Edisi 3 Tahun 2012
Daftar Isi
Daftar Isi Rubrik Utama Membenahi BUMN Bermasalah, Butuh CEO yang Kreatif Oleh : Praptono Djunedi
Membedah Laba BUMN PSO: Studi Kasus PT. Pos Indonesia Oleh : Hadi Setiawan
Masih Perlukah PSO PT. KAI Oleh : Abdul Aziz
Revitalisasi Peran BULOG dan Beban Fiskal Oleh : Syahrir Ika
BUMN dan Pinjaman Luar Negeri Oleh : Sofia Arie Damayanty
4 8 11 16 27
Rubrik Inspiring Service Level Agreement (SLA) Antara Pemerintah dan PT PLN (Persero): Solusi untuk Membentuk Industri Kelistrikan yang Mandiri dan APBN yang Sehat Oleh : Tony Prianto & Insyafiah
32
Rubrik Edukasi Fiskal Tangan Kanan Pemerintah (APBN) Tangan Kiri Pemerintah (BUMN) Oleh : Syahrir Ika
38
Rubrik Opini Mencari Kesetimbangan Baru Formulasi Subsidi Listrik Oleh : Hidayat Amir
Bolehkan KRL Commuter Line disubsidi? Oleh : Agunan P. Samosir
41 45
Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam buletin ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1,5 maksimal 5 halaman. Artikel dapat dikirim ke
[email protected]. Isi buletin ini tidak mencerminkan kebijakan Badan Kebijakan Fiskal. Seluruh artikel di Buletin ini bisa diakses di www.fiskal.depkeu.go.id
Penanggung Jawab :Freddy R. Saragih, Sri Bagus Guritno Penyunting/ Editor :Brahmantio Isdijoso, Fajar Hasri Ramadhana, Syahrir Ika Riko Amir, Insyafiah, Hidayat Amir Redaktur : Indra Setiawan, Sigit Purnomo Desain Grafis, Layout, Fotografer : Aan Rustandi, Rahmat Mulyono Sekretariat : Esti Ismayati, Moh. Kharis Syukron
Alamat Redaksi: Gedung R.M. Notohamiprodjo, lantai 4 Jl. Dr. Wahidin No.1, Jakarta 10710, Telp. 021-3846785, Fax. 021-3452751 2
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Editorial
EDITORIAL
BUMN, Antara Profit dan Pelayanan Publik
B
adan Usaha Milik Negara (BUMN) didirikan dengan maksud dan tujuan antara lain untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; mengejar keuntungan; dan menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. BUMN diharapkan mampu memberikan kontibusi positif kepada penerimaan negara. Karenanya, BUMN harus berkinerja baik, dalam arti memperoleh keuntungan.
Pemerintah dapat memberi penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum. Penugasan khusus dapat berupa kewajiban pelayanan publik atau yang biasa disebut public service obligation/PSO. Dalam skema PSO, BUMN menyediakan barang dan/atau jasa dengan standar dan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah. Jika ada selisih antara biaya pokok dengan tarif yang ditetapkan, Pemerintah memberikan kompensasi berupa subsidi/PSO. Menjadi BUMN yang mengemban PSO menjadi tantangan tersendiri bagi BUMN tersebut. Di satu sisi mereka harus memperoleh keuntungan, namun di sisi lain tarif ditetapkan oleh Pemerintah. Kinerja yang efisien menjadi kunci agar BUMN dapat mencapai dua misi ini sekaligus. Kinerja yang tidak efisien menyebabkan membengkaknya biaya, sementara kompensasi dari Pemerintah sifatnya terbatas, tergantung pada kemampuan keuangan negara. Akibatnya, BUMN yang mengemban PSO mengalami kerugian dan menyebabkan tidak maksimalnya pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, inefisiensi menyebabkan membengkaknya beban yang ditanggung oleh negara. Padahal, BUMN sejatinya diharapkan untuk memberikan kontribusi positif terhadap penerimaan negara. Untuk meningkatkan efisiensi BUMN dan menghindari beban keuangan negara yang berlebihan dari penugasan PSO, Pemerintah saat ini menggagas apa yang dinamakan sebagai Service Level Agreement (SLA). SLA adalah suatu perjanjian antara Kementerian/Lembaga terkait dengan BUMN untuk mencapai performa dan melaksanakan rencana aksi yang telah disepakati bersama. Pada tahap pertama, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyusun SLA untuk PT PLN. Kinerja BUMN yang baik selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan bisnis, juga oleh kemampuan para direksinya dalam mengelola perusahaan. Di tangan direksi yang kompeten, BUMN yang semula terus merugi, dapat mencetak laba pada periode berikutnya. Di pundak direksi BUMN juga, ada banyak tantangan, baik bisnis maupun politik, yang seringkali mengganggu atau menggoda. Karena itu, hanya mereka yang punya komitmen tinggi untuk membangun bangsa dan memiliki keahlian dan profesionalitas sajalah yang bisa dipercaya untuk mengemban misi BUMN, menjalankan PSO secara efektif dan mampu menghasilkan keuntungan sehingga dapat berkontribusi positif pada penerimaan negara. Kuncinya adalah pilih direksi BUMN yang tepat (the right person). Selamat Membaca ! Dewan Redaksi
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
3
UTAMA
Kalau mau bisnis yang aman-aman saja, ya tidak ada bisnis 1 (Sofyan Djalil, mantan Meneg BUMN, 2012) People, the engine of success …businesses need three things: creativity, knowledge and relationship capital 2 (Sandra Burud dan Marie Tumolo, 2004)
A
da yang menarik dari kinerja BUMN pada tahun 2011. Dari 118 BUMN yang membukukan laba bersih, setidaknya terdapat sebelas BUMN PSO yang menghasilkan laba bersih (lihat Grafik 1). Besarnya bervariasi antara Rp1,71 miliar sampai dengan Rp21,09 triliun. Bahkan, laba bersih PT Pertamina (sebagai salah satu BUMN PSO) mampu mengalahkan laba tertinggi BUMN sektor perbankan (PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Rp15,08 triliun) dan BUMN sektor telekomunikasi yang menghasilkan laba Rp15,47 triliun3. Laba bersih PT PLN (BUMN PSO lainnya) mampu melebihi total laba bersih BUMN Perkebunan (14 BUMN). Padahal, seperti kita ketahui, BUMN PSO memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan publik yang relatif tidak memiliki nilai ekonomis. Di sisi lain, ada sebagian BUMN yang masih merugi dan hal itu justru dialami oleh BUMN profit oriented. Besarnya kerugian yang dihasilkan oleh perusahaan milik negara tersebut memiliki rentang yang cukup lebar, antara Rp17,66 miliar sampai Rp1,32 triliun (lihat Grafik 2)4. Adalah hal yang kontradiktif ketika BUMN PSO dapat menghasilkan laba yang relatif tinggi tetapi keuangan BUMN profit oriented justru mengalami kerugian. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan menjelaskannya dengan dua contoh BUMN sebagai berikut. Yang pertama yakni PT Pos Indonesia sebagai contoh BUMN PSO5 yang untung dan yang kedua yakni PT Merpati Nusantara Airline sebagai contoh BUMN profit oriented yang rugi.
1 2
3 4 5
4
Rakyat Merdeka, 7 November 2012, hlm. 16,”Merpati Ngarep Untung High Season Rp800 Juta” Sandra Burud dan Marie Tumolo, 2004, Leveraging The New Human Capital: Adaptive Strategies, Results Achieved, and Stories of Transformation, Davies-Black Publishing, California. http://finance.detik.com/read/2012/04/22/103633/1898299/4/ini-dia-daftar-perusahaan-plat-merah-yang-raih-untung http://finance.detik.com/read/2012/04/20/165216/1897572/4/ini-daftar-bumn-dhuafa-selama-2011? Dana PSO yang diterima sebesar Rp170 miliar(2009); dan Rp175 miliar (2010). Lihat http://surabayawebs.com/ index.php/2010/04/30/ jusman-jika-psoditenderkan-insyaallah-ptpos-indonesia-akan-siap-mengikuti/ ; http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content &view=article&id=135271:posindonesia-vs-gelombang-persaingan& catid=25:artikel&Itemid=44 edisi 9 Agustus 2010.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
UTAMA PT Pos Indonesia dikenal masyarakat sebagai BUMN yang bergerak di bidang layanan pos. Layanan pos itu meliputi layanan jasa keuangan, jasa logistik dan jasa pengiriman surat. Contoh produknya seperti wesel pos, pengiriman surat, dokumen, logistik dan lainnya. Layanan pos seperti ini sudah ada sejak 266 tahun lalu sewaktu BUMN itu bernama Jawatan Pos Telegraf dan Telepon (PTT). Layanan pos ini menjadi andalan masyarakat untuk melakukan komunikasi dengan sanak saudara dan kerabat di daerah lain serta berbagai keperluan lain yang berkaitan dengan layanan perposan.
Grafik 1. 11 BUMN PSO Yang Laba, 2011 (Rp miliar)
cdn.streamzoo.com
PT Pos Indonesia: Perubahan Total Untuk Layanan Berkualitas
25.000,00 20.000,00 15.000,00 10.000,00 5.000,00
PT .P
er
ta m in a PT .P LN PT .P us Pe ri ru m Bu lo g PT PT .P .K os PT A In .S do I ya ne ng si H ya a ng Sr PT i .P PT ert . B an i er di ka ri Pe PT ru .P m EL LK N BN I An ta ra
-
Grafik 2. 11 BUMN Non-PSO Yang Rugi, 2011 (Rp miliar)
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi6, pola komunikasi masyarakat mulai berubah, bahkan hal ini dialami oleh industri pos di seluruh dunia. Surat sudah dianggap bukan sebagai satu-satunya alat komunikasi utama karena munculnya alat komunikasi yang canggih seperti pager, handphone, internet, automatic transfer machine (ATM) serta murahnya tarif percakapan melalui telepon. Untuk mengetahui kabar seseorang secara real time, cukup mengangkat telepon dengan tarif SLJJ/SLI. Kalau sekedar say hello, seseorang cukup mengirimkan Short Message Service (SMS) melalui handphone-nya dan seketika itu juga kedua pihak sudah mengetahui kabar masing-masing. Di sisi lain, wesel pos pun kalah bersaing dengan bertebarannya ATM di mana-mana.
Dengan adanya perubahan pola komunikasi masyarakat tersebut maka hal ini berimplikasi pada menurunnya jumlah pengiriman surat dan layanan pos lainnya. Pada akhirnya semua itu mengakibatkan turunnya pendapatan perusahaan tersebut. Dalam perjalanannya, perusahaan ini beberapa kali berubah status. Semula bernama Jawatan Pos Telegraf dan Telepon, kemudian statusnya berubah menjadi perusahaan negara (PN), dan terakhir menjadi perseroan terbatas (PT) sejak 1995.7 Selama beberapa tahun, sampai dengan 2008, keuangan PT Pos Indonesia selalu membukukan kerugian. Namun, sejak 2009 kondisi keuangan BUMN tersebut mulai menunjukkan perkembangan positif. Dalam Annual Report PT Pos Indonesia, tercatat bahwa BUMN tersebut mampu membukukan laba bersih sebesar Rp81,8 miliar pada 2009 dan sebesar Rp45,31 miliar (2010) dan Rp144,98 miliar (2011)8. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kunci sukses BUMN tersebut agar terhindar dari keterpurukan yang berkepanjangan adalah perubahan besar-besaran yang dilakukan pihak manajemen. Perubahan itu mulai dari restrukturisasi yang mengedepankan modernisasi dan pemberdayaan, pembenahan proses bisnis, penyederhanaan produk, penguatan dan penajaman brand image, pengembangan infrastruktur berbasis Information Communication Technology (ICT) sampai dengan pembenahan SDM dan keuangan perusahaan.9 6
7 8
9
Industri perposan di seluruh dunia sekarang ini sedang mengalami penurunan akibat ketatnya persaingan dan ancaman teknologi yang semakin berkembang. Tentunya ini menjadi concern Universal Postal Union (UPU). Dari hasil kajian, selama satu dekade lalu (1998 sd 2008), opertor pos mengalami penurunan volume dari 93% menjadi 85% surat pos, lalu untuk layanan ekspres ddan paket pos dari 30% menjadi 26%. Lihat Lyster Marpaung,”Pos Indonesia vs Gelombang Persaingan”, dalam Waspada, 9 Agustus 2010 dalam http://www.waspada.co.id/ index.php? option=com_content& view=article &id=135271: pos-indonesia-vs-gelombang-persaingan&catid=25:artikel&Itemid=44 http://bali-bisnis.com/index.php/profil-dirut-pt-pos-i-ketut-mardjana/ http://finance.detik.com/read/2012/10/18/183133/2066463/4/bangkit-dariketerpurukan-pt-pos-raih-laba-rp-211-miliar Lyster Marpaung, loc.cit.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
5
UTAMA Ada tiga strategi yang dijalankan untuk mendukung perubahan di atas yakni pertama, PT Pos Indonesia melakukan modernisasi pada bangunan dan pelayanannya, baik di kantor pusat maupun kantor cabang.10 Kedua, membangkitkan kembali brand image-nya. Ketiga, menyediakan layanan berbasis ICT.11 Perubahan dan strategi yang dilakukan seperti dijelaskan di atas tentunya bermuara pada tersedianya layanan perposan yang makin berkualitas. Paradigma SDM pun berubah menjadi berkarakter entrepreneur, dari yang semula berkarakter birokratis. Setiap peluang ditangkap dengan cara “jemput bola”. Dari sisi pengembangan bisnis, beberapa bidang usaha sedang dikaji seperti pendirian 500 Postmart dan membangun dua hotel di Bandung. Berbagai kerjasama yang kreatif sedang/telah dilakukan oleh PT Pos Indonesia guna meng-utilisasi kekuatan jaringan PT Pos Indonesia yang bisa menjangkau sampai daerah perbatasan dan pulau terluar Indonesia (lihat Tabel 3). Dengan jumlah SDM sebanyak 27 ribu ( 21 ribu karyawan tetap dan enam ribu tenaga tidak tetap) dan kekuatan jaringan infrastruktur berupa 3.700 cabang dan 24 ribu titik layanan yang tersebar di pelosok Indonesia, PT Pos Indonesia punya keunggulan yang kuat menghadapi kompetisi yang ketat dari 14 ribu perusahaan jasa penitipan.12 Barangkali, inilah era kebangkitan PT Pos Indonesia yang terus tumbuh dalam menghadapi lingkungan bisnis yang terus berubah. Key success dari bangkitnya BUMN perposan ada pada smart recruitment, yaitu memilih CEO yang tepat. CEO yang tepat, dibantu dengan Direktur SDM yang tepat akan mampu menggerakkan para karyawan dan organisasi untuk mencapai tujuan, misi dan visi perusahaan. Tabel 3. Kerja Sama PT Pos Indonesia dengan Berbagai Entitas Kementerian Sosial RI
Penyaluran Dana Program Keluarga Harapan Disalurkan sejak 2007 Sasaran: Rumah Tangga Sangat Miskin
Bank Mandiri
Pengembangan Tabunganku (produk tabungan), microfinance (kredit KUKM), remittance (pengiriman uang dan dokumen) serta kiriman lainnya.
