Mempertimbangkan Kembali Relevansi Studi HAM dan Demokrasi1 AE Priyono
DEMOS, Jakarta
1. Dengan tidak adanya cukup informasi mengenai kegiatan pusat-pusat studi HAM berbasis Universitas sejak pembentukannya pada tahun 2000 hingga sekarang, sulit kiranya untuk menilai peranan dan kinerjanya selama ini dalam membentuk dan mempengaruhi diskursus politik HAM di Indonesia. Terlepas dari minimnya dukungan institusional dan infrastruktural yang mungkin masih membelitnya, tak-terdengarnya peranan pusat-pusat studi HAM berbasis universitas dalam percaturan politik HAM mungkin juga disebabkan karena dua hal. Pertama menyangkut tidak jelasnya orientasi kajian akademis HAM dalam hubungannya dengan isu-isu aktual politik HAM; dan kedua menyangkut kecilnya kontribusi studi-studi tersebut dalam gerakan advokasi HAM -yang sejauh ini dilakukan secara terpisah oleh lembaga-lembaga ornop. Gejala yang pertama tampaknya berkaitan dengan fenomena lebih luas mengenai terpisahnya antara ilmu dan politik; sementara gejala kedua mengindikasikan problem lain yang juga penting yakni tidak adanya cukup integrasi antara dunia universitas dan NGO. 2. Yang terjadi selama ini adalah tidak adanya division of labour antara Pusham dan Ornop HAM. Pusat-Pusat Studi HAM di universitas-universitas seringkali memerankan porsi besar dalam kegiatan advokasi HAM tetapi kecil peranannya dalam kajian-kajian akademis HAM; sementara ornop-ornop HAM seringkali mengerjakan studi-studi yang dilakukannya sendiri secara amatir untuk kebutuhan advokasinya. Dalam banyak hal ini tentu menimbulkan duplikasi dan overlapping. Bagaimanapun kita masih mengidamkan adanya pembagian tugas yang secara maksimal bisa dikerjakan berdasarkan fungsi masing-masing. Spesialisasi atas fungsi-fungsi pusham dan ornop HAM memang penting dibicarakan bersama; dan ini hanya bisa dikerjakan melalui koordinasi dan kerjasama. 3. Di luar persoalan-persoalan itu, lembaga-lembaga HAM di Indonesia sesungguhnya masih terus menghadapi problem lain yang jauh lebih serius. Problem-problem itu antara lain adalah menyangkut tidak adanya perbaikan yang berarti dalam perlindungan dan pemajuan HAM selama lebih dari 5 tahun reformasi. Bahkan khususnya jika berkenaan dengan penegakan keadilan atas kejahatan-kejahatan HAM masa lalu, tiga pemerintahan pasca Orde Baru terbukti gagal melaksanakan tanggungjawab untuk menanganinya. Sekarang ini kita bahkan sedang melihat prospek yang semakin suram karena konsolidasi elite politik lama tampaknya telah memenangkan pertarungan untuk kembali berkuasa, justru melalui jalan demokrasi!
