BAB I PENDAHULUAN
Kebutuhan pangan secara nasional setiap tahun terus bertambah sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk, sementara lahan untuk budi daya tanaman biji-bijian seperti padi dan jagung luasannya terbatas. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang berasal dari biji-bijian tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Indonesia dikaruniai Allah Swt mempunyai keunggulan bahan pangan yang berasal dari umbi-umbian yang dewasa ini belum dikelola secara maksimal. Selain itu, umbi-umbian juga dapat tumbuh di mana saja mulai dari tanah yang kritis, tandus (marginal), hingga di tanah yang subur. Untuk menjaga ketahanan pangan nasional sudah harus dimulai mengembangkan bahan pangan berupa umbi-umbian sebagai cadangan pangan yang bernilai ekonomis dan strategis. Sudah banyak penelitian dari ahli gizi dan kesehatan bahwa bahan pangan yang berasal dari umbi-umbian tidak kalah mutunya dibandingkan dengan bahan pangan dari biji-bijian, seperti padi, gandum, dan jagung. Kelebihan ini harus kita manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Semoga harapan kita semua dapat terwujud menjadi negara agraris yang dapat 1
memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kemampuan produksi pangan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin terbatas. Agar kecukupan pangan nasional bisa terpenuhi, maka upaya yang dilakukan adalah meningkatkan produktivitas budi daya pangan dengan pemanfaatan teknologi dan upaya diversifikasi pangan. Upaya diversifikasi pangan menjadi sangat penting, karena semakin terbatas kemampuan produksi pangan nasional. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan karbohidrat di masa mendatang, terdapat berbagai macam kendala seperti laju pertumbuhan jumlah penduduk yang masih cukup besar, terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian khususnya lahan sawah di Pulau Jawa dan di beberapa provinsi di luar Pulau Jawa, dengan iklim yang kurang menguntungkan di bidang pertanian maupun serangan hama dan penyakit yang eksplosif, tingkat konsumsi pangan karbohidrat (beras) per kapita per tahun yang masih meningkat, dan lain-lain. Kesemuanya itu akan mengakibatkan semakin sulitnya penyediaan pangan, lebih-lebih bila masih bertumpu kepada beras semata (single commodity). Kebutuhan karbohidrat dari tahun ke tahun terus meningkat, di mana penyediaan karbohidrat dari serealia saja tidak mencukupi, sehingga peranan tanaman penghasil karbohidrat dari umbiumbian khususnya 9 (sembilan) umbi utama seperti singkong, ubi jalar, talas, garut, suweg, gadung, uwi, dan ganyong, semakin penting. Sebagai contoh, tanaman talas merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki peranan cukup strategis, tidak hanya sebagai sumber bahan pangan dan bahan baku industri, tetapi juga untuk pakan ternak. Oleh karena itu, tanaman talas menjadi sangat penting artinya dalam kaitannya terhadap upaya penyediaan bahan pangan karbohidrat nonberas, diversifikasi/penganekaragaman konsumsi pangan lokal/budaya lokal, substitusi gandum/terigu,
2
pengembangan industri pengolahan hasil dan agroindustri, serta komoditas strategis sebagai pemasok devisa melalui ekspor. Di beberapa daerah/provinsi, tanaman talas telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, diversifikasi pangan, maupun bahan pakan ternak serta bahan baku industri. Tanaman talas memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena hampir sebagian besar bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi manusia. Tanaman talas yang merupakan penghasil karbohidrat berpotensi sebagai suplemen/substitusi beras atau sebagai diversifikasi bahan pangan, bahan baku industri, dan lain sebagainya. Talas mempunyai manfaat yang besar untuk bahan makanan utama dan substitusi karbohidrat di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Selain itu, sebagai bahan baku industri dibuat tepung yang selanjutnya diproses menjadi makanan bayi (di USA) kuekue (di Filipina dan Columbia), serta roti (di Brasil). Sementara di Indonesia dibuat menjadi makanan enyek-enyek, dodol talas, cheese stick talas, dan juga untuk pakan ternak (termasuk daun dan batangnya). Talas mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan karena berbagai manfaat dan dapat dibudidayakan dengan mudah sehingga potensi talas ini cukup besar. Negara kita, Indonesia, sebenarnya terkenal dengan beraneka ragamnya sumber daya alam, terutama hasil pertanian. Salah satu komoditas yang melimpah adalah berasal dari jenis umbi-umbian. Pengolahan umbi-umbian tersebut biasanya dilakukan secara konvensional saja, yaitu hanya sebatas digoreng, direbus, atau hanya dijadikan keripik. Namun, untuk ketela rambat dan ketela pohon, pengolahannya sudah beraneka ragam, yaitu dibuatnya tepung MOCAF (Modified Cassava Flour) yang karakteristiknya hampir mirip dengan tepung terigu, tepung kanji, sirop glukosa, pati termodifikasi, dan lain-lain. Tentu saja, masih banyak jenis umbiumbian yang lain juga berpotensi untuk dikembangkan, mengingat jumlahnya yang melimpah dan kandungan gizinya yang tinggi.
