melihat bagaimana kenyataan yang berlaku hari ini,:hukum kita bersumber dari mana? Dari ideologi Pancasila, ataukah dari media, citra, opini, popularitas, dan modal? Padahal kita telah paham bahwa pilar-pilar itu (media, opini, citra, popularitas, dan modal) adalah merupakan pilar liberalisasi.Sedangkan kita juga telah sangat paham, bahwa liberalisasi hanya berarti satu hal, persaingan kompetitif.Aplikasinya kemudian adalah logika mayoritarian atau suara terbanyak. Di dalam sistem yang bersasarkan logika mayoritarian, justru karena yang diutamakan adalah suara terbanyak, maka sudah pasti bahwa sistem yang semacam itu sangat rentan terhadap tindakan menghalalkan segala cara. Norma yang terbangun (atau dibangun) darisistem yang semacam itu lebih banyak melahirkan keburukan (bahkan ironi), yang paling jelas adalah korupsi, manipulasi dan berbagai bentuk penyalah gunaan wewenang. Orang yang menguasai modal atau media akan lebih mudah untuk “menang” jika berperkara di hadapan hukum!!! DPR melahirkan UU/hukum sebagai fungsi legislasi, yang diambil dari fungsi anggaran dan pengawasan. Dalam konteks itu, adalah sebuah kenyataan yang tak terbantah, bahwa setiap aktor DPR dipengaruhi oleh modal, opini, citra, dan popularitas; Hal-hal tersebutlah yang membuat dia memiliki kepentingan politik, dan tidak ada satupun yang dapat menyangkal, bahwa di dalam kepentingan politik pasti memiliki kepentingan modal. Secara sangat spesifik, jika kita melihat secara jujur dan obyektif berlakunya UURI No. 35, tahun 2009, tentang
Narkotika, mulai sejak saat penyusunan, pembahasan, pengesahan, hinggapelaksanaannya hari ini, kita akan sangat sulit untuk menemukan bukti bahwa UU ini masih bersumber kepada Pancasila. Karenanya, dengan mencermati, mengkritisi dan menganalisa produk hukum yang dilahirkan oleh proses legislasi di DPR, yang (salah satunya) bernama UU RI No. 35, tahun 2009, tentang Narkotika, bersumber dari Pancasila ataukah modal??? Jika memang bersumber pada Pancasila, mana buktinya?Jika bersumber pada modal, mengakulah, modal siapa? Atas kenyataan tersebut, marilah kita juga bertanya, apakah anggota DPR memiliki syarat intelektual di bidang hukum?Apakah pendidikan anggota DPR telah bersyarat dalam fungsi legislasi, anggaran dan kontrol?Jika memang mereka memiliki syarat intelektual di bidang hukum, seharusnya mereka paham bagaimana berlakunya SISTEM, STRUKTUR, DAN MEKANISME dari pada hukum di Republik Indonesia.Rasa-rasanya anak-anak sekolah kitapun 1
tahu, bahwa hukum atau Undang-undang HARUS bersumber kepada hukum yang lebih tinggi, dalam hal ini UUD 1945, yang disebut sebagai sumber hukum.Sedangkan sumber hukum kita, UUD 1945, bersumber kepada hukum yang lebih tinggi lagi, yaitu ideologi Pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Republik ini.(Ataukah ini sudah tidak berlaku lagi?)UU RI No. 35, tahun 2009, tentang Narkotika, sebagai produk hukum yang dilahirkan oleh proses legislasi di DPR, adalah bukti sebuah UU yang sepenuhnya mengabaikan bahkan mengingkari sumber hukum yang lebih tinggi, bahkan mengabaikan dan mengingkari sumber dari segala sumber hukum di Negara ini, yaitu Pancasila. DPR seharusnya menjadi fungsi legislasi dalam proses regulasi dan birokrasi. Hukumlah yang diproduksi DPR. Pada kenyataannya, mereka masih dipengaruhikepentingan dan kebodohannya atas pengetahuannya yang terbatas. Rangkaian tersebut adalahbukti tak terbantah, bahwa yang telah dilakukan oleh DPR dalam penyusunan UU ini, adalah merupakan bentuk nyata dari perwujudan kepentingan sebuah “koalisi modal”. Sedangkan koalisi modalhampir tidak dapat dibedakan dengan “kartel”. 