ZATNI ARBI
OPINION
Memberdayakan Jaringan dalam Organisasi
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Di tempat Anda bekerja, kepada siapa Anda bertanya tentang hal–hal yang lebih bersifat pribadi? Misalnya, restoran Jepang yang tidak terlalu mahal atau kamera digital yang tepat untuk Anda. Lalu, kepada siapa Anda akan berkonsultasi bila menemui kesulitan dalam pekerjaan? Apakah dengan orang yang sama? Belum tentu, karena mungkin ada orang lain yang lebih tahu tentang operasi perusahaan Anda. kemudian, bagaimana jika Anda merasa ada hal baru yang dapat meningkatkan performa perusahaan? Misalnya, Anda ingin mengusulkan agar di kantor dipasang hotspot Wi-Fi. Apakah Anda akan berbicara dengan orang yang sama? Mungkin sekali tidak. Jadi, rupanya ada peran-peran yang berbeda-beda dalam organisasi Anda. Peranperan ini biasanya justru tidak sama dengan yang digambarkan oleh diagram struktur perusahaan. Sebagai contoh, di antara peran-peran ini pasti ada “sumbu” atau hub, yaitu orang yang dianggap paling menguasai suatu hal tertentu. Semua akan datang ke dia untuk berkonsultasi. Namun, sumbu ini belum tentu sang direktur perusahaan. Selain itu, Anda juga lalu melihat bahwa ada sejumlah jaringan (network) yang berbedabeda pula. Bagi Anda sendiri, misalnya, ada jaringan untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk pekerjaan Anda, ada jaringan untuk mendapatkan dukungan ketika hendak mengusulkan sebuah inovasi, dan sebagainya.
Mungkin kesalahan kita selama ini adalah bahwa kurang memanfaatkan modal intelektual yang mengalir di jaringanjaringan yang ada.
Quantum Theory of Trust Beberapa waktu yang lalu, ketika transit di bandar udara Changi, Singapura, saya melihat majalah Strategy+Business di toko buku Times News Link. Versi online majalah triwulanan ini ada di www.strategy-business.com. Edisi Fall 2004 menampilkan sepuluh inovator bisnis terkemuka di dunia. Saya lalu membelinya walau cukup mahal. Salah satu tokoh yang ditampilkan adalah Profesor Karen Stephenson, antropolog yang kini menjadi konsultan bisnis berkaliber internasional. Perusahaan konsultannya adalah Netform (www.netform.com). Fokus analisisnya adalah berbagai jaringan dalam perusahaan dan bagaimana jaringan-jaringan ini dapat dimanfaatkan. Dia menamakan teorinya quantum theory of trust. Profesor Stephenson berbicara mengenai modal intelektual (intellectual capital), yaitu keseluruhan pengetahuan dan pengalaman sebuah organisasi. Menurut dia, modal intelektual adalah aset yang tidak terlihat tetapi sangat bernilai. Dia menekankan betapa pentingnya meletakkan orang yang tepat dan mempertahankannya dalam perusahaan dalam rangka memupuk dan memanfaatkan modal intelektual ini. Apa kaitan antara jaringan dan pengetahuan? Pengetahuan biasanya tersimpan di kepala orang-orang tertentu yang terhubung satu dengan yang lain secara informal melalui jaringan-jaringan tersebut. Oleh sebab itu, sebelum melakukan prakarsaprakarsa tertentu, organisasi harus terlebih dahulu mengidentifikasi peran-peran dan berbagai jaringan yang terjalin di antara mereka dan baru kemudian memanfaatkan modal intelektual yang mengalir di dalamnya agar hasilnya jauh lebih baik. Sampai saat ini, reformasi di Indonesia masih berjalan di tempat, kata banyak orang. Mungkin kesalahan kita selama ini adalah bahwa kurang memanfaatkan modal intelektual yang mengalir di jaringan-jaringan yang ada. Nah, bagaimana dengan perusahaan Anda? PC Media, 01/2005
23
ZATNI ARBI
OPINION
Perkawinan Teknologi dan Tren
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Seringkali kita terlalu terfokus pada teknologi dan tren yang ada saat ini. Padahal, kita akan mempunyai lebih banyak peluang untuk berhasil bila dapat keluar dari paradigma “here and now”. Bagaimana caranya? Kita perlu lebih jeli membaca trentren masa datang di sekitar kita. Sebagai contoh, mari kita lihat Filipina.
Manfaatkan Tren Masa Depan
Dengan Internet, chatting dan blog, para lansia tidak perlu lagi mengurung diri di kamar.
Saya kagum pada kejelian pemerintah dan sektor swasta Filipina membaca tren masa depan di Jepang, kemudian memanfaatkannya. Apa yang mereka lakukan? Mereka melihat beberapa tahun ke depan, Jepang membutuhkan banyak perawat karena populasi yang menyusut. Selain itu, Jepang juga semakin didominasi lansia. Saat ini, hampir satu di antara lima orang Jepang berusia 65 tahun atau lebih. Kelompok ini membutuhkan caregiver dalam jumlah yang terus meningkat. Mereka lebih suka menggunakan tenaga asing yang lebih murah dibanding tenaga lokal. Di lain pihak, Filipina adalah salah satu eksportir tenaga kerja terbesar di dunia. Untuk memanfaatkan peluang ini, Filipina melatih tenaga-tenaga kerja menjadi perawat professional yang mampu berbahasa Jepang. Mereka juga minta kemudahan perawat Filipina bekerja di Jepang sebagai bagian Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) bilateral di antara Filipina dan Jepang. Yang tidak kalah menarik, salah satu perusahaan yang dipercaya untuk melatih calon tenaga kerja Filipina untuk Jepang ini justru adalah STI. STI merupakan sebuah lembaga pendidikan teknologi informasi (TI) dan komunikasi asal Filipina yang sudah mengembangkan sayapnya ke mancanegara, termasuk Indonesia. TI menjadi bagian pelatihan, karena dunia semakin tergantung pada TI.
