J. Tek. Ling
Edisi Khusus
Hal. 1 - 12
Jakarta, Juni 2009
ISSN 1441-318X
EMISI KARBON LAHAN BASAH, PERTANIAN, DAN KEHUTANAN DI INDONESIA Seno Adi1), Fadliah Salim2), Tuti Suryati2), Titin Handayani2), Hartini2),Nana Sudiana3), Mubekti4), Gatot Hendrarto4) 1) Peneliti Lahan dan Air, 2)Peneliti Lingkungan, 3)Peneliti Ekologi, 4) Peneliti Inderaja dan SIG Abstract Based on the field sampling and laboratory analysis, there were some varied results of the CH4 emission from the wetland (peatland, fresh water swamp, mangrove area) and paddy field. In the peatland area, the flooded plants of Stenochlaena palustris showed higher CH4 emission than no flooded plants. In the fresh water swamp, the highest CH4 emission was 12,184 mg/m2/hour for Cyperus elatus, then 10,957 mg/m2/hour for paddy (Oryza sativa), and 7,976 mg/m2/hour for Panicum maximum. In the mangrove areas, the plant of Avicenia marina located in the fish pond showed higher CH4 emission (0,356 mg/m2/hour) than Rhizophora mucronata (0,008 mg/m2/hour) located in the drain channel. The paddy field identified highly varied CH4 emission of 1,16 – 11 mg/ m2/hour, of which the highest emission in the flooded area of 11 cm – 14 cm that was possibly the optimum emission for paddy field. In the forested area, the carbon stock assessment located in the former logging estate found 113,5 – 132,6 ton/ha (average of 120 ton/ha). Based on the reference that carbon stock of primary forest is 250 ton/ ha, so there was a carbon loss of app. 130 ton/ha (CO2 emission 764 ton/ha) when the primary forest converted to secondary forest after logging. Kata kunci: emisi karbon, kandungan karbon, lahan basah, hutan, padi
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Peningkatan aktivitas manusia di berbagai belahan bumi telah memicu terjadinya perubahan iklim (Climate Change). Mengingat pentingnya perubahan iklim ini, maka masyarakat dunia melalui PBB membentuk konvensi tentang perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change). Isu utama konvensi ini adalah terjadinya pemanasan global (Global Warming) yang dipicu oleh peningkatan akumulasi emisi gas rumah kaca (Green House Gas Effect). Oleh karena itu, tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menstabilkan emisi gas
rumah kaca (GRK) ke atmosfer pada tingkat tertentu, sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi 1). Gas-gas rumah kaca utama yang teridentifikasi di atmosfer adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Sumber dan konsentrasi gasgas tersebut di atmosfir dapat dilihat pada Tabel 1. Karena konsentrasi CO2 memiliki angka yang dominan (kurang lebih mencapai 75%), maka gas ini dijadikan standar dan target berbagai kegiatan terkait gas rumah kaca.
Emisi Karbon Lahan Basah,...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 1 - 12
1
Tabel 1. Konsentrasi Gas Rumah Kaca dan Pemanasan Global2) Gas
Konsentrasi Sebelum Industrialisasi (ppmv)
Konsentrasi Tahun 1998) (ppmv
Sumber Aktivitas Manusia
Potensi Global Warming
CO2
290
360
Pembakaran bahan bakar fosil, konversi penggunaan lahan, dan produksi semen
1
CH4
700
1745
Bahan bakar fosil, persawahan, pembuangan sampah, peternakan
21
N2O
275
314
Pupuk, proses produksi, pembakaran ppmv= part per million by volume
206
a).
Lahan Basah
Lahan basah mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, antara lain sebagai sumber air minum, pangan, perikanan dan sumber obat-obatan serta habitat beraneka ragam makhluk, sedangkan secara tidak langsung seperti mengendalikan banjir, mencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global. Pengelolaan lahan basah yang keliru akan menyebabkan kehancuran bagi keanekaragaman hayati, kerusakan tata air kawasan, dan terjadinya emisi jutaan ton karbon ke udara (3). Sebagai contoh, pengelolaan yang keliru pada lahan gambut Indonesia, menyebabkan kawasan ini rawan terhadap kekeringan dan kebakaran. Kondisi lahan rawa gambut Indonesia terus menerus mengalami degradasi, karena semakin maraknya pembalakan liar, kebakaran hutan, dan over drainage. Adanya over drainage menyebabkan terjadinya percepatan dekomposisi bahan gambut, yang menyebabkan adanya emisi karbon (CO2 dan CH4) ke atmosfir. Pelepasan kedua bentuk karbon ini menyebabkan terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect), yang berimplikasi adanya peningkatan pemanasan global (global warming). Kebakaran lahan gambut dan vegetasi di Indonesia pada tahun 1997 diperkirakan menyebabkan 2
0,81 – 2,57 Giga ton karbon dilepas ke atmosfir (3), menyumbangkan sejumlah 15 - 45% dari emisi GRK secara global pada tahun itu. Total emisi CO2 dari lahan gambut saat ini adalah 2000 juta ton/tahun dimana lebih dari 90% emisi CO2 ini berasal dari Indonesia, sehingga hasil penelitian LSM Wetland International (WI) dan Delf Hydraulics menempatkan Indonesia sebagai penyumbang karbon ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina (4). Luas lahan basah (wetland) di dunia mencapai 4-6% luas permukaan bumi atau 530-570 juta ha (5), yang terbagi atas beberapa zone yaitu lahan basah tropis, temperate dan boreal. Lahan basah ini merupakan sumber emisi CH4 utama dari sumber alami, dengan perkiraan emisi sebesar 109 Tg CH4/th. Lahan basah tropis senidiri menyumbang 60% emisi CH4 yaitu 34 -100 Tg/th dari nilai emisi global yang berasal dari lahan basah (6, 7). b).
