Laporan Penelitian Individu Persetujuan Paris dan Diplomasi Indonesia Dalam Penurunan Emisi Karbon Indonesia
Humphrey Wangke Bidang Hubungan Internasional Kepakaran: Masalah-masalah Hubungan Internasional
PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPRRI 2016 1
EXECUTIVE SUMMARY
I. Latar Belakang Paris Agreement yang telah di adopsi pada tanggal 12 Desember 2015 merupakan puncak negosiasi perubahan iklim global yang telah berlangsung selama 20 tahun. Sebanyak 195 negara anggota UNFCCC menyepakatinya menjadi protokol baru menggantikan Protokol Kyoto sebagai kesepakatan bersama dalam menangani perubahan iklim dengan segala aspeknya dan berkomitmen untuk melakukan pembangunan rendah karbon (low carbon development).1 Conference of the Party (COP) ke 21 merupakan yang terbesar dibandingkan COP sebelumnya bila dilihat dari peserta yang hadir. Persetujuan ini menjadi titik balik penanganan perubahan iklim dengan rencana berbagai aksi global untuk pengurangan emisi karbon, mendorong inovasi dan membuat dunia lebih aman. Hasil COP 21 di Paris akan berdampak besar terhadap masyarakat dunia bila mengingat bahwa hasil konperensi itu didukung oleh 195 negara, dibandingkan dengan Protokol Kyoto yang tidak didukung oleh negara-negara pengemisi utama seperti AS, Tiongkok dan Uni Eropa. Pada saat Protokol Kyoto mengalami kegagalan, semua orang berpikir bahwa tantangan yang dihadapi masyarakat dunia adalah merancang suatu kebijakan iklim baru yang dapat diterima oleh Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa. Ketiga pihak ini bertanggung jawab terhadap setengah emisi gas rumah kaca global karena masing-masing menyumbang 20,4 persen, 14,1 persen, dan 14,7 persen dari emisi gas rumah kaca global.2 Karena itu, jika ketiga pihak ini dapat menyetujui maka inti dari kerangka pengurangan emisi global akan implementatif. Paris Agreement didukung oleh ketiga pihak ini. Strategi kesepakatan global tetap menjadi pilihan utama bagi negara-negara di dunia dalam konteks politik lingkungan internasional. Setidaknya ada empat alasan Didalam Paris Agreement pasal 21 dengan jelas menyebutkan bahwa persetujuan ini akan segera implementatif apabila telah diratifikasi oleh sekurangnya 55 negara peserta. “This Agreement shall enter into force on the thirtieth day after the date on which at least 55 Parties to the Convention accounting in total for at least an estimated 55 percent of the total global greenhouse gas emissions have deposited their instruments of ratification, acceptance, approval or accession”. 2 Julianne Smith, Alexander T. J. Lennon, and Derek Mix, “The Race to Replace Kyoto by 2012”, dalam Kurt M. Campbell, Jay Gulledge, J.R. McNeill, John Podesta, Peter Ogden, Leon Fuerth, R. James Woolsey, Alexander T.J. Lennon, Julianne Smith, Richard Weitz, and Derek Mix, The Age of Consequences: The Foreign Policy and National Security Implications of Global Climate Change, CSIS and CNAS, Washington, 2007, hal. 93. 1
2
mengapa hal itu tetap menjadi faktor dominan untuk kebijakan iklim internasional dewasa ini.3 Pertama, perjanjian yang berisi komitmen tegas dan terukur yang mengikat secara hukum akan lebih efektif dalam mengamankan pengurangan emisi yang berlangsung daripada sistem sukarela. Kedua, kebijakan lingkungan multilateral fokus pada upaya menciptakan rezim yang luas yang memberikan kontribusi terhadap berkembangnya lembaga yang mendukung tata kelola lingkungan global. Ketiga, komitmen tegas bahwa sebuah negara menyatakan masuk ke dalam bagian dari kesepakatan global yang mengikat secara hukum mengirimkan sinyal yang kuat kepada pelaku usaha untuk menangani secara proaktif masalah lingkungan sejak dini. Keempat, bahkan ketika kesepakatan internasional masih sulit dipahami, akan muncul dorongan terus menerus untuk mempertahankan momentum negosiasi internasional. Persetujuan Paris yang berisi 29 pasal bertujuan untuk meningkatkan upaya menjaga kenaikan temperatur udara dibawah 2 derajad celsius. Upaya ini dilakukan dengan berdasarkan atas prinsip keadilan dan sesuai dengan kemampuan dan kondisi nasional masing-masing negara. Paris Agreement meliputi elemen penting yang