Kita Juga Punya Lansia Peningkatan populasi para lansia ini tidak di Jepang saja. Banyak negara lain, termasuk Indonesia, mengalaminya. Kini, bagaimana kita mengawinkan teknologi dan tren ini? Mari kita lihat karakteristik para lansia. Mereka perlu bersosialisasi. Seperti kita, mereka juga ingin dapat berhubungan dengan teman-temannya. Para lansia kita di masa depan mungkin bukan orang-orang yang masih canggung menggunakan teknologi. Umumnya para lansia ini tidak mampu bepergian jauh-jauh. Namun, dengan Internet, chatting dan blog, para lansia tidak perlu lagi mengurung diri di kamar. Dengan teknologi ini, kita bisa memberdayakan, sekaligus memberi kesempatan mereka memenuhi kebutuhan hubungan dengan dunia luar.
Lansia Online Salah satu yang bisa kita lakukan adalah pelatihan komputer dan Internet khusus lansia yang masih belum akrab dengan teknologi. Lalu, kita dapat pula menciptakan komunitas online khusus lansia. Di situs komunitas ini, misalnya, mereka bisa berbagi info kesehatan, hiburan, program-program khusus pembinaan iman dan sebagainya. Para lansia punya kebutuhan dan preferensi mereka sendiri. Tren yang ada memperlihatkan bahwa kohort ini akan terus membengkak. Kita tinggal mempelajari kebutuhan dan preferensi mereka. Bila kita dapat melayani mereka dengan sebaikbaiknya, niscaya uang akan datang dengan sendirinya. PC Media, 02/2005
23
ZATNI ARBI
OPINION
Kreativitas dalam Memecahkan Masalah
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Di kota London, alunan musik klasik dan suara penyanyi tenor Luciano Pavarotti ternyata dapat digunakan untuk mengurangi kriminalitas di stasiun kereta api bawah tanah. Bukan karena musik-musik ini mempunyai pengaruh mistis yang mampu menyentuh nurani para remaja begundal yang sering bergerombol di bawah sana dan membuat mereka tidak lagi termotivasi untuk mencopet atau menodong. Bukan karena itu. Sederhana saja. Bagi remaja-remaja itu, musik-musik karya Mozart dan Beethoven sangat tidak cocok dengan seleranya. Mereka jadi sangat tidak betah mendengarkan musik jenis ini, yang berkumandang melalui sound system yang dipasang para operator stasiun kereta bawah tanah di kota tersebut. Akibatnya, para remaja ini lalu meninggalkan tempat itu, dan stasiun-stasiun itu menjadi jauh lebih aman dan nyaman bagi publik.
Masyarakat yang kreatif pastilah akan memikirkan cara-cara lebih cerdas, yang tidak menggunakan pendekatan kekuatan fisik ataupun kekuasaan.
WD-40 Melawan Kokain Masih di Inggris, ada ide baru untuk mencegah pengunjung bar menghisap kokain di toilet. Rupanya selama ini toilet sudah lama menjadi tempat mereka bebas menyedot kokain. Repotnya, kalau sedang fly, tidak jarang pemakai kokain ini lalu menjadi biang kerok keributan di bar. Berbagai cara sudah dicoba para pemilik bar untuk mencegah pengunjung menggunakan toilet untuk berkokain ria. Ada yang menggeledah para tamu sebelum diizinkan memasuki toilet. Ada yang lalu melepas tutup WC agar tidak ada lagi tempat yang datar untuk menebar bubuk kokain. Namun, masih saja banyak pengunjung bar yang pura-pura hendak buang hajat tetapi sebenarnya ingin menyedot kokain. Menurut Financial Time Online edisi 19 Januari 2005, bar-bar di Inggris lalu menggunakan WD-40—minyak pelincir serbaguna buatan Amerika yang sangat populer itu. Semua permukaan yang datar di toilet disemprot dengan WD-40. Kalau ada yang menaburkan kokain, tepung itu akan segera larut dalam WD-40. Kalau mereka masih nekad mencoba menyedot kokain yang sudah bercampur WD-40, bisa-bisa hidungnya akan berdarah.
Solusi Kreatif Mungkin karena kita masih tergolong primitif, di masyarakat kita masalah-masalah biasanya dipecahkan melalui penggunaan “brute force”. Kalau perlu, dengan adu jotos. Masyarakat yang kreatif pastilah akan memikirkan cara-cara lebih cerdas, yang tidak menggunakan pendekatan kekuatan fisik ataupun kekuasaan. Di banyak buku dan majalah bisnis dan manajemen, ada resep umum yang mungkin dapat kita manfaatkan. Pertama-tama, jangan ragu-ragu memancing dan mengadopsi ide cemerlang dari bawahan Anda sendiri. Jangan lupa pula mengakui bahwa ide itu datang dari dia, bukan dari Anda. Kedua, jangan terfokus hanya pada terobosan-terobosan besar sehingga Anda menyepelekan ide-ide yang kecil dan sederhana. Sering kali tujuan-tujuan strategis baru bisa dicapai setelah kita memperbaiki hal-hal yang kecil dalam bisnis—misalnya pengelolaan biaya yang lebih baik dan peningkatan pelayanan pelanggan. Selain itu, jangan lupa bahwa ide-ide yang besar justru dapat ditiru oleh pesaing Anda, sementara ide-ide yang kecil biasanya luput dari pengamatan mereka dan tidak bisa ditiru dengan mudah. Ketiga, kalau Anda sudah sering mengalami kebuntuan, tinggalkan ruang kerja Anda dan pergilah berekreasi. Kreativitas membutuhkan otak yang segar. PC Media, 03/2005
25
ZATNI ARBI
OPINION
Necessity is the Mother of Invention
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Baru-baru ini, saya menerima e-mail yang menarik dari seorang pembaca. Dia belum merasa perlu membangun jaringan komputer di rumahnya, karena dia belum punya akses broadband. Dia masih memakai akses dial-up. Setiap kali dia ingin bekerja di meja yang agak jauh dari teleponnya, dia tinggal mengeluarkan gulungan kabel penyambung miliknya. Pembaca ini punya sebuah telepon cordless dengan sinyal yang cukup kuat sehingga dapat digunakan di manapun di dalam rumah. Dia bertanya, apakah dia dapat menggunakan telepon cordless-nya itu sebagai pengganti jaringan Wi-Fi? Saya jadi teringat salah satu modem yang kali pertama muncul. Modem ini dinamakan Accoustic Coupler. Berbeda dari modem yang kita pakai saat ini, alat ini tidak dihubungkan langsung ke kabel telepon. Sebaliknya gagang telepon kitalah yang diletakkan di atas alat ini, sehingga semua bunyi yang keluar dari earpiece akan ditangkap oleh alat ini dan bunyi-bunyi yang dihasilkannya akan diterima oleh mouthpiece di gagang telepon tersebut. Mungkin modem akustik inilah yang bisa digunakan kalau kita ingin menggunakan telepon cordless untuk menggantikan jaringan nirkabel. Sayang sekali, ada banyak masalah. Kecepatan transfer data akan sangat terbatas, barangkali hanya 300 bps. Sementara itu, dapat dipastikan bahwa sinyal analog 900 MHz dari base ke gagang telepon akan mengalami banyak interferensi. Selain itu, alat ini muncul di tahun 1960an. Sekarang barangkali hanya bisa ditemui di museum.
