PENGANTAR REDAKSI Para pembaca yang terhormat, Jurnal Kajian kali ini menampilkan 7 tulisan, baik yang merupakan hasil kajian maupun hasil penelitian yang dilihat dari berbagai perspektif, yaitu politik, hukum, ekonomi, dan kebijakan publik. Diawali dengan tulisan Riris Katharina yang berjudul “Perencanaan dan Pelaksanaan Anggaran Pemilukada: Studi dalam Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Jembrana.” Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proses perencanaan anggaran dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan yang tepat, yaitu Bupati, KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu. Namun perencanaan dan pelaksanaan anggaran tidak melibatkan partisipasi publik. Dalam pelaksanaan anggaran, peran Bupati Jembrana lebih besar dibandingkan dengan peran pelaksana anggaran, yaitu KPU daerah dan Panwaslu. Oleh karena itu tulisan ini merekomendasikan untuk menempatkan anggaran Pemilukada dalam APBN. Tulisan kedua masih terkait dengan Pemilukada berjudul “Pemilihan Gubernur Secara Demokratis: Studi terhadap Gagasan Dipilih Kembali oleh DPRD di Provinsi Bengkulu” oleh Indra Pahlevi. Tulisan ini menyoroti tentang upaya meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal melalui Pemilukada. Meskipun dalam konteks hirarki pemerintahan, bupati/walikota adalah “bawahan” gubernur yang juga merupakan wakil Pemerintah di daerah, namun kedua pemimpin tersebut dipilih langsung dan para bupati/walikota merasa punya legitimasi, sehingga gubernur tidak berhak memerintah. Tetapi gubernur juga memiliki kewenangan dalam konteks koordinasi di wilayahnya. Akibatnya, terdapat gagasan gubernur kembali dipilih DPRD agar tidak muncul potensi konflik horisontal dan besarnya anggaran. Tulisan berikutnya adalah “Gejala Deindustrialisasi dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia” oleh Rasbin. Dalam tulisan ini dipaparkan bahwa gejala deindustrialisasi di Indonesia dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain tingkat penyerapan tenaga kerja ke sektor industri, menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, dan penurunan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri. Dampak deindustrialisasi adalah semakin berpotensinya negara Indonesia menjadi negara yang konsumtif, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang manufaktur, sulitnya melakukan reindustrialisasi, dan meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia. “Respons Daerah dalam Pelaksanaan LoI IndonesiaNorwegia tentang Kerja Sama REDD+ (Studi di Provinsi Papua)” yang merupakan tulisan keempat adalah hasil penelitian menyatakan bahwa Provinsi Papua memberikan respons positif terhadap implementasi LoI, dan perannya dalam tahapan LoI berikutnya dapat
memperkuat pemenuhan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi global. Namun demikian, dalam hal terpilih sebagai tempat percontohan REDD+ tahap berikutnya, pemerintah kiranya perlu mengkompromikan sejumlah hal terkait dengan konteks kepentingan pelaksanaannya di lapangan dan peran provinsi itu dalam pengelolaan hutan selama ini. Sebagai sebuah provinsi dengan otonomi khusus, Papua juga menjadi objek penelitian yang menarik terkait dengan perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal ini diangkat oleh Muh Musa’ad melalui tulisan berjudul “Kontekstualisasi Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua: Perspektif Struktur dan Kewenangan Pemerintahan.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan dalam kerangka otonomi khusus di Papua cenderung bersifat simbolik, parsial dan normatif. Selain itu melalui pemberlakuan kebijakan otonomi khusus, Provinsi Papua berhak atas sejumlah kewenangan yang bersifat eksklusif, yakni kewenangan yang hanya dimiliki oleh Provinsi Papua dan tidak dimiliki oleh Provinsi lainnya di Indonesia (kecuali Provinsi Aceh). Tulisan berperspektif hukum pada Kajian edisi ini diwakili oleh tulisan berjudul “Pembuktian dalam Electronic Commerce dan Implikasinya terhadap Notaris” dari Shanti Dwi Kartika. Dinyatakan bahwa notaris merupakan salah satu pihak yang berwenang untuk membuat alat bukti tulisan, karena notaris sebagai pejabat umum berwenang membuat akta otentik. Akta notaris ini merupakan alat bukti yang sempurna. Namun, notaris dituntut untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di era globalisasi dan transaksi elektronik. Dokumen dalam transaksi elektronik merupakan alat bukti yang sah berdasarkan UU ITE. Namun, akta elektronik tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti sempurna, karena tidak terpenuhinya syarat kekuatan pembuktian sempurna. Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem pembuatan akta secara elektronik baik dengan membentuk peraturan perundangundangan yang baru maupun dengan merevisi UU ITE dan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Menutup Kajian edisi kali ini adalah tulisan dari Ahmad Budiman berjudul “Pengelolaan Kerahasiaan Informasi Intelijen Negara.” Menurut penulis, intelijen negara yang profesional adalah yang selalu siap dan mampu mengantisipasi berbagai ancaman yang tiba-tiba, sehingga dengan cepat memberikan deteksi dan peringatan dini guna memberikan masukan kepada Presiden untuk merumuskan kebijakan keamanan nasional yang dibutuhkan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip pembatasan informasi, jenis-jenis informasi intelijen, masa kerahasiaan informasi intelijen dan akuntabilitas informasi intelijen perlu diatur agar pelaksanaannya tetap memperhatikan nilainilai demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Demikianlah sekilas gambaran mengenai ketujuh tulisan yang dimuat pada Kajian kali ini. Besar harapan Redaksi agar tulisan yang dimuat pada Kajian Vol. 16 No. 2 Juni 2011 ini dapat menambah referensi pembaca, terutama para Anggota Dewan yang Terhormat, sehingga dapat mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan. Saran dan kritik membangun senantiasa diharapkan oleh Redaksi, sehingga ke depan kualitas jurnal ini semakin meningkat. Redaksi Kajian
PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN ANGGARAN PEMILUKADA: STUDI DALAM PEMILIHAN BUPATI/WAKILBUPATI JEMBRANA Riris Katharina
1
Abstract The research on budget planning and implementation of the Pemilukada (the direct elections of majors and regents) below was conducted in Jembrana municipality by exercising a qualitative research method. It is concluded that the making of budget planning has involved proper stakeholders, namely the Bupati (regent), the KPU Kabupaten Jembrana (the regency level election committee), and the Panwaslu (the election monitoring committee). Aside from these findings, the research reveals that both budget planning and implementation of the Pemilukada did not open access for public participation. Meanwhile, in budget implementing, the role of Bupati was wider in comparison to the role of both KPU involved proper stakeholders, namely the Bupati (regent), the KPU Kabupaten and the Panwaslu. This research, therefore, gives the recommendation for the allocation of the budget of the Pemilukada in APBN (state budget). Keywords: Abstrak Penelitian mengenai perencanaan dan pelaksanaan anggaran Pemilukada dilakukan di Kabupaten Jembrana dengan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses perencanaan anggaran dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan yang tepat, yaitu Bupati, KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu. Namun perencanaan dan pelaksanaan anggaran tidak melibatkan partisipasi publik. Dalam pelaksanaan anggaran, peran Bupati Jembrana lebih besar dibandingkan dengan peran pelaksana anggaran, yaitu KPU daerah dan Panwaslu. Penelitian ini
1
Penulis adalah Peneliti Madya bidang Administrasi Negara pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Dapat dihubungi di
[email protected].
1
merekomendasikan untuk Pemilukada dalam APBN.
menempatkan
anggaran
Kata kunci: Anggaran Pemilukada, KPU, Panwaslu. I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Pada tahun 2010 dilakukan pemilihan kepala daerah (Pemilukada) di 246 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 204 kabupaten, dan 35 kota. Salah satunya adalah pemilihan Bupati/Wakil Bupati Jembrana. Menghadapi Pemilukada tersebut berbagai persoalan muncul, salah satunya adalah masalah anggaran. Masalah anggaran dihadapi oleh hampir seluruh daerah yang telah melaksanakan Pemilukada. Padahal, anggaran merupakan salah satu unsur yang penting agar sebuah kegiatan dapat berhasil dilaksanakan. Dengan perkataan lain, tanpa dukungan anggaran yang memadai, maka pelaksanaan Pemilukada tidak akan berhasil. Masalah anggaran yang dikeluhkan oleh daerah beragam jenisnya. Ada yang bermasalah di besaran anggarannya (tidak memiliki 2 dana yang cukup) atau karena waktu pencairan anggaran yang tidak 3 tepat waktu. Masalah dana yang tidak cukup sekaligus masalah pencairan anggaran yang tidak tepat waktu juga dialami oleh Kabupaten Jembrana. Dengan alasan Bupati Jembrana menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pelaksanaan e-voting, dalam tahap pelaksanaan anggaran, Bupati Jembrana menunda pencairan anggaran untuk Pemilukada. Hal ini menyebabkan penundaan waktu pencoblosan dari bulan Agustus menjadi bulan Desember 2010. Masalah tidak adanya dana yang cukup memang menjadi masalah tersendiri bagi daerah. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, anggaran Pemilukada dibebankan kepada APBD. Berbagai pihak menganggap bahwa sebaiknya penyelenggaraan Pemilukada disamakan dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif anggota DPRD, di mana biayanya ditanggung oleh pemerintah pusat, melalui APBN. Terkait masalah pencairan anggaran yang tidak tepat waktu, penyebabnya juga bervariasi. Salah satu alasannya adalah siklus pelaksanaan Pemilukada yang tidak sejalan dengan siklus anggaran, 2
Hal ini terjadi di Kabupaten Halmahera Selatan, lihat lebih lanjut dalam “Dana Seret, Pilkada di Maluku Utara Tak Bisa Serentak”, hhtp://bataviase.co.id/node/125389, diakses tanggal 15 Oktober 2010. 3 Hal ini terjadi di Kabupaten Jembrana, lihat lebih lanjut dalam “KPU Laporkan Bupati Jembrana ke Polisi”, http://regional.kompas.Com/read/2010/08/06/1646414/KPU.Laporkan.Bupati.Jembrana.ke. Polisi, diakses tanggal 15 Oktober 2010.
2
atau terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah daerah dan 4 DPRD. Terkait dengan siklus anggaran, sebagaimana diketahui, siklus pembahasan anggaran di daerah sangat bergantung kepada siklus pembahasan anggaran di pusat. Sebab, sebagian dana dalam APBD bersumber dari Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus yang dihitung dari APBN. Menurut Pasal 4 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember dan berdasarkan Pasal 15 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003, “Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai RUU tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.” Ini artinya, paling lambat bulan Oktober, RAPBN sudah disahkan menjadi undang-undang. Selanjutnya berdasarkan Pasal 179 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, APBD dinyatakan sebagai dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Berdasarkan Pasal 181 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan Perda tersebut dilakukan selambat-lambatnya 1 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Itu artinya jatuh pada bulan November. Selanjutnya, atas dasar persetujuan DPRD, kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD dan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah. Dalam prakteknya, pada saat inilah terjadi kemunduran dalam pelaksanaan APBD tersebut, sehingga sering anggaran baru dapat dicairkan pada bulan ketiga atau bahkan bulan keempat tahun anggaran yang bersangkutan. Menghadapi masalah anggaran ini, pemerintah pusat telah mengundangkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 57 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2007 tentang Pedoman Belanja Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Surat Edaran (SE) Mendagri No. 903/4546/SJ, yang dianggap sebagai solusi administratif. Permendagri No. 57 Tahun 2009 tersebut memberikan aturan tentang hal-hal yang menjadi prioritas untuk dibiayai dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pemilukada. Sedangkan Surat Edaran tersebut menyebutkan bahwa daerah yang menggelar Pemilukada pada 2010, sementara tahapan dimulai tahun 2009, bisa mengambil kebijakan perubahan melalui 4
Lihat lebih lanjut dalam “Anggaran Pemilukada Diusulkan dari APBN”, http: //news. fajar.co .id /read /104973 /anggaran-pemilukada-diusulkan-dari-apbn, diakses tanggal 15 Oktober 2010.
3
Keputusan Kepala Daerah sebagai dasar pelaksanaan anggaran dan diberitahukan ke DPRD. Selanjutnya bagi daerah yang terlambat menetapkan APBD 2010, sedangkan tahapan Pemilukada harus segera dilaksanakan, maka sambil menunggu penetapan APBD, kepala daerah menetapkan Peraturan Kepala Daerah terkait penyediaan dana yang dibutuhkan oleh Pemilukada. Sementara bagi kabupaten/kota yang belum menganggarkan dana Pemilukada dalam RAPBD 2010, gubernur dalam evaluasi APBD dapat memerintahkan menyediakan anggaran untuk Pemilukada. Dalam kenyataannya, kedua peraturan tersebut belum memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan anggaran Pemilukada, bahkan dalam beberapa hal, Surat Edaran Mendagri tersebut menjadi masalah baru yang dapat mengganggu pelaksanaan Pemilukada tersebut. Sedangkan penerapan Permendagri sangat bergantung kepada kekuatan dan sumber pendapatan tiap-tiap daerah 5 serta waktu pencairan anggaran. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Anggaran merupakan salah satu unsur yang penting dalam keberhasilan pelaksanaan sebuah kegiatan. Tanpa anggaran Pemilukada, maka kegiatan berupa tahapan-tahapan dalam rangka pelaksanaan Pemilukada tidak mungkin dapat dilaksanakan. Selain tidak adanya anggaran, masalah kekeliruan dalam perencanaan anggaran dan pelaksanaan anggaran akan berdampak pada kegagalan pelaksanaan Pemilukada. Bahkan, hal itu dapat mencemari proses demokrasi dalam Pemilukada itu sendiri. Sebaliknya, dengan perencanaan anggaran yang baik diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi suksesnya pelaksanaan anggaran. Dalam kasus di Kabupaten Jembrana, permasalahan muncul dalam tahapan pelaksanaan anggaran, yaitu berupa keterlambatan pencairan anggaran Pemilukada oleh Bupati Jembrana. Berbagai aturan yang telah dibuat pemerintah pusat untuk mengatasi permasalahan keterlambatan pencairan anggaran ternyata tidak menunjukkan kontribusi yang signifikan bagi berjalannya seluruh tahapan dalam Pemilukada. Padahal, Pemilukada harus tetap terselenggara. Dalam kenyataannya, berbagai cara dilakukan daerah untuk dapat menyelenggarakan Pemilukada agar dapat memilih kepala daerah sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan. Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang penting untuk dijawab adalah sebagai berikut:
5
Prayudi et.al., Laporan Penelitian tentang Pemilihan Umum Kepala Bupati/Walikota di Provinsi Riau, belum diterbitkan, Jakarta, 2010, hal. 34.
4
Daerah
1. Bagaimana perencanaan anggaran untuk Pemilukada dilakukan? Siapa saja pihak yang terlibat? 2. Bagaimana pelaksanaan anggaran Pemilukada dilaksanakan oleh masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder)? Siapa saja yang terlibat? Apa permasalahan yang muncul? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengetahui proses perencanaan anggaran Pemilukada yang dilakukan daerah Kabupaten Jembrana, termasuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat. 2. mengetahui pelaksanaan anggaran Pemilukada oleh masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan mengidentifikasi permasalahan yang muncul. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan, khususnya anggota DPR dan Pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri dalam melakukan revisi terhadap ketentuan dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum khususnya Pasal 114 ayat (5) yang menyatakan bahwa “Pendanaan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah wajib dianggarkan dalam APBD.” Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah, KPUD, dan Panwaslu yang akan melaksanakan Pemilukada di tahun yang akan datang untuk dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan Pemilukada di daerahnya masing-masing. D. Kerangka Pemikiran Seiring dengan perkembangan model manajemen pelayanan publik yang mulai populer di tahun 1990-an yaitu dengan lahirnya New Public Management (NPM) maka berakhir pula masa Old Public Management. NPM mengubah cara-cara dan model birokrasi publik yang tradisional ke arah cara-cara dan model birokrasi bisnis privat dan perkembangan pasar. NPM berfokus pada manajemen sektor publik 6 yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan. Prinsip-prinsip NPM dilaksanakan dalam reinventing government. Osborne menyatakan bahwa reinventing government pada hakikatnya adalah upaya untuk mentransformasikan jiwa dan kinerja wiraswasta (entrepreneurship) ke dalam birokrasi pemerintah. Ada sepuluh prinsipprinsip mewirausahakan birokrasi pemerintah yaitu pemerintah harus bersifat katalis; pemerintah milik masyarakat; pemerintah berorientasi 6
Lihat lebih lanjut dalam Janet V. Denhardt et.al., The New Public Service, M.E. Sharpe, Armonk, New York, 2003.
5
misi; pemerintah berorientasi pada hasil; pemerintah berorientasi pada pelanggan; pemerintah berorientasi kewiraswastaan; pemerintah bersifat antisipatif; pemerintah melakukan desentralisasi; pemerintah berorientasi 7 pada pasar; dan pemerintah bersifat kompetitif. Terkait dengan kegiatan Pemilukada, kegiatan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan lahirnya pemimpin politik (political leadership) yang akan sangat terkait dengan terpenuhinya 8 layanan publik (public service). Dengan Pemilukada yang terselenggara secara demokratis diharapkan mampu melahirkan pemimpin pemerintahan yang tepat sesuai dengan tuntutan masyarakat. Untuk dapat terselenggara dengan baik, salah satu persyaratan pemilu yang demokratis adalah dialokasikannya pembiayaan dan pengeluaran yang memadai (aspek ke-10 dari 15 aspek pemilu demokratis menurut standar 9 internasional). Penggunaan paradigma NPM menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah. Di antaranya adalah perubahan pendekatan dalam penganggaran, yakni dari penganggaran tradisional (traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), hal tersebut untuk merespon tuntutan melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting) dan kompetisi tender (compulsory 10 competitive tendering contract). Sistem keuangan negara meliputi tiga siklus pokok yaitu (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pelaporan dan 11 pertanggungjawaban. Pada tahap perencanaan, input yang digunakan adalah aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD, yang hasilnya kemudian dijabarkan dalam usulan kegiatan masing-masing satuan unit kerja dengan memperhatikan standar analisis biaya. Dengan NPM, anggaran yang diusulkan akan memperlihatkan anggaran yang berbasis kinerja. Pada tahap pelaksanaan, input yang digunakan adalah APBD yang telah ditetapkan yang kemudian dilaksanakan. Selanjutnya pada tahap pelaporan dan pertanggungjawaban adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD, proses evaluasi laporan pertanggungjawaban serta keputusan evaluasi yang telah dilakukan bersama-sama dengan DPRD yang kemudian akan disampaikan dalam 12 Rapat Paripurna DPRD.
7
Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 78. 8 Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 4. 9 Topo Santoso, Topo Santoso, et.al., Penegakan Hukum Pemilu : Praktek Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009 – 2014, USAID-DRSP-Perludem, Jakarta, hal, 11. 10 Waluyo, Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi dan Implementasinya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah), Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 213. 11 Ibid., hal. 218. 12 Ibid.
6
Prinsip yang mendasari manajemen keuangan adalah 13 transparansi, akuntabilitas dan value for money. Transparansi adalah keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran. Transparansi berarti bahwa setiap anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran yang dibuat bahkan implementasinya setiap rupiah yang dialokasikan karena menyangkut aspirasi dan kepentingan terutama pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Prinsip akuntabilitas berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaannya harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan DPRD terkait dengan kegagalan maupun keberhasilannya sebagai bahan evaluasi tahun berikutnya. Sedangkan prinsip value for money diartikan sebagai penerapan prinsip ekonomis, efisiensi, dan efektifitas. Ekonomis berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang wajar. Efisiensi berkaitan dengan penggunaan sumber dana masyarakat (public money) menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna) bagi kepentingan masyarakat. Sedangkan efektifitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus dapat mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik. E. Metode Penelitian 1. Waktu dan Tempat Penelitian lapangan dilaksanakan pada tanggal 7-11 November 2010. Pemilihan waktu disesuaikan dengan tahapan Pemilukada di Kabupaten Jembrana dan menyesuaikan dengan masa reses di DPR sehingga tidak mengganggu aktivitas pelayanan kepada DPR. Tempat penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Jembrana. Pemilihan tempat dikarenakan beberapa alasan. Pertama, Kabupaten Jembrana adalah salah satu kabupaten yang akan menyelenggarakan pemilihan bupati/wakil bupati pada tahun 2010. Kedua, Kabupaten Jembrana merupakan salah satu kabupaten yang terkena dampak masalah anggaran sehingga Pemilukada harus diundur, yang seharusnya pencoblosan dilakukan pada bulan Agustus 2010 diundur menjadi bulan Desember 2010. Ketiga, Kabupaten Jembrana adalah merupakan kabupaten yang dikenal dengan kabupaten yang sangat inovatif dalam memberikan pelayanan publik. Oleh karena itu, dengan permasalahan yang ada dapat diketahui inovasi apa yang dilakukan oleh daerah ini untuk dapat keluar dari masalahnya. 2. Teknik Pengumpulan Data 13
Ibid.
7
Data primer dan sekunder dikumpulkan melalui penelitian lapangan (field research). Sumber data primer dihasilkan dengan cara melakukan observasi langsung di lapangan dan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam semi terstruktur (interview guide). Wawancara dilakukan terhadap anggota DPRD Kabupaten Jembrana, Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana, Anggota KPU Kabupaten Jembrana, dan Anggota Panwaslu Kabupaten Jembrana. 3. Metode Analisis Data Penelitian ini bersifat kualitatif. Hasil wawancara dan data sekunder lainnya dianalisa dengan metode deskriptif, yaitu menjelaskan temuan-temuan dalam bentuk tulisan dan menganalisanya dengan bantuan teori-teori yang ada. Penelitian ini dibatasi hanya pada tahap perencanaan dan pelaksanaan anggaran Pemilukada dengan alasan waktu penelitian dan anggaran penelitian yang terbatas. II. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Kabupaten Jembrana
14
Kabupaten Jembrana merupakan salah satu dari 9 (sembilan) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali. Kabupaten Jembrana pada mulanya terbagi menjadi 4 kecamatan, namun semenjak Tahun 2008, Kabupaten Jembrana dibagi menjadi 5 kecamatan. Total desa/kelurahan yang terdapat di Kabupaten Jembrana adalah 51 desa/kelurahan. Susunan Organisasi Pemerintahan Kabupaten Jembrana dikepalai oleh Bupati Jembrana/Wakil Bupati Jembrana. Selanjutnya di bawahnya adalah: a. Sekretaris Daerah yang membawahi Asisten Ketataprajaan (terdiri dari Kepala Bagian Pemerintahan, Kepala Bagian Hukum dan Organisasi dan Tata Laksana, Kepala Bagian Kepegawaian, Kepala Bagian Umum) dan Asisten Ekonomi, Pembangunan, dan Sosial Budaya (terdiri dari Kepala Bagian Ekonomi, Pembangunan dan Sosial Budaya, Kepala Bagian Keuangan, Kepala Bagian Pendapatan Daerah, dan Kepala Bagian Perlengkapan);
14
Profil Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010, Pemda Kabupaten Jembrana, 2010, hal. II-8.
8
b. Sekretaris DPRD yang membawahi Kepala Bagian Umum, Kepala Bagian Persidangan, dan Kepala Bagian Keuangan. c. Dinas-Dinas, yaitu Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan; Dinas Pekerjaan Umum; Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi; Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika; Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial; Dinas Pendidikan, Pemuda Olah Raga, Pariwisata, dan Kebudayaan. d. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal; e. Inspektorat, dan f. Kantor-kantor yaitu Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol Linmas); Kantor Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan; Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumen; Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa; Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana; Kantor Pendidikan dan Pelatihan Daerah; dan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu. Jumlah penduduk Kabupaten Jembrana sampai dengan 31 Desember 2009 adalah 304.956 jiwa. Ditinjau dari usia pemilih, komposisi terbesar berada pada usia 26-45 tahun yaitu sebesar 106.272 jiwa disusul pada usia >56 tahun sebesar 37.742 jiwa dan pada usia 4655 tahun sebesar 35.240 jiwa. 2. E-Voting
15
Sistem kependudukan online berbasis SIAK (Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan) di Jembrana memberikan ide bagi Bupati Jembrana I Gede Winasa untuk menerapkan Pemilu berbasis teknologi informasi yang selanjutnya disebut electronic voting atau disebut e-voting dengan tujuan efisiensi baik biaya maupun waktu serta meningkatkan keakuratan proses pemilihan. Atas keinginan Bupati Jembrana untuk menerapkan e-voting dalam Pemilukada Jembrana tahun 2010, Bupati Jembrana telah mengajukan uji materil terhadap Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2004 ke MK. Pada tanggal 30 Maret 2010, MK mengeluarkan Amar Putusan Nomor 147/PUU-VII/2009 tentang Pemilukada dapat dilaksanakan dengan mencoblos atau e-voting bagi daerah yang telah siap melaksanakan e-voting. E-voting dapat dilaksanakan apabila syarat kumulatif lainnya dapat dipenuhi. Putusan ini telah mengakibatkan keterlambatan pencairan anggaran Pemilukada Kabupaten Jembrana tahun 2010, sebab Pemerintah Kabupaten Jembrana cenderung melaksanakan Pemilukada dengan sistem e-voting, padahal KPU Kabupaten Jembrana telah menyiapkan anggaran dengan sistem coblos. 15
Profil Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010, Pemda Kabupaten Jembrana, 2010, hal. VII-15-16.
9
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Anggaran 16 Pemilukada Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana diketahui bahwa besarnya APBD Kabupaten Jembrana tahun 2010 adalah Rp 550.991.336.409,74, dari semula Rp 469.377.456.424,00 ditambah Rp 81.613.879.985,74. Dari keseluruhan APBD Kabupaten Jembrana, untuk kegiatan Pemilukada dianggarkan sebesar Rp 6,3 miliar untuk KPU Kabupaten Jembrana dan sebesar Rp 1 miliar untuk Panwaslu Kabupaten Jembrana. Anggaran Pemilukada tersebut ditempatkan dalam pos Sekretariat Daerah di bawah Asisten Ekonomi, Pembangunan, dan Sosial Budaya. Hal ini dikarenakan anggaran Pemilukada merupakan dana hibah. 4. Perencanaan Anggaran Pemilukada Perencanaan anggaran Pemilukada di KPU Kabupaten Jembrana telah dilaksanakan sejak awal bulan Agustus tahun 2009. Pada tanggal 27 Oktober 2009 KPU Kabupaten Jembrana telah mengajukan Rencana Kebutuhan Biaya (RKB) pelaksanaan Pemilukada kepada Pemerintah Kabupaten Jembrana sebesar Rp 10.429.252.592,00 untuk seluruh tahapan termasuk prediksi apabila Pemilukada terlaksana 17 dalam dua putaran. Dalam menyusun anggarannya, KPU Kabupaten Jembrana melakukan koordinasi dengan KPU Provinsi Bali dan KPU di Jakarta. Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana pada waktu itu meminta agar KPU Kabupaten Jembrana mengajukan dana seminimal mungkin yang disesuaikan dengan standardisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana. Sejak bulan Oktober 2009, KPU Kabupaten Jembrana berkoordinasi secara komprehensif dengan Panitia Desk Pilkada yang di dalamnya terdiri atas Kepala Kantor Kesbangpol Linmas, Kepala Bagian Keuangan, Sekda, dan Kepala Bagian Ekonomi, Pembangunan, dan Sosial Budaya (Ekbangsosbud). Hasil koordinasi menyepakati anggaran untuk Pemilukada putaran I dan putaran II sebesar Rp 6.498.263.430,00. 18 Selanjutnya, anggaran tersebut diajukan ke DPRD. Menurut Ketua KPU 16
Pemerintah Kabupaten Jembrana, Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana Tahun Anggaran 2010, tanpa tahun terbitan. 17 Lihat lebih lanjut dalam “Kronologis Pencabutan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Jembrana Nomor 01 Tahun 2010 dan Penetapan Surat Keputusan KPU Jembrana Nomor 04 Tahun 2010, tidak diterbitkan. 18 Wawancara dengan Ketua KPU Kabupaten Jembrana, I Putu Wahyu Dhiantara, pada tanggal 8 November 2010 di kantor KPU Kabupaten Jembrana.
10
Kabupaten Jembrana, di Kabupaten Jembrana dalam proses perencanaan anggaran selalu dilakukan kajian terlebih dahulu. Tanpa melalui proses kajian yang matang sulit untuk dapat meloloskan sebuah anggaran. Yang menarik, setelah RKB diserahkan oleh KPU Kabupaten, pada tanggal 15 September 2009, Ketua KPU Kabupaten mengirimkan surat kepada Bupati dan DPRD untuk menghadap terkait dengan persiapan pelaksanaan Pemilukada Tahun 2010. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar kegiatan Pemilukada pada tahun 2010. Selain KPU Kabupaten, Panwaslu Kabupaten Jembrana juga diminta oleh Pemda Kabupaten Jembrana untuk menyusun rencana anggaran Panwaslu untuk menghadapi Pemilukada tahun 2010. Permintaan tersebut dilakukan tiga bulan sebelum tahun anggaran 19 berakhir. Waktu tiga bulan merupakan waktu yang singkat, namun mengingat bahwa Ketua Panwaslu sudah pernah menjabat sebagai Ketua Panwaslu untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, maka tugas tersebut dirasa tidak berat, bahkan pengalaman beliau dalam kepemiluan dapat membantu proses perancangan anggaran bagi Panwaslu. Setelah melalui proses di Pemda, Rancangan APBD diajukan ke DPRD untuk dibahas. Di DPRD, pembahasan dilakukan oleh Badan Anggaran DPRD. Dalam melakukan pembahasan, Badan Anggaran DPRD mengundang KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu, terkait dengan anggaran Pemilukada. Dalam pembahasan anggaran, Badan 20 Anggaran DPRD menilai pembahasan dilakukan secara terbuka. Namun diakui bahwa DPRD tidak mengundang secara resmi masyarakat untuk berpartisipasi. DPRD sendiri melakukan pengkajian sendiri terhadap anggaran yang diusulkan oleh Pemda, termasuk anggaran Pemilukada dengan membentuk desk anggaran Pemilukada. Beberapa pertimbangan yang dipergunakan adalah beban kegiatan yang akan dilakukan dan perkiraan harga. Sebagai contoh, ketika Panwaslu mengajukan anggaran sebesar Rp 1,8 miliar, DPRD sudah dapat memperkirakan bahwa Panwaslu hanya bekerja pada hari H pelaksanaan Pemilukada. Oleh karena itu, pengeluaran Panwaslu lebih banyak hanya untuk membayar honor. Terkait honor, anggota Panwaslu yang berjumlah 3 orang (I Wayan Wasa sebagai Ketua merangkap anggota; I Wayan Murdika sebagai anggota; dan I Nyoman Westra sebagai anggota) serta Panwascam dinilai tidak akan membutuhkan banyak anggaran. Oleh karena itu, DPRD sepakat untuk menurunkan besaran anggaran Panwaslu menjadi Rp 1 miliar. Setelah melalui sebanyak 11 kali pembahasan anggaran Pemilukada secara terus menerus, pada tanggal 15 Desember 2009 Rapat Paripurna DPRD 19
Wawancara dengan Ketua Panwaslu Kabupaten Jembrana, I Wayan Wasa, tanggal 8 November 2010, di kantor Panwaslu. 20 Wawancara dengan Plt. Ketua DPRD Kabupaten Jembrana, tanggal 8 November 2010, di kantor DPRD.
11
Kabupaten Jembrana mengesahkan APBD Kabupaten Jembrana Tahun 2010 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2009 Nomor 04, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 04) yang selanjutnya diubah menjadi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana. 5. Pelaksanaan Anggaran Pemilukada Untuk dapat melaksanakan anggaran yang telah disetujui oleh DPRD, Bupati mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana Tahun Anggaran 2010 yang diperbaharui dengan Peraturan Bupati Jembrana Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana Tahun Anggaran 2010 (Berita Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2009 Nomor 114). Seharusnya proses pelaksanaan anggaran akan dilaksanakan oleh masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), termasuk para penyelenggara Pemilukada (KPU dan Panwaslu). Di Kabupaten Jembrana, SKPD yang membawahi kegiatan koordinasi dan memfasilitasi dana hibah KPU Kabupaten Jembrana adalah Kantor Kesbangpol Linmas Kabupaten Jembrana. Karena anggaran Pemilukada merupakan dana hibah, maka anggaran tersebut ditempatkan di 21 Ekbangsosbud Setda Kabupaten Jembrana. Proses pencairan dana hibah dilakukan dengan proses sebagai berikut: pertama, pemohon terlebih dahulu mengajukan proposal ke Bupati Jembrana. Kedua, proposal tersebut dikaji oleh SKPD yang membidangi. Ketiga, kajian tersebut akan diajukan kembali ke Bupati untuk dilakukan evaluasi. Keempat, berdasarkan hasil evaluasi dituangkan dalam Keputusan Bupati. Selain Keputusan Bupati juga dibuatkan naskah hibah antara pemberi dan penerima. Kelima, apabila sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka akan dibuatkan nota persetujuan oleh Bupati untuk membayar dana hibah tersebut. Nota persetujuan yang menyiapkan adalah Kepala Bagian Ekbangsosbud untuk ditandatangani oleh Bupati Jembrana. Keenam, setelah nota persetujuan selesai dalam rangka pencairan anggaran dilakukan verifikasi kelengkapan administrasi oleh pemegang kas Sekda Kabupaten Jembrana. Ketujuh, setelah melalui verifikasi dan dinyatakan lengkap diajukan kembali kepada Ekbangsosbud selaku kuasa pengguna anggaran untuk diterbitkan SPMU (Surat Perintah Membayar Uang). Kedelapan, dengan dasar SPMU tersebut, pemegang kas Sekda 21
Berdasarkan klarifikasi yang dilakukan oleh Panwaslu terhadap Kabag Ekbangsosbud Setda Kabupaten Jembrana, lihat lebih lanjut dalam Kajian Laporan Nomor: 01/Lap/Panwaslu-Jbr/VI/2010, tidak diterbitkan.
12
mengajukan kembali kepada Kepala Bagian keuangan untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana. Namun, proses tersebut tidak diikuti oleh KPU Kabupaten Jembrana. Dengan berbekal informasi dari DPRD bahwa tanggal 8 Januari 2010 APBD Kabupaten Jembrana Tahun 2010 efektif dapat digunakan, maka KPU Kabupaten Jembrana pada tanggal 12 Januari 2010 melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam rangka persiapan penandatanganan NKHD (Nota Kesepakatan Hibah Daerah) terkait pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Jembrana. Selanjutnya tanggal 18 Januari 2010 KPU Kabupaten Jembrana menetapkan Keputusan KPU Kabupaten Jembrana Nomor 01 Tahun 2010 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010 yang isinya menetapkan antara lain pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2010. Namun, pada tanggal tersebut Kepala Kantor Kesbangpol Linmas Kabupaten Jembrana menyampaikan permintaan Bupati Jembrana kepada KPU Kabupaten Jembrana untuk menunda pelaksanaan pemungutan suara dari tanggal yang ditetapkan yaitu tanggal 26 Agustus 2010 menjadi tanggal 26 September 2010 dengan alasan pada bulan Agustus bersamaan dengan ulang tahun kota Negara. Atas dasar ketentuan Peraturan KPU Nomor 62 Tahun 2010, permohonan Bupati Jembrana tersebut tidak dapat dipenuhi mengingat perhitungan tahapan dan jadwal yang dibuat oleh KPU Kabupaten Jembrana telah sesuai dengan ketentuan peraturan, mengingat berakhirnya masa bakti Bupati Jembrana tanggal 16 November 2010. Selanjutnya, berdasarkan laporan Panwaslu Kabupaten Jembrana diketahui bahwa pada tanggal 27 Januari 2010, KPU Jembrana mengajukan Rencana Anggaran Belanja (RAB) penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 kepada Bupati 22 Jembrana sebesar Rp 6,3 miliar. Pada saat ini permasalahan mulai muncul. Bupati Jembrana membuat disposisi kepada Kesbangpol Linmas agar melakukan kajian terhadap biaya yang diusulkan oleh KPU. Padahal, kegiatan melakukan kajian seharusnya dilakukan di tingkat perencanaan, bukan pada tahap pelaksanaan. Pada tahap pelaksanaan, tugas Kantor Kesbangpo dan Linmas adalah memfasilitasi keperluan dan 23 kegiatan KPU Jembrana. Pada akhirnya, Kantor Kesbangpol dan Linmas tetap melakukan kajian. Hasil kajian disampaikan kepada Bupati pada tanggal 16 Februari 2010, di mana berdasarkan kajian terhadap standar harga setempat dari komponen-komponen kebutuhan penyelenggara Pemilukada, maka diperoleh angka Rp 5,625 miliar dengan rasionalisasi pengurangan 22
Ibid. Wawancara dengan Kepala Kesbangpol Linmas Jembrana, Bapak Suherman, tanggal 8 November 2011 di kantor Kesbangpol Linmas, lihat juga ibid. 23
13
jumlah TPS dari 450 TPS menjadi 402 TPS. Namun, hasil kajian tersebut tidak disepakati KPU Jembrana karena untuk beberapa komponen KPU Jembrana menggunakan standar harga nasional. Selain itu, hasil kajian itu menurut Ketua KPU Kabupaten Jembrana sangat tidak realistis dan 24 akan mengganggu pelaksanaan Pemilukada. Selanjutnya karena anggaran tidak cair juga, pada tanggal 11 Februari 2010 dilakukan Rapat Dengar Pendapat antara KPU Kabupaten Jembrana, KPU Provinsi Bali, pihak eksekutif, dan DPRD Kabupaten Jembrana. Hasilnya memutuskan bahwa Bupati Jembrana diberikan waktu paling lambat tanggal 18 Februari 2010 untuk mencairkan anggaran sebesar Rp 6,3 miliar (sesuai dengan APBD 2010). Ternyata, sampai dengan tanggal 18 Februari 2010 pemerintah Kabupaten Jembrana belum juga mencairkan anggaran Pemilukada. Akhirnya tanggal 19 Februari 2010, KPU Kabupaten Jembrana mencabut SK KPU Nomor 01 Tahun 2010 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010, yang telah disusun oleh KPU Kabupaten Jembrana pada tanggal 28 Januari 2010. Pada saat itu juga KPU Kabupaten Jembrana melalui rapat pleno memutuskan untuk menunda pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Jembrana sampai batas waktu yang tidak ditentukan Setelah rapat pleno tersebut, KPU Kabupaten Jembrana menghentikan semua kegiatan terkait pelaksanaan 25 Pemilukada Kabupaten Jembrana. Selanjutnya, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Panwaslu Kabupaten Jembrana diperoleh informasi bahwa pada tanggal 8 Maret 2010, Bupati Jembrana mengirimkan surat kepada KPU Kabupaten Jembrana melalui surat Nomor 900/147/KBPPM/2010 perihal dana hibah KPU Kabupaten Jembrana yang intinya menyetujui anggaran Pemilukada Kabupaten Jembrana sebesar Rp 6,3 miliar sesuai dengan APBD 2010 dan meminta KPU Kabupaten Jembrana untuk mengusulkan kembali RAB. Setelah menerima surat persetujuan pencairan dana Pemilukada, pada tanggal 9-17 Maret 2010, KPU Kabupaten Jembrana kembali menyusun RAB. Selama bulan April dilakukan koordinasi antara Kepala kantor Kesbangpol Linmas dan Kabag Ekbangsosbud Setda Kabupaten Jembrana dengan KPU Kabupaten Jembrana. Bahkan, KPU Kabupaten Jembrana sempat menunggu pendapat dari KPU Pusat terkait dengan anggaran Pemilukada Kabupaten Jembrana, dan hal tersebut mengakibatkan semakin tertundanya pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Jembrana. Pada tanggal 1 Juni 2010 akhirnya disepakati materi MoU dan Peraturan Bupati yang diajukan oleh KPU Kabupaten Jembrana dan diagendakan penandatanganannya pada tanggal 3 Juni 2010. Pada tanggal 1 Juni 2010 Bupati sekaligus mengeluarkan Peraturan Bupati 24 25
Wawancara dengan Ketua KPU Kabupaten Jembrana, tanggal 8 November 2010. Kajian Laporan Nomor: 01/Lap/Panwaslu-Jbr/VI/2010, tidak diterbitkan.
14
Jembrana Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pedoman Standar Biaya Umum dalam Rangka Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010. Tabel 1 Daftar Besaran Anggaran KPU Kabupaten Jembrana No. I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
10.
11.
Nama
Masa Kerja
HONORARIUM Ketua KPU Anggota KPU 4 orang Sekretaris KPU Kasubag 4 orang Bendahara/Bendahara Pembantu Pelaksana 8 orang Tenaga Pendukung/Kontrak Anggota Pokja: a. Pengarah b. Ketua c. Sekretaris d. Anggota (7 orang) Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) - Ketua - Anggota ( 4 orang)
8 bulan 8 bulan 8 bulan 8 bulan 8 bulan 8 bulan 8 bulan 3 bulan
8 - 1.000.000,00 - 750.000,00
Sekretariat PPK - Sekretaris - Bendahara Pembantu - Anggota (3 orang) Panitia Pemungutan Suara (PPS) - Ketua - Anggota (2 orang)
ii. 8 - 400.000,00 - 350.000,00 - 350.000,00 iii.
Sekretariat PPS - Sekretaris - Urusan Teknis Penyelenggaraan - Urusan TU Keuangan
13.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Ketua Anggota (6 orang) Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) Panitia Pengadaan Barang dan Jasa (3 paket) UANG LEMBUR Anggota KPU dan Sekretariat Golongan IV Golongan III Golongan II Golongan I
15. II. 1.
3.600.000,00 2.700.000,00 600.000,00 500.000,00 300.000,00 250.000,00 850.000,00 - 1.000.000,00 - 750.000,00 - 650.000,00 - 750.000,00
12.
14.
Honorarium (Rp)
15
- 500.000,00 - 400.000,00 iv. - 350.000,00 - 300.000,00 - 300.000,00 v. - 225.000,00 - 200.000,00 350.000,00 vi. 3.000.000,00 vii.
-
viii. ix. 13.000,00/jam 11.000,00/jam 9.000,00/jam 7.000,00/jam
b u l a n
2.
PPK dan Sekretariat x. Golongan III - 11.000,00/jam Golongan II - 9.000,00/jam Golongan I - 7.000,00/jam 3. PPS, Sekretariat PPS, Petugas - 9.000,00/jam xi. Pemutakhiran Data Pemilih III PEMBELIAN/PENGADAAN xii. BARANG DAN JASA 1. Pencetakan Surat Suara DPT xiii. 2. Pengadaan Formulir xiv. 3. Cetak Kartu DPT dan Pemilih xv. Tambahan 4. Perlengkapan KPPS/TPS xvi. 5. Tanda Pengenal xvii. 6. Stiker xviii. 7. Gembok Kotak Suara xix. 8. Tinta Khusus xx. 9. Template Penyandang Cacat xxi. IV. BELANJA OPERSIONAL xxii. 1. Persiapan Pemungutan Suara xxiii. 2. Penerangan/Penyuluhan xxiv. 3. Perjalanan Dinas xxv. Sumber: Diolah dari Lampiran Peraturan Bupati Nomor 20 Tahun 2010.
Untuk Panwaslu, Bupati Jembrana mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 25 Tahun 2010 tentang Pedoman Standar Biaya Umum dalam Rangka Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010. Tabel 2 Daftar Besaran Anggaran Panwaslu Kabupaten Jembrana No. I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
9.
10.
Nama
Masa Kerja
HONORARIUM Ketua Panwaslu Anggota Panwaslu 2 orang Sekretaris Bendahara/Bendahara Pembantu Pelaksana Tenaga Pendukung/Kontrak Anggota Pokja: Pengarah Ketua Sekretaris Anggota Panwaslu Kecamatan Ketua Anggota ( 4 orang) Sekretariat Panwaslu Kecamatan Sekretaris Staf Pelaksana
9 bulan 9 bulan
Honorarium (Rp)
2.500.000,00 2.000.000,00 600.000,00 500.000,00 350.000,00 850.000,00
3 bulan - 1.000.000,00 - 750.000,00 - 650.000,00 - 750.000,00 9 bulan - 1.000.000,0 - 750.000,00 i. 8 - 400.000,00 - 300.000,00 ii.
Pengawas Pemilu Lapangan (PPL)
16
400.000,00 Relawan 100.000,00iii. Advokasi/Fasilitator 600.000,00iv. UANG LEMBUR v. Uang Lembur vi. Anggota Panwaslu dan Sekretariat Golongan IV - 13.000,00/jam Golongan III - 11.000,00/jam Golongan II - 9.000,00/jam Golongan I - 7.000,00/jam III. PEMBELIAN/PENGADAAN BARANG vii. DAN JASA 1. Sewa Komputer viii. 2. Sewa Laptop ix. IV. BELANJA OPERASIONAL x. 1. Perjalanan dinas xi. Sumber: Diolah dari Lampiran Peraturan Bupati Jembrana No. 25 Tahun 2010. 11. 12. II. 1.
Selanjutnya KPU mengeluarkan Keputusan KPU Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa pencoblosan akan dilakukan pada tanggal 27 Desember 2010 untuk putaran I sedangkan putaran II dilaksanakan pada tanggal 12 Februari 26 2011. B. Pembahasan Masalah anggaran dalam Pemilukada di Jembrana telah membuktikan dapat menjadi salah satu penyebab terganggunya proses demokrasi. Pemilukada di Kabupaten Jembrana terganggu akibat terlambatnya proses pencairan anggaran Pemilukada. Bahkan, Bupati Jembrana, I Gede Winasa dilaporkan ke Polda Bali oleh KPU Kabupaten Jembrana dengan indikasi gangguan dan upaya penggagalan 27 Pemilukada di antaranya pencairan anggaran yang tidak tepat. Ketidaktegasan Pemerintah Kabupaten Jembrana soal anggaran Pemilukada akan berdampak buruk terhadap pelaksanaan seluruh 28 tahapan Pemilukada. Akibat pencairan dana yang terlambat, KPU Kabupaten Jembrana gagal melaksanakan Pemilukada pada bulan Agustus 2010. Pencoblosan baru akan dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2010, padahal masa jabatan Bupati Jembrana akan berakhir pada tanggal 15 26
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Jembrana Nomor: 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010. 27 “KPU Laporkan Bupati Jembrana ke Polisi”, http://regional .kompas .com /read /2010/ 08 / 061646414/ KPU. Laporkan.Bupati.Jembrana.ke.Polisi, diakses tanggal 15 Oktober 2010. 28 “Pilkada Jembrana Terancam Ditunda”, http://beritabali.com/index.php?reg=&kat=&s =news&id= 201002110001, diakses tanggal 15 Oktober 2010.
17
November 2010. Dengan demikian ketentuan Pasal 86 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pemungutan suara, pemilihan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir, tidak dapat dipenuhi. Indikasi lainnya adalah DP 4 (Daftar Pemilih Sementara) tidak diserahkan sesuai tahapan. Dan yang lebih parah lagi, baliho KPU yang berisi sosialisasi tahapan Pemilukada diturunkan paksa dan disamakan dengan papan reklame yang sifatnya 29 komersial. Ditinjau dari sisi perencanaan anggaran, proses yang dilakukan oleh Pemda, KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu Kabupaten Jembrana telah dilakukan secara tepat. Pelibatan para stakeholder juga telah tepat. Setiap pihak yang berkepentingan diminta untuk menyusun kebutuhan anggaran. Sebagai pihak pelaksana, KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu Kabupaten Jembrana merupakan pihak yang tepat. KPU dan Panwaslu juga telah melakukan koordinasi dengan pihakpihak yang tepat baik di tingkat provinsi maupun pusat. Pemahaman dan penguasaan terhadap materi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anggaran dalam pelaksanaan Pemilukada juga cukup dimiliki, sehingga berdampak pada cepatnya proses penyusunan anggaran di masing-masing lembaga. Dari sisi waktu, tiga bulan adalah waktu yang memungkinkan bagi KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu untuk melakukan pengkajian. Selain pengkajian yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu Kabupaten Jembrana, Pemda juga melakukan kajian. Hal ini dimaksudkan agar tercipta efisiensi anggaran dan pembahasan anggaran di DPRD yang lebih cepat karena alasan yang rasional. Namun, disesalkan bahwa pelibatan publik tidak dilakukan dalam tahap ini. Padahal, partisipasi publik seharusnya sudah dilakukan sejak tahap awal ketika sebuah 30 kebijakan dibuat. Hal ini dimaksudkan agar publik mengetahui setiap rupiah yang dialokasikan oleh pemerintah khususnya terkait dengan rencana kegiatan Pemilukada. Dengan demikian anggaran yang dialokasikan nantinya dapat dilaksanakan dengan baik karena juga mendapat dukungan dari masyarakat. Prinsip partisipasi masyarakat sebagai salah satu prinsip yang mendasari perencanaan anggaran juga tidak terlihat di DPRD. Proses pembahasan anggaran di DPRD sekalipun dinyatakan telah dilakukan secara terbuka, namun keterbukaannya tidak dapat merangsang ruang partisipasi bagi publik karena ketiadaan informasi dari pihak DPRD. Namun, dari sisi kajian, DPRD juga tampaknya melakukan kajian namun hanya berdasarkan feeling semata, tanpa melakukan kajian yang 29
Wawancara dengan Ketua KPU Kabupaten Jembrana, tanggal 8 November 2010. Lihat Model Demokratis dalam pembuatan kebijakan dalam Riant Nugroho D, Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2003, hal. 126. 30
18
sesungguhnya (seperti dibantu oleh para pakar misalnya). Sekalipun demikian, pembahasan selama 11 kali cukup efektif untuk menghasilkan sebuah kesepakatan anggaran yang dapat diterima oleh seluruh pihak. Permasalahan anggaran Pemilukada di Kabupaten Jembrana yang muncul pada saat proses pencairan anggaran akan dilakukan memperlihatkan bahwa peran eksekutif, yaitu Bupati, dalam hal pencairan anggaran sangat besar. Dalam kasus di Kabupaten Jembrana, Bupati Jembrana terkesan menghambat proses tahapan Pemilukada. Hal ini dapat dilihat dari tiga hal, pertama, ketika Bupati meminta penundaan pelaksanaan Pemilukada dari tanggal 26 Agustus 2010 menjadi 20 September 2010 dengan alasan pada bulan Agustus merupakan ulang tahun Kota Negara. Kedua, Bupati mengajukan gugatan ke MK untuk menggunakan sistem e-voting, padahal pada waktu pembahasan anggaran Pemilukada dengan KPU Kabupaten Jembrana, ide menggunakan sistem e-voting tidak pernah disampaikan, sehingga dalam pembahasan anggaran yang dibahas adalah anggaran Pemilukada dengan sistem konvensional. Ketiga, ketika anggaran sudah disetujui oleh DPRD, Bupati Jembrana melalui Kantor Kesbangpol Linmas ditugaskan untuk melakukan kajian kembali terhadap anggaran yang sudah disetujui tersebut, dengan alasan perlunya menekankan pada prinsip efisiensi anggaran. Peran eksekutif yang besar dalam bidang anggaran memang dijamin oleh UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun, kekuasaan mengelola keuangan daerah tersebut, berdasarkan Pasal 7 masih dalam undang-undang yang sama, harus digunakan untuk tujuan bernegara, yang salah satunya adalah melaksanakan Pemilukada untuk memilih kepala daerah yang dapat memimpin pemerintahan suatu daerah. Dalam teori kebijakan publik, kebijakan yang dituangkan dalam tulisan formal berupa peraturan perundang-undangan merupakan salah 31 satu jenis kebijakan publik. Namun demikian, dalam kasus pencairan anggaran Pemilukada Jembrana, seharusnya bupati menjalankan keputusan bersama antara DPRD dan Bupati yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2009 Nomor 04, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 04) yang selanjutnya diubah menjadi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana dengan mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2009 tentang 31
Ibid., hal. 54-62.
19
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana Tahun Anggaran 2010 yang diperbaharui dengan Peraturan Bupati Jembrana Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana Tahun Anggaran 2010 (Berita Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2009 Nomor 114). Peraturan ini dimaksudkan sebagai pelaksana dari Perda Nomor 4 Tahun 2009. Sampai di sini, kebijakan telah dilaksanakan dengan baik. Namun, ketika Bupati mengeluarkan kebijakan tidak tertulis untuk melakukan kajian kembali terhadap RAB yang diajukan oleh KPU, disinilah letak masalahnya. Sebab, kajian harus sudah selesai pada tingkat perencanaan. Pada tahap pelaksanaan, ada kesan bupati ingin mewujudkan konsep NPM, yaitu mengharapkan dengan kajian yang dilakukan akan dapat ditemukan alternatif cara-cara pelayanan publik berdasarkan perspektif ekonomi sehingga dapat ditingkatkan 32 produktivitas. Namun keinginan itu salah waktu. Dalam perspektif ilmu administrasi kajian sudah selesai dilakukan pada waktu perencanaan dibuat. Pada tahap implementasi, kontrol yang lebih berperan, baik oleh DPRD, Inspektorat, BPK atau BPKP. Dengan demikian, hasil kontrol yang selanjutnya akan dipergunakan sebagai evaluasi dalam kebijakan anggaran Pemilukada berikutnya. Ditinjau dari prinsip akuntabilitas, dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran tidak terlihat akuntabilitas para pemangku kepentingan kepada publik. Pada tahap perencanaan, publik tidak mengetahui secara pasti berapa anggaran yang dialokasikan untuk Pemilukada. Hal ini dapat dilihat dari Perda Kabupaten Jembrana maupun Peraturan Bupati Jembrana terkait dengan APBD Kabupaten Jembrana yang tidak secara tegas memuat mengenai anggaran Pemilukada dalam satu pos tersendiri. Dalam pelaksanaan anggaran, publik dibuat bingung dengan lahirnya berbagai keputusan baik yang dikeluarkan oleh KPU Kabupaten Jembrana maupun Bupati. Apalagi KPU Kabupaten Jembrana telah melakukan kegiatan pendaftaran pemantau dan pembentukan Panitia Ad Hoc (PPK, PPS, Panwas Kecamatan, dan Panwas Kabupaten) pada tanggal 28 Januari 2010, yang harus dibatalkan 19 Februari 2010. Kondisi ini memperlihatkan bahwa Bupati Jembrana tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan mengenai anggaran Pemilukada yang telah disepakati dan dituangkan ke dalam Perda Nomor 4 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana dan diubah dengan Perda Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana. Jika dicermati prinsip reinventing governement,yaitu pada prinsip ke-5, pemerintah berorientasi pada hasil, sesungguhnya Bupati Jembrana harus mengubah fokus dari input menjadi akuntabilitas pada 32
Miftah Thoha, op.cit., hal. 75.