3
Ubi kayu dan ubi jalar sebagian besar juga diusahakan di lahan kering dan hanya sebagian kecil ditanam di lahan sawah dengan berbagai jenis tanah, yaitu Alfisol, Ultisol, Inceptisol yang pada umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah. Provinsi sentra produksi ubi kayu meliputi: Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Yogyakarta. Data produksi ubi kayu tahun 2000-2009 terlihat pada tahun 2000, Pulau Jawa masih merupakan sentra produksi ubi kayu yang dominan dalam memberi kontribusi produksi nasional (57,2%), Sumatera (25,5%), dan provinsi di pulau lainnya (17,3%). Namun, konon pada tahun 2009, kontribusi produksi ubi kayu di Pulau Jawa menurun menjadi 44,56%, sementara Pulau Sumatera naik menjadi 42,33%, dan pulau lainnya sedikit turun menjadi 12,23%. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran sentra produksi ubi kayu dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera. Data produksi ubi kayu tahun 2000-2009 juga memperlihatkan bahwa angka pertumbuhan produksi nasional adalah 3,25% per tahun, dengan angka pertumbuhan untuk Pulau Jawa sebesar 0,70% per tahun dan Sumatera 9,08% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan ubi kayu banyak terjadi di Sumatera dibandingkan di Jawa. Di antara enam provinsi sentra produksi ubi kayu, Provinsi Lampung menunjukkan angka pertumbuhan produksi tertinggi, yaitu 11,31% per tahun, diikuti Provinsi DIY (4,97% per tahun), Jawa Barat (2,11% per tahun), dan Nusa Tenggara Timur (1,77% per tahun). Angka pertumbuhan yang tinggi di Provinsi Lampung diduga erat hubungannya dengan berkembangnya industri-industri pengolahan berbahan baku ubi kayu. Di Provinsi Lampung angka pertumbuhan produksi ubi kayu yang tinggi terjadi pada tahun 2001 dan 2003 yang masing-masing sebesar 22,56% dan 43,60% akibat meningkatnya luas panen ubi kayu di provinsi tersebut. Hal ini diduga terkait dengan harga ubi kayu yang cukup baik pada tahun 2000 dan 2002, sehingga petani berusaha 4
meningkatkan produksi ubi kayu pada tahun berikutnya. Fluktuasi luas panen antarwaktu merupakan gambaran tanggap terhadap tinggi-rendahnya harga umbi dari waktu sebelumnya. Sejumlah peneliti pernah mengungkapkan bahwa sebagian besar usaha tani ubi kayu di Indonesia yang dilakukan oleh petani kecil dengan kemampuan modal dan teknologi terbatas sangat respons terhadap sinyal harga yang diimplementasikan dalam bentuk usaha tani ubi kayu mereka pada tahun berikutnya. Artinya, apabila harga ubi kayu baik, luas panen musim berikutnya naik. Sebaliknya, bila harga ubi kayu pada musim tersebut kurang bagus, maka luas panen pada tahun berikutnya juga berkurang. DIY merupakan provinsi sentra produksi ubi kayu yang dari tahun ke tahun selalu menunjukkan angka pertumbuhan positif dari 1,88% pada tahun 2002 hingga 6,93% pada tahun 2004. Kenaikan angka pertumbuhan pada tahun 2004 diduga berkaitan dengan berkembangnya industri tiwul instan dan meningkatnya kebutuhan ubi kayu sebagai substitusi bahan pangan. Seperti halnya dengan ubi kayu, Pulau Jawa masih merupakan sentra produksi ubi jalar. Pada tahun 2000, produksi ubi jalar di Pulau Jawa mencapai 0,73 juta ton yang berarti memberi kontribusi produksi nasional 39,9%, namun pada tahun 2009 kontribusinya sedikit turun menjadi 35,4%. Selama kurun waktu satu dasawarsa 2000-2009, pertumbuhan produksi tertinggi dicapai oleh Provinsi Papua, yaitu 5,61% per tahun, diikuti Sumatera Utara yang mencapai 2,22% per tahun. Sementara provinsi lain justru mengalami pertumbuhan produksi yang negatif. Di Papua, produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 0,51 juta ton, yang berarti meningkat 96% dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,26 juta ton. Hal tersebut diduga adanya gerakan meningkatkan pangan utama (ubi jalar), setelah terjadinya kasus kelaparan di Yahokimo pada tahun 2002. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, produksi relatif stabil antara 0,30-0,34 ton. Pada tahun 2009, Provinsi Jawa 5