Saya juga jadi sangat menyadari betapa berharganya kemampuan mengidentifikasi kebutuhankebutuhan yang sederhana seperti ini. Ada banyak kebutuhan kecil yang sering kali tidak kita lihat sematamata karena kita terpaku pada solusi-solusi yang sudah ada...
Kebutuhan Meskipun akhirnya saya tetap tidak bisa memberikan solusi, saya sangat menghargai kejelian pembaca ini. Saya juga jadi sangat menyadari betapa berharganya kemampuan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang sederhana seperti ini. Ada banyak kebutuhan kecil yang sering kali tidak kita lihat semata-mata karena kita terpaku pada solusi-solusi yang sudah ada, yang tinggal dibeli dan dipasang. Agar kita dapat bekerja berpindah-pindah dengan leluasa, misalnya, kita mungkin akan langsung teringat hotspot dan Wi-Fi. Padahal, mungkin ada solusi lain yang lebih murah dan lebih tepat untuk koneksi melalui jaringan telepon. Satu lagi kebutuhan yang sering kali saya rasakan tetapi masih belum ditemukan solusinya adalah alat yang dapat melindungi peralatan elektronis dari interferensi sinyal yang dipancarkan ponsel-ponsel di sekitarnya. Anda pasti pernah merasakan betapa tidak enaknya mendengar interferensi sinyal ponsel pada sistem Public Address (PA system). Biasanya ini terjadi bila pembicara lupa mematikan ponselnya, dan ponsel itu lalu berkomunikasi dengan base station ringan ponsel dan menghasilkan bunyi yang sangat tidak enak di loudspeaker: “Trrrt trrrt trrrt...!” Gangguan seperti ini juga sangat mengganggu saya bila saya kebetulan sedang melakukan wawancara dan orang yang saya wawancarai lupa mematikan ponselnya. Setiap kali ada SMS yang masuk atau ada panggilan ke ponselnya itu, suara gangguan yang cukup keras akan ikut terekam dalam alat perekam saya. Ini satu kebutuhan lagi. Mudah-mudahan para insinyur kita bisa mendahului sejawat mereka di Taiwan atau Cina dalam memecahkan masalah ini. Mungkin dengan menciptakan sarung yang terbuat dari bahan yang tidak tembus sinyal elektromagnetis untuk membungkus alat-alat perekam ataupun mikrofon, mungkin dengan cara lain. Yang jelas, produk-produk seperti ini pastilah akan banyak diminati orang. PC M ed ia , 04/ 2005
pcm.first_04.pmd
25
25
6/5/2012, 5:44 PM
ZATNI ARBI
OPINION
Outsourcing dan Division of Labor Baru
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Pertengahan 1985, saya dan beberapa teman berkesempatan mengunjungi pabrik plotter dan printer Hewlett-Packard di luar kota San Diego, California. Kami sempat terheranheran mengetahui bahwa mereka juga membuat printer untuk IBM. Lalu, kira-kira sepuluh tahun lalu, saya kembali terheran-heran ketika diberitahu bahwa salah satu model IBM ThinkPad ternyata dibuat Acer. Sekarang bukan rahasia lagi, perusahaan-perusahaan dengan nama besar sudah biasa melakukan hal ini. Notebook Dell, kita ketahui, dibuat perusahaan Taiwan bernama Quanta Computers, demikian juga notebook dari Sony dan bahkan Apple. Jadi, outsourcing dalam memanufaktur produk bukanlah suatu hal yang baru. Outsourcing dapat menekan biaya. Perusahaan-perusahaan manufaktur kontrak seperti Compal Electronics dan Quanta Computers di Taiwan, dapat meminta potongan harga komponen jauh lebih besar daripada yang mungkin didapatkan IBM atau Dell secara sendiri-sendiri, karena mereka membeli dalam volume yang jauh lebih besar. Di samping itu, karena kontraktorkontraktor ini melayani beberapa pelanggan sekaligus, mereka dapat membagi-bagi biaya operasi dan produksi di antara semua pelanggan sehingga masing-masing pelanggan dapat menikmati biaya produksi yang lebih rendah lagi.
Bukan Hanya Manufaktur
...bagaimana caranya agar kita bisa masuk dalam tata pembagian kerja yang baru ini? Apa yang dapat ditawarkan oleh otak-otak manusia Indonesia yang sebenarnya sangat cemerlang dan kreatif, agar kita juga bisa menjadi pemasok kekayaan intelektual...
Walau kini kita sudah tidak heran lagi mendengar, perusahaan pemegang merk ternama meng-outsource proses manufaktur produknya, laporan utama BusinessWeek edisi 21 Maret 2005 cukup membuat terpana. Kini, bahkan inovasi pun di-outsource. Banyak perusahaan besar tidak lagi melakukan penelitian dan pengembangan—kecuali untuk teknologi kunci. Mereka tinggal membeli hasil R&D yang dilakukan perusahaan lain. Jadi, kini ada pembagian kerja (division of labor) yang baru. Para insinyur di Taiwan dan India mendesain produk berbasis chip yang dibuat di Amerika Serikat, peranti lunak dibuat di India dan Rusia, lalu produk akhir dibuat di pabrik-pabrik di Cina yang biaya tenaga kerja masih sangat rendah. Laporan utama BusinessWeek itu padat dengan contoh inovasi yang di-outsource. Daftar perusahaan yang melakukan outsourcing inovasi ternyata cukup panjang, mulai perusahaan komputer dan elektronika, seperti Apple, Dell, Motorola, Philips, dan Sony sampai perusahaan pembuat pesawat terbang Boeing. Tetapi, ada yang lebih menarik lagi. Sebuah artikel di Times Online edisi 14 Maret 2005. menceritakan betapa polisi di Nottinghamshire, Inggris, kewalahan menangani kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di wilayah mereka. Oleh sebab itu, mereka meminta anggaran yang lebih besar agar mereka dapat mengoutsource pekerjaan investigasi kasus-kasus pembunuhan ke polisi dari wilayah lain.