PT Garuda Indonesia Tbk
Pelayanan penumpang dan kargo
PT XL Axiata Tbk
Pemanfaatan layanan on line untuk pembayaran komisi kepada retailer dan canvasser XL seIndonesia
Bank BTN
Program “Banjir Emas Sepanjang Tahun di Kantor Pos” Sasaran undian berhadiah: nasabah Tabungan e-BATARAPOS kerjasama BTN dengan PT Pos Indonesia
DHL Express
6
Pengembangan layanan EMS Jumbo Untuk memperluas target market, jejaring dan peningkatan quality assurance serta menciptakan cost efficiency dalam layanan kiriman pos internasional
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
PT Asabri
Pemberian dan penggunaan jasa layanan keuangan dan penggunaan jasa pengiriman barang dan dokumen Dalam rangka pemberian pelayanan terbaik bagi penerima pensiun TNI/Polri dan PNS Dephankam
Western Union (WU)
Pelayanan kiriman uang dari dan ke luar negeri
PT Pegadaian
Pengiriman uang
AlMunief Trading and Contracting Corp. PT Garuda Indonesia
Pelayanan kargo haji
Bank BCA
Layanan transaksi finasial perbankan Nasabah BCA dapat menikmati jasa perbankan seperti EDC payment, Debt dan Tunai BCA, Flazz serta kiriman uang
PT Merpati Nusantara Airline
Pengadaan dan pengoperasian pesawat kargo untuk keperluan PT Pos; Penjualan tiket pesawat oleh PT Pos
Layanan pembelian tiket pesawat Garuda Calon penumpang pesawat Garuda dapat memesan, membeli dan check in booth melalui 7 kantor pos di sejumlah kota Indonesia
Keterangan: kerjas ama layanan pembelian tiket juga dilakukan dengan PT Pelni, PT KAI, dan PT Air Asia. Sumber: berbagai sumber
PT MNA: Kapan Bisa Bebas Dari Masalah? Bisnis utama BUMN ini meliputi operator pesawat, training center dan maintenance facility. Tahun 2011, PT Merpati Nusantara Airline (PT MNA) masih mencatat kerugian yakni sebesar Rp778,64 miliar. Nilai kerugian BUMN ini menempati urutan kedua terbesar setelah PT PAL. Kalau ditilik dari sejarahnya, pendirian BUMN ini cukup heroik. Keberhasilan “membangun jembatan udara” di Kalimantan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia menjadi latar belakang pendirian BUMN ini pada 1962. Dengan bermodalkan enam pesawat, perusahaan penerbangan ini mengawali operasinya dengan menembus keterisolasian daerah-daerah terpencil di kawasan Indonesia timur. Kemudian, pada 1975, status BUMN ini berubah menjadi persero, yang sebelumnya berstatus perusahaan negara. Saat itu, armada PT MNA sudah berkembang menjadi 37 pesawat, yang dioperasikan untuk menghubungkan 97 kota di 19 propinsi. Antara tahun 1978 sampai 1997, PT MNA menjadi anak usaha PT Garuda Indonesia (PT Garuda). Pimpinan PT Garuda lalu melantik R.A.J. Lumenta (1979-1983) menjadi direktur utama PT MNA. Lumenta menjadi orang pertama yang menyatakan bahwa kondisi keuangan perusahaan PT MNA mengalami kerugian sehingga penyatuan kedua maskapai itu dianggap langkah yang tepat. 10 11
12
13
BUMN perposan ini punya 3.700 cabang dengan 24.000 titik layanan. http://industri.kontan.co.id/news/berbenah-pt-pos-patok-laba-bersih-2011-naik-25-1, edisi 24 Agustus 2010 http://surabayawebs.com/index.php/2010/04/30/jusman-jika-pso-ditenderkaninsyaallah-ptpos-indonesia-akan-siap-mengikuti/ Penerbangan Merpati Yang Tak Bebas Lagi, dalam http://www.merdeka.com
UTAMA Namun, pada tahun 1997, PT MNA berpisah dari PT Garuda yang membuat keduanya saling bersaing, termasuk dengan operator swasta lain. Kurang bagusnya kinerja PT MNA ditambah dengan kondisi perekonomian nasional yang sedang krisis membuat PT MNA semakin terpuruk. Pada tahun 1998, utang PT MNA lebih besar daripada asetnya. Selisihnya mencapai sekitar Rp 830 miliar.14 Tabel 4. Program Kerja CEO PT MNA, 2012 1 2 3 4 5 6
memperbaiki reservasi tiket dan marketing; menaikkan lisensi PT MNA dari Eropa; menunda pembelian semua jenis pesawat terutama disebabkan load factor yang kurang dari 80 persen; fokus pada perbaikan rute; fokus pada pelayanan penumpang dengan memperbaiki On Time Performance; penataan direksi
Sumber: “Ini Strategi Dirut Baru Merpati”, dalam http://www.kompas.com, 14 Mei 2012
Dalam kondisi PT MNA yang merugi dan tidak seimbangnya antara jumlah SDM dengan jumlah armada pesawat, ada CEO PT MNA yang memutuskan untuk penyewaan pesawat agar pendapatan perusahaan meningkat. Tentu kebijakan ini berdasarkan pertimbangan bisnis dan didukung oleh dewan komisaris dan para direksi. Sayang, langkah tersebut
tidak dibarengi dengan prosedur standar (SOP) yang mencakup mitigasi risiko sehingga kebijakan tersebut menjadi tidak efektif ketika terjadi risiko bisnis.15 Ada juga CEO PT MNA yang menawarkan program pembenahan internal (lihat Tabel 4) diantaranya pembenahan proses bisnis, marketing, pelayanan, pembenahan SDM, penataan operasi teknik perawatan pesawat, budaya perusahaan serta teknologi informasi. Hasil sementaranya adalah load factor naik menjadi 90 persen, rasio Ebitda positif, dan biaya operasi semakin menurun.16 Agaknya, siapa pun CEO yang memimpin PT MNA bagaikan pilot yang sedang mengemudikan pesawat yang sering mengalami gangguan mesin. Ketika terjadi gangguan mesin, pilihannya adalah apakah dia mampu mendaratkan pesawat secara soft landing atau hard landing. Kalaupun harus hard landing, bagaimana strateginya agar jumlah penumpang yang luka-luka atau meninggal serta potensi kerusakan body pesawat dapat diminimalisir. Soft landing bisa diartikan bahwa PT MNA mampu meraih laba sedangkan hard landing mengindikasikan kondisi keuangan yang merugi. Tingkat keparahan akibat dari hard landing menunjukkan seberapa besar kerugian yang dibukukan dalam laporan keuangan PT MNA.
Tabel 5. PMN yang Diterima PT Merpati, 1997 s.d. 2012 Tahun
Jumlah (Rp. Miliar)
1997
563
untuk pengalihan saham PT Garuda pada PT MNA serta untuk pengalihan piutang PT Garuda pada PT MNA atas penyerahan 17 pesawat terbang F-28.
1999
247
untuk pengadaan tiga buah pesawat Fokker 100 beserta suku cadangnya
Penggunaan
untuk dana program Corrosion Preventive Control Program (CPCP) untuk perawatan pesawat Twin Otter
1999
9
2005
75
untuk revitalisasi pesawat DHC-6 Twin Otter Rp13,9 miliar, revitalisasi pesawat Casa 212 sebesar Rp8,3 miliar, revitalisasi Fokker 27 sebesar Rp4,3 miliar, Training Crew Merpati Rp1 miliar, dan untuk modal kerja sebesar Rp47,9 miliar.
2006
450
untuk revitalisasi bisnis/restrukturisasi armada (pengadaan Boeing 737-300/Boeing 737-400 dan maintain product) sebesar Rp150 miliar, restrukturisasi utang PT Merpati Rp180 miliar, dan perbaikan produktivitas Rp120 miliar.
2011
561
untuk maintenance & overhaul Rp 320,4 miliar; defisit arus kas Rp 156,4miliar; untuk investasi untuk pembangunan Merpati Maintenance Facility (MMF) Rp 13,15 miliar; investasi sistem IT Rp 20,67 miliar; dan penguatan operasional Rp 51,06 miliar.17
2012
200
untuk pengembangan armada pesawat.
Sumber: dari berbagai sumber
Berdasarkan Tabel 5 di atas, tambahan modal negara untuk PT MNA sudah lebih dari Rp 2 triliun sejak 1997. Namun, PT MNA ternyata masih saja merugi. Selama satu dekade terakhir, sudah ada lima CEO yang dipilih untuk memimpin PT MNA. Artinya, rata-rata CEO memiliki masa jabatan sekitar dua tahun. Untuk membenahi PT MNA, selain memerlukan CEO yang kreatif, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemegang saham. Beri waktu yang cukup untuk membuktikan strategi bisnisnya dan lindungi CEO tersebut dengan sistem manajemen risiko yang kredibel sehingga CEO tersebut leluasa mengembangkan daya kreativitasnya.
14
Soal latar belakang pisahnya PT MNA dari PT Garuda serta latar belakang yang menjadi penyebab meningkatnya utang PT MNA dapat dilihat pada tulisan di atas Ibid. “Eks Komisaris Utama Merpati Bersaksi Untuk Hotasi Nababan”, dalam http://www.detiknews.com, 27 September 2012; dan “Disetujui Direksi, Sewa Pesawat Kebijakan Korporasi” dalam http://polhukam.rmol.co/read/2012/10/08/81045/DisetujuiDireksi,-Sewa-Pesawat-Kebijakan-Korporasi16 “Dirut: Pendapatan Merpati Mulai Positif”, dalam LKBN Antara, 19 Juli 2012 17 CEO PT MNA mengatakan dengan adanya penambahan PMN Rp 561 miliar tersebut, pada 2012 perseroan akan mencatat laba bersih sebesar Rp42 miliar, meningkat dari proyeksi rugi bersih 2011 sebesar Rp 159 miliar. Pendapatan korporat pada 2012 diperkirakan Rp4,277 triliun, naik dari proyeksi semula yaitu Rp3,002 triliun. Optimisme pertumbuhan laba operasional bersumber dari hasil efisiensi dan dari hasil penambahan jumlah rute penerbangan. Ada sebanyak 18 rute baru sehingga seluruhnya berjumlah 102 rute seiring dengan penambahan pesawat. Namun, bila waktu pelaksanaan pencairan dana PMN terlalu jauh maka akan mengakibatkan rencana perseroan meleset. Lihat “PMN Merpati Rp561 Miliar Cair Oktober” dalam http://www.investor.co.id/home/pmn-merpati-rp-561-miliar-cair-oktober/20942. 15
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
7
UTAMA
MEMBEDAH LABA BUMN PSO: Studi Kasus PT Pos Indonesia Oleh : Hadi Setiawan1
M
enurut Dahlan Iskan terdapat 11 BUMN yang mendapatkan dana public service obligation (PSO) dari Pemerintah, yaitu empat BUMN di bidang sarana perhubungan (PT KAI Persero, PT Pelni Persero, PT Pos Indonesia Persero, dan Perum LKBN Antara), dua BUMN energi (PT Pertamina Persero, dan PT PLN Persero), dan lima BUMN di bidang pangan (PT Pusri Holding, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, Perum Bulog, dan PT Berdikari). Ke-11 BUMN PSO tersebut ternyata mencatat laba pada tahun 2011 (lihat tabel 1). Mengapa BUMN PSO ini bisa mencatat laba, padahal mereka diberikan kewajiban untuk melayani masyarakat melalui PSO. Penyebabnya untuk tiap BUMN mungkin berbeda-beda, bisa jadi karena kinerja BUMN tersebut memang bagus, atau bisa juga karena rumusan besaran PSO yang diberikan kepada mereka membuat BUMN tersebut laba walaupun kinerjanya pas-pasan. Tulisan ini mencoba membedah laba salah satu BUMN PSO, yaitu PT Pos Indonesia (Persero) yang berhasil mencetak laba bersih setelah pajak sebesar Rp. 144.981.029.739 pada tahun 2011.
Tabel 1. Laba BUMN PSO Tahun 2010 dan 2011 NO
NAMA BUMN
2011
2010
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
PT Pertamina PT PLN PT Pusri Perum Bulog PT K A I PT Pos Indonesia PT Sang Hyang Seri PT Pertani PT Berdikari PT Pelni Perum LKBN Antara
21,090.0 7,190.0 4,370.0 936.5 250.4 145.0 79.6 42.5 12.0 5.8 1.7
16,775.0 10,086.0 3,138.8 886.7 216.3 45.5 41.1 40.9 3.0 (196.7) 6.8
Sumber: LKPP Audited Tahun 2010 dan 2011
PSO PT Pos Indonesia Persero Pemberian PSO kepada PT Pos Indonesia dilatarbelakangi oleh amanat Beijing Postal Strategy Universal tahun 1999 yang menghasilkan prinsip penyelenggaraan pos yaitu single postal territory dan freedom of transit. Prinsip ini mengharuskan suatu negara untuk mengatur dan menetapkan ketentuan minimal pelayanan pos universal. 1
8
Penulis adalah Peneliti BKF
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Sebagai tindak lanjut dari amanat tersebut, pemerintah Indonesia menugaskan kepada PT Pos Indonesia (Persero) untuk melaksanakan kewajiban pelayanan umum bidang pos. Dasar hukum pemberian PSO PT Pos Indonesia (Persero) sendiri adalah UU Nomor 6 Tahun 1984 yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Oleh karena itu, disamping menjalankan misi dan tanggungjawab sosial sebagai agen pembangunan, PT Pos Indonesia sebagai salah satu BUMN (Perseroan) juga mengemban misi bisnis yang berciri profit oriented. Skema pemberian PSO kepada PT Pos Indonesia (Persero) mengatur bahwa PT Pos Indonesia (Persero) diberikan kompensasi atas kerugian yang diderita dalam pengoperasian Kantor Pos Cabang Luar Kota (KPCLK). Dasar yang digunakan untuk menghitung kerugian KPCLK adalah: Pendapatan termasuk dari layanan PSO dan layanan non-PSO; Biaya-biaya yang relevan termasuk biaya tenaga kerja, biaya operasi, transportasi, biaya pemeliharaan, dan penyusutan. Dengan formulasi yang digunakan adalah sebagaimana dalam Box 1.
Box 1. Formulasi Perhitungan PSO PT Pos Indonesia (Persero)
PSO = [{C x (HPP-Hppem)} – {LF x (HPP-Hppem)}] Atau PSO = (C-LF) x (HPP-Hppem)
Keterangan: C : LF : HPP : Hppem :
Kapasitas produksi terpasang Kapasitas produksi terpakai Harga Pokok Produksi Harga penjualan yang ditetapkan pemerintah
Sumber: Dengan PSO Menjembatani Infrastruktur, 2007, Asdep V Menko Perekonomian
UTAMA Berdasarkan skema tersebut sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2012, PT Pos Indonesia mendapatkan dana PSO sebagai berikut:
Grafik 1. PSO yang diterima oleh PT Pos Indonesia (Persero) tahun 2004-2012 300
257
272
250 200
150 150
115
113
115
125
2004
2005
2006
2007
175
175
2009
2010
100 50 0 2008
2011
2012
Sumber: Berbagai sumber.
Grafik 2. Kinerja Keuangan PT Pos Indonesia (Persero) Tahun 2004 s.d. 2011
3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
(500) Pendapatan
Biaya
Laba sebelum pajak
Sumber: Patra Azwar, Yustina, M. Soleh, IPB, 2012.
Grafik di atas menunjukkan bahwa PT Pos Indonesia (Persero) terus merugi dari tahun 2004 sampai dengan 2008, akan tetapi mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 PT Pos Indonesia berhasil mencatatkan laba. Jika dilakukan perbandingan antara jumlah laba yang diperoleh dengan jumlah PSO yang diterima perusahaan maka pada tahun 2009, 2010 dan 2011 terdapat selisih masing-masing sebesar Rp77 miliar, Rp129 miliar, dan Rp101 miliar. Penulis akan mencoba menelaah laba pada tahun 2011 yang merupakan kondisi terakhir perusahaan.
