BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG NARKOTIKA UU NO 22 TAHUN 1997 DENGAN UU NO 35 TAHUN 2009
Narkotika merupakan zat atau bahan yang bermanfaat di suatu
bidang
pengobatan,
pengembangan ilmu
pelayanan
pengetahuan. Tetapi
kesehatan
dan
pada sisi
lain
menimbulkan kerugian sistematis apabila disalahgunakan oleh masyarakat tanpa pengendalian dan pengawasan oleh pemerintah. Pengaturan terhadap penyalahgunaan narkoba telah dilakukan dengan berbagai cara oleh berbagai Negara termasuk Indonesia dalam bentuk preemtif maupun represif dengan melibatkan seluruh elemen penegak hukum dan masyarakat. Termasuk melihat secara berkala kinerja regulasi
terdahulu
untuk
menerbitkan regulasi baru yang lebih adaptif dan sesuai dengan kebutuhan penanggulangan penyalahgunaan narkotika saat ini dan kedepan.
1.
Undang-Undang Narkotika Berkembang, tidak lengkap dan tidak Selalu Jelas Secara substansial, perubahan signifikan pada UU Nomor
35
Tahun
2009
sebagai
regulasi
khusus
merupakan
penyempurnaan dan adaptasi perkembangan regulasi Narkotika dari UU Nomor 22 Tahun 1997. Perkembangan regulasi ini sejalan dengan kaidah peraturan atau hukum sebagai sebuah yurisprudensi. Aturan hukum tidak lengkap karena hukum selaku berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Sebagai bagian dari budaya dan nilai kehidupan manusia, maka hukum pada dasarnya telah ada sejak kehidupan manusia. Setiap perilaku manusia yang berhubungan dengan orang lain dengan sendirinya adalah perbuatan hukum. Hubungan perilaku ini di bakukan dalam norma tata aturan hokum tertulis. Upaya hukum positif adalah untuk membakukan hubungan perilaku ini dalam norma tata aturan hukum tertulis. Dengan kaidah tersebut, maka hukum positif selalu berkembang dan melengkapi seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia. Basis utama hukum adalah menggali dari dalam masyarakat. Hukum atau peraturan hukum bertujuan untuk mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kegiatan manusia tidak terhitung jumlah dan jenisnya, maka tidak heran jika peraturan hukum tidak lengkap dan tidak selalu jelas. Berdasarkan pengertian dasar tersebut pada kontek perbandingan asas muatan materi UU Nomor 5 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menarik untuk dirunut perbandingan antar keduanya. 2
2.
Narkotika Sebagai Tindak Pidana Khusus Pada sisi lain pengesahan materi UU Nomor 35 Tahun
2009 menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menegaskan bahwa narkotika adalah bagian dari Hukum Tindak Pidana Khusus. Maksudnya adalah tindak pidana narkotika diatur dalam Undang Undang Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun Hukum Pidana Formil. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Hukum tindak pidana khusus secara substansi berlaku khusus kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu di arahkan. Indikator lain yang digunakan untuk mengukur bahwa undang-undang tersebut merupakan hukum pidana khusus adalah pada penyimpangan ancaman pidana yang terdapat dalam undang-undang pidana umum. Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Seluruh indikator tersebut terpenuhi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Artinya semua ketentuan tentang Narkotika ketentuannya diatur sendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut. 3
3.
Undang-undang Khusus Narkotika No 22 tahun 1997 dan No 35 tahun 2009 Bersifat Dinamis Sebagai Undang Undang Tindak Pidana Khusus tentang
Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 dan Nomor 35 Tahun 2009 bersifat adaptif terhadap perubahan. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang narkotika dapat dengan mudah diubah apabila terdapat penyimpangan atau mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang tersebut karena
perkembangan
zaman.
Elastisitas
undang-undang
Narkotika ini karena Undang-Undang ini hanya mengatur satu hal yaitu tentang narkotika. Perubahan undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat dilakukan secara elastic sesuai kebutuhan dan kontek kinerja regulasi. Berbeda dengan undang-undang pidana umum sejenis KUHP dan KUHAP kurang memiliki elastisitas karena ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya mengatur banyak hal. 4.
Perbandingan Hukum Materil Dalam Undang-Undang Narkotika No 22/1997 dengan No 35/2009.