Pertanian
Salah satu isu lingkungan berkaitan dengan produksi pertanian, khususnya beras, adalah dugaan bahwa kegiatan budidaya padi pada tanah sawah merupakan ancaman potensial atau bahkan dituding sebagai penyebab utama peningkatan pemanasan global yang sangat drastis pada abad ke20. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan tingginya emisi gas
Seno Adi, dkk. 2009
metan (CH4) dari tanah sawah. Akibatnya, sesuai dengan konvensi internasional mengenai pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, negara-negara utama penghasil dan pengkonsumsi beras mendapatkan tekanan internasional untuk menurunkan laju dan tingkat emisi metan dari tanah sawah mereka ke tingkat rata-rata global. Hal ini tentu saja menjadi persoalan besar dan kontroversial bagi negara-negara tersebut, karena upaya penurunan emisi metan dikhawatirkan akan menurunkan tingkat produksi beras, yang lebih lanjut dapat memicu timbulnya persoalan baru yang lebih serius, yaitu persoalan ketahanan pangan. Menurut BPS (2006) Indonesia mempunyai luas lahan sawah mencapai 7,7 juta hektar dengan periode tanam satu atau dua kali per tahun, sehingga menghasilkan luas panen 11,8 juta hektar. Dari luasan panen tersebut dihasilkan 54 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) untuk memenuhi kebutuhan 219,3 juta penduduk Indonesia. Dengan laju pertambahan penduduk 1,5 persen/tahun, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk kecuali dengan meningkatkan produksi baik melalui usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi. Fakta di atas meyakinkan perlunya untuk tetap mengupayakan keberlanjutan sistem produksi beras, jika dikaitkan dengan persoalan pemanasan global, maka upaya untuk menurunkan tingkat emisi gas metan dari tanah sawah harus dilakukan dengan tanpa mengorbankan produksi beras. c).
Hutan
Hutan merupakan ekosistem penting di muka bumi yang secara alami memiliki peranan sebagai penyerap dan sumber emisi (sink dan source) gas CO2. Luas hutan dunia mencapai 4.000 juta ha atau 30% luas daratan dunia, sedangkan di Indonesia mencapai 93 juta ha atau 50% luas daratan. Ekosistem hutan secara alami melakukan proses penyerapan karbon pada siang hari dan pelepasan karbon pada malam
hari, serta pelepasan karbon dari proses dekomposisi dari biomas hutan (batang, cabang, daun) yang sudah mati dalam suatu siklus yang seimbang. Intervensi kegiatan pemanfaatan hutan untuk berbagai kepentingan baik secara legal maupun ilegal telah menyebabkan terjadinya deforestrasi dan degradasi kawasan hutan akibat terjadinya penebangan pohon, konversi lahan, kebakaran hutan dan lainlain. Tingkat deforestrasi hutan dunia periode tahun 1990-2005 mencapai 13 juta ha/ tahun, sedangkan untuk Indonesia 19901997 sebesar 1,8 juta ha/tahun, 1997-2000 sebesar 2,83 juta ha/tahun dan tahun 20002005 mencapai 1,08 juta ha/tahun 8). Dampak dari kegiatan tersebut adalah terganggunya proses sink dan source karbon di dalam ekosisten hutan, yaitu tingginya tingkat emisi karbon ke atmosfer yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Oleh karena itu, ekosistem hutan menjadi salah satu perhatian utama di dalam peranannya sebagai pengedalian gas rumah kaca. 1.2
Tujuan
1)
Mengetahui besar emisi CH4 pada lahan basah yang meliputi lahan terbuka gambut, rawa air tawar, dan lahan mangrove;
2)
Mengetahui besar emisi CH4 pada lahan pertanian;
3)
Mengetahui emisi dan kandungan karbon yang terdapat di ekosistem hutan gambut sekunder.
4)
Membandingkan hasil pengukuran emisi dan cadangan karbon tersebut dengan berbagai referensi terkait dengan studi kasus di Indonesia.
Emisi Karbon Lahan Basah,...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 1 - 12
3
2.
METODA
2.1
Waktu dan Tempat
5)
Kawasan hutan: Untuk perhitungan cadangan karbon hutan dilakukan pada kawasan hutan di desa Klampangan (02°34’32,3” LS dan 114°03’77,5” BT) dan Kereng Bengkirai (02°31’99,8” LS dan 113°90’57,2” BT) CIMTROP, Kalimantan Tengah.