Pada tahun 2011 ini perusahaan mempunyai jumlah kantor pos sebanyak 3.560 buah yang terdiri dari kantor pos pemeriksa, kantor pos cabang dalam kota dan kantor pos cabang luar kota. Sedangkan kantor pos cabang yang dapat memperoleh PSO pada tahun 2011 adalah sebanyak 2.471 buah kantor pos cabang (69,4%) dengan perincian sebagaimana Tabel 2.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
9
UTAMA JUMLAH KPRK
JUMLAH KPC LPU
SUMBAR, RIAU, KEPRI
15
137
SULAWESI
13
170
PAPUA, MALUKU
10
56
NAD, SUMUT
19
223
DIVISI REGIONAL
KALIMANTAN
19
210
JAWA TIMUR
27
376
JAWA TENGAH, DIY
33
475
JAWA BARAT TANPA BOGOR, BEKASI
17
233
BENGKULU, JAMBI, SUMSEL, LAMPUNG, BABEL
16
199
BANTEN, BOGOR, BEKASI
10
64
BALI, NTB, NTT
14 193
JUMLAH
Jumlah di bayar
Biaya PSO yang diaudit BPK
135
2003
101,1
80
80
85,61
2278
2004
115,1
115,1
115,1
118,12
2005
161,8
113
113
129,3
Tabel 3. Perbandingan Kinerja Keuangan PT Pos Indonesia (Persero), Fedex dan UPS Posindo
Fedex
ROE
27.76%
9.54%
54.07%
ROA
3.73%
5.30%
10.96%
Profit Margin
4.78%
3.69%
7.16%
Operating Margin
4.34%
6.05%
11.45%
Total Debt/Equity
6.39
0.80
3.93
UPS
Current Ratio
1.02
1.70
1.89
Sumber: Annual report PT Pos Indonesia, diolah dan http://finance.yahoo.com/
Tabel di atas menunjukkan bahwa ternyata kinerja PT Pos Indonesia (Persero) tidak kalah dengan perusahaan jasa pengiriman kelas dunia, bahkan dapat dikatakan kinerja rasio profitabilitas PT Pos Indonesia lebih bagus daripada Fedex Corporation (Fedex), walaupun masih kalah dibandingkan dengan United Parcel Service, Inc (UPS). Selain itu jika mengacu kepada data pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK terhadap pelaksanaan PSO yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero) maka dapat Daftar Pustaka Eddy Satriya, dkk. 2007. Dengan PSO Menjembatani Kesenjangan Infrastruktur. Asisten Deputi 5/V, Kemeterian Perekonomian. http://www.rimanews.com/read/20111026/44787/kinerjadinilai-tidak-maksimal-pt-pos-tak-layak-raih-subsidi diakses tanggal 30 Oktober 2012. http://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=247&iddoc=7 40, diakses tanggal 5 November 2012.
http://www.rimanews.com/read/20111026/44787/kinerja-dinilai-tidakmaksimal-pt-pos-tak-layak-raih-subsidi
10 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Jumlah di setujui
Usulan PT Pos
Pada tahun 2011 total pendapatan perusahaan Rp3,06 triliun dengan total beban sebesar Rp2,90 triliun sehingga perusahaan berhasil mencetak laba sebesar Rp156,47 miliar. Rasio-rasio keuangan perusahaan jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis kelas dunia yaitu Fedex dan UPS adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 3.
2
Tabel 4. Pembayaran PSO kepada PT Pos Indonesia (Persero) tahun 2003 – 2005 (dalam miliar Rp) Tahun
Sumber: Dirjen SDPPI diakses dari http://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=247&iddoc=740
Jenis Rasio
diperoleh gambaran bahwa hasil pemeriksaan tersebut dari tahun 2003 sampai dengan 2005 menunjukkan biaya PSO yang dikeluarkan oleh PT Pos Indonesia (Persero) selalu berada di atas jumlah PSO yang dibayar oleh pemerintah.
Sumber: Eddy Satriya, dkk. Dengan PSO Menjembatani Infrastruktur, 2007, sdep V Menko Perekonomian
Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero) I Ketut Mardjana juga menyatakan kebutuhan PSO untuk PT Pos Indonesia (Persero) selalu lebih besar dibandingkan dengan yang diberikan pemerintah. Sebagai contoh pada tahun 2012, PT Pos Indonesia (Persero) mengajukan PSO sebesar Rp808,15 miliar2 tetapi ternyata yang disetujui hanya sebesar Rp272 miliar. Keberhasilan yang dicapai oleh PT Pos Indonesia (Persero) dalam meningkatkan kinerjanya terutama lebih ditunjang oleh keberhasilan perusahaan dalam melakukan perubahan besar-besaran dalam manajamen, restrukturisasi perusahaan dan strategi yang dijalankan yang dimulai pada tahun 2009 (lihat uraian dalam tulisan Praptono Djunedi, Membenahi BUMN Yang Bermasalah, Butuh CEO Yang Kreatif) dan bukanlah karena formula PSO yang diberikan oleh pemerintah. Keberhasilan tersebut dapat menjadi contoh yang baik bagi BUMN lain terutama yang bersifat profit oriented sehingga dapat menghasilkan kinerja yang baik. Selain itu, diharapkan kedepannya PT Pos Indonesia (Persero) juga dapat lebih kreatif sehingga dapat menghasilkan kinerja yang optimal dan tidak perlu lagi diberikan PSO oleh pemerintah sebagaimana visinya untuk menjadi the most trusted provider of POS (Point of Services) in Asia Pacific pada tahun 2030. www.finance.yahoo.com, diakses tanggal 10 November 2012. PT Pos Indonesia. 2012. Annual Report tahun 2011. PT Pos Indonesia. 2011. Annual Report tahun 2010. PT Pos Indonesia. 2010. Annual Report tahun 2009. Patra Azwar, Yustina, M. Soleh. 2012. An Action Plan for the Future. Transformasi PT Pos Menuju Tahun 2030. Program Studi Manajemen dan Bisnis, Program Pasca sarjana IPB. _____. 2012. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Republik Indonesia Tahun 2011 (audited). _____. 2011. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Republik Indonesia Tahun 2010 (audited).
UTAMA BUMN dan Tujuan Pendiriannya
U
ndang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebutkan bahwa BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi. BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun, selama ini peran BUMN selama ini dianggap belum optimal karena sebagian BUMN belum dapat memberikan pelayanan umum secara baik dan di saat yang sama belum memberikan nilai tambah terhadap penerimaan negara. Sampai dengan Januari 2012, terdapat 141 BUMN yang terdiri dari 14 BUMN berbentuk perusahaan umum (Perum), 109 BUMN berbentuk Persero, dan 18 BUMN yang merupakan persero terbuka (Tbk.). Adapun tujuan dari pendirian BUMN yaitu (i) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya, (ii) mengejar keuntungan, (iii) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, (iv) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, dan (v) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Oleh : Abdul Aziz1
bumn.go.id
BUMN mempunyai tugas ganda yang bernuansa dilema yaitu di satu sisi BUMN wajib mengejar profit untuk menambah pendapatan perusahaan dan agar dapat memberikan sharing terhadap penerimaan negara tetapi di sisi lain BUMN juga wajib melakukan penyediaan barang/jasa untuk membantu terwujudnya kesejahterahan dan kemanfaatan bagi masyarakat umum dalam bentuk melaksanakan tugas public service obligation (PSO).
Sekilas Tentang PSO PT KAI Salah satu BUMN yang sering menjadi sorotan publik dalam hal kinerjanya adalah PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Di tengah upayanya untuk memperbaiki citra dan kinerjanya, PT KAI yang mempunyai visi “menjadi penyedia jasa perkeretaapian terbaik yang fokus pada pelayanan pelanggan dan memenuhi harapan stakeholders” ternyata masih menyimpan beberapa masalah terutama pada rendahnya tingkat pelayanan kepada penumpang kereta api khususnya dalam rangka pelakasanaan tugas PSO. PSO adalah biaya yang wajib dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya disparitas/perbedaan antara harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan tujuan agar pelayanan produk/jasa tersebut tetap terjamin dan
terjangkau harganya oleh sebagian besar masyarakat/ publik.2 Menurut Peraturan Presiden Nomor 53 tahun 2012 tentang Kewajiban Pelayanan Publik dan Subsidi Angkutan Perintis Bidang Perkeretaapian disebutkan bahwa kewajiban pelayanan publik adalah kewajiban Pemerintah untuk memberikan pelayanan angkutan kereta api kepada masyarakat dengan tarif yang terjangkau. Pada ketentuan berikutnya disebutkan bahwa dalam rangka menyediakan pelayanan angkutan kereta api kepada masyarakat dengan tarif yang terjangkau, Pemerintah menyelenggarakan 1
2
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, email:
[email protected];
[email protected] Agunan Samosir dalam Prospek Perkeretaapian: PSO-IMO-TAC-BMN-PSL: 2012.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 11
UTAMA kewajiban pelayanan publik/PSO. Bila masyarakat dinilai belum mampu membayar tarif yang ditetapkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian, maka Pemerintah menetapkan tarif angkutan penumpang kelas ekonomi. Selisih antara tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan tarif yang ditetapkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam bentuk PSO. Di bawah ini adalah tabel tentang jenis dan besaran pagu PSO PT KAI yang diberikan oleh Pemerintah dari tahun anggaran 2008 sd. 2012.
1) juta tempat duduk akibatnya ada dana PSO PT KAI tahun anggaran 2011 yang dinyatakan tidak terserap seluruhnya. Dalam kontrak public service obligation (PSO) dari Pemerintah kepada PT KAI untuk pengoperasian KA Ekonomi 2011 disebutkan bahwa tempat duduk yang dibiayai oleh Pemerintah adalah sebanyak 60,17 juta, sedangkan realisasinya hanya 57,6 juta, sehingga ada selisih 2,56 juta tempat duduk lebih sedikit dari kontrak. Selisih ini sebagai akibat adanya tabrakan regulasi yakni adanya perubahan Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) dari Gapeka
Tabel 1. Subsidi (PSO) KA Ekonomi PT KAI 2008 – 2012 (dalam miliar rupiah) TAHUN ANGGARAN NO
RELASI
1
KA Ekonomi Jarak Jauh
2
KA Ekonomi Jarak Sedang
3
KA Ekonomi Jarak Dekat
4
KRD Ekonomi Jabodetabek
5
KRL Ekonomi
6
KA Ekonomi Lebaran Total
2008
2009
2010
2011
2012*)
162,10
167,26
175,08
194,45
256,20
82,11
77,88
88,58
90,17
120,18
148,11
148,00
175,85
158,77
223,57
20,63
18,13
17,00
9,73
34,01
131,69
123,70
78,46
182,29
136,14
0
0
0
4,18
0
544,66
535,00
535,00
639,60
770,12
Sumber : Kementerian Keuangan, Agunan Samosir: 2012, *) Data APBN P 2012
Beberapa Masalah dalam Penyelenggaraan PSO PT KAI Ada beberapa masalah/ potensi masalah dalam pelaksanaan PSO KA Ekonomi di atas yang ditemukan di lapangan berpotensi merugikan PT KAI (bahkan negara) seperti: 1) Selama ini PT KAI harus menalangi terlebih dahulu biaya operasional KA Kelas Ekonomi karena rata-rata kontrak penugasan PSO dari Pemerintah (Kementerian Perhubungan) dilaksanakan pada awal semester dua setiap tahunnya. Sebagai contoh, penandatangan PSO pada tahun 2010 baru dilaksanakan pada 4 Agustus 2010 dengan nominal Rp535 miliar dan jumlah penumpang KA Ekonomi sebanyak 160.549.753 orang.3 Kondisi ini berpotensi menambah biaya PT KAI dalam penyelenggaraan PSO ini karena dana yang digunakan untuk menalangi boleh jadi didapatkan dari pinjaman pihak ketiga yang harus dibayarkan bunganya atau talangan dana tersebut didapatkan dari realokasi kebutuhan program/kegiatan PT KAI lainnya sehingga mengakibatan tersendatnya operasional PT KAI. 2) Terjadinya tabrakan regulasi pada penyelenggaraan PSO PT KAI (KA Ekonomi) pada tahun 2011 sehingga jumlah kursi yang dibiayai pemerintah berkurang 2,56 12 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
1) 2010 menjadi Gapeka 2011 sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Perkeretaapian tentang Gapeka tahun 2011 No: KA.407/SK.102/DJKA/10/2011 yang salah satu pasalnya menyatakan mencabut Gapeka 2010, dan peraturan ini mulai berlaku 1 Desember 2011 khusus untuk Kereta Listrik (KRL) Ekonomi. Perubahan Gapeka itu diterjemahkan dengan diterapkannya sistem loopline KRL Jabodetabek. Perubahan Gapeka ini yang mulai berlaku 1 Desember 2011 menimbulkan kerugian bagi PT KAI karena kontrak PSO tahun 2011 menggunakan Gapeka 2010 sehingga dampaknya perjalanan KRL Ekonomi mulai 1 Desember 2011 tidak dibayarkan. Hal ini menunjukkan terjadi tabrakan regulasi yaitu bila tetap menjalankan KRL Ekonomi sesuai kontrak PSO 2011 maka akan melanggar Gapeka 2011. Bila menjalankan KA sesuai Gapeka 2011 maka tidak sesuai dengan kontrak PSO 2011 sehingga sebagian dana PSO-nya tidak dibayarkan karena dana PSO tahun anggaran 2011 seharusnya diberikan Rp639,6 miliar (seperti pada tabel 1 untuk tahun 2011) tetapi realisasinya hanya Rp623,4 miliar (seperti pada tabel 2 untuk tahun 2011) atau tidak 3
http://www.kereta-api.co.id/informasi-media/berita-ka/250-meskipun-pso-belumdibayar-pt-kai-tetap-jalankan-ka-ekonomi.html).
UTAMA 1) terserap sebesar Rp16,2 miliar.4 Kondisi ini tentu saja akan merugikan PT KAI dalam jumlah kerugian yang tidak sedikit dan pada gilirannya akan mengganggu kesehatan keuangan perusahaan ini. 3) Adanya kebijakan pemerintah yang dianggap kurang mendukung performa PT KAI dalam penyelenggaraan PSO seperti kebijakan bahwa PT KAI hanya boleh mendapatkan margin dari penyelenggaraaan PSO maksimal sebesar 8 persen. Padahal, di sisi lain biaya yang digunakan untuk menutup working capital PT KAI (yang dibiayai dari dana pinjaman bank) ternyata bunganya sampai 10,5 persen. Jika kondisi ini dibiarkan maka akan berpotensi merugikan keuangan PT KAI.5
Subsidi (PSO) PT KAI untuk KA Ekonomi yang diberikan oleh Pemerintah adalah salah satu sumber penerimaan PT KAI yang digunakan untuk menutup beban/biaya operasi yang dikeluarkannya. Tabel 2 menunjukkan proporsi masing-masing sumber penerimaan PT KAI dan ringkasan laporan rugi/laba PT KAI khususnya tahun 2010 dan 2011. Tabel 2. Proporsi Penerimaan dan Ringkasan Laporan Rugi/Laba PT KAI Tahun 2010 - 2012 (dalam miliar rupiah)
2010
Masih Perlu kah PSO PT KAI (Penumpang KA EKonomi)?