Barat dan Papua masing-masing memberi kontribusi sebesar 20% dan 17,43%. Besarnya produksi ubi jalar di Provinsi Jawa Barat juga diduga didorong oleh adanya perusahaan yang bermitra kerja dengan kelompok tani dan mengekspor ubi jalar ke Negara Jepang, Malaysia, dan Taiwan. Sementara Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan NTT memberi kontribusi antara 5,6-7,17% (Tabel 4). Di Sumatera Utara, ubi jalar selain sebagai pangan, juga digunakan sebagai pakan babi. Pada beberapa tahun terakhir, ubi jalar ( jenis Beniazuma) banyak dikembangkan untuk diekspor ke Jepang. Sementara itu, Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) pernah menyatakan bahwa ubi kayu atau singkong layak dijadikan sebagai komoditas pangan strategis sejajar dengan beras, jagung, ataupun kedelai. Bahkan, Ketua I MSI Suharyo Husein di Jakarta, belum lama ini menambahkan bahwa seperti halnya komoditas pangan lain seperti beras, jagung, maupun kedelai, singkong memiliki potensi yang sangat besar sebagai pangan pokok alternatif. Namun, dia menyayangkan singkong belum ditetapkan sebagai komoditas strategis nasional sehingga kurang diperhatikan oleh pemerintah. Hal itu tercermin pada ketersediaan APBN maupun APBD yang sangat kecil sehingga komoditas ini kurang berkembang di Indonesia. Maka, kami rasa, perlunya diusulkannya kepada pemerintah agar singkong dijadikan sebagai komoditas strategis nasional seperti padi, jagung, dan kedelai. Karena bagaimanapun juga, singkong termasuk delapan umbi utama lainnya dapat dijadikan sebagai pangan alternatif nasional. Kedelapan umbi utama yang kami maksudkan, yaitu ubi jalar, talas, garut, suweg, gadung, uwi, dan ganyong. Oleh karena itulah, buku ini diberi judul: 9 Umbi Utama sebagai Pangan Alternatif Nasional. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa singkong dan delapan umbi utama itu sebagai komoditas strategis, kami sebagai penulis buku ini sependapat dan bahkan kami berani mengatakan, 6
hal itu sangat layak. Selain dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif, 9 umbi utama tersebut juga potensial sebagai bahan sumber kalori yang sangat baik untuk kesehatan tubuh, bahkan juga ada yang memanfaatkan untuk pakan ternak, sumber energi, bioethanol, bahan pupuk organik, bahan pembuat plastik, serta lainnya. Bahkan, untuk singkong juga sangat dibutuhkan oleh berbagai bahan produksi berbagai macam industri termasuk di dalamnya industri kertas dan industri kimia. Nah, melihat besarnya potensi 9 umbi utama tersebut, maka peningkatan produktivitas tentunya harus dilakukan. Dan khusus untuk produksi singkong menurut catatan Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), pada 2011 lalu luas panen singkong diperkirakan mencapai 1,2 juta hektar dengan produktivitas sebesar 19,5 ton per hektar, sehingga dihasilkan sekitar 23,5 juta ton singkong basah. Meski naik 1,7 persen pada 2011, luas panen singkong cenderung turun selama 10 tahun terakhir. Namun demikian, produksi singkong cenderung naik, rata-rata 4,3 persen per tahun. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena peningkatan hasil per hektar dari 12,9 ton menjadi 19,5 ton per hektar. Dalam konteks inilah, maka tidak mengherankan kalau kemudian Kementerian Pertanian kita saat ini terus berupaya menurunkan tingkat konsumsi beras masyarakat dengan mencari pengganti pangan lainnya, seperti halnya singkong dan delapan umbi utama dalam meningkatkan ketahanan pangan dan ini sekaligus untuk memperkuat ketahanan pangan alternatif nasional kita. Memang, singkong dan delapan umbi utama tersebut selama ini diasosiasikan sebagai makanan kelas dua dan hanya dikonsumsi oleh penduduk desa. Namun demikian, seiring dengan berbagai perkembangan penelitian dan inovasi teknologi, 9 umbi utama tersebut dapat diolah menjadi produk olahan bernilai jual tinggi.
7