2.2
Bahan dan Alat
1)
Lahan Basah dan Pertanian
Kegiatan ini dilakukan pada triwulan IV tahun 2008. Pengambilan contoh gas CH4 dan perhitungan cadangan karbon dilakukan di berbagai tempat: 1)
2)
Lahan gambut : Di Kecamatan Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah dengan memilih jenis pakis yang dominan tumbuh, yaitu Kalakai (Stenochlaena palustris) dan di lahan tidak tergenang /kering dan tergenang. Titik lokasi sampling berada pada 02°7’78,9” LS dan 119°98’45,7” BT (lahan tidak tergenang/kering) serta 02°29’41,7” LS dan 114°03’70,4” BT (lahan tergenang). Rawa air tawar : Di Cagar Alam Rawa Danau, Serang, Provinsi Banten, dengan posisi geografis pada 06°10’28,1” LS dan 105°57’36,8” BT. Jenis tumbuhan yang dipilih adalah padi (Oryza sativa), teki (Cyperus elatus), rumput banggala (Panicum maximum) dan rumput lameta (Leersia hexandra).
3)
Lahan mangrove : Di Desa Karangsong, Indramayu, Jawa Barat dengan titik lokasi sampling berada pada 06°18’20,6” LS dan 108°21’51,0” BT untuk Avicenia marina serta 06°18’27,5” LS dan 108°21’50,9” BT untuk Rhizophora mucronata.
4)
Lahan pertanian : Di tiga lokasi di daerah Indramayu, Jawa Barat. Lokasi pertama berada di Desa Pasekan, Kecamatan Pasekan dengan titik lokasi sampling berada pada 06º18’11,7” LS dan 108º19’34,2” BT. Lokasi kedua berada di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan dengan titik lokasi sampling berada pada 06º17’48,1” LS dan 108º19’47,3” BT. Lokasi ketiga masih berada di desa yang sama dengan titik lokasi sampling berada pada 06º17’39” LS dan 108º19’40” BT.
4
Pengukuran gas CH 4 dilakukan dengan closed chamber method, secara manual di lapangan menggunakan chamber ukuran 50x50x106 cm yang terbuat dari fleksiglas, dilengkapi dengan kipas angin. Kipas angin berfungsi untuk sirkulasi udara dalam chamber. Tutup chamber mempunyai 2 lubang, yaitu lubang untuk tempat termometer dan lubang yang ditutup dengan rubber septum untuk pengambilan gas. Sampel gas diambil dengan menggunakan jarum suntik ukuran 10 mL dengan interval waktu pengambilan sampel setiap menit ke-0, 20, 40, dan 60. Suhu dalam chamber dicatat setiap kali pengambilan gas CH4. Pengukuran konsentrasi gas CH 4 dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan), Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pengukuran gas CH 4 menggunakan kromatografi gas Shimadzu model GC-8A yang dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID). Data berupa peak diinterpretasikan dalam bentuk area, yang kemudian dikonversi menjadi ppm dengan menggunakan rumus 9): Konsentrasi gas CH4 : Ac C = 10,1 ppm x –– As Keterangan: C : Konsentrasi CH4 (ppm) As : Area standar CH4 Ac : Area sample CH4 10.1 ppm : Konsentrasi CH4 standar
Seno Adi, dkk. 2009
Untuk perhitungan emisi gas CH 4 dipakai rumus perhitungan fluks gas CH4 9) sebagai berikut : F=
dc Vch mW 273,2 x x x df Ach mV (273,2 + T)
F = Fluks gas CH4 (mg/m2/hari) Dc/dt = Perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/menit) Vch = Volume chamber (m3) Ach = Luas chamber (m2) mW = Berat molekul CH4 (g) mV = Tetapan volume molekul CH4 (22,41 l) T = Suhu rata-rata selama pengambilan sample (◦C) 273,2 = Tetapan suhu Kelvin 2)
Kawasan Hutan
Pengukuran dilakukan terhadap biomasa pohon, tumbuhan bawah, dan nekromasa tidak berkayu (serasah). Plot untuk pengukuran biomass pohon berukuran persegi panjang 20 m x 100 m untuk pohon dengan diameter batang (DBH) > 30 cm dan ukuran 5 m x 40 m untuk pohon dengan diameter batang (DBH) antara 5-30 cm. Pengukuran biomasa pohon dilakukan dengan metode non destruktif. Biomasa pohon dihitung dengan cara mengukur diameter setiap pohon dan menghitungnya menggunakan persamaan alometrik BK = 0,1043D2,66 10). Sedangkan pengukuran biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan metode destructive (merusak bagian tanaman). Plot pengukuran biomas tumbuhan bawah berukuran 0,5 m x 0,5 m, plot tersebut diletakkan secara sistematis di dalam sub plot 5 m x 40 m, jumlah plot sebanyak 6 buah. Plot ini juga digunakan untuk mengambil sampel nekromas tidak berkayu (seresah, akar halus).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Emisi di Lahan Basah