Proporsi
Realisasi Dari Total Realisasi Dari Total (%)
(%)
Pendapatan
5.191,60
1. Pendapatan KA Penumpang
2.750,80
52.99
2.945,50
48.33
2. Pendapatan KA Barang
1.715,30
33.04
2.198,70
36.08
79,1
1.52
92
1.51
4. Pendapatan Usaha Non Angkutan
111,5
2.15
234,5
3.85
5. Subsidi Pemerintah (PSO)
534,8
10.30
623,4
10.23
3. Pendapatan Pendukung Angkutan KA
4) Dalam pelaksanaan pemberian PSO, PT KAI dan bahkan pihak manapun tidak dapat menjamin apakah penumpang yang naik KA Ekonomi yang dibiayai PSO adalah benar-benar orang yang berhak menerima bantuan subsidi/PSO tersebut. Pada prakteknya, penumpang yang mampu pun bisa ikut menikmati subsidi kereta kelas ekonomi ini. Hal ini disebabkan hampir setiap stasiun tidak memiliki alat atau media tertentu untuk memeriksa penumpang yang naik kereta adalah benar-benar penumpang yang berhak menerima subsidi (PSO) atau bukan. Siapa pun bebas keluar masuk stasiun (peron) terutama di stasiunstasiun yang tidak memiliki pintu monitoring dan pengawasan.6 Hal ini mengindikasikan bahwa PSO PT KAI bisa tidak efektif dalam pelaksanaannya karena bisa jadi tidak semua penumpang yang merupakan target PSO dapat memanfaatkannya tetapi di sisi lain sebagian penumpang yang bukan target PSO justru dapat memanfaatkannya.
2011
Proporsi
URAIAN
Beban/Biaya (Termasuk Pajak) Laba (Rugi) Bersih)
6.094,10
4.975,20
5.892,20
216,3
201,9
Sumber : Annual Report PT KAI Tahun 2011, h. 61 - 63, diolah;
Pada Tabel 2 terlihat bahwa proporsi PSO terhadap total pendapatan PT KAI untuk tahun 2010 dan 2011 adalah sekitar 10,23 persen s. d. 10,30 persen. Jumlah tersebut bisa dikatakan besar apabila PT KAI memang bisa mengoptimalkan usahanya dan mendapat margin dari kegiatan PSO ini serta dalam waktu yang sama tidak ada kejadian diluar rencana awal seperti terjadi revisi Gapeka, kontrak dilakukan pada awal waktu dan lain sebagainya. Namun, melihat beberapa kejadian yang digambarkan pada subbahasan nomor 3 maka pemberian PSO ini bisa berpotensi merugikan PT KAI karena tidak bisa menyerap seluruh PSO yang diberikan padahal biaya sudah terlanjur dikeluarkan oleh Perusahaan ini. Potensi kerugian lainnya adalah jika ada aturan pembatasan margin dari penyelenggaraan PSO padahal biaya/beban yang harus dikeluarkan bisa melebihi margin tersebut. Potensi terjadinya kerugian dari pelaksanaan PSO sebenarnya tidak hanya dari sisi PT KAI, tetapi juga dari sisi negara. Jika pelaksanaan PSO PT KAI (untuk KA Ekonomi ini) benar-benar tidak tepat sasaran (seperti diungkap pada subbahasan nomor 3 poin 4) maka negara akan dirugikan dalam jumlah yang cukup besar karena banyaknya uang/dana yang telah dikeluarkan oleh negara selama ini tidak dapat menjamin tercapainya target/tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan awal dari PSO (yaitu meyediakan barang/jasa bagi masyarakat yang tidak mampu membayarnya pada harga keekonomian) ini tidak akan tercapai karena dana dari program PSO ini banyak dinikmati oleh orang yang sebenarnya mampu dan tidak layak untuk menerima subsidi/PSO PT KAI. Inilah potensi risiko fiskal yang harus dimitigasi dari awal (perencanaan) hingga pada tahapan pelaksanaan program PSO ini. 4 5 6
http:// www.bisnis.com/articles/dana-pso-pt-kai-klaim-tak-terserap-akibat-tabrakanregulasi disarikan dari wawancara penulis dengan Direktur Keuangan PT KAI pada PT KAI 21 September 2012 disarikan dari Agunan Samosir dalam Prospek Perkeretaapian: PSO-IMO-TAC-BMNPSL: 2012
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 13
UTAMA Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa PSO Kereta Ekonomi PT KAI masih diperlukan (atau masih bisa diteruskan) apabila memenuhi syaratsyarat/kondisi sebagai berikut: 1)
2)
Target dari PSO ini diyakini dapat tercapai dengan efektif (tidak salah sasaran) sehingga tujuan dari diberikannya PSO ini akan tercapai. Jika salah sasaran (tidak efektif), PSO akan menimbulkan potensi kerugian bagi negara (risiko fiskal) dan Pemerintah harus membayar dana subsidi yang lebih tinggi dari yang seharusnya dibayar. Oleh karena itu pelaksanaan PSO ini harus didukung dengan sistem pengawasan dan monitoring yang baik. Pelaksanaan PSO tidak boleh berpotensi merugikan PT KAI, apalagi dapat menggerus modal perusahaan karena jika kondisi ini terjadi akan berdampak negatif juga kepada negara. Pemerintah harus menyuntikkan kembali dana/modal (dapat berupa penambahan PMN atau bentuk lainnya) kepada PTKAI untuk menyehatkan keuangannya.
3)
Adanya konsistensi dari kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kementerian Perhubungan) dalam rangka mendukung penyelenggaraan PSO ini baik dari sisi program maupun dari sisi anggarannya sehingga PSO ini dapat berjalan lancar dan seluruh anggaran PSO dapat terserap sesuai dengan rencana awal.
4)
PT KAI seharusnya diberikan kewenangan untuk menentukan margin yang sah dari penyelenggaraan PSO ini sehingga misi PT KAI sebagai salah satu BUMN yang menghasilkan profit dapat tercapai dengan baik pula. Namun demikian, pemberian kewenangan dijamin tidak akan merugikan masyarakat dan negara serta tidak melanggar peraturan yang ada.
5)
Tidak ada indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh PT KAI dalam penggunaan dana PSO, misalnya kasus suatu lokomotif yang dibiayai oleh dana PSO tetapi ternyata digunakan juga untuk menarik kereta komersial non-PSO. Jika hal ini terjadi maka akan berpotensi terhadap kerugian negara (risiko fiskal) kecuali kalau hal ini sudah disepakati terlebih dahulu dalam perjanjian Pelaksanaan PSO antara PT KAI dan Pemerintah.
Jika ada beberapa syarat/kondisi di atas tidak terpenuhi maka pelaksanaan PSO PT KAI perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan khususnya pada syarat/kondisi yang tidak terpenuhi tersebut. Namun, jika kelima kondisi di atas ternyata tidak terpenuhi semuanya dan sulit untuk diperbaiki maka pelaksanaan PSO PT KAI (Penumpang KA Ekonomi) harus segera dievaluasi keberadaannya dan jika perlu dicarikan format ulang untuk merivisi pelaksanaan pemberian PSO kepada PT KAI ini baik dari sisi regulasi, 14 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
kebijakan maupun target/objek PSO PT KAI. Bahkan suatu saat program pemberian PSO PT KAI bukan hanya untuk penumpang KA Ekonomi tetapi bisa juga diberikan dalam bentuk PSO untuk objek lainnya seperti PSO KA BarangBarang Khusus (Logistik). Di samping itu, jika PSO akan dinjau ulang terlebih dahulu, maka dana APBN yang semula dialokasikan ke PSO bisa dialihkan/direalokasikan dalam bentuk belanja modal untuk menstimulus kinerja PT KAI misalnya untuk melanjutkan pembangunan proyek doubel double track (Jakarta – Surabaya), dan lain sebagainya guna menunjang kinerja operasional PT KAI ke arah yang lebih baik.
Saran-saran yang dapat disampaikan 1.
Jika PSO PT KAI (untuk penumpang KA Ekonomi atau untuk apapun) akan dilakukan maka harus ada perencanaan yang matang terlebih dahulu sehingga pada kekeliruan pada tingkat pelaksanaan dapat diminimalisir seperti masalah pada terjadinya benturan regulasi dan kebijakan di atas. Pada sisi lain sistem pengawasan dan monitoring juga harus ditingkatkan agar tidak terjadi salah target/sasaran (tidak efektif). Yang terakhir, program ini harus didukung dengan sarana, prasarana (termasuk teknologi) yang handal sehingga kerugian negara (potensi risiko fiskal) dan potensi kerugian pada PT KAI dalam pelaksanaan PSO dapat dihindari bahkan sebaliknya program PSO ini dapat menstimulus potential gain baik bagi PT KAI maupun bagi negara (misalnya dengan bertambahnya pajak penghasilan atau bertambahnya deviden dari laba PT KAI).
2.
Pemerintah dapat mengalokasikan sebagaian dana APBN untuk mendukung kinerja PT KAI agar lebih baik misalnya dengan meneruskan program pembangunan proyek double double track (khususnya Rute JakartaSurabaya) agar tingkat ketepatan kedatangan dan keberangkatan KA yang selama ini ternyata masih cukup rendah seperti tergambar pada Tabel 3 dapat diatasi. Tabel 3. Rata-Rata Ketepatan Batang dan Berangkat Kereta Api Jenis Angkutan
2010
2011
Waktu Berangkat
77,0%
82,0%
Waktu Datang
24,0%
25,0%
Waktu Berangkat
28,0%
26,0%
Waktu Datang
30,0%
28,0%
Kereta Api Penumpang
Kereta Api Barang
UTAMA Dengan pembangunan proyek tersebut diharapkan tingkat ketepatan kedatangan dan keberangkatan KA (baik untuk KA penumpang maupun KA barang) akan membaik. Jika kondisi ini terwujud maka biaya yang harus dikeluarkan oleh PT KAI baik dalam operasi bisnisnya sehari-hari maupun dalam rangka pelaksanaan program PSO akan berkurang. 3.
Sebagai alternatif dari PSO untuk penumpang (jika program PSO ini dianggap tidak efektif dan efisien) atau sebagai pelengkap dari PSO yang telah berjalan maka Pemerintah perlu mempertimbangkan juga pemberian PSO PT KAI dalam bentuk/objek lain misalnya memberikan PSO khusus untuk angkutan barang (PSO KA Khusus Barang-Barang Tertentu/PSO KA Logistik). PSO dalam bentuk ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu di samping mudah dalam pengawasan dan monitoringnya (kemungkinan besar tidak salah sasaran) juga dapat berpotensi menstabilkan harga barang-barang/logistik tersebut di tempat tujuan karena KA angkutan barang mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan angkutan darat lainnya seperti digambarkan dalam Tabel 4. Pemberian PSO model ini bisa diberikan kepada pihak/perusahaan penerima barang yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya. Tentu saja PSO KA angkutan barang/logistik yang dimaksud adalah angkutan barang yang sangat dibutuhkan oleh orang banyak (terutama masyarakat ekonomi menengah ke bawah) seperti komoditas primer sehingga dengan pemberian PSO ini diharapkan akan menstabilkan harga dari barang-barang tersebut (tidak terjadi kenaikan harga yang signifikan) meskipun dikirim dari jarak yang cukup jauh. Sebagai ilustrasi, penulis membuat perbandingan angkutan barang yang dilakukan dengan kereta api dan yang dilakukan dengan kendaraan jalan raya (dalam hal ini truk) seperti dalam Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan Angkutan KA dan Angkutan Jalan Raya (Studi Kasus: Rute Jakarta – Surabaya)
Uraian
Kereta Api Angkutan Barang
Angkutan Jalan Raya (truk)
Waktu Tempuh PP
3,5 hari (a)
4,5 hari
(a) Jika sudah ada sarana double double track maka hanya 2,5 hari
1 gerbong= 3X truk (b)
1/3 gerbong KA barang
(b) Jika sekali berangkat 10 gerbong KA = 30 truk
Sangat efisien (c)
Boros
(c) Jika muatannya sama maka KA bisa 30X lebih efisien daripada truk
Sangat rendah
Sangat Tinggi (d)
(d) Karena biasanya menggunakan bensin atau solar dalam jumlah besar dan dengan tingkat emisi yang tinggi
Daya Tampung Penggunaan Bahan Bakar Tingkat Emisi
Keterangan
Sumber: Disarikan dari wawancara Penulis Dengan Direktur Keuangan PT KAI 21 September 2012.
Pelaksanaan PSO KA khusus angkutan barang (KA angkutan logistik) ini bisa dilakukan tidak hanya di pulau Jawa saja tetapi suatu saat bisa dilakukan juga di Pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya (jika sudah ada sarana dan prasarana KA-nya yang memadai).
blogspot.com
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 15
UTAMA
Revitalisasi Peran BULOG dan BEBAN FISKAL Oleh : Syahrir Ika1
Selama ini, BULOG tidak mungkin bisa bersaing dengan tengkulak, kalah lincah, kalah prosedur, dan kalah dana. Akibatnya, nama BULOG kian redup di mata petani. Tetapi, kehadiran tengkulak di tengah-tengah petani, sebaiknya juga jangan dikecam, bahkan harus disyukuri (Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN, 2012). Food and Agriculture Organization (FAO), Badan Pangan Dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, melaporkan bahwa dunia menghadapi ancaman krisis pangan. Ada dua indikator yang menguatkan pendapat ini, yaitu banyaknya penduduk dunia yang kelaparan dan kekurangan gizi. Menurut FAO, satu dari tiap 8 orang warga dunia saat ini atau sekitar 868 juta orang mengalami kelaparan. Dua pertiga dari jumlah orang kelaparan terdapat di 7 negara, yaitu Bangladesh, China, Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, dan Pakistan. Sementara itu, jumlah penduduk dunia yang mengalami kekurangan gizi (undernourished population) mencapai sekitar 1,2 miliar orang atau 17,6 persen dari 6,8 miliar penduduk dunia pada tahun 2010. Jumlah tersebut tersebar di Asia dan Pasifik (578 juta orang), Sub Sahara (239 juta orang), Amerika Latin dan Karibia (37 juta orang), dan selebihnya di negara-negara maju. Di Indonesia, persentase anak balita yang mengalami gizi buruk pada tahun 2010 mencapai sekitar 17,9 persen dari 12 juta anak balita atau sekitar 2,16 juta anak.2
Gejala adanya krisis pangan di Indonesia sudah muncul dalam beberapa tahun belakangan ini, antara lain areal sawah yang makin tergerus, jumlah petani yang terus berkurang, terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, banyaknya bendungan dan irigasi yang rusak, produktivitas pertanian yang kian menurun, nilai tukar petani yang rendah, serta krisis persediaan kedelai dan daging sapi. Di sisi lain, negeri ini memiliki sejumlah BUMN yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk mengelola pertanian dan pangan, salah satunya BULOG (Badan Urusan Logistik). Namun, BUMN-BUMN ini belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menjadikan Indonesia menjadi mandiri dalam urusan pangan. Bila produksi pangan menurun dan demi ketahanan pangan nasional, Indonesia lebih suka melakukan impor pangan, akibatnya neraca perdagangan pangan negatif. Lalu apa makna dari subsidi pangan, subsidi benih, subsidi pupuk, dan subsidi bunga kredit program, yang dialokasikan demikian besar dalam APBN setiap tahun?
Pemerintah Indonesia harus cepat merespon ancaman krisis pangan ini, antara lain dengan melakukan evaluasi secara menyeluruh atas semua kebijakan dan program yang dikeluarkan pemerintah di bidang pertanian dan pangan serta kapasitas kelembagaan (Kementerian dan BUMN) yang mendapat tugas PSO (Public Service Obligation) untuk mengelola sektor pertanian dan pangan.
Kini, pemerintah melakukan sebuah terobosan dengan merevitalisasi BULOG, setelah terjadi kasus krisis kedelai. Undang-Undang Pangan yang baru juga telah membuka gembok kepada pemerintah untuk melakukan hal itu. Ini
16 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
1 2
Peneliti Utama Pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI http://health.kompas.com/read/2011/01/12/07005986/5.Juta.Anak.Balita.Rawan.Gizi, diakses tanggal 5 Desember 2012.