4
4.1. Kontektualisasi Amar Pertimbangan Hukum Di sahkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tanggal 14 September 2009 merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di dalam amar pertimbangannya, pemerintah menilai UU Nomor 22 Tahun 1997 untuk menjamin masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia, urgensi bahaya narkotika, mengatur tata kelola dan ancaman pidana terhadap penyalahgunaan narkotika, Pemerintah menilai UU Nomor 22 Tahun 1997 tidak efektif lagi menanggulangi situasi dan kondisi tindak pidana narkotika yang semakin berkembang dan terorganisir. Seperti ditulis didalam pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada huruf e yang berbunyi: e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang 5
untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut;1 Sementara di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 huruf e juga menyampaikan hal yang sama: e. bahwa kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dankondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut;2
Pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak jauh beda tata bahasanya dengan pertimbangan yang digunakan untuk merevisi Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hanya pada poin (e) tersebut diatas, terjadi penggabungan substansi pertimbangan dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Kontekstualisasi hukum dalam amar pertimbangan menjadi landasan pembeda utama atas perubahan undang-undang.
1 2
Lihat Menimbang UU No 35/2009 Lihat Menimbang UU no 22/1997 6
Perbedaan yang lainnya adalah di dalam pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika pada huruf e ada tambahan “ didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara “ . Sedangkan di dalam pertimbangan UU Nomor 22 Tahun 1997 tidak ada.
4.2. Pengembangan Ketentuan Umum Didalam UU Nomor 35 Tahun 2009 terdapat uraian Ketentuan
Umum
yang
menjadi
pembeda
sekaligus
pelengkap dari UU Nomor 22 Tahun 1997. Penambahan ketentuan
umum
dirumuskan
sesuai
dengan
kaidah
penegakan penyalahgunaan narkotika yang berkembang saat ini adalah: Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana Narkotika3.
3
Lihat Ketentuan Umum UU No 35/2009 7
Penegasan utama dari Ketentuan Umum yang tertera didalam UU Nomor 35 Tahun 2009 adalah tindak pidana narkotika sebagai kejahatan yang bisa dilakukan secara terorganisir dan lintas Negara/transnasional sehingga tindak pidana narkotika secara tersirat jelas bukan merupakan sekedar kegiatan kriminal biasa.
4.3. Meningkatkan Golongan Bahan Narkotika dan Pembatasan Penggunaannya Di
dalam
Lampiran
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika4 menegaskan bahwa Indonesia meningkatkan golongan bahan-bahan yang masuk dalam kategori Narkotika serta klasifikasi penggunaannya. Pertama, Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 ada perluasan golongan bahan-bahan dalam kategori Narkotika/Psikotropika dibandingkan dengan UU Nomor 22 Tahun 19975. Diantaranya dengan memindahkan Psikotropika Golongan II termasuk sabusabu, ke dalam kategori narkotika Golongan I karena tingkat bahaya bagi kesehatan manusia. 4
Lihat Lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 5 Lihat Lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 8
Kedua, dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika Golongan I tidak digunakan untuk pelayanan kesehatan karena sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan demikian, ada pelarangan dan sanksi berat secara tegas terhadap organisasi kriminal/sindikat yang memproduksi, mengimpor, dan mengedarkan secara melawan hukum Ekstasi dan Sabu. Jika beratnya melebihi 5 (lima) gram Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman (termasuk heroin dan kokain) maka pelaku dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara lainnya6.
4.4. Asas-asas Berlakunya Tindak Pidana Narkotika Asas
hukum
menurut
Paul
Scholten
dalam
Notohamidjoyo7 adalah suatu tendensi-tendensi yang disyaratkan kepada hukum oleh faham kesusilaan kita (tendenzenm welke ons zedelijk oordeel aan het rech stelt). Demikian juga menurut H.J. Holmes berpendapat bahwa asas-asas hukum yang konkrit, melainkan perlu dipandang
6
Lihat Bab XV Ketentuan Pidana UU No 35/2009 Dr. O. Notohamidjojo, SH. Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga, Griya Media, 2011 , hlm 23. 9 7
sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk (rishtsnoer) bagi hukum yang berlaku8 Fungsi asas-asas hukum menurut Notohamidjojo9 adalah: 1. Pengundang-undang harus mempergunakan asasasas hukum sebagai pedoman bagi kerjanya. 2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan pada asas asas hukum. 3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan analogi. 4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undang, apabila undangundang, karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanya. Terkait dengan penjelasan diatas, maka jika melihat Muatan
Materi
Undang-undang
tentang
Narkotika,
diselenggarakan berdasarkan beberapa asas yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 35 Tahun 2009 yaitu:
8 9
a)
keadilan,
b)
pengayoman,
c)
kemanusiaan,
d)
ketertiban,
e)
perlindungan,
f)
keamanan,
Ibid. hlm 23 Ibid. hlm 23 10
g)
nilai-nilai ilmiah,
h)
kepastian hukum.