Emisi gas CH 4 ke atmosfir dapat terjadi secara alami ataupun karena adanya aktivitas manusia (anthropogenic). Sumber emisi terbesar gas CH4 secara alami berasal dari lahan gambut dan rawa, sedangkan akibat kegiatan manusia berasal dari fermentasi rumen ternak dan sawah 11). Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa ketiga tipe lahan (lahan gambut, rawa air tawar, dan lahan mangrove) mengemisikan karbon (CH4) dengan variasi yang sangat besar (Tabel 2). Pengukuran emisi karbon di lahan gambut dilakukan di daerah terbuka yang ditumbuhi sejenis paku-pakuan dengan nama daerah Kalakai (Stenochlaena palustris). Lahan tidur yang ditumbuhi oleh tumbuhan jenis pakis dan rumput sangat luas dijumpai di lahan gambut Kalimantan Tengah. Tabel 2 menunjukkan bahwa emisi gas CH4 di lahan gambut tidak tergenang/ kering sebesar 0,026 g/m2/th, jauh lebih kecil dibandingkan dengan emisi gas CH4 di lahan gambut yang tergenang yaitu 0,368 g/m2/th. Bila dibandingkan dengan data sekunder yang dilakukan di daerah yang sama (kecamatan Sebangau, Palangka Raya), emisi CH 4 di wasteland adalah sebesar 0,044 g/m2/th12). Wasteland didefinisikan sebagai lahan yang telah terbakar dan yang tumbuh hanya tumbuhan paku-pakuan, seperti Kalakai, Paku Jampa, dan lain-lain. Hasil ini dapat disetarakan dengan emisi CH4 di lahan padi, dimana emisi CH4 pada pertanaman padi di lahan kering (gogo, padi huma) yang tidak digenangi air, lebih kecil dibandingkan dengan yang digenangi air. Hal ini karena bakteri penghasil CH4 hanya dapat melakukan metabolisme dan aktif pada kondisi tanpa oksigen. Pembentukan CH4 secara biogenik adalah hasil dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh bakteri methanogen. Bakteri tersebut berkembang pesat pada tanah dengan kondisi anaerob, oleh karena itu banyak dijumpai pada lahan
Emisi Karbon Lahan Basah,...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 1 - 12
5
tergenang. Sebaliknya, produksi CH4 akan menurun pada keadaan yang lebih aerobik, karena adanya bakteri methanotroph yang mengoksidasi CH4 13). Selain itu, proses metanogenesis ini dipengaruhi oleh sifat fisik dan sifat kimia tanah, seperti suhu tanah, pH tanah, dekomposisi bahan organik dan potensial redoks (Eh). pH tanah merupakan faktor penting penentu produksi CH4. Peningkatan pH akan meningkatkan produksi CH4 serta degradasi bahan organik, karena sebagian besar bakteri methanogen tumbuh pada kisaran pH netral, yaitu 6-8, tetapi ada bakteri yang dapat hidup pada pH rendah, seperti di lahan gambut, yakni Metanobacteriaceae (14). pH di lokasi penelitian lahan gambut adalah 3,6 - 4,1.
Tabel 2 menunjukkan bahwa emisi CH4 pada rawa air tawar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut dan lahan mangrove. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan sifat fisik dan kimia tanah ketiga lahan tersebut (mis. perbedaan pH). pH di lokasi pengamatan Rawa Danau adalah 4,5-5,2. Emisi CH4 terbesar pada rawa air tawar didapat dari lahan yang ditumbuhi teki (Cyperus elatus) sebesar 12,184 mg/ m2/jam, disusul kemudian oleh padi (Oryza sativa) sebesar 10,957 mg/m2/jam, rumput benggala (Panicum maximum), sebesar 7,976 mg/m2/jam dan rumput lameta (Leersia hexandra) sebesar 3,256 mg /m2/jam. Emisi CH4 dari lahan yang ditumbuhi oleh tanaman lebih tinggi daripada tanpa tanaman (0,264 mg/m2/jam).