Disampaikan dalam seminar dan Lokakarya Nasional Capacity Building Pusat Studi Hak Asasi Manusia SeIndonesia, Diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII dan Norwegian Center For Human Right University of Oslo, di Yogyakarta 26-29 April 2004
1
1
4. Kemenangan kaum elite yang berhasil membajak demokrasi untuk kepentingan mereka sendiri, muncul dari kesimpulan riset yang kami lakukan tahun lalu.2 Demokrasi dimenangkan kaum elite yang tidak memiliki orientasi HAM karena para aktor prodemokrasi melakukan WO dari negara dan hanya berkutat di sektor civil-society. Kemenangan kaum elite tuna-HAM itu terjadi karena para aktivis pro-demokrasi, termasuk para aktivis HAM, tidak cukup tertarik untuk mengerjakan upaya-upaya membangun representasi politik sipil, menjauhi partai politik, dan terus menerus bertahan dalam sikap “anti-state.” Di tengah-tengah ruang publik yang sebagian besar terdiri dari massa mengambang warisan Orde Baru, mereka kemudian hanya menjadi para “aktivis mengambang,” para “demokrat mengambang,” floating human rights defenders. Mereka tetap tidak memiliki konstituen yang jelas, dan sangat kesulitan mendapatkan dukungan massa yang signifikan secara politik. Dalam situasi umum seperti itu, mereka -- termasuk para aktivis HAM -- sulit diandalkan muncul menjadi aktor yang memiliki posisi tawar yang tinggi secara politik. Apalagi ketika mereka makin dijauhi oleh kalangan elite politik baru yang berbasis di partai-partai politik yang ternyata punya agenda lain untuk mempertahankan rantai impunity demi kepentingan politik mereka sendiri. Singkatnya para aktivis pro-demokrasi, termasuk aktivis HAM, menjadi semakin marginal. 5. Bagaimana mengubah situasi ini? Reorientasi semacam apa yang bisa dikerjakan agar mereka dapat berperan kembali secara signifikan? Sumbangan apa yang mungkin bisa mereka berikan agar proses demokratisasi bisa diarahkan kembali sesuai dengan prinsip-prinsip HAM? Bisakah diskursus politik baru mengenai HAM direproduksi ulang untuk memberi arah bagi politik reformasi yang sedang majal sekarang ini? 6. Refleksi Ruti Teitel3 berikut ini rasanya penting dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dalam rangka menjadikan isu HAM relevan kembali. Dalam kajiannya mengenai bagaimana negara-negara Amerika Latin pada masa transisi menangani kejahatan-kejahatan masa lalu, Teitel melihat tidak ada jalan lain agar prosekusi atas pelanggaran HAM masa lalu itu dikerjakan tidak secara terpisah dari kepedulian terhadap demokrasi. Menurutnya akan ada banyak komplikasi jika skenario penghukuman terhadap para penjahat rezim lama dilakukan secara independen dari proses demokrasi. Kendati demikian, menurutnya, kita tetap harus memilih berbagai alternatif yang realistis untuk menjadikan skenario penghukuman itu memperoleh dukungan yang berarti dari publik dan karena itu bisa menjadi kekuatan yang penting secara politik. 7. Menurut Teitel, sesungguhnya ada beberapa argumen di mana penghukuman terhadap kejahatan masa lalu bisa dikerjakan di luar skenario demokrasi. Tetapi sebagaimana kemudian terbukti, model-model itu akhirnya gagal dikerjakan karena mengandung banyak kesulitan. 2
Kesimpulan ini merupakan salah satu dari 11 kesimpulan kami yang lain sebagaimana dipaparkan dalam Laporan Riset Demos (2003), “Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia,” kerjasama antara Demos dan Unversitas Oslo, dengan dukungan NORAD (Norwegia), SIDA (Swedia), Ford Foundation, dan Yayasan Tifa. Untuk hasil kesimpulan riset sebelumnya, lihat Stanley Adi Prasetyo, AE Priyono, Olle Törnquist, Indonesia’s Post-Soeharto Democracy Movement, Demos, Jakarta, 2003. 3
Ruti Teitel, “How are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past Human Rights Abuses?” dalam Neil J. Kritz (ed.), Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, United States Institute of Peace Press, Washington D.C., 1995, Vol. 1, General Considerations, p. 146-153.
2
Argumen 1: Teori Retribusi Teori ini menjustfikasi penghukuman atas dasar alasan keadilan retributif bahwa orang yang bersalah layak dihukum. Tiadanya penghukuman merupakan bukti dari tiadanya keadilan. Teori ini mengandaikan bahwa sistem hukum sudah sangat stabil tanpa komplikasi masalah-masalah politik – sesuatu yang hampir mustahil di negara-negara warisan otoritarianisme di mana sistem hukum dan judisial menjadi perpanjangan tangan kekuasaan politik.