UTAMA berarti babak baru bagi Indonesia untuk tidak selalu memberi 'karpet merah' kepada sang penguasa pasar pangan yang bernama 'liberalisasi pangan'. Pertanyaannya, apakah kebijakan merevitalisasi BULOG tersebut mampu meningkatkan peran BULOG sebagai stabilisator pangan nasional? Bagaimana BULOG bisa signifikan membantu petani kalau persoalan produktivitas yang menjadi wewenang Kementerian Pertanian dan BUMN lain (Sang Hyang Seri, Pertani, dan BUMN Pupuk yang tergabung dalam Pupuk Sriwijaya Holding) tidak ikut direvitalisasi? Bila kebijakan merevitalisasi BULOG (dan juga BUMN Pangan lainnya) membutuhkan tambahan anggaran yang harus dialokasikan dalam APBN, baik PMN (Penyertaan Modal Negara) maupun subsidi, bagaimana Kementerian Keuangan bisa memastikan bahwa dukungan kebijakan fiskal itu benar-benar efektif? Artikel ini mencoba untuk membahasnya.
MDGs (Millennium Development Goals) sebesar 15,5 persen. Penyebab utamanya adalah terbatasnya persediaan pangan, di samping penyebab lain seperti rendahnya pengetahuan masyarakat soal gizi dan pola asuh yang tidak benar5.
Bonus Sumber Daya Alam Belum Terkelola Secara Produktif Banyaknya jumlah penduduk kelaparan dan gizi buruk yang diuraikan di atas, sesungguhnya kondisi yang tidak diharapkan oleh pemerintah dan kita semua, mengingat Indonesia merupakan Negara agraris yang kaya akan sumber daya pangan dan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Dengan'bonus sumber daya alam' yang dimiliki Indonesia, sejatinya masyarakat Indonesia bebas dari kemiskinan, kelaparan dan gizi buruk. Kalaupun ada, jumlahnya tidak sebanyak yang dilaporkan FAO.
Siapa saja penduduk yang menderita kelaparan dan gizi buruk sebagaimana yang dilaporkan FAO? Prof. Mubyarto menyebut mereka adalah 'warga bangsa yang tidak berdaya'. Sementara Prof. Bustanul Arifin menyebut mereka adalah 'para petani miskin'. Berdasarkan terminologi ini, maka penduduk miskin di Indonesia yang menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) berjumlah sekitar 30 jutaan orang, merupakan golongan yang disebutkan FAO3. Mengingat sebagian besar mereka adalah petani, maka strategi paling ampuh untuk mengatasinya adalah memberdayakan dan memperbaiki kesejehteraan petani. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memilih strategi pro poor untuk memperbaiki kesejehteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak pada rakyat miskin. Program-program itu mencakup pemberian subsidi, bantuan sosial, PKH, PNPM Mandiri, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui program ini, Indonesia bisa menekan angka kemiskinan, dari 39,3 juta orang (17,7% penduduk) pada tahun 2006 menjadi 31,02 juta orang (13,33% penduduk) pada tahun 20104. Walaupun jumlah penduduk miskin berhasil ditekan, namun 31,02 juta orang miskin bukan merupakan jumlah yang kecil, apalagi bila jumlah penduduk miskin dihitung berdasarkan asumsi Garis Kemiskinan 2 US dollar per kapita per hari, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai sekitar 50-an juta orang. Suatu jumlah yang tidak kecil untuk ukuran sebuah negara (lihat Grafik 1). Sementara mengenai para balita yang terancam gizi buruk, jumlahnya makin menurun dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 17,9 persen pada tahun 2010. Bila ditambah dengan gizi parah yang mencapai 4,9 persen, maka secara keseluruhan (gizi parah+gizi buruk) mencapai sekitar 21,8 persen. Angka gizi buruk ini masih berada di atas target
mostlyjakarta.com
Fokus pada Pemberdayaan Petani
Grafik 1. Proporsi Penduduk Dengan Tingkat Pendapatan di Bwah 1 USD/Kapita/Hari, 2 USD/Kapita/Hari, dan Garis Kemiskinan Nasional 58,1
70
61,74 54,11
60
52,32 50,11
39,3
35,1
15,97
37,17
17,75
34,96
16,58
15,42
32,53
14,15
50 40
31,02
13,3
30,02
30 20
12,49
10 0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Namun, fakta menunjukkan hal yang paradox bahwa bonus sumber daya alam belum bisa diolah secara produktif. Dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat produksi pangan selalu berada di bawah kebutuhan, akibatnya impor pangan dipilih sebagai solusi untuk menutup gap tersebut demi melindungi rakyat dari krisis pangan (lihat Grafik-2). Lama kelamaan, impor pangan menjadi hal yang rutin (misinya tidak lagi sebagai katup pengaman stok pangan) dan sulit direm. 3
4 5
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Dunia pers lebih suka pakai istilah "busung lapar" meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap "lapar" banyak zat gizi lainnya (http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5169&coid=2&caid=30&gid=), diakses tanggal 5 Desember 2012. Nota Keuangan dan APBN 2012, halaman II-15, Kementerian Keuangan RI. Nila Moeluk, Duta MDGs Indonesia, sebagaimana dikutip Bunga Pertiwi Adek Puteri dalam artikel bertajuk 'Pemda Tidak Optimal Atasi Gizi Buruk', Media Indonesia 19 Oktober 2012.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 17
UTAMA Akibatnya, neraca perdagangan pangan menjadi negatif. Trend ini makin meningkat ketika IMF (International Monetary Fund) mendesak Indonesia untuk mempersempit peran BULOG pada tahun 1998. BULOG yang pada pemerintahan Soeharto berperan sebagai buffer stock pangan yang tidak boleh mengejar keuntungan dan juga tidak boleh rugi, kini lebih fokus mengejar keuntungan, karena status BULOG yang berubah dari LKND (Lembaga Kementerian Non Departemen) menjadi BUMN berbentuk Perusahaan Umum (Perum) yang secara konstitusi diwajibkan mencetak laba.
Grafik 2. Perkembangan Rata-rata Harga Gabah Menurut Kelompok Kualitas di tingkat Petani Oktober 2010-Oktober 2011
Grafik 2. Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Nasional
Sumber : BPS2 dan *USDA3, 2011 (diolah)
Produksi dan produktivitas pertanian yang sulit sekali meningkat dan impor pangan yang terus meningkat, membuat Indonesia semakin sulit mewujudkan swasembada pangan (beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, susu, dsb.). Selain itu, banyak studi menyimpulkan bahwa subsidi pertanian yang dialokasikan dalam APBN kurang efektif mencapai sasarannya. Hal ini antara lain terlihat dari nilai tukar petani yang dalam 3 tahun terakhir cenderung impas (lihat Tabel 1).
Membiarkan impor pangan terus menerus merupakan langkah mundur yang bisa membahayakan negeri ini. Tidak saja petani, tetapi juga konsumen Indonesia pada umumnya. Membiarkan BUMN-BUMN Pangan mencetak laba, tetapi banyak penduduk masih miskin, apalagi lapar dan gizi buruk, bukan saja tidak pahit, tetapi juga menggambarkan sasaran kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan fiskal, tidak tercapai. Karena itu, perlu perubahan paradigma dalam mengelolaan pangan, dan pemerintah sudah memulainya. Pertama, pemerintah telah merevisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dan diganti dengan UU yang baru (UU Nomor 18 Tahun 2012). UU ini memberikan harapan baru bagi pengembangan pertanian dan pangan, serta perlindungan kepada kepentingan petani, bahkan memberi
Tabel 1. Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (2007=100) Uraian
Desember 2009
Januari 2010
Perubahan Desember 2009-2010 2010
Januari 2011
Perubahan 2010-2011
Indeks Harga yang Diterima Petani *)
118,81
120,74
1,62
131,83
133,53
1,29
Indeks Harga yang Dibayar Petani **)
123,00
124,23
Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan ***)
96,60
97,19
1,00
132,32
133,47
0,87
0,61
99,63
100,04
0,41
Keterangan: *) Rata-rata harga produsen dari hasil produksi petani (pendapatan) **) Rata-rata harga eceran barang atau jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani (biaya) ***) NTP< 100, merugikan petani. Sumber : BPS (www.bps.go.id), diakses tanggal 22 November 2012, diolah
Di mana letak akar masalahnya, apakah karena biaya pokok produksi benih dan pupuk yang terlalu mahal (inefisiensi di BUMN Pangan) ataukah ada kendala dalam sistem distrisbusi yang menyebakan petani tidak menikmati subsidi atau dampak pasar pangan yang terlalu liberal. Data pada Tabel 1 dan Grafik 2 memberikan gambaran tentang stabilisasi harga beras. Apabila pemerintah intervensi terhadap harga beras, maka petani akan memperoleh margin (walaupun tipis), di sisi lain para konsumen, termasuk petani pada musim kemarau, mampu membelinya. Revitalisasi peran BULOG harus mengarah kesini untuk semua produk pangan strategis. 18 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
ruang untuk merevitalisasi peran BUMN-BUMN pangan, khususnya BULOG. Bila UU Nomor 7 Tahun 1996 sangat kental dengan liberalisasi, maka pada UU Nomor 18 Tahun 2012, unsur liberalisasi sudah mulai berkurang. Kedua, berbagai kasus kelangkaan pangan seperti kedelai, gula, jagung dan daging sapi, semakin mendesak pemerintah untuk merevitalisasi atau memperluas peran BULOG. Ketiga, walaupun belum menjadi kebijakan, tetapi wahana cerdas yang dilontarkan Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan6, tentang 'kemungkinan penggabungan 6
Lihat bukunya berjudul “Manufacturing Hope Bisa, Kompas Gramedia,2012, halaman 129.
UTAMA BUMN-BUMN pangan dalam satu BUMN', akan membuka jalan bagi upaya untuk memperkuat ketahanan dan kedaualatan pangan nasional, sekaligus mengurangi kualitas ancaman krisis pangan di Indonesia.
Pangan Kuat, Negara Kuat Pangan merupakan kebutuhan pokok masyarakat, bahkan menjadi hak azasi setiap individu7. Bila terjadi krisis atau kelangkaan pangan, maka bisa berimplikasi pada timbulnya gejolak sosial-politik, bahkan dapat mengganggu stabilitas keamanan suatu Negara. Pengalaman di beberapa Negara menujukkan bahwa krisis pangan bisa menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Revolusi Prancis pada tahun 1789 yang berakhir dengan jatuhnya Raja Louis XVI, terjadi akibat kelangkaan roti. Di Amerika Latin, Pemerintah Haiti ambruk pada tahun 2008 karena kelangkaan beras. Presiden Tunisia (Zine el-Albidine Ben Ali) dan Presiden Mesir, Hosni Mubarak, juga jatuh karena kelangkaan gandum. Hubungan antara pangan dan negara diungkapkan dengan tegas oleh Ir. Soekarno. Menurut Presiden pertama Republik Indonesia ini, 'pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa. Bila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, maka malapteka. Karena itu, perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner'8. Karena itu, negara harus menjaga stabilitas pangan agar masyarakat memiliki akses terhadap pangan, baik jumlah maupun kualitas. Negara harus mencampuri urusan pangan, karena menyerahkan pangan ke mekanisme pasar (liberalisasi) yang terlalu bebas kendali, akan mempercepat datangnya krisis pangan dan menggoncangkan negara. Karena itu, ketika merancang UUD 1945, para pendiri Republik Indonesia telah menetapkan landasan hukum yang tegas untuk menjadi pedoman generasi berikutnya bahwa 'bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara' (pasal 33 ayat 3). Pengelolaan sumber daya alam, termasuk pangan, yang tidak mengindahkan ketentuan dalam pasal 33 UUD 1945, bisa dinilai sebagai pelanggaran terhadap konstitusi. Pemerintah sekarang perlu belajar bagaimana cara mengurusi pangan yang dilakukan Presiden Soeharto, di mana keberpihakan pemerintah kepada petani cukup besar. Pertama, Trilogi Pembangunan, yang mengutamakan 8 jalur pemerataan, di mana banyak sekali program (gerakan) pemerintah yang diarahkan untuk membangun sektor pertanian, baik intensifikasi maupun ekstensifikasi (lihat Box 1). Kedua, penyuluhan pertanian yang dilakukan secara efektif oleh Departemen Penerangan dan Dapertemen Pertanian, dibantu oleh para Gubernur dan Bupati, bahkan juga Perguruan Tinggi Negeri se Indonesia. Ketiga, Persiden Soeharto membentuk Badan Urusan Logistik (BULOG) yang kedudukannya langsung di bawah Presiden9. BULOG
mendapat tugas untuk mengendalikan harga bahan-bahan pokok, memonitor dan mengendalikan harga bahan-bahan pokok, serta menjadi importir pangan tertentu untuk keperluan cadangan penyangga. Keempat, pemerintah lebih banyak mengatur barrier atau mendiscourage impor dibanding mendiscourage ekspor. Hasilnya antara lain Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984an, neraca perdagangan pangan selalu surplus, dan kesejehteraan petani cukup memuaskan.
Dampak Liberalisasi Pangan Perlu Diatasi dengan Baik Paradigma pengelolaan pertanian dan pangan paska kejatuhan Soeharto mengalami perubahan ke arah liberalisasi. Ini terjadi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1998, di mana untuk memulihkan ekonomi dari krisis, Indonesia perlu bantuan dari luar negeri di atas Rp600 triliun. Secara politik international, tidak pernah ada bantuan yang gratis. Sebenarnya, sudah lama IMF (dan Bank Dunia) menanti timing yang tepat untuk mendesak Indonesia melaksanakan liberalisasi perdagangannya atau membuka ekonominya lebih luas, termasuk di bidang pangan. Akhirnya, timing itu datang juga ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1998. Pintu proteksi pangan akhirnya jebol saat IMF (International Monetary Fund) mengatakan siap membantu Indonesia untuk memulihkan ekonomi dari krisis. Bantuan sebesar Rp650 triliun dilontar ke pemerintah dengan syarat, antara lain pemerintah Indonesia harus menerapkan liberalisasi perdagangan, termasuk pangan. Salah satu bentuk desakan IMF adalah merubah status BULOG, dari Lembaga Kementerian Non Departemen (LKND) menjadi Perusahaan Umum BUMN (Badan Usaha Milik Negara). IMF juga mendesak pemerintah agar peran buffer stock pangan yang dilakukan BULOG, hanya untuk beras, sementara pasar produk pangan lainnya (gandum, jagung, kedelai, daging sapi, dll) diserahkan ke mekanisme pasar. Ternyata implikasinya cukup signifikan. Lahan pertanian sawah di Jawa semakin tergerus, begitu juga infrastruktur irigasi yang telah dibangun secara pesat pada masa Orde
7 8
9
Hal ini tersirat dalam Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan Statement Soekarno ini dikutip dari artikel Dewi Aryani berjudul “Krisis Pangan, Krisis Regenerasi”, Seputar Indonesia, 17 Oktober 2012, halaman 7. BULOG dibentuk dengan KEPPRESKAB No. 114/U/KEP pada bulan Mei 1967. Tugas pokok BULOG adalah menyelenggarakan koordinasi penyediaan dan penyaluran bahan pokok serta penyediaan dan penyaluran beras bagi pegawai negeri dan ABRI. Melalui Keppres Nomor 11 Tahun 1969, tugas pokok ini disempurnakan, yaitu membantu usaha stabilisasi harga 9 bahan pokok; menggerakkan usaha perdagangan, pengolahan, pergudangan, dan standardisasi kualitas beras; serta melakukan koordinasi pelaksanaan penyediaan dan penyaluran komoditas non beras dalam rangka stabilisasi harga pada umumnya.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 19
UTAMA Baru tidak terpelihara dengan baik (Khudori 2008)10. Minat petani untuk meningkatkan produksi pertanian menjadi menurun, bahkan sejumlah petani malah mengalihkan usaha mereka ke usaha non-pertanian. Terjadilah gap antara persediaan dan permintaan pangan, dan gap ini kemudian ditutup dengan cara impor. Tidak kurang dari 52 produk pangan harus diimpor Indonesia setelah kran impornya dibuka (dipermudah) pemerintah. Pada tahun 2012 ini, Indonesia menghadapi dua krisis di bidang pangan, yaitu krisis kedelai dan krisis daging sapi. Krisis kedelai dipicu oleh kegagalan panen kedelai di Amerika Serikat, dimana sekitar 90 persen kebutuhan kedelai Indonesia bergantung pada kedelai dari AS. Sementara, krisis daging sapi terjadi karena kuota impor daging sapi dari Australia dan New Zealand diturunkan pemerintah secara bertahap untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014. Persoalannya adalah produksi sapi dalam negeri kurang berkembang, akibatnya harga daging sapi melonjak11. Harga daging sapi di Pusat Pasar Medan misalnya, merangkak naik sejak Idul Fitri, mulai dari Rp70.000 per kg menjadi Rp73.000 per kg, kemudian naik lagi menjadi Rp83.000 per kg. Bahkan di Jakarta, harga daging sapi di pasaran hampir menembus Rp100.000 per kg. Margin yang diperoleh pedagang sapi makin menurun akibat harga pembelian daging sapi yang terlampau mahal. Begitu juga dengan beras, yang merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Pertumbuhan produksi beras yang melambat, mendorong pemerintah harus mengamankan pengadaan beras melalui impor dari Vietnam, Kamboja, dan India12. Walaupun dalam kurun waktu lima tahun terakhir, produksi beras Indonesia telah memenuhi rasio kebutuhan konsumsi masyarakat (per Oktober 2012 mencapai 38 juta ton atau 4 juta ton lebih banyak dari konsumsi beras di Indonesia yang hanya mencapai 34 juta ton per tahun), tetapi impor beras masih diperlukan untuk program RASKIN (Beras Untuk masyarakat Miskin) sebesar tiga juta ton13.