Tabel 2. Emisi Gas CH4 di Lahan Gambut, Rawa Air Tawar, dan Lahan Mangrove No
Uraian
Emisi CH4 (mg /m2/jam)
Emisi CH4 (mg /m2/hr)
Emisi CH4 (g/m2/th)
Emisi CH4 (g/ha/th)
A
LAHAN GAMBUT
1
Kalakai (Stenochlaena palustris), tidak tergenang
0,003
0,072
0,026
260
2
Kalakai (Stenochlaena palustris), tergenang
0,042
1,008
0,368
3.680
B
RAWA AIR TAWAR
1
Padi IR-64 (Oryza sativa)
10,957
262,968
95,983
959.830
2
Teki (Cyperus elatus)
12,184
292,416
106,732
1.067.320
3
Rumput Banggala (Panicum maximum)
7,976
191,424
69,870
698.700
4
Rumput Lameta (Leersia hexandra)
3,256
78,144
28,523
285.230
5
Tanpa tanaman
0,264
6,336
2,313
23.130
C
LAHAN MANGROVE
1
Avicenia marina
0,356
8,544
3,119
31.190
2
Rhizophora mucronata
0,008
0,192
0,070
700
6
Seno Adi, dkk. 2009
Keadaan ini menunjukkan bahwa emisi CH4 dipengaruhi oleh tanaman yang tumbuh di atas tanah tersebut, dimana sebagian CH4 dari dalam tanah diemisikan ke udara melalui tanaman. Sekitar 90% CH4 yang dilepas dari lahan tergenang ke atmosfer dipancarkan melalui tanaman dan sisanya melalui gelembung air (ebullition) (15). Hal yang sama seperti pada tanaman padi (16), atau emisi CH4 ini dikeluarkan ke atmosfir melalui pembuluh-pembuluh aerenkima pada tanaman-tanaman vascular seperti padi dan tanaman-tanaman rawa (17). Emisi CH4 dari lahan basah ini terjadi pada kondisi anaerob dan dipengaruhi oleh ketinggian muka air dan temperatur tanah. Penurunan muka air akan menurunkan produksi CH4 dan meningkatkan oksidasi CH4, dengan demikian emisi CH4 menurun 18). Emisi CH 4 dari lahan mangrove bervariasi sesuai dengan kondisi lahan pada saat pengambilan sampel. Sesuai dengan kondisi iklim, yaitu hujan dan kemarau serta pengaruh air pasang dan air surut. Pengambilan sampel dilakukan pada saat musim hujan pada saat air pasang, sehingga kemungkinan mempunyai kandungan karbon yang rendah. Pengambilan sampel gas dilakukan di perairan tambak dan parit. Jenis mangrove yang diambil sampelnya adalah jenis Avicenia marina (lokasi pertama) dan Rhizophora mucronata (lokasi kedua). Hasil analisis menunjukkan bahwa emisi CH4 pada lokasi pengambilan sampel pertama, yaitu di tambak (0,356 mg/m2/jam) lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 pada lokasi kedua (0,008 mg/m2/jam), yaitu di daerah aliran parit. Perbedaan hasil ini diduga bukan karena jenis mangrove yang berbeda, tapi karena perairan tambak cenderung tergenang, sehingga terjadi akumulasi CH4. Sedangkan di daerah parit kandungan CH4 rendah diduga karena terjadi aliran air. 3.2
Emisi Lahan Pertanian (Padi)
Emisi CH 4 di lahan sawah Rawa Danau bertanah mineral yang ditanami padi IR-64 sebesar 10,957 mg/m2/jam (Tabel
2), lebih besar dari hasil Yagi & Minami 19) di lahan mineral (9,6 mg/m2/jam) dan hasil pengukuran Boer et al. 20) di lahan gambut pada varietas yang sama dengan irigasi berselang (8,7 mg/m2/jam), tetapi lebih kecil dari hasil Yagi & Minami 19) di lahan gambut (16,3 mg/m2/jam). Lahan padi sawah di Rawa Danau tidak mengalami penggenangan terus menerus, tetapi mengalami proses penggenangan-pengeringan (intermittent). Pengairan sawah dengan cara terputus dapat mengurangi emisi CH 4 sampai 78%(21). Dalam rangka menurunkan emisi CH4 di lahan sawah, selain pola pengairan, disarankan untuk pemilihan varietas padi rendah emisi gas CH4, pemakaian bahan organik yang sudah mengalami dekomposisi lanjut (dapat menurunkan emisi CH4 1025%), dan penggunaan herbisida dengan bahan aktif paraquat dan glifosat yang mampu menurunkan emisi CH4 60-70% 21). Emisi gas CH4 di lokasi pertanian daerah Indramayu, Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3. Emisi gas CH4 tertinggi dari pengukuran data primer terdapat pada lokasi ketiga, yaitu sebesar 3,48 mg/m2/jam. Hal ini diduga karena kondisi lahan tergenang dengan ketinggian air berkisar antara 11-14 cm merupakan kondisi optimum bagi bakteri methanogen sebagai penghasil CH4. Hal ini sesuai dengan pernyataan Garcia (1990) 22) yang mengemukakan bahwa pada kondisi genangan ± 10 cm merupakan kondisi optimum bagi bakteri metanogen yang umumnya neutrofilik, karena pada kondisi tersebut pH tanah berkisar antara 6-8. Pembentukan CH4 terjadi pada pH yang mendekati netral. Bila dibandingkan dengan data sekunder, emisi yang dihasilkan jauh lebih kecil. Data sekunder (Tabel 3 no. 4 dan 5) lebih tinggi mencapai 12x nya. Perbedaan emisi CH4 dipengaruhi oleh adanya perbedaan variabel internal dan eksternal 23). Variabel internal meliputi karakteristik tanah, varietas padi dan mikrobilogi tanah. Sedangkan variabel eksternal meliputi suhu tanah yang disebabkan radiasi surya, iklim, pengelolaan
Emisi Karbon Lahan Basah,...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 1 - 12
7
air (irigasi/tadah hujan) dan pemupukan. Tanaman padi sebagai media transportasi CH4 dapat meningkatkan aktivitas biologi dalam tanah melalui pembentukan eksudat akar yang merupakan sumber karbon bagi bakteri pembentuk CH4 24). Hasil pengukuran emisi CH4 pada padi yang mencapai 11 mg/m2/jam (Tabel 2) mendekati hasil pada data sekunder 25) pada Tabel 3 (no. 4 dan no. 5) . Sedangkan dari data sekunder no. 6 dan no. 7 terlihat bahwa nilai emisi CH4 adalah 3,24 dan 3,21 mg/m2/jam 20), tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran emisi CH4 pada data primer (1,87; 1,16; dan 3,48 mg/m2/jam) pada Tabel 3.