akan mengarahkan negara-negara melakukan aksi bersama menangani perubahan iklim global yaitu melalui aksi mitigasi, adaptasi dan pendanaan. Aksi mitigasi bertujuan mengurangi emisi karbon secara cepat untuk mencapai tujuan pembatasan kenaikan temperatur global. Aksi adaptasi bertujuan memperkuat kemampuan negara untuk menangani dampak perubahan iklim. Aksi pendanaan bertujuan untuk membentuk dukungan bagi semua negara dalam melakukan pembangunan yang rendah emisi dan berjangka panjang. Tindakan iklim tersebut harus dilakukan dalam periode sampai tahun 2020 yang berarti semua negara akan terlibat dalam proses mitigasi, adaptasi dan pendanaan. Semua negara akan bekerja untuk menentukan peta jalan yang jelas untuk pembiayaan iklim sebesar 100 miliar dolar AS sampai tahun 2020. Kondisi seperti ini memberi sinyal kepada ribuan kota dan warga di seluruh dunia bahwa ada kesepakatan internasional yang telah dicapai oleh para pemimpinnya tentang komitmen untuk melakukan pembangunan rendah karbon. Namun komitmen saja belum cukup, pergeseran dari komitmen ke tindakan nyata akan lebih sulit dan memerlukan tekad yang lebih. Robert Falkner, Hannes Stephan, John Vogler, “International Climate Policy after Copenhagen: Towards a ‘Building Blocks’ Approach”, Global Policy Volume 1 . Issue 3 . October 2010. doi: 10.1111/j.17585899.2010.00045.x, hal. 254 3
3
Memperhatikan hasil yang dicapai dalam Konperensi COP 21 di Paris, ada dua kepentingan Indonesia yang masih harus diperjuangkan secara nasional maupun internasional. Kedua kepentingan itu adalah: 1.
Terhadap pembatasan kenaikan suku hingga 2 derajad celsius, Indonesia menghendaki agar upaya ini didukung dengan penerapan berbagai upaya melalui penguatan tata kelola (governance) dan kerja sama internasional, serta memastikan adanya enabling actions yang tepat.
2.
Terhadap sumber pendanaan, Indonesia menghendaki agar negara-negara maju menyediakan sumber daya keuangan diluar ODA (Official Development Assistance) yang merupakan skema bantuan yang diperuntukkan bagi negara berkembang dari negara maju selama ini telah dilakukan. Ketersedian pendanaan merupakan salah satu enabling condition dari keberhasilan pelaksanaan upaya global dalam pengendalian perubahan iklim, khususnya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang.
Memperhatikan kedua kepentingan tersebut, maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan Indonesia adalah pendekatan kepada negara-negara maju agar upaya mitigasi yang mereka lakukan mempunyai hubungan dengan kepentingan negaranegara berkembang. Sedangkan untuk urusan domestik, pemerintah harus memastikan bahwa upaya pengurangan emisi akan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan didalam negeri seperti perusahaan dan masyarakat. Kerjasama dalam bentuk kemitraan yang melibatkan pemerintah, perusahaan dan masyarakat menjadi fenomena baru untuk mempercepat proses pembangunan rendah karbon di Indonesia. Karena itu menarik untuk diteliti strategi seperti apa yang dilakukan Indonesia dalam melakukan penurunan emisi karbon seperti yang telah menjadi kesepakatan dalam Persetujuan Paris? II. Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analisis. Dalam penelitian ini, data penelitian yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara di lapangan dan observasi, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data primer didapat dari wawancara dengan informan baik yang berasal 4
dari pemerintah kabupaten/kota maupun kelompok non pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, pengusaha, tokoh masyarakat, masyarakat lokal. Untuk mendapatkan data yang diinginkan, peneliti melakukan penelitian di Kota Pontianak dan Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat dari tanggal 23 Mei-1 Juni 2016, dan di Provinsi Jawa Timur dilakukan dari tanggal 13-22 September 2016. Dalam penelitian kualitatif ini, pengumpulan data dan informasi digunakan dengan teknik wawancara mendalam (in depth interview), Focus Group Discussion (FGD), Observasi dan studi dokumentasi. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian di Lokasi Memperhatikan ancaman deforestasi dan degradasi hutan makin nyata, Provinsi Kalbar telah siap mendukung upaya pemerintah menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan. Provinsi Kalimantan Barat telah siap menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Potensi kawasan hutan 14.732.098 hektar memiliki peluang besar untuk berkontribusi menurunkan gas emisi. Komitmen Kalbar siap berkontribusi sampai 7,8 % dari target nasional (pada tahun 2020, 552,3 juta [BAU] – 253,1 juta [MIT] = 299,2/5 = 59,84 juta tCO2(eq) maka 59,84 juta/767 juta x 100%). Sedangkan untuk manajemen sequestrasi, Kalbar berkomitmen menyumbang sampai 13,3 %.4 Kesiapan Provinsi Kalimantan Barat menurunkan emisi karrbon terlihat ketika peneliti melakukan FGD di Kabupaten Ketapang dengan pihak-pihak terkait untuk mengetahui bagaimana kabupaten ini menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan yang berasal dari kebakaran hutan. Kabupaten Ketapang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang tingkat pembakaran gambut di kabupaten ini tergolong tinggi.5 Dari FGD yang dilakukan oleh penulis dapat diketahui bahwa meskipun berbagai kawasan hutan yang dimilikinya telah dialih fungsikan sebagai lahan perkebunan sawit akan tetapi Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang telah mengeluarkan Peraturan Untuk lengkapnya lihat, Gusti Herdiansyah, et al., “Strategi Rencana Aksi Provinsi: REDD+ Kalbar”, FU Press Pontianak, Januari 2014. 5 Untuk lengkapnya lihat, Greenpeace, Mengapa Perusakan IOI di Ketapang: Masalah Mendesak untuk RSPO dan sektor Perkebunan, Greenpeace International, Amsterdam, Juni 2016. 4
5
Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Areal Konservasi Daerah Kabupaten Ketapang. Perda ini menjadi dasar pembentukan Areal Konservasi Daerah, diantaranya adalah Kawasan Nilai Konservasi Tinggi (KNKT), Hutan Adat, Hutan Wisata, Hutan Kota, dan Hutan konservasi lainnya guna menunjang upaya penurunan emisi karbon. Di Kabupaten Ketapang telah keluar SK Bupati tentang HCV yang terletak di tiga lokasi yaitu Sungai Tengah, Pantai Air Mati dan Bukit Duri. Perda dimaksud menjadi payung bagi bagi setiap desa untuk membangun NKT. Didalamnya ada ketentuan bahwa masyarakat berhak untuk menunjuk NKT. Demikian juga dengan perusahaan. Sementara di Provinsi Jawa Timur, kesiapan penurunan GRK didasarkan RAD GRK Provinsi Jawa Timur pada sektor pertanian, kehutanan, energi, transportasi, industri, dan pengelolaan limbah sebagaimana tertera pada tabel di bawah ini. Tabel Kontribusi Emisi GRK dari 6 (enam) Sektor di Provinsi Jawa Timur Tahun 2020 No. Sektor 1 Pertanian 2 Kehutanan 3 Energi 4 Transportasi 5 Industri 6 Pengelolaan Sampah Total
Kontribusi Emisi, 2020 (ton CO2eq) 14.663.051,36 29.208.131,07 49.346.654,92 18.555.292,18 2.500.632,90 7.411.305,00 121.685.067,43
% (Persentase) 12.05% 24.00% 40.55% 15.25% 2.06% 6.09% 100%
Sumber: Bappeda Jawa Timur 2016
Berdasarkan tabel di atas dapat diprediksi bahwa emisi GRK Provinsi Jawa Timur pada tahun 2020 dari 6 (enam) sektor yang dihitung kontribusi emisinya sebesar 121,68 giga ton CO2eq. Dari 6 sektor tersebut maka sektor energi menjadi penyumbang emisi GRK terbesar, yaitu 40,55% atau 49.346.654,92 (tCO2eq) sedangkan sektor penyumbang emisi GRK terkecil adalah sektor industri, yaitu 2,06% atau 2.500.632,90 (tCO2eq). Namun demikian, pengurangan emisi sektor industri bukan merupakan tanggung jawab provinsi jawab Timur tetapi pemerintah pusat karena menyangkut industri besar yang ijinnya keluar dari pusat.6 Karena, provinsi Jawa Timur melakukan upaya mitigasi untuk mengurangi tingkat emisi dari 5 sektor saja.
Penjelasan Kuntarti, Kabid Tata Lingkungan, Bappeda Provinsi Jawa Timur, Surabaya, 14 September 2016 . 6
6
2. Antara Komitmen Internasional dan Penegakan Hukum Kesungguhan Provinsi Kalimanatan Barat dan Jawa Timur untuk mengurangi emisi karbon menjadi modal bagi pemerintah Indonesia untuk memperlihatkan kepada negara-negara pengemisi lainnya untuk melakukan tindakan yang sama. Meskipun Indonesia saat ini sedang berada dalam dilema antara memelihara lingkungan atau percepatan pembangunan, tetapi upaya pengurangan emisi tetap dilakukan dari semua sektor.