2. Gugatan terhadap pelaksanaan hukum di lapangan (Kepolisian – secara spesifik unit-unit antiNarkotika, BNN, Kejaksaan, Kehakiman).Penegakkan hukum hanya dapat ditegakkan ketika bersumber kepada Pancasila. Jika tidak??? Bisa dipastikan banyak hukum kita dari UU hanya akanbersumber dari: opini, citra, popularitas, media dan modal. Dalam konstruk yang semacam itu, maka dapat dipastikan bahwa kecenderungannya akan menjadi sangat emosional. (Bukan data dan fakta tetapi likeordislike; Bukan kebenaran tetapi banyaknya uang yang bisa dihisap dan diperas sebagai syarat “Delapan-Enam”.) Akibatnya, selalu diikuti peristiwa gejolak dan emosi; Perbedaan versi sebagai aksi-reaksi; Kausalitas; Sebab-akibat.Penegak hukum ikut terlibat dalam “tragedi emosi”: polisi, bnn, kehakiman, kejaksaan. Masyarakatpun kehilangan rasionalitas dalam menegakkan hukum tersebut. Bukan berdasar logika dan rasio tapi emosionalitasnya; Didukung media: pencitraan dan lain sebagainya. Pelaksanaan penegakkan hukum di lapangan, dengan dilandasi hukum/UU yang tidak rasional, bahkan sudah penuh kebohongan dan dusta dengan mengabaikan semua data dan fakta ilmiah sejak dari penyusunannya, sudah pasti akan sarat dengan penyimpangan di lapangan. Silahkan lakukan semacam audit kasus dengan yurisprudensi atau semacamnya (apa pun istilahnya) atas kronologi penangkapan kasus-kasus ganja, kemudian silahkan audit terus hingga berjalannya proses penegakkan hukum dipersidangan hingga vonis. Anda akan mendapatkan begitru banyak kejanggalan yang menunjukkan bahwa proses penegakkan hukum tersebut bahkan sangat TIDAK LAYAK disebut sebagai “PENEGAKKAN HUKUM”. Pelaksanaan penegakan hukum, UU RI No. 35, tahun 2009, tentang Narkotika adalah fakta bahwa saat ini yang berlaku adalah hukum liberalisasi, dan hukum liberalisasi selalu bergantung pada kekuatan modal. Judulnya “PENEGAKKAN HUKUM” menjadi tidak tepat ketika sumbernya bukan dari Pancasila. Kami menggugat di tempat ini, karena di gedung inilah, Sang Penggali Pancasila, dahulu juga ditindas dengan hukum besi kepentingan global dalam sistem, struktur, dan mekanisme kolonialisme Hindia Belanda. Ketika Pancasila bukan menjadi sumber dari segala sumber hukum, maka hari ini hukum pasarlah yang berlaku: liberalisme. Hal ini terlihat dengan sangat jelas 2
dalam seluruh rangkaian proses penegakkan hukum kasus ganja. Hukum dan keadailan, dan dengan demikian rasa aman, hanya bagi yang punya uang. 3. Gugatan terhadap Presiden. Sekali lagi, ketika Pancasila bukan menjadi sumber dari segala sumber hukum, maka yang berlaku adalah hukum pasar atau liberalisme. Pilarnya, media, opini, citra, popularitas, dan modal. Modalnya dibangun secara kartel. Kartel mempengaruhi partaipartai politik. Presiden yang dilahirkan hari ini dilahirkan dari dinamika tersebut. Celakanya, siapa saja yang duduk pada posisi presiden, cenderung untuk memilih diam saja dan tidak membenahi. Dalam konteks ini, beda tipis, antara tidak paham atau membela kepentingan kartel bisnis. Karena itu wajarlah jika presiden hari ini menggelorakan citra, opini, popularitas, media dan modal. Disinilah posisi presiden menjadi tidak mawas dengan negerinya. Presiden kehilangan rasionalitas dan logika menjadi pelaksana logika sektoral bagi kepentingan kartel. Opini, media, citra, popularitas, dan