Masuknya azas dalam bagian pasal merupakan langkah maju dalam perbaikan undang-undang Narkotika sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009. Langkah penetapan azas dalam undang-undang
narkotika
Undang-Undang
Nomor
sejalan 12
dengan
Tahun
2011
ketetapan Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sementara, pada UU Nomor 22 Tahun 1997, penegasan asas-asas yang ditetapkan adalah sesuai dalam Penjelasan Umum alinea ke 5 yang berbunyi: Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang baru yang berasaskan keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian, dan selarasan dalam perikehidupan hukum, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan dengan mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikataan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 11
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Pada Penjelasan Umum tersebut, dapat disimpulkan bahwa UU Nomor 22 Tahun 1997 menganut asas : a)
keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
b)
manfaat,
c)
keseimbangan,
d)
keserasian,
e)
keselarasan dalam perikehidupan hukum,
f)
ilmu pengetahuan dan teknologi
Penegasan penggunaan asas yang berlaku di dalam materi muatan undang-undang menjadi urgen, apalagi jika menyangkut dua kaidah hukum yang saling melengkapi seperti di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dimana proses acara pidana sesuai dengan Tindak Pidana Umum yang tertera dalam KUHAP. Sementara pidana merujuk pada UU Nomor 22 Tahun 1997. Sebagai catatan, asas yang dipakai di dalam produk UU
Tindak
Pidana
Umum
sesuai
KUHP
adalah
diselenggarakan berdasarkan azas: (a) Azas legalitas (b) Azas teritorial (c) Azas tidak berlaku surut (retro aktif) 12
(d) Azas nasionalitas yang terdiri dari nasionalitas aktif dan pasif. Asas asas yang terkandung dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Asas ini adalah asas menetap (constant) atau asas yang berlaku tetap dalam semua kaidah berkehidupan. Asas ini merupakan derajat tertinggi dalam produk hukum dan undang-undang. Wujud utama dari asas keimanan dan ketagwaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
adalah
tercapainya
keadilan
hukum
dalam
kehidupan manusia. Merujuk kepada konsep keadilan yang di susun oleh Gustav Radbruch, maka asas keimananan kepada Tuhan Yang Maha Esa, jika dikaitkan dengan konsep keadilan hukum Gustav Radbruch adalah hukum sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat atau
13
bersumber dari manusia maupun dari Tuhan. Ilmu tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil10 Keimanan dan Ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menuntut orang untuk berlaku adil dengan kepercayaan yang penuh dan transenden kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam Pancasila, jelas posisi tertinggi dalam sila adalah sila pertama. Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya asas hukum UU Nomor 22 Tahun 1997 dilandaskan pada asas Ketuhananan yang Maha Esa. Asas pertama dalam berbangsa dan bernegara. Prinsip utama yang mencerminkan pribadi yang Bertagwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah berlaku adil terhadap semua manusia. Konsep Adil menurut Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011 Huruf g: Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara.
10
Ibid. hlm. 183.
14
Konsep asas keadilan ini juga di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 sesuai dengan asas keadilan, asas kemanusiaan, asas pengayoman dan perlindungan bagi individu masyarakat dan negara. Kontek ketagwaan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta Keadilan adalah wujud tertinggi dari asas Materi Muatan Perundang-undangan.
b. Manfaat. Asas manfaat adalah asas yang memastikan bahwa hukum yang ditetapkan atau setiap Materi Muatan Perundang-undangan
memberikan
manfaat
bagi
kehidupan manusia yang lebih baik dan bermartabat dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada kaidah yang lain, asas manfaat jika dilihat dari UU Nomor 12 Tahun 2011 merupakan makna yang dekat dengan
Asas
“Kedayagunaan
dan
Hasilgunaan”.
Menurut Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011 Huruf e: Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan “adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang bener-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam 15
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Substansi dari asas manfaat di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 terkait dengan asas-asas Asas Pengayoman, Asas Ketertiban, Asas Perlindungan, Asas Keamanan dan Kepastian hukum. Meskipun belum diuraikan secara ekplisit, tetapi kinerja UU Nomor 22 Tahun 1997 diharapakan mampu memberikan kejelasan pengayoman, ketertiban, perlindungan, keamanan dan kepastian hukum bagi individu, masyarakat dan Negara. Termasuk didalammnya adalah bagi korban dan keluarga korban dan masyarakat umum.
c. Keseimbangan,
keserasian,
dan
selarasan
dalam
perikehidupan hukum, serta Ilmu pengetahuan dan teknologi. Makna dari asas ini adalah merujuk kepada Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan
Penjelasan Huruf j:
16
Perundang-undangan,
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan hasur mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan Negara.