jual yang menguntungkan, dan tetap berminat menjalankan usaha sebagai petani. Selain melakukan impor beras, BULOG juga akan diberi tugas menjadi monopoli impor kedelai, bahkan mungkin jagung, gula, dan daging sapi. Bila kesanggupan BULOG dalam impor kedelai tersebut terbatas, maka pemerintah memberi kesempatan kepada pihak swasta melakukan impor kedelai. Pilihan-pilihan kebijakan ini mempertimbangkan status BULOG sebagai BUMN yang harus mencetak laba, disamping harus menjalankan PSO secara efektif. Tarik menarik dua kepentingan ini membuat peran BULOG tetap lemah walaupun sudah direviltalisasi. Karena itu, ada pemikiran dari sejumlah pakar ekonomi untuk mengembalikan status BULOG seperti pada era pemerintahan Soeharto, di mana misi BULOG tidak mencari untung, tetapi juga tidak boleh rugi. Bila BULOG dibiarkan tetap sebagai BUMN, apakah Perum atau Persero yang fokus pada mencari untung, maka ada kemungkinan petani dan rakyat bisa menjadi korban. Premis yang rasional adalah bila BULOG sukses mencetak laba bersih, maka petani juga harus naik kelas menjadi tidak miskin dan memenuhi syarat gizi. Tiga indikator ini memberikan gambaran bahwa kebijakan fiskal (subsidi pangan) efektif.
2. Merevitalisasi Sistem Pangan Nasional Persoalan pangan bukan saja persoalannya petani, tetapi juga persoalannya seluruh rakyat Indonesia sebagai konsumen. Karena itu, merevitalisasi peran BULOG tanpa merevitalisasi sistem pangan nasional, tidak akan menghasilkan perbaikan yang signifikan. Mengapa merevitalisasi sistem pangan nasional merupakan kebijakan yang penting? Karena perhatian BULOG lebih fokus pada urusan stabilisasi harga pangan melalui manajemen logistik. 10
Solusi kemandirian pangan dan pencegahan krisis pangan Untuk mengatasi persoalan-persoalan pangan tersebut, exit strategy untuk mencari solusi bagi kemandirian pangan dan pencegakan krisis pangan adalah sebagai berikut.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46793/201 1nur_bab%20II.%20 Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=7 11
1. Merevitalisasi Peran BULOG Peran BULOG harus diperkuat. Sebagai BUMN, BULOG tetap melakukan fungsi-fungsi komersial, disamping juga menjaga stabilitas harga pangan dan menjalankan tugas PSO (Public Service Obligation) antara lain menyalurkan RASKIN. BULOG melakukan impor pangan bila stok pangan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan. BULOG membeli pangan dari para petani bila terjadi suplus produksi di tingkat petani, sehingga petani bisa memperoleh harga 20 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Buruknya infrastruktur irigasi tidak saja disebabkan anggaran pemerintah yang terbatas, melainkan juga arah kebijakan infrastruktur yang kurang berpihak pada infrastruktur pertanian. Pada infrastruktur Summit tahun 2005 misalnya, pemerintah mentrasaksikan sebanyak 24 proyek infrastruktur (mencakup 17 proyek jalan tol, dua proyek pipa gas, empat proyek pengadaan air, dan satu proyek pembangkit listrik, dengan total investasi mencapai 6 miliar dolar AS), akan tetapi sebagian besar proyek tersebut diarahkan untuk orang kota (Khudori, 2008).
12
Penyebabnya adalah rendahnya minat investor untuk melakukan pembibitan sapi, para peternak melakukan pembibitan sapi dengan cara konvensional sehingga hasilnya kurang optimal. Studi yang dilakukan Marsetyo (2011, dalam Toto Subandriyo, 2012) menunjukkan bahwa jarak waktu beranak (calving interval) sapi Bali masih berkisar 1518 bulan, calving rate sekitar 15%, tingkat kematian anak 18%, dan kematian induk 2,7%. Pemerintah Indonesia telah menandatangani kesepakatan untuk membeli beras dari Kamboja dengan volume 100.000 ton per tahun untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Kesepakatan itu ditandatangani oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan dan Menteri Perdagangan Kamboja Cham Prasidh pada Pertemuan ke-44 Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN di Siem Reap, Kamboja (http://www.antaranews.com/berita/329890/indonesia-impor-beras-kamboja-100000tontahun
13
Kepala Badan Ketahanan Pangan Republik Indonesia, Ahmad Suryana, http://www.tempo.co/read/news/2012/11/11/090441092/Surplus-Pemerintah-MasihTetap-Impor-Beras
UTAMA
BULOG tidak diberi peran untuk mengelola produksi pertanian, dan memperhitungkan implikasi dari aktivitas impor pangan terhadap kelangsungan usaha petani. Berdasarkan tupoksi, urusan produksi pertanian dan urusan nasib petani merupakan urusan Kementerian Pertanian, bukan urusan BULOG. Terlepas dari masalah tupoksi, ini menujukkan ada persoalan di bidang kelembagaan pangan. Masing-masing lembaga pemerintah menujukkan ego sektoralnya. Kementerian Pertanian menolak klaim publik sebagai Kementerian yang gagal meningkatkan produksi pangan yang mengakibatkan produksi beras dan pangan strategis lainnya tidak mencukupi kebutuhan. Kementerian Pertanian merasa sukses karena target produksi yang dijanjikan dalam APBN bisa dicapai bahkan terlampaui. Bahwa jumlah produksi tersebut tidak mencukupi kebutuhan, itu bukan merupakan urusan Kementerian Pertanian, melainkan urusan Kementerian lain. Kementerian Perdagangan punya pandangan sendiri. Intansi ini menolak klaim publik sebagai Kementerian yang gagal karena mendorong impor pangan dan memboroskan devisa. Instansi ini akan membela diri atau berargumen bahwa impor dilakukan untuk memenuhi tingkat permintaan pangan dalam negeri dan sekaligus menjaga stabilitas harga pangan. Bila impor pangan (beras misalnya) tidak dilakukan, maka konsumen akan terbebani tambahan biaya untuk membeli beras dengan harga yang mahal, yang pada ujungnya bisa mengganggu stabilitas politik dalam negeri sebagaimana yang telah terjadi di beberapa negara. Lempar-melempar tanggung jawab ini terlihat jelas pada kasus kelangkaan kedelai. Dalam kasus kedelai,
ketergantungan pada impor kedelai tidak memotivasi petani untuk menanam kedelai. Impor kedelai dalam jumlah yang besar mendorong harga kedelai dalam negeri menjadi rendah, di sisi lain biaya produksi kedelai berada di atas harga pasar kedelai, sehingga tidak memotivasi petani untuk menanam kedelai. Langkahnya kedelai akibat gagal panen di AS telah mendorong pedagang tahu dan tempe berdemonstrasi di depan Istana Presiden, dan kedua produk pangan ini sempat hilang beberapa hari di pasaran. Pada akhirnya, Kementerian Keuangan harus turun tangan untuk mengantisipasinya –cegah risiko politik- dengan membebaskan Bea Impor kedelai dari sebelumnya 5 persen. Dalam kasus ini, posisi Kementerian Keuangan sepertinya lemah, hanya menunggu umpan balik dari kejadian krisis, padahal Kementerian Keuangan memegang kendali 'Kebijakan Fiskal'. Menurut penulis, sesuai dengan kewenangan fiskalnya, Kementerian Keuangan harus memantau risiko yang terjadi di sektor pangan, sehingga bisa mengambil langkah antisipatif sebelum krisis pangan terjadi.
3. Dukungan Kebijakan Fiskal Pemerintah megalokasikan anggaran subsidi yang disalurkan melalui BUMN-BUMN pangan untuk menghasilkan varietas-varietas unggul dan pupuk yang memadai untuk mendorong produktivitas pertanian. Jumlah anggaran subsidi pertanian meningkat dari tahun ke tahun (lihat Grafik 3). Dari sisi output kebijakan, bisa dinilai efektif karena para peneliti di Kementerian Pertanian, LIPI, BPPT, dan BATAN berhasil menemukan vaietas-varietas baru dan benih unggul. Namun, fakta menunjukkan bahwa produktivitas pertanian tidak meningkat (lihat Grafik 4). INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 21
UTAMA Dalam pandangan Menteri Negara BUMN, rendahnya produktivitas itu terjadi karena petani tidak punya uang untuk membeli benih unggul. Atau tidak punya uang untuk membeli pupuk tepat pada waktunya. Pemupukan yang tidak tepat waktu membuat pupuk tidak efektif14. Fakta lain menunjukkan bahwa penderita gizi buruk masih cukup banyak (sekitar 4,9 persen)15, jumlah orang kelaparan juga masih banyak (sekitar 17,9 persen menurut perkiraan BPS tahun 2010)16, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih terpuruk (di urutan 124 dari 187 Negara menurut survei UNDP)17. Hal ini memberikan gambaran bahwa dukungan fiscal berupa berbagai bentuk susbidi yang dialokasikan dalam APBN untuk mendukung program peningkatan produksi pangan dan kesehteraan petani, belum mencapai sasaran. Ketidakcapain outcome kebijakan fiskal ini menimbulkan tekanan terhadap belanja Negara yang sudah tentu berpotensi meningkatkan risiko fiskal. Grafik 3. Perkembangan Subsidi Pertanian di Indonesia, 2006-2011 40 35 30 Subsidi
25 20 15 10 5 0
2011 (APBNP)
2006
2007
2008
2009
2010
Subsidi Benih (triliun rupiah)
0,13
0,47
0,98
1,59
2,17
0,12
Subsidi Pangan (triliun rupiah)
5,32
6,58
12,09
12,98
15,15
15,26
3,2
6,3
15,2
18,3
18,4
18,8
Subsidi Pupuk (triliun rupiah)
Juta Ha dan Juta Ton
Grafik 4 .Luas Panen Padi , Produksi Padi, dan Produkvitas Padi 70.000.000
51
60.000.000
50 49
50.000.000
48
40.000.000
47
30.000.000 46
20.000.000
3. Revitalisasi Sistem Pangan a. Sistem Produksi Pangan Produksi pangan di Indonesia mengalami perkembangan yang lamban. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa masalah seperti menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian19 dan terbatasnya infrastruktur penunjang pertanian seperti waduk. Dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber air yang berasal dari waduk hanya mencapai 11 persen (797.971 ha), sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari non-waduk. Kondisi ini menyebabkan layanan irigasi terganggu dan cadangan untuk mengatasi risiko kekeringan tidak memadai. Masalah lain yang mempengaruhi produksi pangan adalah lambannya alih teknologi, terbatasnya akses petani, baik terhadap input pertanian seperti informasi harga, informasi penyedaiaan bibit dan pupuk serta permodalan yang murah dan cepat. Pada era Orde Baru, problema ini diatasi pemerintah dengan menyalurkan Kredit Usaha Tani (KUT), tetapi karena mengelolaannya tidak baik, maka program ini melahirkan kredit macet sekitar Rp 5 triliun, yang hingga saat ini belum terselesaikan. Pemerintah kemudian
45
10.000.000
44
0
43 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011 (Ramalan III)
Luas Panen (Ha)
11.839.060
11.786.430
12.147.637
12.327.425
12.883.576
13.253.450
13.224.379
Produksi (ton)
54.151.097
54.454.937
57.157.435
60.325.925
64.398.890
66.469.394
65.385.185
45,74
46,2
47,05
48,94
49,99
50,15
49,44
Produktivitas (kw/ha))
kerjasama BUMN dengan petani yang tidak mampu menggarap sawahnya secara maksimal yang menghasilkan produktivitas per hektar yang rendah. BUMN lah yang mengerjakannya dengan sistem korporasi, karena BUMN memiliki benih, memiliki pupuk, mimiliki mesin pertanian, memiliki tenaga ahli dan memiliki dana, sehingga dapat membuat sawah-sawah tersebut menjadi lebih produktif. BULOG sendiri memiliki 1.575 gudang serta jaringan-jaringan distribusi pangan yang tersebar di seluruh pelosok daerah di Indonesia18. Konsep inilah yang kemudian memunculkan adanya pemikiran untuk menggabungkan BUMN-BUMN tersebut ke dalam satu BUMN pangan yang kuat.
14 15
http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DA TA_KESEHATAN_INDONESIA_TAH UN_2011.pdf, diakses tanggal 17 Oktober 2012 16
Keterkaitan fungsi antar BUMN pangan inilah yang mendorong munculnya gagasan perlunya tiga BUMN terjun ke petani secara langsung. Misalnya petani membayarnya utang benih dan/atau pupuk ke BUMN dengan cara 'yarbah' atau dibayar dengan gabah, lalu oleh ketiga BUMN tersebut menyerahkan gabah kepada BULOG. Dengan demikian, menurut Dahlan Iskan, BULOG tidak perlu bersaing dengan tengkulak di lapangan. BULOG juga tidak perlu membeli terlalu banyak dari pedagang. Bila sistem 'yarbah' ini belum cukup, maka pemerintah menurut Dahlan Iskan, masih memiliki dua program besar lainnya di bidang pangan, yaitu mencetak sawah baru sebesar 100.000 hektare di Kalimantan Timur dan gerakan ProBeras, yang merupakan 22 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Opcit halaman 128. Ada 7 Propinsi yang angka gizi buruknya melebihi 7 persen, yaitu Gorontalo (11.1%), NTB (10,8%), Papua Barat (9,1%), NTT (9%), Maluku (8,3%), Sumatera Utara (7,8%), dan Aceh (7,1%).