Peluang Baru Barangkali kita geli membayangkan betapa polisi Inggris pun terpaksa meng-outsource tugas penyidikan—yang seharusnya menjadi pekerjaan mereka sehari-hari. Namun, hal ini mencerminkan bahwa hal-hal yang dapat di-outsource ternyata tidak terbatas pada manufaktur, pengembangan peranti lunak dan aplikasi, call center, atau jasa-jasa lainnya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana caranya agar kita bisa masuk dalam tata pembagian kerja yang baru ini? Apa yang dapat ditawarkan oleh otak-otak manusia Indonesia yang sebenarnya sangat cemerlang dan kreatif, agar kita juga bisa menjadi pemasok kekayaan intelektual dan memanfaatkan peluang baru ini? PC Media, 05/2005
25
ZATNI ARBI
OPINION
Semua Bisa Berpartisipasi Demi SDM Kita
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Joyce, seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Jakarta, yang kebetulan juga tetangga dekat saya, pada suatu hari mendatangi saya dan bercerita. Dia mendapat tugas dari dosennya. “Kamu harus mencari tiga perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata, temui pejabat humasnya, tanyakan apa strategi humas mereka dan kemudian buat perbandingan.” Bagi para mahasiswa yang kebetulan punya kerabat dekat yang menjadi bos di perusahaan besar, tentulah tidak akan sulit mendapatkan narasumber untuk tugas semacam ini. Tapi, tidak banyak mahasiswa yang bernasib sebaik itu. Kebanyakan di antara mereka justru bernasib sama dengan Joyce, yang harus keluar-masuk kantor karena tidak punya koneksi. Joyce sudah mengunjungi delapan perusahaan besar, dan hanya satu manajer PR yang bersedia keluar sebentar untuk menemuinya. Itupun akhirnya Joyce harus menyerah setelah mendapatkan jawaban, “Maaf, kami tidak dapat memberikan data-data perusahaan yang kamu minta.”
Lain di Negeri Orang
Padahal, dengan membantu para mahasiswa yang sedang melakukan penelitian lapangan seperti Joyce ini, perusahaan-perusahaan kita dapat berperan serta dalam membangun sumber daya manusia Indonesia.
Ketika saya dulu mengikuti kuliah teknologi telekomunikasi di Department of Communications, University of Hawaii at Manoa, mendapat tugas kuliah yang mirip dari dosen saya. Bedanya, saya mengerjakannya bersama dua orang mahasiswa lain. Grup kami mendapat tugas mewawancarai sejumlah perusahaan penyedia komunikasi radio dan telepon seluler— yang waktu itu baru akan beroperasi di kota Honolulu. Suatu hal yang sangat mengesankan adalah betapa mudahnya kami bertemu dengan orang-orang di industri telekomunikasi nirkabel di sana. Tanpa ragu-ragu mereka membeberkan berbagai hal tentang perusahaan mereka, teknologi yang digunakan, proyeksi mereka, strategi mereka dalam bersaing, dan sebagainya. Padahal, mereka semua tahu betul bahwa kami bertiga juga akan bertemu dan mewawancarai para pesaing mereka. Pengalaman studi lapangan ini berdampak sangat positif bagi saya. Begitu positifnya sehingga saya menjadi begitu tertarik pada teknologi komunikasi dan informasi. Sampai sekarang saya sangat bersyukur pernah mendapatkan tugas tersebut.
Mengapa Tidak Dibantu? Ada berbagai kemungkinan alasan mengapa perusahaan-perusahaan kita tidak bersedia untuk diwawancarai mahasiswa. Mungkin karena mereka memang sudah kehilangan spontanitas untuk membantu orang lain. Atau mungkin karena mereka merasa terlalu sibuk dan tidak punya waktu untuk melayani mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas. Atau mungkin juga karena mereka sendiri sebenarnya tidak memiliki cukup rasa percaya diri sehingga takut tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mahasiswa dan takut akan terungkap bahwa mereka bukanlah orang yang kompeten di posisi mereka. Yang jelas, banyak di antara mereka cepat sekali berlindung di balik pernyataan standar “Maaf, ini kebijakan direksi kami, jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa.” Padahal, dengan membantu para mahasiswa yang sedang melakukan penelitian lapangan seperti Joyce ini, perusahaan-perusahaan kita dapat berperan serta dalam membangun sumber daya manusia Indonesia. Dan semua ini pastilah akan dapat dilakukan tanpa harus mengungkapkan informasi yang benar-benar rahasia perusahaan. PC Media, 06/2005
25
ZATNI ARBI
OPINION
Program Handset Murah: Akan Berhasilkah?
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Asosiasi industri GSM sedunia, GSM Association, punya misi mempercepat pertumbuhan cakupan jaringan telepon selular di planet bumi ini. Mereka lalu mendorong vendorvendor pembuat handset untuk mengembangkan dan memasarkan model-model yang harganya sangat murah, khususnya untuk pasar-pasar yang baru mulai tumbuh. Target mereka adalah handset dengan harga di bawah US$40. Bahkan, sesudah itu, harga handset-handset kelas pemula ini diharapkan bisa turun terus hingga di bawah US$30. Jalan pikiran mereka sebenarnya sederhana saja. Bila sebuah handset baru dapat diperoleh dengan US$40 atau sekitar Rp375.000 bila dihitung dengan kurs yang berlaku saat ini, akan semakin banyak orang yang mampu membelinya termasuk di desa dan daerah pedalaman. Apalagi kalau nanti harganya benar-benar telah sampai di bawah US$30 atau sekitar Rp280.000. Model-model ini tidak perlu dilengkapi fitur-fitur canggih. Soalnya, diperkirakan bahwa mayoritas pemakai hanya memerlukannya untuk sambungan suara. Handset-handset ini juga diperkirakan akan menjadi alternatif bagi telepon kabel, yang membutuhkan investasi berlipat kali lebih besar daripada jaringan ponsel.