20
keluaran (output) atau hasil. Bahkan, dengan prinsip ini seharusnya KPU Kabupaten Jembrana diberikan keleluasaan untuk melaksanakan anggaran belanjanya tanpa harus diikat dengan berbagai peraturan, asalkan Pemilukada dapat berlangsung dengan tepat waktu dan demokratis. Dalam kasus Kabupaten Jembrana, Bupati Jembrana memang terkesan mencari-cari alasan, bahkan hasil kajian yang dilakukan oleh bupati dengan memangkas TPS justru melanggar hukum karena akan mempengaruhi lokasi pemilih pada satu daerah pemilihan dan jumlah pemilih dalam 1 TPS yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dikaitkan dengan prinsip value for money, yaitu bagaimana proses penganggaran tersebut memenuhi prinsip ekonomis, efisiensi dan efektifitas, tentunya dalam rangka menerapkan prinsip inilah kajian dilakukan pada tahap perencanaan. Pada tahap pelaksanaan, prinsip ekonomis, efisiensi dan efektifitas dilakukan dengan teknik-teknik pemilihan dan penggunaan sumber daya agar mendapat jumlah dan kualitas pada harga yang wajar (misalnya dengan tender atau penunjukan langsung yang tepat) dan capaian target atau tujuan untuk kepentingan publik. Sehingga, tanggung jawab pelaksanaan prinsip tersebut ada pada pelaksana anggaran, dalam hal ini KPU Kabupaten Jembrana, bukan Bupati Jembrana. Standar biaya umum yang dikeluarkan oleh Bupati Jembrana untuk menerapkan prinsip ekonomis juga merupakan masalah tersendiri. Karena, KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu Kabupaten Jembrana berpedoman kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2007 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2009, dimana tidak dibedakan antara PNS dan Non PNS sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Bupati Jembrana Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pedoman Standar Biaya Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010. Apabila Bupati ingin mengatur mengenai standar biaya, maka seharusnya standar biaya tersebut harus sudah dibuat sebelum RKB diajukan oleh masing-masing pihak (KPU Kabupaten Jembrana dan Panwaslu Kabupaten Jembrana). Dari Lampiran Peraturan Bupati Nomor 20 Tahun 2010 (lihat tabel 1) dan Peraturan Bupati Nomor 25 Tahun 2010 (lihat tabel 2), terlihat lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk pembayaran honorarium dan biaya perjalanan dinas dibandingkan untuk penujang kegiatan (di Panwaslu hanya dianggarkan untuk penyewaan komputer dan laptop saja). Hal tersebut mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah memang kurang menunjang kegiatan Panwaslu. III. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan
21
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pertama, proses perencanaan anggaran Pemilukada di Kabupaten Jembrana telah dilakukan dengan melibatkan stakeholder yang tepat yaitu pemerintah daerah, KPU Kabupaten Jembrana, Panwalu Kabupaten Jembrana, dan DPRD. Dalam perencanaan anggaran juga telah diberikan waktu yang memadai untuk melakukan pengkajian. Namun tidak ada partisipasi publik dalam proses pembahasan anggaran baik di eksekutif maupun di DPRD. Sekalipun DPRD mengatakan bahwa proses pembahasan anggaran di DPRD terbuka, namun diakui oleh anggota DPRD bahwa masyarakat tidak memantau proses pembahasan anggaran di DPRD. Kedua, prinsip akuntabilitas tidak diperhatikan baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan anggaran. Ketiga, prinsip value for money terkesan ingin diterapkan oleh Bupati Jembrana namun tidak tepat, karena sesungguhnya yang seharusnya menerapkan prinsip tersebut adalah KPU Kabupaten Jembrana. Keempat, dalam pelaksanaan anggaran, proses pencairan anggaran merupakan tahapan yang harus dilalui. Peran Bupati Jembrana dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana lebih besar dalam proses pencairan anggaran. Bupati dapat menjadi penentu cepat atau lambatnya sebuah anggaran dicairkan. Indikasi bahwa Bupati berperan sangat besar dapat dilihat dari tiga hal, pertama, ketika Bupati meminta penundaan pelaksanaan Pemilukada dari tanggal 26 Agustus 2010 menjadi 20 September 2010 dengan tiga alasan yaitu (1) pada bulan Agustus merupakan ulang tahun Kota Negara; (2) Bupati mengajukan gugatan ke MK untuk menggunakan sistem e-voting, padahal pada waktu pembahasan anggaran Pemilukada dengan KPU Kabupaten Jembrana, ide tersebut tidak pernah disampaikan, sehingga dalam pembahasan anggaran, diajukan anggaran dengan sistem konvensional; dan (3) ketika anggaran sudah disetujui oleh DPRD, pihak eksekutif melalui Kantor Kesbangpol Linmas ditugaskan untuk melakukan kajian kembali terhadap anggaran yang sudah disetujui tersebut, dengan maksud menekankan pada prinsip efisiensi anggaran. Kelima, ditinjau dari besaran anggaran dan peruntukannya, penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemerintah Daerah kurang mendukung pelaksanaan kegiatan Panwaslu. B. Rekomendasi Melihat kondisi di Kabupaten Jembrana, penelitian ini merekomendasikan untuk pertama, menempatkan anggaran Pemilukada dalam APBN. Dengan demikian, intervensi kepala daerah dalam proses pencairan anggaran Pemilukada dapat dihindari. Terkait dengan standar biaya yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, Kementerian Keuangan dapat membuat standar biaya nasional dan standar biaya daerah dengan pembagian zona. Atas perhitungan inilah kemudian dialokasikan anggaran untuk masing-masing daerah yang akan melaksanakan Pemilukada. Apalagi, Pemerintah Pusat sudah dapat
22
mengetahui daerah-daerah mana saja yang akan melakukan tahapan Pemilukada dalam satu tahun. Kedua, dalam hal alokasi anggaran Pemilukada masih ditempatkan dalam APBD, Pemerintah Pusat tidak perlu mengatur mengenai kegiatan yang dapat dan yang tidak dapat didanai dalam kegiatan Pemilukada. Hal tersebut bisa diserahkan saja kepada daerah masing-masing, sepanjang berbasis kinerja. Dengan demikian, daerah dapat secara leluasa mengatur anggaran sesuai dengan kebutuhannya. Sebab, lain daerah tentu akan lain persoalan dan kebutuhannya. Penekanan pada efisiensi sudah dapat dilakukan pada saat perencanaan anggaran dilakukan. Dalam perencanaan anggaran, publik harus sudah dilibatkan, terutama dalam forum Musrenbang. Selanjutnya apabila anggaran sudah disahkan untuk dilaksanakan, fungsi pengawasan yang harus lebih diperketat baik oleh inspektorat, DPRD, maupun BPK/BPKP. Selain fungsi pengawasan oleh institusi negara, pengawasan dari masyarakat juga diperlukan. Peran civil society atau LSM dalam pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran akan dapat meminimalkan penyimpangan, baik terhadap kebocoran anggaran maupun terhadap intervensi politik.
23
DAFTAR PUSTAKA Janet V. Denhardt et.al., The New Public Service, M.E. Sharpe, Armonk, New York, 2003. Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Panwaslu Kabupaten Jembrana, Kajian Laporan Nomor: 01/Lap/Panwaslu-Jbr/VI/2010, tidak diterbitkan. Prayudi et al, Laporan Penelitian tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah Bupati/Walikota di Provinsi Riau, belum diterbitkan, Jakarta, 2010. Profil Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010, Pemda Kabupaten Jembrana, 2010. Riant Nugroho D, Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2003. Sony Yuwono et al, Penggangaran Sektor Publik, Bayumedia Publishing, Malang, 2005 Topo Santoso, Topo Santoso, et.al., Penegakan Hukum Pemilu : Praktek Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009 – 2014, USAID-DRSPPerludem, Jakarta. Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Waluyo, Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi dan Implementasinya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah), Mandar Maju, Bandung, 2007. Sumber media online: “Anggaran Pemilukada Diusulkan dari APBN”, http: //news. fajar.co .id /read /104973 /anggaran-pemilukada-diusulkan-dari-apbn, diakses tanggal 15 Oktober 2010. “Dana Seret, Pilkada di Maluku Utara Tak Bisa Serentak”, hhtp://bataviase.co.id/node/125389, diakses tanggal 15 Oktober 2010 “KPU Laporkan Bupati Jembrana ke Polisi”, http://regional .kompas .com /read /2010/ 08 / 061646414/ KPU. Laporkan.Bupati.Jembrana.ke.Polisi, diakses tanggal 15 Oktober 2010. “Pilkada Jembrana Terancam Ditunda”, http://beritabali.com/index.php?reg=&kat=&s =news&id= 201002110001, diakses tanggal 15 Oktober 2010. Peraturan Perundang-undangan: Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Jembrana Nomor: 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Tahapan, Program, dan
24
Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010. Kronologis Pencabutan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Jembrana Nomor 01 Tahun 2010 dan Penetapan Surat Keputusan KPU Jembrana Nomor 04 Tahun 2010, tidak diterbitkan. Pemerintah Kabupaten Jembrana, Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana Tahun Anggaran 2010, tanpa tahun penerbit.
25
PEMILIHAN GUBERNUR SECARA DEMOKRATIS: STUDI TERHADAP GAGASAN DIPILIH KEMBALI OLEH DPRD DI PROVINSI BENGKULU Indra Pahlevi1 Abstract Pemilukada (direct elections of governors, majors and regents) is a result of democratization at the local level, particularly in the regions with two levels of autonomy, namely at province and municipality levels. Democratization however causes conflict of hierarchy between governor as head of province and majors or regents as heads of municipalities. In hierarchical context, the regents or majors are supposedly subordination of governor who represents the interest of central government in the regions. Due to the reason that the two sorts of leaders of the lower levels are directly elected through general elections, they argue that they have legitimacy for their authority that cannot be undermined by the Governor. That is why the direct elections of governors are questioned because of the new governors’ worsening relations with the major and regents in many regions. To avoid communal conflicts and to save state budget, there is an aspiration to give back DPRDs (provincial level parliaments) their right to elect governors. The writer is of the opinion that is not the right solution for the problem, and an important thing is that how the country can push democratization at local level. Key Words: Local Political Leader Election, Democracy, Local Government Pemilukada merupakan praktek demokrasi di tingkat lokal. Terdapat dua jenis daerah otonom yaitu provinsi yang dipimpin gubernur dan kabupaten/kota yang dipimpin bupati/walikota. Dalam konteks hirarki pemerintahan, bupati/walikota adalah “bawahan” gubernur yang juga merupakan wakil Pemerintah di daerah. Namun, kedua pemimpin di tingkat lokal tersebut dipilih langsung dan para bupati/walikota merasa punya legitimasi, oleh karena itu gubernur tidak berhak memerintah. Tetapi gubernur juga memiliki kewenangan dalam konteks koordinasi di wilayahnya. Akibatnya, terdapat gagasan gubernur kembali dipilih DPRD agar tidak muncul potensi konflik horisontal dan besarnya anggaran. Namun hal itu tidaklah pas jika menjadi alasan. Yang terpenting adalah meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Kata Kunci: Pemilukada, Demokratis, Pemerintahan Daerah
I.
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Kedua Tahun 2000 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara 2 demokratis.” Pada proses pembahasan perubahan UUD 1945 oleh MPR, penyebutan kata “secara demokratis” sebagai bentuk akomodasi terhadap masih dipilihnya kepala daerah oleh DPRD baik gubernur, bupati, maupun walikota, 1
Peneliti Madya Bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, Jakarta, email
[email protected]. 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR RI, Jakarta, 2002.
1
sehingga tidak secara otomatis dimaknai sebagai “pemilihan secara langsung”, meskipun bisa juga dimaknai sebagai “pemilihan secara langsung”. Selain itu disadari juga bahwa pemilihan kepala daerah bukan rezim pemilu sebagaimana niatan asli (original intent) dari perumus UUD 1945, tetapi masuk ke dalam rezim 3 Pemerintahan Daerah. Perkembangan yang terjadi adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) dipilih secara langsung berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang secara lengkap berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokatis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Makna demokratis dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut dielaborasi dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku bagi hampir seluruh daerah otonom. Sementara khusus terhadap Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masih menunggu RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta. Dalam penyelenggaraan pemilukada tingkat provinsi (gubernur dan wakil gubernur), sering muncul gugatan terhadap hasil dari pihak yang kalah. Meskipun sangat mungkin KPU melakukan kesalahan atau kekeliruan, namun pengajuan gugatan tersebut dapat menjadi hambatan dalam proses selanjutnya seperti yang pernah terjadi di Pemilukada Jawa Timur beberapa waktu lalu serta di Sulawesi Selatan yang kemudian menunjuk Pelaksana Harian Gubernur Tanribali Lamo. Padahal, dibutuhkan kecepatan dalam mengisi posisi kepala daerah (gubernur) baru guna mempercepat proses penyelenggaraan pemerintahan selanjutnya. Hal ini karena posisi gubernur juga adalah sebagai wakil pemerintah di daerah. Sementara itu proses penyelenggaraan pemerintahan harus terus berjalan tanpa ada jeda. Kasus Jawa Timur yang menempatkan pejabat sementara dari Pemerintah (Pusat) merupakan sesuatu yang tidak perlu dilakukan jika proses pemilukada dapat berlangsung lebih baik. Dalam praktek selama lima tahun terakhir sejak tahun 2005 hingga 2010, penyelenggaraan pemilihan langsung gubernur menimbulkan berbagai persoalan dalam konteks pasca-pemilihan yakni tetap tidak menjamin efektivitas pemerintahan provinsi dalam mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota di wilayahnya. Posisi gubernur yang terpilih secara “legitimate” karena dipilih langsung oleh rakyat menjadi sulit ketika posisi gubernur juga 4 sebagai wakil atau kepanjangan tangan Pemerintah di daerah. Konsekuensinya adalah banyak program atau instruksi Pemerintah yang tidak berjalan di tingkat kabupaten/ kota. Oleh karena itu muncul gagasan untuk mengembalikan pemilihan gubernur di DPRD provinsi. Kajian yang dilakukan oleh Lemhanas menemukan bahwa penyelenggaraan pemilukada lebih banyak menimbulkan permasalahan, sehingga perlu dipertimbangkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung seperti masa lalu yang dilakukan oleh DPRD. Dalam kajian Lemhanas tahun 2007 yang disampaikan Muladi selaku Gubernur, dinyatakan bahwa pemilihan gubernur secara langsung tidak relevan dengan otonomi daerah. Alasannya adalah gubernur adalah wakil Pemerintah di daerah dan merupakan kepanjangan tangan Presiden, sehingga pemilihan 5 langsung oleh rakyat menjadi tidak relevan. Selama kurun waktu 5 (lima) tahun Gubernur Agusrin Najamudin menjabat periode 2005-2010, seirngkali menimbulkan gesekan dengan beberapa bupati di Provinsi Bengkulu yang tergambar dalam temuan penelitian di bab selanjutnya. Oleh karena itu menjadi kurang efektif beberapa program dan proses koordinasi antara gubernur sebagai wakil Pemerintah di Bengkulu dengan daerah 3
Perdebatan konstitusional masuknya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ke dalam rezim pemilu terjadi dalam proses pembahasan RUU tentang Penyelenggara Pemilu di Pansus DPR RI tahun 2007. Hal ini terkait dengan original intent (niat asli) dan keberadaan Pasal 18 ayat (4) dibandingkan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Salah satu yang menyatakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan rezim pemilu adalah Patrialis Akbar yang menjadi anggota Pansus sekaligus yang ikut membahas amandemen UUD 1945 oleh MPR. Lihat Risalah Rapat Pembahasan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Sekretariat Pansus, 2007, tidak dipublikasikan. 4 Lihat Pasal 10 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 5 “Muladi: Pilkada Gubernur Tidak Relevan dengan Otonomi Daerah,” dalam http://otda.bappenas.go.id, diakses tanggal 21 Oktober 2010. Kajian Lemhanas tersebut merupakan hasil dari kajian peserta didik Lemhanas yang menyatakan bahwa yang relevan dengan otonomi daerah adalah pemilihan langsung bagi bupati/walikota.
2
kabupaten/kota. Selanjutnya di Provinsi Bengkulu, penyelenggaraan pemilukada dilaksanakan serentak tanggal 3 Juli 2010 untuk tingkat provinsi dan 7 (tujuh) kabupaten yaitu Kabupaten Kaur, Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Muko-Muko, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Bengkulu Selatan. Tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Bengkulu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bengkulu, berdasarkan Surat Keputusan No.4/KPS-Prov/2010 tentang Penetapan Calon Gubernur, menetapkan lima pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang 6 akan maju dalam pemilukada Gubernur Bengkulu periode 2010-2015. Hasil Pemilukada Bengkulu 2010 kemudian dimenangkan oleh pasangan AgusrinJunaidi dengan kemenangan mutlak. Jadi, Pemilukada Bengkulu hanya dilaksanakan satu putaran. Dalam proses berikutnya, terdapat gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap hasil pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu yang diajukan oleh salah satu pasangan calon atas penghitungan suara dan hasil yang disampaikan oleh KPU Provinsi Bengkulu. Dalam perkara No 104 - 105 - 106 107/PHPU.D/VII/2010 itu, majelis hakim menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, dengan pertimbangan bahwa dalil-dalil pemohon tidak berdasar 7 sehingga dikesampingkan. Putusan MK tersebut kemudian membawa pasangan Agusrin Maryono Najamuddin – Junaidi Hamzah menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu terpilih periode 2010-2015 yang telah dilantik pada November 2010. Selanjutnya Gubernur Agusrin dinonaktifkan untuk menjalani proses peradilan yang pada akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas tuduhan korupsi dana pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea 8 perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Hal tersebut menggambarkan terganggunya efektivitas pemerintahan selama gubernur menjalani proses peradilan, meskipun terdapat wakil gubernur sebagai pelaksana tugas (PLT) tanpa kewenangan mengambil kebijakan strategis. B.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas terlihat permasalahan utama muncul akibat posisi gubernur yang menjalankan tugas sebagai kepanjangan tangan Pemerintah di daerah sementara sebagai kepala daerah provinsi ia dipilih secara langsung. Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur secara langsung. Secara substansial sesungguhnya penyelenggaraan pemilihan gubernur secara langsung adalah sebuah implementasi nilai-nilai demokrasi yang baik karena melibatkan rakyat pemilih menentukan calon pemimpinnya. Tetapi dalam situasi empiris muncul ketidakefektifan sekaligus ketidakefisienan karena persiapan dan pelaksanaan yang banyak menimbulkan persoalan. Di sisi lain dibutuhkan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien. Kondisi tersebut diingatkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ketika melantik Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara terpilih tanggal 20 September 2010 bahwa gubernur memiliki peran ganda, 9 yaitu sebagai kepala daerah provinsi dan wakil pemerintah pusat di daerah. Mendagri mengatakan, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi yang mengatur tentang peran gubernur, babak baru telah dimulai yaitu pergeseran implementasi penyelenggaraan pemerintahan di provinsi. Seperti dapat kita lihat dalam Pasal 1 Ketentuan Umum angka 5 yang mengatur tentang “koordinasi.” Yang dimaksud dengan koordinasi adalah:
6
Pasangan calon yang memperebutkan posisi Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan nomor urut serta hasilnya terdapat dalam laporan KPU lebih lanjut dibahas pada Bagian Pembahasan. Lihat juga Laporan KPU Provinsi Bengkulu tentang Penyelenggaraan Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2010. 7 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 104-105-106-107/PHPU.D/VII/2010. 8 Lihat “PN Jakarta Pusat Vonis Bebas Gubernur Bengkulu Agusrin”, dalam http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=279289, akses 25 Mei 2011 9 Lihat “Mendagri Ingatkan Sarundajang Soal Peran Ganda Gubernur,” dalam http://id.voi.co.id/beritaindonesia/politik/5983-mendagri-ingatkan-sarundajang-soal-peran-ganda-gubernur.html, diakses tanggal 22 Oktober 2010.
3
“upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi, antara instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah tingkat provinsi, antar kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, serta antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi 10 penyelenggaraan pemerintahan.” Menurut Mendagri, dalam implementasi penyelenggaraan pemerintahan provinsi saat ini, gubernur yang semula lebih banyak menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah otonom yang sebetulnya sudah minim, akan bergeser menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagai wakil Pemerintah. Dalam konteks sebagai wakil Pemerintah, Mendagri menyatakan bahwa gubernur melaksanakan fungsi koordinasi, pembinaan, pengawasan, dan penyelenggaraan pemerintahan umum. Fungsi koordinasi yakni mengoordinasikan instansi vertikal dengan pemerintah kabupaten/kota dan antar-pemerintah kabupaten/kota di wilayah provinsi. Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinergi dalam pelaksanaan 11 pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di wilayah provinsi. Namun demikian diperlukan kajian sekaligus penelitian apakah memang menjadi sesuatu yang penting apabila pemilihan gubernur dilaksanakan secara tidak langsung. Kondisi empirik menunjukkan telah terjadi ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan karena gubernur tidak dengan mudah mengoordinasikan penyelenggaraan pembangunan di wilayahnya bersama para bupati dan walikota. Hal ini karena telah terjadi situasi di mana para bupati dan 12 walikota merasa memiliki kewenangan yang juga diatur dalam undang-undang. Namun sebenarnya pemerintah provinsi memiliki beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangannya dalam konteks adanya fungsi koordinasi dengan 13 kabupaten/kota di wilayahnya. Selanjutnya, fungsi pembinaan yaitu melakukan pembinaan pemerintah kabupaten/kota yang antara lain dimaksudkan untuk mempercepat peningkatan kapasitas pemerintah kabupaten/kota dan memperpendek rentang kendali pemerintahan. Berikutnya, fungsi pengawasan yaitu mengawasi pemerintah kabupaten/kota agar penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota berjalan sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dirumuskan sebuah permasalahan, yaitu: “Bagaimana gagasan dipilihnya gubernur oleh DPRD kembali dapat diimplementasikan sebagai sebuah pemilihan yang demokratis dengan melihat posisi gubernur yang juga sebagai kepala daerah otonom?” Permasalahan tersebut kemudian dijabarkan dalam dua pertanyaan penelitian berikut: 1. Bagaimana penyelenggaraan Pemilukada Gubernur di Bengkulu? 2. Bagaimana pandangan stakeholders mengenai dipilihnya gubernur oleh DPRD? C.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan masyarakat dan pemerintah provinsi serta DPRD provinsi terhadap pelaksanaan pemilukada gubernur secara tidak langsung di Provinsi Bengkulu. Adapun kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi konkret tentang kondisi riil mengenai evaluasi dan pelaksanaan pemilukada gubernur secara langsung yang akan dipergunakan oleh DPR dalam melakukan penyempurnaan aturan tentang pemilukada. D. Kerangka Pemikiran 10
Lihat Pasal 1 angka 5 PP No. 19 Tahun 2010. Lihat “Mendagri Ingatkan Sarundajang Soal Peran Ganda Gubernur,” op.cit. 12 Lihat Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terkait dengan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. 13 Lihat Pasal 13 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya ayat (1) yang terkait dengan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi. 11
4
1.
Nilai-Nilai Demokrasi
Leslie Lipson mengupas demokrasi yang diinterpretasikan sebagai sebuah sistem politik yang mencari dan untuk mengendalikan gerakan masyarakat mencapai konsep peradabannya. Ini adalah sebuah jalan untuk mengharmoniskan hubungan dari kelompok-kelompok dalam upaya semakin meningkatkan kedekatan kepada cita-cita ideal kebebasan, persamaan, dan keadilan. Demokrasi dapat disebut pemerintahan oleh rakyat yang dijalankan oleh perwakilan yang mereka pilih sendiri sebagai wakil mereka serta di bawah kontrol 14 rakyat. Lipson juga menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang mengklaim kesetiaan terhadap martabat manusia yang tinggi, melanjutkan pendidikan kewarganegaraan, dan dengan pendidikan membantu 15 manusia secara keseluruhan menjadi lebih beradab. Penghargaan terhadap warga negara adalah sesuatu yang sangat esensi dari pemerintahan demokratis. Demokrasi menuntut negara dan masyarakat bekerja melayani demi kepentingan publik yang lebih luas. Guna memperkuat prinsip tersebut, mesin pemerintah disediakan untuk merubah institusi dan para pejabatnya. Semua rakyat pada saat yang bersamaan memilih laki-laki atau perempuan untuk duduk dalam pemerintahan serta yang akan menyetujui atau tidak menyetujui berbagai kebijakan yang akan diambil oleh pejabat yang terpilih tersebut. Di bawah sistem ini, semua memiliki andil dalam kegiatan bersama untuk memerintah. Oleh karena itu, setiap orang dibantu melalui peningkatan martabat dan nilai warga negara. Demokrasi merupakan sebuah tatanan yang ideal yang dapat dicapai umat manusia dalam kehidupannya. Sebagaimana sejarah demokrasi yang dimulai sejak kurun waktu 2000 tahun lalu hingga abad sekarang ini bahwa demokrasi mensyaratkan adanya lembaga politik baru yang secara radikal 16 berbeda dengan yang diterapkan dari negara kota di Yunani masa lalu serta menggambarkan adanya perkembangan cara berpikir yang cepat mengikuti perkembangan zaman. Dalam pandangan Dahl, terdapat problem dalam demokrasi yang semakin pluralis, yaitu bagaimana cara menggambarkan sebuah demokrasi yang 17 ideal atau sistem yang secara teoritis dapat dikemukakan. Menurut Dahl, proses demokrasi yang ideal akan memenuhi lima kriteria, yaitu: 1. persamaan hak pilih yakni setiap warga negara memiliki hak yang harus diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan; 2. partisipasi efektif yakni dalam proses pembuatan keputusan, setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mencapai kesimpulan terakhir; 3. pembeberan kebenaran yakni setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan penilaian terhadap keputusan secara logis; 4. kontrol terakhir terhadap agenda yakni masyarakat memiliki kekuasaan eksklusif untuk menentukan hal-hal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui sebuah proses yang disepakati bersama; dan 5. pencakupan yakni masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dengan kriteria tersebut dapat kita sampaikan bahwa sebuah demokrasi ideal memerlukan sebuah usaha dan proses yang tidak mudah, sehingga Lively pun sulit untuk mendefinisikan demokrasi yang dikaitkan dengan prinsip mayoritas 18 dan pemerintahan oleh rakyat. Terdapat asumsi bahwa demokrasi adalah kekuasaan mayoritas. Hal itu dapat kita telusuri dalam beberapa pemikiran para ahli yang secara sederhana menyatakan bahwa demokrasi adalah mayoritas. Locke dan Rousseau misalnya 14
Leslie Lipson, The Democratic Civilization, New York: Oxford University Press, 1964. Hal. 237. Ibid, hal. 251. 16 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: Rajawali Pers, 1985, hal. 9 17 Ibid, hal. 10-11. 18 Jack Lively, Democracy, Oxford: Basil Blackwell, 1974, hal 8. 15
5
mengharuskan kebulatan suara pada saat terjadinya kontrak sosial dalam mendirikan negara, tetapi selanjutnya yang berkuasa adalah mayoritas. Hal yang sama dipercaya oleh pemikir demokrasi kontemporer bahwa demokrasi berarti 19 atau menghendaki kaidah mayoritas. Apakah proses demokrasi itu mengharuskan penggunaan kaidah mayoritas secara eksklusif? Jawabannya bervariasi, namun Lipson menyatakan bahwa salah satu keberatan terhadap pemerintahan demokratis adalah munculnya tirani mayoritas. Muncul kekhawatiran pemaksaan kaum mayoritas terhadap hak-hak minoritas, sehingga pemaknaan pemerintahan mayoritas menjadi sangat kuat. Namun demikian, pemahaman seperti itu diluruskan oleh Dahl bahwa tentu saja asumsi demokrasi mengharuskan kaidah mayoritas dalam pengertiannya yang lemah yang mengatakan bahwa dukungan mayoritas harus 20 dianggap penting. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, maka nilai-nilai demokrasi yang bermakna mayoritas harus menjadi bahan evaluasi ketika perwujudan kedaulatan rakyat hanya dimaknai melalui pelibatannya dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. 2. Pemilihan Kepala Daerah dan Rezim Pemilu Secara umum mekanisme pemilihan kepala daerah dilakukan melalui 21 beberapa cara. Sarundajang memberikan beberapa cara yaitu: a. Kepala daerah yang ditunjuk Pemerintah; b. Kepala daerah pilihan Dewan Daerah (DPRD); c. Kepala daerah yang dipilih secara umum (langsung); dan d. Kepala daerah yang ditunjuk oleh Dewan Daerah (DPRD). Dalam kaitannya dengan kajian ini, maka cara pemilihan di DPRD dan pemilihan langsung menjadi fokusnya. Pengalaman beberapa negara praktek pemilihan kepala daerah (khususnya walikota) secara langsung banyak dilaksanakan secara periodik seperti di Iran, Jepang, Filipina, dan beberapa 22 negara Amerika Latin serta di Jerman dan Kanada. Saat ini pun Indonesia sudah melakukan praktek pemilihan kepala daerah secara langsung Pemilukada sudah mendapat pengaturan yang kuat dalam peraturan perundang-undangan. UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sebagai rezim 23 pemilu. Salah satu pengertian tentang pemilu adalah yang disebutkan oleh Haywood, “Pemilu adalah „jalan dua arah‟ yang disediakan untuk pemerintah dan 24 rakyat, elit dan massa dengan kesempatan untuk saling mempengaruhi.” Atas dasar itu Sigit Pamungkas melihatnya bahwa secara garis besar fungsi Pemilu 25 bisa dilihat dari dua perspektif; bottom up dan top-down. Dalam perspektif bottom-up, pemilu dilihat sebagai “sarana politisi dapat dipanggil untuk bertanggung jawab dan ditekan untuk mengantarkan bagaimana 26 kebijakan merefleksikan opini publik.” Lebih lanjut dikatakan bahwa termasuk dalam fungsi bottom-up di antaranya adalah fungsi pemilu sebagai: “Pertama, rekrutmen politisi. Di negara demokratis, pemilu adalah sumber utama untuk rekrutmen politisi dengan partai politik sebagai sarana utama dalam penominasian kandidat. Individu-individu biasa kemudian menjadi politisi sejak dirinya bergabung dalam partai politik dan sejak dinominasikan atau mencalonkan diri dalam pemilu. Kedua, membentuk pemerintahan. demokratis di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil melalui pemilihan 19
Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Pengantar A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, hal. 203-204. 20 Ibid, hal. 204. 21 S.H. Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Tinjauan Khusus Pemerintahan Daerah di Indonesia: Perkembangan Kondisi dan Tantangan, Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal. 143159. 22 Ibid. 23 Sebelum diundangkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Pemilukada langsung di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak dimasukkan dalam rezim Pemilu. 24 Andrew Haywood, Politics, 2nd Edition, Palgrave, New York, 2002, hal. 230. 25 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Lab. Jur Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 4. 26 Ibid, hal. 4.
6
langsung. Ketiga, sarana membatasi perilaku dan kebijakan pemerintah. Penguasa-penguasa yang agendanya tidak lagi disetujui rakyat, maka dapat dikontrol perilakunya secara periodik dalam pemilu berikutnya. Incumbent dapat dihukum oleh rakyat melalui pengalihan dukungan suara kepada kandidat atau 27 partai lain yang dianggap lebih aspiratif.” Dalam perspektif top-down, pemilu dilihat sebagai “sarana elit melakukan kontrol terhadap rakyat agar tetap tanpa gerak/diam (quiescent), dapat 28 ditundukkan (malleable), dan pada akhirnya dapat diperintah (governable).” Fungsi ini biasanya dipraktekkan di negara-negara dengan penguasa otoriter. Dari perspektif top-down, fungsi pemilu adalah: “Pertama, memberi legitimasi kekuasaan. ... penguasa yang terpilih tidak saja memiliki legalitas tetapi memiliki keabsahan moral untuk memerintah. Dengan keabsahan moral yang dimiliki, segala aktivitas yang dilakukan pemerintahan memiliki legitimasi. Kebijakan, penerapan ganjaran dan sanksi yang dibuat pemerintah akan absah di hadapan rakyat. Kedua, sirkulasi dan penguatan elit. Pemilu merupakan sarana dan jalur langsung untuk mencapai posisi elit penguasa…. Melalui seleksi kandidat. Ketiga, menyediakan perwakilan. Pemilu merupakan saluran yang menghubungkan publik ke 29 pemerintah. Keempat, mengutip pendapat Syamsuddin Haris yakni sebagai sarana pendidikan politik. Pemilu merupakan salah satu bentuk pendidikan politik rakyat yang bersifat langsung, terbuka, dan massal yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan 30 kesadaran masyarakat mengenai demokrasi.” Disamping fungsi pemilu yang bersifat vertikal, ada fungsi pemilu yang berdimensi horisontal. Dalam dimensi horisontal, pemilu berfungsi sebagai: ”Pertama, arena pengelolaan konflik kepentingan. Masyarakat mempunyai berbagai kepentingan yang tidak selamanya berjalan harmonis, ... sehingga menimbulkan friksi dan konflik. Agar tidak terjadi anarkhisme konflik, maka konflik kepentingan itu ditransfer melalui berbagai lembaga perwakilan yang ada dalam negara demokrasi yang pembentukannya melalui 31 pemilu...(dalam konteks ini) pemilu menjadi sarana perubahan politik secara damai. Kedua, sarana menciptakan kohesi dan solidaritas sosial. ... Dengan adanya transfer konflik ke lembaga-lembaga perwakilan, di dalam masyarakat diharapkan perbedaan yang ada tidak menjadi sarana 32 fragmentasi sosial.” 3.
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Model pemilihan langsung kepala daerah ini diilhami oleh gagasan pemisahan kekuasaan ajaran Montesquieu di mana terdapat dua lembaga politik utama yaitu eksekutif dan legislatif memperoleh mandat penuh dari rakyat. Kondisi ini pada satu sisi menunjukkan bahwa kepala daerah juga bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih, selain Dewan Perwakilan yang juga dipilih langsung oleh rakyat dalam konteks tertentu seperti penganggaran. Menurut Alderer yang dikutip Sarundajang, mengemukakan bahwa walikota (atau bupati atau gubernur) dan Dewan keduanya mempunyai kekuasaan administratif dan legislatif serta ketika diantara keduanya tidak saling setuju dan sepaham secara politik atau terhadap masalah tertentu, maka pertentangan tersebut akan mempengaruhi jalannya pemerintahan dan sebagai akibatnya warga masyarakat 27 28 29
Ibid, hal. 5. Ibid. Syamsuddin Haris (ed), Menggugat Pemillihan Umum Orde Baru, Yayasan Obor, Jakarta, 1998, hal.
8. 30 Ibid, hal. 6. 31 Tanda kurung dari penulis. 32 Sigit Pamungkas, Perihal ….., op.cit.
7
menjadi korban. Oleh karena itu, kepemimpinan yang kuat serta berkualitas selalu diperlukan guna melancarkan jalannya pemerintahan yang dibentuk berdasarkan 33 prinsip checks and balances. Pemberlakuan sistem pemilihan langsung dalam memilih pemimpin politik didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, pemilihan dapat menciptakan suatu suasana dimana masyarakat mampu menilai arti dan manfaat sebuah pemerintahan. Kedua, pemilihan dapat memberikan suksesi yang tertib dalam pemerintahan melalui transfer kewenangan yang damai kepada pemimpin yang baru ketika tiba waktunya bagi pemimpin lama untuk melepaskan jabatannya, 34 baik karena berhalangan tetap atau karena berakhirnya periode kepemimpinan. Tuntutan agar dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung setidaknya memiliki tiga alasan utama yaitu pertama, akuntabilitas kepemimpinan kepala daerah. Kedua, kualitas pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dan ketiga adalah sistem pertanggungjawaban yang 35 tidak saja kepada wakil rakyat di DPRD tetapi langsung kepada rakyat. Pemilihan langsung menjadi jawaban yang efektif terhadap sejumlah permasalahan yang melekat pada pemilihan dengan sistem perwakilan yaitu menekan iklim “dagang sapi,” menghabisi money politics, mengubah orientasi dari 36 elitis menjadi populis, serta memperkaya basis rekrutmen para pemimpin. Pemilukada pada hakekatnya merupakan pertarungan bagi pertumbuhan demokrasi di suatu wilayah, terutama bila pelaksanaan pemilukada diikuti dengan ketidakpuasan suatu kelompok yang menyebabkan timbulnya tindakan anarkis. Studi yang pernah dilakukan Juan Linz dan Alfred Stepan tentang transisi demokrasi yang gagal di berbagai negara menunjukkan bahwa salah satu sebab kegagalan itu adalah elite politik yang belum mengadopsi penuh nilai-nilai demokrasi. Salah satu nilai terpenting demokrasi adalah sikap siap menang dan siap kalah. Nilai semacam ini tampaknya belum dihayati oleh sebagian elite politik kita, sehingga elite sulit atau bahkan tidak mau menerima kekalahan dalam 37 kompetisi politik seperti pemilukada. Pemilukada merupakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Dasar hukum pelaksanaan pilkada secara langsung adalah Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir direvisi dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peserta pemilukada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik serta bisa juga pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik dapat didaftarkan apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu Anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. E.
Metode Penelitian
1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan tanggal 8 – 14 November 2010 di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Alasan pemilihan Kota Bengkulu karena kota tersebut sebagai ibukota provinsi yang merupakan pusat pemerintahan dan pada tahun 2010 menyelenggarakan pemilihan gubernur, sehingga dinilai relevan untuk 33
S.H. Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, ...., op.cit, hal. 153. Ibid., hal. 165-166. Bambang Widjojanto, Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Upaya Mendorong Proses Demokratisasi, Makalah Seminar Nasional tentang "Pemilihan langsung Kepala Daerah Kota/Kabupaten Sebagai Wujud Demokrasi Lokal," yang diselenggarakan oleh ADEKSI (Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia) di Hotel Inter-Continental MidPlaza, Jakarta, 21-22 Januari 2003. 36 Saur Hutabarat, Mencari Pemimpin Masa Depan, Makalah Seminar Nasional tentang "Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota/Kabupaten sebagai Wujud Demokrasi Lokal", diselenggarakan oleh ADEKSI (Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia) di Hotel Inter-Continental MidPlaza, Jakarta, 21-22 Januari 2003. 37 Muhammad Qodari, “Ranjau-ranjau Pilkada”, Harian Suara Karya,8 Mei 2006. 34 35
8
menjaring pandangan dan sikap yang berkembang dari masyarakat dan pemerintah daerah dalam menilai proses pemilihan gubernur secara langsung dikaitkan dengan munculnya wacana pemilihan gubernur secara tidak langsung. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik utama pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap informan penelitian berdasarkan panduan wawancara. Selain itu digunakan teknik observasi khususnya untuk mengetahui berbagai isi pesan dari masyarakat Bengkulu. Hasil penelitian yang didapat melalui kedua teknik pengumpulan data ini kemudian dianalisis secara deskriptif. Fokus penelitian yaitu Pemerintah Provinsi Bengkulu, DPRD Provinsi Bengkulu, akademisi, dan KPU Provinsi Bengkulu. Informan penelitian pada penelitian ini didapat dengan menggunakan 38 teknik purposive yaitu teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja. Informan penelitian sebagai sumber data primer dalam penelitian ini yaitu: Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Bengkulu, akademisi FISIP Universitas Bengkulu, Pimpinan DPRD Provinsi Bengkulu, Ketua Panwas Pemilukada Provinsi Bengkulu, serta Ketua dan Anggota KPU Provinsi Bengkulu. 3. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, pandangan, motivasi dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode 39 alamiah melalui studi kasus. Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, tahapan analisis data dilakukan untuk menjawab dan menyimpulkan pemecahan masalah penelitian, dengan langkah sebagai berikut: Tahap awal adalah pengumpulan dan penyusunan data yang diperoleh dari berbagai sumber. Selanjutnya adalah penafsiran data. Menafsirkan berarti pula menganalisis data dengan menggunakan dasar perspektif atau kerangka berpikir yang dibangun dalam penelitian ini, termasuk di dalamnya semua teori yang telah dipilih dan ditentukan sebelumnya. Teknis analisis hasil akan lebih banyak ditekankan dengan menggunakan metode content analysis dan cross checking anaysis. Data yang diperoleh akan dicermati isinya dan bila didapati materi yang berhubungan antarberbagai sumber, maka di-cross check atau check and recheck untuk melihat validitasnya. Selain itu dalam melaksanakan penafsiran data tersebut, juga dilakukan pemeriksaan keabsahan data dalam upaya mengecek sekaligus sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh. Tahap akhir adalah penarikan kesimpulan. Usaha pelaporan akan menyajikan kesimpulan melalui tahap-tahap seperti yang telah disebutkan di atas. Keberlakuan dari kebenaran yang diperoleh dari kesimpulan penelitian ini tentunya masih diwarnai oleh subyektifitas dan keterbatasan peneliti. Oleh sebab itu, perlu diuji ulang oleh orang lain untuk mendekati keberlakuan yang lebih konsisten. II.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
1.
Gambaran Umum Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu tertanggal 12 September 1967 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1968 tentang berlakunya UU No. 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Provinsi 38
Lihat Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Penerbit CV Alfabeta, 2005, hal. 62. Lihat Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, Penerbit Remadja Rosdakarya, 2004, hal. 6. 39
9
Bengkulu tertanggal 5 Juli 1968 yang merupakan pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan sebagai provinsi ke-26 di Indonesia. Selanjutnya diresmikan oleh Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Depdagri, Mayjen 40 Sunandar Priyosudarmo tanggal 18 November 1968. Secara administratif, Provinsi Bengkulu memiliki 1 kota dan 9 kabupaten. Sebelum tahun 2004, Provinsi Bengkulu memiliki 3 kabupaten dan 1 kotamadya. Pada tahun 2004 sejalan dengan otonomi daerah, Provinsi Bengkulu dimekarkan menjadi 6 kabupaten dan 1 kota. Tahun 2005 kembali dimekarkan menjadi 7 kabupaten dan 1 kota. Selanjutnya tahun 2009 kembali dimekarkan menjadi 9 kabupaten dan 1 kota yakni: (1) Kabupaten Kaur; (2) Kabupaten Lebong; (3) Kabupaten Rejang Lebong; (4) Kabupaten Muko-Muko; (5) Kabupaten Kepahiang; (6) Kabupaten Seluma; (7) Kabupaten Bengkulu Selatan; (8) Kabupaten Bengkulu Tengah; (9) Kabupaten Bengkulu Utara; dan (10) Kota Bengkulu. Kondisi sosiologis masyarakat Bengkulu bersifat heterogen, baik dilihat dari suku bangsa maupun agama, mengingat Bengkulu berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Sumatera Barat serta banyaknya kaum pendatang. Persentase terbanyak berasal dari Suku Jawa (22,3%). Suku lainnya adalah Rejang (21,4%), Serawai (17,9%), Melayu Bengkulu (7,9%), Lembak (4,5%), 41 Minangkabau (4,3%), Sunda (3,0%) dan lain-lain (18,3%). Adapun dari sisi agama sangat beragam dengan Islam sebagai agama mayoritas, selain Kristen, Hindu, dan Budha. Demikian pula dari sisi bahasa, antara lain Melayu Bengkulu, 42 Rejang, Serawai, Pasemah, Kaur, Enggano, dan Bahasa Indonesia. Berdasarkan kondisi sosiologis di atas, maka terlihat masyarakat Bengkulu relatif heterogen yang menunjukkan sangat terbiasa dengan perbedaan. Meskipun demikian, menurut kajian FISIP Universitas Bengkulu, masyarakat Bengkulu yang masih terkonsentrasi di pedesaan memiliki latar belakang pendidikan dan ekonomi yang rendah. Kondisi tersebut membawa pengaruh terhadap pola pikir dan cara bersikap masyarakat khususnya yang terkait dengan 43 pemilukada. Masyarakat cenderung apatis, pragmatis, mudah lupa, dan mudah dipengaruhi dengan berbagai tawaran yang menggiurkan. Selain itu, masyarakat sudah tidak percaya bahwa siapapun yang akan terpilih akan membawa dampak positif bagi perbaikan kehidupan. Oleh karena itu salah satu calon berstatus tersangka tetap lolos verifikasi. Kemenangan incumbent ini menunjukkan bahwa hal tersebut tidak berpengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat, khususnya 44 di pedesaan. 2.
Penyelenggaraan Pemilukada Gubernur di Bengkulu
KPU Provinsi Bengkulu menyelenggarakan pemilukada tanggal 3 Juli 2010 yang meliputi pemilihan gubernur, pemilihan bupati dan wakil bupati di 7 kabupaten yaitu Kabupaten Kaur, Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Muko-Muko, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Bengkulu Selatan Dalam penyelenggaraan pemilukada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur terdapat pengajuan keberatan dari para pasangan calon yang merasa dirugikan. Terhadap adanya gugatan keberatan tersebut, diselesaikan melalui jalur hukum yakni Mahkamah Konstitusi yang digelar sejak tanggal 27 Juli dan berakhir pada tanggal 12 Agustus 2010. Dalam pelaksanaannya, semua pemilukada yang digelar serentak tersebut, hanya satu kabupaten yang menyelenggarakan pemilukada putaran II yaitu Kabupaten Kaur. Berdasarkan rapat pleno KPU Provinsi Bengkulu yang telah melakukan proses penelitian, diputuskan (dalam Berita Acara No. 516/BA/V/2010) terdapat 5 40
http://gogoleak.wordpress.com/2010/08/13/sejarah-propinsi-bengkulu/ (diakses tanggal 2 Desember 2010) 41 www.bengkulu.prov.go.id. (akses tanggal 1 Desember 2010). 42 Ibid. 43 Hasil wawancara dengan Dekan FISIP Universitas Bengkulu (UNIB), Drs Panji Suminar, MA, tanggal 10 November 2010 di Kampus FISIP UNIB. 44 Ibid. yang juga disampaikan oleh berbagai pihak lain yang menjadi informan penelitian seperti Ketua Panwaslu Provinsi Bengkulu, Drs. Sakroni, M.Pd tanggal 9 November 2010 di Kantor Panwaslu Bengkulu serta Wakil Ketua DPRD Provinsi Bengkulu, Ahmad Zarkasi, tanggal 10 November 2010 di Kantor DPRD Provinsi Bengkulu
10
(lima) pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Dari kelima pasangan tersebut, pasangan Imron Rosyadi dan Rosian Yudi Trivianto mendapat dukungan terbanyak dari partai politik (parpol). Terdapat 20 parpol yang mengusung pasangan ini, meliputi GOLKAR, PPRN, Partai Patriot, PIB, PPPI, PKPB, PPI, PNI Marhaenisme, PAKAR PANGAN, PDK, PPDI, REPUBLIKAN, PDS, PBB, PKDI, PKNU, PSI, PDP, dan PIS. Pasangan lainnya adalah Rosihan Arsyad dan Rudy Irawan yang diusung oleh 10 parpol. Dua pasangan lainnya, masing-masing pasangan Sudirman Ail dan Dani Hamdani serta pasangan Agusrin M. Najamudin dan Junaidi Hamsyah diusung oleh 2 parpol. Selain itu juga muncul calon perseorangan, yaitu pasangan Sudoto dan Ibrahim Saragih. Secara berurutan peserta pemilukada berdasarkan undian nomor urut yang ditetapkan dalam Rapat Pleno Terbuka KPU Provinsi Bengkulu (Berita Acara No. 517/BA/V/2010) adalah: 1. Agusrin M. Najamudin dan Junaidi Hamsyah; 2. Imron Rosyadi dan Rosian Yudi Trivianto; 3. Sudirman Ail dan Dani Hamdani; 4. Sudoto dan Ibrahim Saragih; dan 5. Rosihan Arsyad dan Rudy Irawan. Berdasarkan pemilukada gubernur dan wakil gubernur Provinsi Bengkulu tanggal 3 Juli 2010, KPU Provinsi Bengkulu menetapkan hasil perolehan suara sah pasangan calon dalam Rapat Pleno Terbuka sebagai berikut: Tabel 1 Hasil Pemilukada Provinsi Bengkulu Tahun 2010 No. Nama Pasangan Calon Perolehan % Urut Suara 1. Agusrin M. Najamudin - Junaidi 269.812 31,67% Hamsyah 2. Imron Rosyadi - Rosian Yudi 204.531 24,01% Trivianto 3. Sudirman Ail -. Dani Hamdani 176.139 20,67% 4. H. Sudoto - Ibrahim Saragih 78.529 9,22% 5. Rosihan Arsyad - Rudy Irawan 122.954 14,43% Sumber: Berita Acara No. 517/BA/V/2010 KPU Provinsi Bengkulu Tahapan berikutnya adalah penetapan calon terpilih berdasarkan beberapa pertimbangan hukum yaitu: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Bengkulu Tahun 2010, meliputi: a. No.Perkara 104/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 11 Agustus 2010; b. No.Perkara 105/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 11 Agustus 2010; c. No.Perkara 106/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 11 Agustus 2010; d. No. Perkara 107/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 11 Agustus 2010; 2. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bengkulu No. 74/Kpts/KPU-Prov007/2010 tentang Perolehan Suara Pemilukada dalam Pemilu Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Bengkulu Periode 2010-2015; 3. Berita Acara Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bengkulu No. 877/BA/VII/2010 tanggal 16 Agustus 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010; dan 4. Perolehan suara terbanyak pasangan calon telah melebihi 30%. Berdasarkan hal itu, ditetapkan Agusrin M. Najamudin dan Junaidi Hamsyah sebagai Pasangan Calon Terpilih Pemilukada dalam Pemilu Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Periode 2010-2015 sebagaimana Keputusan KPU Provinsi Bengkulu No. 76/Kpts/KPU-Prov-007/2010. Hasil penetapan ini kemudian pada tanggal 16 Agustus 2010 disampaikan kepada DPRD Provinsi Bengkulu beserta berkas lainnya untuk ditindaklanjuti pengesahan dan pelantikannya. 45 Dalam pandangan akademisi Universitas Bengkulu, penyelenggaraan pemilukada gubernur tahun 2010 ini tidak lebih baik karena tidak ada keterlibatan kampus. Bahkan kampus tidak diberi ruang sebagai pemantau atau pengawas 45
Wawancara dengan Dekan FISIP UNIB, op.cit.