Pada tahun 1989, jumlah penduduk miskin yang menderita kelaparan sebesar 31%. Sementara pada tahun 2010, realisasi jumlah penduduk yang menderita kelaparan sebesar 17,9%. "Target kita pada tahun 2015 kita bisa menurunkan penduduk menderita kelaparan menjadi 15,5 persen," kata Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) Happy Hardjo. http://finance.detik.com/read/2011/12/15/114440/1791806/4/hingga-2015-ada-155penduduk-ri-rawan-kelaparan
17
18
19
http://www.thejakartapost.com/news/201 1/11/02/indonesia-ranks-124th-201 1-humandevelopment-index.html , diakses tanggal 17 Oktober 2012 Hal itu disampaikan Dirut BULOG, Sutarto Alimoeso, pada diskusi 'Menatap Lembaga Stabilisator Pangan Masa Depan', di Bogor-Jawa Barat, tanggal 3 Desember, yang diutip Harian Rakyat Merdeka, 4 Desember 2012, tajuk : Perum BULOG Siap Jadi Stabilisator Pangan'. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton, lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
UTAMA menggantikanya dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR)20, akan tetapi sebagian besar dana KUR justeru diserap oleh para pedagang, sedikit sekali yang diserap para petani. Selain subsidi kredit program, pemerintah juga mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk subsidi pangan, subsidi pupuk21, dan subsidi benih22, walaupun jauh lebih kecil dibandingkan dengan subsidi energi (lihat Tabel 3). Tabel 3. Perkembangan Subsidi 2006, 2008, dan 2011 (miliar rupiah) 2006
2008
Energi (BBM+Listrik)
Uraian Subsidi
94.065,40
223.013,20
195.288,70
Non Energi
12.826,40
52.278,10
41.906,00
1. Pangan
5.320,20
12.095,90
15.267,00
2. Pupuk
3.165,70
15.181,50
18,803,0
3. Benih
131,1
985,2
120,3
1.795,00
1.729,10
1.849,40
4. PSO
2011 (APBN-P)
286,2
939,3
1.866,20
6. Minyak Goreng
-
103,3
-
7. Kedelai
-
225,7
-
1.863,80
21.018,20
4.000,00
5. Bunga Kredit Program
8. DTP 9. Subsidi Lainnya Jumlah
264,4
-
-
107.431,80
275.291,40
237.194,70
Sumber : Nota Keuangan dan APBN 2012, Kementerian Keuangan RI *) Selama tahun 2006 hingga 2011, Pemerintah hanya sekali mensubsidi kedele, yaitu tahun 2008
Liberalisasi pangan tidak harus membuat Indonesia menjadi takut melakukan proteksi terhadap produk pertanian Indonesia, karena Negara-negara maju yang menyerukan liberalisasi perdagangan justeru melakukan proteksi yang lebih hebat terhadap produk pertanian mereka. Pemerintah Jerman misalnya, setiap tahun memberikan subsidi kepada petani yang memiliki lahan rata-rata 50 hektar. Sementara Pemerintah Amerika Serikat menggelontorkan dana sebesar 30 miliar dollar AS untuk tanaman jagungnya ketika negeri itu dilanda kekeringan. Begitu juga Pemerintah China, menerapkan kebijakan stabilisasi harga pangan (subsidi), yang mereka sebut Governor Grain Bag, dengan tujuan menstabilkan harga pangan. Sementara Pemerintah India. pada tahun 2010 menghabiskan sekitar US$12 miliar atau 1% dari produk domestik bruto (PDB) untuk membiayai program subsidinya. b. Cegah Strategi Aksi Akuisisi Lahan Pertanian
sumber daya air di dalam negeri, tetapi memiliki dana berlimpah, seperti Timur Tengah, Korea Selatan, atau Jepang, serta negara berpenduduk besar, seperti China dan India, beberapa negara maju di Eropa dan Amerika Utara24. Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi adalah dua negara Timur Tengah yang paling agresif mengakuisisi lahan pertanian di negara berkembang. Menurut Bank Dunia, kedua Negara tersebut sudah menguasai lebih dari 2,8 juta hektar lahan, sebagian besar di Indonesia, Pakistan, dan Sudan. UEA juga memiliki proyek produksi pangan berskala besar di Kazakhstan dan mengakuisisi 800.000 acre di Pakistan, dan kini tengah dalam tahap negosiasi untuk membeli lebih banyak lagi lahan pertanian di Afrika, Vietnam, Kamboja, dan Amerika Selatan. Sementara Arab Saudi sudah membeli 500.000 hektar lahan pertanian di Tanzania dan sedang bernegosiasi dengan Pakistan untuk menyewa lahan pertanian seluas kira-kira dua kali luas daratan Hongkong. c. Cegah Konversi Lahan Pertanian Menurunnya prospek usaha di sektor pertanian telah membuat banyak petani mengalihkan usaha mereka ke usaha non-pertanian. FAO (Food and Agriculture Organization) melaporkan bahwa konversi lahan untuk kebutuhan non-pertanian di Indonesia mencapai sekitar 100 ribu hektar per tahun25. Sementara data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non sawah mencapai 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun26. Bila diasumsikan konversi lahan mencapai rata-rata 100 ribu 20
Subsidi pupuk adalah alokasi anggaran pemerintah untuk menanggung subsidi harga pupuk, yaitu selisih antara harga subsidi dan harga non subsidi. Yang dimaksudkan dengan harga subsidi adalah harga eceran tertinggi (HET), sementara harga non-subsidi adalah harga pokok penjualan (HPP) pupuk. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan petani untuk membeli pupuk dalam jumlah yang sesuai dengan dosis anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi sehingga produksi pangan (beras) dan laba usahatani meningkat. Sasaran penerima subsidi adalah petani, pekebun, dan peternak, yang mengusahakan lahan garapan paling luas 2 ha setiap musim tanam per keluarga petani dan pembudidaya ikan dan/atau udang paling luas 1 ha.
22
China misalnya, jumlah petani mereka mencapai sekitar 40 persen petani dunia, akan tetapi hanya memiliki sembilan persen lahan yang cocok ditanami. Karena itu, pemerintah China mendorong perusahan-perusahaan domestiknya untuk membeli lahan pertanian di Afrika dan Amerika Selatan untuk menjamin keamanan pangan mereka dalam jangka panjang23. Negara-negara yang diincar China bukan hanya negara berlahan subur seperti Brasil, Rusia, atau Ukraina, tetapi juga negara pertanian miskin, seperti Kamerun, Etiopia, Madagaskar, dan Zambia. Perburuan lahan pertanian ini dimotori negara-negara pengimpor pangan besar yang memiliki keterbatasan lahan dan
Untuk menarik minat perbankan menyalurkan KUR, pemerintah menjamin risiko kredit macet (NPL) melalui perusahaan penjamian (Askrindo dan Jamkrindo).
21
23 24
25
26
Subsidi benih adalah penggantian biaya produksi benih bersertifikat yang harus dibaya oleh pemerintah apabila benih tersebut sudah terjual. Tujuannya adalah: (a) Membantu meringankan beban para petani tanaman pangan agar dapat membeli benih sebar bersertifikat dengan harga terjangkau; (b) Meningkatkan penggunaan benih bermutu varietas unggul; dan (c) Stabilisasi harga benih unggul bermutu. Semua tujuan tersebut berujung pada peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan berkualitas. Besaran subsidi adalah selisih antara Harga Pokok Penjualan (HPP) benih dengan Harga Penyerahan (HP) benih. (ANTARA News, 9 Mei 2008). http:// www.duniaesai.com/ index.php? option= com_content& view=article&id=418:menyemai-bibit-baru-krisis-pangan&catid=50:lainlain&Itemid=93, diakses tanggal 18 Oktober 2012 Sebagaimana disampaikan Deputy Country Director Oxpam, Aloysius Suratin, yang dimuat GATRA, 17 Oktober 2012. Nana Apriyana, 2011. 'Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Dalam Rangka Memperthankan Ketahanan Pangan Nasional : Kasus Pulau Jawa'. Bappenas.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 23
UTAMA hektar per tahun dan hasil panen di Jawa rata-rata sebesar 6 ton per tahun, maka potensi kehilangan produksi pangan akibat konversi lahan mencapai sekitar 600 ribu ton per tahun. Studi yang dilakukan oleh Nana Apriyana (2011) menunjukkan bahwa ada dua aspek yang mempengaruhi konversi lahan pertanian, yaitu kepemilikan lahan pertanian dan penataan ruang Aspek kepemilkan lahan terkait dengan hak atas tanah yang absolut yang dalam prosesnya kemudian menyebabkan kepemilikan lahan itu terpecah pecah dan menjadi sangat kecil. Pemilikan yang kecil tersebut menyebabkan rawan untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian karena kesulitan dalam pengendalian pemanfaatan tata ruangnya. Studi lain menyimpulkan bahwa pemanfaatan tata ruang tidak berjalan efektif karena (i) kebijakan yang kontradiktif, (ii) cakupan kebijakan yang terbatas, dan (iii) inkonsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003 dalam Nana Apriyana, 2011). Mencetak sawah baru (sebagaimana program pemerintahan SBY) memang bisa menjadi solusi, akan tetapi bila tidak ada insentif yang menarik bagi petani dan penyelesaian atas berbagai masalah tata ruang dan wilayah serta mengerem laju impor pangan, maka kebijakan ini tidak akan mendorong peningkatan produksi pertanian. Data pada Tebel-4 menunjukkan bahwa penambahan luas areal panen ternyata tidak mampu meningkatkan produktivitas pertanian. Menurut Dahlan Iskan (2012), penurunan produktivitas pertanian ini terjadi karena petani tidak punya uang untuk membeli bibit unggul, atau tidak punya uang untuk membeli pupuk tepat pada waktunya. Karena itu, menurut penulis, program pencetakan sawah harus debarengi dengan insentif kepada petani untuk menyediakan pupuk dan benih yang murah kepada petani serta keberanian pemerintah untuk mengurangi impor pangan. Tabel 4. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi di Indonesia 2005-2011 Tahun
Luas Panen (Ha)
Produktivitas (ku/Ha)
Produksi (ton)
Pertumbuhan Produksi (%)
2005
11.839.060
45,74
54.151.097
-
2006
11.786.430
46,2
54.454.937
0,561
2007
12.147.637
47,05
57.157.435
4,963
terjadi Indonesia. Nestle bersama Ultra Jaya, Frisian Flag, Sari Husada dan Indomilk, menguasai kebutuhan susu segar nasional. Perusahaan-perusahaan ini dengan mudah mendiktekan harga susu kepada koperasi dan peternak dalam negeri28. Di sisi lain, produksi susu segar nasional hanya memenuhi 30 persen dari kebutuhan Indonesia, sehingga sisanya harus dipenuhi melalui impor. Dengan kondisi seperti ini ketergantungan Indonesia terhadap pasokan susu dari luar sangat tinggi. Distorsi pasar pangan juga terjadi pada minyak goreng. Menurut KPPU, terdapat sekitar 20 perusahaan yang menguasai pasar minyak goreng atau melakukan kartel, dan mensuplai sebanyak 3,2 juta ton per tahun kebutuhan minyak goreng nasional. KPPU juga menilai dalam pasar kedelai, ada indikasi praktik kartel, di mana data pangsa pasar impor kedelai nasional sebesar 74,66 persen dikuasai oleh hanya dua perusahaan, yakni PT Cargill Indonesia dan PT Gerbang Cahaya Utama (GCU)29. Untuk mengatasi distorsi pasar pangan, pemerintah perlu melakukan intervensi, tidak saja pada beras, tetapi juga produk pangan lainnya. Untuk mengatasi adanya distorsi pasan pangan ini, revitalisasi BULOG sebagai stabilitasisator harga pangan nasional, menjadi sangat penting dan mendesak30. Apakah peran BULOG dikembalikan menjadi Badan khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden atau menggabungkan BULOG dengan BUMN Pangan lainnya, atau menggabungkan BULOG dengan Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai Presiden, pilihan-pilihan ini sedang dalam pengkajian. Bila membiarkan BULOG sebagai BUMN berstatus Perum, akan memiliki banyak keterbatasan menghadapi pesaing yang memiliki ukuran bisnis jauh lebih besar. Kekuatan BULOG hanya pada kepemilikan gudanggudang beras di seluruh Indonesia, sebaliknya infrastruktur logistik produk pangan lainnya kurang dimiliki BULOG, kalaupun dibangun membutuhkan investasi yang besar. 27 28
29
30
2008
12.327.425
48,94
60.325.925
5,543
2009
12.883.576
49,99
64.398.890
6,752
2010
13.253.450
50,15
66.469.394
3,215
2011 (Ramalan III)
13.224.379
49,44
65.385.183
-1,631
Sumber: BPS , 2011.
d. Kurangi Distorsi pada Pasar Pangan Fenomena distorsi pangan sudah lama terjadi di pasar pangan global. Menurut Aloysius (2012)27, saat ini tata niaga pangan global dikuasai oleh empat korporasi besar, sekitar 90 persen dari distribusi pangan dunia. Empat korporasi itu adalah Archer Daniels Milland, Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Korporasi-korporasi inilah yang memainkan ekonomi kartel pangan dunia. Distorsi pasar pangan juga 24 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
GATRA, 17 Oktober 2012, Suplemen Ketahanan Pangan, halaman iv. Cecep Risnandar, Serikat Petani Indonesia, Ketua Departemen Komunikasi Nasional Serikat Petani Indonesia. http://www.spi.or.id/?p=970, diakses tanggal 23 Oktober 2012. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/12/07/31/m80hps-kartel-didugakuasai-impor-kedelai, diakses tanggal 23 Oktober 2012. Setelah Soekarno turun dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto, Indonesia mengalami masa transisi antara tahun 1965 sampai 1967. Masa transisi tersebut merupakan awal dari cikal bakal dari Bulog. Pada tahun 1966 dibentuk Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS), namun pada tahun 1967 KOLOGNAS dibubarkan dan diganti dengan Badan Urusan Logistik (BULOG). Pada zaman Soeharto kondisi pangan cukup terpuruk akibat beban masalah masa lalu. Melihat hal tersebut maka pemerintahan Soeharto mengeluarkan Repelita (rencana Pembangunan Lima tahun) dengan senjata utama trilogi pembangunan. Pada 1969 pemerintah menambah peran dan fungsi Bulog yaitu sebagai manajemen stok penyangga pangan nasional dan penggunaan neraca pangan nasional sebegai standar ketahanan pangan nasional. Pada tahun 1973 pemerintah Soeharto juga mempelopori berdirinya Serikat Petani Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah menerapkan revolusi hijau untuk mencapai swasembada beras. Peran Bulog menjadi semakin penting, karena pada tahun 1977 Bulog didaulat menjadi pengontrol impor kacang kedelai. Sehingga pada waktu itu tugas Bulog tidak hanya semata-mata mengurusi masalah beras saja. Pada tahun 1978 pemerintah mengeluarkan Kepres 39/1978 yang mengembalikan tugas Bulog sebagai pengontrol harga gabah, beras, tepung, gandum, gula pasir dll. Tugas Bulog semakin dipersempit pada tahun 1997 yaitu hanya sebagai kontrol harga beras dan gula pasir saja. Pada tahun 1998 peran Bulog dipersempit lagi yaitu hanya sebagai pengontrol harga beras saja. http://rasdidin.multiply.com/journal/item/126/MenciptakanKetahanan-Pangan-Berkelanjutan. diakses tanggal 23 Agustus 2012
UTAMA Pemerintah bisa memperkuat BULOG dengan menambah PMN (Penyertaan Modal Negara), pertanyaannya berapa ukuran modal yang diperlukan BULOG untuk bisa bersaing dengan swasta yang sudah menguasai kartel pangan. BULOG akan sulit bersang dengan perusahaanperusahaan internasional yang telah menguasai kegiatan distribusi pangan. Bila BULOG diarahkan masuk untuk memperkuat sisi hulu (pembibitan) apakah BULOG bisa bersaing dengan perusahaan multinasional (MNC) seperti Syngenta, Monsanto, Dupont, dan Bayer, yang menjadi raja di bidang pengadaan bibit dan agrokimia. Bila BULOG ingin masuk ke sektor pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah, apakah BULOG bisa bersaing dengan Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM, yang menjadi raja di kegiatan ini. Bila BULOG ingin masuk ke bisnis pengolahan pangan dan minuman, apakah bisa bersaing dengan Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co, yang telah menguasai bisinis ini. Begitu juga bila BULOG ingin masuk ke pasar ritel pangan, apakah BULOG bisa bersaing dengan Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco, yang menjadi raja di bisnis ini31. Semua ini harus dihitung secara matang ketika pemerintah membuat desain revitalisasi peran BULOG.