Penegasan
keseimbangan,
keserasian
dan
keselarasan dalam perikehidupan hukum, serta Ilmu pengetahuan mencerminkan bahwa UU Nomor 22 Tahun 1997 sesuai dengan herarki hukum. Penjenjangan setiap
jenis
didasarkan
peraturan pada
perundang-undangan
asas-asas
peraturan
yang
perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Asas tersebut diatas, jika dibandingkan dengan asas-asas yang tertulis didalam UU Nomor 35 Tahun 2009, maka dikategorikan dalam asas kepastian hukum. Hukum bekerja untuk ditaati dan untuk itu dibutuhkan kejelasan hirarki hukum sehingga kinerja hukum bisa di pertanggungjawabkan. Sementara penggunaan asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bermakna, UU Nomor 22 Tahun 1997 17
memberikan ruang pengakuan ilmu pengetahuan dan teknologi didalam menjalankan materi muatan hukum. Pengakuan ini penting mengingat UU Nomor 22 Tahun 1997 merupakan Undang Undang Narkotika yang perkembangannya sangat pesat dan dekat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, asas Ilmu Pengetahuan dan Tekonologi ini kategorikan ke dalam asas Nilai-Nilai Ilmiah. Substansi dari kedua asas dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009 adalah sama. Perbedaannya adalah pada UU Nomor 22 Tahun 1997 belum tegas mencantumkan asas ke dalam pasal ke dalam Materi Muatan Perundangundangan, tetapi masuk ke dalam Penjelasan Umum. Sedangkan
UU
Nomor
35
Tahun
2009
tegas
memasukan asas-asas ke dalam Pasal 3. 4.5. Perluasan Tempat Kejadian Perkara Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol Tahun 1972 yang mengubahnya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara 18
Republik Indonesia Nomor 3085; serta penerbitan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 atau Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa
tentang
Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988, sebagaimana tertera dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673; maka asas territorial dan kerjasama ektrateritorial dalam kejahatan Narkotika semakin tegas. Penegasan Narkotika sebagai extra ordinary crime memungkinkan undang-undang Narkotika menjangkau wilayah ektrateritorial. Di dalam Pasal 63 UU Nomor 35 Tahun 2009, upaya kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika di masukan dalam bagian
tugas
Kepentingan terintegrasi
Negara nasional
dengan
demi ini
kepentingan diupayakan
kepentingan
nasional. pemerintah
internasional
bagi
perlawanan terhadap kejahatan narkotika pada tingkat global. Pasal 63 UU Nomor 35 Tahun 2009: 19
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Sedangkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 belum tegas memberikan kewenangan pemerintah secara regional kawasan maupun internasional untuk menjalin kerjasama produktif melawan kejahatan Narkotika. Kelemahan UU Nomor 22 Tahun 1997 adalah secara formil mengikuti undang-undang tindak pidana umum sesuai KUHP yang tidak memiliki cakupan ekstra teritorial karena KUHP hanya berlaku diwilayah Negara Indonesia. 4.6. Pembatasan
Penyimpanan,
Rehabilitasi
dan
Pengobatan Narkotika Penerbitan UU Nomor 35 Tahun 2009 menegaskan kepada
masyarakat
bahwa
mereka
tidak
diperbolehkan/penyimpanan narkotika untuk jenis dan golongan apapun. Penyimpanan Narkotika diperbolehkan pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 35 Tahun 2009: 20
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika. Pada satu sisi, UU Nomor 35 Tahun 2009 memberikan
ketegasan
bahwa
tidak
diperkenankan
menyimpan secara personal kecuali pasien rehabilitasi dan mendapatkan resep dari dokter yang ditunjuk. Sementara kekawatiran akan sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu secara ilegal di minimalisir dan dinafikan. Semua bentuk rehabilitasi bagi korban dilakukan oleh Negara dan di control oleh Negara melalui rehabilitasi medis terpercaya. Satu sisi ada kekawatiran akan memunculkan black market Narkoba semakin besar di Indonesia, tetapi 21
kekawatiran ini bisa dimengerti sebagai bagian dari kritik atas pelayanan rehabilitasi korban narkoba yang kurang professional. Ketentuan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksanan di sidang pengadilan dalam Pasal 103 UU Nomor 35 Tahun 2009 ditentukan: (1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.11
11
Pasal 103 UU No. 35/2009 22