3.3
Emisi dan Kandungan Karbon Hutan
Kondisi hutan di plot pengamatan menggambarkan kondisi hutan rawa gambut sekunder atau bekas tebangan, hal ini terlihat dari struktur vegetasi yang ada teridentifikasi didominasi oleh pohon pada tingkat seedling dan sapling, yaitu berada pada diameter <20 cm, sementara untuk tingkat tiang 20-30 cm dan pohon >30cm hanya beberapa pohon saja. Sebaran komposisi pohon di setiap plot berdasarkan kelompok diameter dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 3. Emisi Gas CH4 di Lokasi Pertanian Daerah Indramayu, Jawa Barat Lokasi
Emisi CH4
Emisi CH4
Emisi CH4
(mg/m /jam)
(kg/ha/th)
(mg/m /hr)
2
1
1,87
44,86
Keterangan
2
163,72 - Ketinggian genangan : ± 24 cm - Padi varietas Ciherang - Umur tanaman : 45 HST - Pemupukan : Non Organik : NPK 1 Kw/ha, Urea 1.5 Kw/ha Organik : pupuk organik cair 2 L/ha, pupuk granul organik 3 Kw/ha
2
1,16
27,91
101,88 - Ketinggian air 5-7 cm - Padi varietas Ciherang - Umur tanaman : 50 HST - Pemupukan : Non Organik : NPK dan TSP 1 Kw/ha, Urea 3 Kw/ha Organik : pupuk organik cair 2 L/ha, pupuk granul organik 1 Kw/ha
3
3,48
83,62
305,20 - Ketinggian air 11-14 cm - Padi varietas Ciherang - Umur tanaman : 40 HST - Pemupukan : Non Organik : TSP 2 Kw/ha, - Urea 3 Kw/ha, Phonska 2 Kw/ha
425
13,87
332,86
1.214,94 - Tergenang - Padi varietas Ciherang
8
Seno Adi, dkk. 2009
Pemupukan : Non Organik : 120 kg/ha N, 90 kg/ha P, 60 kg/ha K 525
15,38
369,21
1.347,61 - Tergenang - Padi varietas Ciherang - Pemupukan : Non Organik : 75 kg/ha N, 250 kg/ha P, 100 kg/ha K, Urea 65 kg/ha, pupuk organik setara 2 ton/ ha
620
3,24
- Ketinggian 0 - Tanah macak2 - Padi varitas Siam - Umur 2 bulan
720
3,21
- Ketinggian 0 - Tanah macak2 - Padi varitas Siam - Umur 2 bulan
Komposisi jenis tingkat pohon yang ditemui antara lain : Meranti (Shorea sp.), Nyatoh (Palaquium cochlearifolium), Ramin (Gonystylus bancanus), Hengkang, Tumi, Pantung, dan Marsibo. Hasil perhitungan biomasa pohon dengan menggunakan persamaan allometrik diperoleh kandungannya seperti pada Tabel 5 berikut. Perhitungan dengan metode non destruktif pada 2 plot di hutan sekunder ini menunjukkan hasil 132,6 ton/ha dan 113,5 ton/ha (Tabel 5). Hasil perhitungan ini lebih rendah, dibandingkan dengan hasil perhitungan kandungan karbon dengan metode yang sama di Nunukan yaitu mencapai 206,8 ton/ha pada hutan bekas tebangan 0 – 10 tahun, dan 212,9 ton/ha pada hutan bekas tebangan 11- 30 tahun, Tabel 4. Kerapatan Pohon Berdasarkan Kelompok Diameter Kelompok Kerapatan (phn/ha) No. Hasil Perhitungan Plot-1 Plot-2 (cm) 1
<20
245
380
2
20-30
5
0
3
>30
30
20
dan 184,2 ton/ha pada bekas tebangan 31 – 50 tahun26). Tabel 5. Kandungan Biomasa dan Karbon Berdasarkan Kelompok Diameter No.