11
independen, kecuali mahasiswa secara mandiri yang memiliki concern melakukan pemantauan. Tahun 2004 dan 2005 ada jaring monitoring karena tahun 2005 adalah sistem baru (pemilihan langsung), sehingga masih tinggi harapan masyarakat yang merasa bertanggung jawab karena masih dalam suasana euphoria demokrasi. Sebaliknya tahun 2010 masyarakat cenderung melemah karena hasil yang lalu di luar ekspektasi bahwa gubernur dipilih langsung tidak lebih baik. Tahun 2010 euphoria masyarakat tidak ada. Apalagi gubernur incumbent yang menjadi calon lagi memiliki kasus hukum. KPU cenderung tidak independen dan terkooptasi. Padahal KPU memiliki otoritas untuk menetapkan pasangan calon. Oleh karena itu metode rekrutmen anggota KPU provinsi yang 46 memberikan “jatah” kepada gubernur menjadi rentan kooptasi. Dalam pandangan yang berbeda, “Harian Rakyat Bengkulu” menilai bahwa secara umum pemilukada tahun 2010 di Bengkulu lebih baik prosesnya, tetapi secara substansi tidak ada kemajuan. Praktek money politics tetap marak dan bahkan semakin kuat meski sulit dibuktikan. Terjadi juga pemanfaatan aparat birokrasi dan penggunaan fasilitas. Birokrasi terseret ke arus politik sehingga dalam posisi yang dilematis serta terkesan membela dan seolah sebagai mesin politik (tim sukses) incumbent. Jika muncul kesan membela calon lain meski hanya karena ada hubungan kerabat, maka bisa “terbuang.” Oleh karena itu seharusnya incumbent mundur jika hendak maju kembali. Jika tidak, akan sulit melihat program pemerintah sebagai program pemerintah an sich karena berhimpitan sebagai alat kampanye dalam upaya meraih simpati masyarakat 47 seperti program kompor gas yang terkesan dipolitisasi incumbent. Aturan yang ada cenderung menguntungkan incumbent, sehingga muncul tuduhan KPU tidak cukup independen. Selain itu dalam hal anggaran yang sangat tergantung kepada pemda baik untuk KPU maupun panwas. Solusinya anggaran pemilukada dari APBN serta seleksi KPU tidak melibatkan gubernur. Dalam penilaian Panwas Pemilukada Bengkulu, penyelenggaraan pemilukada gubernur tahun 2010 mungkin secara umum bisa dikatakan lancar dengan indikator tidak adanya kerusuhan, semua berjalan sesuai tahapan, serta berlangsung satu putaran. Tetapi secara substansial masih terlihat terdapat sejumlah persoalan seperti instrumen, penyelenggara, dan peserta. Yang diawasi adalah tahapan, tetapi terasa kesan ada kondisi by design jalannya setiap 48 tahapan yakni “dilambat-lambatkan” serta terlambatnya pencairan anggaran. Atas hal itu perlu standar umum plafon penyelenggaraan pemilukada dengan melihat jumlah penduduk, jumlah desa, dan lain-lain. Hal itu guna membatasi besarnya anggaran pemilukada yang tidak seragam dan proporsional antar daerah serta adanya kepentingan dari incumbent yang hendak mencalonkan diri lagi. Fakta di lapangan banyak penyelenggara yang meilhatnya 49 sebagai “aji mumpung.” 3. Pandangan tentang Dipilihnya Gubernur oleh DPRD Terkait dengan munculnya gagasan dipilihnya gubernur oleh DPRD kembali banyak faktor yang melingkupinya bagi para stake holders dalam bersikap. Bagi Ketua DPRD Provinsi Bengkulu, Kurnia Hutama, pemilihan gubernur oleh DPRD memiliki banyak kelebihan dibanding pemilihan langsung. Secara tegas dinyatakan jika gubernur dipilih DPRD, maka akan muncul 50 anggapan sebagian masyarakat belum mencerminkan asas demokrasi. Sementara itu kelebihan dipilih oleh DPRD menurut Kurnia Hutama adalah: 1. Tidak membuat konflik di masyarakat karena pengetahuan masyarakat saat ini masih rendah tentang demokrasi; 2. Mengimplementasikan sila ke-4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan; 3. Mengurangi biaya dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur; 46
Ibid. Wawancara dengan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Bengkulu, Zacky Antony, tanggal 12 November 2010 di kantor Harian Rakyat Bengkulu. 48 Wawancara dengan Ketua Panwas Provinsi Bengkulu, op.cit. 49 Ibid. 50 Wawancara dengan ketua DPRD Provinsi Bengkulu, Kurnia Hutama, tanggal 2 November 2010 47
12
4. Mengurangi kemungkinan pemilihan ulang; dan 5. Relatif menghasilkan gubernur dengan kualitas lebih terukur, meski diakui bukan berarti pemilihan langsung tidak memiliki kualitas baik. Sementara jika pemilihan langsung, maka kelebihan pemilihan oleh 51 DPRD menjadi kelemahannya. Pendapat moderat disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD dari Fraksi PKS Ahmad Zarkasi, yang menyatakan bahwa secara umum pemilihan gubernur secara langsung adalah produk proses reformasi politik bangsa. Pemilihan langsung adalah sebuah pilihan yang dianggap lebih demokratis meskipun persoalan demokratis itu bukan terletak apakah kepala daerah dipilih langsung atau dipilih oleh DPRD. Pengalaman masa lalu prosesnya tidak demokratis (ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD). Padahal sesungguhnya pemilihan oleh DPRD cukup demokratis karena anggota DPRD 52 dipilih secara langsung dalam pemilu. Dengan melihat kondisi banyaknya parpol di DPRD, maka perlu dikaji secara mendalam dan tuntas terhadap gagasan pemilihan gubernur oleh DPRD kembali. Sebab permasalahan utamanya bukan pada sistem yang lebih demokratis, tetapi lebih kepada perilaku politik elit dan masyarakat yang masih memiliki pengetahuan politik rendah. Telihat sisi positif dan negatif dari kedua pilihan tersebut terutama dari aspek sejauh mana peluang setiap warga negara untuk dapat menjadi pimpinan daerah. Terdapat fakta jika dipilih oleh DPRD, ternyata mengebiri warga negara untuk ikut serta dalam pencalonan. Namun diakui Zarkasi kelemahan utama pemilihan langsung adalah pemborosan anggaran. Sementara tidak ada jaminan tidak akan ada money politic ketika dipilih oleh DPRD, sehingga bisa saja akan muncul satu kekuatan politik dominan yang didominasi parpol tertentu di DPRD. Eksesnya ketika kewenangan gubernur kuat, maka akan mempengaruhi proses politik di kabupaten/kota. Semua proses itu menjadi pengalaman berharga untuk mendisain model pemilihan gubernur yang terbaik. Diakui jika dipilih DPRD calon lebih terukur kualitasnya. Tetapi yang terpenting adalah sistem rekrutmennya. Semua itu terkait dengan pendidikan politik masyarakat. Jika pendidikan politik masyarakat semakin baik, maka bisa mempengaruhi terpilihnya pemimpin yang baik. Jika dipilih DPRD akan memunculkan tuduhan kepada partai besar untuk mengendalikan proses dari pencalonan hingga pemilihan dan kemudian dituduh tidak demokratis, sehingga sulit menentukan model pemilihan yang lebih baik. Dari semua tahapan yang ada, satu hal terpenting adalah mematangkan parpol sebagai wadah bagi rakyat menyalurkan aspirasinya. Jika sudah matang, masyarakat akan terpola dengan sendirinya karena saat ini tidak ada papol yang benar-benar memiliki ideologi atau visi dan misi yang kuat. Jika parpol belum matang, maka pemilihan gubernur secara langsung menjadi pilihan terbaik saat ini. Yang terjadi sekarang adalah kebijakan yang ada merupakan reaksi dalam melihat persoalan pemilihan gubernur secara langsung seperti hanya melihat besarnya potensi konflik horisontal dan pemborosan anggaran. Padahal akarnya bukan sekadar munculnya konflik horisontal dan besarnya anggaran penyelenggaraan. Fokus utama penataan penyelenggaraan pemilihan secara langsung adalah meminimalisasi munculnya konflik horisontal serta mengurangi inefisiensi anggaran. Menurut Hasyim Asy‟ari, Dosen Fakultas Hukum UNDIP Semarang yang juga konsultan Kemitraan untuk Tata Pemerintahan yang Baik, pemilihan gubernur oleh DPRD kembali secara yuridis tidak sesuai dengan konstitusi karena sistem presidensiil dan paham kedaulatan rakyat. Secara politik, gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat saat ini saja seringkali tidak dianggap atau dihargai keberadaannya oleh para bupati/walikota di wilayah provinsinya, apalagi jika kembali dipilih oleh DPRD. Selanjutnya jika melihat dari sisi otonomi daerah, maka kita tahu bahwa otonomi terletak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi ini menjadi pilihan Indonesia saat ini, sehingga pemilihan gubernur secara 53 langsung dinilai lebih demokratis. 51
Ibid. Wawancara dengan Wakil Ketua DPRD Provinsi Bengkulu, Ahmad Zarkasi, op.cit. 53 Pandangan Hasyim Asy‟ari kepada penulis ketika diskusi tentang Paket RUU bidang Politik (termasuk RUU Pemilukada) di Hotel Banana Inn, Bandung, yang diselenggarakan oleh Kemitraan dan IPC, tanggal 19 November 2010. 52
13
Penataan terhadap upaya meminimalisir potensi konflik horizontal di masyarakat dilakukan dengan berbagai cara terutama melalui sebuah disain pengaturan yang demokratis dalam peraturan perundang-undangan. Jika selama ini pemilukada identik dengan kentalnya politik etnisitas di suatu wilayah, maka ke depan harus diatur bahwa para bakal calon kepala daerah berasal dari seluruh warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan. Berdasarkan kajian Tim Politik Dalam Negeri Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (Tim PDN P3DI) Setjen DPR RI ditemukan fakta bahwa politik etnis sangat berpengaruh terhadap potensi munculnya konflik horizontal terutama di daerah yang relatif heterogen atau tidak dominan salah satu suku bangsanya. Ke depan harus dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak menjadi bakal calon dengan mengedepankan kualitas dan integritas yang diukur berdasarkan rekam 54 jejaknya serta integritasnya yang harus tercantum dalam undang-undang. Terhadap besarnya anggaran yang harus dikeluarkan oleh APBD harus dicarikan solusi yang komprehensif. Pengganggaran Pemilukada diatur dalam Pasal 114 ayat (5) UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Ayat tersebut menyebutkan pembiayaan Pemilukada wajib dianggarkan dalam APBD. Dalam praktek, pembiayaan Pemilukada melahirkan berbagai persoalan. Saat tahapan Pemilukada mulai berjalan, banyak daerah belum mengalokasikan anggaran penyelenggaraannya. Alasannya karena daerah tidak memiliki anggaran ekstra untuk membiayai Pemilukada dan banyak APBD yang belum ditetapkan pada saat tahapan Pemilukada telah berjalan. Pengadaan anggaran di daerah-daerah yang menyelenggarakan pemilukada sebagian besar dengan cara memperbesar dana sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA). Dari hasil penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap 19 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilukada tahun 2008, 16 daerah di antaranya ternyata telah menabung jauh hari sebelumnya dengan cara memperbesar SILPA minimal 3 tahun anggaran. Besarnya SILPA di satu sisi potensial merugikan, karena semakin tinggi SILPA maka semakin kecil realisasi anggaran. Padahal seharusnya dana SILPA tersebut bisa lebih dioptimalkan untuk memperbesar 55 program pelayanan publik. Menurut FITRA, SILPA rawan penyimpangan karena biasanya diendapkan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN). Titik rawan penyimpanganya adalah kurangnya transparansi dan lemahnya kontrol pencatatan perolehan keuntungan dari pengendapan dana SILPA. Hasil Penelitian FITRA, dalam kasus di Situbondo, perolehan keuntungan sebagian digelapkan untuk keuntungan pribadi Bupati sampai mencapai Rp 43,7 Miliar. Dari 19 daerah yang menyelenggarakan Pemilukada 2008, 3 daerah yang SILPA-nya paling tinggi adalah Kabupaten Wajo (Rp 189 Miliar), Kota Padang (Rp 56 134 Miliar) dan Kabupaten Pasuruan (Rp 130 Miliar). Fakta lain adalah besarnya dana bantuan sosial (Bansos) dalam APBD pada tahun pemilukada diselenggarakan yang sangat besar untuk dimanipulasi sebagai bagian dari kampanye salah satu calon. Dengan fakta tersebut, penganggaran pemilukada di APBD harus ditinjau ulang. Salah satu solusinya adalah penganggaran dibebankan kepada APBN sebagaimana dikemukakan oleh beberapa informan 57 penelitian di Bengkulu. B. Pembahasan Esensi dari sebuah proses demokrasi adalah bagaimana menjunjung tinggi martabat manusia yang kemudian melanjutkan pendidikan kewarganegaraan agar menjadikan manusia lebih beradab. Hal tersebut menjadi titik tolak bagi berlangsungnya sebuah tatanan demokratis di suatu wilayah 54
Berbagai Persolan Pemilukada, Kajian Tim Politik Dalam Negeri Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (Tim PDN P3DI) Setjen DPR RI, Jakarta, 2010, tidak dipublikasikan. 55 Temuan Setnas Forum Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang disampaikan dalam Forum Diskusi Terbatas dengan Tim Politik Dalam Negeri P3DI Setjen DPR RI. 56 Ibid. 57 Wakil Ketua DPRD Provinsi Bengkulu, Ahmad Zarkasi, Dekan FISIP UNIB, Panji Suminar, KPU Provinsi Bengkulu, Panwas Provinsi Bengkulu, dan pihak Kesbangpol Linmas Provinsi Bengkulu menyatakan bahwa anggaran pemilukada sebaiknya dibebankan kepada APBN. Alasannya agar tidak ada lagi politik anggaran terjadi di pemilukada oleh pihak tertentu.
14
negara. Oleh karena itu Lipson menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem politik yang mencari dan mengendalikan gerakan masyarakat mencapai 58 konsep peradabannya. Dalam konteks pemilihan gubernur, maka demokrasi harus bekerja dalam koridor penghargaan terhadap warga negara. Sebab hal itulah yang menjadi esensi dari sebuah pemerintahan yang demokratis. Diakui bahwa tatanan demokrasi tidak bisa lepas dari adanya persoalan yang menderanya. Demokrasi lebih diidentikkan dengan kondisi yang pluralis dalam suatu masyarakat dalam segala hal baik etnik, bahasa, pandangan politik, serta hal lain yang bersifat keyakinan dari masyarakat yang menjadi unsur sebuah wilayah. Oleh karena itu diperlukan kondisi yang mendekati ideal sebagaimana dikemukan Dahl bahwa proses demokrasi harus memberikan persamaan hak pilih dari setiap warga negara guna memberikan legitimasi kepada pemimpin dalam menentukan keputusan bagi publik. Selanjutnya partisipasi efektif dari warga negara adalah bagian dari proses menuju tatanan ideal demokrasi. Oleh karena itu menjadi sangat penting keterlibatan masyarakat dalam menentukan pemimpinnya melalui sebuah penyelenggaraan pemilihan langsung. Fakta di Bengkulu dan mungkin juga di daerah lain di Indonesia menunjukkan situasi yang tidak sepenuhnya dapat mencapai tatanan demokrasi ideal tersebut. Oleh karena itu sebuah demokrasi ideal memerlukan apa yang disebut dynamic process dari suatu masyarakat yang ada di sebuah wilayah, sehingga seperti yang tercantum dalam bagian kerangka konsep, Lively pun mengalami kesulitan untuk mendefinisikan demokrasi itu yang selalu dapat 59 dikaitkan dengan prinsip mayoritas dan pemerintahan oleh rakyat. Asumsi bahwa demokrasi adalah kekuasaan mayoritas kemudian mengalami benturan pemikiran dari para ahli politik. Sebagaimana pemikiran Locke dan Rousseau yang mengharuskan kebulatan suara pada saat dilakukannya social contract dalam mendirikan sebuah negara, tetapi kemudian yang berkuasa adalah kaum mayoritas. Hal inilah yang kemudian dipertanyakan apalagi terdapat 60 kecenderungan adanya diktator mayoritas dan/atau tirani mayoritas. Faktanya kemudian adalah munculnya kondisi yang menunjukkan bahwa pemerintahan oleh mayoritas adalah yang paling legitimate dan terdapat kecenderungan mangabaikan hak-hak kaum minoritas. Perdebatan berlanjut dan dibantah kembali oleh Dahl bahwa memang asumsi pemerintahan oleh mayoritas karena terpilih secara demokratis melalui sebuah pemilihan tidak sepenuhnya sempurna, tetapi kondisinya adalah kekuasaan mayoritas akan senantiasa diperlukan. Ketika pemilihan gubernur dilakukan secara langsung sebagaimana diatur undang-undang, maka yang perlu ditegaskan adalah bagaimana usaha memenuhi tatanan demokrasi ideal dengan segala persoalannya. Terdapat fakta bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dari sistem demokrasi. Oleh karena itu bagaimana mengarahkan keterlibatan rakyat yang efektif terutama dalam menentukan pemimpinnya yang juga melihat kondisi sosiologis masyakaratnya. Kasus di Provinsi Bengkulu dan mungkin provinsi lain di Indonesia adalah adanya persoalan yang terkait dengan tingkat pengetahuan politik masyarakat. Sebagaimana tergambar di atas masyarakat Bengkulu sebagian besar berada di pedesaan memiliki tingkat pemahaman yang rendah terhadap politik, sehingga pola memilih pemimpinnya-pun tidak melihat bagaimana program dan track record calon pemimpinnya, tetapi lebih pragmatis dan hanya melihat tawaran yang artifisial belaka, sehingga menurut Panji Suminar dari FISIP Universitas Bengkulu pemimpin yang terpilih pun adalah pemimpin yang memiliki masalah. Secara umum masyarakat melihat bahwa siapapun yang akan terpilih sama saja dan oleh karena itu siapa yang lebih “banyak” memberikan “sesuatu”, maka dialah yang akan dipilih. Dampaknya kemudian adalah muncul konflik horisontal sebagaimana yang sudah disampaikan pada bagian terdahulu. Fakta lain di Provinsi Bengkulu dan mungkin provinsi lain di Indonesia adalah adanya egoisme otonomi antara daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Keduanya menurut UU merupakan daerah otonom yang memiliki urusan pemerintahan yang otonom. Namun demikian persoalan muncul ketika 58
Leslie Lipson, The Democratic Civilization,.op.cit. Jack Lively, op.cit. hal. 8. 60 Leslie Lipson, op.cit, hal. 251. 59
15
posisi gubernur juga sebagai wakil Pemerintah di daerah, sehingga harus menjadi “atasan” guna melakukan koordinasi dengan kabupaten/kota yang dipimpin bupati/walikota yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Kondisi tersebut membawa kepada hubungan yang tidak harmonis antara gubernur dan bupati/walikota di provinsi tersebut. Melihat dua kondisi di atas, muncul pertanyaan apakah pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat masih relevan. Persoalan sesungguhnya bukan sekadar apakah masih relevan atau tidak. Terdapat kebutuhan yang lebih besar ke depan bagi masyarakat serta para elit dalam konteks pembangunan demokrasi lokal. Bahwa pemilihan langsung atau melalui DPRD adalah diakui dalam sistem demokrasi. Tetapi persoalannya terletak pada kedewasaan kita dalam berdemokrasi. Tidak ada jaminan ketika gubernur dipilih oleh DPRD akan menjadi lebih baik daripada dipilih langsung. Persoalan pada sistem pemilihan oleh DPRD sudah dirasakan sebelum tahun 2005. Money politics juga muncul dan bahkan masif. Selain itu masyarakat tidak bisa mengontrol apakah partai politik atau DPRD melakukannya tanpa ada deal-deal politik tertentu (politik dagang sapi). Apalagi ketika masa Orde Baru, pemilihan kepala daerah hanyalah seremonial dan simbolik karena sebelum pemilihan sudah diketahui siapa pemenangnya. Kelebihan dipilih DPRD, mungkin kader yang dicalonkan relatif lebih baik karena terseleksi oleh partai. Kelebihan lainnya adalah efisiensi anggaran dan efektif dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu solusi menghilangkan persoalan pada pemilihan gubernur secara langsung tidak sekadar mengembalikan mekanisme ke DPRD, tetapi harus membuat sebuah road map bagaimana pembangunan demokrasi lokal ke depan. Pemilihan gubernur secara demokratis harus dimaknai lebih dari sekadar bagaimana mekanismenya, tetapi harus mengarah kepada bagaimana menghasilkan pemimpin yang kredibel, akuntabel, tranparan, dan diakui secara absah (legitimate) oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Caranya bisa langsung seperti yang sekarang diimplementasikan atau melalui perwakilan rakyat yaitu lembaga perwakilan rakyat di daerah atau DPRD. Keduanya memiliki nilai demokrasi yang tinggi. Persoalannya adalah bagaimana menciptakan sebuah pemilihan gubernur yang memiliki makna demokratis baik dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui DPRD. Salah satu poin yang harus dilakukan adalah peningkatan kualitas para calon pemimpin yang diseleksi oleh lembaga partai politik yang sudah memiliki kultur politik tinggi pula. Artinya, peran partai politik dalam mencetak calon pemimpin adalah sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan saat ini. Penguatan kelembagaan partai politik di Indonesia masih belum mencapai sasaran yang ditandai dengan belum banyaknya para calon gubernur yang memiliki reputasi yang mumpuni. Faktanya banyak gubernur mengalami persoalan ketika sedang menjabat atau setelah menjabat. Banyaknya kasus korupsi merupakan bukti masih bermasalahnya para pemimpin lokal yang dipilih langsung oleh rakyat. Hal lain yang harus dilakukan adalah peningkatan pengetahuan politik masyarakat atau political enlightenment yang dilakukan oleh para elit politik dan/atau partai politik. Tanpa adanya pengetahuan politik yang baik dari masyarakat, akan sulit tercipta kesadaran politik yang tinggi khususnya dalam rangka memilih calon pemimpin yang amanah, kredibel, akuntabel, dan transparan. Kondisi ini mengarah kepada bagaimana meningkatkan budaya politik masyarakat dari yang hanya sekadar parokial dan subyektif menjadi budaya 61 politik partisipan. Jika suatu masyarakat sudah mencapai tingkat budaya politik yang partisipan yaitu masyarakat memiliki kesadaran penuh dalam menggunakan hak politiknya, maka akan terbentuk iklim pemilihan gubernur yang demokratis. Hal itu juga bisa meminimalisasi konflik horisontal. Berdasarkan hal di atas, pemaknaan pemilihan gubernur secara demokratis tidak hanya berdasarkan kepada demokrasi prosedural, tetapi juga harus melihat makna substansial dari sebuah proses demokrasi itu sendiri yakni yang yang memberikan hak politik rakyat secara nyata dalam kondisi yang sesuai dengan situasi sosiologis masyarakatnya. Pemaknaan pemilihan secara 61
Lihat Gabriel A. Almond and Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton: Princeton University Press, 1963.
16
demokratis di sini benar-benar memberikan tekanan kepada penghormatan bagi harkat dan martabat manusia sebagai zoon politicon. Demokrasi harus dimaknai sebagai proses yang dinamis yang tak kenal henti. Titik urgensinya adalah bagaimana mengimplementasikan nilai demokrasi itu secara fair dan transparan tanpa tekanan dan agitasi yang tidak sehat dari pihak-pihak tertentu, sehingga ekses negatif demokrasi bisa diminimalisasi. III. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan Gagasan pemilihan gubernur oleh DPRD kembali merupakan sebuah pilihan yang perlu dipertimbangkan, tetapi harus dilihat terlebih dahulu apa alasan yang mendasarinya. Secara konseptual pemilihan gubernur baik oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat merupakan mekanisme yang demokratis dan legitimate.Tuduhan pemilihan langsung oleh rakyat mengakibatkan konflik horizontal serta besarnya biaya atau anggaran pemilukada merupakan alasan yang tidak sepenuhnya tepat. Alasannya, pertama, aspek yuridis menunjukkan belum sepenuhnya mengatur tentang bagaimana seseorang dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur. Perlu diatur bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk menjadi calon gubernur dan wakil gubernur dengan syarat memiliki rekam jejak dalam pengelolaan sebuah organisasi berskala tertentu baik di swasta maupun pemerintahan. Hal ini sangat penting selain hanya melihat ijazah demi keberlangsungan organisasi pemerintahan provinsi itu sendiri yang juga berkedudukan sebagai wakil Pemerintah di daerah. Kedua, aspek sosiologis-politis yakni perlunya diberikan ruang yang cukup bagi masyarakat dalam menentukan calon pemimpinnya. Oleh karena itu menjadi tugas partai politik dalam melakukan rekrutmen sekaligus menawarkan calon yang memiliki kualitas dan integritas kepada masyarakat. Proses pelembagaan partai politik harus dilakukan saat ini melalui perubahan paradigma dalam kepengurusan partai politik bahwa partai politik adalah sarana perjuangan guna menyalurkan aspirasi rakyat termasuk menawarkan calon pemimpin yang baik. Kondisi sosiologis masyarakat Bengkulu (termasuk daerah lain) yang relatif belum baik dari sisi pengetahuan politiknya, menjadi sebuah persoalan tersendiri, sehingga memerlukan terobosan dalam meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat. Berdasarkan alasan di atas, maka pemilihan langsung masih lebih baik daripada oleh DPRD. Apalagi jika melihat alasan konstitusional juga masih memberikan landasan yang kuat dan bahkan secara sosiologis sesungguhnya masyarakat merasa lebih berdaulat. Tetapi dampak negatif yang timbul seperti yang disampaikan di atas bukanlah alasan yang harus diatasi dengan mengembalikannya kepada DPRD. Tidak ada jaminan pemilihan oleh DPRD akan menghilangkan money politics serta hilangnya konflik. Diakui bahwa kedua sistem tersebut merupakan sistem yang demokratis, namun yang harus dipikirkan adalah bagaimana menyelenggarakan pemilukada yang lebih efektif dan efisien dari sisi pembiayaan dan waktu penyelenggaraan. Salah satu upaya adalah pemilihan serentak dalam satu provinsi untuk semua tingkatan atau menyelenggarakan pemilu lokal dan nasional, sehingga hanya terdapat dua pemilu dalam lima tahun. B. Rekomendasi Beberapa rekomendasi terkait dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur adalah: Pertama, perlu dibentuk UU tentang Pemilukada sesegera mungkin melalui proses sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU terkait seperti UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU tentang Penyelenggara Pemilu, sehingga terbentuk pola dan mekanisme yang saling berkaitan. Kedua, dalam konteks pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, harus dimasukkan ke dalam pengaturan bahwa setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat berhak menjadi bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Ketiga, syarat utama yang perlu dimasukkan adalah seorang calon harus memiliki rekam jejak dalam dunia kepemimpinan baik
17
di pemerintahan dan/atau swasta serta memiliki integritas guna meminimalisasi munculnya “calon asal-asalan” seperti yang berasal dari proses kolusi keluarga incumbent yang menghasilkan dinasti politik lokal. Keempat, perlunya proses pelembagaan parpol dan menciptakan budaya politik yang partisipan guna proses demokrasi yang lebih matang. Dan kelima, terkait penganggaran pemilukada, maka perlu dipikirkan sumbernya berasal dari APBN guna menghindari politisasi APBD oleh incumbent yang hendak maju kembali dalam pencalonan.
18
DAFTAR PUSTAKA Buku: Andrew Haywood, Politics, 2nd Edition, Palgrave, New York, 2002. Gabriel Almond and Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton: Princeton University Press, 1963. Jack Lively, Democracy, Oxford: Basil Blackwell, 1974. Leslie Lipson, The Democratic Civilization, New York: Oxford University Press, 1964. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung, Penerbit Remadja Rosdakarya, 2004. Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: Rajawali Pers, 1985. Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Pengantar A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. Robert K. Yin, Studi Kasus Desain dan Metode, Alihbahasa M. Djauzi Madzakir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2009. Syamsuddin Haris (ed), Menggugat Pemillihan Umum Orde Baru, Yayasan Obor, Jakarta, 1998. S.H. Sarundajang, Pemerintahan Daerah Di Berbagai Negara, Tinjauan Khusus Pemerintahan Daerah di Indonesia: Perkembangan Kondisi dan Tantangan, Sinar Harapan, Jakarta, 2002. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Penerbit CV Alfabeta, 2005. Peraturan Perundang-Undangan, Dokumen, dan Putusan MK Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR RI, Jakarta, 2002. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 104-105-106-107/PHPU.D/VII/2010. Laporan KPU Provinsi Bengkulu tentang Penyelenggaraan Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2010. Website dan Surat Kabar “Muladi: Pilkada Gubernur Tidak Relevan dengan Otonomi Daerah”, dalam http://otda.bappenas.go.id, diakses 21 Oktober 2010. Pemilihan Umum Kepala Daerah Pilkada Provinsi Bengkulu 2010 |Terkini dalam http://berita-lampung.blogspot.com. diakses 21 Oktober 2010. “Pemilihan Umum Kepala Daerah Pilkada Provinsi Bengkulu 2010” dalam http://bintuhan.info/hasil-pemilukada-bengkulu-2010/, diakses 21 Oktober 2010. “MK Tolak Sengketa Pilkada Bengkulu” dalam http://bataviase.co.id, diakses 21 Oktober 2010. “Mendagri Ingatkan Sarundajang Soal Peran Ganda Gubernur”, dalam http://id.voi.co.id/berita-indonesia/politik, diakses 22 Oktober 2010. Muhammad Qodari, Ranjau-ranjau Pilkada, Suara Karya,8 Mei 2006 Makalah Bambang Widjojanto, Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Upaya Mendorong Proses Demokratisasi, Makalah Seminar Nasional tentang "Pemilihan langsung Kepala Daerah Kota/Kabupaten Sebagai Wujud Demokrasi
19
Lokal", yang diselenggarakan oleh ADEKSI di Hotel Inter-Continental MidPlaza, Jakarta, 21-22 Januari 2003. Saur Hutabarat, Mencari Pemimpin Masa Depan, Makalah Seminar Nasional tentang "Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota/Kabupaten Sebagai Wujud Demokrasi Lokal", diselenggarakan oleh ADEKSI di Hotel InterContinental MidPlaza, Jakarta, 21-22 Januari 2003.
20
GEJALA DEINDUSTRIALISASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Rasbin
*)
Abstract The phenomenon of deindustrialization in Indonesia can be seen today through several indicators such as the weakening absorption of employment in industrial sector in comparison to primary and service sectors, the decreasing contribution of manufacture sector to national economic growth, the lessening numbers of companies in industrial sectors, and further decreasing of competitive advantage of export commodities in international market, as at the same time the country is more secluded from regional and global networks of manufacture products. Some factors caused the deindustrialization phenomenon are bad infrastructure condition, the lack of energy supply, huge supply of import materials, the lack of loan and many disincentives in industrial sectors, and worsening performance of exports commodities. Keywords: deindustrialization, national economy Abstrak Gejala deindustrialisasi di Indonesia dapat dilihat dari beberapa indikator seperti tingkat penyerapan tenaga kerja ke sektor industri mengalami penurunan dibandingkan serapan tenaga kerja sektor lain seperti sektor primer dan jasa, menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri, kecenderungan penurunan daya saing produksi barang dalam negeri di pasar internasional dan Indonesia kian tersingkir dari jaringan produksi manufaktur regional dan global. Faktor-faktor yang menyebabkan deindustrialisasi meliputi buruknya kualitas infrastruktur, kurangnya jaminan pasokan energi, tingginya pasokan bahan baku impor, turunnya kredit industri, kebijakan-kebijakan kurang
*)
Penulis adalah Kandidat Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail :
[email protected].
1
mendukung sektor industri, dan buruknya kinerja ekspor manufaktur. Kata Kunci: deindustrialisasi, ekonomi nasional I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mencapai rekor tertinggi yakni 3.757 poin. Hal ini menandakan semakin banyaknya investor menanamkan modalnya di Indonesia baik investor asing maupun domestik. Besarnya investasi yang ditanamkan di Indonesia merupakan modal untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional, baik melalui sektor industri maupun sektor-sektor lainnya. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya sekitar 5,8% pada triwulan III-2010. Pertanyaannya, ke manakah investasi yang masuk ke Indonesia tersebut? Diduga, investasi yang masuk ke Indonesia tersebut hanya ke sektor primer saja, yakni sektor pertambangan, yang sebagian besar hasilnya diekspor dalam bentuk bahan mentah tanpa ada nilai tambah di dalam negeri. Ini bertolak belakang dengan dana yang diinvestasikan ke sektor manufaktur yang kurang dari 14%. Dana asing yang masuk ke portofolio juga 1 lebih besar diarahkan pada sektor pertambangan. Kondisi ini diperparah dengan kredit perbankan ke sektor manufaktur, yakni sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, yang hanya sekitar 16% saja, turun tajam dibandingkan pada era Orde Baru yang mencapai 40%. Perbankan sejak krisis keuangan 1997/1998 memang mendapat sorotan. Sikap kehati-hatian membuat bank selektif memilih sektor yang menjadi target kredit. Sebaliknya, kredit perbankan ke sektor konsumsi kian deras. Akibatnya sektor manufaktur harus berpikir keras untuk memperoleh dana murah dari masyarakat, misalnya melalui initial public offering (IPO) atau surat 2 utang (bond), sehingga dapat dikatakan awal terjadinya deindustrialisasi mulai tampak di Indonesia. Selama ini perekonomian Indonesia sebagian besar ditopang oleh industri manufaktur, yang merupakan prime mover Produk Domestik Bruto (PDB) dan ekspor nonmigas Indonesia, tetapi kini bergeser ke sektor jasa, terutama jasa modern yang kurang menyerap tenaga kerja. Akibatnya, jumlah pengangguran di negeri ini semakin besar. Pada tahun 2007 industri manufaktur tumbuh hingga mencapai 4,7% kemudian melambat menjadi 2,1% pada tahun 2009. Sementara 1
“Madu atau Racun Cadangan Devisa”, Kompas, 24 Desember 2010. Ibid.
2
2
itu, industri manufaktur nonmigas pada tahun 2007 tumbuh sekitar 3 5,1% kemudian sekarang melambat menjadi 2,5%. Sampai awal 2008, Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin) bahkan mencatat, industri hanya tumbuh sekitar 5,69%, melambat hampir 2% sejak 2004. Pertumbuhan industri terendah terjadi pada industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki yang pertumbuhannya semakin memprihatinkan dari minus 3,68% menjadi minus 7,10%. Dua sektor lainnya yakni industri barang lainnya dari minus 2,82% pada akhir 2007 menjadi minus 6,88%, serta industri barang kayu dan hasil hutan yakni minus 0,06%, meski masih lebih baik dibanding 4 tahun sebelumnya minus 1,74%. Pertumbuhan industri manufaktur sejak krisis 1998 turun begitu drastis. Industri manufaktur nonmigas selama 1987-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 12% per tahunnya, lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Antara tahun 2000-2008, industri manufaktur hanya tumbuh rata-rata 5,7% per tahun, sedikit lebih 5 tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2%). Pertumbuhan sektor manufaktur semakin terpuruk ketika krisis ekonomi global 2008 melanda dunia. Industri manufaktur yang tumbuh hingga 4,7% tahun 2007 melambat menjadi 2,1% tahun 2009. Industri manufaktur 6 nonmigas yang tumbuh 5,1% tahun 2007 melambat menjadi 2,5%. Pertumbuhan sektor manufaktur kuartal I 2011 ditaksir kurang dari 5% atau di bawah target tahunan pemerintah tahun 2011 yang mencapai 7 6,1%. Fakta yang ada tersebut semakin menguatkan anggapan perekonomian Indonesia bergerak menuju era deindustrialisasi dimana ancaman deindustrialisasi tersebut semakin lancar bergerak dengan ditandai oleh semakin banyaknya perusahaan yang dianggap bagian dari kelompok sunset industry terpaksa gulung tikar akibat kombinasi faktor eksternal dan internal. Seperti kenaikan harga BBM yang dilakukan beberapa kali pada Mei 2008, pasokan listrik, dan beberapa gejolak eksternal lainnya.
B.
Permasalahan
Gejala deindustrialisasi yang mulai terjadi di Indonesia sudah dirasakan dampaknya baik oleh pemerintah, pelaku usaha maupun 3
“Deindustrialisasi Bukan Hal Mustahil”, Kompas, 6 Desember 2010. “Deindustrialsasi di Depan Mata”, http://www.inilah.com/read/detail/46876/deindustrialisasi-di-depan-mata/; diakses 20 Januari 2011. 5 Mudrajad Kuncoro, 2009, Stop Deindustrialisasi, www.mudrajad.com; diakses 3 Maret 2011. 6 “Deindustrialisasi Bukan Hal Mustahil”, op.cit. 7 Rudi Ariffianto, “Pertumbuhan Manufaktur di Bawah Target”, Bisnis Indonesia, 14 April 2011. 4
3
sektor tenaga kerja. Tidak sedikit pelaku usaha yang gulung tikar atau pindah profesi dari yang tadinya sebagai produsen menjadi pedagang. Sektor tenaga kerja juga tidak luput dari fenomena deindustrialisasi ini. Dampak akhir dari kondisi ini jika terus berlanjut adalah turunnya kontribusi sektor industri terhadap PDB. Dengan gambaran seperti itu, permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah deindustrialisasi telah terjadi di Indonesia dan apa pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan permasalahanpermasalahan tersebut, tulisan ini akan dibagi dalam 3 bahasan yaitu: 1. Indikator-indikator apa yang dapat digunakan untuk menetapkan bahwa fenomena deindustrialisasi telah terjadi di Indonesia. 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia, dan 3. Dampak-dampak yang diakibatkan oleh deindustrialisasi terhadap perekonomian Indonesia.
C.
Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan mengidentifikasi gejala-gejala terjadinya deindustrialisasi di Indonesia yang bisa diketahui dari suatu indikator tertentu dan juga dampaknya terhadap perekonomian nasional. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Anggota DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang industri. II.
Kerangka Pemikiran
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa deindustrialisasi merupakan sebuah proses dinamis yang terkait dengan tren menurunnya kinerja manufaktur dan tingkat penyerapan tenaga kerja di industri dalam kurun waktu tertentu. Ada juga yang menyatakan bahwa deindustrialisasi merupakan suatu fenomena dimana share tenaga kerja di sektor manufaktur mengalami penurunan secara 8 kontinu untuk waktu lebih dari dua dekade dalam ekonomi maju. Konsep terbaik tentang deindustrialisasi adalah apa yang disebut sebagai “Cambridge View” yang identik dengan pendapat Singh (1977) yang menyatakan bahwa deindustrialisasi merupakan keadaan patologis ketika suatu ekonomi berhenti dari yang mampu mencapai
8
Robert Rowthorn dan Ramana Ramaswamy, Growth, Trade, and Deindustrialization, IMF Staff Papers, Vol. 46, No. 1, Maret 1999, hal. 18.
4
tingkat pertumbuhan potensial penuh, tenaga kerja, dan pemanfaatan 9 sumber daya. Deindustrialisasi dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu deindustrialisasi positif, deindustrialisasi negatif, dan deindustrialisasi yang disebabkan oleh perubahan dalam struktur perdagangan luar 10 negeri. Deindustrialisasi positif hanya terjadi di negara-negara yang sangat maju, dan tidak dapat diobservasi di negara-negara kurang maju, di mana dinamisnya industri secara normal disertai dengan peningkatan share manufaktur dalam total tenaga kerja. Deindustrialisasi negatif terjadi ketika industri dalam kesulitan yang parah dan kinerja perekonomian secara umum adalah miskin. Di bawah keadaan ini, tenaga kerja pindah dari sektor manufaktur, karena jatuhnya output atau produktivitas yang tinggi, tidak akan diserap ke dalam sektor jasa. Pengangguran akan meningkat. Jadi, deindustrialisasi negatif berkaitan dengan pendapatan riil yang stagnan dan pengangguran yang meningkat. Deindustrialisasi yang disebabkan oleh perubahan dalam struktur perdagangan luar negeri, terjadi ketika pola ekspor bersih bergerak menjauh dari sektor manufaktur terhadap barang dan jasa lainnya. Hal ini akan menyebabkan perpindahan tenaga kerja sumber daya dari sektor manufaktur ke sektor lainnya sehingga terjadi penurunan share manufaktur dalam total tenaga kerja. Sebagian besar tenaga kerja di negara maju bekerja baik di sektor manufaktur maupun jasa, dimana evolusi share tenaga kerjanya tergantung pada tren output dan produktivitas pada kedua sektor ini. Dalam ekonomi maju, produktivitas tenaga kerja biasanya tumbuh lebih cepat di bidang manufaktur daripada sektor jasa, sedangkan pertumbuhan output sudah hampir sama di setiap sektor. Dengan demikian, mengingat kemiripan tren output dalam dua sektor ini, tertinggalnya produktivitas di sektor jasa mengakibatkan peningkatan penyerapan tenaga kerja, sedangkan pertumbuhan produktivitas yang cepat di bidang manufaktur menyebabkan share tenaga kerjanya berkurang. Studi kasus tentang deindustrialisasi di negara-negara berkembang dilakukan oleh Choi (2005). Studi yang dilakukan oleh Choi meneliti tentang efek deindustrialisasi dan kesejahteraan dari bantuan infrastruktur di negara-negara berkembang. Dalam jangka pendek, cost-saving bantuan infrastruktur di sektor ekspor meningkatkan tingkat upah domestik, sedangkan bantuan yang sama di sektor impor akan menurunkan tingkat upah domestik. Biaya 9
Sukti Dasgupta dan Ajit Singh, Manufacturing, Services and Premature DeIndustrialisation in Developing Countries : A Kaldorian Empirical Analysis, Centre for Business Research (CBR), University of Cambridge, WP. No. 327, Juni 2006. 10 R.E.Rowthorn dan J.R.Wells, De-Industrialization and Foreign Trade, New York : Cambridge University Press, 1987.
5
barang nontraded meningkat apakah sektor ekspor atau impor menerima bantuan infrastruktur. Bantuan infrastruktur di sektor nontraded tidak mempengaruhi harga-harga faktor-faktor domestik. Bantuan infrastruktur labor-saving menyebabkan ekspansi sektor ekspor, sementara bantuan infrastruktur capital-saving menghasilkan efek Dutch disease di sektor ekspor. Jika bantuan di bawah tingkat optimal, bantuan infrastruktur meningkatkan pendapatan konsumen 11 dan kesejahteraan. Studi yang dilakukan di Indonesia tentang deindustrialisasi 12 oleh Suwarman (2006) . Studi yang dilakukan oleh Suwarman bertujuan untuk menginvestigasi variabel-variabel yang signifikan mempengaruhi kontribusi sektor industri manufaktur dalam perekonomian Indonesia. Melalui analisis perilaku variabel-variabel yang signifikan tersebut dapat diidentifikasi faktor-faktor apakah yang secara signifikan mendorong terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Hasil studi ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum mencapai tahap perekonomian sangat maju, yang dicirikan dengan belum tercapainya suatu tingkat pendapatan per kapita titik balik (turning point) yang menyebabkan peningkatan pendapatan per kapita selanjutnya justru akan menurunkan kontribusi sektor industri manufaktur dalam PDB. Proses deindustrialisasi di Indonesia beberapa tahun terakhir bukanlah dampak alamiah dari keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia, melainkan lebih disebabkan oleh berbagai goncangan (shock) terhadap sistem perekonomian. III.
Pembahasan A.
Gejala Deindustrialisasi
Terjadinya gejala deindustrialisasi di Indonesia ditandai 13 dengan melemahnya daya saing sektor industri Indonesia. Secara mikro, gejalanya diawali dengan adanya kenaikan biaya produksi yang lebih besar dibanding dengan kenaikan harga jual produk di pasar. Kenaikan biaya produksi tersebut disebabkan oleh naiknya harga bahan-bahan baku, energi, dan sebagainya. Kenaikan biaya produksi yang tidak dapat ditransmisikan pada kenaikan harga pasar itu pada gilirannya menyebabkan kerugian di sektor industri. Jika 11
E.K.Choi, Infrastruktur Aid, Deindustrialization and Welfare, IMF Working Papers, WP/05/150, Juli 2005. 12 Wawan Suwarman, Faktor-faktor Apakah yang Mendorong Terjadinya Proses Deindustrialisasi di Indonesia?, Tesis, Program Studi Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. 13 Denasionalisasi Ekonomi, dalam A. Prasetyantoko, Krisis Finansial dalam Perangkap Ekonomi Neoliberal, Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2009.
6
kerugian sektor industri terjadi secara terus menerus dan tidak bisa 14 dicegah, kebangkrutan sektor industri tak dapat dielakkan lagi. Hal itu tampak dalam keruntuhan sektor produksi manufaktur yang berbasis padat karya, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), 15 alas kaki, elektronik, dan mebel. 16 Sejak Januari 2006 indeks harga riil produk industri secara umum memperlihatkan tren menurun. Dengan kata lain, sejak periode tersebut tren peningkatan harga-harga produk industri relatif lebih rendah dibandingkan tren peningkatan harga-harga produk nonindustri (lihat Gambar 1). Bila mengacu pada teori elastisitas harga (price elasticity of substitution) antara produk industri dan non-industri, semestinya sejak Januari 2006 tersebut permintaan terhadap produk 17 industri akan meningkat. Dengan kata lain, sejak periode tersebut seharusnya kontribusi sektor industri dalam PDB kembali meningkat. Peningkatan kontribusi sektor industri terhadap PDB seharusnya meningkat ketika tren peningkatan harga-harga produk industri relatif lebih rendah dibandingkan tren peningkatan hargaharga produk non-industri dan juga peningkatan daya beli masyarakat dimana indikator daya beli masyarakat yang digunakan adalah PDB per kapita. Berdasarkan laporan BPS, pendapatan per kapita (PDB per kapita) Indonesia mengalami peningkatan (lihat Gambar 2), artinya periode 2000 – 2009 terjadinya peningkatan daya beli masyarakat. Namun peningkatan PDB per kapita tersebut ternyata tidak serta merta diikuti oleh tren peningkatan kontribusi sektor industri khususnya manufaktur dalam PDB. Padahal, seharusnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, peran (share) industri khususnya sektor industri manufaktur dalam PDB akan terus 18 meningkat. Dilihat dari gejala-gejala yang terjadi di Indonesia, saat ini perekonomian nasional mulai bergerak ke arah deindustrialisasi. Indikator pertama, gejala yang bisa diindikasikan terjadinya deindustrialisasi adalah tingkat penyerapan tenaga kerja ke sektor industri khususnya sektor manufaktur makin menurun dibandingkan serapan tenaga kerja sektor lain seperti pertanian, pertambangan dan jasa. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), porsi tenaga kerja yang bekerja di bidang industri manufaktur hanya sekitar 12,78% dari total tenaga kerja aktif. Porsi ini masih lebih rendah 14
Fahmy Radhi, op.cit. Denasionalisasi Ekonomi, op.cit. 16 Rasio indeks harga produk industri terhadap indeks harga umum sebagai proksi terhadap elastisitas substitusi harga antara produk industri terhadap produk nonindustri. 17 Robert Rowthorn and Ramana Ramaswamy, Growth, Trade and Deindustrialization,op.cit. 18 Hollis Chenery dan Moises Syrquin, Patterns of Development, 1950 – 1970, Oxford University Press, 1975. 15
7
dibandingkan porsi tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebesar 38,35%, sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel sebesar 20,79%, dan sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan 19 sebesar 14,75%. Gejala deindustrialisasi seperti ini merupakan sebuah konsekuensi dari proses pembangunan dimana peran dominan sektor manufaktur pada suatu wilayah digantikan oleh sektor jasa. Fenomena deindustrialisasi seperti ini biasa disebut dengan 20 deindustrialisasi positif.
Sumber : BPS (diolah), 2006-2011
Sumber : BPS (diolah), 2000-2009
Indikator kedua sebagai indikasi deindustrialisasi terlihat dari menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor jasa memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat 21 dibandingkan sektor manufaktur ataupun PDB. Tidak hanya di negara-negara maju, di negara berkembang seperti Indonesia, dikenal masyarakat yang disebut post-industrial sehingga membuat paradigma perekonomian modern cenderung beralih dari sektor industri ke sektor jasa. Konsekuensinya menyebabkan kontribusi 22 umum sektor jasa dalam PDB meningkat secara drastis. Indikator ketiga terlihat dari penurunan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri, terutama industri manufaktur. Penurunan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri akan berakibat pada penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB juga berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Pada akhir 2010, data industri besar dan menengah menunjukkan bahwa lebih 19
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2010, Badan Pusat Statistik (BPS), data diolah. 20 R.E.Rowthorn dan J.R.Wells, op.cit 21 Sukti Dasgupta dan Ajit Singh, op.cit. 22 Hery S.J.N. Sriwiyanto, Fenomena Deindustrialisasi dan Formulasi Industri Indonesia, Makalah yang dipresentasikan dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, 8 – 9 Desember 2004, di Hotel Nikko Jakarta.
8
banyak perusahaan yang keluar (exit) daripada yang masuk (entry), sehingga menghasilkan net entry yang negatif. Juga terjadi penurunan kapasitas produksi dari perusahaan-perusahaan yang 23 masih tetap bertahan. Indikator keempat, kecenderungan penurunan daya saing produksi barang dalam negeri di pasar internasional. Berdasarkan World Competitiveness Yearbook (WCY) yang diterbitkan oleh International Institute for Management Development, setelah krisis tahun 1998 daya saing Indonesia hampir selalu berada pada urutan kedua terendah. Peningkatan pesat dari urutan ke-54 tahun 2007 menjadi urutan ke-42 tahun 2009 lebih disebabkan oleh krisis global yang banyak membenamkan negara-negara pesaing kita. Namun, mereka segera pulih sejalan dengan pemulihan ekonomi global yang lebih cepat dari perkiraan semula, mengingat fondasi mereka lebih baik dari Indonesia, sehingga posisi Indonesia kembali 24 terancam. Pada tahun 2010 peringkat daya saing Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yakni berada pada urutan ke-35 dengan skor 60,745 dari skor 100. Peringkat Indonesia tersebut dalam ASEAN 5 (yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan 25 Filipina) sedikit lebih baik dibandingkan Filipina (39). Indikator kelima, Indonesia kian tersingkir dari jaringan produksi manufaktur regional dan global. Hal ini terlihat dari porsi parts and components yang sangat kecil di dalam ekspor Indonesia, yakni hanya belasan persen saja. Bandingkan dengan Malaysia dan Filipina yang masing-masing di atas 40% dan 60%. Struktur industri yang lemah membuat daya tarik kita bagi FDI (foreign direct investment) relatif sangat rendah. Padahal, peranan FDI terbukti sangat vital dalam percepatan industrialisasi. Adalah peranan FDI ini pula yang membuat perekonomian Cina sangat dinamis. Terbukti dari lebih separuh ekspor Cina berasal dari perusahaan-perusahaan 26 asing. B. Faktor-faktor Penyebab Deindustrialisasi Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI), Darmin Nasution, indikasi deindustrialisasi di Indonesia terlihat dengan terjadinya 27 gejala-gejala yang mengarah ke kondisi tersebut, dimana proses deindustrialisasi di Indonesia beberapa tahun terakhir bukanlah 23
Faisal Basri, 2009, Deindustrialisasi Betul-Betul Serius!, www.kompasiana.com; diakses 2 Maret 2011. 24 Faisal Basri, 2009, op.cit. 25 World Competitiveness Yearbook Tahun 2010, www.imd.org; diakses 4 Maret 2011. 26 Faisal Basri, 2009, op.cit. 27 Andina Meryani, 2010, Buruknya Infrastruktur Picu Deindustrialisasi, http://economy.okezone.com; diakses 2 Maret 2011.
9
dampak alamiah dari keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia, melainkan lebih disebabkan oleh sejumlah goncangan (shock) 28 terhadap sistem perekonomian. Terjadinya deindustrialisasi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dan eksternal 29 maupun kombinasi keduanya. 1. Buruknya Infrastruktur Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital. Dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap biaya produksi. Infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara merupakan sarana untuk memperlancar proses transportasi bahan-bahan baku produksi dan memasarkan produk yang dihasilkan. Biaya transportasi tersebut merupakan salah satu biaya yang termasuk dalam biaya produksi. Semakin bagus kualitas infrastuktur maka biaya transportasinya menjadi murah begitu juga dengan biaya produksi, juga sebaliknya. Infrastruktur di Indonesia tidak bertambah dalam jumlah maupun kualitas secara signifikan. Rendahnya kualitas infrastruktur Indonesia merupakan kendala klasik dari dulu hingga sekarang. Indikator kualitas infrastruktur di Indonesia yang masih rendah dan bisa dibilang buruk dapat dilihat dari indeks Global Competitiveness Index (GCI). Berdasarkan indeks GCI ini, kualitas infrastruktur Indonesia masih rendah dengan nilai skor yang rendah. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain terutama dalam ASEAN, infrastruktur Indonesia merupakan yang paling rendah peringkatnya dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina yang merupakan negara-negara ASEAN yang memang masih di bawah Indonesia. Kondisi jalan di Indonesia masih sedikit lebih bagus dibandingkan India dan Filipina. Infrastruktur dinilai menjadi bottle neck untuk mendorong dunia usaha. Buruknya kualitas infrastruktur menyebabkan biaya logistik menjadi tinggi sehingga biaya produksi di Indonesia menjadi tinggi. Setidaknya ada pemborosan Rp 37 triliun dari sisi biaya angkutan akibat buruknya infrastruktur yang berimplikasi pada naiknya biaya 30 produksi dan harga barang. Biaya logistik di Indonesia mencapai 31 30% dari total nilai PDB nasional. Menurut Wakil Ketua Umum 28
Wawan Suwarman, op.cit. Sachs dan Schatz (1994), Wood (1994 dan 1995), dan Saeger (1996). “Editorial : Tragedi Infrastruktur”, Media Indonesia, 7 April 2011. 31 “Ketimpangan Alur Distribusi Turunkan Nilai Kompetitif”, Kompas, 15 Januari 2010. 29 30
10
Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik pada Kadin Indonesia, Natsir Mansyur, biaya logistik di Indonesia masih sangat tinggi, berkisar 15% sampai 30% dari biaya produksi. Sementara Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Sumber Daya Industri dan Teknologi, Sakri Widhianto, rasio biaya logistik terhadap nilai tambah produk Indonesia masih sekitar 61%. Rasio biaya logistik dan nilai tambah produk di Indonesia masih lebih besar dibandingkan negara-negara 32 lain seperti Thailand sebesar 25% dan Korea Selatan sebesar 16%. Hal ini yang membuat nilai kompetitif Indonesia dalam perdagangan dunia sangat rendah sehingga produk-produk Indonesia sulit bersaing dengan produk-produk negara lain. Akibatnya produk-produk yang dihasilkan kurang kompetitif dan kalah bersaing dengan produkproduk luar negeri. Oleh karena itu, salah satu faktor pemicu penyebab terjadinya deindustrialisasi di Indonesia adalah masih buruknya kualitas infrastruktur Indonesia. 2. Kurangnya Jaminan Pasokan Energi Ketersediaan energi yang cukup menjadi syarat mutlak bagi perkembangan sebuah negara. Tanpa adanya pasokan energi yang memadai tentunya dapat membuat terhambatnya proses pembangunan suatu negara. a. Kebijakan Pemerintah Menaikkan Harga BBM Bagi dunia usaha kenaikan harga BBM akan secara langsung dan tidak langsung meningkatkan biaya produksi, yang pada gilirannya menaikkan harga jual produk. Kebijakan kenaikan harga BBM pada Maret 2005 menyebabkan kenaikkan biaya produksi secara signifikan di sektor industri, terutama industri yang banyak menggunakan bahan baku BBM. Hal ini karena tingginya tingkat ketergantungan industri pada BBM. Kenaikan biaya produksi yang tidak diikuti oleh kenaikan harga pasar menyebabkan banyak industri yang menghentikan operasinya karena kondisi seperti ini menyebabkan kerugian. Melemahnya daya tahan perusahaan industri manufaktur menyebabkan perusahaan industri manufaktur terdorong untuk keluar dari pasar. Bila pada tahun 2004 sektor manufaktur masih tumbuh 7,2% maka pada tahun 2007 hanya tumbuh sebesar 5,1%. Ini terjadi karena industri ditekan dari dua sisi yakni peningkatan biaya produksi, juga merosotnya demand akibat 33 menurunnya daya beli masyarakat. Jadi, dampak dari kenaikan harga BBM ini adalah mendorong percepatan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. 32
“Daya Saing Produk Terbebani Biaya Logistik”, Neraca, 11 Februari 2011. “Kenaikan Harga BBM : Kebijakan Panik dan Tidak http://teguhtimur.com/2008/05/09; diakses 10 Maret 2011. 33
11
Adil”,
b. Kurangnya Pasokan Listrik dan Kebijakan Pemerintah Menaikkan Tarif Dasar Listrik Masalah yang masih sering dihadapi kalangan industri dalam produksinya selain kenaikan harga BBM adalah kurangnya pasokan listrik dan kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Perkembangan sektor listrik memiliki dampak yang besar terhadap perekonomian karena keterkaitannya yang erat dengan aktivitas produksi sektor-sektor lain dalam perekonomian, terutama sektor pertambangan dan industri. Ketergantungan industri terhadap listrik dalam produksinya di Indonesia tergolong sangat tinggi. Akibatnya apabila pasokan listrik berkurang, tingkat produksi mengalami penurunan. Selain tingkat produksinya menjadi turun, tingkat efisiensinya menjadi turun. Listrik yang didistribusikan kepada sektor industri sejak tahun 2006 mengalami penurunan dibandingkan sektor rumah tangga, Pertumbuhan distribusi listrik ke sektor industri sejak tahun 2005 terus mengalami penurunan, bahkan tahun 2009 34 pertumbuhannya sebesar minus 3,68%. Selain pasokan listrik yang kurang, kendala lainnya berkaitan dengan listrik adalah naiknya TDL untuk industri yakni rata-rata sekitar 35 10% mulai 1 Juli 2010. Menaikkan TDL akan semakin memperburuk sektor industri di dalam negeri. Naiknya TDL akan memberikan dampak ekonomi bagi kalangan usaha dan industri. Bagi pelaku usaha, kenaikan TDL dirasa akan memberatkan karena menambah beban produksi. Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, kenaikan TDL 10% akan menurunkan konsumsi listrik sektor industri sebesar 6,7% dan sekaligus penurunan permintaan tenaga kerja 1,17%. Penurunan permintaan konsumsi listrik merupakan upaya efisiensi yang dilakukan industri akibat 36 kenaikan TDL. Konsumsi listrik yang turun akan mengakibatkan tingkat produksi industri turun. c. Ketersedian Gas yang Minim untuk Industri Koordinator Forum Komunikasi Asosiasi Industri, Franky Sibarani, menilai selama ini pemerintah tidak memiliki keseriusan menanggulangi kebutuhan gas domestik untuk sektor industri. Pemerintah dinilai lebih mengutamakan peningkatan ekspor gas ke luar negeri. Menurut Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), lebih dari 50% gas Indonesia mengalir ke pasar ekspor. Sedangkan 34
Publikasi BPS (data diolah), www.bps.go.id; diakses 20 April 2011. “Waspadai Lonjakan Pengangguran Akibat Kenaikan TDL”, www.republika.co.id; diakses 7 April 2011. 36 “Waspadai Lonjakan Pengangguran Akibat Kenaikan TDL” op.cit. 35
12
total kebutuhan gas nasional dalam negeri tahun 2010 mencapai 37 2.900 standar metrik kaki kubik per hari (MMSCFD), dan kebutuhan gas untuk industri hilir mencapai 1.500 MMSCFD, tetapi komitmen pasokan gas hanya sepertiga dari total kebutuhan itu. Padahal tiap 38 tahun pertumbuhan pemakaian gas untuk industri mencapai 20%. Menurut Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) (Persero) Tbk. Hendi P Santoso, pasokan gas untuk konsumen PGN mencapai 39 900 juta MMSCFD. 3. Tingginya Pasokan Bahan Baku Impor Bahan baku merupakan salah satu unsur pokok industri sehingga dari bahan baku tersebut melalui proses tertentu dihasilkan suatu produk. Bahan baku yang digunakan oleh industri ada yang berasal dari dalam negeri, ada juga yang berasal dari impor luar negeri. Industri manufaktur domestik selama ini masih kental dengan muatan impor (import content). Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi impor juga meningkat cukup signifikan. Jadi tingkat ketergantungan industri di Indonesia terhadap bahan baku impor cukup tinggi. Akan tetapi, kebijakan ekspor pemerintah selama ini adalah mengekspor dalam bentuk bahan 40 mentah. Hal ini dikarenakan harga bahan baku mentah tersebut lebih mahal di luar negeri dan didukung banyaknya permintaan dari luar negeri. Kebijakan ekspor bahan mentah secara gelondongan ini akan menyebabkan banyak industri gulung tikar karena kekurangan bahan baku. 41 Bahan baku industri sekitar 30% - 60% berasal dari impor luar negeri. Impor Indonesia yang berbentuk bahan baku sejak tahun 2000 mengalami tren peningkatan baik impor barang konsumsi, bahan baku penolong maupun barang modal. Sebagian besar impor tersebut didominasi oleh impor bahan baku penolong untuk industri. Begitu juga pertumbuhan impor bahan baku yang terus mengalami tren peningkatan. Sampai tahun 2010 pertumbuhan impor barang konsumsi mencapai lebih dari 40% lebih tinggi dibandingkan imporimpor bahan baku lainnya, lihat Gambar 6. Besarnya impor bahan baku tersebut karena pasar domestik belum dapat memenuhi permintaan industri dalam negeri terhadap pemenuhan bahan baku industri. 4. Turunnya Kredit Industri 37
Ibid. “Industri Minta Kepastian Pasokan Gas”, op.cit. 39 “PGN Akui Pasokan Gas Timpang’, op.cit. 40 “Ekspor Bahan Baku Segera Dibatasi”, Bisnis Indonesia, 26 April 2011. 41 Perindustrian, www.bappedajateng.info; diakses 7 April 2011. 38
13
Salah satu sumber modal dalam industri diperoleh dari sektor perbankan yakni dalam bentuk kredit atau pinjaman. Daya tarik relatif industri manufaktur kian meredup sebagaimana terlihat dari porsi kredit ke sektor ini yang turun sangat tajam. Hal ini menandakan bahwa dukungan perbankan terhadap sektor manufaktur semakin turun. Sejak 1997, porsi kredit industri manufaktur terhadap total kredit perbankan menyusut karena bank bersikap hati-hati dalam memilih sektor yang menjadi target kreditnya. Perbankan menilai, pemberian kredit ke sektor ini berisiko tinggi karena sektor manufaktur dinilai perceived risk. Kredit ke sektor industri secara nominal tetap tumbuh, tetapi persentasenya makin rendah. Pada tahun 1985 alokasi kredit perbankan ke industri manufaktur mencapai hampir 40%, tetapi pada 42 tahun 2008 sudah terpangkas menjadi hanya 16%. Salah satunya karena banyak industri dianggap bermasalah atau masuk kategori sunset industry. Penurunan volume kredit perbankan berarti kelangkaan pembiayaan investasi dan modal kerja bagi sektor industri. Hal ini merupakan salah satu pemicu terjadinya deindustrialisasi. Sebagian pelaku sektor riil berpandangan suku bunga kredit perbankan masih tinggi dan memberatkan. Saat ini suku bunga utama Bank Indonesia (BI Rate) berada pada kisaran 6,75%, tetapi suku bunga kredit perbankan bisa mencapai 12% atau bahkan lebih tinggi 43 lagi. BI Rate yang menjadi acuan bank komersial dalam menetapkan suku bunga kredit sejak tahun 2010 berada pada kisaran 6,50 – 6,75%. Tetapi suku bunga kredit yang ditetapkan oleh bank komersial jauh lebih besar dari acuannya, baik untuk modal kerja, investasi, maupun konsumsi yakni berkisar antara 12,20 – 16,36%. Pihak perbankan berdalih bahwa suku bunga yang tinggi disebabkan resiko pembiayaan sektor riil yang cukup tinggi. 5. Kebijakan-kebijakan yang Kurang Mendukung Sektor Industri Beberapa kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat mendorong terjadinya deindustrialisasi antara lain: pertama, pembenahan infrastruktur yang tidak kunjung dilakukan. Proyek di sektor infrastruktur banyak mangkrak bertahun-tahun 44 sehingga dapat menyandera perekonomian nasional. Hal ini akan menyebabkan para pemilik modal (asing maupun domestik) tidak tertarik melakukan investasi di sektor industri manufaktur. Mereka lebih tertarik berbisnis di sektor jasa sebagai pedagang atau mencari untung dengan memainkan uangnya di pasar modal atau di pasar 42
“Mewaspadai Gejala Deindustrialisasi”, op.cit. “Madu atau Racun Cadangan Devisa”, op.cit. “Perekonomian Tersandera Proyek Mangkrak”, Bisnis Indonesia, 19 April 2011.