Penegasan rehabilitasi dan pengobatan bagi korban Penyalah Guna Narkotika dan/atau Pecandu Narkotika cukup menarik di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009. Kata “dapat” pada Pasal 103 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Untuk kepentingan tersebut dalam persidangan, Hakim diberikan wewenang menghukum pecandu/penyalahguna narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabilitasi dan dapat dijadikan sebagai pengganti hukuman. Pada sisi lain, UU Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mekanisme pelaporan bagi korban yang belum cukup umur oleh orang tuanya/ wali, untuk mendapat Rehabilitasi Medis dan Sosial dari negara; dan bagi Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, selama 2 (dua) kali perawatan dokter di Lembaga Rehabilitasi Medis yang ditunjuk Pemerintah, kesemuanya tidak dituntut pidana, tetapi diwajibkan menjalani Rehabilitasi Medis dan Sosial. Pasal 54 “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan
23
Narkotika
wajib
menjalani
rehabilitasi
medis
dan
rehabilitasi sosial” 12. Hal berbeda ditemukan pada UU Nomor 22 Tahun 1997, Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah. “(2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada … dan (f) pasien.13 Melalui UU Nomor 35 Tahun 2009, kebebasan dan kehendak sendiri untuk sembuh tidak lagi diberikan oleh Negara. Para pecandu dan korban mempunyai kewajiban mengikuti rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang dikelola oleh negara. Para korban pecandu narkotika diwajibkan untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga sesuai Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009. Akan terbit peraturan menteri yang mengatur tentang rehabiltasi medis dan sosial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat. 12 13
Pasal 55 UU No 35/2009. Pasal 39 UU No 22/1997 24
4.7. Ketentuan Pidana antara UU No 22 Tahun 1997 dengan UU No 35 Tahun 2009 Beberapa perbandingan ketentuan pidana yang diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 tahun 2009 adalah sebagai berikut: Matrik 3.1. Perbandingan Substansi Muatan Materi UU No 22/1997 dan UU No 35/2009. Substansi Muatan Materi Jumlah pasal mengandung pidana Ancaman pidana
Sanksi Tambahan Jenis Kesalahan Ancaman Pemidanaan Sistem kumulatif
UU No 22 Tahun 1997
UU No 35 Tahun 2009
Memuat 19 pasal me ngandung pidana dari 96 pasal, atau 19 %. Terdapat ancaman hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda.
39 pasal mengandung macammacam pidana dari 150 pasal, atau 26%. Terdapat ancaman hukuman mati, penjara, denda. Ancaman hukuman lebih berat dibanding UU No 22/1997. Penegasan hukum mati bagi pelaku. Sanksi administratif sampai pencabutan izin usaha dan status badan hokum Unsur ketidakesengajaan tidak berlaku/culpa Menggunakan pendekatan pidana minimal Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sama dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undangundang narkotika ini
Sanksi administratif sampai pencabutan izin usaha Unsur ketidakesengajaan tidak berlaku/Culpa Menggunakan pende katan pidana minimal Percobaan atau permu fakatan jahat untuk mela kukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sama dengan orang melakukan kejahat an atau pelanggaran ter hadap ketentuan dalam undang-undang 25
Narkotika ini. Hukuman denda
dan
Hukuman pidana dan denda lebih berat dari UU N0 22 1997
Persamaan Hu kuman Terha dap Delik Per cobaan dan Delik Selesai
Menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan.
Menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan.
Ancaman hu kuman orang tua pelaku/ korban dan Masyarakat Rehabilitasi
Tidak memberikan hukuman kepada orang tua/keluarga.
Memberikan ancaman hukuman pidana 6 bulan kurungan bagi yang tidak melaporkan penyalah gunaan narkotika/psikotropika.
Mengenal konsep rehabilitasi oleh Negara dan masyarakat
Mengenal konsep rehabilitasi hanya oleh Negara.
Penegak hukum
Penegak hukum dalam hal ini Penyidik hanya diampu oleh Penyidik Polri Barang yang dilarang hanya narkotika yang sudah jadi/siap pakai
Selain penyidik dari Kepolisian juga ada penyidik dari BNN
Jenis barang yang dilarang
pidana
Barang yang dilarang selain narkotika yang sudah jadi juga prekusornya atau bahan bahannya.