Diameter (cm)
Kandungan Biomasa (ton/ha)
Kandungan (ton/ha) Karbon
Plot-1
Plot-2
Plot-1
Plot-2
1
5-30
183,7
175,5
101,1
96,5
2
>30
57,3
30,9
31,5
17,0
3
Total
241,0
206,4
132,6
113,5
Hasil Perhitungan
Pengukuran kandungan karbon lain dengan metode destruktif pada masingmasing tiga plot di Kalimantan Tengah memperoleh hasil 242 – 518 ton/ha pada hutan alam, 110 – 221 ton/ha pada hutan bekas tebangan, dan 89 - 237 ton/ha pada hutan bekas terbakar. Bila perhitungan tersebut menggunakan metode Brown (1997), maka hasil kandungan karbon yang diperoleh pada umumnya lebih tinggi, mencapai 200% dari perhitungan destruktif. Meskipun perhitungan dengan metode distruktiv tersebut menunjukkan hasil kandungan karbon yang relatif cukup tinggi, namun perhitungan lain kandungan karbon dengan metode destruktif yang sama pada
Emisi Karbon Lahan Basah,...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 1 - 12
9
hutan sekunder bekas kebakaran di Kaltim memperoleh hasil kandungan karbon yang rendah yaitu sebesar 89,5 ton/ha 28). Rentang hasil perhitungan kandungan karbon dengan metode destuktif maupun non destruktif yang cukup besar, pada sesama jenis hutan alam, maupun sesama hutan sekunder menyebabkan kesulitan mendapatkan nilai kandungan karbon yang mewakili jenis hutan tertentu. Bila hasil data primer kandungan karbon pada kajian ini dengan rerata 120 ton/ha dianggap mewakili hutan sekunder, dan kandungan karbon pada hutan primer mengacu pada Tomich (1997) adalah 250 ton/ha, maka estimasi pada kawasan hutan di Kalteng telah terjadi kehilangan karbon sebesar 130 ton/ha, atau emisi sebesar 476 ton CO2/ha pada saat konversi hutan primer menjadi hutan sekunder. 4.
KESIMPULAN
1)
Emisi karbon (CH4) sangat bervariasi pada tipe lahan: gambut, rawa air tawar, mangrove, dan pertanian (padi), demikian juga besar cadangan karbon pada hutan sekunder sangat bervariasi bila dibandingkan dengan beberapa referensi yang ada.
2)
Pada lahan gambut, tumbuhan kalakai (Stenochlaena palustris) yang tergenang mengemisikan CH4 lebih besar dibandingkan dengan kalakai (Stenochlaena palustris) yang tidak tergenang/kering.
3)
Emisi CH4 terbesar pada rawa air tawar didapat dari lahan yang ditumbuhi teki (Cyperus elatus) sebesar 12,184 mg/ m2/jam, disusul kemudian oleh padi (Oryza sativa) sebesar 10,957 mg/ m2/jam, rumput benggala (Panicum maximum) sebesar 7,976 mg/m2/jam, dan rumput lameta (Leersia hexandra) sebesar 3,256 mg/m 2 /jam. Emisi CH4 dari lahan yang ditumbuhi oleh tanaman lebih tinggi daripada tanpa tanaman (0,264 mg /m2/jam).
10
4)
Emisi CH4 pada lokasi tambak dengan tanaman Avicenia marina (0,356 mg/ m 2/jam) lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 di daerah aliran parit dengan tanaman Rhizophora mucronata (0,008 mg/m 2 /jam). Tinggi rendahnya emisi CH4 di lahan mangrove diperkirakan tergantung dari aliran perairan di sekitar mangrove.
5)
Emisi CH 4 pada padi (dari hasil pengukuran pada 3 plot) menunjukkan nilai emisi dengan rentang yang tinggi (1,16 – 11 mg/m2/jam), sedangkan nilai emisi yang tinggi terjadi pada lokasi padi sawah dengan tinggi genangan 11 - 14 cm. Hal ini diperkirakan karena tinggi genangan tersebut adalah tinggi optimal terjadinya emisi maksimum di kawasan tersebut.
6)
Rentang hasil perhitungan kandungan karbon dengan metode destuktif maupun non destruktif yang cukup besar, pada sesama jenis hutan alam, maupun sesama hutan sekunder menyebabkan kesulitan mendapatkan nilai kandungan karbon yang mewakili jenis hutan tertentu. Hasil perhitungan kandungan karbon pada kajian ini dengan rerata kehilangan karbon 120 ton/ha, bila dianggap mewakili hutan sekunder, dan kandungan karbon pada hutan primer mengacu pada Tomich (1997) adalah 250 ton/ha, maka setidaknya pada kawasan hutan di Kalteng telah terjadi kehilangan karbon sebesar 130 ton/ha, atau emisi sebesar 476 ton CO2/ha pada saat konversi hutan primer menjadi hutan sekunder.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Mudyarso, D. 2003. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Seri Perubahan Iklim, Wetland International - Institut Pertanian Bogor, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Seno Adi, dkk. 2009
2.
Mudyarso, D. 2003, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi, Konvensi Perubahan Iklim, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
3.
Page SE, F. Slegert, JO Rieley, HD van Boehm, A. Jaya, and S. Limin. 2002. The Amount of Carbon Released from Peat and Forest Fires in Indonesia during 1997. Nature 420: 61-65.
12.
Tomoaki M., H. Ryusuke, D. Untung, LH Suwido, and A. Syaiful. 2004. CH4 Flux in the Forest and Arable Land Near Palangka Raya, Central Kalimantan, Indonesia.
4.