43 44
14
valuta asing. Maka pembenahan infrastruktur ekonomi merupakan 45 kebijakan yang tidak dapat ditawar lagi. Kebijakan infrastruktur perlu segera dievaluasi, salah satunya terkait dengan regulasi pembebasan 46 lahan guna mempercepat pembangunan infrastruktur. Kedua, kebijakan suku bunga bank yang tidak kompetitif. Kebijakan mempertahankan suku bunga tinggi untuk Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Republik Indonesia (ORI) telah membuat para pemilik uang (domestik dan asing) memilih untuk memarkir uangnya di obligasi negara tersebut dan tidak tertarik menanam uangnya di sektor industri manufaktur. Di manapun bunga untuk obligasi yang dikeluarkan negara tidak pernah tinggi. Tanpa bunga tinggipun obligasi negara tetap menarik karena tidak pernah ada negara yang bangkrut. Oleh karena itu suku bunga SUN dan ORI yang saat ini masih sangat tinggi perlu diturunkan. Ketiga, pengaturan arus modal asing jangka pendek atau uang panas yang belum juga dilakukan oleh BI dan pemerintah. Padahal uang panas tersebut telah menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terlalu kuat sehingga menyebabkan impor mengalir deras dan jika tidak hati-hati akan menyebabkan produk-produk industri manufaktur lokal akan tersaingi. Oleh karena itu BI perlu mengatur arus uang panas ini dengan misalnya mewajibkan kepemilikan instrumen-instrumen keuangan yang lebih panjang. Keempat, Berhubungan dengan ketenagakerjaan, UU Ketenagakerjaan sekarang ini masih membuat pemilik modal tidak mau berinvestasi di industri padat modal. UU ini, menurut Sofjan wanandi, terlalu kaku. Misalnya dalam hal biaya pesangon, di mana biaya pesangon sekarang ini masih terlalu tinggi dan juga kebijakan 47 pekerja outsourcing (kontrak) yang tidak sehat. Kelima, berhubungan dengan penyediaan bahan baku industri khususnya bahan baku impor, pemerintah dinilai lamban dalam merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241 Tahun 2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Melalui PMK ini, impor bahan baku dan barang modal dikenai bea masuk 5 – 20% untuk barang tertentu antara lain produk pertanian, perikanan, farmasi, industri manufaktur, dan industri agro. Kebijakan tersebut jelas merugikan pengusaha karena mereka mesti menambah komponen biaya yang tidak 48 dianggarkan sebelumnya. 45
“Deindustrialisasi Indonesia 2011”, http://nugroho-sbm.blogspot.com/2010/12; diakses 18 April 2011. 46 “Perekonomian Tersandera Proyek Mangkrak”, op.cit. 47 “Deindustrialisasi Telah Terjadi”, http://www.metrotvnews.com/read/news/2010/11/26/35068; diakses 18 April 2011. 48 “Pemerintah Tunda Pemberlakuan PMK 241 Tahun 2010”, http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/56978; diakses 19 April 2011.
15
6. Buruknya Kinerja Ekspor Manufaktur Salah satu faktor yang juga diduga kuat menjadi pendorong proses deindustrialisasi di Indonesia adalah memburuknya kinerja perdagangan luar negeri produk manufaktur Indonesia. Pangsa pasar industri yang berbasis manufaktur semakin mengecil, sedangkan 49 industri berbasis sumber daya alam terus menguat. Hal ini dikarenakan kebijakan ekspor pemerintah selama ini berbentuk kebijakan ekspor bahan baku mentah. Jika kondisi ini terus terjadi akibatnya akan menurunkan kinerja ekspor produk manufaktur di pasar internasional. Selain itu terus membanjirnya produk manufaktur impor di pasar domestik, baik legal maupun illegal terutama dari Cina. Hal ini menyebabkan produk lokal mengalami penurunan permintaan karena harga produk lokal tidak dapat bersaing. Penurunan permintaan domestik produk manufaktur lokal menyebabkan kapasitas produksi berkurang dan pada akhirnya menyebabkan deindustrialisasi. Ekspor produk industri sejak tahun 1996 terus mengalami peningkatan tetapi pertumbuhannya masih kalah dibandingkan ekspor produk pertanian, tambang, dan sektor lainnya. C. Dampak-dampak Deindustrialisasi Secara umum, deindustrialisasi akan berdampak pada menurunnya nilai tambah industri nasional dan tergerusnya aktivitas perekonomian. Dari beberapa sumber, setidaknya dapat ditemukan empat akibat terjadinya deindustrialisasi. Pertama, semakin berpotensinya negara Indonesia menjadi negara yang konsumtif. Hal ini dapat dibuktikan dengan neraca impor dalam beberapa tahun belakangan ini. (lihat Gambar 3). Gambar tersebut menunjukkan adanya tren kenaikan nilai impor, bahwa kecenderungan yang ada dari gambar tersebut adalah Indonesia semakin menjadi negara pengimpor. Melemahnya perindustrian Indonesia, ditambah dengan era perdagangan bebas yang sudah banyak diberlakukan sekarang tentunya membawa dampak pada semakin berpotensinya Indonesia menjadi negara konsumtif. Pasalnya, kebutuhan masyarakat terhadap suatu barang tentunya akan selalu ada, dan tarafnya akan selalu meningkat, dan harus ditingkatkan, dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh bangsa sendiri, akan menyebabkan negara ini menjadi negara 50 yang akan membeli dari bangsa lain.
49
“Mewaspadai Gejala Deindustrialisasi”, op.cit. “Fenomena Deindustrialisasi di Indonesia”, http://km.itb.ac.id/site/?p=496; diakses 18 April 2011. 50
16
Kedua, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang manufaktur. Menjadi negara konsumtif, yang juga menjadi negara pengimpor akan membawa dampak lain yang lebih berbahaya, yaitu ketergantungan kepada bangsa lain. Secara logika, melemahnya industri manufaktur Indonesia akan sejalan paralel dengan meningkatnya impor barang-barang produksi, jika memang kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak akan dikorbankan. Selama ini, kontribusi nilai dan berat ekspor Indonesia masih didominasi dari hasil industri primer, beberapa contohnya yaitu natural rubber, wood, plywood, chemical wood pulp, paper, paperboard, cotton yarn, fish, 51 palm oil, coffee, cocoa beans, dan sebagainya.
Gambar 3. Grafik nilai impor 2010 (Sumber : BPS, 2010)
Ketiga, sulitnya melakukan reindustrialisasi. Deindustrialisasi juga dapat menyebabkan sulitnya reindustrialisasi. Reindustrialisasi atau menggairahkan kembali sektor industri bukanlah perkara mudah. Solusi koprehensif harus benar-benar diterapkan. Mulai dari solusi mikro berupa mempermudah investasi dan pemasaran, hingga 52 langkah mikro berupa stabilisasi perekonomian. Dalam beberapa tahun terakhir, persentase pekerja di industri manufaktur mengalami penurunan, dari 18,8% tahun 2005 53 menjadi 12,07% tahun 2009. Masalah ini tidak hanya pada membanjirnya jumlah tenaga kerja (oversupply), tetapi lebih disebabkan menciutnya permintaan tenaga kerja akibat melemahnya
51
Ibid. Ibid. “Fenomena Deindustrialisasi di Indonesia”, op.cit.
52 53
17
54
daya saing industri nasional. Hal inilah yang menyebabkan daya serap tenaga kerja sektor formal merosot. Jadi, dampak deindustrialisasi keempat adalah tingkat penyerapan tenaga kerja yang terus mengalami penurunan sehingga akhirnya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika hal ini terus terjadi berdampak terhadap kenaikan pengangguran. Statistik jumlah pengangguran sejak tahun 2004 terus mengalami peningkatan yakni 9,9% (2004) menjadi 10,3% (2005) dan 10,4% (2006). Sampai tahun 2010 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,32 juta dengan perincian: lulusan SD sebanyak 2,07 juta; lulusan SLTP sebanyak 1,53 juta; lulusan SLTA sebanyak 1,89 juta; lulusan SMK sebanyak 1,05 juta; lulusan Diploma sebanyak 0,38 juta; lulusan Sarjana sebanyak 0,63 juta; dan lulusan lainnya sebanyak 0,77 55 juta. IV. Penutup A. Kesimpulan Terjadinya deindustrialisasi di Indonesia dapat dilihat dari beberapa indikator di antaranya: tingkat penyerapan tenaga kerja ke sektor industri khususnya sektor manufaktur mengalami penurunan dibandingkan serapan tenaga kerja sektor lain seperti pertanian, pertambangan dan jasa, menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri terutama industri manufaktur, kecenderungan penurunan daya saing produksi barang dalam negeri di pasar internasional berdasarkan WCY dan GCI, dan Indonesia kian tersingkir dari jaringan produksi manufaktur regional dan global, terlihat dari porsi parts and components yang sangat kecil di dalam ekspor Indonesia. Terjadinya gejala deindustrialisasi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu buruknya kualitas infrastruktur, kurangnya jaminan pasokan energi (meliputi kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, kurangnya pasokan listrik dan kebijakan pemerintah menaikkan TDL, dan ketersediaan gas yang minim untuk industri), tingginya pasokan bahan baku impor, turunnya kredit industri, kebijakan-kebijakan kurang mendukung sektor industri (seperti kebijakan suku bunga yang tidak kompetitif, peraturan yang menghambat impor bahan baku, dan sebagainya), dan buruknya kinerja ekspor manufaktur.
54
“Denasionalisasi Ekonomi”, op.cit. “RI dan Cina Bersepakat Kembangkan SDM”, Bisnis Indonesia, 26 April 2011.
55
18
Deindustrialisasi akan berdampak pada menurunnya nilai tambah industri nasional dan tergerusnya aktivitas perekonomian, diantaranya: semakin berpotensinya negara Indonesia menjadi negara yang konsumtif, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang manufaktur, sulitnya melakukan reindustrialisasi, dan tingkat penyerapan tenaga kerja terus mengalami penurunan sehingga berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan akhirnya akan meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. B. Rekomendasi Diperlukan upaya untuk meminimalisasi bahkan menghentikan proses deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia. Untuk menghentikan atau meminimalisasi deindustrialisasi diperlukan beberapa kebijakan dalam sektor industri. Pertama, kebijakan yang berkaitan dengan pemberian stimulus fiskal bagi sektor industri. Di antaranya adalah menurunkan bea masuk bagi impor bahan baku dan bahan penolong yang masih dibutuhkan industri dalam negeri. Mengingat kandungan komponen impor industri dalam negeri masih sangat tinggi. Mengkaji ulang UU perpajakan yang dirasakan memberatkan bagi sektor industri. Mengembangkan insentif berupa tarif bea masuk dan perpajakan yang dapat mendorong bangkitnya kembali sektor industri di Indonesia, utamanya bagi industri yang berorientasi ekspor dan industri yang meningkatkan lapangan pekerjaan, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kedua, perlunya kebijakan yang berkaitan dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif termasuk UU pengadaan lahan. Ketiga, kebijakan fiskal harus terus ekspansif.
19
DAFTAR PUSTAKA Buku : A.Prasetyantoko, Krisis Finansial dalam Perangkap Ekonomi Neoliberal, Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2009. Hollis Chenery dan Moises Syrquin, Patterns of Development, 1950 – 1970, Oxford University Press, 1975. nd Stephen Bazen dan Thirwall, Deindustrialization (2 ed), Oxford, Heinemann Educational Books LTD, 1992, hal. 4 Imam Sugema, dkk., Dampak Kenaikan Harga BBM dan Efektivitas Program Kompensasi, Penerbit INDEF, Jakarta, 2005. Muhammad Teguh, Ekonomi Industri, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2010. Artikel dalam jurnal atau majalah: R.E.Rowthorn dan J.R.Wells, De-Industrialization and Foreign Trade, New York : Cambridge University Press, 1987. E.K.Choi, Infrastructure Aid, Deindustrialization, and Welfare, IMF Working Papers, WP/05/150, Juli 2005. R.Rowthorn dan R.Ramaswamy, Deindustrialization : Its Causes and Implications, Economic Issues, IMF, September 1997. Robert Rowthorn dan Ramana Ramaswamy, Growth, Trade, and Deindustrialization, IMF Staff Papers, Vol. 46, No. 1, Maret 1999, hal. 18. ______________, Growth, Trade, and Deindustrialization, IMF Staff Papers, Vol. 46, No. 1, Maret 1999. S.Dasgupta dan A.Singh, Manufacturing, Services and Premature DeIndustrialisation in Developing Countries : A Kaldorian Empirical Analysis, Centre for Business Research (CBR), University of Cambridge, WP. No. 327, Juni 2006. Artikel dalam koran : Faisal Basri, “Industri Indonesia Masih Tergantung Luar Negeri”, Suara Karya, 9 Desember 2004. Rudi Ariffianto, “Pertumbuhan Manufaktur di Bawah Target”, Bisnis Indonesia, 14 April 2011. Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Daya Saing Produk Terbebani Biaya Logistik, Neraca, 11 Februari 2011. Deindustrialisasi Bukan Hal Mustahil, Kompas, 6 Desember 2010. Deindustrialisasi di Depan Mata, Media Indonesia, 20 Januari 2011. Editorial : Tragedi Infrastruktur, Media Indonesia, 7 April 2011. 20
Ekspor Bahan Baku Segera Dibatasi, Bisnis Indonesia, 26 April 2011. Industri Butuh Kepastian Pasokan Gas, Bisnis Indonesia, 16 April 2011. Infrastruktur Menjadi Syarat Mutlak, Kompas, 20 April 2011. Infrastruktur Pepesan Kosong!, Bisnis Indonesia, 22 Februari 2011. Kerja Keras Menuju Kemandirian Energi, Media Indonesia, 29 Januari 2010. Ketimpangan Alur Distribusi Turunkan Nilai Kompetitif, Kompas, 15 Januari 2010. Komitmen Investasi Capai Rp 1.993 Triliun, Republika, 20 April 2011. Madu atau Racun Cadangan Devisa, Kompas, 24 Desember 2010. Menjaga Indonesia Tetap Berenergi, Media Indonesia, 20 Oktober 2010. Mewaspadai Gejala Deindustrialisasi, Business News, 6 Desember 2010. Pembangunan Infrastruktur : Dana Besar Bukan Jaminan, Koran Jakarta, 22 Februari 2011. Pemerintah Lamban Sediakan Infrastruktur Gas : Pasokan Gas Seret, Industri Terkapar, Neraca, 14 April 2011. Perekonomian Tersandera Proyek Mangkrak, Bisnis Indonesia, 19 April 2011. PGN Akui Pasokan Gas Timpang, Republika, 14 April 2011. PLN Tetap Mencabut Capping TDL, Kompas, 2 Februari 2011. Rakyat Pikul Beban Ganda Penaikan Tarif Listrik, Media Indonesia, 15 Juli 2010. Realisasikan Infrastruktur, Kompas, 20 April 2011. RI dan Cina Bersepakat Kembangkan SDM, Bisnis Indonesia, 26 April 2011. Tarif Dasar Listrik Industri Kian Mempercepat Deindustrialisasi, Kompas, 11 Januari 2011. TDL dan PMK Impor Ganjal Pertumbuhan Industri Manufaktur, Neraca, 27 Januari 2011. SBY Respon Soal Perbankan Infrastruktur, Neraca, 20 April 2011. Sebaiknya Fokus Eksekusi Proyek, Kompas, 21 April 2011. 190 Pos Tarif Bahan Baku dan Mesin Direvisi, Bisnis Indonesia, 21 April 2011. Dokumen resmi : Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2010, Badan Pusat Statistik (BPS). World Competitiveness Yearbook Tahun 2010, www.imd.org; diakses 4 Maret 2011. The Global Competitiveness Report 2010 – 2011, www.weforum.org; diakses 4 Maret 2011. 21
Publikasi BPS (data diolah), www.bps.go.id; diakses 20 April 2011. Buku terjemahan: N.Gregory Mankiw, Makroekonomi : Terjemahan, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2007, hal. 309. Tesis: Wawan Suwarman, Faktor-faktor Apakah yang Mendorong Terjadinya Proses Deindustrialisasi di Indonesia?, Tesis, Program Studi Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Makalah seminar, lokakarya, penataran: Hery S.J.N. Sriwiyanto, Fenomena Deindustrialisasi dan Formulasi Industri Indonesia, Makalah yang dipresentasikan dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, 8 – 9 Desember 2004, di Hotel Nikko Jakarta. Internet : Awas Deindustrialisasi Pertumbuhan Industri Manufaktur Terus menurun, www.ikbiz.com; diakses 15 April 2011. A.Meryani, 2010, Buruknya Infrastruktur Picu Deindustrialisasi, http://economy.okezone.com; diakses 2 Maret 2011. Erlangga Djumena, 2010, LIPI : Indonesia Menuju Deindustrialisasi, www.kompas.com; diakses 2 Maret 2011. Deindustrialsasi di Depan Mata, http://www.inilah.com/read/detail/46876/deindustrialisasi-didepan-mata/; diakses 20 Januari 2011. Deindustrialisasi Indonesia 2011, http://nugrohosbm.blogspot.com/2010/12; diakses 18 April 2011. Deindustrialisasi Telah Terjadi, http://www.metrotvnews.com/read/news/2010/11/26/35068; dikases 18 April 2011. Fahmy Radhi, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, www.books.google.co.id; diakses 10 Maret 2011. Faisal Basri, 2009, Deindustrialisasi Betul-Betul Serius!, www.kompasiana.com; diakses 2 Maret 2011. Fenomena Deindustrialisasi di Indonesia, http://km.itb.ac.id/site/?p=496; diakses 18 April 2011.
22
Lenyap 2 – 3 Tahun Lagi?, http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1160702/; diakses 20 Januari 2011. Industri Minta Kepastian Pasokan Gas, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/04/08/brk,2011 0408-326209,id.html; diakses 14 April 2011. Jumlah Perusahaan Menurut Sub Sektor 2001 – 2009, www.bps.go.id ; diakses 20 April 2011. Kawasan Industri Defisit Pasokan Listrik, www.bataviase.co.id; diakses 7 Maret 2011. Kenaikan Harga BBM Perlemah Daya Tahan Industri Manufaktur, www.okezone.com; diakses 10 Maret 2011. Kenaikan Harga BBM : Kebijakan Panik dan Tidak Adil, http://teguhtimur.com/2008/05/09; diakses 10 Maret 2011. Masalah UMKM Tak Hanya Modal Pasar, http://bataviase.co.id/node/122278; diakses 4 Maret 2011. Mewaspadai Ancaman Deindustrialisasi, http://www.investor.co.id; diakses 18 April 2011. Mudrajad Kuncoro, 2009, Stop Deindustrialisasi, www.mudrajad.com; diakses 3 Maret 2011. Peraturan Bea Masuk Impor Diminta Dicabut, http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2011/02/1 0/320/423599; diakses 19 April 2011. Pemerintah Tunda Pemberlakuan PMK 241 Tahun 2010, http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/56978; diakses 19 April 2011. Perindustrian, www.bappedajateng.info; diakses 7 April 2011. Persoalan Listrik Picu Deindustrialisasi, http://www.borneotribune.com; diakses 18 April 2011. Rohman, 2011, Indonesia di Ambang Era Deindustrialisasi, http://www.thecoreaction.com; diakses 1 Maret 2011. Waspadai Lonjakan Pengangguran Akibat Kenaikan TDL, www.republika.co.id; diakses 7 April 2011. Industri
23
RESPONS DAERAH DALAM PELAKSANAAN LOI INDONESIA – NORWEGIA TENTANG KERJA SAMA REDD+ (Studi di Provinsi Papua) Hariyadi
*
Abstract Letter of Intent (LoI) which has been made between Indonesia and Norway would promote the Indonesian government’s strategic agenda to reduce green house gas emissions. The efforts to achieve this commitment require a constructive role of subnational entities having vast forest which become the stakeholders. The success of their role in hosting REDD+ pilot projects will eventually determine the contributions-for-verified emission reduction Indonesia may receive. Papua province might be potentially nominated as REDD+ pilot project in the coming transformation phase of the LoI for the reason of its vast forest, its management and the politics of its regional development of its government. This qualitative research found that the province positively responds the LoI so that its role in the further phase may add the achievements of Indonesia’s global commitment. Abstrak LoI Indonesia-Norwegia akan mendukung agenda strategis pemerintah dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Upaya pemenuhan komitmen LoI membutuhkan peran daerah yang memiliki sumber daya kehutanan. Keberhasilan peran subnasional yang dijadikan pilot REDD+ pada akhirnya juga akan menentukan kucuran dana yang akan diterima Indonesia. Provinsi Papua berpeluang menjadi lokasi percontohan REDD+ dalam fase LoI berikutnya karena luas hutan dan pengelolaannya, dan politik pembangunan yang dijalankan. Penelitian kualitatif yang dilakukan di Papua menemukan bahwa provinsi itu memberikan respons positif terhadap implementasi LoI, dan perannya dalam tahapan LoI berikutnya dapat memperkuat pemenuhan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi global. Kata kunci: LoI, REDD+, peran subnasional, emisi GRK.
*
Penulis adalah peneliti madya Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, Jakarta. Email:
[email protected]
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah menetapkan lima provinsi sebagai lokasi proyek percontohan kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) dalam kerangka kerja sama Indonesia - Norwegia. 1 Provinsi Papua adalah salah satu provinsi yang berminat menjadi lokasi 2 percontohan REDD+ dalam rangkaian pelaksanaan Letter of Intent (LoI) 3 kedua negara. Data sampai tahun 2008, misalnya menunjukkan bahwa 4 luas kawasan hutan tetap Provinsi Papua mencapai 31.773.063 ha. Bila digabungkan dengan Provinsi Papua Barat bahkan luasnya mencapai 5 42.224.840 ha. Diperinci berdasarkan fungsi hutan, dari seluas 31,8 juta ha tersebut, hutan konservasi yang mencakup Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) seluas 5.699.409 ha, hutan lindung 8.206.984 ha, hutan produksi (HP, HPT dan HPK) seluas 6 16.353.981 ha, kawasan perairan seluas 670.269 ha dan APL 842.421 ha. Persentase luas kawasan hutan Papua mencapai 16,9% dari kirakira 187,79 juta ha luas daratan Indonesia berdasarkan penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2005/2006. Lebih jauh jika dibandingkan dengan luas areal berhutan secara nasional yang sebesar 98,46 juta ha (52,9% luas daratan Indonesia), persentase luas hutan Provinsi Papua 7 mencapai 32,3%. Nilai strategis Provinsi Papua sebagai tempat lokasi perintisan program REDD+ juga bisa dilihat tidak hanya sebagai tempat yang dilihat dari tutupan hutannya masih tertinggi secara nasional tetapi juga politik pengelolaan ruang yang mulai dilaksanakan. Sebagai contoh, kebijakan Keep Papua Green 70%. Provinsi itu berkomitmen untuk mempertahankan kawasan hutan seluas 70% dari luas Provinsi Papua. 1
Kelima provinsi itu adalah NAD, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Papua. Republika, 19 Oktober 2010. 2 REDD+ merupakan pengembangan dari REDD yang mencakup juga aspek konservasi stok karbon hutan, manajemen hutan berkelanjutan dan penguatan stok karbon hutan. Perintisan program REDD+ difasilitasi the Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) mulai tahun 2008. FCPF membantu negara pemilik hutan tropis dan subtropis mengembangkan sistem dan kebijakan REDD+ dan membayar pengurangan emisi mereka berdasarkan kinerjanya dalam bidang ini (performance-based payments). FCPF melengkapi serangkaian negosiasi UNFCCC tentang REDD+ dengan cara menunjukkan bagaimana REDD+ dapat diterapkan di tingkat negara. Lihat “Forest Carbon Partnership Facility”, disunting dalam http://unfccc.int/methods_science/redd/demonstration_activities/items/4536.php; diakses 25 Maret 2011. 3 Potensi provinsi ini sebagai tempat pelaksanaan REDD+ dapat dirujuk pada LoI (Phase 2: Transformation) di paragraf pertama dan huruf e. 4 Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan Provinsi Papua Tahun 2008, disunting dalam http://www.dephut.go.id/files/Statistik_Papua_2008.pdf; diakses 25 Oktober 2010. 5 Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2008, Jakarta, Oktober 2009. 6 Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, op.cit. 7 Departemen Kehutanan, op.cit., hal. 6.
2
Hal ini ditegaskan Gubernur Papua pada waktu penyampaikan RTRW Provinsi Papua 2010-2030 kepada Menteri Kehutanan awal September 8 2010. Namun demikian, beberapa waktu terakhir ini kritik terhadap moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut terus mengemuka sebagai bagian dari kritik terhadap kerja sama kemitraan RI-Norwegia. Kritik juga diarahkan pada sebuah rancangan Perpres tentang moratorium yang menyebutkan bahwa moratorium akan ditingkatkan 9 menjadi 5 tahun. Sasaran kritik, khususnya dari sektor kelapa sawit, tertuju pada penilaian seperti potensi terganggunya dinamika perkebunan sawit yang terus menggeliat, mengurangi derajat kedaulatan negara terhadap kekuatan asing dan potensi terancamnya peluang ekonomi dan lapangan kerja. Fenomena ini tidak mengherankan karena kontribusi sawit di Indonesia terbukti menjadi salah satu pendorong ekspor sektor 10 komoditas primer terbesar bersama-sama dengan batu bara. Dalam konteks kepentingan Papua, persoalan ini juga menyangkut potensi pengembangan sawit di Papua sendiri yang telah dikembangkan di beberapa kabupaten seperti Jayapura, Sarmi, Memberamo Raya, Waropen, Mimika, Boven Digul, dan Merauke dengan total produksi mencapai 47.870 ton pada tahun 2007 dan merosot menjadi 26.135 ton pada tahun 2008. Di Kabupen Asmat, Keerom dan Merauke lahan yang 11 telah dipakai mencapai 19.890 ha. Data terbaru IPOB misalnya, melansir bahwa Indonesia adalah produsen dan pengekspor CPO terbesar dunia mencapai 14,17 juta ton (75%) dari total produksi 19,2 juta ton produksi. Grafik ekspor CPO tahunan juga terus meningkat. Pada tahun 2010 ini misalnya, kenaikan dalam satu bulan saja dihitung dari April sampai Mei telah mencapai kira12 kira 0,01 juta ton dari 1,028 juta ton menjadi 1,039 juta ton. Dengan demikian bisa dipahami ketika sebagian pemangku kepentingan merasa terganggu. Isu moratorium sebenarnya bukanlah isu yang baru sebagai isu agenda kebijakan Indonesia. Agenda moratorium khususnya konversi hutan alam ternyata pernah menjadi salah satu dari delapan komitmen 13 Indonesia dalam sidang CGI ke-9 di Jakarta. Isu ini terus digulirkan LSM terutama pada periode beberapa tahun setelah isu deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya rata-rata sebesar 3,51 juta hektar per
8
Siaran Pers Kemenhut, disunting dalam http://www.dephut.go.id/index.php?q=id% 2Fnode%2F6700, diakses 25 Oktober 2010. 9 Media Indonesia, 14 Juli 2010. 10 Kompas, 14 Juli 2010. 11 Data Statistik Perkebunan 2008-2010 Ditjen Perkebunan Kementan, disunting dalam http://regionalinvestment.com/sipid/id/commodityarea.php?ic=2&ia=91, diakses 25 Oktober 2010. 12 Kompas, 29 Juni 2010. 13 Lihat Riza Suarga. Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktek Premanisme Global. (Jakarta: Wana Aksara, 2005), hal. 59.
3
14
tahun pada periode 1996-2000. Namun demikian, dalam sejarah kebijakan pengelolaan kehutanan di Indonesia, kebijakan moratorium tidak pernah menjadi salah satu menu alternatif kebijakan yang dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah. Hal lain pelaksanaan LoI di Papua juga akan bersinggungan dengan kebijakan pengembangan food estates di Merauke (Merauke Industrial Food and Energy Estates). Seperti diketahui bahwa lahirnya Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 telah menjadi dasar pembukaan kawasan secara besar-besaran untuk, meminjam istilah Walhi, budidaya pertanian, perkebunan dan bahkan peternakan dengan pelibatan modal, pemain dan teknologi yang besar dan terintegrasi. Kebijakan yang akan dirintis di wilayah Kabupaten Merauke direncanakan akan digelar pada kawasan seluas 1,2 juta atau 60% dari seluas 2 juta hektar wilayah Merauke. Secara normatif, kebijakan yang membawa pesan bagi penguatan ketahanan pangan nasional dan bahkan dunia menjadi gebrakan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat 15 lumbung pangan nasional dan global. Dengan melihat peta penanganan kerusakan hutan dan rendahnya penegakan hukum, kebijakan food estates dan pelaksanaan REDD+ berpotensi tidak akan sejalan. Di atas kertas, pembukaan food estates seperti di Merauke (MIFA), akan dipusatkan pada sejumlah lahan kritis, terlantar atau tidak lagi bernilai secara ekonomis yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun demikian, supaya kebijakan itu on track sejumlah persoalan klasik masih menjadi pekerjaan tidak hanya lingkup nasional tetapi juga daerah menyangkut penegakkan hukum, koordinasi antar-sektor secara vertikal dan horisontal, otorisasi perijinan pengelolaan kehutanan warisan era otonomi daerah sampai pada back-up politis dan bisnis kelas kakap terhadap proses konversi. Perhatian Provinsi Papua juga diarahkan pada isu kompensasi LoI dalam pelaksanaan REDD+. Skema yang dinilainya sarat dengan persyaratan ketat dan belum adanya skema kompensasi yang didasarkan pada upaya-upaya yang telah dilaksanakan oleh Provinsi ini dalam menjaga hutannya selama ini yang tidak hanya untuk kepentingan Papua dan nasional tetapi juga masyarakat secara global juga masih menjadi ganjalan di tingkat pemerintah daerah di sana. Fakta lain juga menunjukkan bahwa mekanisme pencairan hibah tahunan secara konkret masih harus tunduk pada persetujuan Parlemen Norwegia (Butir IX Norwegian Financial Contribution LoI). Itu artinya, periodisasi jadwal pencairan hibah sendiri sebagaimana tertuang dalam LoI tidak sepenuhnya operasional dan pemerintah Norwegia tidak dapat
14
Data diolah dari Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan 2010. Sebagian bisa dilihat dalam Wandojo Siswanto, Strategi Penurunan Emisi Sektor Kehutanan, Makalah Seminar dalam IndoGreen Forestry Fair, Jakarta, 15 April 2010. 15 Warta Ekonomi, No. 5, 8-21 Maret 2010.
4
16
menjaminnya. Persoalan lain terkait dengan ekspektasi daerah yang begitu besar atas kucuran dana hibah bagi daerah-daerah yang memiliki kawasan hutan yang luas dan ke depan akan dijadikan sebagai tempat 17 percontohan REDD+. B. Perumusan Masalah Sejumlah daerah berminat dan diusulkan menjadi tempat percontohan REDD+ karena harapannya terhadap kucuran dana hibah LoI. Hal ini tentunya didasarkan pada realitas keterbatasan anggaran baik di pusat dan daerah dalam pengelolaan sektor kehutanan selama ini. Hal yang sama terjadi di Provinsi Papua. Secara politis, sejumlah terobosan kebijakan yang telah ditempuh provinsi memiliki kaitan dan bahkan dipersiapkan dalam rangka pengelolaan sektor kehutanan melalui sejumlah program yang tidak hanya dalam kerangka LoI tetapi juga dalam rangka mendukung komitmen penurunan emisi global pemerintah pada tahun 2020. Sejumlah kebijakan pengelolaan sektor kehutanan provinsi itu terlihat dari „politik hijau‟ yang melalui usulan RTRWP akan mempertahankan 70% kawasan hutannya. Kebijakan terobosan lain adalah komitmen pembangunan ekonomi rendah karbon di hadapan masyarakat internasional dalam rangka mendukung komitmen penurunan emisi Indonesia dalam forum COP ke-15 di Norwegia. Secara kelembagaan, dalam kerangka mendukung komitmen pembangunan ekonomi rendah karbon, provinsi itu juga telah membentuk satgas pembangunan ekonomi rendah karbon yang melibatkan semua perwakilan pemangku kepentingan. Dengan demikian, provinsi ini telah menjadi wilayah yang kondusif dalam pelaksanaan proyek percontohan REDD+ tahapan berikutnya. Pada saat yang sama sejumlah hal juga dapat menjadi disinsentif bagi provinsi itu menjadi lokasi percontohan REDD+. Sejumlah hal itu mencakup isu pengembangan perkebunan, MIFEE dan konteks sosio-kultural masyarakat setempat itu sendiri. Bagaimana pun, dengan potensi luas hutan dan pengelolaannya selama ini provinsi itu tetap berpeluang menjadi lokasi percontohan REDD+ tahap berikutnya. Pada saat yang sama, jika hal itu terjadi Provinsi Papua juga mengajukan sejumlah
16
Banyak pertanyaan dan kritik Komisi IV DPR RI yang mempertanyakan komitmen hibah seraya menegaskan bahwa perjanjian itu semestinya tidak dilihat sebagai sesuatu tanpa ikatan. Pendek kata, tidak ada makan siang gratis. Kesimpulan ini disarikan dari hasil Raker Komisi IV DPR RI dengan Menteri Kehutanan, 30 April 2010. 17 Sidang Kabinet tanggal 23 Desember 2010 menetapkan Kalimantan Tengah sebagai lokasi percontohan proyek REDD+ tahap pertama. Ke depan, berdasarkan LoI setidaktidaknya masih ada satu lokasi proyek yang sama yang akan ditetapkan akhir tahun ini. Lihat “Presiden memilih Kalimantan Tengah sebagai Provinsi Percontohan REDD”, dikutip dalam http://kehutanan.kalbarprov.go.id/joomla15/index.php?option=com_content&view=article&id =151:press-release-presiden-memi lih-kalimantan-tengah-sebagai-provinsi-per- contohanredd&catid=91:pengumumam&Itemid=78; diakses 24 Mei 2011.
5
„tuntutan‟ terhadap pemerintah pusat, kondisi yang dalam batas tertentu memerlukan adanya kompromi. Sesuai dengan perumusan masalah di atas, dua pertanyaan penelitian disajikan sebagai berikut: (a) bagaimana pemerintah daerah khususnya Provinsi Papua menyikapi LoI tersebut?; (b) bagaimana implikasi peran Provinsi Papua dalam LoI terhadap pemenuhan komitmen penurunan emisi Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) sejauh mana respons Provinsi Papua terhadap LoI tersebut dan dampaknya terhadap kepentingan daerah yang menjadi tempat sebagai perintisan proyek moratorium konversi hutan alam dan gambut dan (2) sejauh mana respons daerah itu dapat mendukung ke arah pemenuhan target penurunan emisi pemerintah pusat. Sementara itu, manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Komisi DPR RI terkait dalam rangka mengawal pelaksanaan LoI. D. Kerangka Pemikiran Pemikiran tentang respon setiap negara secara nasional yang di dalamnya mencakup pula dukungan dan respon di tingkat subnasional (daerah) terhadap isu-isu yang telah menjadi barang publik global seperti isu perubahan iklim dan kesinambungan ketersediaan pangan secara global misalnya, dapat didekati dengan sebuah konsepsi tentang tata kelola global (global governance). Secara umum, urgensi tata kelola global merupakan konsekuensi logis dari menurunnya peran negara bangsa meskipun masih menjadi inti dalam tata kelola isu-isu global, semakin meningkatnya peran aktor sosial non-negara dan dampak negatif globalisasi seperti ketidakadilan akses terhadap sumber penghidupan, degradasi lingkungan, kemiskinan dan lain-lain. Hal penting lainnya adalah kebutuhan proses pengambilan keputusan dan 18 penanganan masalah-masalah global secara inklusif. Menurut Commission on Global Governance, tata kelola (global) dapat diartikan sebagai kombinasi berbagai cara yang dipakai setiap entitas atau lembaga baik publik maupun non-publik dalam mengelola masalah bersama. Dalam konteks ini, masalah bersama dapat dirujuk sebagai barang publik global. Tata kelola ini merupakan proses yang berkelanjutan sifatnya dengan mana kepentingan yang beragam dan bertentangan dapat diakomodasi dan tindakan kolaboratif dapat dilakukan. Proses tata kelola ini melibatkan lembaga dan rezim yang 18
Lihat Ashwani Kumar and Dirk Messner, “Introduction: Global Governance: Issues, Trends and Challenges”, dalam Ashwani Kumar and Dirk Messner (eds.), Power Shifts and Global Governance (UK and USA: Anthem Press, 2011), hal. 5 dan 9.
6
sifatnya formal dalam rangka menegakkan aturan bersama di samping kesepakatan-kesepakatan informal di mana setiap lembaga menyetujui 19 atau mempersepsikan sebagai kepentingan bersama. Sementara itu Tokyo Institute of Technology mengartikan tata kelola (global) sebagai sekumpulan nilai, norma, proses dan kelembagaan dengan mana masyarakat (secara global) mengelola dan menyelesaikan masalah bersama, baik secara formal maupun informal. Aktor-aktor di dalamnya mencakup negara, dan masyarakat madani (aktor sosial, ekonomi, lembaga berbasis masyarakat dan kelompok-kelompok sosial yang tidak terstruktur, media massa dan lain-lain) pada tingkat lokal, nasional, 20 kawasan dan global. Sementara itu, James Rosenau menegaskan bahwa semua jenis tata kelola „merujuk pada mekanisme untuk mengelola (steering) sistem-sistem sosial ke arah tercapainya serangkaian tujuan‟. Dalam kondisi seperti itu, sebuah agen menjadi penting. Pada tingkat nasional, tata kelola dikonseptualisasikan sebagai proses yang mencakup tetapi mencakup juga di luar kelembagaan pemerintahan secara formal. Dan seperti telah ditegaskan di atas bahwa meskipun perkembangan aktor masyarakat madani sifatnya masif, aktor pemerintah tetap menjadi agen utama proses tata kelola secara global. Dengan demikian, pengelolaan barang publik secara global sepenuhnya 21 masih harus ditangani oleh sebuah kebijakan pemerintah. 22 Dilihat dalam perspektif LoI, konsepsi tata kelola global dapat dirujuk pada kedudukan Indonesia dan Norwegia yang sama-sama berusaha memperkuat tata kelola global dalam menangani barang publik global berupa perubahan iklim terutama dari sektor kehutanan sebagaimana dimandatkan rezim Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), Protokol Kyoto dan Konvensi Keanekaragaman Hayati yang sekaligus juga memandatkan adanya upaya terobosan skema kerja 23 sama seluas mungkin bagi semua negara pihak. Bagaimana kaitannya dengan peran subnasional atau daerah? Proses tata kelola isu perubahan iklim dari sektor kehutanan dapat dirujuk pada konsepsi perlunya penguatan peran pemangku kepentingan yang tidak hanya tingkat nasional dan global tetapi juga tingkat lokal. Dalam konteks LoI, 19
Lihat Thomas G. Weiss, “Governance, Good Governance and Global Governance: Conceptual and Actual Challenges”, dalam Rorden Wilkinson (ed.), The Global Governance Reader (London: Routledge, 2005), hal. 70. 20 Ibid. 21 Ibid., hal. 73. 22 Letter of Intent between the Government of the Kingdom of Norway and the Government of the Republic of Indonesia on “Cooperation on reducing greenhouse emissions from deforestation and forest degradation”, ditandatangani di Oslo, Norwegia, pada tanggal 26 Mei 2010. 23 Konvensi ini diterima secara universal sebagai sebuah instrumen legal yang berisi komitmen politik internasional tentang perubahan iklim pada KTT Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, 1992. Prinsip-prinsip dan tujuan Konvensi dapat dirujuk a.l. misalnya, Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, cet. kedua (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 23-27.
7
peran dan dukungan pemangku kepentingan yang sifatnya lokal dapat dikenali dalam dua tahapan berupa: (1) dukungan terhadap pemerintah nasional dalam mengatasi semua pendorong utama emisi sebagai bagian dari sebuah strategi REDD+ secara nasional dan (2) politik pembangunan daerah yang terkait dengan potensi degradasi hutan dan deforestasi yang sudah pasti akan terjadi dan memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat emisi secara nasional jika politik 24 pembangunan daerah tidak dilakukan. Namun demikian, sebagai sebuah agenda tata kelola bersama terutama dilihat dari sisi peran daerah, efektifitasnya akan ditentukan oleh beberapa hal yang menurut Daniel A. Azmanian dan Paul A. Sabatier antara lain: (1) dukungan lembaga pelaksana terhadap tujuan kebijakan, bersama-sama dengan dukungan dana dan atoritas legal; (2) dukungan kelompok-kelompok target; dan (5) dukungan publik yang 25 terus berlangsung dalam proses implementasi kebijakan. Jika pelaksana kebijakan adalah sebuah lembaga publik, dukungan atau respons lembaga pelaksana tersebut dapat diwujudkan ke dalam sejumlah kebijakan yang diarahkan mendukung pencapaian tujuan baik 26 kebijakan yang sifatnya lisan maupun tertulis. Dengan kata lain, serangkaian kebijakan yang ditempuh mencerminkan sebuah respons atau sikap lembaga pelaksana terhadap kebijakan lain baik dari lembaga yang sama kedudukannya maupun dari lembaga yang memiliki 27 kedudukan yang lebih tinggi. Dalam konteks respons pemerintah daerah, sejumlah instrumen terwujud dalam bentuk regulasi/peraturan daerah dan/atau peraturan turunan lainnya, sikap posisional atas setiap isu yang dihadapi sampai dengan kecenderungan arah kebijakan yang dapat dikenali lewat instrumen kebijakan lainnya seperti rencara strategis daerah, RPJMD dan lain-lain. II. Metodologi Penelitian A. Tempat, Waktu dan Alasan Pemilihan Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Papua. Kegiatan penggalian data dilakukan pada tanggal 15-19 November 2010. Pemilihan provinsi ini karena sejumlah alasan seperti: (1) luasnya sumber daya kehutanan dan tutupan hutannya; (2) kebijakan pengelolaan hutan dan pembangunan ekonominya; dan (3) penentuan lokasi proyek percontohan REDD+ dilakukan sekurang-kurangnya di dua provinsi (Phase 2: Transformation).
24
LoI pada butir IV Phase 1: Preparation huruf d dan e. Lihat Ira Sharkansky, Politics and Policymaking, In Search of Simplicity (USA: Lynne Rienner Publ., 2002), hal. 27-29. 26 Misalnya menurut definisi Thomas Dye. Lihat Michael Howlett and M. Ramesh, Studying public policy: policy cycles and policysubsistems (Oxford Univ. Press, 1995), hal. 4. 27 Ibid. 25
8
B. Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan studi kepustakaan. Studi kepustaakan dan atau penggalian data sekunder dilakukan di sejumlah lembaga yang memiliki perhatian dan kepentingan dengan isu penelitian yang diangkat di Jakarta. Pengumpulan data melalui wawancara di lapangan diambil secara purposif, yakni di Provinsi Papua masing-masing dengan sejumlah informan yang mewakili lembaga publik dan swasta (LSM) yang menangani masalah terkait yang didasarkan pada sejumlah pertanyaan sebagai pedoman. Wawancara juga dilakukan dengan pihak Kedubes Norwegia di Jakarta untuk menilai respons mereka terhadap posisi informan di Provinsi Papua. C. Metode Analisis Data Metode analisis data dilakukan secara kualitatif yang didasarkan pada sejumlah data primer yang dikumpulkan dari kegiatan wawancara penelitian di lapangan baik di Provinsi Papua dan dengan Kedubes Norwegia di Jakarta. Sementara itu, data sekunder dikumpulkan baik dari dokumen-dokumen terkait dengan isu yang diangkat dan sejumlah dokumen lembaga yang terkait dengan fokus penelitian ini. III. PEMBAHASAN A. Temuan Lapangan dan Analisis A.1. Kondisi Sektor Kehutanan di Papua Sebagaimana telah disinggung di atas, data sampai tahun 2008 menunjukkan bahwa luas kawasan hutan tetap Provinsi Papua mencapai 28 31.773.063 ha. Bila digabungkan dengan Provinsi Papua Barat bahkan 29 luasnya mencapai 42.224.840 ha. Diperinci berdasarkan fungsi hutan, dari seluas 31,8 juta ha tersebut, hutan konservasi yang mencakup KSA/KPA seluas 5.699.409 ha, hutan lindung 8.206.984 ha, hutan 30 produksi (HP, HPT dan HPK) seluas 16.353.981 ha, kawasan perairan seluas 670.269 ha dan APL 842.421 ha. Persentase luas kawasan hutan Papua mencapai 16,9% dari kira-kira 187,79 juta ha luas daratan Indonesia berdasarkan penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2005/2006. Lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan luas areal berhutan secara nasional yang sebesar 98,46 juta ha (52,9% luas daratan 28
Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan Provinsi Papua Tahun 2008, disunting dalam http://www.dephut.go.id/files/Statistik_Papua_2008.pdf. Diakses 25 Oktober 2010. 29 Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2008, Jakarta, Oktober 2009. 30 Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, op.cit.
9
31
Indonesia), persentasenya luas hutan Provinsi Papua mencapai 32,3%. Nilai strategis Provinsi Papua sebagai tempat lokasi perintisan program REDD+ juga bisa dilihat tidak hanya dari tutupan hutannya masih tertinggi secara nasional tetapi juga politik pengelolaan ruang yang mulai dilaksanakan. Data program “Menuju Indonesia Hijau” yang dikeluarkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2008 menunjukkan bahwa kondisi tutupan hutan di Indonesia seluas 6.134,3 32 km2 atau 46% dari luas lahan yang ada. Dari seluas tutupan hutan 33 tersebut, Pulau Papua menyumbang 74,33%. Nilai ini hampir mencapai sepuluh kali lipat tutupan hutan yang ada di Pulau Jawa yang hanya 6,79%. Digabungkan dengan tingkat vegetasinya, tutupan vegetasi di Papua mencapai lebih dari 80% dari area total bervegetasi 34 secara nasional yang mencapai 76,3% pada tahun 2008. Data kehutanan dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua menunjukkan adanya perbedaan jumlah luas. Berdasar data itu, luas hutan di Papua mencapai 34.209.769 ha, yang dilihat dari fungsinya, perincian luas hutan di sana terlihat dalam Tabel 1 di bawah ini.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tabel 1: Data Potensi Hutan Provinsi Papua Luas Hutan Berdasarkan Peta Kawasan Hutan Fungsi Hutan Luas Ha Hutan Suaka Alam dan hutan Pelestarian 7.694.934 Alam Hutan Lindung 8.917.585 Hutan Produksi Terbatas 1.763.531 Hutan Produksi Tetap 8.883.093 Hutan Produksi Yang Dikonversi 6.109.342 Kawasan Perairan 841.284 Jumlah 34.209.769
% 18 21 4 21 14 2 66
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua; dikutip dalam http://www.papua.go.id/; diakses 13 April 2011.
31
Departemen Kehutanan, op.cit., hal. 6. Data statistik kehutanan 2007 menunjukkan bahwa 71% lahan atau daratan di Indonesia merupakan kawasan hutan. Dari kawasan hutan seluas 110.842.320 ha, 83% di antaranya adalah kawasan hutan tetap dan kawasan hutan yang dapat dikonversi. Lihat KLH, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008 (Jakarta: KLH, 2009), hal. 48. 33 Ibid. 34 Berdasarkan klasifikasi tutupan lahan yang dipakai, area bervegetasi adalah hutan alam, hutan lahan ekring, perkebunan, kebun campuran, hutan mangrove dan hutan campuran. Dikutip dalam ibid, hal. 43. 32
10
Berbicara tutupan hutan akan terkait dengan fenomena deforestasi. Deforestasi diartikan sebagai perubahan kondisi tutupan lahan dari berhutan menjadi tidak berhutan termasuk perubahan alih fungsi lahan. Hasil perhitungan berdasarkan citra SPOT Vegetation yang mempunyai resolusi rendah, yaitu 1000 meter, laju deforestasi di Indonesia dapat dikenali di tujuh pulau utama, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, dan Bali dan Nusa Tenggara, terhitung rata-rata 35 1,09 juta ha/tahun pada periode tahun 2000-2005. Di Provinsi Papua, diperhitungkan dengan kawasan hutan (KSA-KPA, HL, HPT, HP, dan HPK) dan non-kawasan hutan (APL), angka deforestasi mencapai 21.685,7 ha pada periode 2003-2006. Angka ini mewakili 1,85% dari keseluruhan deforestasi secara nasional yang mencapai 1.174.068 ha 36 untuk periode yang sama. Gambaran deforestasi secara komparatif di tingkat Provinsi dan secara nasional berdasarkan kelompok/jenis hutan dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah. Tabel 2: Deforestasi Papua dan Nasional periode 2003-2006 (ha) No.
1 2
3
Deforest asi Papua dan Nasional Prov. Papua Prov. Papua Barat Nasional
Kawasan Hutan Hutan Tetap HPT HP Jml
APL
Jml Total
HPK
Jml Total
3.537
19.481
1.349
10.216
771
15.94 4 3.880
517
4.396
509
4.905
318.8 89
652.4 95
108.7 03
761.19 8
412.8 76
1.174.06 8
KSAKPA
HL
2.667
5.744
649
6.885
604
1.686
819
55.61 6
130.31 9
147.6 70
Sumber: Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan, 2009 (perhitungan dilakukan secara pembulatan).