Argumen 2: Politik Non-Prosekusi Kegagalan pemerintah untuk menghukum kejahatan-kejahatan yang dilakukan rezim sebelumnya bisa dilihat sebagai upaya rezim lama itu untuk menghindar dari tanggungjawab. Menurut argumen ini, penghindaran dari penghukuman pada dirinya merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Argumen ini memfokuskan diri pada negara sebagai aktor, dan menganggap bahwa karena rezim sebelumnya gagal untuk menyelidiki dan menghukum kejahatan masa lalu maka begitu juga rezim berikutnya akan mewarisi kejahatan tersebut sebagai dosa warisan. Karena membongkar dosa warisan bakal mendatangkan kemelut politik, maka biasanya rezim baru melakukan jalan pintas dengan memberikan amnesti, dalam berbagai bentuknya.
Argumen 3: Penghukuman sebagai Kewajiban Internasional Argumen hukum internasional mengenai penghukuman atas kejahatan rezim otoritarian masa lalu memiliki beberapa klaim. Pertama, hukum internasional lebih tinggi dibandingkan hukum domestik. Kedua, di bawah prinsip hukum internasional, rezim baru tetap bertanggungjawab terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan rezim sebelumnya. Ketiga, kejahatan rezim pada dasarnya merupakan pelanggaran HAM yang serius yang menjadi wilayah yurisdiksi internasional dan karena itu penghukumannya di bawah hukum internasional tidak bisa dihapuskan, tidak bisa dianulir di bawah hukum nasional. Kesulitan diterapkannya argumen ini terletak pada kenyataan bahwa hukum internasional hanya mewajibkan negara-negara “menghormati” dan “menjamin” ditegakkannya HAM, tetapi tidak mengatakan apapun mengenai penghukuman. Argumen ini pada kenyataannya gagal memberikan dukungan pada kewajiban untuk menghukum. 8. Berbeda dengan argumen-argumen di atas, Teitel mengajukan kemungkinan lain untuk mengaitkan antara tindakan penghukuman dengan tesis demokrasi, yang menganggap bahwa justifikasi bagi penghukuman itu lebih berorientasi ke masa depan, bahwa keadilan bagi mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan masa lalu akan menyebabkan timbulnya demokrasi karena beberapa alasan, antara lain: a. mencegah terulangnya kejahatan serupa di masa depan, baik oleh penjahat yang sama, maupun yang akan menimpa orang lain b. memberikan hak kepada korban atas semacam ganti rugi hukum; dan karena itu juga penegakan rule of law c. memulihkan kepercayaan kepada pengadilan d. untuk memungkinkan resolusi yudisial atas luka-luka masa lalu dan terciptanya rekonsiliasi di kalangan berbagai kelompok kepentingan e. untuk menstigmatisasi pelaku kejahatan dan memisahkan mereka dari dunia publik.
3
9. Esensi dari tesis penghukuman demi demokrasi ini pada dasarnya adalah bahwa justifikasi terhadap penghukuman itu akan mendatangkan kebaikan sosial di masa depan. Kendati demikian, apakah semua elemen masyarakat akan mendukung penghukuman atau permaafan, pada kenyataannya tergantung dari kalkulasi moral dan politik mereka menyangkut masa depan mereka sendiri. Karena itu menurut tesis ini tetap tidak ada pewajiban untuk melakukan penghukuman; keputusan untuk menghukum atau tidak sangat tergantung pada pilihan kebijakan kolektif masyarakat. Merekalah yang akan menentukan pilihan-pilihan etisnya sendiri untuk menentukan satu di antara empat kombinasi ini: (1) menghukum dan tidak melupakan; (2) menghukum tetapi kemudian melupakan; (3) memaafkan dan melupakan; dan (4) memafkan tetapi tidak melupakan. 10. Teitel menyadari kemungkinan bahwa penghukuman dan demokrasi akan berakhir pada pilihan amnesti, baik dalam bentuk pilihan (3) atau (4). Dalam kemungkinan seperti itu, sesungguhnya harus dikatakan bahwa demokrasi bisa jadi tidak mempunyai korelasi apapun dengan penghukuman. Untuk menghindari situasi ini memang masih terbuka kemungkinan alternatif untuk mencari bentuk-bentuk lain penghukuman yang bersifat non-kriminal.