Bukanlah Sekadar Impian Harapan Asosiasi GSM ini ternyata mendapat respon positif dari vendor handset Motorola. Menurut laporan Informa Telecoms & Media, Motorola C115 yang termurah di tiga negara— Cina, India, dan Indonesia. Di Indonesa, menurut laporan mereka, Motorola C115 ini termurah dengan harga hanya US$49.52. Di India, harganya sedikit lebih mahal, yaitu US$57.50. Di Cina, Motorola C201 menjadi handset ketiga termurah dengan harga US$67.15, sementara yang benar-benar paling murah di sana adalah Xelibri2 dari Siemens yang harganya US$61.71. Harga-harga ini adalah harga-harga bulan Maret yang lalu dan saya terima akhir bulan Mei. Sebagai bagian dari program Emerging Market Handsets (EMH), Asosiasi GSM memang telah menugaskan Motorola untuk mendistribusikan sekitar 6 juta ponsel sangat murah untuk tahun 2005 ini saja. Pembuat handset lainnya dari Asia—terutama Cina—tentu juga mengincar segmen kelas pemula ini. Tidak sulit membayangkan bahwa nanti akan ada banyak pilihan. Belum lagi handset-handset bekas, karena orang-orang kota yang berduit rata-rata mengganti handset mereka sekali setiap 18 bulan. Namun, perlu diingat bahwa harga ponsel yang sangat terjangkau hanyalah satu faktor yang dapat membantu mempercepat perluasan jaringan ponsel. Orang bisa saja punya dua atau tiga ponsel di kantongnya, tetapi kalau mereka tidak sanggup membayar biaya pulsa, ketiga ponsel di kantong hanya akan jadi barang mainan saja. Biaya pulsa yang lebih fleksibel jelas dibutuhkan untuk mempercepat perluasan cakupan layanan. Biaya pemakaian yang lebih rendah di daerah yang kurang mampu adalah faktor yang lebih menentukan dibandingkan harga handset yang murah. Dampak telekomunikasi pada percepatan pertumbuhan perekonomian tidak perlu diragukan lagi. Tetapi kalau operator jaringan ponsel di daerah tidak bisa lebih bersabar dan mau menunggu lebih lama untuk kembalinya investasi mereka dan terus mengejar peningkatan penerimaan dari masing-masing pelanggan (average revenue per user atau ARPU), maka akan sulit bagi kita mengharapkan program semacam “ponsel rakyat” ini akan berhasil mendatangkan perubahan bagi kehidupan orang-orang di desa-desa dan daerah terpencil di luar pulau Jawa. PC Media, 07/2005
...harga ponsel yang sangat terjangkau hanyalah satu faktor yang dapat membantu mempercepat perluasan jaringan ponsel. Orang bisa saja punya dua atau tiga ponsel di kantongnya, tetapi kalau mereka tidak sanggup membayar biaya pulsa, ketiga ponsel di kantong hanya akan jadi barang mainan saja.
25
ZATNI ARBI
OPINION
Konvergensi, Kita Bisa Punya Perawat Pribadi
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Sejarah teknologi informasi dan komunikasi adalah serentetan konvergensi. Anda pasti masih ingat, ketika IBM PC kali pertama muncul di 1981, komputer pribadi hanya dapat menyajikan karakter—tidak banyak berbeda dari mesin ketik. Setelah program-program seperti Paintbrush muncul, barulah kita bisa melihat grafik di layar komputer. Lalu, setelah PC dengan processor Intel 80386 dan Microsoft Windows 3.0 muncul di akhir 1980-an dan awal 1990-an, kita mulai bisa menikmati multimedia di PC. Tentu saja komputerkomputer lain seperti Apple Macintosh dan Amiga sudah lebih dulu berkemampuan multimedia ini. Di pertengahan tahun 1980-an, kita sudah mulai menambahkan modem dan fax. Komputer yang semula hanya bisa dipakai untuk memasukkan dan memindah-mindahkan karakter di layar sebelum dicetak kini bisa dipakai untuk berkomunikasi dan berkirim fax. CD-ROM drive mulai muncul di awal tahun 1990-an, bersamaan dengan sound card. Maka, terjadilah konvergensi yang memungkinkan kita mendengarkan CD di komputer kita. Di paruh pertama tahun 1990-an, video CD mulai banyak beredar dan Sigma Design muncul dengan kartu REALMagic mereka sehingga kita bisa menikmati video di komputer. Ini hanya sebagian kecil saja dari konvergensi yang telah terjadi. Tambahkan pula Internet, yang dapat menghantarkan musik, video, siaran radio, siaran TV, mengirimkan bebauan, dan entah apa lagi, maka tidaklah mengherankan bila kini kita tidak mungkin lagi hidup tanpa komputer.
Ponsel—dan PDA juga, Tentunya
...bila layanan 3G WCDMA sudah tersedia di Indonesia nanti, berbicara sambil menatap wajah kekasih di ujung sana tidak akan menjadi sekadar khayalan lagi. Dan, ketika HSDPA sudah pula tersedia, kita bisa menikmati siaran TV berkualitas High Definition di layar ponsel yang mungil.