modal sebagai pengadil dan penghukum bagi yang menolak kekuasaannya. Siapapun, akan menjadi korban kekuasaannya ketika ada upaya kritik dan evaluasi. Sebut saja jika presiden adalah “panglima” dalam penyelenggaraaan Negara, jika dia menyelenggarakan/menuntaskan program Logika Sektoral, maka bawahannya akan semakin terbenam dalam logika sektoral pula. Untuk memahami logika sektoral, pahamilah cara kerja kaca mata kuda; Siapapun yang mengenakannya tidak akan dapat melihat dalam keluasan pandang; Cara dan arah pandangnya dibatasi hanya oleh sektor atau bidang tugas, dan melihat diluar sektor atau bidang tugasnya, bahkan jika yang dilihatnya itu adalah kebenaran akan tetap dipersalahkan dan bahkan dianggap berdosa. Masalahnya, kebenaran dalam logika sektoral yang berjalan tidak akan menyentuh idealisme Pancasila. Akibatnya penyelenggaraan dan penegakkan hukum dalam realitas yang semacam itu adalah cacat; Karena presiden sebagai “panglima kartel” tertinggi di Indonesia; Pelaksana hukum kartel. Segala sesuatu kebijakannya berdasarkan keterkaitan “bisnis” dalam bangunan kartel, dan yang paling nyata adalah kebijakan tentang ganja yang sepenuhnya tunduk takluk terhadap kepentingan skema “War on Drugs” di level global. Inilah sejarah para pejabat dan aparat penegak hukum yang sedang berpesta-pora menghisap air mata, darah, dan keringat rakyatnya.Dapat diibaratkan para pejabat dan aparat penegak hukum yang dibawahi presiden sebagai jembatan kepentingan kartel; Ibarat raksasa-raksasa yang siap melumat apapun, juga yang melawannya.Dalam konteks ini semua ikut berdosa, karena sistem yang salah kaprah.Hilangnya logika dan rasionalitas dikarenakan oleh sistem.Presiden dan jajarannya sekaligus DPR hanya membawahi “bidang perintah” dari sistem itu. Artinya dosa bersama telah terjadi secara sadar atau tidak, dalam suluruh proses dan rangkaian penegakan hukum kasus ganja. Jika segala sesuatu bersumber dari hukum kartel atau liberalisme sebagai penyangga maka segala sesuatu akan tercipta secara emosional. Entah itu pejabat atau publiknya. Namun siapapun harus sadar bahwa semua itu punya usia! Andai kata rakyat sudah tahu apa yang terjadi, maka bersiaplah menerima ketidak rasionalitasan rakyat dalam menegakkan hukum itu sendiri. 3
4. “Mari, Bung, rebut kembali!” Perjuangan legalisasi ganja secara langsung berhadapan dengan UU RI No. 35, tahun 2009, tentang Narkotika, maka yang perlu kita lakukan adalah membangun sikap kritis terhadap UU tersebut.Setiap rumusan dan pasal-pasalnya harus kita pahami. Kita ukur dan kita uji UU tersebut berdasarkan konsistensi dan kesetiaannya pada apa yang telah dikatakan oleh UU itu sendiri. Berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh UU tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah membuktikan, apakah UU tersebut dibuat berdasarkan ilmu kenyataan atau ilmu dugaan. Berdasarkan pembuktian akan hal tersebut, kita dapat membangun kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai Warga Negara. Dengan menempatkan kesadaran tentang hak dan kewajiban sebagai Warga Negara, setiap kader LGN harus dapat menjelaskan, satu, korelasi antara perjuangan legalisasi dengan upaya pemenuhan cita-cita dan janji Proklamasi, dua, hubungan perjuangan legalisasi dengan cita-cita menegakkan kedaulatan bangsa dan Negara, dan yang ketiga, mampu menjelaskan keterkaitan antara perjuangan legalisasi dengan ideologi. Setiap kader LGN harus dapat menjadi katalisator di