Hooijer A, M. Silvius, H. Wosten, and S. Page. 2006. PEAT-CO 2 , Assessment of CO2 Emission from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943.
13.
5.
Aselmann, I and PJ Crutzen. 1989. Global Distribution of natural Freshwater Wetlands and Rice Paddies, Their Net Primary Productivity, Seaseonality and Possible Methane Emissions. J. Atmos Chem 8: 307-358.
Wang Z, H. Kludze, CR Crozier, and WH Patriek. 1995. Soil Characteristic Affecting Methane Production and Emission in Flooded Rice. In: Peng S, Ingram KT, Neue HU, Ziska LH (eds.). Climate Change and Rice. Springer, Germany.
14.
Horn MA, C. Matthies, K. Kusel, A. Schramm, and HL Drake. 2003. Hydrogenotrophic metanogenesis by moderately acid-tolerant methanogens of a methane-emitting acidic peat. Appl Environ Microbiol. 69:74-83.
15.
Raimbault M, G. Rinando, L. Garcia, and M. Boureau. 1977. A Device to Study Metabolic Gases in the Rice Rhizosphere. Biol. Biogeochem 9: 193-196.
16.
Departemen Kehutanan, 2008, REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing Country), worskop Menko Bidang Perekonomian, Jakarta.
Kagotani, Y, M. Kanzaki, K. Yoda. 1996. Methane Budget Determined at the Ground and Water Surface Level in Various Ecosystem in Shiga Prefecture, Central Japan. Climate Research, Vol. 6: 79-88.
17.
International Atomic Energy Agency (IAEA). 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agricultural. Vienna: IAEA.
Wania, R. 2004. The Role of Natural Wetlands in the Global Methane Cycle. American Geophysical Union, Eos 85: 466.
18.
Anonim.1999. Wetlands and Climate Change phase 1, Feasibility Investigation on The Potential for Crediting Wetland Conservation as Carbon Sinks, Wetlands International-Americas, North American Wetlands Conservation Council (Canada), International Institute for Suistainable Development, Ducks Unlimited Canada.
6.
7.
8.
9.
Hogan, KB., 1993. Current and Future Methane Emissions from Natural Sources. Report to Congress. US Environmental Protection Agency Office of Air and Radiation. Mitra S, R.Wassmann, and PLG Vlek. 2005. An Appraisal of Global Wetland Area and Its Organic Carbon Stock. Current Science 88 (1): 25-35.
10.
Brown, S., 1997. Estimating biomass and Biomass Cahnge of Tropical Forestry Paper 134. A Forest Resources Assessment Publication, Rome.
11.
IPCC. 1994. Climate Change 1994: Radiative Forcing of Climate Change and Evaluation of the IPCC IS92
Emission Scenario. JT Houghton LG, FJ Meira, J Bruce, H Lee, BA Callander, E Haites, N Harris, and K Maskell (eds). Cambridge Univ. Press.
Emisi Karbon Lahan Basah,...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 1 - 12
11
19.
Yagi, K and K. Minami.1990. Effect of Organic matter application on Methane Emission from Some Japanese Paddy Fields. Soil Sci. Plant Nutrition 36: 599-610.
20.
Boer R, I. Nasution, I. Las, dan A. Bey. 1996. Emisi Metan dari Lahan Gambut Sejuta Hektar Kalimantan Tengah. Jurnal Agromet XII (1 dan 2): 31-38.
21.
Setyanto, P. 2008. Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Pertanian. Sinar Tani.
22.
Garcia, JL. 1990. Taxonomy and Ecology of Methanogens. Di dalam : Microbiology. Review 87. FEMS. Hlm: 297-308.
23.
12
Khalil, M.A.K dan M.J. Shearer. 1993. Sources of Methane: An Overview. Di dalam: Khalil, M.A.K, editor. Athmospheric Methane : Sources, Sinks, and Role in Global Change. IPCC.1994. Climate Change 1994: Radiative Forcing of Climate Change and Evaluation of the IPCC IS92 Emission Scenario. JT Houghton, LG Meira Filho, J Bruce, Hoesung Lee, BA Callander, E Haites, N Harris and K Maskell (eds). Cambridge University Press.
24.
Dwijayanti, Y. 2007. Pendugaan Emisi Gas Metan pada Berbagai Sistem Pengelolaan Tanaman Padi [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
25.
Hartini. 2008. Identifikasi Emisi Metan pada Berbagai Sistem Pengelolaan Tanaman Padi di Lahan Pertanian [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
26.
Rahayu, S., Lusiana, B., Noordwijk, M., Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
27.
Ludang, Y. and HP Jaya, 2007. Biomass and Carbon Content in Tropical Forest in Central Kalimantan, in journal of Applied Science in Environmental Sanitation, ITS, Surabaya. Vol. 2 (1).
28.
Adinugroho, W. Catur , I. Syahbani, MT Rengku, Z. Arifin, Mukhaidil. 2006. Pendugaan Cadangan Karbon Dalam Rangka Pemanfaatan Fungsi Hutan sebagai Penyerap karbon, Loka Litbang Satwa Primata, IPB, Bogor.
Seno Adi, dkk. 2009