Seperti komputer, telepon selular juga terus-menerus mengalami konvergensi. Di 1980an, ponsel hanya untuk berbicara dengan pengguna telepon lainnya. Lalu muncul SMS. Kemudian muncul WAP yang memungkinkan kita ber-e-mail-ria. Lalu ada GRPS dan EDGE yang memungkinkan kita mengakses Internet tanpa kabel. Dengan fungsi modemnya, kita dapat pula menghubungkan notebook kita ke Internet. Sementara itu, fungsi-fungsi lain terus ditambahkan ke ponsel. Games, kamera digital, kamera video, radio FM, bahkan musik sudah menjadi fungsi yang lazim ditemukan di ponsel. Tidak lama lagi, bila Nokia N91 sudah beredar, kita juga bisa menyimpan ribuan lagu di harddisk-nya yang berkapasitas 4 GB. Ponsel bukan lagi alat untuk berkomunikasi, tetapi sudah berkonvergensi dengan fungsi iPod. Di beberapa negara, ponsel sudah berperan sebagai buku cheque pemiliknya. Ingin membeli karcis kereta api atau minuman? Tinggal gunakan Bluetooth atau infrared untuk memindahkan sejumlah uang virtual dari ponsel Anda ke vending machine. Lalu, bila layanan 3G WCDMA sudah tersedia di Indonesia nanti, berbicara sambil menatap wajah kekasih di ujung sana tidak akan menjadi sekadar khayalan lagi. Dan, ketika HSDPA sudah pula tersedia, kita bisa menikmati siaran TV berkualitas High Definition di layar ponsel yang mungil. Berkat konvergensi, hanya dalam kurun waktu 20 tahun saja ponsel berevolusi dari alat untuk berkomunikasi dengan suara menjadi alat yang begitu kaya fungsi. Apa lagi yang perlu ditambahkan? Karena ponsel sudah begitu melekat, kelihatannya yang dapat ditambahkan lagi melalui proses konvergensi adalah berbagai fungsi pemantauan kondisi fisik dan kesehatan pemakai, seperti alat pemantau denyut jantung, pengukur tekanan darah, bahkan pemantau bio-ritmus. Fungsi-fungsi ini pasti akan banyak dicari. Soalnya, kehidupan di jalur cepat memang sangat besar dampaknya pada kesehatan kita. PC Media, 08/2005
25
ZATNI ARBI
OPINION
Steve Jobs: Carilah Apa yang Benar-benar Anda Cintai
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Baru-baru ini, seorang teman baik mengirimkan transkrip sambutan Steve Jobs pada acara wisuda di Stanford University 12 Juni 2005. Sambutan Steve ini sangatlah inspiratif dan mengguggah mereka yang mendengar atau membacanya. Anda dapat menemukannya di banyak situs web, dan saya sangat menganjurkan agar Anda juga membacanya. Siapa yang tidak kenal Steve Jobs, yang melahirkan komputer Apple dan hingga kini tidak henti-hentinya membuat kita kagum pada kreasinya yang selalu inovatif? Steve juga pendiri Pixar Animation Studios. Namun, mungkin tidak banyak di antara kita yang tahu bahwa, sama seperti Bill Gates, Steve juga seorang dropout dari universitas.
Kita Dapat Memilih Steve lahir di luar pernikahan. Ibu kandungnya, seorang mahasiswi tingkat S2, semula hanya bersedia menyerahkannya untuk diadopsi oleh pasangan dengan gelar S2 atau S3. Namun akhirnya, Steve diadopsi oleh suami-istri Jobs dari kelas pekerja dengan janji bahwa suatu hari Steve akan kuliah di universitas. Sang ibu angkat tidak pernah mendapat gelar sarjana, dan si ayah angkat bahkan tidak tamat SMU. Di usia 17 tahun, Steve mendaftar di Reed College. Setelah satu semester, Steve mulai merasa bersalah pada orang tua angkatnya, karena kuliah di Reed ini menguras tabungan mereka. Dia memutuskan untuk tidak mendaftar lagi. Tentu saja hatinya ketar-ketir, tetapi dia yakin bahwa keputusan ini adalah yang terbaik baginya. Dengan begitu, dia kini tidak perlu lagi mengikuti kuliah wajib yang tidak menarik dan sebaliknya dia bebas mengikuti kuliah yang menarik minatnya. Di universitas-universitas di AS orang boleh saja ikut duduk mengikuti kuliah walaupun tidak terdaftar sebagai mahasiswa. Salah satu kuliah yang diikuti Steve adalah kaligrafi. Ketika itu dia tidak tahu apa manfaat pengetahuan kaligrafi ini bagi karirnya kelak. Yang jelas, kuliah ini menarik dan dia mengikutinya. Ternyata, bertahun-tahun kemudian pengetahuan ini sangat besar gunanya. Komputer Macintosh yang diciptakannya di tahun 1983 adalah komputer personal pertama dengan tampilan tipografi cantik yang sangat berbeda dari karakter-karakter monospasi yang kaku. Belakangan, Microsoft Windows juga dilengkapi tampilan karakter seperti Macintosh. Seandainya waktu itu Steve tidak mengikuti kuliah kaligrafi, mungkin hingga kini kita masih menggunakan karakter-karakter monospasi di layar komputer personal kita.
Steve selalu ingat pesan perpisahan di edisi terakhir dari sebuah publikasi yang pernah dia baca sebelum publikasi itu tutup untuk selama-lamanya: “Stay hungry, stay foolish.” Pesan ini pula yang diteruskannya kepada para wisudawan Stanford University hari itu.
Selalu Bangkit Kembali—Demi Cinta Perjalanan hidup Steve tidak selalu mulus. Dia sendiri terkenal sebagai bos yang tidak toleran. Di tahun 1985, dia ditendang dari Apple Computer, perusahaan yang didirikannya sepuluh tahun sebelumnya. Tentu saja dia sangat terpukul. Dia hampir meninggalkan Silicon Valley. Namun, kecintaannya pada apa yang dikerjakannya selama ini membuat dia bertahan di sana. Dia lalu mendirikan NeXT, pembuat komputer untuk dunia pendidikan dan riset. NeXT kemudian dibeli oleh Apple, dan bertahun-tahun setelah dipecat Steve kembali menjadi CEO Apple. Prestasinya hingga saat ini tidak perlu dibeberkan di sini. Steve selalu ingat pesan perpisahan di edisi terakhir dari sebuah publikasi yang pernah dia baca sebelum publikasi itu tutup untuk selama-lamanya: “Stay hungry, stay foolish.” Pesan ini pula yang diteruskannya kepada para wisudawan Stanford University hari itu. Stay hungry, stay foolish. Dapatkah Anda menangkap maknanya? PC Media, 09/2005
25
ZATNI ARBI
OPINION
Siapkah Kita Menyambut Mobile TV?