masyarakat, melalui isu legalisasi ganja, untuk bicara tentang semangat ke-Indonesiaan dan tentang perjuangan menegakkan KEDAULATAN.Melalui isu legalisasi ganja, kader LGN harus dapat megajak masyarakat umum melihat, bahwa sebuah UU, BELUM TENTU dibuat DEMI KEPETINGAN NASIONAL KITA SENDIRI. Melalui UU no. 35 th 2009, tentang Narkotika ini, kita dapat menunjukkan bahwa UU tersebut adalah bagian dari paket kepentingan global yang bermaksud mengkebiri kedaulatan nasional Republik Indonesia. Hal tersebut harus dipahami dengan sebaik-baiknya, karena yang “dihadapi” oleh LGN, sebagai gerbong utama perjuangan legalisasi ganja di Indonesia adalah Negara dengan seluruh perangkat hukum dan stateapparatus-nya.Jadi, setiap kader LGN harus memahami hakekat dari tugas dan fungsi dari pada Negara. Dengan memahami hal tersebut, maka kader LGN akan dapat menunjukkan kepada masyarakat “keselarasan” yang terjadi antara tugas dan fungsi Negara dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Di samping itu, setiap kader LGN harus dapat merangkai makna, memintal jiwa dan semangat dari pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan kenyataan NKRI ”hari ini.” Dengan begitu, setiap kader LGN dapat berbicara tentang kebenaran dari cita-cita dan janji Proklamasi yang saat ini telah diingkari oleh para pengurus Negara, dan sekaligus dapat bicara tentang bagaimana untuk dapat memenuhi cita-cita dan janji dari pada Proklamasi kemerdekaan kita itu. Setiap kader LGN harus dapat bicara tentang pohon ganja sebagai aset kapital nasional bangsa Indonesia.Setiap kader LGN harus dapat bicara tentang posisi Pancasila sebagai ideologi Negara dan hubungannya sebagai ideologi dengan strategi penjagaan dan pengelolaan seluruh aset kapital bangsa.Setiap kader LGN harus dapat bicara tentang Pancasila sebagai ideologi Negara 4
dan bagaimana aplikasinya demi terpenuhinya amanat suci Proklamasi. Setiap kader LGN harus dapat bicara tentang relevansi dari pada perjuangan legalisasi ganja dengan Preambule UUD 1945 sebagai manifesto politik dan kebudayaan bangsa Indonesia. Melalui isu legalisasi ganja, setiap kader LGN harus memahami Pancasila sebagai ideologi; dan melalui kemungkinan membangun komunikasi dan relasi dengan berbagai organisasi legalisasi ganja di seluruh dunia, LGN bertanggung jawab, baik sebagai Warga Negara Indonesia maupun sebagai ANAK KANDUNG KEBUDAYAAN NUSANTARA, untuk kembali memperjuangkan Pancasila sebagai ideologi terbuka; MENGINTERNASIONALKAN PANCASILA sebagai penjembatan bagi tatanan global yang lebih adil dan beradab di masa depan. Jadi, titik berat dari pada “Ansos Ganja” adalah memetakan persoalan ganja dalam kaitan dengan berbagai kepentigan politik-ekonomi secara luas; legalisaSI GANJA sebagai isu maupun bagaimana membangun sistem, struktur, dan mekanisme pengelolaannya (regulasi) yang paling rasional demi keberhasilan cita-cita perjuangan legalisasi ganja ini. Intinya, Ansos Ganja harus mampu memberikan arah, peta, orientasi, dan tujuan dari pada perjuangan legalisasi ganja di Indonesia kepada setiap kader LGN. Ansos Ganja ini harus dapat memberikan perspektif yang luas tentang isu legalisasi ganja dan tempatnya dalam perjuangkan menegakkan kedaulatan.
Lingkar Ganja Nusantara, Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, 26 Juni 2013
Rumah Hijau LGN (Pulau Situ Gintung 3) Jl. Kertamukti Pisangan Raya No. 121 Ciputat – Cirendeu TANGERANG SELATAN 021-60395198 Info :
[email protected]
5