Alternatif 1: Pengungkapan Kebenaran Masa Lalu – Alternatif Pencarian Fakta Alternatif ini membuka kemungkinan bahwa hubungan antara penghukuman dan demokrasi adalah untuk tujuan mengungkapkan kebenaran. Memperoleh kebenaran atau menemukan fakta-fakta mengenai suatu kejadian merupakan salah satu konsekuensi dari peradilan kriminal. Tujuan “kebenaran” suatu prosekusi tidak bisa dilepaskan dari tujuan “keadilan,” dan bahwa kebutuhan masyarakat akan kebenaran mengenai masa lalu bisa diperoleh melalui cara-cara pencarian fakta, yang sama sekali terpisah dari proses penghukuman. Pencarian fakta menenai kebenaran masa lalu tidak harus dilakukan pemerintah baru. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui masa lalu kolektif mereka. Mereka berhak atas kebenaran.
Alternatif 2: Ganti Rugi Korban – Aksi Sipil atas Perilaku Kriminal Prosekusi kriminal oleh negara bisa digantikan dengan langkah-langkah pemidaan sipil yang diusulkan oleh pihak-pihak swasta. Tindakan ini misalnya bisa dilakukan melalui gugatan sipil untuk ganti kerugian atas kerugian yang menimpa korban. Korban berhak memperoleh kompensasi keuangan, baik dari pelaku kejahatan maupun dari negara. Model lain bisa dilakukan dengan menuntut restitusi.
Alternatif 3: Tuntutan Perbaikan atas Institusi Hukum dan Demokrasi Perbaikan sistem peradilan kriminal biasanya menjadi isu genting untuk tegaknya keadilan atas kejahatan masa lalu. Pemulihan atas perasaan persamaan dalam sistem peradilan kriminal menjadi kebutuhan yang makin meningkat ketika masyarakat masih melihat diskriminasi hukum, misalnya jika para pelaku kejahatan masa lalu diadili dalam pengadilan militer. Kritik terhadap pelaksanaan pengadilan HAM ad-hoc mengenai jenderal-jenderal yang menjadi pelaku kejahatan HAM di Timor Timur juga bisa dicontohkan menjadi cikal bakal perombakan UU Pengadilan HAM. Wilayah “institution building” menjadi wilayah strategis untuk likuidasi perangkat-perangkat rezim lama dan rehabilitasi bagi peranan lembaga-lembaga baru demokrasi. Langkah-langkah ini krusial dan penting dirambah untuk menjadikan mementum demokrasi sebagai perbaikan sistem hukum dan sistem secara keseluruhan.
4
11. Ruti Teitel memang menuliskan refleksinya itu berdasarkan pengalaman Amerika Latin (Chili, Argentina, Uruguay, Guatemala, El Salvador, Brazil, dll.) pada 1980an. Tetapi konteks transisional Amerika Latin ketika itu yang masih dibayang-bayangi upaya militer untuk lari dari pertanggungjawaban atas kejahatan-kejahatan masa lalunya dan keinginan mereka untuk kembali berkuasa, sama persis dengan yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Untuk menjadikan studi komparatif semacam ini mempunyai fungsi praksisnya, tentu kita perlu mengeksperimentasikannya menjadi tindakan. Orang Jawa bilang: ngelmu iku kelakone kanti laku! 12. Studi-studi HAM tampaknya harus menjadi bidang kajian transformatif, yang tidak boleh berhenti hanya untuk menafsirkan keadaan tetapi mengubahnya. Dan di Indonesia pasca Pemilu 2004 ini, tugas itu harus dikerjakan dalam ruang politik demokratisasi sebagai ajang eksperimentasinya. Jakarta, 26 April 2004
5