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Ada yang menarik di Stadion Olympiade Helsinki, Finlandia, bulan Agustus lalu. Sejumlah wartawan mancanegara tampak sedang menonton kompetisi World Championship in Athletics (WCA) di sana. Lucunya, mereka lebih banyak menatap layar ponsel Nokia 7710 yang mereka genggam. Ponsel ini, seperti Anda ketahui, adalah ponsel berlayar lebar tanpa keypad. Mereka menggunakan stylus untuk mengakses berbagai aplikasi di ponsel tersebut, termasuk aplikasi Mobile TV. Dan memang saat itu mereka sedang menjajal layanan Mobile TV. Kebetulan pula saat itu saya menjadi satu-satunya dari Indonesia yang ikut diundang Nokia untuk mencoba sendiri bagaimana rasanya menonton tayangan live TV di ponsel. Ponsel Nokia 7710 yang dipinjamkan kepada saya dan para wartawan mancanegara lainnya untuk keperluan demo ini lebih tebal daripada ponsel seri yang sama yang pernah saya lihat sebelumnya di acara Destination Nokia di Bangkok tahun lalu karena di dalamnya ada tambahan decoder untuk siaran TV digital. Mengapa kita masih ingin menonton TV sementara kita bisa menonton secara langsung segala sesuatu yang berlangsung di lapangan? Ternyata ada saat-saat di mana kita ingin melihat jalannya kompetisi dari sudut (angle) yang berbeda. Tidak jarang pula di lapangan ada dua kompetisi sekaligus. Misalnya, kompetisi lompat tinggi putera berlangsung pada waktu yang sama dengan lomba lari 500 meter puteri. Kita tidak mungkin menyaksikan keduanya sekaligus, tetapi Mobile TV bisa membantu. Di Jakarta ini, Mobile TV tentu juga dapat mengisi waktu luang ketika kita dihadang kemacetan lalu-lintas, misalnya. Atau sewaktu kita tidak mau ketinggalan suatu siaran penting sementara di tempat di mana kita sedang berada tidak ada pesawat TV. Tentunya masih banyak kemungkinan pemanfaatan yang lain.
...rumah-rumah produksi dapat membuat sinetronsinetron khusus untuk ponsel dengan episode-episode yang berdurasi hanya sekitar satu menit. Pertanyaan kita sekarang, apakah nanti pengalokasian frekuensi dan lisensi kembali akan kusut seperti kasus alokasi frekuensi dan lisensi untuk jaringan 3G di negeri ini?
Frekuensi—dan Lisensi Selain uji coba di Helsinki, yang merupakan pilot komersial pertama di dunia, DVB-H juga telah atau sedang diuji coba di Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Afrika Selatan, Taiwan, Australia, dan Malaysia. Konon hasilnya positif, dan pelanggan bersedia membayar untuk layanan ini. Setidak-tidaknya, saat ini ada dua teknologi untuk menghadirkan tayangan TV digital di ponsel. Nokia menggunakan sistem Digital Video Broadcasting Handheld, atau DVB-H. Ericsson, sebaliknya, menggunakan sistem yang berbasis konsep Triple Play. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Misalnya, DVB-H tidak perlu menunggu hadirnya jaringan 3G WCDMA. Soalnya, berdasarkan teknologi ini konten digital didistribusikan menggunakan jaringan terpisah. Frekuensi yang dianggap ideal untuk jaringan ini 450-650 MHz, karena frekuensi ini memberikan propagasi yang cukup jauh dan tetap kebal terhadap interferensi. Interaksi ponsel dengan penyedia konten berlangsung melalui GPRS. Sebaliknya, konsep Triple Play dari Ericsson menggunakan jaringan 3G WCDMA berkecepatan tinggi yang juga digunakan untuk telepon seluler itu sendiri dan sebab itu tidak membutuhkan pembangunan jaringan baru. Yang jelas, Mobile TV akan membuka banyak peluang baru bagi penyedia konten. Misalnya, rumah-rumah produksi dapat membuat sinetron-sinetron khusus untuk ponsel dengan episode-episode yang berdurasi hanya sekitar satu menit. Pertanyaan kita sekarang, apakah nanti pengalokasian frekuensi dan lisensi kembali akan kusut seperti kasus alokasi frekuensi dan lisensi untuk jaringan 3G di negeri ini? Mudah-mudahan saja tidak. PC Media, 10/2005
25
ZATNI ARBI
OPINION
Lebih Cerdaskah Kita dengan Komputer?
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Suatu malam, anak saya bertanya, “Bagaimana ejaan ‘Edelweiss’ yang benar?” Kebetulan saya sedang repot sekali, jadi saya hanya menjawab, “Coba cek di Google.” Anak saya punya komputer sendiri. Lengkap dengan akses ke Internet lewat KabelVision, jadi dia juga sudah terbiasa menggunakan Google. Setelah saya ingatkan, dengan mudah dia dapat menggunakan Google untuk mencari ejaan yang benar. Setelah saya pikir-pikir, mungkin yang saya ajarkan itu bukan hal yang baik untuk jangka panjang. Saya telah mengajarkan bagaimana memanfaatkan TI untuk menyelesaikan masalahnya dengan cepat. Yang saya ingin tahu, setelah berhasil memecahkan problemnya, apakah dia lalu akan ingat terus bahwa ejaan yang tepat adalah ‘Edelweiss’ dalam bahasa Inggris maupun sebagian besar bahasa lain di dunia. Beberapa minggu kemudian, saya uji. Ternyata kekhawatiran saya benar. Anak saya tidak ingat lagi ejaan kata itu.
Kalau Anda sering merasakannya, itu mungkin pertanda bahwa Anda juga telah sangat tergantung pada TI, sementara TI belum tentu membuat Anda lebih cerdas.
Lebih Cerdaskah Kita Kini? Dulu, ketika kecerdasan buatan (artificial intelligence) tengah menjadi topik diskusi yang hangat, banyak yang mempertanyakan, “Kalau komputer sudah demikian pintarnya, apakah kita manusia tidak akan sampai diperbudak oleh komputer?” Waktu itu, jawaban yang sering diberikan bahwa komputer tidak akan pernah mengalahkan kecerdasan manusia. Dengan kecerdasaan yang dimilikinya—itu pun kalau dapat dianggap sebagai kecerdasan—komputer akan membantu kita dalam pekerjaan rutin yang tidak mendatangkan banyak nilai tambah. Dengan makin singkatnya waktu yang harus kita habiskan untuk pekerjaan seperti itu, kita akan mempunyai lebih banyak waktu untuk memikirkan hal-hal di tataran yang lebih tinggi, lebih abstrak, dan mendatangkan lebih banyak nilai tambah. Di samping itu, karena sekarang kita memiliki waktu lebih banyak di luar bekerja, kita akan lebih santai dan kita dapat berolah raga dan akan hidup lebih sehat. Hidup santai dan lebih sehat jelas hanya impian. Laporan khusus BusinessWeek Edisi Asia, 3 Oktober 2005 menggarisbawahi kenyataan bahwa sejalan dengan makin banyaknya TI digunakan di tempat kerja, para pekerja informasi malah harus bekerja lebih panjang setiap minggu. Penyebabnya: globalisasi usaha, komunikasi, dan kebutuhan berkolaborasi. Lalu, bagaimana dengan dampak penggunaan komputer dan Internet itu sendiri pada tingkat kecerdasan manusia? Dengan Google, misalnya, kita bisa mendapatkan hampir setiap informasi yang kita butuhkan. Tetapi, apakah ini berarti bahwa kita semakin cerdas?