Dari tabel diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Jumlah Pasal Mengandung Pidana Penerbitan UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan tegas penggunaan
pendekatan
pidana
lebih
menonjol
dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam UU Nomor 22 Tahun 1997. Pendekatan pidana digunakan sebagai 26
upaya efek jera dan memberi rasa takut kepada pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Ketentuan pidana tercantum pada 39 pasal yang mengandung macammacam pidana dari 150 pasal yang ada dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, atau 26%. Sementara di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 memuat 19 pasal yang mengandung pasal pidana dari keseluruhan 96 pasal, atau 19 %. Tampak pendekatan treatment hukum masih dominan pada UndangUndang tersebut. Meskipun demikian penggunaan pasal mengandung pidana pada UU 22 Tahun 1997 dan UU 35 Tahun 2009 mencerminkan asas manfaat yang terkait dengan Asas Pengayoman, Asas Ketertiban, Asas Perlindungan Hukum, Asas Keamanan dan Kepastian Hukum. Pendekatan Asas Keamanan dan Kepastian Hukum tampak memunculkan kekawatiran disatu sisi dari terbitnya UU Nomor 35 Tahun 2009. Ada kekawatiran munculnya kriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dalam undang-undang ini. Apalagi super bodi dengan kewenangan yang luar biasa seperti Badan Narkotika Nasional memungkinkan untuk melakukan hal tersebut jika lemah dalam kontrol. 27
b. Ancaman Pidana Dalam undang-undang narkotika Nomor 22 Tahun 1997 maupun UU Nomor 35 Tahun Nomor 2009 terdapat ancaman hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda. Perbedaan kedua undang-undang tersebut adalah pada berat ringannya sanksi. Sebagai perhatian utama adalah dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 yang menegaskan hukuman mati bagi pelaku yang terbukti membawa secara tidak sah narkotika pada ukuran tertentu. Pendekatan ancaman pidana mati merujuk secara langsung pada penggunaan asas keadilan yang merupakan asas menetap (constant) dari Asas Keimanan dan Ketagwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti tertulis di dalam Asas UU Nomor 22 Tahun 1997. Sementara di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, asas tersebut di jabarkan dalam
Asas
Keadilan,
Asas
Kemanusiaan,
Asas
Pengayoman dan Perlindungan bagi Individu Masyarakat dan Negara. c. Sanksi Tambahan Pada penyelenggara dan pengelolaan yang ditunjuk, terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan, denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan 28
pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 130 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, berupa: (a) pencabutan izin usaha; dan/atau (b) pencabutan status badan hukum. Sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009, penggunaan Asas Kemanusiaan, Asas Pengayoman dan Perlindungan bagi Individu Masyarakat dan Negara lebih menonjol di dalam asas muatan materi pasal ini. Meskipun juga memberikan ruang bagi berjalannya Asas Kepastian Hukum. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1997 di kategorikan sebagai Asas Keseimbangan, Keserasian dan Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum. b. Jenis Kesalahan Secara harfiah, dalam Tindak Pidana narkotika penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam pasal-pasal di Bab XV Ketentuan Pidana UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan. Artinya siapa saja dapat terkena ancaman pidana baik melakukan perbuatan penyalahgunaan narkotikan secara sengaja maupun tidak sengaja. Meskipun dikenal didalam hukum pidana Asas Tidak Ada Pidana Tanpa Kesalahan tetapi, delik ini dapat menjerat orang29
orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika. Baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuan. Semisal di jebak, di titipi oleh orang lain tanpa sepengetahuan pembawa atau karena ketidaktahuan maupun menerima paket dari pos dan kondisi lainnya. Dalam undang-undang narkotika tidak mengenal adanya delik culpa atau ketidaksengajaan. Penanganan kasus penyalahgunaan narkotika yang kurang efektif salah satunya adalah alibi ketidaksengajaan pelaku atau berlindung sebagai korban. Oleh karena itu di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, UU Nomor 22 Tahun 1997 dan KUHP Hukum Pidana Umum dalam KUHP terdapat delik culpa. Meskipun di dalam KUHP terhadap orang yang melakukan delik culpa tersebut masih dipertimbangkan, seperti dalam pasal 359 KUHP. Penegasan
Asas
Perlindungan,
Asas
Ilmu
Pengetahuan atau Asas Nilai-Nilai Ilmiah merupakan rujukan utama bagi berjalannya keserasian, keselarasan dan keseimbangan kehidupan individu masyarakat dan Negara. Asas pada muatan materi pasal ini baik dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 maupun UU Nomor 35 Tahun 2009 mengakui bahwa penyalahgunaan narkotika yang terus berkembang memaksa undang-undang berkembang dan 30
mengikuti ranah teknologi dan nilai-nilai ilmiah yang terus berkembang.
c. Ancaman Pemidanaan Pendekatan UU Nomor 35 Tahun 2009 maupun UU Nomor 22 Tahun 1997 menetapkan sistem pidana minimal. Hal ini memunculkan asumsi bahwa UU tersebut dapat mencegah masyarakat untuk berhubungan dengan
narkotika/psikotropika.