Persoalan deforestasi sedikit banyak akan terkait dengan persoalan lahan kritis. Tingkat perkembangan lahan kritis di Papua tergolong rendah. Data sampai dengan tahun 2005 yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Provinsi, misalnya, menunjukkan bahwa luas lahan kritis di sana 875.443,8 ha. Dilihat per kabupaten, separuh jumlah kabupaten 37 bahkan tidak menunjukkan adanya lahan kritis. A.2. Respons Povinsi Papua terhadap LoI
35
Departemen Kehutanan, op.cit., hal. 6. Ibid., hal. 26. 37 Lihat potensi Papua pada sektor kehutanan. Disunting dalam http://www.papua.go.id/; diakses 13 Januari 2011. 36
11
Di atas kertas, Provinsi Papua memberikan dukungan politis terhadap LoI dalam rangka memperkuat komitmen penurunan emisi Indonesia secara global. LoI ini bahkan untuk sebagian memperkuat politik pengelolaan sektor kehutanan provinsi tersebut. Ada beberapa 38 alasan yang memperkuat argumen ini. Pertama, kebijakan moratorium 39 hutan primer dan lahan gambut sebagaimana diamanatkan dalam LoI telah diakomodasi dalam kebijakan revisi RTRWP Provinsi Papua yang sejauh ini masih dalam kajian Tim Terpadu Kementerian Kehutanan. Seperti kita ketahui bahwa Pemda Provinsi Papua telah mengambil kebijakan untuk mempertahankan 70% wilayah hutannya dalam setiap 40 kebijakan pembangunan jangka panjangnya. Hasil revisi RTRWP Papua menunjukkan adanya beberapa terobosan yang secara politis 41 memperkuat peran Papua dalam pelaksanaan LoI. Sebagai contoh, sejumlah usulan revisi itu telah menawarkan sejumlah perubahan mendasar dalam peruntukan dan fungsi kawasan, misalnya untuk Areal Penggunaan Lain (APL) bertambah 401.975 ha (+47,7%), Hutan Lindung bertambah 3.151.028 ha (+43.8%), Hutan Produksi berkurang 4.960.251 ha (-60%), HPK bekurang 2.847.146 ha (43.9%), HPT bertambah 42 4.338.821 ha (237.7%), KSA/KPA bertambah 312.225 ha (4.4%). Dalam konteks pelaksanaan REDD+, khususnya dalam pelaksanaan tahapan transformasi yang berisi tentang inisiasi upaya mitigasi skala besar dalam bentuk moratorium ijin konversi konversi lahan gambut, potensi peran Papua sangat besar. Dari seluas 21 juta ha lahan gambut atau 11% dari luas tata ruang Indonesia sebesar 190,994,685 ha, lahan 43 gambut terluas berada di Pulau Papua mencapai 38%. Arti pentingnya 38
Wawancara dengan Agus Rumansara, Noak Kapisa dan Peter Kamarera, Satgas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon, 15 November 2010, 15 November 2010. 39 Lihat LoI khususnya Phase 2: Transformation huruf C angka i. 40 Siaran Pers Kemenhut, disunting dalam http://www.dephut.go.id/index.php?q=id%2 Fnode%2F6700, diakses 25 Oktober 2010. 41 Menurut sumber Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang mengutip penegasan Menteri Kehutanan ketika menerima tim pengusul revisi RTRWP Provinsi Papua bahwa Provinsi Papua adalah satu-satunya provinsi yang usulan revisi RTRWP-nya menambah luas kawasan hutan secara signifikan. Disarikan dari wawancara dengan Naok Kapisa, Satgas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon di Provinsi Papua, Ka Badan, 15 November 2010. 42 Proses perubahan kawasan hutan mekanismenya diatur dalam Pasal 19 UU No. 41 Tahun 1999 yang diatur lebih lanjut melalui PP No. 10 Tahun 2010 dan secara teknis diatur oleh Permenhut No. P.36/Menhut-II/2010 tentang Tim Terpadu dalam rangka Penelitian Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Sejauh ini karena revisi RTRWP Papua termasuk yang mengalami perubahan peruntukan, sejauh ini usulan RTRWP Papua masih dalam proses penelitian tim terpadu bersama-sama dengan 9 usulan RTRWP, yakni Provinsi Kaltim, Kalbar, Riau, Kepri, Bengkulu, Jambi, Babel, Aceh dan Sumut. Disunting dalam kertas kerja/dokumen Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan RI, “Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan yang Berdampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis pada Revisi RTRWP Sumatera Barat”, disampaikan dalam RDP Komisi IV dengan Dirjen Planologi Kehutanan, 18 Januari 2011. 43 Disusul Pulau Sumatera, 34% dan Kalimantan, 28%; disunting dalam http://docs.google .com/gview?ur1=http://www.gcftaskforce.org/documents/May-Aceh/Side-Event-Presentation; diakses 23 Maret 2011.
12
pengelolaan lahan gambut dapat dilihat dari tingginya tingkat emisi GRK dari deforestasi dan degradasi lahan gambut yang mencapai 1,2 juta 44 MtCO2e. Kedua, dalam rangka pengelolaan sumber daya hutan, Provinsi itu telah melaksanakan kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pengelolaan ekonomi rendah karbon sejak tahun 2009. Kebijakan itu diarahkan untuk mencapai visi pembangunan Papua yang berkelanjutan berdasarkan sebuah model ekonomi yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata, mempertimbangkan daya dukung ekologis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa tujuan yang akan dicapai dalam kebijakan ini, yakni: (1) membantu pelaksanaan komitmen Indonesia dalam upaya penurunan emisi mencapai 41% dengan dukungan internasional; (2) mengurangi deforestasi, peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua dan menjadikan perekonomian Papua berkesinambungan dan rendah karbon yang mendasari kemandirian 45 pada tahun 2030. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan ini, Gubernur 46 Papua membentuk Satgas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon yang melibatkan semua unsur pemangku kepentingan baik dari unsur publik dan masyakat seperti akademisi, LSM, sektor privat, dan perwakilan masyakat adat. Satgas ini bahkan diarahkan pada pelaksanaan komitmen pelaksanaan REDD pada awal 2010 dan merupakan tindaklanjut dari salah satu rekomendasi Konferensi Pertama Keanekaragaman Hayati untuk Pembangunan Berkelanjutan di Tanah Papua pada tahun 2009 dan hasil kunjungan Gubernur Papua ke 47 Norwegia dalam rangkaian COP ke-15. Kemauan politik daerah tersebut dalam rangka mitigasi perubahan iklim tidak hanya didorong oleh kondisi yang dihadapi Provinsi ini 48 sendiri tetapi juga dalam memperkokoh peran kepemimpinan Indonesia secara global. Dalam mendukung komitmen itu, provinsi ini menegaskan 44
Ibid. Lihat Barnabas Suebu, A Global Solution, Building a Low Carbon Economy for Papua Province, Indonesia, presentasi gubernur dalam forum COP ke-15 di Kopenhagen, 2009, hal. 4. 46 Dikukuhkan melalui Surat Keputusan Gubernur Papua, No. 105 Tahun 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon di Provinsi Papua, 11 Oktober 2010. 47 Wawancara dengan Agus Rumansara, Noak Kapisa dan Peter Kamarera, Satgas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon, 15 November 2010. Lihat juga “First International Biodiversity Conference on Sustainable Development in the Land of Papua”, Jayapura, Papua, 11-14 November 2009 dengan tema “Working together for Sustainable Development in Tanah Papua for Our Future”. Konferensi ini dilakukan atas kerja sama antara Pemda Provinsi Papua, Pemda Provinsi Papua Barat, Conservation International Indonesia dan WWF Indonesia Sahul Papua. Disunting dalam http://ibcpapua.logspot.com/; diakses 31 Januari 2011. 48 Provinsi Papua telah mengakui bahwa dampak perubahan iklim telah dirasakan seperti ditunjukkan dengan terjadinya fenomena kelaparan dan kekeringan di sebagian wilayah dataran tingginya di wilayah tengah provinsi itu. Kenaikan 2 derajat secara global akan berdampak pada menurunnya kemampuan daerah dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan angka kematian bayi di wilayah-wilayah padat penduduk. Suebu, loc.cit., hal. 2. 45
13
4 komitmen dalam pengelolaan sektor kehutanan: (1) konservasi setidaktidaknya 50% hutan Papua yang telah dialokasikan untuk hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) atau telah dialokasikan untuk kawasan nonkehutanan (APL) dan kemudian dialokasikan untuk kawasan hutan berkelanjutan yang dikelola oleh masyarakat lokal; (2) tidak menggunakan hutan alam atau kawasan lain yang bernilai sosio-kultural, konservasi dan sejalan dengan stabilisasi iklim seperti lahan gambut untuk sawit dan alih fungsi lahan secara besar-besaran; (3) menjamin bahwa sawit dan alih fungsi lahan lainnya telah menggunakan standar terbaiknya; mencakup investasi bagi optimalisasi lahan yang dipakai dan mengurangi konversi hutan baru; dan (4) upaya diversifikasi perekonomian terpencil, termasuk dukungan bagi pengembangan energi, 49 perusahaan agro-kehutanan skala kecil menengah. Dengan menerapkan beberapa prinsip di atas, dari seluas 6 juta ha hutan yang telah dipersiapkan untuk HPK dan APL, Pemda itu berkomitmen untuk mengurangi potensi deforestasi yang sudah pasti terjadi jika tanpa intervensi kebijakan di atas dari sektor sawit sampai dengan 830 juta ha atau setara dengan penyelamatan 0.94 gigaton potensi emisi CO2. Pemda itu juga berkomitmen untuk tidak akan membuka hutan untuk perkebunan kepala sawit dan berupaya mencari alternatif lain yang sesuai dengan prinsip pengelolaan kehutanan dan agro-kehutanan secara lestari jika dunia internasional bersedia memberikan kompensasi potensi pendapatan yang hilang akibat kebijakan terobosan tadi sehingga upaya ini diharapkan dapat menyimpan sejumlah 1,08 gigaton potensi emisi CO2. Namun demikian, semua upaya ini mengharuskan Pemda Papua revisi total pembangunan ekonomi Papua dan RTRWP dan pemberlakuan model usaha kehutanan 50 dan pertanian yang ramah lingkungan. Dalam rangka kebijakan ini pula, Pemda terus berupaya mendorong pengembangan “best practises” 51 dalam pengelolaan hutan (sertifikasi FSC dan PHPL). Ketiga, setidak-tidaknya terdapat 3 kerangka hukum yang secara langsung mendukung pelaksanaan LoI jika provinsi ini dipilih menjadi pelaksana REDD+ dalam tahapan berikutnya, yakni (1) Perdasus Provinsi Papua No. 6 Tahun 2008 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup; (2) Perdasus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua; dan (3) Perdasus Provinsi Papua No. 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua. Perdasus No. 21 Tahun 2008 49
Ibid. Ibid. 51 Sebenarnya dalam rangka pengelolaan sektor kehutanan, kerangka hukum lokal lainnya telah digulirkan pada tahun 2008, yakni Perdasus No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Pandangan dari Foker LSM Papua menunjukkan bahwa Perdasus itu belum bisa dilaksanakan karena adanya persoalan tarik-menarik kepentingan antara Gubernur di satu sisi dengan pihak legislatif di sisi lain dan faktor kesiapan daerah itu itu sendiri. Wawancara dengan Abner Mansai AR, Kord. Pokja PSDA Foker LSM Papua, 16 November 2010. 50
14
bahkan terkait langsung dengan pelaksanaan komitmen LoI, khususnya Phase 2: Transformation huruf C angka iii dalam rangka penegakan hukum menentang pembalakan liar dan perdagangan kayu log dan kejahatan kehutanan terkait. Pasal 52 Perdasus No. 21 Tahun 2008 ayat (1) misalnya, secara jelas mengatur tentang kewajiban mengolah kayu bulat dan hasil hutan lainnya di wilayah Provinsi Papua dalam rangka optimalisasi industri kehutanan, meningkatkan nilai tambah, menciptakan peluang kerja, meningkatkan peluang usaha dan meningkatkan pengetahuan dan teknologi. Pelarangan ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai tindaklanjut atas inisiatif Gubernur Papua yang mengeluarkan larangan ekspor kayu Merbau bulat keluar dari Papua yang mulai berlaku 52 mulai 19 Januari 2008. Langkah ini tentunya tidak hanya dalam rangka optimalisasi industri dan nilai tambah sebagaimana tersebut di atas tetapi juga sebagai langkah terobosan dalam rangka mengatasi ancaman deforestasi dan degradasi akibat ekspor kayu log. Penyusutan hutan di Papua diperkirakan sebesar 600 ribu m3 per bulan dan diduga terjadi laju deforestasi yang mencapai 2,8 juta ha pertahun. Hilangnya areal hutan tersebut karena pengelolaan yang tidak bijaksana, pembalakan liar dari perusahaan-perusahaan HPH melalui ijin pengelolaan hutan (IPKMA dan 53 Kopermas) yang disalahgunakan. Keempat, dalam kerangka perubahan iklim dan pengelolaan hutan Papua, Pemda Papua juga telah melakukan kerja sama subnasional dengan beberapa provinsi di luar negeri misalnya, seperti yang dilakukan dengan Negara Bagian California di Amerika Serikat. Kerja sama ini ditujukan dalam rangka menjajagi penjualan karbon yang dinilai terjadi 54 ketidakjujuran dalam perdagangan karbon dunia.
52
Disunting dari http://telapak.blogspot.com/2008/08/regulasi-perdagangan-kayu-industri. html; diakses 31 Januari 2011. 53 Lihat Rachmad Hariyadi ”Papua Benteng Terakhir Hutan Tropis Indonesia”, disunting dalam http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=120529091348237; diakses 31 Januari 2011. Eksploitasi Papua Merbau merupakan kayu keras bernilai tinggi. Kayu jenis ini sangat diincar karena permintaannya tinggi di Cina dan India. Di Australia, Uni Eropa, dan AS, dimanfaatkanuntuk produk jadi. Hampir semua merbau ekspor Indonesia berasal dari Papua. Gelondongan merbau di Papua dijual dengan kisaran USS250 hingga US$300 per meter kubik. Setelah Gubernur Papua mengeluarkan larangan keluar dari Tanah Papua, penyelundupan Merbau dicuci di Provinsi Papua Barat. Lihat “Penyelundupan Merbau Menggurita”, disunting dalam http://bataviase.co.id/node/328837; diakses 31 Januari 2011. 54 Isu ini dalam mekanisme Kyoto terutama dalam skema CDM juga terjadi di mana isu kesetaraan beban dalam penanganan emisi GRK melalui CDM antara negara-negara maju dan berkembang dinilai menjadi salah satu kelemahan protokol ini. Lihat misalnya, Daniel Murdiyarso, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 21-23; 162-164. Juga dalam karya penulis yang sama, Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), khususnya pada Bab IV, hal. 35-46. Ketidakjujuran itu misalnya, dapat dilihat dari penggunaan baseline dalam penilaiannya sehingga perdagangan karbon seolah-olah adalah pembagian kompensasi bagi provinsi yang nakal sedangkan yang sebelumnya mengelola hutan dengan baik tidak mendapatkan penghargaan yang cukup. Wawancara dengan Agus Rumansara, Ketua Satgas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Provinsi Papua, 15 November 2010.
15
Kelima, LoI tidak bertentangan dengan rencana pengembangan kelapa sawit di Papua dan Merauke Industrial Food and Energy Estates (MIFEE). Kebijakan terbaru Provinsi Papua bahwa MIFEE akan dibatasi dan dilakukan secara inkremental, yakni dari setiap 500 ribu ha. Dalam revisi RTRWP Papua, 500-800 ribu ha yang terbagi ke dalam 10 kluster: hutan primer, bergambut, berawa dll., sebenarnya telah dipersiapkan untuk MIFEE tetapi dikembangkan dari skala kecil dalam (HPK) maupun di luar kawasan hutan. Kebijakan ini ditempuh tidak hanya pada persoalan potensi gesekan secara sosio-kultural dan ekonomi tetapi juga berkaca pada kegagalan pengembangan 1 juta ha padi di lahan gambut di Kalimantan. Hal lain adalah kondisi Merauke yang berawa sehingga jika dilakukan secara besar-besaran, potensi kekuarangan air dan emisi juga terjadi di sana. Kebijakan lain adalah: (1) kebijakan mandatoris peningkatan produktifitas di lahan yang ada; (2) pengembangan sawit di HPK dan terbatas pada 800 ribu ha; (3) pengembangan sawit yang 55 berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Namun demikian, dalam hal Provinsi Papua dipilih menjadi provinsi berikutnya sebagai tempat percontohan program REDD+, seharusnya dapat disesuaikan dengan peran Papua dalam pengelolaan hutan selama ini. Pendek kata, program REDD+ perlu mempertimbangkan bahwa investasi yang telah dilakukan Papua selama ini memiliki nilai strategis dalam perlindungan hutan bagi proyeksi kepentingan penjagaan 56 iklim global. Akibatnya, kerja sama REDD+ dalam kerangka LoI ini tidak semestinya disamakan dengan hubungan antara donor dan resipien yang dalam pelaksanaan setiap bantuan langsung dapat dinilai 57 hasilnya. Hal lain terkait dengan fleksibilitas pelaksanaan program REDD+ di lapangan terutama dalam pemenuhan parameter MRV yang 58 dianggapnya relatif menyulitkan pelaksanaannya di hutan Papua. 55
Jika MIFEE dilakukan secara mekanis, ia akan membutuhkan tenaga terampil. Jika 1 ha dibutuhkan 1 orang, diperhitungkan dengan keluarga, ia menambah 4 juta penduduk, jumlah yang setara dengan empat kali lipat dari penduduk Papua, jumlah yang jauh berbeda dengan di Freeport. Wawancara dengan Noak Kapisa, Ka BPSDALH, 15 November 2011. 56 Secara umum, sejak 1975 perhatian internasional terhadap emisi antropogenik dan alih fungsi lahan telah berkembang pesat sampai terbentuknya UNFCCC pada tahun 1990-an. Perhatian global terhadap isu iklim semakin kuat mulai abad ke-21. Majalah Times edisi 26 Agustus 2002 menyuarakan abad itu sebagai Abad Hijau. Beberapa dekade kemudian, Glantz misalnya, memprediksikan bahwa abad ini sebagai “abad iklim”. Lihat Michael H. Glantz, Climate Affairs, A Primer (Washington, DC: 2003), hal. 2, 9 dan 63. Lihat juga Tropika Indonesia, Vol. 14, No. 3&4 (Musim Hujan, Juli-Desember, 2010): 45-47. Bandingkan dengan dekade 1980-an dengan konsepsi “dekade penemuan lingkungan”, seperti ditulis T. May Rudy, Hubungan Internasional Komtemporer dan Masalah-Masalah Global (Bandung: Refika Aditama, 2003), hal. 58. 57 REDD adalah co-investment untuk kepentingan Papua, Indonesia dan dunia sehingga skema hibah harus lebih ditentukan dari awal. Wawancara dengan Agus Rumansara, Noak Kapisa, dan Peter Kamarera, Satgas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon, 15 November 2010. 58 Wawancara dengan Hege Karsti Ragnhildstveit dan Jon Heikki Aas, perwakilan Kedubes Norwegia di Jakarta, 19 Januari 2011. Mereka menegaskan potensi tidak seluruhnya tersalurkan dana hibah karena tidak terpenuhinya persyaratan LoI dapat saja terjadi.
16
Mengapa demikian? Hampir 80% masyarakat Papua masih tergantung sepenuhnya dari hutan dan sebagian masyarakat masih hidup sebagai pemburu dan peramu. Jika program REDD+ dilaksanakan di sana akan mengharuskan adanya pembatasan terhadap aktifitas di dalam hutan sementara jika karena parameter MRV tidak terpenuhi, skenario 59 munculnya persoalan sosial dapat terjadi. Hal ini ditegaskan juga oleh Forum Kerja Sama (Foker) LSM Papua. Menurutnya, Papua seharusnya jangan masuk terlebih dahulu dalam skema REDD+ sebelum pemerintah daerah benar-benar siap dan masyarakatnya disosialisasikan secara penuh. Bagi Foker Pemda dengan dana Otsus bisa mengelola hutan tanpa REDD+ dan potensi manfaat terbuka lebar. Hal terpenting adalah dukungan nyata Pemda. Alasan lain bahwa perubahan iklim tidak hanya dijawab dengan REDD+ apalagi jika dilihat secara politis sebagai sebuah proyek negara-negara maju. Belum lagi jika diperhitungkan dengan pemahaman masyarakat terhadap isu perubahan iklim. Apalagi terkait dengan skema REDD+ di mana Pemda Papua sendiri masih terperangkap pada wacana yang belum jelas dan belum bisa dilihat serta bagaimana cara menjualnya; dengan cara apa dan apa benar ada uang di sana jika masyarakat 60 menjaga hutan. A.3. Implikasi Peran Provinsi Papua dalam LoI terhadap Pemenuhan Komitmen Penurunan Emisi Indonesia Serangkaian kebijakan yang ditempuh Provinsi Papua dalam pengelolaan sektor kehutanan sedikit banyak telah memberikan ruang peran sub-nasional yang berkontribusi dalam pemenuhan komitmen penurunan emisi Indonesia. Secara analitis, beberapa indikasi peran itu dapat ditilik dari beberapa kebijakan sebagai berikut. Pertama, kebijakan Keep Papua Green, kebijakan untuk mempertahankan kawasan hutan 61 seluas 70%. Kedua, pelansiran kebijakan investasi dan pembangunan ekonomi rendah karbon. Dalam dokumen „politik pembangunan‟ itu, ditegaskan dukungannya terhadap pemenuhan komitmen penurunan 62 emisi pemerintah. Seperti ditegaskan ………
59
REDD akan mensyaratkan hutan tidak boleh disentuh masyarakat, kondisi yang berpotensi mengancam kehidupan masyarakat Papua. Wawancara dengan Abner Mansai AR, Kord. Pokja PSDA Foker LSM Papua, 16 November 2010. Pandangan ini dibantah sumber Kedubes Norwegia yang menyatakan bahwa LoI tidak akan menganggu atau ingin menambah konflik di Indonesia. 60 Wawancara dengan Abner Mansai AR, Kord. Pokja PSDA Foker LSM Papua, 16 November 2010. Pandangan ini tentunya berbeda dengan Pemda. Dinas Kehutanan sendiri menyatakan bahwa di tingkat Provinsi pemahaman soal ini sudah cukup namun tidak demikian halnya di tingkat kabupaten. Jawaban tertulis Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua. 61 Siaran Pers Kemenhut, disunting dalam http://www.dephut.go.id/index.php?q=id%2Fnode %2F6700, diakses 25 Oktober 2010. 62 Barnabas Suebu, loc.cit., hal. 2.
17
“For this reason, I commend the President’s bold leadership step committing Indonesia to reduce greenhouse gas emissions by up to a total of 41% by 2020, including a 15% cut with international support. ............, I declared my commitment to work with the President of Indonesia to present clear, low-carbon development plan for Papua at Copenhagen. This will be necessary if Indonesia is to stand as a front-line recipient of early financing for REDD. With 32 million ha of largely intact natural forest, Papua remains the Indonesia’s flagship in its effforts to tackle climate change. Never before has this vast wealth of forests had such a vital role to play in buffering our people against the impacts of environmental degradation and climatic instability. As such, I want Papua to lead the way for Indonesia, in defining and building a sustainable future for all our peoples” [garis bawah oleh penulis].
Dalam kerangka kebijakan ini pula provinsi itu menegaskan bahwa dari seluas 6 juta ha hutan yang telah dipersiapkan untuk hutan produksi konversi (HPK) dan kawasan non-kehutanan dalam bentuk areal penggunaan lain (APL), akan dikurangi hanya menjadi 0,83 juta ha atau setara dengan penyelamatan 0.94 gigaton emisi karbon jika kebijakan itu tetap dilaksanakan. Pemda juga berkomitmen tidak akan membuka hutan untuk kepala sawit dan berupaya mencari alternatif lain yang sesuai dengan prinsip pengelolaan kehutanan secara lestari jika dunia internasional bersedia memberikan kompensasi sehingga diharapkan upaya ini dapat menyimpan sejumlah 1,08 gigaton potensi emisi 63 karbon. Dengan kebijakan tersebut, Provinsi itu dapat memberikan kontribusi sebesar 25% dari target penurunan emisi pemerintah sebesar 26% dengan dukungan domestik atau 10% dari komitmen total sebesar 64 41% pada tahun 2020. Keyakinan itu tidak hanya dalam rangka pemenuhan komitmen secara nasional tetapi juga secara global seperti ditegaskan berikut ini: “By doing this I hope to provide a solution, by contributing 1/5 (one fifth) of the global effort to reduce deforestation 25% by 2015, as recommended by the International Working Group on Interim 65 Finance for REDD.” Meskipun secara politis, teknis dan kelembagaan tugas ini begitu berat, keberhasilan pemenuhan komitmen ini akan bernilai sangat strategis bagi Indonesia. Mengapa demikian? Target 41% pengurangan emisi sampai dengan tahun 2020 nilainya setara dengan penuruan emisi GRK sebesar 1,2 gigaton, nilai yang setara dengan 8% kebutuhan pengurangan emisi yang direkomendasikan Panel antar-Pemerintah 63
Sebenarnya terobosan penting lainnya dalam kerangka pengelolaan sektor kehutanan, kerangka hukum lokal lainnya telah digulirkan pada tahun 2008, yakni Perdasus No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Foker LSM Papua menunjukkan bahwa Perdasus itu masih belum bisa dilaksanakan karena adanya persoalan tarik-menarik kepentingan antara Gubernur di satu sisi dengan pihak legislatif di sisi lain dan faktor kesiapan daerah itu dalam melaksanakan perda itu. Wawancara dengan Abner Mansai AR, Kord. Pokja PSDA Foker LSM Papua, 16 November 2010. 64 Suebu, loc.cit. 65 Ibid., hal. 3.
18
untuk Perubahan Iklim PBB dalam rangka menjaga temperatur global 66 tidak naik lebih dari 2 derajat. Secara nasional, keberhasilan ini menyumbang penurunan emisi GRK tahunan sebesar 120 megaton, sebuah penurunan emisi yang jauh lebih besar dari tingkat emisi tahunan 67 yang mencapai 2.027 juta emisi Indonesia pada saat ini. Dan Ketiga, kebijakan tata ruang (RTRWP). Hasil penyusunan RTRWP Papua menunjukkan adanya beberapa terobosan yang secara politis telah menunjukkan adanya keberpihakkan terhadap kepentingan ekologis. Lebih dari itu, Provinsi Papua dikategorikan sebagai satu-satunya provinsi yang usulan revisi RTRWP-nya menambah luas kawasan hutan 68 secara signifikan. Secara analitis, LoI sebenarnya sesuatu yang sifatnya terpisah dari komitmen Indonesia dalam penurunan emisi global. Bahkan kalau pun akhirnya LoI tidak bisa memberikan hibah secara penuh karena tidak terpenuhinya kondisi yang ditetapkan, komitmen Indonesia itu akan tetap dijalankan. Dengan demikian, dalam hal Provinsi Papua dalam tahapan 69 LoI berikutnya, provinsi itu tidak terpilih menjadi tempat percontohan program REDD+, peran provinsi itu tetap signifikan dalam rangka pemenuhan komitmen pemerintah tersebut. Sebaliknya, signifikansi peran itu juga akan semakin besar jika ia terpilih. Namun demikian, implikasi positif peran Provinsi Papua tentunya menyaratkan sejumlah „kompromi‟ karena faktor-faktor sebagai berikut. Pertama, dukungan masyarakat. Dalam konteks sosio-kultural, persoalan ini menjadi tantangan tersendiri karena kentalnya masyarakat Papua di sekitar hutan yang menggantungkan kehidupan subsistennya terhadap hasil hutan non-kayu dan berburu. Hal lain terkait dengan sinergitas dengan kerangka peraturan daerah yang mengatur tentang
66
“Fact Sheet Norway-Indonesia Partnership REDD+”, dalam http://www.norway.or.id/ PageFiles/404362/FactSheet IndonesiaGHGEmissionMay252010.pdf; diakses 18 Januari 2011. Pencapaian ambisi ini bukan tanpa alasan kuat. Dalam konteks kepentingan negaranegara miskin (LDCs) misalnya, Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) memperkirakan bahwa kenaikan temperatur global 1 derajat celsius saja akan menurunkan pertumbuhan ekonomi tahunan rata-rata 2-3%. Sementara kubu LDCs yang jumlahnya mencapai 48 negara hanya menyumbang kurang dari 1% emisi GRK global. Lihat “Towards a New International Development Architecture for LDCs”, The Least Developed Countries Reports 2010, UNCTAD Report (New York & Geneva, 2010), hal. 16. Data LDCs disunting dalam “Least Developed Countries: Country profiles”, http://www.unohrlls.org/en/ldc/related/62/; diakses 28 Maret 2011. 67 Diperhitungkan dari estimasi emisi dari sektor kehutanan yang mencapai 750 juta ton C02 (37% dari total emisi secara nasional. Data diolah dari “Fact Sheet Norway-Indonesia Partnership REDD+”, dalam http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/FactSheet Indonesia ForestMay252010.pdf; diakses 18 Januari 2011. 68 Wawancara dengan anggota Satgas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon, 15 November 2010. 69 Setidak-tidaknya terdapat dua alasan hipotetis jika pada akhirnya tidak menjadi tempat program itu, pertama, politis, karena tingginya „tuntutan‟ fleksibilitas pelaksanaan LoI di provinsi itu dan potensi „tuntutan‟ lain dalam skema lainnya, dan kedua, teknis, yakni kuatnya penekanan REDD+ pada daerah-daerah yang tingkat degradasi hutannya mencapai titik kulminatif seperti terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
19
70
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam konteks inilah peran masyarakat adat Papua menjadi penting dalam isu REDD+. Sejauh ini diakui bahwa potensi resistensi masyarakat setempat yang tinggal dan menggantungkan kehidupannya pada hasil hutan dan atau membuka hutan secara berpindah-pindah terhadap pelaksanaan 71 proyek REDD+ di Papua sangat mungkin terjadi. Jika hal ini gagal, 72 kompensasi hibah akan menjadi lahan koruptif baru. Kedua, penyelesaian Perda RTRWP Papua. Kebijakan di atas kondusif sifatnya dengan asumsi bahwa usulan revisi RTRWP Papua. Sejauh ini usulan revisi RTRWP Papua masih dalam kajian Tim Terpadu 73 Kemenhut sebelum disahkan oleh DPR dan kemudian di-Perda-kan. Proses yang lambat dapat berimplikasi pada batalnya penetapan Provinsi Papua sebagai tempat percontohan REDD+ tahap berikutnya. Terlepas dari pertimbangan teknis dan politis, Provinsi itu menjadi salah satu 74 provinsi yang menjadi benteng terakhir hutan tropis di Indonesia. Oleh karena itu, ia dapat menjadi salah satu provinsi yang paling siap dalam pelaksanaan program REDD+ mulai 2012. Ketiga, persoalan potensi tarik-menarik antara Provinsi Papua dengan pemerintah pusat terkait dengan potensi tetesan hibah LoI. Seperti disinggung di atas bahwa Provinsi itu mengajukan semacam „tuntutan‟ jika dipilih menjadi tempat percontohan REDD+ fase berikutnya seperti dikonsepsikan dengan “No Rights No REED+”, pola pembayarannya dan perlunya perhitungan terhadap „investasi‟ ekologis Provinsi itu selama ini. Persoalan ini tentunya akan sangat dilematis apalagi jika sebagian isi LoI sudah berjalan meskipun wacana perubahan terhadap LoI sangat dimungkinkan dalam rangka mengakomodasi 75 kepentingan lokal. Yang pasti, kontribusi finansial Norwegia per tahun sepenuhnya akan ditentukan oleh penilaian kelompok penilai independen 70
Misalnya, Perdasus Provinsi Papua No. 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua. 71 Wawancara dengan Sihar Simatupang dan Aldas Palilo, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua, 19 November 2011. Salah poin yang ditegaskan sumber Kedubes Norwegia adalah bahwa salah satu faktor penting yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan LoI adalah jaminan bahwa hak dan kepentingan masyarakat lokal dapat terjaga. Wawancara dengan Hege Karsti Ragnhildstveit dan Jon Heikki Aas, Kedubes Norwegia, Jakarta, 19 Januari 2011. 72 Disarikan misalnya, dari pandangan Abner Mansai AR, Kord. Pokja PSDA Foker LSM Papua, 16 November 2010. Juga Rachmad Hariyadi, loc.cit. 73 Lihat Dokumen Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan RI, “Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan yang Berdampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis pada Revisi RTRWP Sumatera Barat”, disampaikan dalam RDP Komisi IV dengan Dirjen Planologi Kehutanan, 18 Januari 2011. Sebagai contoh, lambatnya pengembangan sawit di Papua antara lain terbentur tidak hanya pada persoalan non-teknis seperti persoalan penggunaan lahan dan resistensi masyarakat lokal tetapi juga persoalan perijinan sampai terselesaikanya RTRWP. Wawancara dengan Sri Kusbianti, Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, 16 November 2010. 74 Lihat misalnya, Rachmad Hariyadi, loc.cit. 75 Wawancara dengan Hege Karsti Ragnhildstveit dan Jon Heikki Aas (Counsellor), perwakilan Kedubes Norwegia di Jakarta, 19 Januari 2011.
20
atas sejumlah indikator capaian dan pengurangan emisi yang dapat 76 diverifikasi di provinsi di mana proyek percontohan REDD+ dilakukan. Sebagai negara yang memiliki hutan terluas ketiga di dunia, Indonesia memiliki peran strategis dalam upaya mitigasi perubahan iklim global. Dengan merujuk pada pelaksanaan Demonstration Activities REDD (DA-REDD) hasil keputusan COP ke-13 misalnya, di Kalimantan Barat, Tengah dan Timur, dan Jawa Timur telah dilakukan beberapa DAREDD melalui kerja sama dengan Australia, Jerman, International Tropical Timber Organization (ITTO) dan The Nature Conservancy 77 (TNC). Di sinilah peran subnasional terlihat. Oleh karena itu, dengan luas hutan dan gambutnya, Provinsi Papua sangat potensial dalam 78 mitigasi perubahan iklim. Potensi yang sama dalam proyek percontohan REDD+. IV. Kesimpulan LoI Indonesia-Norwegia telah menawarkan agenda strategis yang sekaligus memberikan ruang, fleksibilitas dan tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam melaksanakan komitmen mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim dari sektor kehutanan. Dengan demikian, keberhasilan agenda strategis ini akan memiliki dua misi pencapaian sekaligus, yakni secara nasional dan global. Upaya pemenuhan komitmen LoI dan penurunan emisi lainnya secara nasional membutuhkan peran daerah yang memiliki sumber daya kehutanan yang cukup luas. Dalam kerangka LoI, peran beberapa provinsi yang akan dijadikan sebagai pelaksanaan program REDD+ akan sangat menentukan keberhasilan kucuran hibah senilai 1 milyar dolar AS yang akan diterima Indonesia. Provinsi Papua adalah salah satu provinsi yang memberikan respons positif terhadap pelaksanaan LoI. Sejumlah faktor memperkuat pandangan ini seperti luas hutan yang mencapai 32 juta ha, politik pembangunan ekonomi, kerangka hukum daerah, dukungan politis terhadap pemenuhan komitmen pemerintah pusat dalam mengurangi tingkat emisi secara global dan tata kelola sektor kehutanan lainnya (RTRWP). Oleh karena itu, di atas kertas provinsi itu berpotensi sebagai lokasi pelaksanaan program REDD+ pada tahapan transformasi LoI.
76
“Indonesia-Norway Partnership Joint Concept Note”, dokumen fisik diakses dari Kedubes Norwegia, Jakarta, tertanggal 12 Maret 2010. 77 Kementerian Kehutanan, Strategi REDD Indonesia, Fase Readiness 2009-2012 dan Progress Implementasinya (Jakarta: Kementerian Kehutanan, 2010), hal. 14-19. Buku diluncurkan berbarengan dengan peluncuran DA-REDD dan REDD+; dikutip dalam http://www.dephut.go.id/files/strategi_REDDI_0.pdf; diakses 24 Maret 2011. 78 Data Bank Dunia misalnya, 85% wilayah Papua dan Papua Barat adalah hutan. Gambut di Papua seluas 6,9 juta ha. Sementara itu, deforestasi di Papua kira-kira hanya 1% dari total deforestasi di Indonesia. Lihat Penilaian Strategis Untuk Perencanaan Ruang di Provinsi Papua, Bank Dunia, 2008.
21
Potensi peran subnasional Provinsi Papua akan tetap signifikan dalam pemenuhan komitmen global Indonesia dalam penurunan emisi baik provinsi itu menjadi tempat pelaksanaan program REDD+ pada tahapan LoI berikutnya maupun tidak. Dalam hal Provinsi Papua terpilih menjadi tempat pelaksanaan program REDD+, bagaimana pun pemerintah pusat perlu mengkompromikan sejumlah hal terkait dengan konteks kepentingan pelaksanaannya di lapangan dan peran provinsi itu dalam pengelolaan sektor kehutanan selama ini.
22
Daftar Pustaka Buku Bank Dunia. Penilaian Strategis Untuk Perencanaan Ruang di Provinsi Papua, Bank Dunia, 2008. Departemen Kehutanan. Statistik Kehutanan Indonesia 2008, Jakarta, Oktober 2009. Glantz, Michael H. Climate Affairs, A Primer, Washington, DC: Island Press, 2003. Kementerian Lingkungan Hidup. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008, Jakarta: KLH, 2009. Howlett, Michael and M. Ramesh, Studying public policy: policy cycles and policysubsistems, Oxford Univ. Press, 1995. Murdiyarso, Daniel. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, cet. Kedua, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. ------------------------, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. -------------------------, Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. Rudy, T. May. Hubungan Internasional Komtemporer dan MasalahMasalah Global, Bandung: Refika Aditama, 2003. Suarga, Riza. Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktek Premanisme Global, Jakarta: Wana Aksara, 2005. Suebu, Barnabas. A Global Solution, Building a Low Carbon Economy for Papua Province, Indonesia. Kumar, Ashwani and Dirk Messner, “Introduction: Global Governance: Issues, Trends and Challenges”, dalam Ashwani Kumar and Dirk Messner (eds.), Power Shifts and Global Governance, UK and USA: Anthem Press, 2011. Weiss, Thomas G. “Governance, Good Governance and Global Governance: Conceptual and Actual Challenges”, dalam Rorden Wilkinson (ed.), The Global Governance Reader, London: Routledge, 2005. Dokumen Lembaga Decision/CP.13 on “Reducing emissions from deforestation in developing countries: approaches to stimulate action”, Dokumen COP ke-13, Bali, Indonesia. Indonesia-Norway Partnership, Joint Concept Note, 12 Maret 2010. Jawaban tertulis Bidang Perlindungan dan Konservasi Hutan, Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, 20 November 2010. Kementerian Kehutanan, “Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan yang Berdampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai 23
Strategis pada Revisi RTRWP Sumatera Barat”, Dokumen disampaikan dalam RDP Komisi IV dengan Dirjen Planologi Kehutanan, 18 Januari 2011. Letter of Intent (LoI) between the Government of the Kingdom of Norway and the Government of the Republic of Indonesia on “Cooperation on reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation”, Oslo, 26 May 2010. Norway and Indonesia: a Strategic Partnership, Dokumen Kementerian Luar Negeri Kerajaan Norwegia, Jakarta, 2010. Perdasus Provinsi Papua No. 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua. Surat Keputusan Gubernur Papua, No. 105 Tahun 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon di Provinsi Papua, 11 Oktober 2010. Siswanto, Wandojo. Strategi Penurunan Emisi Sektor Kehutanan, Makalah Seminar dalam IndoGreen Forestry Fair, Jakarta, 15 April 2010. Siaran Pers Kemenhut, disunting dalam http://www.dephut.go.id/index. php?q=id%2Fnode%2F6700;diakses 25 Oktober 2010. Jurnal, Majalah dan Harian Nasional Kompas, 29 Juni dan 14 Juli 2010. Media Indonesia, 14 Juli 2010. Republika, 19 Oktober 2010. Tropika Indonesia, Vol. 14, No. 3&4 (Musim Hujan, Juli-Desember, 2010): 45-47. The Least Developed Countries Reports 2010, UNCTAD Report (New York & Geneva, 2010): 1-39. Situs Internet “Fact
Sheet Norway-Indonesia Partnership REDD+”, dalam http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/FactSheetIndonesia GHGEmissionMay252010. pdf; diakses 18 Januari 2011. “Fact Sheet Norway-Indonesia Partnership REDD+”, dalam http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/FactSheetIndonesiaFor estMay252010.pdf; diakses 18 Januari 2011. “Forest Carbon Partnership Facility”, disunting dalam http://unfccc.int/ methods_science/redd/demonstration_activities/items/4536.php; diakses 25 Maret 2011. http://ibcpapua.logspot.com/. Diakses 31 Januari 2011. http://telapak.blogspot.com/2008/08/regulasi-perdagangan-kayuindustri.html; diakses 31 Januari 2011. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6700; diakses 12 Januari 2011. 24
http://www.papua.go.id/ ; diakses 13 Januari 2011. “Indonesia-Norway Partnership Joint Concept Note”, dokumen fisik diakses dari Kedubes Norwegia, Jakarta, tertanggal 12 Maret 2010. Jenny Jusuf, “Kinerja Satgas REDD Dinilai Lamban”, dikutip dalam http://iklimkarbon.com/2011/01/21/kinerja-satgas-redd-dinilai-lamban/; diakses 1 Februari 2011. Kehutanan Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan Provinsi Papua Tahun 2008, Jakarta: Ditjen Planologi, dalam http://www.dephut.go.id/files/ Statistik_Papua_2008.pdf; diakses 25 Oktober 2010. Kementerian Pertanian, Data Statistik Perkebunan 2008-2010, Jakarta, Ditjen Perkebunan Kementan, disunting dalam http://regionalinvestment.com/sipid/id/commodityarea.php?ic=2&ia =91; diakses 25 Oktober 2010. Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan Provinsi Papua Tahun 2008, Jakarta: Ditjen Planologi, disunting dalam http://www.dephut.go.id/files/StatistikPapua_2008.pdf; diakses 25 Oktober 2010. “Least Developed Countries: Country profiles”, http://www.unohrlls.org/en/ldc/related/62/; diakses 28 Maret 2011. “Penyelundupan Merbau Menggurita”, disunting dalam http://bataviase.co.id/node/328837; diakses 31 Januari 2011. Rachmad Hariyadi ”Papua Benteng Terakhir Hutan Tropis Indonesia”, disunting dalam http://id-id.facebook.com/note.php?noteid=12052 9091348237; diakses 31 Januari 2011. Daftar Informan Wawancara 1. Agus Rumansara, Noak Kapisa dan Peter Kamarera, anggota Satgas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Provinsi Papua (Badan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua); 2. Hege Karsti Ragnhildstveit dan Jon Heikki Aas (Counsellor), perwakilan Kedubes Norwegia di Jakarta, 19 Januari 2011; 3. Abner Mansai AR, Kord. Pokja PSDA Foker LSM Papua; 4. Wellem Fonataba, Kabid Perlindungan dan Konservasi, Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua; 5. Sihar Simatupang dan Aldas Palilo, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua; 6. Brigjen TNI Erfi Triasunu, Pangdam XVII Cendrawasih, Jayapura; 7. Sri Kusbianti, Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua; dan 8. Mayor (L) Amja Gultom, Dinas Potensi Maritim (Dispotmar), Lantamal X, Jayapura.
25
KONTEKSTUALISASI PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS DI PROVINSI PAPUA: Perspektif Struktur Dan Kewenangan Pemerintahan Mohammad A. Musa’ad
1
Abstract Using qualitative method and different theories of organization, bureaucracy and management, and interviewing informants in the Papua Province and municipalities, the objective of this research is to analyze the structure and authority of the local governments in implementing special autonomy. Its main finding indicates that the change of the structure and authority tends to symbolic-, normative- and partially introduced. The research discloses that the special authority of the local governments’ there, in reality, still cannot be comprehensively applied. Factors and issues such as of the existence of regional provisions, financial and political matters, Jakarta’s dominant control, apparatus’ performance and the Papuan People’s Assembly (Majelis Rakyat Papua --MRP) influence their ability in exercising their new structure and authority in the so-called the new era of special autonomy. Keywords: special autonomy, Papua, bureaucracy, management, local government. Abstrak Dengan menggunakan metode kualitatif dan teori yang beragam tentang organisasi, birokrasi dan manajemen, dan menginterview narasumber di provinsi dan kabupatenkabupaten di Papua, penelitian ini bertujuan menganalisis struktur dan kewenangan pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi khusus. Temuan utamanya mengindikasikan bahwa perubahan struktur dan kewenangan di sana cenderung dilakukan secara simbolik, normatif dan parsial. Penelitian ini mengungkapkan bahwa otonomi khusus di sana dalam kenyataannya belum sepenuhnya diterapkan. Faktorfaktor seperti keberadaan Perda, keuangan dan politik, kontrol yang dominan Jakarta dan kehadiran MRP mempengaruhi kemampuan pemerintah-pemerintah 1
Dosen/Lektor Kepala pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/Kepala Pusat Kajian Demokrasi (Democratic Center)/ Universitas Cenderawasih Jayapura; Email:
[email protected].
1
daerah dalam menjalankan struktur dan kewenangan baru dalam sebuah era baru otonomi khusus. Kata Kunci: otonomi khusus, Papua, birokrasi, manajemen, pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Evaluasi kritis terhadap pelaksanaan politik desentralisasi di Indonesia pada era sebelum reformasi, mengindikasikan adanya keengganan pemerintah pusat untuk merealisasikan politik desentralisasi dalam tataran aktual empiris melalui pelaksanaan otonomi daerah secara konsisten dan konsekuen. Kecenderungan memberikan penguatan terhadap posisi pemerintah pusat melalui dominasi pelaksanaan dekonsentrasi, terjadi penyelewengan terhadap prinsip dasar desentralisasi dan sebagainya merupakan pembenaran terhadap penilaian tersebut. Dalam posisi seperti ini daerah seakan hanya sekedar alat untuk mempertahankan status quo pemerintah. Kemiskinan dan keterbelakangan merebak di berbagai daerah, bahkan ironisnya terjadi di daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam. Kekayaan sumberdaya alam di daerah dieksploitasi untuk kepentingan pemerintah pusat dengan pembagian yang tidak berkeadilan. Kesenjangan antara kawasan Barat dan Timur Indonesia, maupun antara Jawa dan sekitarnya dengan luar Jawa tak terelakan. Akibatnya beberapa daerah berkembang menjadi kota-kota besar dengan jumlah penduduk yang padat yang tidak dapat diimbangi dengan sarana dan prasarana kota serta lapangan kerja yang memadai. Di sisi lain terdapat daerah-daerah yang lamban perkembangannya dan aktivitas pemerintahannya terhambat akibat keterbatasan yang dimiliki. Kondisi ini telah menimbulkan kecemasan daerah yang diapresiasikan dalam berbagai bentuk, yang dalam beberapa kasus mengarah pada ancaman disintegrasi. Merespon kondisi ini dan didorong tuntutan reformasi di berbagai bidang, maka pemerintah era reformasi telah melakukan koreksi terhadap ketidakkonsistenan dan konsekuenan pemerintahan sebelumnya dalam mengaktualisasikan otonomi daerah. Meskipun komitmen pemerintahan era reformasi lebih berorientasi pada penguatan otonomi daerah, akan tetapi bersamaan dengan itu muncul persoalan baru yang mengarah pada terhambatnya pelaksanaan pelayanan (service), pembangunan (development) dan pemberdayaan (empowerment). Penguatan otonomi daerah telah pula menumbuhkembangkan eforia di kalangan pemerintah daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, di beberapa daerah telah dimanfaatkan secara berlebihan tanpa memperhatikan prinsip kemampuan masyarakat, keadilan, dan berkelanjutan (sustainable). Penguatan otonomi daerah juga telah 2
menumbuhkembangkan sikap egoisme dan primordialisme yang berlebihan, bahkan mengarah menjadi fenomena ancaman disintegrasi bangsa. Terlepas dari adanya dampak positif maupun negatif yang timbul sebagai akibat penguatan otonomi daerah, akan tetapi di beberapa daerah, seperti Aceh dan Papua tidak bergeming dengan komitmen politik pemerintah untuk melaksanakan politik desentralisasi secara murni dan konsekuen. Masyarakat di kedua daerah ini meragukan kredibilitas pemerintah. Keraguan ini dipicu oleh ketidakkonsistenan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di kedua daerah tersebut selama ini. Sikap ketidakpercayaan tersebut diapresiasikan dalam berbagai bentuk termasuk tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks Provinsi Papua reaksi yang cenderung antipati tersebut merupakan akumulasi dari kompleksitas persoalan yang mewarnai kehidupan masyarakat Papua. Kompleksitas persoalan tersebut melingkupi berbagai aspek yang mengakibatkan sejumlah besar masyarakat di Papua berada dalam kehidupan yang memprihatinkan. Kondisi ini telah mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemauan dan kesungguhan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk membangun masyarakat di Provinsi Papua secara beradab. Situasi keraguan seperti ini telah dimanfaatkan oleh pihak tertentu memprovokasi terciptanya rasa ketidak-percayaan masyarakat terhadap pemerintah. Komitmen pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi telah melahirkan kesadaran dan pemikiran baru dalam menangani berbagai permasalahan yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Provinsi Papua. Pemikiran dan kesadaran baru tersebut ditandai dengan adanya perubahan paradigma dalam penanganan berbagai masalah bangsa dari yang beraraskan pendekatan keamanan/stabilitas menjadi pendekatan sosial/kesejahteraan, dengan memperhatikan kesetaraan dan keberagaman kehidupan sosial budaya masyarakat lokal. Keinginan politik (political will) pemerintah Republik Indonesia untuk menangani permasalahan di Provinsi Papua secara sungguh-sungguh dimulai pada tahun 1999, yang ditandai dengan penetapan Provinsi Irian Jaya/Papua sebagai daerah otonomi khusus (Otsus). Hal ini secara eksplisit tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Bab IV huruf G, butir 2. Menindaklanjuti amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 22 Oktober 2001 telah menyetujui dan menetapkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hasil ketetapan DPR ini kemudian disahkan pada tanggal 21 November 2001, sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, LNRI Tahun 2001 Nomor 135. 3
Refleksi kritis terhadap pemberlakuan kebijakan tersebut, mengindikasikan kebijakan ini belum mampu diimplementasikan secara efektif. Pemberlakuan kebijakan ini belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan. Beberapa indikator dapat dijadikan sebagai pembenaran atas penilaian ini, antara lain: (1) data BPS tahun 2008 menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua adalah 62,5%. Tiga tahun kemudian (2007) IPM Papua hanya meningkat 0,92% menjadi 64,00%. Capaian IPM ini bahkan lebih kecil dari beberapa provinsi hasil pemekaran, dan masih berada jauh di bawah IPM Nasional yang mencapai 71,17%; (2) data BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua adalah 34,88%. Jumlah ini telah menempatkan Papua pada ranking kedua setelah Papua Barat sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di seluruh Indonesia; (3) masih ditemukan adanya kasus busung lapar di beberapa kabupaten, yang berakibat kematian; (4) Dewan Adat Papua (DAP) sejak 2004 telah mengeluarkan statement untuk mengembalikan Otsus Papua. Kondisi ini ironis jika dikaitkan dengan kondisi Provinsi Papua yang dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah, serta transfer dana dari pemerintah akibat Otsus Papua sejak tahun 2002 terus mengalami peningkatan, yang besarannya mencapai triliyunan rupiah. Meskipun kebijakan Otsus Papua belum memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat Papua, tetapi wacana pengembalian Otsus juga bukan pilihan yang terbaik. Otsus Papua bukanlah suatu hadiah dari Pemerintah Pusat, Otsus Papua bukan seperti yang diibaratkan “gula-gula politik” yang diberikan oleh pemerintah agar orang Papua diam dan tidak lagi menyuarakan “kehendak untuk memisahkan diri dari Negara kesatuan Republik 2 Indonesia. Tetapi sebaliknya Otsus Papua adalah suatu “perjuangan” Kondisi ini tentunya menarik untuk dikaji, karena secara normatif konseptual Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 memiliki 3 sejumlah keistimewaan , baik muatannya maupun proses 2
Disebutkan Otsus Papua sebagai perjuangan, karena pemberlakuannya melalui proses yang panjang, antara lain: (1) Perjuangan di MPR, yakni berjuang memasukkan Otsus Papua sebagai rumusan dalam Tap MPR No IV/MPR/2004, yang sebelumnya tidak ada dalam Rantap MPR; (2) Perjuangan “melawan arus”, yakni berjuang meyakinkan segenap komponen masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, yang ketika itu menyuarakan “M” (baca:memisahkan diri dari NKRI), bahwasanya Otsus merupakan solusi untuk akselerasi pembangunan dan perlindungan hak-hak masyarakat; (3) Perjuangan di DPR, yakni perjuangan menjadikan rancangan RUU yang diusulkan Daerah menjadi usul inisiatif dan acuan utama dalam pembahasan, padahal Pemerintah telah lebih dulu menyerahkan/mengusulkan RUU Otsus Papua kepada DPR (menurut Tatib DPR rancangan yang lebih dulu diusulkan itulah yang ,menjadi acuan utama); (4) Perjuangan merasionalisasikan materi muatan RUU Otsus Papua usul inisiatif, yang menurut inventarisir Pemerintah ada 471 masalah. 3 Keistimewaan UU Otsus papua antara lain: (1) kebijakan otonomi khusus merupakan suatu hal yang baru di dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia; (2) materi muatan yang tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2001 sangat komprehensif, karena memuat banyak aspek (politik, hukum & HAM, sosial, budaya, ekonomi,
4
penyusunannya. Keistimewaan yan dimiliki oleh UU No. 21 Tahun 2001 ternyata tidak serta-merta memberi jaminan terhadap penerimaan masyarakat. Sejumlah keistimewaan tersebut perlu diikuti dengan efektivitas pelaksanaannya, sehingga dijamin mampu mengantarkan masyarakat Papua untuk menapak kehidupan yang lebih layak dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan utama yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua dalam pelaksanaan otonomi khusus”. Permasalahan utama tersebut dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa pertanyaan operasional sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua pasca pemberlakuan Otonomi Khusus? 2. Faktor-Faktor apakah yang mempengaruhi fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan di Papua pasca pemberlakuan otonomi khusus? C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan (1) Untuk mengetahui dan mengungkapkan struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua pasca pemberlakuan otonomi khusus (2) Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua pasca pemberlakuan otonomi khusus 2. Kegunaan Penelitian (1) Memperkaya konsep pengembangan ilmu pemerintahan, khususnya dalam bentuk desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi khusus dalam perspektif struktur dan kewenangan serta implikasi teoritisnya; (2) Hasil penelitian ini yang berupa konsep tentang desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi khusus dalam perspektif struktur dan kewenangan yang diharapkan dapat pertahanan dan keamanan); (3) proses penyusunan RUU ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat Provinsi Papua, yang kemudian diusulkan dan setelah melalui proses pembahasan diadopsi sebagai RUU usul inisiatif oleh DPR RI. Proses ini berbeda dengan kebiasaan proses penyusunan RUU lainnya yang cenderung tidak melibatkan pihak Daerah.