Ketergantungan pada Teknologi Disadari ataupun tidak, banyak di antara kita sudah sangat tergantung pada komputer dan Internet. Seorang peneliti senior pernah mengaku, “Sekarang ini menulis makalah untuk diseminarkan sudah sangat mudah. Kita tinggal mengumpulkan bahan-bahannya dengan bantuan Google, lalu tulisan kita akan selesai dalam waktu jauh lebih singkat.” Google dan search engine lainnya hanya mempermudah akses ke informasi. Sering kali, karena akses yang begitu mudah, kita jadi malas untuk mengingat-ingat data. Akibatnya, tanpa komputer itu, kita jadi malas berkarya. Bagaimana dengan Anda sendiri? Pernahkah Anda merasakan bahwa TI sudah menjadi persyaratan mutlak agar Anda dapat bekerja dengan baik? Kalau Anda sering merasakannya, itu mungkin pertanda bahwa Anda juga telah sangat tergantung pada TI, sementara TI belum tentu membuat Anda lebih cerdas. PC Media, 11/2005
25
ZATNI ARBI
OPINION
Pencuri Notebook Ada di Mana-mana
Zatni Arbi Pengamat teknologi informasi.
Saya teringat beberapa tahun yang silam di San Francisco seorang CEO sebuah perusahaan TI memberikan presentasi dalam sebuah acara akbar yang diselenggarakan mitranya. Dia mendapat giliran terakhir, tetapi karena topik yang dibicarakannya sangatlah menarik, ruangan masih tetap dipadati para undangan. Sesudah acara tanya-jawab formal, orangorang lalu maju dan mengerubutinya karena mereka masih ingin bertanya dan berdiskusi dengan pria ini. Nah, agar dapat berbicara berhadap-hadapan dengan mereka, dia terpaksa membelakangi notebooknya yang masih terhubung dengan proyektor digital. Janganlah Anda kira bahwa di Amerika tidak ada pencuri. Walaupun acara itu terbatas hanya untuk undangan, ketika sang bintang di sore itu membalikkan dirinya, notebooknya telah lenyap. Harga notebook itu sendiri mungkin tidak seberapa bagi perusahaan yang dipimpinnya. Namun, data yang tersimpan di dalamnya—termasuk rencana-rencana strategis perusahaan—tidaklah ternilai harganya. Andaikata data sensitif yang ada di harddisk notebook itu jatuh ke tangan pesaing mereka, bayangkanlah apa yang akan terjadi. Pencurian notebook dapat terjadi setiap saat kita agak lengah. Seorang teman baik saya pernah kehilangan ranselnya yang berisikan bukan hanya komputer notebook, tetapi juga berbagai peralatan canggih lainnya seperti PDA dan ponsel. Yang aneh adalah bahwa pencurian itu terjadi ketika dia sedang makan siang di sebuah hotel berbintang di salah satu negara termakmur di Eropa. Dia meletakkan ransel itu di lantai di samping kursinya. Rupanya, ketika dia sedang asyik menikmati daging rusa, seseorang menyambar ransel itu sambil melenggang keluar ruangan.
Untuk menjaga kerahasiaan data yang Anda simpan di notebook, gunakanlah enkripsi dengan password yang tidak mudah ditebak. Yang tidak kalah penting, menjaga agar notebook tidak pernah lepas dari pandangan Anda.
Soal Kebiasaan Pertama, kalaupun notebook kita hilang, sedapat mungkin kita masih memiliki back-up dari semua data yang tersimpan di dalamnya. Hal ini sangat mudah dilakukan. Ada USB harddisk eksternal yang dapat dilengkapi dengan harddisk berukuran sangat besar dan dapat menampung salinan dari semua data yang ada di notebook. Ada USB flash drive berkapasitas sampai 2 GB. Walaupun tidak cocok untuk menyimpan data dalam waktu lama, perangkat keras yang mungil ini sangat memudahkan kita dalam mentransfer file-file penting. Lalu ada pula CD-R, bahkan DVD+RW. Kalau mau, Anda juga dapat menyimpan back-up di salah satu penyedia jasa penyimpanan data di Internet. Untuk menjaga kerahasiaan data yang Anda simpan di notebook, gunakanlah enkripsi dengan password yang tidak mudah ditebak. Yang tidak kalah penting, menjaga agar notebook tidak pernah lepas dari pandangan Anda. Semua ini harus Anda jadikan kebiasaan. Kalau Anda sedang makan siang di restoran dan terpaksa membawa notebook Anda, masukkan ke dalam tasnya dan selalu kaitkan talinya ke kaki kursi. Anda akan tampak gagah bila menyandang tas notebook dengan logo yang menonjol, tetapi tas itu justru akan mudah dikenali dari jarak jauh. Mungkin malah akan lebih aman bila Anda memasukkan tas berisi notebook itu ke dalam sebuah tas karton yang polos. Ada banyak peralatan tambahan yang dapat Anda beli untuk melindungi notebook Anda. Ada rantai pengikat yang dikenal sebagai Kensington Lock, ada alarm yang akan mengeluarkan suara nyaring bila notebook Anda tergoyang agak keras atau berubah posisi. Ini semua tampaknya hal-hal biasa. Tetapi, tahukah Anda , menurut www.net-security.org, di Inggris polisi memperkirakan rata-rata hampir seratus unit notebook dicuri setiap hari? PC Media, 12/2005
25