Kesulitan
seringkali
muncul
antara
mendahulukan
lingkungan
atau
pembangunan mengingat Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa dan eksploitasi yang dilakukan pemeritah memberi kontribusi yang sangat signifikan baik bagi perekonomian nasional maupun degradasi lingkungan. Kualitas lingkungan Indonesia dalam kenyataannya bukan hanya penting untuk kehidupan masyarakatnya tetapi juga untuk negara tetangga dan dunia. Indonesia telah menjadi salah satu negara penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia yang menjadi pemicu perubahan iklim karena asap tebal yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan gambut. Kendati demikian, Indoonesia tetap memiliki potensi untuk mengurangi emisinya baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk negara lain. Melalui tata kelola lingkungan yang lebih baik dengan melibatkan masyarakat dan kalangan industriawan, pengurangan emisi yang dilakukan akan memberikan manfaat yang lebih nyata bagi Indonesia karena terkait dengan kepentingan yang lebih besar yaitu membahayakan ketahanan pangan yang dapat memicu konflik sosial. Kerjasama internasional dilakukan Indonesia sebagai bagian dari tata kelola lingkungan yaitu bukan hanya akan melindungi posisi global Indonesia sebagai “surga” keanekaragaman hayati, tetapi juga penyediaan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat yang telah kehilangan akses ke sumber daya alam yang selama ini telah menjadi sumber kehidupan. Indonesia akan memainkan peran penting dalam upaya global untuk menempatkan pembangunan ekonomi dengan pijakan yang lebih ramah lingkungan.7 Indonesia bahkan dapat mengambil peran kepemimpinan di antara negara-negara berkembang, karena mempunyai potensi untuk mengubah arah dan pasokan energi, dan karena posisi strategisnya sebagai sebagai negara berkembang yang cepat tumbuh dan cenderung mencari jalan tengah dalam urusan internasional Untuk lengkapnya baca, Frank Jotzo, “Can Indonesia lead on climate change?” dalam AS Reid, (ed), Indonesia Rising: The Repositioning of Asia’s Third Giant, ISEAS, Singapore, 2012, hal. 92-93. 7
7
seperti yang ditunjukkan Indonesia dalam penyelenggaraan Konperensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007.8 Indonesia telah memberi pengaruh positif dalam negosiasi perubahan iklim internasional, sebuah cerminan dari keinginan untuk menjadi aktor yang bertanggung jawab dan konstruktif di panggung global. 3. Persetujuan Paris dan Diplomasi Indonesia Semangat optimisme untuk membangun dunia yang lebih ramah lingkungan sangat dirasakan negara-negara di dunia ketika Persetujuan Paris yang dihasilkan melalui pelaksanaan COP ke-21 tahun 20015 di Paris dinyatakan berlaku sejak 4 November 2016 setelah lebih dari 55 negara peserta meratifikasi yang meliputi 55 persen emisi gas rumah kaca. Dunia tidak memperhitungkan bahwa Persetujuan Paris siap dijalankan secepat ini.9 Sebelumnya dunia ragu seiring dengan sulitnya tercapai kesepakatan antara AS dan Tiongkok untuk terlibat dalam upaya global menurunkan emisi GRK, unsur penyebab pemanasan global. Bergabungnya dua negara ini mempercepat syarat agar Presetujuan Paris segera dilaksanakan. Indonesia menghadiri Konperensi Perubahan Iklim ke-21 di Paris pada bulan Desember 2015. Konperensi ini menghasilkan kesepakatan Paris yang baru bisa berlaku dalam dua kondisi, pertama, 55 negara meratifikasi perjanjian itu. Kedua, total emisi negara peratifikasi mencapai 55 persendari emisi global. Untuk mencapai target persetujuan Paris, setiap negara harus berkontribusi dalam penurunan GRK yang dituangkan dalam dokumen NDC. Indonesia memastikan telah berada di gerbong terdepan dalam upaya mencegah perubahan iklim dengan meratifikasi Persetujuan Paris. Oleh karrena itu, negara-negara sahabat diajak bekerja sama merealisasikan komitmen yang sudah dibuat untuk memastikan tidak ada kenaikan suku global lebih dari 2 derajad celcius dari masa praindustrialisasi. Persetujuan Paris telah mengamanatkan
peningkatan kerjasama bilateral dan
multilateral yang lebih efektif dan efisien untuk melaksanakan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan dukungan pendanaan, teknologi, peningkatan