5
dijadikan sebagai masukan (input) dalam pembangunan pemerintahan Provinsi Papua, maupun provinsi-provinsi lain di Indonesia. II. KERANGKA PEMIKIRAN Pemerintahan dibentuk untuk menciptakan suatu tatanan guna menjamin keteraturan dan ketertiban. Jaminan keteraturan dan ketertiban merupakan prasyarat bagi keberlangsungan proses hidup dan kehidupan masyarakat, ini berarti bahwa substansi pemerintahan adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri atau dilayani, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama. 4 Dalam konteks ini, Osborne & Gaebler , menyatakan bahwa: “pemerintah perlu semakin didekatkan dengan masyarakat sehingga dapat memberikan respon secara cepat terhadap kebutuhan masyarakat yang dinamis. Asumsi yang mendasari konsepsi ini adalah bahwa pemerintahan yang berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, responsif, okomodatif, inovatif, produktif, dan ekonomis”. Salah satu cara untuk dapat memenuhi format pemerintahan 5 seperti tersebut maka Indonesia sejak merdeka telah memilih anutan desentralisasi sebagai strategi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sebagai konsekuensi logis dari pilihan terhadap pola anutan desentralisasi tersebut, maka terbentuklah daerah yang berstatus otonomi, yakni yang memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom tersebut berkewajiban memperhatikan aspirasi masyarakat dan secara kreatif mengaktualisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kurun waktu 65 tahun merdeka (1945 – 2010), silih berganti telah diberlakukan tujuh undang-undang tentang pemerintahan daerah. Kondisi ini menunjukan bahwa belum ditemukan suatu model yang cocok dengan tuntutan dinamika sosial politik kemasyarakatan maupun tuntutan kewilayahan. Hal ini terbukti dengan jelas ketika dikaji materi muatan yang ada dalam setiap undang-undang tersebut. Materi muatan yang ada dalam setiap undang-undang tersebut cenderung bersifat ad hoc, artinya selalu berubah mengikuti selera elit negara. Prinsip otonomi daerah juga tidak paten,
4
Osborne & Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, 1996, hal. 283. Eksplisit tertuang dalam Pasal 18, yang kemudian berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 dikembangkan menjadi Pasal 18, 18A dan 18B. 5
6
Dalam konteks Papua pengaturan mengenai pemerintahannya juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia sebagai suatu negara. Ini adalah suatu kenyataan, yang mungkin saja akan menimbulkan berbagai macam diskursus, tetapi yang jelas sejak tanggal 21 Novermber 2001 Indonesia memasuki suatu babakan baru, yakni “Otonomi Khusus”, yang ditandai dengan diberlakukannya UU No.21 Tahun 2001. Otsus Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah Provinsi Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya (wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan) untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menetukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi Papua. Kebijakan Otsus Papua juga telah memberi peluang bagi orang asli Papua untuk mengaktualisasikan diri melalui simbol-simbol budaya (cultural) sebagai wujud kemegahan jati diri. Hal ini menunjukan bahwasanya sebagai akibat dari penetapan Otsus Papua, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Melalui pemberlakuan Otosus Papua maka terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, sebaliknya terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua. UU No. 21 tahun 2001 yang merupakan landasan yuridis bagi pemberlakuan otsus Papua dipandang sebagai suatu produk hukum yang memiliki sejumlah keistimewaan dibandingkan dengan produk hukum lainnya di Indonesia. Konstruksi undang-undang tersebut dibangun berlandaskan pada sejumlah pernyataan bermakna filosofi, sebagaimana tertuang dalam konsiderans menimbang, yang mengandung sejumlah pengakuan dan komitmen yang merupakan pengejawantahan dari 6 nilai dasar yang melandasi penyusunan Rancangan Undang-undang tersebut. Nilai dasar tersebut kemudian diinterpretasikan dalam 5 (lima) prinsip, yang diakronimkan menjadi “PAPUA”, yakni : Proteksi, Affirmasi, Pemberdayaan, Universal, dan Akuntabilitas. Nilai dasar dan prinsip sebagaimana tersebut, pada ranah operasional
6
Sumule (ed), Mencari Jalan Tengah, 2004, hal. 53-60, disebutkan 7 (tujuh) nilai dasar, yakni : (1) perlindungan terhadap hak-hak penduduk asli Papua; (2) demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi; (3) penghargaan terhadap etika dan moral; (4) supremasi hukum; (5) penegakan HAM; (6) penghargaan terhadap pluralisme;dan (7) persamaan kedudukan , hak, dan kewajiban sebagai warga Negara.
7
diaktualisasikan dalam bentuk rumusan isi atau batang tubuh dari UU No. 21 Tahun 2001, yang terdiri atas XXIV Bab dan 79 Pasal. Perubahan status Provinsi Papua menjadi daerah yang berotonomi khusus harus diikuti dengan perubahan struktur dan kewenangan. Hal ini disebabkan karena perubahan status akan mengakibatkan perubahan tujuan. Ketepatan suatu struktur adalah terkait dengan kemampuan struktur tersebut dalam merespon lingkungannya. Ini berarti bahwa struktur bersifat dinamis dan dapat direkayasa ulang untuk maksud efektivitas pelaksanaan fungsi dari suatu organisasi. Dalam konteks birokrasi pemerintahan, seiring dengan dinamika perkembangan fonomena sosial politik, maka rekayasa ulang terhadap struktur birorasi birokrasi merupakan suatu keniscayaan. Struktur pemerintahan harus direkayasa untuk memenuhi tuntutan pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan bagi masyarakat. Struktur organisasi pemerintahan harus pula disesuaikan dengan tujuan organisasi dan kewenangan yang dimiliki. Ini berarti bahwa perubahan tujuan organisasi dan kewenangan akan berakibat perubahan struktur organisasi. Dalam kaitan ini menurut 7 Wiesbord “Struktur internal yang dibangun dalam suatu kelembagaan harus mencerminkan keselarasan dengan tujuan dan kewenangan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain apakah struktur internal yang telah dibangun tersebut benar-benar melayani tujuan organisasi. Jika struktur organisasi tidak sesuai dengan tujuannya, ini berarti antara struktur dan tujuan tidak selaras”. Sinyalemen Wiesbord tersebut menunjukkan bahwa perubahan tujuan seharusnya akan mengakibatkan perubahan kewenangan yang menuntut adanya perubahan struktur. Sedangkan perubahan struktur akan berimplikasi pada perubahan tata hubungan, mekanisme kerja serta fungsi dan personil penyelenggara. Hal ini mengandung arti bahwa perubahan struktur harus pula diikuti dengan perubahan tata hubungan, mekanisme kerja, fungsi, serta penyelenggaranya. Perubahan dimaksud diarahkan untuk menyesuaikan dengan struktur yang ada, sehingga antara tujuan, kewenangan, struktur, tata hubungan, mekanisme kerja, dan personil penyelenggaranya terformat secara serasi dan selaras. Perubahan struktur harus sejalan dengan perubahan kewenangan. Dalam konteks birokrasi pemerintahan daerah, kewenangan tergantung pada pola hubungan antara pusat dengan daerah, maupun antar daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 memberi arahan bahwa pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Pola hubungan antara pusat dan daerah maupun antara daerah sebagaimana dimaksud mencakup hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya. Konsekuensi logis dari hubungan tersebut menimbulkan adanya hubungan administrasi dan 7
Thoha, Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan Intervensi, 1993, hal. 99-100.
8
kewilayahan antar susunan pemerintahan. Dalam konteks inilah rasionalisasi kewenangan perlu dilakukan yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah pada tingkatan masing-masing. Mengingat bahwa dalam konteks Papua telah terjadi perubahan pola hubungan antar pusat dan daerah, maupun antar daerah, maka sangat beralasan jika pemerintahan daerah harus segera melakukan rasionalisasi kewenangannya. Hasil rasionalisasi kewenangan tersebut merupakan landasan pijak dalam mendesain struktur pemerintahan. Struktur pemerintahan yang dibuat berdasarkan hasil rasionalisasi kewenangan diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah. Dalam kaitan dengan perubahan struktur dan kewenangan, Randolph dan Dess (1984:114); Gibson, et al (1996:72) mengetengahkan teori desain kontingensi (contingency design theory). Teori ini merupakan suatu pendekatan untuk merancang bangun organisasi yang secara prinsip menyebutkan bahwa “struktur yang efektif tergantung pada faktorfaktor dalam situasi”. Merujuk pada berbagai konsep dan teori sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka semakin jelas bahwa struktur dan kewenangan merupakan elemen-elemen yang urgen dan menentukan eksistensi suatu organisasi. Dalam lingkup pemerintahan elemenelemen ini juga yang akan menentukan optimalisasi peran dan fungsi birokrasi. Kemampuan birokrasi dalam melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat secara efektif dan efisien sangatlah bergantung dari sejauh mana adanya keselarasan antara struktur, wewenang, tujuan dengan lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan, struktur, dan wewenang pemerintahan selalu akan dipengaruhi oleh lingkungan dimana institusi tersebut berada. Lingkungan yang 8 dimaksud menurut Robbins adalah “segala sesuatu yang berada di 9 luar batas organisasi”. Dalam konteks ini Robbins , mengklasifikasikan lingkungan dalam dua bentuk: “(1) lingkungan umum, mencakup kondisi yang mungkin mempunyai dampak terhadap organisasi, namun relevansinya tidak sedemikian jelas; (2) lingkungan khusus, adalah bagian dari lingkungan yang secara langsung relevan bagi organisasi dalam mencapai tujuan”. Salusu mengklasifikasikan lingkungan yakni lingkungan eksternal dan internal 10 (kapabilitas organisasi). Kapabilitas organisasi merupakan konsep yang dipakai untuk menunjukan pada kondisi lingkungan internal yang 11 terdiri dari dua faktor stratejik, yakni: kekuatan dan kelemahan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari dua faktor stratejik, yakni 8
Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain, Aplikasi, 1994, hal. 227. Ibid. Salusu, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, 1996, hal. 291. 11 Ibid., hal. 319. 9
10
9
12
peluang dan tantangan. Dalam hubungan ini Salusu, mengidentifikasi sejumlah elemen dasar yang dipandang sebagai faktor stratejik dalam lingkungan internal maupun eksternal, antara lain: (1) lokasi yang strategis; (2) misi, tujuan, dan sasaran yang jelas; (3) struktur organisasi yang tangguh; (4) dana yang memadai; (5) tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas; (6) sumberdaya manusia yang memadai, dsb; (7) aspek sosial-kultural; (8) aspek politik dan hukum; (9) aspek teknologi, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan fokus yang akan dianalisis dalam penelitian ini, menurut hemat penulis faktor-faktor yang dominan adalah: (1) faktor regulasi daerah; (2) faktor keuangan daerah; (3) faktor peraturan perundang-undangan atau kebijakan nasional; (4) faktor politik, dan (5) faktor sumberdaya aparat. III. METODE PENELITIAN A. Metode Analisis Data Ada dua pendekatan yang digunakan dalam analisis data pada penelitian ini, yakni (1) analisis domain (domain analysis), yakni: peneliti menetapkan domain atau kategori tertentu sebagai pijakan untuk penelitian selanjutnya, domain yang terpilih tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi lebih rinci, untuk mengetahui struktur internalnya dan dilakukan melalui observasi terfokus; (2) analisis taksonomi (taxonomic analysis) tahapan menentukan fokus, teknik pengumpulan data dengan minitour question, pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan struktural, analisis data dengan analisis komponensional dilanjutkan analisis tema. Penyusunan laporan penelitian dilaksanakan secara terus menerus oleh peneliti sendiri sebagai instrumen utama penelitian. Kedua model pendekatan tersebut digunakan secara sinergis, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, sehingga diharapkan akan menghasilkan suatu penelitian yang memiliki tingkat akurasi dengan kesimpulan yang kredibel. B. Cara Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah adalah peneliti langsung ke lokasi penelitian dengan menggunakan pendekatan triangulasi, yakni: melakukan observasi, mengumpulkan dokumentasi, wawancara mendalam, dan focus group discussion, kepada orang-orang yang dianggap mengetahui dan memahami fokus penelitian, yang dalam hal ini dianggap sebagai sumber data primer, secara bersamaan atau terpisah. Sedangkan secara tidak langsung adalah data sekunder yang diperoleh diperoleh melalui studi pustaka, yakni berbagai 12
Ibid., hal. 320.
10
referensi kepustakaan yang diperoleh peneliti melalui koleksi pribadi, perpustakaan beberapa institusi, akses internet, serta sarana lainnya. C. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tahun 2008-2009, akan tetapi untuk kelayakan dan keperluan penerbitan beberapa data telah dimuktahirkan tahun 2011. Lokasi penelitian ini di lingkungan Pemerintahan Provinsi Papua dan beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota di Papua. Lokasi penelitian di tingkat provinsi terdiri atas: (1) Pemerintah Provinsi; (2) Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP); dan (3) Majelis Rakyat Papua (MRP). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ketiga institusi ini merupakan pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua. IV . HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Struktur dan Kewenangan Pemerintahan dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua UU No. 21 Tahun 2001 secara normatif telah memberikan tuntunan terhadap perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua. Melalui pemberlakuan undang-undang ini, maka struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua telah direkonstruksi. Perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan dipandang sebagai suatu keniscayaan oleh penganut pendekatan 13 “institusional baru”, yang dikembangkan oleh Robert E. Godiri. Pendekatan ini berpandangan bahwa institusi negara (pemerintah) tidak statis, tetapi dapat diperbaiki ke arah tujuan tertentu yang lebih baik, yakni mengubah institusi yang ada supaya menjadi semakin demokratis. Perubahan ini dalam pendekatan institusional baru dikenal dengan istilah institutional engineering (rekayasa institusional), melalui suatu institutional design (rancangan institusional). Perubahan struktur dan kewenangan merupakan sarana alternatif untuk menciptakan suata tata pemerintahan yang baik (good governance). Dalam konteks perubahan struktur, unsur-unsur stratejik yang dipandang memiliki relevansi secara ideal normative maupun actual empiric melingkupi: (1) dimensi institusional; (2) dimensi hubungan otoritas; dan (3) dimensi proses politik. Sedangkan perubahan kewenangan akan dikaji dari : (1) aspek politik; (2) aspek hankam; aspek hukum dan HAM; (4) aspek keuangan & ekonomi; (5) aspek adat; dan (6) aspek sosial. Kebijakan Otsus Papua pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari teori “authoritative (otoritas legal 13
Dalam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008, hal. 96-99.
11
rasional)”, yang dikemukakan oleh Max Weber. Teori ini berpandangan bahwa kewenangan diperoleh melalui pengabsahan dengan suatu aturan hukum yang jelas. Otsus berdasarkan ketentuan UU No. 21 Tahun 2001 adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Ini berarti bahwa kewenangan Pemerintah Provinsi Papua pada hakikatnya diperoleh melalui legitimasi dari suatu aturan hukum. Dalam perspektif institusional maupun hubungan otoritas perubahan struktur pemerintahan di Provinsi Papua dalam kerangka Otsus memiliki korelasi dengan teori “structural” yang dikembangkan oleh Max Weber (1920), Scott (1962) dan Etzioni (1986). Perubahan struktur yang terjadi dalam konteks ini dicirikan dengan adanya pembagian kerja, sebuah hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan atas hubungan pribadi (impersonal). Ini berarti bahwa perubahan struktur sebagaimana dimaksud memperkuat teori “structural”. Pada perspektif dimensi sistem politik, proses politik yang terjadi di Provinsi Papua dalam kerangka Otsus memiliki karakteristik tersendiri. Pranata politik yang berperan pada ranah proses/konversi dan output terdiri atas pemerintah daerah (gubernur beserta jajarannya) sebagai pelaksana fungsi eksekutif, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) selaku pelaksana fungsi legislatif, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) selaku pelaksanan fungsi representasi kultural dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam proses politik ketiga institusi tersebut memiliki peran strategis. Ini berarti bahwa sistem politik di Provinsi Papua dalam kerangka otonomi khusus berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh Easton dan Almond (1962), dimana sistem politik menyelenggarakan dua fungsi, yaitu fungsi input dan output. Fungsi-fungsi masukan (input) dijalankan oleh sub-sub sistem non pemerintah, masyarakat dan lingkungan umum, sementara fungsi keluaran (output) merupakan fungsi yang dijalankan oleh pemerintah. Fungsi yang terakhir tersebut merupakan fungsi yang dijalankan oleh pemerintah melalui lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Sedangkan dalam konteks Otsus Papua, fungsi keluaran (output) yang dijalankan oleh pemerintah tidak hanya terbatas diperankan oleh lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif, tetapi juga oleh lembaga representasi kultural (MRP). Dengan demikian maka teori sistem politik yang dikembangkan oleh Easton dan Almond (1962) dalam kerangka otonomi khusus telah mengalami modifikasi. Terlepas dari efektif atau tidaknya aktualisasi kewenangan yang dimiliki Pemerintah Provinsi Papua dalam kerangka otonomi khusus, diakui bahwa pembagian kewenangan yang diatur berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 telah memberi ruang adanya 12
kewenangan yang bersifat eksklusif. Bahkan melalui kebijakan Otsus Papua, kewenangan pemerintahan selain dibagikan kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sesuai teori trias politica, juga dibagikan kepada MRP. Teori trias politica mengintrodusir bahwa lembaga eksekutif memiliki wewenang sebagai pelaksana undangundang, lembaga legislatif memiliki wewenang sebagai pembuat undang-undang, dan lembaga yudikatif memiliki wewenang sebagai pengawas undang-undang. Mengingat bahwa dalam kerangka Otsus Papua ada wewenang dalam perlindungan hak-hak orang asli Papua yang menjadi domain dari MRP, maka teori trias politica dari Monstesquieu juga telah mengalami modifikasi. Selain itu kebijakan Otsus Papua juga memperkuat teori rumah tangga formal. Teori ini menekankan bahwa rumah tangga atau otonomi adalah keseluruhan daripada urusan-urusan yang diperinci oleh/dengan undang-undang. Penilaian ini didasarkan pada kenyataan bahwa urusan yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi khusus secara terperinci tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2001. Dalam hal penyerahan kewenangan dalam kerangka otonomi khusus, model yang dianut adalah identik dengan teori “otonomi formal”, yakni urusan yang diserahkan dan menjadi kewenangan daerah adalah sesuai dengan yang telah diperinci dan diatur dalam suatu undang-undang. Hal ini berbeda dengan otonomi biasa yang dianut oleh provinsi lain di Indonesia (kecuali Aceh dan Papua). Pada umumnya urusan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud didasarkan pada anutan teori substansial, yang bersumber dari teori “residu (sisa)”, yakni; urusan yang menjadi kewenangan daerah adalah apa yang tertinggal /tersisa belum menjadi tugas, wewenang, kewajiban, dan urusan dari daerah otonom yang lebih tinggi atau negara (pemerintah pusat). B. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Fungsionalisasi Struktur dan Pelaksanaan Kewenangan Pemerintahan dalam Otonomi Khusus di Provinsi Papua Perubahan struktur, dan kewenangan pemerintahan pada tingkatan manapun, selalu akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana locus dari institusi tersebut berada. Faktor lingkungan sebagaimana dimaksud dimaknai sebagai “segala sesuatu yang berada di luar batas organisasi”, yang terdiri atas (1) lingkungan luar (external); menggambarkan unsur yang berada di luar organisasi; dan (2) lingkungan dalam (internal); menggambarkan unsur yang berada di dalam organisasi. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terungkap bahwa setidaknya ada sejumlah faktor yang dipandang berkontribusi secara signifikan mempengaruhi efektivitas perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan dalam pelaksanaan Otsus di Papua. Faktor–faktor sebagaimana dimaksud antara lain: (1) faktor regulasi daerah; (2) faktor keuangan daerah; (3) faktor peraturan 13
perundang-undangan atau kebijakan nasional; (4) faktor politik, dan (5) faktor sumberdaya aparat. 1. Faktor Regulasi Daerah Sebagai konsekuensi logis dari pemberlakuan kebijakan otonomi khusus, maka di Provinsi Papua diberlakukan dua bentuk Peraturan Daerah, yakni Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Dalam konteks ini kedudukan Perdasus dan Perdasi adalah sama, artinya yang satu tidak lebih tinggi dari yang lainnya. Perdasus dibuat oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur yang dalam penetapannya harus mendapat pertimbangan dan persetujuan dari MRP. Sedangkan Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur. Perdasus maupun Perdasi kedua-duanya adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dengan lingkup domain yang berbeda. Untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan dalam Perdasus dan Perdasi pada tahapan implementasi, maka dibentuk Keputusan Gubernur. Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur merupakan perangkat hukum Daerah yang strategis dalam rangka implementasi UU No. 21 Tahun 2001. Jika pada undang-undang lainnya membutuhkan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk beberapa Peraturan Pemerintah (PP), maka Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 hanya membutuhkan 1 (satu) PP, yakni tentang MRP. Kelambatan dan/atau ketidakmampuan daerah dalam merumuskan Perdasus dan Perdasi akan berimplikasi signifikan terhadap implementasi undang-undang. Berdasarkan undang-undang tersebut dibutuhkan 11 (sebelas) Perdasus dan 18 (delapan belas) Perdasi. Hasil inventarisasi yang dilakukan menunjukkan bahwa Perdasus dan Perdasi yang diamanatkan oleh UU No. 21 Tahun 2001 sebagian besar belum dirumuskan. Memang diakui bahwa gubernur dan DPRP telah merumuskan sejumlah Perdasus dan Perdasi, akan tetapi sebagian besar bukan merupakan amanat UU No. 21 Tahun 2001, bahkan beberapa substansi dari Perdasus dan Perdasi tersebut tidak sinkron dengan substansi UU No. 21 Tahun 2001. 2. Faktor Keuangan Daerah Sejak diberlakukannya kebijakan Otsus Papua, semua pihak sepakat bahwa wilayah Provinsi Papua adalah yang sebelumnya menjadi wilayah Provinsi Irian Jaya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 21 Tahun 2001, Pasal 1 huruf a. Atas dasar tersebut, dana dalam rangka Otsus Papua dibagi secara berkeadilan antara provinsi dan kabupaten/kota se-Papua. Sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut, maka sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2007, semua kabupaten/kota se-Papua mendapatkan bagian dari pembagian dana Otsus. Hal ini tentunya tidak menjadi masalah 14
ketika Inpres No. 1 Tahun 2003 belum dikeluarkan, serta belum diikuti dengan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua Barat, dengan terbentuknya DPRD Provinsi Papua Barat, hasil Pemilu 2004 maupun terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat, hasil Pemilihan Kepala Daerah secara langsung (pilkada) tahun 2006. Definitifnya eksistensi wilayah Papua Barat yang telah berubah menjadi Provinsi Papua Barat, tentunya akan memunculkan permasalahan baru, terutama terkait dengan pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua, yang bersumber dari dana dalam rangka Otsus, untuk membiayai program pembangunan kabupaten/kota di wilayah Papua Barat. Salah satu prinsip dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah batas teritorial sebagai locusnya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu daerah otonom memiliki batas wilayah dan tidak dibolehkan melampaui batas tersebut kecuali dalam kerangka kerjasama. Dengan demikian, akomodasi program, kegiatan, dan penyediaan dana bagi kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat dalam APBD Provinsi Papua seperti yang terjadi saat ini merupakan suatu pelanggaran dan kerancuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembagian dan pengelolaan dana dalam rangka Otsus Papua juga menjadi unsur yang berimplikasi terhadap efektivitas Otsus Papua. Dana dalam rangka Otsus Papua selama ± 7 (tujuh) tahun anggaran (2002 s/d 2008), dibagi hanya berdasarkan pada kesepakatan antara Gubernur Provinsi Papua dan para Bupati/Walikota se-Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Sedangkan pengelolaannya dilakukan berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang telah diubah beberapa kali, terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembagian dan pengelolaan dana dalam rangka Otsus Papua selama tahun anggaran 2002 - 2008 dilakukan tidak berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001. Pada prinsipnya Pasal 34 ayat (7) UU No. 21 Tahun 2001 menyebutkan bahwa “Pembagian penerimaan dalam rangka otonomi khusus Papua antara Provinsi Papua dengan kabupaten/kota sePapua diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal.” Dalam hal penyusunan, pelaksanaan, perubahan, dan perhitungan, serta pertanggungjawaban APBD, Pasal 36 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2001 memberi arahan didasarkan pada Perdasi. Akibatnya dana Otsus cenderung tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna. Berdasarkan paparan tersebut di atas, terbukti bahwa beberapa hal dalam kebijakan otonomi khusus yang terkait dengan faktor keuangan ternyata dilakukan tidak berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001. Kondisi ini akan berimplikasi negatif terhadap efektivitas Otsus Papua. 3. Faktor Kebijakan Nasional 15
Mengingat bahwa Otsus Papua merupakan suatu kebijakan nasional yang diatur dalam undang-undang, pemerintah pusat merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas efektivitas Otsus Papua. Dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintah pusat dapat melakukan segala hal baik untuk mengefektifkan Otsus Papua atau sebaliknya dapat menghambat efektivitas Otsus Papua. 14 Kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Pemekaran Provinsi Irian Jaya sesuai Undang-undang 15 Nomor 45 Tahun 1999 dapat dipandang sebagai suatu kebijakan yang kotroversial. Kebijakan ini telah memunculkan paradoksal respon masyarakat dalam konteks lokal, nasional, maupun internasional. Bagi sebagian kalangan masyarakat Papua kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 direspon dengan penuh antusias dan optimistis, karena dinilai sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan akselerasi pembangunan di daerah ini secara berkeadilan. Bersamaan dengan itu bagi sebagian kalangan masyarakat Papua yang lain merespon kebijakan tersebut dengan sikap apatis dan pesimistis, karena dianggap sebagai kebijakan yang tidak populer, dan menjadi penghalang dalam implementasi Otsus. Menurut kelompok ini jika kebijakan tersebut dipaksakan maka secara signifikan akan berimplikasi negatif terhadap implementasi Otsus, yang mengarah pada memburuknya keadaan (kehidupan) masyarakat sekaligus dapat menjustifikasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kedua kondisi ini merupakan kenyataan yang mewarnai dinamika kehidupan masyarakat di Papua. Menindaklanjuti Inpres ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) 16 telah menerbitkan Radiogram Nomor 134/221/SJ tertanggal 3 Pebruari 2003 yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Papua, Bupati/Walikota se-Provinsi Papua, dan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri. Inpres No 1 Tahun 2003 dan Radiogram 14
Inpres No. 1 Tahun 2003 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 2003 oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri, menginstruksikan. kepada perangkat Pemerintah, yakni; Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Gubernur Provinsi Papua, dan Bupati/Walikota se Provinsi Papua. Masuknya Bupati/Walikota se Papua Provinsi Papua Barat-langkah percepatan pemekaran Provinsi Irian Jaya. 15 Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Papua Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, disahkan oleh Presiden RI “Bacharuddin Jusuf Habibie”, Pada tanggal 4 Oktober 1999. 16 Radiogram Mendagri No 134/221/SJ, berisikan: (1)seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota agar segera mengambil langkah-langkah operasional yang relevan; (2) ditegaskan bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya UU.No.21 Th 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua;(3) Pemerintah Daerah memberi dukungan penuh untuk pelaksanaan hal-hal tersebut; (4) Sekjen dan Gubernur/Bupati melapor kepada Menteri Dalam negeri atas persiapan langkah-langkah tersebut dalam waktu selambatnya dua minggu.
16
Mendagri yang seharusnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat di Papua, justru telah memunculkan konflik norma antara ketentuan UU No 45 Tahun 1999 dengan Ketentuan UU No 21 Tahun 2001. Kondisi ini bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum, serta kebingungan bagi pejabat publik (pemerintah) provinsi, kabupaten/kota di Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam menjalankan undang-undang Otsus Papua. Keterlambatan pemerintah menetapkan PP tentang MRP juga dianggap sebagai salah satu yang mempengaruhi pelaksanaan Otsus Papua. Dalam kenyataannya sejak diusulkan oleh Gubernur dan DPRP pada tanggal 15 Juli 2002, PP tersebut baru ditetapkan setelah ± 2 (dua) tahun mengendap di pihak pemerintah tanpa ada alasan yang jelas. Sebagai akibat dari keterlambatan ini, tentunya berdampak terhadap efektivitas Otsus Papua. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa beberapa dimensi proses politik dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua sebagai pengejawantahan dari kebijakan Otsus tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Perdasus sebagai instrumen hukum daerah tidak dapat dibuat, karena berdasarkan ketentuan undang-undang, MRP berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus, yang diajukan oleh DPRP. Selain itu komitmen pemerintah untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua, juga menjadi sumir jika MRP belum terbentuk. Dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2008, yang telah ditetapkan sebagai UU No. 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001, juga dianggap sebagai suatu kebijakan yang kontraproduktif. Materi muatan dalam UU No. 35 Tahun 2008, yang semula diharapkan mampu menjadi instrumen penyelesaian masalah Provinsi Papua Barat dalam kerangka Otsus, ternyata faktanya tidak demikian. UU No. 35 Tahun 2008 sebagaimana dimaksud hanya mengatur dua hal yaitu (1) menegaskan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang sekarang menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; (2) pemilihan kepala daerah di Provinsi Papua dilaksanakan secara langsung. Padahal ketika Perpu tersebut dibuat, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang, banyak masalah dalam kerangka pelaksanaan kebijakan Otsus yang mengemuka di Papua, yang diharapkan dapat terakomodir penyelesaiannya melalui Perpu dan/atau undang-undang tersebut. Beberapa masalah yang mengemuka antara lain: (1) bagaimana dengan kedudukan MRP, apakah hanya satu atau ada di setiap ibukota provinsi? (2) bagaimana dengan penambahan jumlah kursi DPRD Papua Barat, apa dasar hukumnya? (3) bagaimana dengan teritorial keberlakuan Perdasus, apakah di Papua saja atau juga di Papua Barat? (4) bagaimana dengan pembagian dana Otsus, apa dasar hukum dana Otsus dibagi 70% untuk Papua dan 30% untuk Papua Barat? (5) bagaimana dengan kewenangan Gubernur Papua Barat terhadap sejumlah 17
kewenangan Pusat (politik luar negeri, pertahanan-keamanan, fiskalmoneter, yustisia, & agama)?, serta sejumlah permasalahan lain. Berdasarkan berbagai uraian sebagaimana tersebut di atas, maka jelaslah bahwa pemberlakuan UU No. 35 Tahun 2008 tidak mampu mengakomodir berbagai permasalahan yang mengemuka dalam proses implementasi kebijakan Otsus Papua. Undang-undang tersebut sangat dangkal dan tidak dapat diposisikan sebagai instrumen yang dapat mendorong efektivitas implementasi kebijakan Otsus Papua sesuai dengan perkembangan dan fakta politik kekinian di Papua (adanya Provinsi Papua & Provinsi Papua Barat). Undangundang tersebut juga tidak memperhatikan perkembangan Papua di masa datang, dan karenanya dapat dikatakan bahwa spektrum dari undang-undang dimaksud sangat sempit dan tidak prospektif. Hal ini terbukti ketika sampai hari ini beberapa permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua Barat sebagaimana dikemukakan di atas masih terus mengemuka. 4. Faktor Politik Silang pendapat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan masyarakat Papua mengenai eksistensi Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini masih mengemuka. Pemerintah Pusat melalui Direktorat Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri Tahun 1998, berpendapat bahwa masalah keabsahan Irian Jaya/Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah selesai. Pelaksanaan penentuan nasib sendiri di Irian telah dilakukan secara demokratis dan transparan serta telah melibatkan masyarakat Irian Jaya melalui proses konsultasi mengenai cara dan pemberian suara dalam Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Seluruh proses Pepera telah melibatkan partisipasi, pemberian nasehat, dan bantuan PBB yang pada gilirannya mendapatkan pengesahan masyarakat internasional (Majelis Umum PBB). Dengan demikian Pepera sebagai suatu pelaksanaan penentuan nasib sendiri tidak cacat hukum. Pendapat berbeda terungkap dalam Kongres II Papua hasil Komisi Pelurusan Sejarah dirumuskan beberapa pokok penting sebagai berikut ; "… Pasal XVIII ayat d New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice …”. Aturan ini berarti bahwa penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatangan New York Agreement. Hal ini dalam prakteknya tidak dilaksanakan, yang dibuktikan dengan pertama, penentuan nasib sendiri dilakukan oleh suatu badan di tiap kabupaten yang disebut Dewan Musyawarah Pepera yang keanggotaannya langsung ditunjuk oleh pemerintah Indonesia. Dari 18
815.906 penduduk (diperkirakan 600.000 orang dewasa) yang ditunjuk langsung hanya 1.026 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera. Dari ke-1.026 orang tersebut yang ditunjuk hanya 175 orang untuk menyampaikan pendapat yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Kedua, masyarakat Papua yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatanganan New York Agreement adalah penduduk Papua, tidak diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penentuan nasib sendiri; Ketiga, tidak dilaksanakannya hak penentuan nasib sendiri sesuai dengan Pasal XVIII ayat d New York Agreement, menurut pemerintah Indonesia, dikarenakan oleh tiga alasan: (1) keprimitifan penduduk untuk dapat melakukan pemilihan secara demokratis menurut praktek modern; (2) kesulitan transportasi; dan (3) faktor-faktor geografis, alasan seperti ini tidak bisa diterima. Silang pendapat sebagaimana tersebut sampai saat ini masih terus berlangsung dan mengemuka dalam berbagai kesempatan, yang dipelopori oleh berbagai pihak khususnya Presidium Dewan Papua dan Dewan Adat Papua. Isu tentang sejarah integrasi Papua masih sering dijadikan alat propaganda politik. Hal ini akan menimbulkan kontraproduktif bagi efektivitas pelaksanaan Otsus Papua. Keberhasilan Pemilu 2004 ternyata juga meninggalkan sejumlah implikasi terhadap kebijakan Otsus Papua. Beberapa persoalan yang mengemuka dalam proses pelaksanaan Pemilu 2004 yaitu: (1) Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam ketetapannya mengenai daerah pemilihan, membagi daerah pemilihan di Papua menjadi dua, yakni daerah pemilihan Papua dan daerah pemilihan Papua Barat. Pembagian ini tentunya berimplikasi terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Hal ini disebabkan karena berdasarkan Pasal 1 huruf a UU No. 21 Tahun 2001, Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya bahwa wilayah Provinsi Papua meliputi seluruh wilayah yang sebelumnya bernama Irian Jaya, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan UU No. 21 Tahun 2001. Ini berarti bahwa penetapan KPU tersebut nyata-nyata bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2001; (2) Berdasarkan keputusan KPU, maka kursi untuk calon anggota DPR RI untuk daerah pemilihan Papua 10 kursi sedangkan untuk daerah pemilihan Papua Barat 3 kursi. Penetapan ini tidak hanya bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2001, tetapi juga bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Dalam penjelasan Pasal 48, ayat 1 huruf b UU No. 12 Tahun 2003, disebutkan bahwa ”Jumlah kursi untuk anggota DPR pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi sesuai Pemilu 1999”. Jika KPU konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan ketentuan ini, maka jumlah kursi untuk anggota DPRP daerah pemilihan Provinsi Papua adalah 13 kursi bukan 10 kursi (Pemilu 1999 jumlah kursi untuk anggota DPR daerah pemilihan Irian Jaya adalah 13 kursi); (3) penetapan jumlah kursi untuk DPRP sebanyak 56 kursi (45 kursi berdasarkan UU No. 19
12 Tahun 2003 dan 11 kursi berdasarkan UU No. 21 tahun 2001), telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berbeda dengan penetapan 44 kursi bagi DPRD Provinsi Papua Barat (35 kursi berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan 9 kursi berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001). Penetapan kuota kursi ini nyata-nyata bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2001, karena berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (4) UU No. 21 Tahun 2001, disebutkan: “Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Pasal ini menunjukan bahwa jumlah 1¼ (satu seperempat) kali hanya diberlakukan pada DPRP bukan DPRD Papua Barat. Ini berarti penambahan kuota kursi (9 kursi) bagi DPRD Provinsi Irian Jaya Barat nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 21 Tahun 2001. Pelaksanakan pilkada juga dilaksanakan dengan mekanisme dan prosedur yang tidak sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2001 maupun UU No. 32 Tahun 2004. Jika proses pilkada dilakukan berdasarkan ketentuan UU No. 21 Tahun 2001, maka yang berhak untuk memilih adalah anggota DPRP (sesuai Pasal 7 huruf a). Jika berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, maka yang berhak memilih adalah rakyat dan KPUD merupakan lembaga penyelenggara tunggal dan independen, tanpa melibatkan pihak lain, seperti DPRP dan MRP. Disadari bahwa dalam pelaksanaan pilkada di Provinsi Papua untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, pemerintah pusat bermaksud untuk memadukan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 dan UU No. 32 Tahun 2004 secara bersamaan. Maksud ini patut dihargai sepanjang tidak bertentangan dengan materi muatan dari kedua undang-undang tersebut. Akan tetapi jika penerapan kedua undang-undang ini nyata-nyata kontradiktif, hal ini patut menjadi koreksi. Karena dasar penyelenggaraan pilkada tahun 2006 di Provinsi Papua untuk memilih gubernur dan wakil gubernur adalah PP No. 6 Tahun 2005. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua Barat juga tidak didasarkan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004. Jika pelaksanaan pilkada didasarkan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, maka pelaksanaannya dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan KPUD bertindak sebagai penyelenggara satu-satunya secara independen. Apabila pilkada di Provinsi Papua Barat didasarkan pada PP No. 6 Tahun 2005, maka prosedur dan mekanismenya harus sesuai dengan ketentuan Pasal 141 PP tersebut. Dalam ketentuan Pasal 141 PP No. 6 Tahun 2005, disebutkan bahwa: “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hasil pemekaran di Provinsi Papua sebelum dikeluarkan PP Nomor 54 17 Tahun 2004 , dilaksanakan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan
17
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua disahkan Presiden pada tanggal 23 Desember 2004.
20
18
setelah diselesaikannya Pasal 73 PP Nomor 54 Tahun 2004. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur sebagaimana dimaksud, dilaksanakan setelah terbentuknya MRP sebagaimana dimaksud 19 Pasal 74 ayat (1) PP Nomor 54 Tahun 2004. Dalam hal MRP sebagaimana dimaksud belum terbentuk, penetapan pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur menjadi calon gubernur dan wakil gubernur pada pemilihan sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh DPRD Provinsi yang bersangkutan.” Ketentuan PP sebagaimana dimaksud dalam pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat ternyata dikesampingkan. Pilkada yang diselenggarakan di Provinsi Papua Barat untuk memilih gubernur dan wakil Gubernur dilakukan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005 secara acak dan tidak konsisten. Jika ditelaah dan dikaji secara cermat mekanisme pelaksanaan pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat, dapat dikatakan bahwa proses yang dilakukan nyata-nyata tidak berlandaskan pada ketentuan UU No. 21 Tahun 2001, UU No. 32 Tahun 2004, dan PP No. 6 Tahun 2005. Terkait dengan MRP, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 220-982 Tahun 2005, tanggal 29 Oktober 2005 untuk pertama kalinya 42 orang anggota terpilih disahkan pengangkatannya sebagai anggota MRP periode 2005-2010. Dalam perkembangannya berselang 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah/janji (Oktober 2005), MRP dituntut untuk melaksanakan salah satu tugas dan wewenangnya yaitu memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua. MRP melaksanakan tugas dan wewenangnya tanpa mempertimbangkan faktor prosedur dan mekanisme, yang seharusnya diatur dalam sebuah Perdasus (berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001. Ini adalah awal kontroversi keputusan MRP. Karena tidak didasarkan pada Perdasus, maka dalam menilai bakal calon gubernur dan wakil gubernur orang asli Papua atau bukan, MRP membuat batasan orang asli Papua berdasarkan pertimbangannya sendiri secara subjektif, padahal MRP secara politis maupun yuridis bukan lembaga yang berwenang membuat aturan yang mengikat ke luar. Rumusan kriteria orang asli Papua versi MRP adalah: (1) seseorang yang bapak dan ibunya asli Papua (ras melanesia); (2) seseorang yang bapaknya asli Papua (ras melanesia); (3) seseorang yang mempunyai basis kultur Papua. Rumusan ini mengandung pengertian 18
Pasal 73, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 menyebutkan: “MRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk bertugas dan bertanggung jawab untuk membantu Pemerintah menyelesaikan masalah pemekaran wilayah yang dilakukan sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undangan selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikan anggota MRP.” 19 Pasal 74 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004, menyebutkan: “ Dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru, dibentuk MRP yang berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi.”
21
bahwa pendekatan yang digunakan MRP untuk menetapkan seseorang asli Papua atau bukan adalah pendekatan “patrilinier” (berdasarkan keturunan bapak). Pilihan terhadap pendekatan ini tidak berdasar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan UU No. 21 Tahun 2001, Pasal 1 huruf t. Pengertian orang Asli Papua dalam konteks UU No. 21 Tahun 2001 tidak dibatasi berdasarkan keturunan bapak semata (patrilinier) tetapi juga berdasarkan keturunan ibu (matrilinier). UU No. 21 Tahun 2001 juga tidak pernah membatasi tingkatan keturunan, bahkan undang-undang juga memberi ruang bagi orang lain (bukan rumpun ras melanesia suku-suku asli di Papua), untuk diakui dan diterima menjadi orang asli Papua oleh masyarakat adat. Konsepsi orang asli Papua sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut pada hakikatnya dapat dikategorikan dalam 2 (dua) jenis, yakni: (1) kategori orang asli Papua berdasarkan pada aspek keturunan atau genetika (ras melanesia suku-suku asli di Papua). Kategori ini seharusnya dimaknai bahwa seseorang bisa dikatakan asli apabila kedua orang tuanya atau salah satu dari orang tuanya (bapak/ibu) berketurunan ras melanesia tanpa mempersoalkan tingkatan keturunannya; (2) kategori orang asli Papua berdasarkan pada aspek penerimaan dan pengakuan oleh masyarakat adat tertentu. Kategori ini seharusnya dimaknai bahwa seseorang dapat disebutkan asli Papua apabila ada penerimaan dan pengakuan dari masyarakat adat tertentu. Penerimaan dan pengakuan tersebut harus pula berdasarkan pertimbangan tertentu yang merupakan indikatornya. Selain itu dalam proses penilaian bakal calon gubernur dan/atau wakil gubernur asli Papua atau bukan, mekanisme yang dipakai MRP adalah melalui cara voting. Hal ini tentunya menjadi catatan kelabu bagi demokrasi di Papua, sekaligus bagi keberadaan MRP, karena suatu hal yang sangat riskan jika keturunan seseorang ditentukan atas pilihan orang lain yang berada di luar masyarakat hukum adat yang memiliki hak kolegial, serta dilakukan berdasarkan suara terbanyak (voting). Setelah memasuki tahun kelima sejak diresmikan tahun 2005, MRP nyaris tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan 20 cenderung melakukan hal-hal di luar tugas dan wewenangnya, yang bermuara pada hal-hal yang kontra produktif. Kontroversi keputusan MRP kembali terjadi ketika di penghujung tahun 2009, dikeluarkannya SK MRP No. 14/MRP/2009, yang intinya mengatur bahwa dalam pilkada calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota harus orang Asli Papua. Mencermati materi muatan dalam SK MRP tersebut terungkap bahwa dasar dikeluarkannya SK tersebut adalah ketentuan UU No. 21 Tahun 2001 Pasal 20 ayat (1) huruf f dan 20
Sejumlah keputusan yang dibuat oleh MRP cenderung kontroversial dan bahkan bertentangan dengan amanat UU Otsus Papua, bahkan MRP dinilai sering merambah ke ranah politik bukan ranah budaya.
22
penjelasannya. Pasal ini memberikan arah bahwa salah satu tugas dan wewenang MRP adalah memberi pertimbangan kepada DPRD Kabupaten/Kota, mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan MRP kepada DPRD Kabupaten/Kota dalam hal penentuan bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Harus diingat bahwa ketentuan tersebut lahir ketika design pemilihan kepala daerah kabupaten/kota dilakukan oleh DPRD kabupaten/kota berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, Bab V, Bagian Kedua, Pasal 18 huruf a, dimana DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Bab IV, Bagian keempat, Pasal 24 ayat (5) pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota, tetapi menjadi domain rakyat yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten/Kota. Oleh karenanya SK MRP No. 14/MRP/2009 secara politis tidak memiliki kekuatan mengikat. Apalagi dalam SK tersebut sekali lagi MRP mengulangi kekeliruan seperti yang terjadi pada tahun 2005, dengan merumuskan batasan orang asli Papua secara subjektif, berdasarkan pertimbangan keturunan bapak (patrilinier). Pada tanggal 18 Juni 2010, MRP bersama sejumlah komponen masyarakat Papua antara lain Dewan Adat Papua, Presidium Dewan Papua, Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu, dan Solidaritas Perempuan Papua, melakukan longmarch ke DPRP menyerahkan hasil “Mubes”. Hasil “Mubes” dimaksud dirumuskan dalam bentuk Keputusan MRP No. 02/MRP/2010 tentang Hasil Musyawarah MRP dan Masyarakat Asli Papua dalam rangka Pertanggungjawaban Pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001, yang ditujukan kepada sejumlah pihak untuk ditindaklanjuti, antara lain: (1) Pemerintah Pusat; (2) Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat; (3) DPRP dan DPRD Papua Barat; (4) Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Papua dan Papua Barat; (5) DPRD Kabupaten/Kota se papua dan Papua Barat; (6) lembaga keagamaan, Lembaga Adat, serta Lembaga Perempuan, LSM dan komunitas pemerhati masalahmasalah sosial di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Dalam keputusan MRP tersebut terlampir rekomendasi bahwa UU No. 21 Tahun 2001 selama 9 tahun telah GAGAL, oleh karena itu (1) bahwa UU Otsus dikembalikan kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia; (2) bahwa Rakyat Papua menuntut dilakukannya “DIALOG’ yang dimediasi oleh pihak internasional yang netral; (3) bahwa Rakyat Papua menuntut dilakukannya “REFERENDUM” menuju kebebasan politik; (4) bahwa Rakyat Papua menuntut Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk mengakui dan mengembalikan Kedaulatan Bangsa Papua Barat, yang telah diploklamirkan pada tanggal 1 Desember 1961; (5) bahwa Rakyat Papua mendesak Dunia Internasional untuk melakukan Embargo 23
Bantuan Internasonal dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua; (6) bahwa dipandang tidak perlu melakukan revisi terhadap UU No. 21 Tahun 2001 jo UU No. 35 tahun 2008, karena telah terbukti gagal; (7) bahwa seluruh proses Pemilukada Kabupaten / Kota se-Tanah Papua dihentikan, serta menyerukan kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, DPRP, DPRD Papua Barat, Bupati, Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Tanah Papua untuk segera menghentikan penyaluran dana dalam rangka pelaksanaan Pemilukada; (8) bahwa Pemerintah Pusat, Provinsi Papua dan Papua Barat serta seluruh Kabupaten/Kota se-Tanah Papua harus menghentikan program transmigrasi dari luar Papua serta melakukan pengawasan ketat terhadap arus migrasi penduduk dari luar Tanah Papua (9) Bahwa Rakyat Papua mendesak Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP serta Pemerintah Provinsi Papua Barat dan DPRD Papua Barat untuk melakukan Pembebasan Terhadap Tapol/Napol Papua yang ada di lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia; (10) bahwa Pemerintah Pusat dengan segera melakukan Demiliterasisasi di seluruh Tanah Papua; (11) bahwa Musyawarah MRP dan Masyarakat Asli Papua mendorong untuk PT. Freeport Indonesia segera ditutup. Kegiatan yang dilaksanakan MRP tersebut dapat bermakna positif bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Papua, jika diletakkan pada koridor yang benar, secara prosedural maupun fungsional. Evaluasi kinerja MRP ataupun evaluasi pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001 merupakan suatu keniscayaan, sebagai upaya perbaikan atau pembaharuan menuju optimalisasi pencapaian tujuan. MRP adalah lembaga resmi pemerintah (suprastruktur politik), oleh karena kedudukannya, maka MRP dalam berpendapat atau menyalurkan aspirasi masyarakat harus menggunakan jalur resmi pemerintahan, bukan jalur seperti “demonstrasi”. 6. Sumberdaya Aparatur Perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan dalam otonomi khusus akan menjadi tidak berarti kalau tidak didukung oleh performance aparatur pemerintahan yang handal. Aparatur pemerintahan yang dimaksudkan dalam konteks ini tidak secara mikro dan statis, yakni terbatas pada jajaran pemerintah daerah atau perangkat daerah, tetapi bersifat makro, termasuk pihak DPRP dan MRP. Untuk memotret kondisi aparatur pemerintahan di Provinsi Papua dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka setidaknya dapat digunakan indikator, tingkat pendidikan dan pangkat/golongan. Data yang ada memberi gambaran bahwa 54,27% aparat 21 pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota berpendidikan dasar. Selain pendidikan konfigurasi aparat pemerintah di tingkat provinsi 21
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Papua Dalam Angka Tahun 2009, Jayapura
24
maupun kabupaten atau kota ditinjau dari golongan kepangkatan juga menunjukan kondisi yang tidak jauh berbeda, artinya bahwa sebagian aparat pemerintah yang berstatus pegawai negeri sipil otonom provinsi dan kabupaten atau kota hanya bergolongan kepangkatan I dan II (48,56%). Sedangkan yang bergolongan IV sangat terbatas hanya berjumlah 3.879 orang atau setara dengan 7,99%. Anggota MRP yang berpendidikan setingkat sekolah menengah (SLTP dan SLTA) sebanyak 21 orang (50,00%). Dan anggota DPRP yang berpendidikan setingkat sekolah menengah (19,65%). Potret aparatur penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana tersebut tentunya akan berimplikasi terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang khususnya dalam rangka fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan. Dalam konteks dengan pelaksanaan Otsus Papua, maka perubahan struktur dan kewenangan saja tidak bermakna jika tidak diikuti dengan perubahan mainstream yang diikuti dengan perubahan sikap dan perilaku para aparatur terutama di kalangan elit. Aparatur harus sadar bahwa untuk mendorong efektivitas pelaksanaan otonomi khusus, maka diperlukan serangkaian penataan. Penataan dimaksud mencakup melakukan redefinisi, reorientasi, restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi sejumlah elemen dasar dalam proses pemerintahan. V.KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa pertama, pemberlakuan kebijakan otonomi khusus telah mengakibatkan perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di provinsi Papua. Fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan dalam otonomi kusus di Provinsi Papua berimplikasi terhadap sistem pemerintahan di Papua. Pranata suprastruktur politik dalam sistem pemerintahan yang berperan pada ranah proses atau konversi dan output tidak hanya terbatas pada legislatif (DPRP) dan eksekutif (Pemerintah Daerah) tetapi juga ada lembaga representasi kultural (MRP) dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Ini berarti, sistem politik di Provinsi Papua dalam kerangka otonomi khusus berbeda dengan pandangan teori “sistem politik” yang umunya berlaku yang menempatkan legislatif dan eksekutif sebagai aktor dalam kelembagaan suprastruktur politik. Hal ini juga menunjukkan bahwa kewenangan pemerintahan otonomi khusus tidak hanya menjadi domain legislatif, eksekutif dan yudikatif seperti teori “trias politica”, tetapi juga menjadi domain lembaga representasi kultural. Dalam perspektif ini Pemerintahan daerah tidak hanya terdiri dari Pemerintah Daerah (Gubernur dan jajarannya) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRP), tetapi juga Majelis Rakyat Papua (MRP). struktur dan kewenangan kelembagaan politik resmi (suprastruktur politik) di 25
Provinsi Papua dapat diformat dalam istilah “catur politika”, karena terdiri dari 4 (empat) unsur, yakni: (1) Pemerintah Daerah (kewenangan eksekutif); (2) Dewan Perwakilan Rakyat Papua (kewenangan legislatif); (3) Majelis Rakyat Papua (kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua), dan (4) Lembaga Peradilan (kewenangan yudikatif). Kedua, fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan dalam Otsus Papua dipengaruhi oleh beberapa faktor dominan: (1) faktor regulasi daerah; (2) faktor keuangan daerah; (3) faktor kebijakan nasional; (4) faktor politik; dan (5) faktor sumber daya aparatur. Ketidakoptimalan aktualisasi faktor-faktor tersebut berkorelasi secara signifikan terhadap optimalisasi struktur dan kewenangan pemerintahan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam kerangka implementasi Otsus. Kondisi ini telah pula berdampak terhadap efektivitas pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development) dan memberdayakan (empowerment) masyarakat menuju sejahtera. B. Rekomendasi Penelitian ini merekomendasikan pertama, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Otsus, perlu segera dilakukan rekayasa ulang struktur pemerintahan di Provinsi Papua dalam konteks substansial. Sehubungan dengan itu perlu dirumuskan norma sebagai landasan operasionalisasi fungsi dan hubungan otoritas masingmasing pranata suprastruktur politik, termasuk hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota. Selain itu dalam merespon perkembangan dinamika sosial politik dan kemasyarakatan di Papua dan untuk menjamin terktualisasinya komitmen politik Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka akselerasi pembangunan dan perlindungan hak-hak masyarakat menuju sejahtera melalui kebijakan Otsus Papua, maka perlu dilakukan “rekonstruksi” terhadap UU No. 21 Tahun 2001. Undangundang tersebut dipandang sudah tidak mampu mengakomodir dan mengantisipasi tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, terutama dalam perspektif struktur dan kewenangan. Kedua, untuk menjamin efektivitas implementasi kebijakan otonomi khusus terutama dalam upaya fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan, maka pasca rekonstruksi UU No. 21 Tahun 2001 perlu segera dibenahi sejumlah faktor strategis dalam konteks implementasi otsus, yakni: dirumuskan dan diberlakukan regulasi daerah yang memadai, sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di wilayah Papua, serta perlu adanya grand design (masterplan) pembangunan Papua dalam kerangka otonomi khusus.
26
DAFTAR PUSTAKA Buku: Agus Dwiyanto, dkk, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, 2003,Yogyakarta. Agus Pramusinto, Erwan Agus Purwanto (Ed), Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Otonomi Daerah di Indonesia, Gava Media, 2009, Yogyakarta. Agus Sumule, (ed), Mencari Jalan Tengah, Grasindo, 2004, Jakarta. Bayu, Surianingrat, Desentralisasi dan Dkonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu analisa, Dewaruci Press, 1981, Jakarta. Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Raja Grafindo, 2003, Jakarta. David Osborne, Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, 1997, Jakarta. David Osborne, Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, 1996, Jakarta. Gabriel Iglesias, Regionalization and Regional Development in the Philippines, UP-CPA, 1978, Manila. Joehermansyah Johan, Pembuatan Kebijakan Otonomi Daerah Bermuatan Budaya Lokal (Studi tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua (Disertasi), PPS Unpad, 2004, Bandung. John Naisbitt, Megatrends 2000, Binarupa Aksara, 1990, Jakarta. J. Salusu, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Grasindo, 1996, Jakarta. Miftah Thoha, Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan Intervensi, Rajawali Press, 1993, Jakarta. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Gramedia Pustaka Utama, 2008,Jakarta. Mohammad Musa’ad, Penguatan Otonomi Daerah di Balik BayangBayang Ancaman Disintegrasi, ITB Pres, 2002, Bandung. ------------------, Menguak Tabir Otsus Papua, ITB Press, 2004, Bandung. P. Stephen Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain, Aplikasi; alih bahasa Lukman Hakim, Rajawali Press, 1994, Jakarta. Sarundajang, S.H., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinar Harapan, 1999, Jakarta. Solossa, Otsus Papua; Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Sinar Harapan, 2006, Jakarta. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Alfabeta, 2006, Bandung. Varma, SP. Teori Politik Modern, Rajawali Press, 2003, Jakarta Wibowo, Manajemen Perubahan, RajaGrafindo Persada, 2006, Jakarta. 27
Peraturan Perundang-undangan: Ketetapan MPR Republik Indonesia 1999 beserta GBHN 1999-2004, Citra Umbara, Bandung. Ketetapan MPR Republik Indonesia 2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, Setneg RI, Jakarta. Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, Setneg RI, Jakarta. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Setneg RI, Jakarta. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Setneg RI, Jakarta. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 menjadi Undang-undang, Setneg RI, Jakarta. PP Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua, Setneg RI, Jakarta. PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Setneg RI, Jakarta. Perpu Nomor 1 tahun 2008 Tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001, Setneg RI, Jakarta.