Meskipun
ada
kekawatiran penggunaan pidana minimal juga akan menutup kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusan, walaupun
di
dalam
prakteknya,
hakim
dapat
menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal. Keputusan
Hakim
tersebut
diperbolehkan
oleh
Mahkamah Agung. Pada sisi lain, sistem pemidanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga tidak memberikan hukuman kepada orang tua/keluarga pelaku penyalahgunaan narkotika. Pada Pasal 86 menyebutkan: (1). Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) 31
bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2). Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana. Pasal 88 juga menyebutkan: (2). Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan palinglama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu jutarupiah). Sementara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan ancaman hukuman pidana bagi keluarga yang
tidak
melaporkan
penyalahgunaan
narkotika/psikotropika. Pasal 134 : (2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Sesuai UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009, Asas Keadilan dan Keseimbangan jelas
32
tercermin dari ancaman pemidanaan yang meluas sampai ke orang tua/keluarga pelaku penyalahgunaan narkotika.
d. Sistem Kumulatif Percobaan
atau
permufakatan
jahat
untuk
melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini. Dalam pasal-pasal di Bab XV Ketentuan Pidana UU Nomor 35 Tahun 2009 percobaan untuk menyediakan narkotika golongan 1, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Sebagaimana tertera dalam Pasal 111 UU Nomor 35 Tahun 2009. (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan 33
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Sedangkan dalam kaidah Hukum Tindak Pidana Umum dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang melakukan percobaan adalah maksimum hukuman utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, dalam hal percobaan. Berdasarkan sifat hukuman, sanksi dan hukuman dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 dan UU Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika bersifat komulatif. Maknanya orang yang tertangkap melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap narkotika akan dihukum dengan hukuman pidana dan hukuman denda. Jadi terpidana harus memenuhi vonis hukuman primer dan vonis hukuman subsider tersebut. Pidana kumulatif ini menjadi salah satu ciri utama UU Tindak Pidana Khusus Tentang Narkotika. Perbedaan Hukuman Kumulatif antar kedua UU narkotika tersebut adalah pada lama hukuman pidana dan besar denda. Pada UU Nomor 35 34
Tahun 2009, hukuman yang demikian memberikan efek jera bagi pelaku. Efek Jera dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009 merupakan salah satu manifestasi penerapan Asas Keadilan, Asas Kepastian Hukum dan Asas Keseimbaangan, Keserasian dan Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum. e. Persamaan Hukuman Terhadap Delik Percobaan dan Delik Selesai. Dalam Undang-undang pidana umum KUHP terjadi pembedaan vonis hukuman antara suatu tindak pidana selesai dengan suatu tidak pidana tidak selesai atau percobaan. Sedangkan UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan. Latar belakang bahwa tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan sistematis karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk dan berlanjut di masyarakat.
Oleh
karena
itu
delik
percobaan
mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi dan akibat tindak pidana tersebut selesai. 35
Sementara pada kasus penyalahgunaan narkotika, diasumsikan bahwa semua proses kejahatan oleh pelaku berhenti, tetapi dampaknya masih berlanjut. Meskipun penting juga dicari cara untuk membedakan pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan untuk menjunjung tinggi Asas Keadilan, Asas Manfaat dan Asas Keseimbangan Hukum yang merupakan kekuatan dari UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009.
f. Ancaman hukuman bagi orang tua pelaku/ korban dan masyarakat Di dalam materi pidana UU Nomor 35 Tahun 2009 memberikan
ancaman
hukuman
pidana
6
bulan
kurungan pada UU Nomor 35 Tahun 2009 bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Dalam Pasal 128 UU Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan: (1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) 36
bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika. Undang-undang
Nomor
35
Tahun
2009
memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Sesuai Pasal 131 UU Nomor 35 Tahun 2009: Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Maknanya undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. Potensi kesulitan justru muncul pada saat penerapan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. 37
Biasanya pasal-pasal sejenis ini digunakan untuk pihakpihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna
narkotika.