Ross Garnaut, Stephen Howes, Frank Jotzo, and Peter Sheehan, “Emission in the Platinum Age: The Implications of Rapid Development Climate Change Mitigation”, Oxford Review of Economic Policy, 24/2, 2008, hal 377-401. 9 Persetujuan Paris Belum Cukup, Kompas, 7 November 2016, hal. 14. 8
8
kapasitas yang didukung dengan mekanisme transparansi serta tata kelola yang berkelanjutan.10 Negosiasi ataupun diplomasi yang akan dilakukan Indonesia dilakukan atas dasar bahwa kebijakan penurunan emisi Indonesia bukanlah untuk menyenangkan orang lain tetapi sebagai bentuk keseriusan Indonesia untuk menyelamatkan kondisi kepulauan Indonesia dan masyarakat yang tinggal didalamnya. Kebijakan ini merupakan bagian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Untungnya kebijakan Indonesia itu sejalan dengan keinginan masyarakat internasional. Karena itu banyak menyatakan kesiapannya membantu Indonesia mencapai target COP 21. Dalam hal ini, UE melihat bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi CO2 karenanya akan memberikan bantuan sebesar-besarnya dari pelbagai bidang untuk program-program berkaitan dengan lingkungan.11 Gabungan 28 negara Eropa ini telah menyiapkan 40 juta Euro untuk tiga program utama di Indonesia. Beberapa negara, seperti Jerman, juga menjanjikan bantuan transfer teknologi ramah lingkungan. Inggris, yang memang sejak lama sudah campur tangan dalam sistem penataan hutan dan kayu, juga siap membantu Indonesia. Mereka mengaku optimistis dengan kontribusi Indonesia dalam menjaga iklim global. Salah satu itikad baik yang terlihat adalah saat Presiden Joko Widodo merombak aturan pengelolaan lahan gambut. Bagi negara-negara UE, hal ini akan memudahkan pemantauan siapa yang harus bertanggungjawab bila terjadi kebakaran lahan Selain itu, langkah penutupan kanal untuk mencegah illegal logging juga menuai pujian. IV. Kesimpulan Tercapainya Persetujuan Paris telah menjadi kesepakatan internasional yang melibatkan semua negara pengemisi didunia. Karena itu semua negara penandatangan harus mematuhi kesepakatan itu dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia yang menjadi salah satu negara pengemisi telah meratifikasi Persetujuan Paris dan karenanya telah siap untuk mengimplementasikan apa yang 10 11
RI Ajak Tunaikan Perjanjian Paris, Media Indonesia, 31 Oktober 2016, hal. 9. Uni Eropa Siap Bantu Indonesia Penuhi Target COP21, Tempo.co, edisi 15 Desember 2015, diakses 17 Oktober 2016
9
menjadi kesepakatan dalam Perjanjian Paris. Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa Indonesia akan menurunkan emisi Indonesia hingga 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen melalui kerjasama luar negeri. Semua kepentingan Indonesia ini secara nyata telah di praktekkan. Dari penelitian di Jawa Timur dan Kalimantan Barat dapat diketahui bahwa kedua provinsi ini telah siap menjalankan kebijakan pemerintah itu dengan sejumlah program pengurangan emisi baik secara adaptasi maupun mitigasi. Semuanya ditujukan untuk mengurangi emisi karbon Indonesia sampai tahun 2020. Dukungan dari kedua provinsi ini mengurangi emisi karbon diwilayahnya menjadi modal bagi pemerintah Presiden Joko Widodo untuk optimis bahwa angka 29 persen dapat terlampaui pada tahun 2020. Bila didalam negeri Indonesia telah siap dengan berbagai regulasi yang sejalan dengan keinginan masyarakat internasional maka keluar Pemerintah Indonesia memiliki pekerjaan untuk mendesak negara-negara didunia agar melaksanakan kesepakatan internasional dalam penyediaan anggaran hingga 100 milyar sampai tahun 2020. Anggaran itu dapat dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang yang tengah melakukan upaya didalam negeri untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Hingga saat ini dana tersebut belum terkumpul sehingga menimbulkan keraguan akan keseriusan negara-negara maju untuk melaksanakan Persetujuan Paris. Indonesia yang melakukan pengurangan emisi untuk kepentingan nasional tidak ingin terlalu menggantungkan diri pada dana 100 milyar tersebut. Sebagai gantinya Indonesia banyak melakukan diplomasi secara bilateral untuk menggalang dukungan terhadap program pengurangan emisi Indonesia. Beberapa negara maju seperti AS, Inggris, Jerman dan negara-negara UE lainnya telah sepakat membantu menyukseskan program pengurangan emisi Indonesia tersebut. Negara-negara maju tersebut pada umumnya membantu Indonesia untuk program adaptasi.
10