28
PEMBUKTIAN DALAM ELECTRONIC COMMERCE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NOTARIS Shanti Dwi Kartika
*
Abstract:
Notary is one of the authorities who as a public officer has task to make authentic legal documents as perfect evidences. In today’s era of globalization challenges, notaries are required to follow recent development in electronic transactions. According to ITE law, documents in electronic transactions are valid evidences. Nonetheless, electronic deed cannot be proposed as perfect evidence because it still needs additional evidences, judge considerations, etc. It is argued that the verification status of electronic documents does not make equal with the verification status of authentic legal documents; it is categorized equal merely with informal legal documents. Therefore, there is the need to make necessary laws or to amend the ITE law and Law No. 30/2004 on Notary. Keywords: electronic transactions, notarial deed, evidence Abstrak Pembuktian sebagai bagian proses litigasi mengenal adanya alat bukti dan beban pembuktian. Alat bukti di Indonesia berdasarkan tipologinya terdiri dari alat bukti konvensional, alat bukti modern, dan alat bukti yang diakui undang-undang. Salah satu alat bukti tersebut adalah alat bukti tulisan/surat. Notaris merupakan salah satu pihak yang berwenang untuk membuat alat bukti tulisan, karena notaris sebagai pejabat umum berwenang membuat akta otentik. Akta notaris ini merupakan alat bukti yang sempurna. Namun, notaris dituntut untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di era globalisasi dan transaksi elektronik. Dokumen dalam transaksi elektronik merupakan alat bukti yang sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 *
Calon Peneliti Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, email:
[email protected].
1
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, akta elektronik tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti sempurna meskipun menurut UU ITE merupakan alat bukti yang sah, karena tidak terpenuhinya syarat kekuatan pembuktian sempurna, batas minimal pembuktian, masih memerlukan bantuan alat bukti lain, bersifat pembuktian bebas, dan nilai pembuktiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Kekuatan pembuktian dokumen elektronik tidak dapat disetarakan dengan akta notaris tetapi dapat disetarakan dengan akta di bawah tangan. Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem pembuatan akta secara elektronik baik dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang baru maupun dengan merevisi UU ITE dan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Kata Kunci: transaksi elektronik, akta notaris, alat bukti I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Hukum pembuktian (law of evidence) merupakan bagian dari proses litigasi. Pembuktian ini bersifat kompleks terkait dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past 1 event) sebagai suatu kebenaran (truth). Pembuktian diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Herziene Inlandsch Reglement/Hukum Acara Perdata Indonesia yang Di-perbarui (HIR), dan Reglement tot Regeling van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBG). Pembuktian juga mengenal alat bukti yang diakui oleh undang-undang, yaitu akta otentik yang pengaturannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris). Hukum pembuktian ini berkembang seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu berdasarkan Pasal 5 UU ITE mengakui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah. Pembuktian untuk acara pidana diatur dalam KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan 1
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Keempat, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 496.
2
2
terdakwa. Alat bukti berdasarkan Hukum Perdata, yaitu bukti tertulis atau surat, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan 3 sumpah. Selain alat bukti konvensional tersebut, terdapat alat bukti 4 yang diakui oleh UU Jabatan Notaris. Alat bukti modern lahir sebagai bentuk perluasan alat bukti yang didasarkan pada UU ITE. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Alat bukti ini diperlukan untuk membuktikan suatu perbuatan hukum. Surat atau dokumen tersebut merupakan salah satu alat bukti yang diakui oleh undang-undang dan harus memenuhi persyaratan sebagai yang ditentukan oleh undang-undang. Notaris merupakan salah satu pejabat publik yang berwenang untuk membuat 5 surat/dokumen tersebut berupa akta otentik. Notaris sebagai pejabat publik bertugas melayani masyarakat dan diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan hukum nasional, sehingga dituntut untuk memiliki moral dan kemampuan yang handal agar tidak menyalahgunakan wewenangnya. Inti dari tugas dan wewenang seorang notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris. Berdasarkan tugas dan wewenangnya notaris merupakan jabatan kepercayaan dan kehormatan (noble profession), yang diberikan oleh negara sebagai pejabat umum sehingga aktaakta yang dihasilkan dapat menjadi alat bukti yang kuat apabila terjadi sengketa hukum di pengadilan. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu berdasarkan Pasal 15 (2) UU Jabatan Notaris, notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Notaris dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di era globalisasi, karena hubungan keperdataan dapat terjadi melalui media teknologi, transaksi-transaksi 2 3 4
5
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG, dan Pasal 1866 KUH Perdata. Konsideran Menimbang huruf b dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pasal 1 angka (1) dan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
3
ekonomi banyak dilakukan secara elektronik dan saat ini telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Perkembangan kemajuan informasi teknologi ini merupakan tantangan tersendiri yang dapat menjadi bumerang bagi eksistensi notaris. Hal ini disebabkan karena ada hal-hal yang demi efisiensi tidak membutuhkan sarana kertas (paperless), namun ada hal-hal tertentu harus tetap dipertahankan pemakaian sarana kertas (antara 6 lain akta otentik yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris). Nilai kemanfaatan sebuah transaksi yang timbul dari hubungan keperdataan dan melibatkan notaris ini sangat ditentukan oleh notaris itu sendiri. Dokumen elektronik dalam kerangka electronic commerce (untuk selanjutnya disebut e-commerce) tersebut memerlukan peranan dari beberapa pemangku kepentingan, yaitu para pihak yang terlibat, masyarakat, negara dan notaris. Notaris mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat, karena banyak transaksi bisnis yang dijalankan oleh masyarakat memerlukan jasa seorang notaris. Peranan notaris ini terkait dengan adanya beberapa ketentuan yang mengharuskan dibuat dengan akta notaris, sehingga apabila tidak dibuat dengan akta notaris maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan hukum antara notaris dengan hubungan keperdataan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi. Dokumen elektronik di Indonesia diatur dalam UU ITE. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Ketentuan ini tidak berlaku untuk surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat 7 pembuat akta. Ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE dapat ditafsirkan hanya berlaku bagi surat/dokumen yang ditentukan undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril dan tidak berlaku bagi surat beserta dokumennya yang dikehendaki oleh masyarakat (pihak dalam dokumen tersebut) untuk dinyatakan dalam bentuk akta otentik, dan dokumen elektronik dapat dipersamakan dengan akta di bawah tangan atau setara dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris dalam kedudukan, nilai, derajat dan kekuatan pembuktiannya dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia. Fenomena yang timbul setelah lahirnya UU ITE tersebut menimbulkan permasalahan hukum menyangkut keabsahan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang tidak diatur dalam KUH Perdata dan Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Penggunaan 6
7
Jusuf Patrick, “Oleh-Oleh dari Rapat Pleno INI yang diperluas di Bali 2010”, dikutip dalam http://notarissby.blogspot.com/ 2010/02/oleh-oleh-dari-rapat-pleno-iniyang.html, diakses 7 Januari 2011. Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.
4
data elektronik sebagai alat bukti yang sah masih belum biasa digunakan dalam praktek peradilan di Indonesia. Selain itu, Pasal 5 ayat (4) UU ITE merupakan celah yang menimbulkan permasalahan hukum (chaos) bagi dunia kenotariatan di Indonesia. Terkait dengan implikasi UU ITE terhadap notaris tersebut, maka terdapat wacana untuk memasukan konsep cyber notary ke dalam UU Jabatan Notaris. Perubahan UU Jabatan Notaris termasuk dalam salah satu prioritas Program Legislasi Nasional 2011. Permasalahan hukum ini perlu dikaji lebih jauh terkait dengan kedudukan hukum atas akta notaris dalam pembuktian e-commerce dan implikasinya terhadap notaris. B. Perumusan Masalah Teknologi informasi dan komunikasi berperan strategis dalam era globalisasi dan berdampak pada peningkatan produktivitas dan efisiensi. Perkembangan ini memicu masyarakat untuk bertransaksi melalui e-commerce. Pemanfaatan teknologi/komunikasi berbasis sistem komputer dalam e-commerce memungkinkan terjadinya transaksi tanpa mengenal batas negara dan tanpa menggunakan kertas (paperless) berupa dokumen elektronik dengan tanda tangan digital (digital signature). Informasi dan transaksi elektronik di Indonesia diatur dengan UU ITE. UU ITE memperluas alat bukti yang selama ini dikenal di Indonesia. Terkait dengan pembuktian dan perbuatan hukum dalam e-commerce bisa melibatkan notaris. Notaris sebagai pejabat publik berwenang membuat akta dan akta yang dibuat di hadapan atau dibuat oleh notaris merupakan alat bukti dari suatu perbuatan hukum. Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan hukum yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana kedudukan hukum atas akta notaris dalam pembuktian electronic commerce dan implikasinya terhadap notaris? C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan karya tulis ini untuk mengetahui kedudukan hukum akta notaris dalam pembuktian e-commerce dan implikasinya terhadap notaris. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan terhadap penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perubahan atas UU Jabatan Notaris, mengingat RUU ini termasuk dalam salah satu prioritas Program Legislasi Nasional 2011. D. Kerangka Pemikiran 1. Alat Bukti dan Beban Pembuktian Hukum pembuktian mengenal adanya alat bukti dan barang bukti. Barang bukti dikenal dalam hukum acara pidana dengan sistem 5
pembuktian negatif. Barang bukti diatur dalam Pasal 39 KUHAP, yaitu sesuatu yang dapat dikenakan tindakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara. Alat bukti menurut Subekti adalah alat-alat yang dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan, baik bukti-bukti yang bersifat tertulis maupun bukan 8 tulisan. Berdasarkan pengaturannya tipologi alat bukti di Indonesia dibedakan menjadai alat bukti konvensional, alat bukti modern, dan alat bukti yang diakui oleh undang-undang. Alat bukti konvensional diatur dalam KUH Perdata, HIR/RBG, dan KUHAP. Alat bukti modern merupakan alat bukti elektronik yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sudah ada dan pengaturannya berdasarkan pada UU ITE, sedangkan alat bukti yang diakui oleh undang-undang berupa akta otentik yang pengaturannya berdasarkan UU Jabatan Notaris. Berdasarkan Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBG) dan Pasal 1903 KUH Perdata terdapat 5 (lima) macam alat bukti, yaitu bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Alat bukti tertulis dapat berupa surat dan akta. Surat maupun akta merupakan alat bukti yang sah menurut hukum. Menurut A. Pitlo, alat pembuktian berupa surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti 9 menerjemahkan suatu isi pikiran. Alat bukti tertulis berupa surat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu surat biasa, akta otentik, dan 10 akta di bawah tangan. KUH Perdata hanya mengakui surat yang bertanda tangan karena surat yang tidak bertanda tangan tidak dapat diketahui siapa penulisnya. Surat tanpa tanda tangan masih dapat dijadikan bukti dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP meskipun tidak diakui oleh KUH Perdata. Ini berarti keberadaan tanda tangan dalam suatu surat/dokumen sangat penting karena seorang atau beberapa orang yang menandatangani surat telah mengetahui isi dari akta tersebut dengan adanya tanda tangan, sehingga para pihak yang menandatangani terikat dengan isi dari akta tersebut dan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk dipergunakan sesuai keperluan untuk siapa surat itu dibuat. Keberadaan tanda tangan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam akta/surat berdasarkan Pasal 1869 KUH Perdata. KUH Perdata membedakan 2 (dua) jenis yaitu akta 11 otentik dan akta di bawah tangan. Prinsip dasar mengenai sah atau tidaknya suatu akta otentik adalah notaris harus berwenang di tempat akta tersebut dibuat. Akta 8
9 10
11
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hal. 21. A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, Jakarta: Intermasa, 1978. Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, Bandung: Alumni, 2004, hal. 14. Lihat Pasal 1868, Pasal 1869, dan Pasal1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
6
notaris ini merupakan alat bukti tulisan atau surat yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, karena akta notaris mempunyai 3 12 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu: a. kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik; b. kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar oleh notaris dan diterangkan oleh para pihak yang menghadap, yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta notaris; dan c. kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) yang merupakan kepastian materi suatu akta. Berdasarkan ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang yang menandatanganinya. Menurut Arianto Mukti Wibowo, fungsi tanda tangan adalah untuk memberikan ciri atau 13 mengindividualisir suatu akta. Adapun tujuan dari ditandatangani 14 suatu dokumen adalah: a. bukti (evidence), suatu tanda tangan mengidentifikasikan penandatangan dengan dokumen yang ditandatanganinya. Pada saat penandatangan membubuhkan tanda tangan dalam bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan (attribute) dengan penandatangan. b. ceremony, penandatanganan suatu dokumen akan berakibat penandatangan mengetahui bahwa ia telah melakukan perbuatan hukum, sehingga akan mengeliminasi adanya inconsiderate engagement. c. persetujuan (approval), tanda tangan melambangkan adanya persetujuan atau otorisasi terhadap suatu tulisan. Jadi suatu tulisan yang telah ditanda tangani dan dibenarkan kebenarannya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama seperti akta otentik. Terhadap alat bukti tersebut akan dikenai beban pembuktian. Beban pembuktian merupakan masalah penting dalam Hukum Pembuktian. Beban pembuktian dalam acara perdata merupakan tanggung jawab para pihak dan tidak dilakukan oleh hakim. Hakim hanya memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat 12
13
14
Habib Adjie, Hukum Notaris di Indonesia-Tafsiran Tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008, hal. 2627. Indonesia, Naskah Akademik RUU Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik, 2001 : 66. Jusuf Patrick, “Arti dan Kedudukan Tanda Tangan dalam Suatu Dokumen”, dikutip dalam http://notarissby.blogspot.com/ 2008/05/arti-dan-kedudukan-tanda-tangandalam.html, diakses 7 Januari 2011.
7
15
buktinya dan membebani para pihak dengan pembuktian. Berdasarkan Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBG, dan Pasal 1865 KUH Perdata asas beban pembuktian yaitu barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu. asas pembuktian ini berarti beban pembuktian berlaku bagi penggugat dan tergugat. Beberapa teori mengenai beban 16 pembuktian antara lain: a. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief), yaitu pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang mengemukakan sesuatu dan bukan pihak yang menyangkalnya. b. Teori hukum subyektif, yaitu proses perdata merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya. c. Teori hukum obyektif, yaitu pihak yang mengajukan gugatan hak atau gugatan (penggugat) meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan, oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu. d. Teori hukum publik, yaitu mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik, oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran, dan para pihak mempunyai kewajiban bersifat hukum publik untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti yang harus disertai sanksi pidana. e. Teori hukum acara, yaitu asas berkedudukan yang sama di muka hakim (audi et alteram partem) merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Beban pembuktian dari suatu tanda tangan diatur juga dalam KUH Perdata. Pasal 1877 KUH Perdata mengatur apabila seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangan, maka pihak lawan harus membuktikan bahwa tanda tangan itu merupakan tanda tangan orang yang memungkirinya. Akta otentik ini selain berfungsi sebagai alat bukti dalam beban pembuktian hukum perdata juga dapat berfungsi sebagai alat bukti dalam beban pembuktian hukum pidana. Akta otentik dalam pembuktian dapat berfungsi untuk menjelaskan di
15
16
Mesantos Pelita Lolowang , “Suatu Tinjauan tentang Hukum Pembuktian”, dikutip dalam http://www.santoslolowang.com/ data/Artikel/Suatu_Tinjauan_Tentang_Hukum_ Pembuktian.pdf, diakses 26 Mei 2011. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta: Liberty, 1992, hal. 143-147.
8
17
persidangan. Hal ini berdasarkan Pasal 184 KUHAP, sedangkan berdasarkan Hukum Acara Perdata menganut sistem pembuktian 18 positif. Sistem pembuktian positif ini berarti: a. sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yang ditentukan oleh Undang-undang; b. suatu gugat dikabulkan hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah, keyakinan hakim diabaikan; c. pada pokoknya suatu gugatan yang sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah, gugatan harus dikabulkan; d. hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang, namun ada baiknya sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan dalil-dalil gugatan atau jawaban tanpa dipengaruhi oleh nuraninya, sehingga benar-benar objektif, yaitu menurut undang-undang; dan e. dalam sistem pembuktian positif yang dicari kebenaran formil. 2. Notaris Para pihak yang berkepentingan terhadap akta sebagai alat bukti dalam pembuktian dan transaksi e-commerce yaitu pihak yang terlibat, hakim, dan notaris. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Jabatan notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya untuk merumuskan perbuatan hukum ke dalam suatu akta, bukan jabatan yang sengaja diciptakan dan 19 disosialisasikan kepada khalayak, tetapi tanpa otorisasi dari negara juga tidak bisa bekerja. Notaris ini merupakan profesi dan jabatan kepercayaan dan kehormatan yang berdasarkan kepercayaan masyarakat dan diakui oleh negara sebagai pejabat publik. Jabatan notaris sebagai pejabat publik (private notary) ditugaskan oleh kekuasaan negara untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan hukum 20 keperdataan. Notaris hakikatnya adalah pejabat hukum umum yang profesional (private legal professional) yang mempersiapkan dokumen atas nama para pihak dan memastikan dokumen telah sesuai 21 undang-undang dan peraturan yang berlaku. A.W. Voors membagi pekerjaan notaris menjadi dua bagian yaitu pekerjaan legal sebagai pekerjaan yang diperintah oleh undang-undang dan pekerjaan 17
18
19
20 21
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. “Pembuktian dalam Proses Perdata”, dikutip dalam http://ptayogyakarta.go.id/index2.php?option=com_content& do_pdf=1&id=478, diakses 25 April 2011. Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa yang Akan Datang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008, hal. 40. Ibid., hal. 42. Ibid., hal. 43.
9
ekstralegal sebagai pekerjaan yang dipercayakan masyarakat dalam 22 jabatannya. Pekerjaan legal bagi notaris di Indonesia didasarkan pada UU Jabatan Notaris, yaitu notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan 23 akta, memberikan grosse, salinan, dan kutipan akta. Pekerjaan legal dilakukan oleh notaris sebagai suatu badan negara yang tindakannya mempunyai kekuatan undang-undang, sehingga pekerjaan yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada notaris sangat berharga dan 24 harus disimpan secara baik, dilaksanakan dengan tepat dan jujur. Pekerjaan ekstralegal bertujuan untuk menjamin dan menjaga perlindungan kepastian hukum, terutama untuk memperhatikan 25 kepentingan yang lemah dan yang kurang mengerti. Notaris sebagai noble profession mempunyai kedudukan yang disegani oleh masyarakat. Oleh karena itu masyarakat membutuhkan seseorang yang keterangan-keterangannya dapat dihandalkan, dapat dipercaya, dan tanda tangan serta segel atau capnya dapat memberikan jaminan dan alat bukti yang kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat yang tidak ada cacatnya (unkruekbaar) dan membuat 26 perjanjian yang akan melindunginya di masa yang akan datang. 3. Cyber Law Terminologi cyber law secara akademis belum menjadi terminologi yang umum karena terdapat terminologi lain dengan tujuan yang sama, yaitu the law of the internet, law and the information superhighway, information technology law, the law of information dan di Indonesia belum ada satu istilah yang disepakati untuk terjemahan cyber law. Kata cyber berasal dari kata cybernetics yaitu suatu bidang ilmu hasil perpaduan antara robotik, matematika, elektro dan psikologi yang dikembangkan oleh Norbert Wiener, yang tujuannya adalah mengendalikan sesuatu (misalnya robot) dari jarak 27 jauh. Perkembangan cybernetics ini melahirkan cyberspace yang mendatangkan keuntungan dan menimbulkan permasalahan terkait dengan hukum, ekonomi, kelembagaan, dan penyelesaian 28 sengketa. 22
23
24 25 26 27
28
Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007, hal. 452-454. Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Tan Thong Kie, op.cit, hal. 452-454. Tan Thong Kie, op.cit., hal. 452-454. Tan Thong Kie, op.cit, hal. 162. Dikdik M. Arief Mansur & Elisaris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2005, hal. 6. Ibid., hal. 10.
10
Aspek hukum cyberspace law meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subjek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai 29 pada saat mulai online dan memasuki cyberspace atau dunia maya. Jonathan Rosenoer dalam Cyber Law: The Law of Internet menyebutkan ruang lingkup cyber law sebagai berikut: copy right; trademark; defamation; hate speech; hacking, viruses, illegal access; internet resource regulation; privacy; duty care; criminal liability; procedural issues (jurisdiction, investigation, evidence, etc); electronic contract; pornography; robbery; consumer protection; e-commerce, 30 and e- government. Cyber law di Indonesia diatur dalam UU ITE dan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana). Pengaturan cyber law di Indonesia mempunyai urgensi, yaitu kepastian hukum, untuk mengantisipasi implikasi-implikasi yang timbul akibat pemanfaatan teknologi informasi, dan adanya variabel global yang harus dihadapi yaitu persaingan bebas dan pasar terbuka. Cyber law di Indonesia mempunyai ruang lingkup dari segi hukum publik dan hukum privat. Ruang lingkup cyber law pada hukum publik meliputi jurisdiksi, etika kegiatan online, perlindungan konsumen, antimonopoli, persaingan sehat, perpajakan, badan pengatur (regulatory body), perlindungan data (data protection), dan kejahatan elektronik (cybercrimes). Ini berarti cyber law mempunyai konsekuensi yang mempengaruhi lalu lintas hukum, ditandai dengan dematerialisasi dan deteritorialisasi yang berakibat tidak terkontrolnya proses komunikasi 31 dan hilangnya batas antar-negara. Salah satu materi yang diatur dalam cyber law terkait dengan dokumen elektronik dalam e-commerce. E-commerce sebagai sarana perdagangan telah mengubah penggunaan dokumen kertas yang ditandatangani sebagai dasar hukum keabsahan dokumen tersebut menjadi dokumen elektronik (paperless) tanpa harus ditandatangani ataupun menggunakan tanda tangan elektronik. Berdasarkan Pasal 1 angka (4) UU ITE, dokumen elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
29
30 31
Andi A., “Hukum E-Commerce, Keamanan dan Cyber Law”,dikutip dalam http:/ www. scribd.com/doc/32150217/Hukum-E-Commerce-Keamanan-Dan-Cyber-Law, diakses 7 Januari 2011. Ibid. Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 211-212.
11
Informasi yang tertuang dalam dokumen elektronik tersebut merupakan obyek hukum karena di dalamnya terkandung muatan 32 kepentingan hukum yang akan melahirkan hak dan kewajiban. Penggunaan sistem elektronik dalam informasi dan dokumen elektronik berada dalam perspektif hukum kebendaan dan hukum 33 perikatan menurut Hukum Perdata. Perkembangan e-commerce ini tidak hanya berpengaruh terhadap perdagangan tetapi juga bidang lain termasuk hukum pembuktian. Seluruh informasi elektronik dan tanda tangan elektronik yang terdapat dalam transaksi elektronik dan dihasilkan oleh sistem informasi harus dapat menjadi alat bukti. Hubungan antara e-commerce dengan hukum timbul melalui interpretasi hukum yang multitafsir terhadap transaksi-transaksi elektronik yang tertuang dalam dokumen elektronik sebagai alat bukti. Informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti tidak diatur dalam HIR dan diakui sebagai alat bukti yang sah sejak diundangkannya UU ITE. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. UU ITE memberikan definisi mengenai informasi elektronik sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat 34 dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Selain itu, UU ITE juga memberikan definisi transaksi elektronik sebagai perbuatan hukum yang dilakukan menggunakan komputer, jaringan komputer, 35 dan/atau media elektronik lainnya. Kewenangan notaris yang dihubungkan dengan UU ITE melahirkan wacana tentang cyber notary. Cyber notary ini nantinya memerlukan adanya certification authority (CA). Menurut. Arianto Mukti Wibowo, apabila sebuah CA mendapatkan lisensi dari Pemerintah, maka cyber notary tersebut dapat bertindak sebagai 36 pejabat umum. Arianto Mukti Wibowo berpendapat juga bahwa dengan memanfaatkan infrastruktur yang diberikan CA khususnya kemampuan untuk mengetahui identitas dari penandatanganan dan kemampuan untuk mengetahui kapan transaksi elektronik itu 32
33 34
35
36
Edmon Makarim, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010, hal. 127. Ibid., hal. 127. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Naskah Akademik Rancangan UU tentang Tanda Tangan elektronik dan Transaksi Elektronik tahun 2001 di halaman 108.
12
ditandatangani, maka transaksi elektronik yang ditandatangani dipersamakan dengan akta otentik yang dibuat di depan pejabat yang 37 berwenang. II. Pembahasan 1. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, notaris berwenang membuat akta otentik. Wewenang notaris ini bersifat umum hanya meliputi pembuatan segala jenis akta kecuali yang dikecualikan untuk tidak dibuat oleh notaris. Suatu akta mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti 38 (probationis causa). Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, sedangkan probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian di 39 kemudian hari. Pembuktian mempunyai arti yuridis untuk memberikan kepastian bagi para pihak mengenai adanya suatu peristiwa hukum. KUH Perdata hanya mengakui akta yang bertanda tangan karena surat yang tidak bertanda tangan tidak dapat diketahui siapa penulisnya. Surat tanpa tanda tangan masih dapat dijadikan bukti dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP meskipun tidak diakui oleh KUH Perdata. Ini berarti keberadaan tanda tangan dalam suatu surat/dokumen sangat penting karena seorang atau beberapa orang yang menandatangani surat telah mengetahui isi dari akta tersebut dengan adanya tanda tangan, sehingga para pihak yang menandatangani terikat dengan isi dari akta tersebut dan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk dipergunakan sesuai keperluan untuk siapa surat itu dibuat. Keberadaan tanda tangan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam akta/surat berdasarkan Pasal 1869 KUH Perdata. KUH Perdata membedakan 2 (dua) jenis yaitu akta otentik dan akta di 40 bawah tangan. UU Jabatan Notaris mengenal 2 jenis akta notarial yaitu akta para pihak (partij acten) dan akta pejabat (relaas acten). Partij acten memuat uraian secara otentik apa yang diterangkan oleh penghadap (pihak) kepada pejabat yang berwenang (notaris) dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan itu penghadap (pihak) tersebut sengaja datang di hadapannya (notaris) dan memberikan keterangan itu, agar keterangan itu dikonstatir (dinyatakan) dalam 37
38 39 40
Naskah Akademik Rancangan UU tentang Tanda Tangan elektronik dan Transaksi Elektronik tahun 2001 di halaman 108. Sudikno Mertokusumo, loc.id., hal. 121. Sudikno Mertokusumo, loc.id., hal. 121. Lihat Pasal 1868, Pasal 1869, dan Pasal1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
13
akta otentik oleh notaris. Akta Pejabat memuat uraian secara otentik dari apa yang disaksikan, dilihat dan didengar oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu (notaris) dalam menjalankan jabatannya terhadap tindakan pihak lain di hadapan pejabat tersebut (notaris). Pengakuan oleh UU Jabatan Notaris terhadap akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuhi mengandung pengertian bahwa akta otentik mempunyai peranan penting dalam setiap 41 hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu, untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Akta otentik harus memperhatikan prinsip dasar sah atau tidaknya suatu akta otentik agar dapat berfungsi sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Prinsip dasar mengenai sah atau tidaknya suatu akta otentik adalah notaris harus berwenang di tempat akta tersebut dibuat. Prinsip dasar ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Prinsip dasar akta otentik tersebut ditegaskan dengan Pasal 1 UU Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU Jabatan Notaris. Pasal 1 UU Jabatan Notaris ini mengandung makna bahwa Notaris adalah pejabat umum ”yang bukan satu-satunya” berwenang untuk membuat akta otentik. Akta notaris ini merupakan alat bukti tulisan atau surat yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, karena akta notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht), dan kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht). Berdasarkan ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang yang menandatanganinya. UU ITE juga mengatur mengenai tanda tangan, yang ditegaskan dalam Pasal 7, Pasal 11, dan Pasal 18 UU ITE yaitu transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, asalkan ditandatangani secara elektronik oleh para pihak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Adanya pengaturan tersebut mengakibatkan seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan 41
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
14
elektronik dapat dianggap sebagai akta dan akan mempunyai kekuatan pembuktian sama seperti akta otentik. Dokumen/akta yang ditandatangani ini berakibat bahwa tanda tangan dalam akta tersebut berfungsi sebagai bukti, menunjukkan suatu ceremony, dan adanya persetujuan atau otorisasi terhadap tulisan yang tercantum dalam suatu akta. Namun alat bukti elektronik ini harus memperhatikan prinsip dasar sah/tidaknya akta otentik dan beban pembuktian. Prinsip dasar ini tidak dapat diubah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Pasal 1868 KUH Perdata ini mengakui esensi keberadaan lembaga notariat termasuk notaris di dalam sistem hukum Indonesia. Beban pembuktian dari suatu tanda tangan ini diatur juga dalam KUH Perdata. Pasal 1877 KUH Perdata mengatur apabila seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangan, maka pihak lawan harus membuktikan bahwa tanda tangan itu merupakan tanda tangan orang yang memungkirinya. Akta otentik ini selain berfungsi sebagai alat bukti dalam beban pembuktian hukum perdata juga dapat berfungsi sebagai alat bukti dalam beban pembuktian hukum pidana. Akta otentik dalam pembuktian dapat berfungsi untuk menjelaskan di 42 persidangan. 2. Kedudukan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian E-Commerce Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menimbulkan konvergensi aplikasinya, yang berimplikasi pada 43 transaksi yang menggunakan sistem elektronik (e-commerce). Perubahan ini mempengaruhi tananan sosial yang melahirkan sistem nilai baru karena teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat. Perubahan sosial di bidang teknologi telekomunikasi dan informasi ini melahirkan UU ITE. Adanya perubahan sosial (social change) dan perubahan hukum (legal change) di bidang teknologi informasi ini berpengaruh terhadap notaris. Aplikasi teknologi informasi dalam transaksi elektronik mempengaruhi penyelenggaraan tugas dan kewenangan notaris dalam membuat akta. Perubahan ini merupakan prospek yang bagus buat notaris. Sejak lahirnya UU PT, sudah ada peluang bagi notaris terkait dengan penggunaan teknologi informasi dalam e-commerce. Aktivitas notaris yang relatif baru ini juga mendapatkan legitimasi dengan lahirnya UU ITE. UU ITE ini mengatur mengenai data elektronik, meskipun pada kenyataannya tidak semua data berwujud elektronik. Sebagian besar data di Indonesia masih berbasis pada sumbersumber tertulis (paper based), termasuk akta notaris. UU ITE telah 42
43
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ign. Sumarsono Raharjo, loc.id., hal. 28.
15
memberikan kepastian hukum mengenai perluasan alat bukti elektonik 44 dan/atau hasil cetaknya, pengaturan kekuatan hukum dan akibat 45 hukum tanda tangan elektronik, serta kepastian terjadinya 46 transaksi. UU ITE ini memberikan kedudukan pada dokumen elektronik dengan digital signature sebagai alat bukti, karena data elektronik belum terakomodasi dalam sistem hukum pembuktian dan hukum acara di Indonesia. Hal ini merupakan perluasan alat bukti berdasarkan Hukum Pembuktian di Indonesia, yang hanya mengenal 5 (lima) macam alat bukti dan KUH Perdata menentukan bahwa alat bukti tertulis terdiri atas data pribadi dan data untuk untuk menjalankan perusahaan. Informasi elektronik sebagai alat bukti dalam pembuktian perdata berawal dari pemikiran bahwa esensi dari e-commerce terletak pada informasi elektronik dan electronic 47 signature sebagai kunci pengamanannya. Ketentuan dalam UU ITE tersebut harus dicermati lebih dalam oleh notaris dan pembuat kebijakan. Ini terkait dengan Pasal 5 ayat (4) UU ITE yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut undang-undang harus dibuat secara tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Adapun undang-undang yang terkait dengan surat beserta dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE tersebut antara lain KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (UU Koperasi), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU RS), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UU HT), Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN). Selain akta-akta dalam beberapa undang-undang tersebut dapat diberlakukan ketentuan UU ITE.
44
45
46
47
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 8 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ign. Sumarsono Raharjo, “Informasi Elektronik pada Transaksi ElectronicCommerce dalam Hukum Pembuktian Perdata dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE,” Jurnal Hukum Bisnis Volume 29-No. 1-Tahun 2010, hal. 39.
16
UU ITE juga mengatur mengenai informasi dan dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah. Pengaturan ini merupakan perluasan alat bukti berdasarkan Hukum Pembuktian di Indonesia. Perluasan alat bukti dari transaksi elektronik (e-commerce) menimbulkan permasalahan hukum jika ditinjau dari keotentikan alat bukti tertulis. Dokumen elektronik dan digital signature yang lahir dari e-commerce menurut UU ITE perlu dikaji terkait dengan akta otentik, karena lahirnya UU ITE menimbulkan pertanyaan di kalangan notaris apakah transaksi elektronik atau dokumen elektronik dapat dipersamakan dengan akta otentik. Hal ini disebabkan kepentingan informasi elektronik mempunyai nilai pembuktian hukum berhubungan 48 dengan otentisitas. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, syarat otentisitas suatu dokumen ditentukan oleh: a. bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; dan c. pejabat tersebut harus berwenang di tempat akta dibuat. Selain harus memperhatikan syarat otentisitas suatu dokumen tersebut, proses otentisitas dokumen dan informasi elektronik dapat diperoleh pada saat terjadi perselisihan hukum. Perselisihan hukum mengenai dokumen elektronik dalam transaksi elektronik dapat diselesaikan secara litigasi. Penyelesaian sengketa ini tunduk pada hukum acara perdata dan sistem pembuktiannya yang menganut sistem pembuktian positif. Para pihak dalam transaksi elektronik harus membuktikan sedangkan hakim hanya membagi dan membebankan kepada pihak untuk mengajukan alat bukti, guna menguatkan dalil atau peristiwa yang dikemukakan. Hal ini sesuai dengan asas umum dalam Pasal 163 HIR/283 RBG/1865 KUH Perdata. Beban pembuktian ini apabila dihubungkan dengan ketentuan UU ITE diatur dalam Pasal 5 UU ITE. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) UU ITE, informasi dan/atau dokumen elektronik berikut dengan hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Ketentuan ini memperluas cakupan alat bukti yang sah sesuai yang berlaku di Indonesia, apabila dokumen elektronik tersebut dibuat dengan menggunakan sistem elektronik yang diatur dalam UU ITE. Berdasarkan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, ketentuan mengenai informasi elektronik tidak berlaku bagi surat yang menurut undang-undang dibuat tertulis dan surat beserta dokumennya yang menurut undangundang dibuat dalam bentuk akta notaril atau pejabat yang berwenang. Perumusan tersebut perlu dikaji dan dicermati terkait dengan posisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia. Meskipun UU ITE memperbolehkan transaksi dilakukan secara elektronik dan menjamin pembuktian elektronik, perlu diperhatikan juga bahwa inti dari admisibilitas bukti 48
Ibid., hal. 32.
17
dan nilai kebuktian dokumen elektronik merupakan sentra hukum 49 yang masih tetap sama dengan dokumen kertas seperti akta notaris maupun akta di bawah tangan. Namun berdasarkan Pasal 5 ayat (4) UU ITE dokumen elektronik tidak dapat disetarakan dengan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris karena otentisitas akta notaris bersumber pada UU Jabatan Notaris, oleh karena itu kekuatan pembuktian dokumen elektronik dapat disetarakan dengan akta di bawah tangan tetapi harus memenuhi persyaratan pokok agar suatu dokumen bernilai sebagai akta di bawah tangan. Persyaratan pokok tersebut adalah surat atau tulisan itu ditandatangani; isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum (rechtshandeling) atau hubungan hukum (recht bettrekking); dan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang 50 disebut di dalamnya. Selain itu dokumen elekronik untuk dapat berfungsi sebagai alat bukti yang sah juga harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU ITE. Akta notaris dan akta di bawah tangan ini mempunyai perbedaan dalam pembuktian. Pembuktian akta di bawah tangan jauh lebih lemah dibandingkan dengan akta otentik, sehingga apabila terjadi perubahan akta otentik menjadi akta di bawah tangan maka yang paling dirugikan adalah para pihak. Akta di bawah tangan dibuat untuk kepentingan para pihak dalam pembuktian kepada pihak ketiga, tanpa bantuan seorang pejabat, mempunyai nilai pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya dan tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Apabila terjadi penyangkalan maka beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Hal ini sesuai dengan sistem pembuktian Hukum Acara Perdata. Berbeda dengan akta otentik yang mempunyai kesempurnaan sebagai alat bukti, sehingga akta tersebut harus dilihat apa adanya dan tidak perlu ditafsirkan berbeda dengan apa yang tertulis di dalam akta itu. Ini berarti kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik, karena akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil sedangkan akta di bawah tangan tidak mempunyai daya kekuatan pembuktian lahiriah tetapi hanya terbatas pada kekuatan pembuktian formil dan materiil dengan bobot yang jauh lebih rendah dibandingkan akta otentik. Apabila dihubungkan dengan pendapat Arianto Mukti Wibowo maka kekuatan pembuktian dokumen elektronik dapat dipersamakan dengan akta otentik, karena terhadap suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang telah ditandatangani secara elektronik berarti terhadap informasi dan/atau dokumen tersebut telah 49 50
Ibid., hal. 32. Jusuf Patrick, “Alat bukti elektronik (Dokumen Elektronik) : Kedudukan, nilai, derajat dan kekuatan pembuktiannya dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia”, dikutip dalam http://notarissby.blogspot.com/2010/02/alat-bukti-elektronik.html, diakses 7 Januari 2011.
18
51
diverifikasi dan diautentikasi. Hal ini berbeda dengan KUH Perdata yang hanya mengakui surat yang ditandatangani sebagai suatu alat bukti yang mengikat, sedangkan surat tanpa tanda tangan adalah sekedar bukti permulaan yang tidak mengikat. Tanda tangan elektronik akan memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11 UU ITE dan syarat pengamanan tanda tangan elektronik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (2) UU ITE. ketentuan tersebut merupakan prosedur dan prinsip kehati-hatian suatu dokumen elektronik. Pelaksanaan prosedur dan prinsip kehati-hatian tersebut mengakibatkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alasan lahirnya suatu hak, baik menyatakan adanya suatu hak, memperkuat adanya suatu hak, atau 52 menolak suatu hak. Hak untuk menyatakan, memperkuat dan menolak dokumen elektronik apabila dihubungkan dengan jabatan notaris dan prinsip kehati-hatian akan menimbulkan permasalahan hukum. Hal ini disebabkan karena kewenangan notaris secara ekternal mengalami penggerogotan yang telah terjadi secara sistematis sesuai dengan perkembangan sistem hukum di Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia menerapkan sistem hukum campuran antara sistem hukum Civil Law/Continental, Common Law/Anglo Saxon, Islam dan Adat dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Gejala ini menurut Jusuf Patrick mempengaruhi keberadaan lembaga notariat yang terus mengalami kemerosotan dan apabila dibiarkan berlarut-larut dengan sikap diam para pengurus organisasi Ikatan Notaris Indonesia, maka lembaga notariat akan 53 menjadi lembaga para tukang stempel. Hubungan hukum antara notaris, UU ITE, dan arti suatu tanda tangan, dapat dinyatakan dalam suatu adagium seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan kekuatan pembuktiannya sama seperti akta otentik. Hubungan hukum tersebut berimplikasi pada beban pembuktian dari suatu tanda tangan elektronik. Tanda elektronik ini dapat diterapkan di Indonesia, namun tidak bagi dokumen elektronik yang mungkin bersifat otentik karena otentifikasi akta berkaitan dengan proses legalisasi tidak dapat mengubah dokumen elektronik sebagai akta di bawah tangan menjadi akta otentik. Legalisasi transaksi dalam ecommerce berdasarkan pada sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, karena perjanjian elektronik pada dasarnya terjadi melalui prosedur-prosedur perjanjian biasa. Perjanjian elektronik ini 51
52
53
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jusuf Patrick, “Notaris dan UU No. 11 Th 2008: Esensi Keberadaan Lembaga Notariat dengan Berlakunya Undang-Undang No 11 Th 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, dikutip dalam http://notarissby.blogspot.com/ 2008/05/notaris-dan-uu-no-11-th-2008.html, diakses 7 Januari 2011.
19
menggunakan media elektronik dan merupakan perjanjian dengan bentuk bebas baik lisan maupun tertulis. Apabila dokumen atau akta elektronik dijadikan sebagai alat bukti tertulis sebagaimana dipersyaratkan Pasal 164 HIR maka dokumen tersebut harus 54 memenuhi persyaratan perjanjian berdasarkan KUH Perdata. Adanya tanda tangan elektronik ini merupakan kendala bagi akta notaris sebagai akta otentik dalam e-commerce, sedangkan dokumen elektronik sebagai alat bukti akan mempunyai kekuatan pembuktian yang sah apabila didukung dengan alat bukti lain yaitu bukti petunjuk dan keterangan ahli. Dokumen elektronik yang akan dijadikan sebagai alat bukti harus terlebih dahulu dinyatakan bahwa dokumen tersebut benar-benar asli dan sesuai dengan yang sebenarnya. Segala hal yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik sebaiknya mendapat pengesahan dan pengakuan dari pejabat yang berwenang supaya apa yang dihasilkan sesuai dengan bentuk aslinya, meskipun bentuk asli dan alat bukti tidak 55 dapat dihadirkan dalam persidangan. Hal ini apabila dikaitkan dengan pendapat Arrianto Mukti Wibowo maka keaslian tanda tangan elektronik dapat ditentukan langsung dan dapat diakui keasliannya di pengadilan, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, karena ada keterkaitan infrastruktur di luar para pihak yang diberi lisensi oleh Pemerintah untuk menerbitkan tanda tangan elektronik yaitu suatu lembaga yang diberi nama Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Certification Authority). Adanya sertifikasi elektronik ini dikhawatirkan akan berdampak pada akta otentik yang dibuat di hadapan dan oleh notaris, terkait dengan keberadaaan dokumen elektronik yang ditandatangani secara elektronik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah mendapatkan certification authority. Berdasarkan Penjelasan Pasal 5 ayat (4) huruf a UU ITE, surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara. Ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE ini mempunyai korelasi dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi. Pasal 8 ayat (3) RUU Pemanfaatan 56 Teknologi Informasi menyatakan bahwa dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak berlaku untuk: (a) pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat; (b) surat-surat berharga selain saham yang diperdagangkan di bursa efek; (c) perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak; (d) dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan; dan (e) dokumen-dokumen lain 54 55
56
Ign. Sumarsono Raharjo, loc.id., hal. 34. Niniek Suparni, Cyberspace Problematika & Antisipasi Pengaturannya, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 118. “Rancangan Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi”, dikutip dalam www.cert.or.id/~budi/articles/RUU-Cyberlaw.doc, diakses 3 April 2011.
20
yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang. Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap kedudukan dokumen elektronik dan tanda tangan digital, karena dalam pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat, surat berharga, perjanjian yang obyeknya barang tidak bergerak, dokumen hak kepemilikan, dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak memiliki kedudukan yang sama dengan dokumen tertulis lainnya dan tanda tangan manual pada umumnya. Hal ini berarti bahwa surat beserta dokumennya yang menurut peraturan perundang-undangan mengharuskan dibuat dalam akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta, juga dikecualikan sebagai dokumen elektronik dengan tanda tangan digital. Ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE menegaskan bahwa apabila dokumen-dokumen yang dikecualikan tersebut dibuat dalam dokumen elektronik maka tidak bisa berfungsi sebagai alat bukti yang sah. Ketentuan UU ITE yang berkaitan dengan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril, megandung inti bahwa surat beserta dokumen yang diharuskan oleh undang-undang dibuat dalam bentuk akta notaril dikecualikan dari ketentuan UU ITE. Dokumen yang harus dibuat dalam bentuk akta notaril (akta otentik) merupakan sebagian kecil dari seluruh perbuatan hukum dalam bidang hukum privat. Akta otentik ini juga bagian dari kewenangan notaris. Notaris sebagai pejabat umum diberi wewenang atas sebagian kekuasaan negara di bidang hukum privat untuk membuat alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Wewenang notaris ini apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE yang menyatakan bahwa dokumen yang mengharuskan dibuat dalam akta notaril dan dokumen yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notaril, maka ketentuan tersebut tidak akan mencapai maksud dan tujuan dari UU ITE yaitu dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik tidak dapat menggantikan kedudukan akta otentik yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Agar UU ITE mempunyai implikasi yuridis terhadap Notaris/PPAT sebaiknya ketentuan Pasal 5 ayat (4) huruf d UU ITE berbunyi ”semua surat dan/atau dokumen yang dinyatakan dalam bentuk akta yang dibuat di hadapan atau oleh Pejabat Umum sesuai 57 yang ditentukan oleh undang-undang.” Kata semua dalam rumusan tersebut mengandung arti bahwa akta otentik tidak hanya terbatas pada akta yang ditentukan undang-undang harus dalam bentuk akta notaril, tetapi juga yang dikehendaki oleh masyarakat (para pihak dalam akta) untuk dinyatakan dalam bentuk akta otentik, yang nyata bentuknya dengan memakai kertas dan tidak berbentuk informasi 57
Jusuf Patrick, loc.id.
21
elektronik. Akta dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum sebagai akta otentik berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu akta 58 para pihak (partij acten) dan akta pejabat (relaas acten). Notaris dalam membuat akta otentik baik berupa partij acten maupun relaas acten harus mengandung unsur obyektivitas. Sedangkan pejabat umum yang dimaksudkan tidak hanya notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang membuat akta otentik, tetapi juga Pegawai Catatan Sipil dan lain-lain pejabat yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik, sehingga harus dikecualikan juga dari ketentuan UU ITE. Untuk Penjelasan Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE dapat dirumuskan sebagai berikut: Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap kedudukan dokumen elektronik dan tanda tangan digital. Dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak dapat menggantikan kedudukan dan fungsi akta otentik yang dibuat di hadapan atau oleh Pejabat Umum, baik yang diharuskan 59 oleh undang-undang maupun yang dikehendaki oleh masyarakat. Selain itu, produk akta notaris berbasis teknologi informasi akan memiliki kekuatan hukum yang sah apabila dilakukan dengan sistem elektronik yang operasionalisasinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penerapan UU ITE oleh notaris ini mengalami kendala terkait dengan pemenuhan syarat otentisitas. Pemenuhan syarat otentisitas akta merupakan kendala yang dihadapi oleh notaris dalam pembuatan akta berbasis teknologi informasi terkait dengan e-commerce. Meskipun UU ITE memperluas keberadaan alat bukti yang selama ini dikenal dalam hukum pembuktian dengan menempatkan dokumen elektronik berikut digital signature dalam transaksi e-commerce sebagai alat bukti yang sah, namun alat bukti ini bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan hanya mempunyai derajat pembuktian seperti bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs). Hal ini disebabkan karena UU ITE dalam Pasal 5 ayat (4) telah membatasi dokumen elektronik dan dokumen elektronik itu tidak memenuhi kekuatan pembuktian selayaknya akta notaril dan tidak memenuhi syarat otentisitas dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Ketiadaan kekuatan pembuktian ini akan mengakibatkan dokumen elektronik tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga dokumen elektronik tersebut bukan merupakan akta otentik. Hal ini sesuai dengan Pasal 1867 KUH Perdata yang menyatakan bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna. Selain itu, dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas minimal pembuktian karena harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain yaitu saksi ahli. hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1975 KUH Perdata dan Pasal 288 RBG. Nilai 58 59
Pasal 165 Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Jusuf Patrick, op.cit.
22
kekuatan pembuktian dokumen elektronik diserahkan kepada pertimbangan hakim sehingga dokumen elektronik mempunyai sifat pembuktian bebas (vrij bewijskracht). III. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan a. Akta notaris merupakan alat bukti yang terkuat dan terpenuh, oleh karena itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Pembuatan akta dengan memanfaatkan teknologi merupakan terobosan baru bagi kinerja profesi notaris, oleh karena itu notaris mempunyai peranan penting dalam transaksi elektronik (ecommerce). Negara telah memberikan legitimasi terhadap notaris untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam pembuatan akta elektronik dalam e-commerce melalui UU PT dan UU ITE. Pembuatan akta secara elektronik tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar sahnya suatu akta otentik, namun pemenuhan syarat otentisitas ini merupakan kendala bagi notaris dalam membuat akta elektronik. b. Akta notaris merupakan alat bukti yang sempurna, sedangkan dokumen elektronik dengan tanda tangan digital dapat berfungsi sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU ITE, prinsip dasar akta otentik yang harus dipenuhi oleh akta notaris, serta masih memerlukan bantuan alat bukti lain yaitu saksi ahli, dengan beban pembuktian dilakukan berdasarkan sistem pembuktian positif dan bersifat pembuktian bebas. Dokumen elektronik ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian sempurna tetapi kekuatan pembuktiannya sama dengan akta di bawah tangan. UU ITE memberi penegasan bahwa informasi elektronik dan digital signature sebagai alat bukti, tetapi mengecualikan akta notaris dari ketentuan dokumen elektronik. Ini berarti telah terjadi perluasan alat bukti tertulis yang harus ditandatangani oleh para pihak dalam perjanjian e-commerce dan notaris dapat berperan sebagai certification authority. 2. Rekomendasi Notaris diharapkan dapat berperan dalam pembuatan akta elektronik, tetapi sampai saat ini belum ada undang-undang yang memungkinkan sistem pembuatan akta Notaris yang dibuat secara elektronik karena UU PT dan UU ITE belum mengatur mengenai sistem tersebut. Pembuatan akta otentik terkait dengan dokumen elektronik dalam e-commerce dapat dilakukan di hadapan ataupun oleh seorang notaris harus memperhatikan juga syarat otentisitas suatu akta sehingga dokumen elektronik berikut tanda tangan digital 23
yang ada di dalamnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan sempurna. Terkait dengan otentisitas dokumen elektronik dan tanda tangan digital, perlu dibentuk kelembagaan untuk penyelenggaraan certification authority yang melibatkan notaris di dalamnya, di bawah pengawasan Badan Pengawas Certification Authority. Selain itu, masih diperlukan berbagai penyempurnaan yang bersifat normatif dan teknis, dengan melakukan perubahan terhadap UU Jabatan Notaris dan UU ITE terkait dengan wilayah jabatan seorang notaris, yaitu notaris mempunyai wilayah jabatan di seluruh wilayah propinsi tempat kedudukannya dan memberikan kewenangan kepada notaris di dunia cyber sebagai certification authority dengan memperhatikan prinsip dasar sahnya akta otentik. Untuk itu, apabila diperlukan perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tegas untuk mendukung peran notaris dalam sistem pembuatan akta secara elektronik. Hal tersebut di atas perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan mengingat Revisi UU Jabatan Notaris merupakan salah satu Program Legislasi Nasional 2011.