Orang
tersebut
juga
dapat
dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pada satu sisi, pasal ini juga menjadi ancaman serius bagi para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika dalam bentuk yayasan sosial, rehabilitasi yang dikelola oleh masyarakat maupun individu. Ketidaksinkronan delik materiil terdapat pada ketentuan peran serta masyarakat yang diatur pada pasal 104 sampai pasal 108 BAB XIII Tentang Peran Masyarakat sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009 dimana dalam
ketentuan
Bab
tersebut
masyarakat
tidak
diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan
narkotika
atau
peredaran
gelap
narkotika. Pasal 107 UU Nomor 35 tahun 2009 Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Terkait
dengan informasi
tentang Narkotika,
masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab yang 38
tentunya hak dan tanggung jawab ini dapat digunakan maupun tidak gunakan tergantung pada keputusan individu masyarakat. Tanggung jawab memberantas penyalahgunaan narkotika merupakan tanggung jawab bersama antara Negara, individu, keluarga dan masyarakat. Oleh sebab itu, penggunaan Asas Manfaat dan Asas Keseimbangan, Keserasian dan Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum menonjol dalam bagian pasal-pasal yang menjelaskan tentang peran dan tanggung jawab masyarakat.
g. Rehabilitasi Di dalam Undang-Undang 22 Tahun 1997 konsep rehabilitasi bagi korban dan pelaku penyalahgunaan narkotika
adalah
oleh
Negara
dan
Masyarakat.
kelemahan mendasar rehabilitasi korban narkotika adalah ketidakjelasan batasan antara rehabilitasi oleh Negara maupun rehabilitasi oleh masyarakat. Sementara di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tanggung jawab rehabilitasi di fokuskan pada tanggung jawab Negara yang harus mengatur tata kelola peran 39
masyarakat dalam rehabilitasi bagi korban. Dalam pasal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan: (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sementara Pasal 57: Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Pasal 58 juga menyebutkan: Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika di selenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Peran rehabilitasi termasuk rehabilitasi sosial diatur secara ketat atas ijin dari pemerintah, sesuai Pasal 56 UU Nomor 35 Tahun 2009: (1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau 40
masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Rehabilitasi
bagi
korban
penyalahgunaan
narkotika merupakan manifestasi Asas Keadilan, Asas Manfaat,
Asas
Keseimbangan,
Keserasian
dan
Keselarasan Perikehidupan Hukum. Negara menyadari bahwa Negara harus kuat untuk menjamin peran masyarakat dalam proses rehabilitasi korban dalam bentuk yayasan rehabilitasi korban narkotika, klinik rehabilitasi maupun kegiatan masyarakat sejenisnya dengan mengatur dalam tata laksana hukum pada tingkat operasional lapangan melalui peraturan setingkat Menteri.
h. Penegak hukum Perubahan signifikan dalam UU Nomor 35 tahun 2009 di bandingkan denan UU Nomor 22 tahun 1997 adalah
dalam hukum formil dalam penanganan
Nrakotika di Indonesia adalah dibentuknya Badan Narkotika Nasional sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari pusat sampai ke provinsi dan kabupaten/ kota yang 41
bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 telah memperkuat bidang pemberantasan
dan
penegakan
hukum
dengan
memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada BNN, di samping penyidik dari kepolisian maupun instansi lain. Ada dua Bab masing-masing Bab XI dan Bab XII yang mengatur khusus tentang BNN. Seperti didalam Pasal 64 UU Nomor 35 tahun 2009: (1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. (2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Porsi kewenangan besar bagi BNN diberikan oleh UU Nomor 35 tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan prekursor narkotika. Selain itu BNN juga dapat memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas 42
masyarakat
untuk
melakukan
pencegahan
terhadap
penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Kewenangan ini menjadikan BNN menjadi superbodi yang memiliki kekuasaan yang besar terkait Narkotika di Indonesia. Pasal 70 UU Nomor 35 tahun 2009: BNN mempunyai tugas: a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna 43
mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika; i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang. Selain dari pada itu, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan dalam hal melakukan kewenangannya dalam pemberantasan narkotika. Pasal 71 UU Nomor 35 tahun 2009: Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
44
i. Jenis barang yang dilarang Di dalam UU Nomor 22 tahun 1997 narkotika yang dilarang hanya jenis narkotika yang telah siap pakai atau narkotika yang sudah jadi. Sedangkan di dalam UU Nomor 35 tahun 2009 selain narkotika yang telah siap pakai atau narkotika yang sudah jadi juga diatur tentang prekusornya atau bahan bahan pembuat narkotika. Seperti didalam Pasal 5 UU Nomor 35 tahun 2009: Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Sementara Pasal 129 UU Nomor 35 tahun 2009 berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; 45
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
46