24
DAFTAR PUSTAKA Buku: Habib Adjie, Hukum Notaris di Indonesia-Tafsiran Tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008. Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Keempat, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007. Edmon Makarim, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010. Dikdik M. Arief Mansur & Elisaris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2005. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta: Liberty, 1992. A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, Jakarta: Intermasa, 1978. Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, Bandung: Alumni, 2004. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980. Niniek Suparni, Cyberspace Problematika & Antisipasi Pengaturannya, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. ------------, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa yang Akan Datang, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008. Karya Tulis Ilmiah: Ign. Sumarsono Raharjo, “Informasi Elektronik pada Transaksi Electronic-Commerce dalam Hukum Pembuktian Perdata dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 29-No. 1-Tahun 2010. Arimukti Wibowo, dkk, Kerangka Hukum Digital Signature dalam Electronic Commerce, makalah disampaikan di hadapan Masyarakat Telekomunikasi Indonesia Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia Depok Jawa Barat, Juni 1999. Website:
25
“Pembuktian dalam Proses Perdata”, http://ptayogyakarta.go.id/index2.php?option=com_ content&do_pdf=1&id=478, diakses 25 April 2011. “Rancangan Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi”, www. cert.or.id/~budi/ articles/RUU-Cyberlaw.doc, diakses 3 April 2011. Andi A., “Hukum E-Commerce, Keamanan dan Cyber Law”,dikutip dalam http://www.scribd. com/doc/32150217/Hukum-ECommerce-Keamanan-Dan-Cyber-Law, diakses 7 Ja-nuari 2011. Jusuf Patrick, “Alat bukti elektronik (Dokumen Elektronik)”, http://notarissby.blogspot.com/ 2010/02/alat-buktielektronik.html, diakses 7 Januari 2011. --------------, “Arti dan Kedudukan Tanda Tangan dalam Suatu Dokumen”, http://notarissby. blogspot.com/2008/05/arti-dankedudukan-tanda-tangan-dalam.html, diakses 7 Ja-nuari 2011. --------------, “Notaris dan UU No. 11 Th 2008: Esensi Keberadaan Lembaga Notariat dengan Berlakunya Undang-Undang No 11 Th 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, http://notarissby.blogspot.com/2008/05/notaris-dan-uu-no-11-th2008.html, diakses 7 Ja-nuari 2011. --------------, “Oleh-Oleh dari Rapat Pleno INI yang diperluas di Bali 2010”, http://notarissby. blogspot.com/2010/02/oleh-oleh-darirapat-pleno-ini-yang.html, diakses 7 Januari 2011. Peraturan Perundang-Undangan: Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. --------------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. --------------, Herziene Inlandsch Reglement/Hukum Acara Perdata Indonesia yang Diperbarui. --------------, Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura. --------------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209. --------------, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Nomor 117 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432. --------------, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843. --------------, Naskah Akademik Rancangan UU tentang Tanda Tangan elektronik dan Transaksi Elektronik tahun 2001. 26
PENGELOLAAN KERAHASIAAN INFORMASI INTELIJEN NEGARA Ahmad Budiman
*)
Abstract A professional state intelligence system must be ready and able to quickly anticipate and respond various national threats abruptly come by providing sufficient early warnings and proper inputs to President to make national policy to rightly address the threats. Proper handling of secrecies of intelligence information is always notified by state intelligence apparatus in conducting their tasks. As a consequence, principles of information restrictions, accurate selection of intelligence information, clear decision on secrecies and expiration of intelligence information, and its credibility on the one side, and the accountability of intelligence apparatus on the other, should necessarily be regulated in specific law on intelligence, thus, its implementation will not against democracy, particularly human rights. Abstrak Intelijen negara yang profesional adalah yang selalu siap dan mampu mengantisipasi berbagai ancaman yang tibatiba, sehingga dengan cepat memberikan deteksi dan peringatan dini guna memberikan masukan kepada Presiden untuk merumuskan kebijakan keamanan nasional yang dibutuhkan. Pengelolaan Kerahasiaan informasi intelijen senantiasa dipergunakan intelijen negara dalam pelaksanaan dan hasil pelaksanaan tugas intelijen. Prinsip-prinsip pembatasan informasi, jenis-jenis informasi intelijen, masa kerahasiaan informasi intelijen dan akuntabilitas informasi intelijen perlu diatur agar pelaksanaannya tetap memperhatikan nilai-nilai demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kata kunci: Kerahasiaan Informasi, Intelijen Negara A. Latar Belakang Masalah
*)
Penulis adalah Peneliti Komunikasi Politik di P3DI Setjen DPR RI, e-mail:
[email protected] 1
Pada daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen menjadi salah satu dari 58 (lima puluh delapan) RUU yang menjadi prioritas untuk dibahas pada tahun 2010, di mana naskah akademik (NA) dan draf RUU perlu dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, Arif Wibowo dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjelaskan sampai dengan saat ini 1 belum ada aturan khusus tentang kegiatan intelijen . Lembaga Kajian Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) mendesak DPR untuk segera mendorong satu regulasi setingkat undang-undang untuk mengatur fungsi, peran dan tugas institusi intelijen. Pandangan ini juga mengacu pada kenyataan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) terkesan masih menjadi lembaga yang tidak terkontrol. Tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan baik dari Presiden maupun DPR RI menjadikan BIN secara institusional lebih leluasa menafsirkan aktivitasnya sendiri. Sangat aneh jika melihat kedudukan BIN hanya diatur oleh regulasi setingkat 2 keputusan Presiden . Pusat Kajian Sosial Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) UI memberikan tiga pertimbangan utama yang melandasi kebutuhan untuk menyusun regulasi politik tentang intelijen negara. Pertama, pertimbangan yang bersifat strategis dan substantif, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk mengembangkan intelijen negara yang profesional dalam mengatasi berkembangnya ancaman terhadap keamanan negara. Kedua, pertimbangan politis di mana pertimbangan ini menempatkan tindakan dan kedinasan intelijen negara dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia yang memungkinkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam keseluruhan sistem intelijen. Ketiga, pertimbangan hukum yang menghendaki adanya pengaturan lebih tegas 3 tetapi terbatas terhadap kewenangan spesifik intelijen negara . Selain tanggapan masyarakat, Komisi I DPR RI juga telah melakukan penyerapan aspirasi melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang mantan Kepala BIN serta para pakar untuk memberikan masukan mengenai pengaturan intelijen, sebagaimana dideskripsikan pada tabel berikut ini:
1
Rancangan Undang-Undang Intelijen masuk dalam prioritas pembahasan legislasi 2010 sementara Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara ditunda pembahasannya hingga 2011. “Dewan Ingin Bahas RUU Intelijen sebelum RUU Rahasia Negara”, http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/12/04/brk,20091204-211944,id.html diakses tanggal 10 Januari 2010. 2 “RUU Yang Mendorong Akuntabilitas Intelijen Mendesak”, http://idsps.org/headlinenews/pers-release/intelijen/ diakses tanggal 1 Agustus 2010. 3 “Pusat Kajian Sosial FISIP UI luncurkan RUU Intelijen Negara”, http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik=5&id=474 diakses tanggal 10 Januari 2010. 2
NO. 1
2
3
Tabel 1 Pokok-Pokok Masalah Intelijen Negara TOKOH SUBSTANSI Syamsir Siregar Keberadaan RUU intelijen negara sangat (Mantan Kepala BIN) penting sebagai payung hukum bagi intelijen dalam melaksanakan tugasnya Penolakan terhadap RUU Intelijen Negara oleh masyarakat merupakan ekses masa lalu di mana intelijen sangat powerful BIN harus memiliki kewenangan intersepsi yang dijamin oleh undang-undang AM. Hendropriyono Waktu penahanan atau masa pemeriksaan (Mantan Kepala BIN) intensif antara 4-7 hari untuk brain wash. BIN memiliki kewenangan intersepsi yang dijamin UU. Klasifikasi kerahasiaan informasi, konfidensial 20 tahun, terbatas 30 tahun, biasa 40 tahun. Andi Widjajanto Cakra Byuha (Keterpaduan, koordinasi, (Pakar) spesialisasi fungsi yang menjadi syarat dasar bagi profesionalisme dan pengawasan). Tidak ada otonomi anggaran dalam pelaksanaan intelijen negara, bersumber dari APBN. Pengawasan Konsentrik (Waskat, Eksekutif, Sub-komisi khusus intelijen di DPR RI, Masyarakat Sipil)
4
Kusnanto (Pakar)
Anggoro
Operasi intelijen tertentu memerlukan kewenangan khusus yang harus diatur secara ketat Penetapan ruang lingkup fungsional intelijen, sehingga tidak terjadi duplikasi fungsi antar beberapa lembaga pelaksana Penegasan mekanisme kerja intelijen dan prosedur kontrol demokratik bagi kebijakan keamanan nasional. Sumber: Sekretariat Komisi I DPR RI, diolah dari Laporan Singkat Rapat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I.
Selain pokok-pokok masalah tersebut, masalah lain yang perlu diperhatikan karena seringkali menjadi indikator bagi kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan kinerja intelijen dan penghormatan terhadap hak asasi manusia oleh intelijen negara, yaitu masalah kerahasiaan informasi intelijen. Kerahasiaan informasi intelijen seringkali menjadi masalah utama dalam menilai kinerja intelijen di suatu negara. Pada satu sisi masyarakat umumnya menilai keberhasilan intelijen dalam mengungkap suatu masalah, terletak pada kemampuannya mengungkap informasi 3
awal yang merupakan peringatan dan pencegahan dini dari suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Sedangkan di sisi yang lain, masyarakat menilai kerahasiaan informasi intelijen tetap harus memperhatikan asas transparansi dan akuntabilitas publik dalam rangka memenuhi hak masyarakat terhadap informasi publik. Intelijen harus selaras dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang menjamin hak asasi manusia dan akses publik. Perpaduan atas kedua kondisi ini menimbulkan pertanyaan awal mengenai sejauh mana informasi intelijen yang dapat diakses oleh publik, dan mungkinkah publik mempunyai hak untuk mengetahui sejauh mana keakuratan informasi yang diperoleh badan intelijen sehingga seseorang atau kelompok yang dimaksud dalam informasi langsung bisa ditangkap, diperiksa atau bahkan ditahan. Kerahasiaan informasi intelijen menjadi salah satu indikator dari keberhasilan kinerja intelijen negara. Namun demikian pada pelaksanaannya hal ini juga harus memperhatikan transparansi dan akuntabilitas yang pengaturannya sudah terdapat pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UndangUndang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2009 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Deskripsi kasus-kasus berikut ini: 1. Mabes Polri menyangsikan informasi intelijen yang beredar di media massa asing tentang adanya tiga sasaran pengeboman yang akan dilakukan kelompok Jemaah Islamiyah (JI) seperti diberitakan harian The Sunday Times. Sangat disesalkan apabila informasi itu benar diperoleh dari intelijen Polri dan kemudian dijadikan konsumsi di 4 media massa, padahal pelakunya belum tertangkap . 2. Meskipun penangkapan Agus Dwikarna, pemimpin “Laskar Jundullah” berhasil dilakukan, namun pada awalnya kegiatan penangkapan ini sempat menemui kendala. Kendala yang ditemui dalam penangkapan terkait dengan persoalan akurasi informasi 5 intelijen terhadap skema perjalanan tokoh-tokoh yang dimaksud . 3. Indonesia dan Australia sepakat untuk melakukan pertukaran informasi-informasi intelijen di bidang keuangan dalam upaya memerangi praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme. Penandatanganan MoU itu dilakukan dalam rangka menggalang kerja sama antara PPATK dengan Australian Transaction Report and Analysis Centre (Austrac), yang digunakan sebagai poin utama
4
“Mabes Polri Menyangsikan Informasi Intelijen Terhadap Media Massa Asing”, http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=4846 diakses tanggal 1 April 2010. 5 Ken Conboy, Intelijen II Medan Tempur Kedua, Jakarta: Penerbit Pustaka Primatama, 2008, hal. 179. 4
upaya Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana 6 pencucian uang . 4. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono meyakini kebenaran informasi yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal akan adanya aksi gerakan sosial pada 9 Desember 2009. Kalau intelijen menyampaikannya, maka informasinya yang benar. Kecuali kalau Informasi Itu belum berupa 7 intelijen, tentu belum benar . B. Permasalahan Deskripsi latar belakang masalah di atas telah menghantarkan pemahaman terhadap pokok masalah yang perlu diperhatikan dalam menyusun aturan tentang intelijen negara, yaitu “Bagaimana pengelolaan kerahasiaan informasi intelijen negara?” Selanjutnya secara spesifik pengelolaan kerahasiaan informasi intelijen negara dapat ditinjau dari : 1. prinsip-prinsip pembatasan yang perlu diperhatikan dalam rangka pengelolaan kerahasiaan informasi intelijen; 2. jenis-jenis informasi yang dapat dikelompokan ke dalam kerahasiaan informasi intelijen; 3. masa retensi kerahasiaan informasi intelijen; dan 4. akuntabilitas kerahasiaan informasi intelijen. C. Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana pengelolaan kerahasiaan intelijen negara yang meliputi prinsip pembatasan, jenis informasi, masa retensi dan akuntabilitas kerahasiaan informasi intelijen. Selain itu tulisan ini juga bertujuan memberikan masukan masukan kepada DPR RI dalam hal substansi kerahasiaan informasi intelijen negara pada pembahasan RUU tentang Intelijen Negara. D. Tinjauan Pustaka 1.
Intelijen Negara
Intelijen (intelligence) mempunyai arti umum kecerdasan. Dalam bahasa khusus kaum telik sandi, intelijen adalah informasi-informasi yang telah diolah dan dimatangkan oleh pelaku intelijen dalam sebuah organisasi dengan metode khusus. Informasi yang sudah “siap saji” tadi 6
“Indonesia dan Australia Sepakat Tukar Informasi Intelijen Keuangan”, http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=5344 diakses tanggal 6 Maret 2010. 7 “SBY Konter Aksi 9 Desember”, Warta Kota 6 Desember 2009. 5
disebut sebagai intelijen, kemudian akan digunakan oleh atasan intelijen (user). Dalam sebuah siklus dan tata kelola di sebuah negara, user adalah presiden, perdana menteri atau seorang raja, tergantung sistem 8 apa yang dipergunakan negara tersebut . Intelijen adalah juga pengetahuan, organisasi, dan aktivitas yang terkait dengan perumusan kebijakan dan strategi nasional berdasarkan analisis dari informasi intelijen dan fakta-fakta yang terkumpul melalui metode tertentu untuk pendeteksian awal dan peringatand ini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan 9 nasional . Definisi intelijen juga dikaitkan dengan aktivitasnya, menurut Roy Godson sebagaimana dikutip Plamen Pantev yaitu intelijen sebagai pengetahuan, organisasi, aktivitas yang dihasilkan dalam (1) pengumpulan, analisis, produksi, deseminasi, dan eksploitasi dan spesialisasi dari kekuatan militer, gerakan apapun, atau asosiasi lain yang dipercaya berkaitan dengan keamanan kelompok atau pemerintah; (2) Netralisasi dan perlawanan dari aktivitas serupa oleh kelompok, pemerintah atau gerakan lain; dan (3) Aktivitas rahasia yang dilakukan untuk mempengaruhi komposisi dan perilaku dari kelompok atau 10 pemerintah tertentu . Memperhatikan definisi intelijen, maka dapat dipahami intelijen memerlukan kompetensi sumber daya manusia sebagai pelaksananya. Dalam dunia intelijen dikenal adanya mazhab modern di samping masih dimanfaatkannya teori-teori kuno. Pada era Kerajaan Demak, intelijen dikenal dengan sebutan “telik sandi”. Namun apapun mazhabnya, baik yang modern ataupun yang kuno, penguasaan atas sifat, karakter, dan pamor manusia yang akan dilibatkan di dalam sebuah proses intelijen itu 11 sendiri sifatnya mutlak, harus diketahui dengan pasti dan tanpa asumsi . Intelijen negara bekerja mencari dan mengumpulkan bahanbahan keterangan dasar. Secara strategis dan taktis mereka melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan demi mengamankan rakyat, bangsa dan negara, termasuk menjaga keselamtan kepala negara/pemerintahan, serta ikut mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mencegah timbulnya perang dalam artian yang luas. Laporan intelijen di manapun di dunia ini memang hanya melengkapi informasi pembuat dan pengambil keputusan di tingkat nasional. Informasi intelijen bukan menjadi “keputusan” tetapi merupakan pelengkap saran-saran lainnya. Namun sekalipun hanya sebagai pelengkap, informasi itu harus disampaikan sesegera mungkin, tepat 8
Prayitno Ramelan, Intelijen Bertawaf Teroris Malaysia dalam Kupasan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009, hal. 13. 9 Sekretariat Jenderal DPR RI, Naskah Akademik RUU tentang Intelijen Negara (tidak diterbitkan), Jakarta: 2010, hal. 23. 10 Plamen Pantev (et.al), Hubungan Sipil-Militer dan Kendali Demokrasi Sektor Keamanan, Sofia Bulgaria: ProCon Ltd, Freidrich Ebert Stiftung Perwakilan Jakarta, 2005, hal. 66. 11 Prayitno, op.cit., hal 37. 6
waktu, untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan. Intelijen negara melakukan segala upaya untuk deteksi awal dan mengembangkan sistem peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan 12 nasional yang semakin kompleks dan multidimensional . Fungsi intelijen adalah 1) sebagai lembaga yang berfungsi melakukan penyelidikan dalam arti taktis dan strategis, 2) fungsi pengamanan sesuai dengan visi dan misi intelijen itu, yakni menjaga keselamatan negara, bangsa dan rakyat, termasuk presiden, baik sebagai individu atau pejabat tinggi negara beserta kelurga, dan 3) fungsi 13 penggalangan . Langkah dan tahapan siklus intelijen baik dalam intelijen taktis maupun strategis adalah sama. Langkah-langkah tersebut meliputi langkah perakitan dan pengubahan dengan tahap pengarahan, tahap pengumpulan, tahap pengolahan dan tahap penyebaran. Terdapat perbedaan perincian dari masing-masing tahap karena informasi pengelolaannya juga berbeda. Produksi intelijen taktis lebih banyak didasarkan pada pola berpikir logika, sedangkan untuk memproduksi intelijen strategis didasarkan pada berpikir ilmiah yang mendalami semua 14 cara berpikir . Intelijen militer biasanya terfokus pada intelijen teritorial, intelijen pertahanan, intelijen tempur, intelijen persenjataan yang erat hubungannya dengan military intelligence. Sedangkan civil intelligence lebih terfokus pada to get some information only, and to evaluate 15 information with appreciation . Dalam sebuah negara demokratis, aturan normatif tentang fungsi intelijen harus melayani dua kepentingan secara seimbang yaitu kepentingan keamanan nasional dan perlindungan hak asasi manusia serta kebebasan sipil. Ciri pokok dari lembaga intelijen yang profesional adalah kesiapsiagaannya dalam mengantisipasi setiap ancaman strategis dalam bidang keamanan nasional sehingga dengan cepat (velox) dan akurat (exactus) memberikan masukan kepada pimpinan eksekutif untuk merumuskan kebijakan keamanan nasional yang 16 diperlukan . 2.
12
Informasi Intelijen
AC Manulang, Menguak Tabu Intelijen: Teror Motif dan Rezim, Jakarta: Penerbit Panta Rhei, 2001, hal. 20. 13 Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba Di Tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta: Penerbit PT Radja Grafindo Persada, 2002, hal. 502. 14 AC Manulang, op.cit., hal. 47. 15 Ibid., hal. 258. 16 Aleksius Jemadu, Menyoroti Masalah Koordinasi dalam Reformasi Intelijen Indonesia, dalam Beni Sukadis dan Eric Hendra (ed), Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Lesperssi, 2008, hal. 115. 7
Menurut teori Mozaik Intelijen, potongan-potongan kecil informasi dikumpulkan yang ketika diletakkan bersama seperti sebuah mozaik atau puzzle potongan gambar, akhirnya memampukan analis untuk merasakan sebuah gambar realitas yang jelas. Analogi menunjukkan bahwa perkiraan yang akurat sangat bergantung pada kepemilikan semua potongan, yaitu potongan informasi yang akurat dan relatif lengkap. Sangat penting mengumpulkan dan menyimpan potonganpotongan kecil informasi, karena ada bahan mentah dari yang telah dibuat oleh gambar tersebut; orang tidak pernah tahu ketika ia akan menjadi mungkin bagi seorang analis yang cerdik untuk menyesuaikan sepotong informasi ke dalam puzzle. Bagian yang rasional bagi sistem pengumpulan intelijen teknis yang besar berakar dari dalam teori mozaik 17 ini . Keterkaitan informasi dengan aktivitas intelijen terkena pada empat elemen intelijen yaitu (1) kelompok rahasia (clandestine collection) yang memperoleh informasi berharga melalui metode khusus, biasanya rahasia; (2) kontra intelijen, yang mengidentifikasi, menetralisir, dan mengeksplorasi badan intelijen negara lain; (3) analisis dan estimasi adalah menilai koleksi dan data lain dan mengirim kepada pembuat kebijakan suatu produk jadi yang memiliki kejelasan lebih daripada yang inheren dalam data itu sendiri; dan (4) tindakan rahasia yang berusaha untuk mempengaruhi politik dan kejadian di negara lain tanpa membuka 18 keterlibatan seorangpun . Kaitan antara presiden, intelijen dan sebuah keputusan sangatlah erat. Di sebuah negara yang memiliki badan intelijen negara, maka keputusan yang akan diambil oleh pimpinan nasional sebaiknya dilakukan selalu atas dasar pertimbangan pembantu presiden, juga pertimbangan khusus oleh badan intelijen. Badan intelijen bertugas melakukan kegiatan pengumpulan bahan keterangan dari komponen intelijen strategis yang kemudian diolah, dianalisa, dikonfirmasikan sehingga menjadi sebuah bahan informasi matang yang bernama “intelijen”, disajikan kepada user atau pemimpin nasional. Bahan itulah yang di antaranya digunakan presiden dalam mengambil keputusan. Sebuah kesalahan informasi intelijen yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan di tingkat nasional ataupun internasional jelas akan membawa sebuah dampak negatif yang luas dan dapat 19 menimbulkan kerugian baik moril, materiil maupun korban jiwa . Dalam perspektif intelijen isu dan masalah yang menjadi perhatian utama yakni isu-isu terorisme, separatisme, konflik sosial, maupun soal kelompok radikal, subversif, spionase, sabotase, masalah perbatasan dan kejahatan terorganisir. Tiga masalah krusial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari intelijen menyangkut terorisme, 17
Richards J Heurs Jr, Psikologi Intelijen Rahasia CIA, Yogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media, 2008, hal. 133. 18 Plamen Pantev (et.al), op.cit., hal. 67. 19 Prayitno, op.cit., hal 44. 8
separatisme, dan konflik sosial. Ke depan intelijen dituntut untuk mampu mengantisipasi dan memberikan peringatan dini mengenai hal-hal yang 20 terkait dengan ancaman tersebut . Para analis intelijen kadang menghadirkan keputusan-keputusan dalam bentuk sebuah skenario serangkaian peristiwa yang mengarahkan pada sebuah akibat yang diantisipasi. Ada bukti bahwa keputusankeputusan yang berkenaan dengan probabilitas sebuah skenario dipengaruhi oleh jumlah dan hakikat detail dalam skenario tersebut dengan suatu cara yang tidak dihubungkan dengan kemungkinan yang 21 sebenarnya dari skenario tersebut . Hak untuk mengetahui dalam masyarakat demokratis mendiskualifikasikan kekhawatiran tentang intelijen sebagai sumber satusatunya dari debat akan kerahasiaan. Pemerintah yang terbuka adalah komponen penting dalam fungsi negara demokratis. Rakyat dalam sebuah negara demokratis memiliki hak untuk tahu bagaimana kebijakan luar negeri dari suatu negara untuk mencapai tujuannya sebagaimana dalam tingkatan perlindungan negara dari badan intelijen asing mengarah pada intervensi dalam hak dan kebebasan individu. Selain itu rakyat memiliki hak untuk tahu jika profesionalisme dalam intelijen 22 memadai untuk kebutuhan keamanan dan kepentingannya . Dalam era Reformasi ini semua terbuka, maka tuntutan masyarakat harus ada transparansi atau keterbukaan dan pertanggungjawaban dalam bidang intelijen. Tapi intelijen berhubungan dengan kerahasiaan, maka harus ada pembatasan-pembatasan. Sehingga amat penting mencari balance (keseimbangan) antara kewajiban menjalankan kerahasiaan dan juga adanya akuntabilitas kepada masyarakat. Berbagai lembaga pengawas seperti DPR, eksekutif, auditor dan lainnya bisa dianggap sebagai representasi 23 masyarakat dalam melakukan pengawasan . Pada dasarnya seluruh kegiatan dan produk intelijen tunduk kepada hukum, termasuk pada tahapan-tahapan atau kondisi keamanan nasional. Secara proposional pengaturan tentang intelijen harus mencakup dari sekedar collecting data sebagai pekerjaan intelijen di masa normal dan damai, yaitu menghasilkan informasi yang dini (current affairs) sesuai dengan prakiraan intelijen (intelligence estimate), sampai dengan intelijen di masa perang. Pengaturan intelijen juga akan mengikuti jenis-jenis kegiatan intelijen. Perlu ada pengawasan eksternal terhadap intelijen, termasuk pengawasan parlemen (parliamentary control), untuk menanggulangi paradoks antara prinsip-prinsip
20
Ishak Latuconsina, Peran BIN dalam Era Transparansi dan Akuntabilitas, dalam Beni Sukadis dan Eric Hendra (ed), op.cit., hal. 121. 21 Richards J Heurs Jr, op.cit., hal. 265-266. 22 Plamen Pantev (et.al), op.cit., hal. 67. 23 Ishak Latuconsina, op.cit., hal. 122. 9
keterbukaan pada masyarakat yang demokratik dengan sifat rahasia 24 yang ada pada intelijen . E. Pembahasan 1.
Prinsip-Prinsip Pembatasan Informasi Intelijen
Kehadiran intelijen negara memiliki arti yang sangat penting sebagai lini pertama dalam sistem keamanan nasional. Kinerja intelijen negara memang diarahkan untuk melakukan deteksi awal dan mengembangkan sistem peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional. Setiap negara sudah dipastikan sangat memerlukan berfungsinya keamanan nasional (national security). Untuk itu informasi sebagai salah satu komponen utama dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi intelijen negara, perlu mendapatkan pengaturan yang maksimal. Dalam rangka memberikan pengaturan informasi intelijen yang maksimal, maka negara diberi kewenangan menentukan klasifikasi informasi apa saja yang bersifat rahasia (secrecy) yang dapat membahayakan keamanan nasional apabila dibuka. Artinya, dalam konteks pelaksanaan tugas dan fungsi intelijen negara, maka akses publik untuk mendapatkan informasi intelijen negara tentunya tertutup. Untuk itu diperlukan payung hukum, agar pembatasan ini dibenarkan undang-undang dalam rangka perlindungan terhadap keamanan nasional, namun disisi yang lain pembatasan tersebut harus diseimbangkan dengan hak masyarakat atas kebebasan memperoleh 25 informasi . Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam beberapa instrumen hukum internasional maupun nasional, yaitu Pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 26 (DUHAM) , Pasal 19 Kovenan Sipil dan Politik, Pasal 28J UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di 24
M. Fajrul Falaakh, Kerangka Pengaturan Intelijen di Indonesia, Peran BIN dalam Era Transparansi dan Akuntabilitas, dalam Beni Sukadis dan Eric Hendra (ed), op.cit., hal. 124. 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 14 menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”. Hak ini diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan pada 10 Desember 1948, pada Pasal 29 menyebutkan bahwa lepas dari segala hak yang telah diberikan negara pada warga negaranya, seseorang tetap harus melaksakan kewajibannya pada negara dan tunduk pada pembatasan yang berlaku di undang-undang negara. 10
dalam Kovenan Sipil dan Politik dinyatakan bahwa pelaksanaan hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu. Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas informasi tidak bisa diberlakukan secara semena-mena. Menurut instrumen-instrumen hukum, pembatasan diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan, atau moral masyarakat. Makna pembatasan sebagaimana disebutkan pada Pasal 74 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyiratkan bahwa tidak satu ketentuan dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan, atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan di dalam Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracuse Principles) disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Prinsip ini menegaskan bahwa 27 pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang . Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan ini lebih rinci dituangkan dalam Prinsip-Prinsip Johannesburg (Johannesburg Principles), yakni: 1. Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat menunjukkan secara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Sebuah undang-undang atau ketentuan hukum yang mengatur pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi hak tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan; 2. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individu untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak; 3. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah; pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang 27
Siracusa Principles atau Prinsip-prinsip Siracusa adalah prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4. http://graduateinstitute.ch/faculty/clapham/hrdoc/docs/siracusa.html diakses tanggal 20-22011 11
dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut. 4. Tidak sah suatu pembatasan jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan, pengungkapan kesalahan yang dilakukan, menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial; 5. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional; dan 6. Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar 28 pembatasan hak atas informasi . Kebijakan untuk melakukan pembatasan hak harus berangkat dari pemikiran bahwa jika suatu informasi dibuka, akan membahayakan keamanan nasional dan kepentingan publik yang lebih besar. Namun kebijakan itu tetap harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebagai wujud pertanggungjawaban, informasi intelijen harus dapat dibuka setelah jangka waktu yang tidak lagi dinilai membahayakan publik. Berdasarkan Prinsip-prinsip Johannesburg dapat dipahami, bahwa pembatasan informasi intelijen untuk alasan keamanan dan pertahanan nasional tidak sah kecuali untuk melindungi keberadaan suatu negara, integritas teritorialnya dari penggunaan atau ancaman kekerasan, atau kapasitasnya untuk bereaksi terhadap penggunaan ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sumber eksternal seperti ancaman militer berupa perang, maupun dari sumber internal seperti provokasi penggulingan pemerintah dengan cara kekerasan. Penerapan prinsip-prinsip pembatasan kerahasiaan informasi intelijen, sesungguhnya menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan keakuratan informasi intelijen sebagaimana pengalaman di beberapa negara lain sebagai berikut ini: 1. Pengalaman Amerika Serikat menjadi contoh bagaimana ketidakakuratan informasi intelijen dalam menduga adanya senjata pemusnah masal di Irak maupun operasi penangkapan terhadap orang-orang yang diduga sebagai teroris untuk dikirim ke 29 Guantanamo . 28
The Johannesburg Principles On National Security, Freedom Of Expression and Access to Information ARTICLE 19, http://www.article19.org/pdfs/standards/joburgprinciples.pdf diakses tanggal 10 Desember 2010. 29 “RUU Intelijen Negara, Rahasia Negara, KIP dan Prinsip Negara Demokrasi”, http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=123%3Aruu 12
2.
3.
4.
2.
KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti) merupakan dinas informasi atau penerangan Rusia. Caranya, yang lazim pada dinasdinas rahasia atau penerangan lainnya, adalah mengumpulkan informasi dan menganalisa data di antaranya baik dari foto satelit, alat penyadap dan data-data komputer. Berbeda dengan CIA, KGB memperoleh informasinya terutama dari negara-negara asing dan 30 lebih banyak memanfaatkan kubu diplomatik . Peringatan Dinas Rahasia Belanda (AIVD) mengenai bahaya spionase, melalui Facebook atau Twitter bukan hal baru. Tahun 2009, hal itu juga sudah menjadi tema utama dalam laporan tahunan AIVD. Hal baru adalah peringatan khusus mengenai spionase digital yang tidak ditujukan pada para profesional ICT atau masyarakat umum, tapi pada mereka yang memiliki informasi rahasia, misalnya para pejabat negeri tertentu atau pengusaha perorangan di sektor31 sektor yang dianggap strategis . Penjagaan kerahasiaan informasi intelijen perlu diatur karena publik berhak memahami sampai kapan sebuah operasi atau dokumen dikategorikan rahasia negara. Kalau di Perancis, hanya dokumen terkait nuklir dan peta penjara yang dikategorikan tidak boleh dibuka 32 hingga kapan pun . Jenis-Jenis Informasi Intelijen
Informasi diartikan sebagai keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. Sedangkan Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta 33 informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik . Kerja intelijen hakekatnya memang terkait dengan mengumpulkan dan menganalisis potongan-potongan kecil informasi yang akurat dan relatif lengkap menjadi sebuah hasil analisa informasi -intelijen-negara-rahasia-negara-kmip-a-prinsip-negarademokrasi&catid=37%3Aopini&Itemid=61&lang=in, diakses tanggal 1 Januari 2011. 30 FX Sutapo, Dinamika Intelijen Dunia, Jogjakarta, Penerbit Ar-Ruzz Media, 2008, hal. 76. 31 “Agen Intelijen Aktif Kumpulkan Informasi Melalui Facebook”, http://www.hidayatullah.com/berita/iptek/10650-agen-intelijen-aktif-kumpulkan-informasimelalui-facebook, diakses tanggal 6 Maret 2010. 32 “Banyak Cara untuk Meraih Informasi”, http://bataviase.co.id/node/156347, diakses tanggal 1 Januari 2011. 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 1 angka 1 dan angka 2. 13
intelijen yang hanya dapat dipergunakan oleh user-nya dalam menyusun sebuah kebijakan. Artinya, profesionalisme kerja intelijen negara memang harus memperlakukan potongan-potongan kecil informasi sebagai sumber informasi maupun informasi sebagai hasil analisa intelijen dalam koridor kerahasiaan. Pelaksanaan tugas dan fungsi intelijen negara memang tidak bisa setransparan seperti yang harus dilakukan kepada badan publik lainnya. Informasi yang dimiliki dan dihasilkan oleh intelijen negara pada umumnya tidak dapat dikategorikan sebagai informasi publik. Amerika Serikat dalam Undang-Undang Keamanan Nasional (NSA), menentukan jenis-jenis informasi yang perlu dijaga kerahasiaannya yaitu: (1) semua informasi berkenaan dengan sumber, operasi, metode, prosedur dan cara pengumpulan, (2) Kerahasiaan identitas staf operasional dan perlindungan terhadap pengetahuan dan informasinya, dan (3) Asal dan rincian intelijen yang disediakan oleh 34 badan intelijen asing secara rahasia . Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 17 menyebutkan: Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: 1. mengungkap data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk 35 kejahatan transnasional . 2. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar 36 negeri . 3. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran 37 atau evaluasi . 38 4. sistem intelijen negara . Sistem intelijen negara itu dimaknai sebagai sistem yang mengatur aktivitas badan intelijen yang disesuaikan dengan strata masing-masing agar lebih terarah dan terkoordinasi secara efektif, efisien, sinergis, dan profesional dalam mengantisipasi berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman ataupun peluang yang ada sehingga hasil analisisnya secara akurat, cepat, objektif, dan relevan yang dapat 34
Aleksius Jemadu (ed), Praktek-Praktek Intelijen dan Pengawasan Demokratis- Padangan Kritis, Alih bahasa Aviva Nababan, Jakarta: Publikasi DCAF-FES SSR Vol II, 2007, hal. 30. 35 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 17 huruf a angka 3 36 Ibid., Pasal 17 huruf c angka 1 37 Ibid., Pasal 17 huruf c angka 2 38 Ibid., Pasal 17 huruf c angka 7 14
mendukung dan menyukseskan kebijaksanaan dan strategi nasional. Kerahasiaan informasi intelijen diberlakukan dari mulai perencanaan mendapatkan informasi, mengumpulkan informasi, menganalisa dan menyajikan informasi intelijen. Kerahasiaan informasi intelijen juga diberlakukan kepada data intelijen kriminal yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional. Hal ini lebih disebabkan kondisi perkembangan kejahatan transnasional yang kian hari semakin kompleks dan multidimensional. Untuk itu diperlukan kemampuan intelijen negara untuk senantiasa berada pada dinamika ancaman tersebut, tanpa bisa diketahui oleh pelaku kejahatannya. Kerahasiaan informasi intelijen diperlukan agar intelijen negara mampu mendapatkan informasi yang valid, mengolah, menganalisis dan menyerahkan hasil akhir informasi intelijen sebagai upaya untuk memberantas rencana kejahatan dan kejahatan transnasional tersebut. Informasi intelijen yang telah dipergunakan pada tahapan kegiatan intelijen, bukan berarti sudah tidak dibutuhkan lagi dalam kegiatan intelijen pada kasus lainnya. Meskipun telah menjadi dokumen informasi intelijen, akan tetap diperlukan sebagai upaya untuk membandingkan kasus lain yang sedang terjadi atau memprediksi kasus lain yang mungkin terjadi. Untuk itu kerahasiaan informasi intelijen terhadap dokumen informasi intelijen juga harus tetap diberlakukan. Selanjutnya keseluruhan informasi intelijen perlu dilakukan uji konsekuensi atas kerahasiaannya. Uji konsekuensi berkaitan alasan untuk merahasiakan yang jauh lebih menguntungkan masyarakat apabila informasi intelijen tersebut harus dibuka untuk umum. Kerahasiaan informasi intelijen telah menjadikan sistem intelijen negara, data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional, serta dokumen tentang intelijen senantiasa berada pada 39 siklus intelijen yang perlu dirahasiakan. Jenis-jenis informasi intelijen adalah informasi yang bersifat rahasia dalam setiap tahapan aktivitas intelijen. Pada tahap perencanaan, intelijen telah menempatkan informasi sebagai unsur utama dari aktivitas intelijen negara dalam melakukan identifikasi kebutuhan data guna menilai atau memantau ancaman keamanan serta isu strategis yang sampai sekarang belum terselesaikan. Validitas dan kerahasiaan informasi intelijen menjadi indikator utama dalam menilai keberhasilan perencanaan intelijen negara. Tahapan pengumpulan dan pengolahan memiliki hubungan yang signifikan dalam kaitannya dengan memperoleh dan memaknai “pecahan-pecahan” informasi intelijen yang berasal dari begitu banyak sumber intelijen. Kendala umum yang acapkali ditemui pada tahap 39
Siklus intelijen yakni suatu proses dimana informasi didapatkan, diubah menjadi produk intelijen dan dibuat disajikan kepada pembuat kebijakan. Loch K Johnson, Bombs, Bugs, Drugs and Thugs: Intelligence and America’s quest for security. New York: New York University Press, 2002, hal. 187. 15
pengumpulan bermula dari menjaga kerahasiaan sumber informasi beserta jenis-jenis informasi yang dimilikinya. Kendala berikutnya bergerak menjadi kendala validitas dan realibilitas informasi yang telah diperoleh dan akan dimaknai pada tahap pengolahan. Memaknai dan atau memberikan sandi-sandi pada setiap “pecahan” informasi yang diperoleh adalah pekerjaan yang memerlukan jaminan atas kerahasiaan hingga akhirnya menjadi informasi yang utuh yang siap untuk dianalisa. Tahapan analisa merupakan tahapan yang paling krusial karena terkait dengan upaya intelijen negara untuk mengubah berbagai informasi dasar yang dihasilkan pada tahap sebelumnya, menjadi produk informasi intelijen yang terakhir. Kerahasiaan menjadi faktor utama dalam pengerjaan tahapan ini, mengingat semua data yang telah diolah yang bisa jadi bertentangan satu dengan yang lainnya, akan diintegrasikan dan dianalisa hingga menjadi produk intelijen yang siap di distribusikan kepada penggunanya. Pendistribusian informasi produk intelijen baik aktivitas maupun materi informasinya juga sangat memperhatikan kerahasiaan, sehingga dapat sampai kepada pengguna yang dituju tanpa mengalami pembiasan atau distorsi aktvitas maupun substansi yang dihasilkannya. Kesungguhan untuk menjaga kerahasiaan pada seluruh tahapan informasi intelijen pada akhirnya akan sangat berpengaruh kepada pengguna informasi intelijen untuk menghasilkan kebijakan yang tepat, dalam rangka melakukan peringatan dan pencegahan dini terhadap berbagai ancaman pertahanan dan keamanan nasional. 3.
Masa Retensi Kerahasiaan Informasi Intelijen
Masa penyimpanan (retensi) terhadap informasi umum yang telah menjadi arsip statis dapat dinyatakan oleh kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) atau kepala lembaga kearsipan sesuai dengan lingkup kewenangannya, menjadi informasi publik setelah melewati masa penyimpanan 25 (dua puluh lima) tahun. Namun demikian sebelum waktu yang ditentukan tersebut, arsip statis dapat dibuka apabila telah didapatkan kepastian bahwa informasi yang dibuka tersebut di antaranya tidak akan menghambat proses penegakan hukum, tidak membahayakan pertahanan dan keamanan negara, tidak merugikan kepentingan politik dan hubungan luar negeri, dan tidak mengungkapkan kekayaan alam Indonesia yang masuk dalam kategori dilindungi kerahasiaannya. Selanjutnya untuk keperluan penyelidikan dan penyidikan, informasi ini dapat diakses dengan kewenangan dari kepala 40 lembaga kearsipan yang berwenang . Guna kepentingan pengaturan intelijen negara, maka masa retensi untuk kerahasiaan informasi intelijen bisa diatur lebih khusus, bisa lebih lama atau lebih singkat dari masa retensi informasi umum 40
Pasal 66 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan. 16
sebagaimana diatur dalam UU Kearsipan. Penetapan masa retensi kerahasiaan informasi intelijen memang dihadapkan pada dua pilihan untuk menjadi lebih singkat atau lebih lama dari masa retensi arsip statis. Argumentasi pada pentingnya menjaga kerahasiaan informasi intelijen, pada umumnya menjadi dasar untuk menetapkan masa retensi informasi intelijen lebih lama dari masa retensi arsip statis. Karena bagaimanapun juga informasi intelijen pada masa yang lalu akan selalu menjadi bagian untuk menganalisis informasi intelijen yang diperoleh pada masa sekarang. Informasi intelijen pada masa lalu, juga menjadi bagian dari analisis prediksi informasi intelijen di masa yang akan datang. Namun demikian, apabila pilihannya adalah mempersingkat masa retensi informasi intelijen, maka argumentasinya lebih disebabkan karena upaya intelijen untuk melakukan reformasi internal sebagai bagian dari penegakan kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara. Hal ini untuk membuktikan, bahwa intelijen diciptakan bukan untuk melanggengkan kepentingan penguasa, namun lebih diarahkan pada pemenuhan kepentingan masyarakat yang termasuk di dalamnya adalah kepentingan memperoleh informasi publik. Mempersingkat masa retensi informasi intelijen berarti juga mendorong kerja intelijen untuk senantiasa memperhatikan nilai-nilai demokrasi dan penghormatan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia. Informasi intelijen yang telah ditetapkan masa retensinya selanjutnya dapat diperpanjang setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai representasi dari kepentingan masyarakat. Namun demikian sebagaimana prosedur untuk menetapkan kerahasiaan informasi intelijen, maka perpanjangan masa retensi informasi intelijen juga perlu disertakan uji konsekuensi kepadanya. Bahwa upaya untuk memperpanjang masa retensi informasi intelijen dinilai lebih mendatangkan manfaat bagi keselamatan masyarakat dari pada harus membukanya kepada umum. Pada hal-hal tertentu masa retensi informasi intelijen dapat dinyatakan berakhir atau dipersingkat, sebelum masa retensi yang sebenarnya benar-benar berakhir. Masa retensi informasi intelijen dapat dinyatakan berakhir apabila sengaja atau tidak sengaja informasi intelijen diketahui oleh masyarakat. Masa retensi informasi intelijen juga dapat dipersingkat sebelum masa retensinya berakhir untuk kepentingan pengadilan yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan negara, sumber daya alam, ketahanan ekonomi nasional, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana pencucian uang. Informasi intelijen yang telah berakhir masa retensinya dan tidak diperpanjang kembali, selanjutnya sudah diperlakukan sebagai informasi umum yang bisa diakses oleh publik. Selain itu terdapat pula informasi intelijen yang dapat diakses publik, yaitu informasi intelijen selain dari informasi intelijen yang bersifat rahasia, informasi intelijen yang telah 17
diketahui oleh masyarakat, dan informasi intelijen yang digunakan untuk kepentingan pengadilan. 4.
Akuntabilitas Kerahasiaan Informasi Intelijen
Informasi intelijen yang berada pada tahapan kegiatan intelijen negara, hakekatnya adalah informasi yang berada pada penguasaan dan dimiliki oleh intelijen negara. Untuk itu intelijen negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan informasi intelijen. Akuntabilitas kerahasiaan informasi intelijen senantiasa dihadapkan pada eksekutif, legislatif dan masyarakat pada umumnya. Hal ini berlaku hampir di semua lembaga intelijen di seluruh dunia yang senantiasa mengembangkan nilai-nilai demokrasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti juga terjadi di Indonesia. Intelijen negara perlu mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada Presiden sebagai pengguna hasil akhir informasi intelijen. Pertanggungjawaban informasi intelijen akan selalu dituntut oleh Presiden yang juga dituntut untuk menghasilkan kebijakan yang mampu mengatasi ancaman dan potensi ancaman di masa yang akan datang. Pada sisi lain, Presiden sebagai pengguna informasi intelijen memiliki kewenangan memerintahkan intelijen negara untuk menghasilkan informasi intelijen yang dibutuhkannya. Dengan demikian akuntabilitas intelijen negara dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya menuntut rentang kendali eksekutif. Sistem pengawasan berlapis dari kerahasiaan informasi intelijen juga diberlakukan bagi Presiden dalam menjalankan kewenangan dan tanggung jawabnya untuk pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Presiden selaku penanggungjawab tertinggi dalam pengelolaan pertahanan negara dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional yang berfungsi sebagai penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara. Untuk hal tersebut, Dewan Pertahanan Nasional memiliki kewenangan memanfaatkan dan mengawasi akuntabilitas kerahasiaan informasi intelijen sebagai salah satu bahan informasi yang akan disampaikan kepada Presiden. Dalam kondisi normal akuntabilitas intelijen negara kepada legislatif dimulai dari tahap awal perencanaan kegiatan intelijen negara, termasuk juga di dalamnya masalah anggaran intelijen serta pada tahap evaluasi kinerja intelijen negara. Pengawasan yang dilakukan DPR RI, hakekatnya menuntut intelijen negara responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat yang direpresentasikan oleh wakil rakyat yang terpilih melalui pemilu. Masyarakat sipil yang representasinya diletakkan kepada wakil rakyat yang duduk di DPR RI memegang kendali utama terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi intelijen negara. Pertanggungjawaban intelijen negara kepada DPR RI menjadi wajib dilakukan mengingat intelijen negara adalah juga menggunakan anggaran negara untuk aktivitasnya. Keterlibatan parlemen dapat 18
memastikan bahwa penggunaan uang publik di bidang intelijen dan 41 hankam dipergunakan dan dipertanggungjawabkan dengan baik . Namun demikian pada kondisi-kondisi tertentu dan sesuai dengan ketentuan perundangan yang beralaku, DPR RI dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan salah satu tahapan kegiatan intelijen negara, bila dinilai memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. DPR RI bisa melakukan pengawasan terhadap rincian strategi dan dampak aktivitas intelijen di masyarakat, saat kegiatan intelijen sedang berlangsung. Kepentingan pengawasan yang dilakukan DPR RI yaitu mengawasi pelaksanaan tugas intelijen negara, apakah akan memberikan manfaat yang lebih besar serta mengurangi sekecil mungkin kerugian yang diperoleh masyarakat. Dalam pelaksanaannya kerahasiaan informasi intelijen tetap dipatuhi oleh setiap orang yang terlibat pada kegiatan pengawasan ini. Setiap orang, berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, wajib tunduk untuk menjaga kerahasiaan informasi intelijen dan dapat dikenakan sanksi apabila sengaja atau tidak sengaja melakukan pembocoran atas kerahasiaan informasi intelijen. Pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap kinerja intelijen negara akan berjalan kondusif dan mendatangkan hasil guna yang positif kepada kedua belah pihak, apabila intelijen negara senantiasa memberlakukan kerahasiaan intelijen negara dalam koridor keterbukaan informasi publik. Masyarakat tetap diberikan kesempatan untuk menilai aktivitas dan kemanfaatan kerja intelijen negara, melalui informasi intelijen yang berdasarkan peraturan perundangan menjadi hak publik dan bisa diaksesnya. Saran dan kritik masyarakat hakekatnya adalah penyempurna atas keseluruhan kegiatan intelijen negara dan indikator dari tetap dibutuhkannya intelijen negara bagi masyarakat pada saat ini dan masa yang akan datang. Kontrol masyarakat sipil atas pelaksanaan tugas intelijen menjadi salah satu penentu dari keberhasilan bangsa Indonesia menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance). Akuntabilitas kerahasiaan informasi intelijen sebagai upaya mengembangkan nilai demokrasi pada aktivitas intelijen tetap harus efektif dan berjalan pararel dengan upaya intelijen dalam melakukan perang menghadapi terorisme. Walaupun terorisme dipahami sebagai penggunaan kekerasan secara sistematis dan melawan hukum oleh pelaku dari dalam maupun luar negeri, yang ditujukan secara khusus 42 bagi warga sipil untuk mencapai tujuan tertentu ,akuntabilitas kerahasiaan informasi intelijen justru menjadikan stimulus bagi intelijen untuk tidak pernah luput dalam memberikan deteksi awal dan peringatan 41
Bob S. Hadiwinata (ed), Mendorong Akuntabilitas Intelijen: Dasar Hukum dan Praktek Terbaik dari Pengawasan Intelijen, alih bahasa: Ria Nuri Dharmawan, Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama DCAF, FES dan Kementrian Luar Negeri Republik Federal Jerman, 2007, hal. 129 42 Plamen Pantev, op.cit., hal. 96. 19
dini untuk memerangi terorisme yang sangat dibutuhkan seluruh masyarakat. Menyeimbangkan penerapan nilai demokrasi dalam aktivitas intelijen dengan profesionalisme kinerja intelijen negara memang tidak begitu saja dapat dengan mudah dilakukan. Namun, keseimbangan ini merupakan cara efektif agar kinerja maupun reformasi intelijen negara menjadi dekat dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, meningkatkan legitimasi intelijen negara di masyarakat, serta menjadi salah satu indikator positif dari tumbuh dan berkembangnya kehidupan demokrasi di tanah air. F. Penutup 1.
Kesimpulan
Kehadiran intelijen negara memiliki arti yang sangat penting sebagai lini pertama dalam sistem keamanan nasional yang diarahkan untuk melakukan deteksi awal dan mengembangkan sistem peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional. Intelijen adalah bidang yang erat berkaitan dengan penyediaan informasi mengenai berbagai masalah keamanan nasional. Dalam upaya mencapai tata pemerintahan yang baik (good governance), maka keseluruhan aktivitas intelijen negara dan hasil akhirnya semakin dituntut memenuhi kaidah akuntabilitas publik. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik mengenai aktivitas intelijen dan hasil akhirnya, tetap harus dapat terpenuhi. Hal ini disebabkan tidak saja karena alasan intelijen negara menggunakan anggaran negara, namun lebih dari itu intelijen negara juga semakin dituntut untuk meningkatkan legitimasi kelembagaan dan kinerjanya di masyarakat. Kerahasiaan informasi intelijen menjadi indikator utama dalam meningkatkan legitimasi intelijen negara di masyarakat. Kerahasiaan informasi intelijen setidaknya harus berangkat dari pemikiran bahwa jika suatu informasi dibuka kepada publik, maka akan membahayakan keamanan nasional dan kepentingan publik yang lebih besar. Kerahasiaan informasi intelijen negara harus didasari alasan untuk melindungi keamanan suatu negara dan integritas teritorialnya dari penggunaan atau ancaman kekerasan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Selain itu pembatasan informasi intelijen harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali mengungkap data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional, informasi dan/atau 20
dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri, sistem intelijen negara. Kerahasiaan informasi intelijen telah menjadikan informasi intelijen senantiasa berada pada siklus intelijen yang perlu dirahasiakan. Penetapan masa retensi kerahasiaan informasi intelijen dihadapkan pada pilihan untuk lebih lama atau lebih singkat dari masa retensi arsip statis informasi umum. Lebih lama, apabila argumentasinya adalah informasi intelijen merupakan informasi yang sangat penting dijaga kerahasiaannya. Informasi intelijen pada masa yang lalu akan selalu menjadi bagian untuk menganalisis informasi intelijen yang diperoleh pada masa sekarang dan prediksi informasi intelijen di masa yang akan datang. Sedangkan lebih singkat, apabila argumentasinya adalah ingin menjadikan intelijen negara sebagai bagian dari upaya untuk menumbuh kembangkan kehidupan demokrasi di tanah air. Pada hal-hal tertentu masa retensi informasi intelijen dapat dinyatakan berakhir atau dipersingkat, sebelum masa retensi yang sebenarnya benar-benar berakhir. Akuntabilitas kerahasiaan informasi intelijen senantiasa dihadapkan pada pertanggungjawaban intelijen negara pada eksekutif, legislatif dan masyarakat pada umumnya. Pengawasan yang dilakukan DPR RI, hakekatnya menuntut intelijen negara responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat yang direpresentasikan oleh wakil rakyat yang terpilih melalui pemilu. Namun demikian akuntabilitas kerahasiaan informasi intelijen sebagai upaya mengembangkan nilai demokrasi pada aktivitas intelijen, tetap harus efektif dan berjalan pararel dengan upaya intelijen dalam melakukan perang menghadapi terorisme. 2.
Rekomendasi
Profesionalitas dan legitimasi intelijen negara akan mendapatkan nilai positif di masyarakat, ketika intelijen negara mampu mengelola kerahasiaan informasi intelijen dengan mengedepankan akuntabilitas publik dalam kerangka keterbukaan informasi publik sebagai upaya mengembangkan nilai demokrasi pada aktivitas intelijen. Pengelolaan kerahasiaan informasi intelijen sebagai bagian dari pengaturan tentang intelijen negara perlu dilandasi oleh legislasi dan sistem pertanggungjawaban yang jelas. Hal ini dimaksudkan memberikan kepada intelijen negara parameter-parameter yang jelas dan legal dalam mengelola kerahasiaan informasi intelijen. Mengingat bahwa ciri paling utama demokrasi adalah penegakan hukum (rule of law), maka intelijen negara dalam upaya mendapatkan legitimasi positif dari rakyat adalah dengan mendasarkan kinerjanya pada kerangka hukum dan tunduk pada sistem pengawasan oleh wakil rakyat. Kehadiran UU Intelijen Negara 21
yang di dalamnya juga mengatur tentang kerahasiaan informasi intelijen dimaksudkan menghasilkan intelijen negara dengan paradigma demokratik yang melayani kepentingan yang lebih besar yaitu negara dan keselamatan bangsa.
22
Daftar Pustaka Buku: AC Manulang, Menguak Tabu Intelijen: Teror Motif dan Rezim, Jakarta: Penerbit Panta Rhei, 2001. Aleksius Jemadu (ed), Praktek-Praktek Intelijen dan Pengawasan Demokratis- Padangan Kritis, Alihbahasa Aviva Nababan, Jakarta: Publikasi DCAF-FES SSR Vol II, 2007. Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba Di Tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta: Penerbit PT Radja Grafindo Persada, 2002, Beni Sukadis dan Eric Hendra (ed), Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Lesperssi, 2008. Bob S. Hadiwinata (ed), Mendorong Akuntabilitas Intelijen: Dasar Hukum dan Praktek Terbaik dari Pengawasan Intelijen, alih bahasa: Ria Nuri Dharmawan, Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama DCAF, FES dan Kementrian Luar Negeri Republik Federal Jerman, 2007. FX Sutapo, Dinamika Intelijen Dunia, Jogjakarta, Penerbit Ar-Ruzz Media, 2008. Ken Conboy, Intelijen II Medan Tempur Kedua, Jakarta: Penerbit Pustaka Primatama, 2008. Loch K Johnson, Bombs, Bugs, Drugs and Thugs: Intelligence and America’s quest for security. New York: New York University Press, 2002, Prayitno Ramelan, Intelijen Bertawaf Teroris Malaysia dalam Kupasan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009. Plamen Pantev (et.all), Hubungan Sipil-Militer dan Kendali Demokrasi Sektor Keamanan, Sofia Bulgaria: ProCon Ltd, alihbahasa Freidrich Ebert Stiftung kantor Perwakilan Jakarta, 2005. Richards J Heurs Jr, Psikologi Intelijen Rahasia CIA, Jogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media, 2008. Undang-Undang: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan. Dokumen:
23
Sekretariat Komisi I DPR RI, Laporan Singkat Rapat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I dengan beberapa nara sumber terkait dengan pembahasan RUU Intelijen Negara.
Internet: “Agen
Intelijen Aktif Kumpulkan Informasi Melalui Facebook”, http://www.hidayatullah.com/berita/iptek/10650-agen-intelijenaktif-kumpulkan-informasi-melalui-facebook, diakses tanggal 6 Maret 2010. “Banyak Cara untuk Meraih Informasi”, http://bataviase.co.id/node/156347, diakses tanggal 1 Januari 2011. “Dewan Ingin Bahas RUU Intelijen sebelum RUU Rahasia Negara”, http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/12/04/brk,200912 04-211944,id.html diakses tanggal 10 Januari 2010. “Indonesia dan Australia Sepakat Tukar Informasi Intelijen Keuangan”, http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article& sid=5344 diakses tanggal 6 Maret 2010. “Mabes Polri Menyangsikan Informasi Intelijen Terhadap Media Massa Asing”,http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file= article&sid=4846 diakses tanggal 1 April 2010. “Pusat Kajian Sosial FISIP UI luncurkan RUU Intelijen Negara”, http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik= 5&id=474 diakses tanggal 10 Januari 2010. “RUU Yang Mendorong Akuntabilitas Intelijen Mendesak”, http://idsps.org/headline-news/pers-release/intelijen/ diakses tanggal 1 Agustus 2010. “RUU Intelijen Negara, Rahasia Negara, KIP dan Prinsip Negara Demokrasi,http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com _content & view = article & id = 123%3 Aruu-intelijen – negara – rahasia negara-kmip-a-prinsip-negara demokrasi & catid=37%3Aopini&Itemid=61&lang=in, diakses tanggal 1 Januari 2011. The Johannesburg Principles On National Security, Freedom Of Expression and Access to Information ARTICLE 19, http://www.article19.org/pdfs/standards/joburgprinciples.pdf diakses tanggal 10 Desember 2010. The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4. http://graduateinstitute.ch/faculty/clapham/hrdoc/docs/siracusa.ht ml diakses tanggal 20-2-2011 Surat Kabar: 24
“SBY Konter Aksi 9 Desember”, Warta Kota, 6 Desember 2009.
25