baru (food estate) di luar Jawa, khususnya Kalimantan dan Papua, namun di wilayah manapun food estate dibangun, proses pemindahan lahan secara masif ke tangan swasta akan terjadi. Hal yang lebih fundamental, bila kebijakan ini disandingkan dengan kontitusi yang memberikan mandat kepada Negara untuk mengelola sumber daya pangan sehingga gagasan menyerahkan pengelolaan pangan kepada swasta akan mendapat banyak penolakan kecuali pemerintah mewujudkannya dengan memberi penugasan kepada BUMN, dan menjadikan petani tidak sebagai objek korporasi (industrialisasi pangan) akan tetapi sebagai subjek dari industrialisasi pangan. Ada risiko politik yang harus diantisipasi pemerintah, yaitu timbul kesan bahwa petani sulit mendapatkan akses lahan, sementara korporasi, apalagi asing, mudah mendapatkan akses lahan. Risiko yang akan muncul adalah Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2010 ini akan diuji materinya ke Mahkamah Konstitusi dan nasibnya bisa seperti UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas, yang berujung pada pembubaran BP Migas.
e. Korporasi Pangan Harus Mendukung Petani Investasi sektor pertanian, baik yang dilakukan oleh swasta domestik maupun swasta asing walaupun masih rendah tetapi ada tren meningkat. BKPM melaporkan bahwa realisasi investasi domestic untuk subsektor pangan dan perkebunan pada tahun 2011 sekitar 1.001 juta dolar AS, sementara di industri pangan mencapai 914 juta dolar AS. Sedangkan realisasi investasi asing untuk subsektor pangan dan perkebunan mencapai 1.031 juta dolar AS dan industri pangan mencapai 783 juta dolar AS32. Pemerintah telah mengluarkan paket kebijakan untuk menarik minat investor masuk ke sektor pertanian, melalui Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Dasar gagasan ini adalah hanya korporatisasi bermodal besar yang mampu menggarap lahan dalam jumlah luas dan memproduksi dalam jumlah besar, sehingga diharapkan kebutuhan pangan penduduk Indonesia dan bisa meningkatkan kesejkehteraan petani. Pro-kontra kebijakan baru ini sudah bermunculan. Kompas tanggal 23 November 2012 menulis tajuk “Karpet Merah Untuk Korporasi”. Kompas memperkirakan hadirnya korporasi pangan ini akan membuat posisi petani akan makin terpinggirkan dan mengganggu kedaulatan pangan. Keraguan ini hanya bisa diatasi bila pemerintah melakukan reformasi agraria dengan membagikan lahan pertanian kepada setiap petani, serta membuat skema kemitraan yang win-win antara korporasi dengan petani. Walaupun Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2010 tersebut membatasi investor hanya boleh membuka areal sawah
31
32
http://www.save-islam.com/2011/05/sektor-pangan-dalam-cengkeraman-asing.html, diakses tanggal 18 oktober 2012 BKPM, 2012, sebagaimana dikutip Hermas E.Prabowo, Kompas 23 November 2012. Tajuk : Karpet Merah Untuk Korporasi.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 25
UTAMA PENUTUP
R
encana pemerintah untuk melakukan revitalisasi peran BULOG harus dilakukan dengan pertimbangan yang komprehensif, karena itu implementasinya tidak perlu terburu-buru. Pemerintah perlu memantapkan dulu dua paradigma, yaitu paradigma ketahanan pangan nasional yang produktif dan paradigman BULOG baru. Revitalisasi peran BULOG tanpa perubahan paradigma dalam membangun ketahanan pangan nasional yang produktif, tidak akan melahirkan value baru bagi negeri yang kaya pangan ini. Pintu perubahan paradigma sudah dibuka oleh DPR-RI, yaitu UU Pangan yang baru. UU ini antara lain mengatur bahwa 'dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, maka dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan, yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden'. Lembaga ini dapat mengusulkan kepada Presiden untuk menugaskan BUMN bidang pangan untuk melaksanakan produksi, penyimpanan, distribusi pangan pokok dan pangan lainnya. Pesan penting dari UU Pangan yang baru ini adalah tanpa kelembagaan pangan yang kuat, sulit bagi pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, bahkan ancaman krisis pangan akan kian menguat. Karena itu, mungkin pilihan yang terbaik adalah membentuk Lembaga Otoritas Pangan (LOP) dimana BULOG menjadi bagian dari LOP tersebut, dimana BULOG bisa ditunjuk sebagai Champion. Di dalam LOP ini, bisa bergabung juga BUMN pangan lainnya (Sang Hyang seri dan Pertani). Perum BULOG tetap dapat menjalankan perannya dalam menjamin Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk Gabah (HDPP), menjaga stabilisasi harga pangan pokok, melaksanakan PSO untuk menyalurkan RASKIN, menyalurkan beras untuk golongan anggaran, serta
26 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
manjadi buffer bagi cadangan Pangan Nasional, seperti beras dan produk pangan strategis lainnya. Perum BULOG juga dapat memperluas jaringan bisnis sebagaimana yang sedang berjalan, yaitu jaringan BULOGMart berupa Distribution Center (DC) dan Retail Outlet (RO), yang menjual pangan dengan harga terjangkau. Sementara persoalan-persoalan produksi dan distribusi benih serta program pencetakan sawah baru bisa dilaksanakan dengan baik, sehingga menjadi insentif atau mampu memotivasi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. Dengan peran seperti ini, misi fiskal berupa velue for money bisa dijamin efektivitasnya. Bila tahun 2013-2014 menjadi tahun investasi LOP (Holding BUMN), maka pasca 2014 merupakan tahun penguatan ketahanan dan kedaulatan pangan. Hasil akhir dari proses perubahan ini adalah Holding BUMN Pangan yang kuat karena kewenangannya makin besar dan adanya sinergi antar BUMN Pangan yang selama ini kurang berjalan. Holding BUMN pangan ini akan mampu bersaing dengan korporasi pangan swasta, stabilitas harga pangan bisa dipenuhi, kemandirian pangan bisa terwujud, petani semakin makmur, risiko fiskal yang bersumber dari salah urus pangan bisa menurun, dan Indonesia berhasil keluar dari ancaman krisis pangan. Hal yang tidak kalah penting adalah Holding BUMN pangan harus membangun dan menerapkan prinsip tatakelola perusahaaan yang baik (Good Corporate Governance-GCG) dan dikelola oleh mereka yang memiliki integritas tinggi sehingga reputasi BULOG lama yang syarat dengan praktik korupsi tidak boleh terjadi lagi. Hargailah hasil jerih payah para petani kita. Sebagai waraga Negara Indonesia, mereka memiliki hak untuk kenyang dan hak untuk menikmati pangan bergizi. Semoga!
UTAMA
BUMN dan Pinjaman Luar Negeri 1
Oleh : Sofia Arie Damayanty
K
ebijakan utang bukan saja merupakan bagian dari Kebijakan fiskal (APBN), tetapi juga menjadi bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi secara keseluruhan yang bertujuan untuk (i) menciptakan kemakmuran rakyat (dalam bentuk penciptaan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan menguatkan pertumbuhan ekonomi), serta (ii) menciptakan keamanan. Utang terutama merupakan konsekuensi dari postur APBN yang mengalami defisit, dimana Pendapatan Negara lebih kecil dibandingkan Belanja Negara2. Adapun jenis-jenis utang pemerintah dapat dilihat pada Box 01. Box 01 Jenis-jenis Utang Pemerintah 1. Pinjaman a. Pinjaman Luar Negeri -
Pinjaman Program : untuk budget support dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix di bidang kegiatan untuk mencapai MDGs.
-
Pinjaman Proyek : untuk pembiayaan proyek infrastruktur di berbagai sektor dan proyekproyek dalam rangka pengentasan kemiskinan (PNPM).
b. Pinjaman Dalam negeri Untuk membiayai kegiatan dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri dan pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum, kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan. 2. Surat Berharga Negara (SBN) a. Surat Utang Negara (SUN) b. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/ Sukuk Negara Sumber: Perkembangan Utang Negara Edisi Agustus 2012, DJPU-Kementerian Keuangan 1
2
Peneliti Pertama pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Penulis dapat dihubungi di
[email protected] Indonesia menggunakan sistem anggaran berimbang (balanced budget) untuk APBN sejak 1969/1970 sampai dengan 1998/1999, dan mulai tahun 1999 digunakan sistem defisit anggaran (deficit budget). Dalam sistem deficit budget, utang luar negeri dimasukkan pada pos pembiayaan defisit, sedangkan dalam sistem balanced budget, utang luar negeri disebut sebagai penerimaan pembangunan dan dibukukan pada pos penerimaan.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 27
UTAMA Dalam pembacaan Nota Keuangan 2013 yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 16 Agustus 2012, Pemerintah merencanakan untuk melakukan penambahan utang sebesar Rp 158,3 trililun untuk menutup defisit anggaran yang direncanakan sebesar Rp 150,2 triliun pada RAPBN tahun 2013. Walaupun rasio utang terhadap PDB Indonesia menunjukkan tren penurunan sejak tahun 2004 serta berada pada tingkat yang relatif rendah bila dibandingkan dengan beberapa negara di dunia (Box-02), namun tidak dapat dihindari penambahan jumlah nominal utang setiap tahunnya, terutama utang luar negeri, tetap harus menjalankan prinsip kehati-hatian karena berisiko tinggi mengganggu kelangsungan fiskal. Box-02. Perkembangan Rasio Utang Terhadap PDB Indonesia dan Rasio Utang Terhadap PDB Indonesia dan Beberapa Negara [%]
[triliun rupiah/ in trillion IDR] 9,000
120%
8,000 100% 7,000 80%
6,000 5,000
56.6%
60%
47.3%
4,000
39.0% 35.1%
3,000
33.0%
28.3%
40% 26.0%
2,000
24.4%
22.9% 20%
1,000 0%
0
2004
2005
2006
Outstanding Utang/ Dect Outs.
2007
2008
PDB/ GDP
2009
2010
2011
Kewajiban utang yang setiap tahun muncul dalam APBN selalu saja mendapat reaksi publik, ada yang pro dan ada juga yang kontra. Mewakili pendapat pihak yang pro terhadap kebijakan utang pemerintah, Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan berpendapat bahwa memang benar bahwa utang negara meningkat, tapi kekayaannya juga meningkat drastis. Hal ini terlihat dari rasio utang terhadap PDB Indonesia yang terus mengalami penurunan seperti terlihat pada Box-02. Pada intinya utang masih bisa dibenarkan bila dikelola dengan baik dan dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pada sisi kontra, pengamat ekonomi dari Megawati Institute yang juga anggota DPR, Arief Budimanta menyatakan bahwa besarnya jumlah utang Indonesia ternyata tidak menunjukkan korelasi signifikan terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi yang indikatornya ditunjukkan oleh perbaikan kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat. Sebagian besar utang Indonesia digunakan untuk sektor keuangan dan tidak sebanding dengan alokasi sektor riil yang manfaatnya dapat lebih dirasakan langsung oleh rakyat.
2012*
Rasio Utang thd. PDB/ Debt to GDP Ratio (RHS)
2007
2008
2009
2010
2011
Argentina
56.1
48.6
48.6
45.1
42.9
Brazil
45.1
38.8
59.5
54.7
54.4
Germany
64.9
66.0
73.2
83.4
81.5
India
58.2
56.4
57.3
50.6
51.6
Indonesia
35.1
33.0
28.3
26.0
24.3
Italy
104.0
105.8
115.8
119.1
120.1
Japan
170.0
172.1
192.9
99.7
208.2
Turkey
38.9
40.0
46.3
43.0
42.4
United Kingdom
43.6
51.8
68.2
76.1
49.5
United States
60.8
37.5
53.5
62.9
69.4
Terlepas dari pro dan kontra atas masalah utang negara Indonesia, memang tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah utang terutama utang luar negeri yang tinggi berpotensi membelenggu kemampuan anggaran belanja negara dan membuat kondisi fiskal kita sangat tergantung pada gejolak perekonomian dunia dan volatilitas nilai tukar. Untuk itu, selain melalui strategi pengelolaan utang pemerintah (Box03) yang prudent, diperlukan juga kebijakan alokasi pemanfaatan utang yang lebih optimal sehingga selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara riil.
Sumber: Perkembangan Utang Negara Edisi Agustus 2012 DJPU-Kementerian Keuangan
Box-03. Strategi Pengelolaan Utang
Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan surat utang atau surat berharga negara (SBN) rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri;
Melakukan pengembangan instrumen utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih berbagai instrumen yang lebih sesuai, cost efficient, dan risiko yang minimal;
Melakukan pengadaan pinjaman luar negeri sepanjang digunakan untuk memenuhi kebutuhan prioritas, dengan terms and conditions yang wajar (favourable) bagi Pemerintah, dan tanpa agenda politik dari kreditur;
Mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka menengah;
Meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan otoritas pasar modal, terutama dalam rangka mendorong upaya financial deepening; serta
Meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan pinjaman dan sovereign credit rating. Sumber: Perkembangan Utang Negara Edisi Agustus 2012, DJPU-Kementerian Keuangan
28 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
UTAMA Gambar 1 menunjukkan bahwa utang luar negeri Indonesia mengalami tren peningkatan, dari sebesar USD 132,63 milyar pada tahun 2006 menjadi USD 235 milyar pada periode sampai dengan April 20123. Utang luar negeri terbesar dilakukan oleh Pemerintah, diikuti oleh Swasta, dan sedikit porsi dari Bank Sentral. Gambar 1. Utang Luar Negeri Indonesia
Sumber: Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Vol.III Juni 2012, Bank Indonesia
Termasuk dalam kelompok utang luar negeri Swasta adalah utang luar negeri yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Walaupun porsi utang BUMN dari total keseluruhan utang swasta tidak lebih dari 15%, namun secara nominal jumlahnya terus meningkat dari hanya USD 7,41 milyar pada tahun 2004, menjadi USD 16,15 milyar sd April 2012, atau mengalami peningkatan sebesar 118% dalam 8 tahun terakhir, seperti terlihat pada Gambar 2. Isu yang belakangan mengemuka justru bukanlah tentang kekhawatiran atas semakin meningkatnya tren pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh BUMN, tetapi justru mekanisme penyaluran pinjaman tersebut yang menyebabkan rencana penggunaannya tidak dapat dilaksanakan dengan optimal.
pinjaman luar negeri oleh BUMN telah melalui tahap analisis dan seleksi oleh berbagai kementerian/lembaga yang terkait, sehingga pinjaman luar negeri yang dilakukan BUMN seharusnya tidak akan membebani struktur utang negara, tetapi justru dapat meningkatkan kinerja BUMN itu sendiri dan perekonomian secara tidak langsung. Pada dasarnya, sebuah BUMN dapat memperoleh pinjaman luar negeri melalui dua mekanisme, yaitu Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) dan melalui mekanisme penerusan pinjaman pemerintah (Subsidiary Loan Agreement/SLA). Untuk mendapatkan PKLN, sebuah BUMN harus mengajukan permohonan kepada Tim Koordinasi Pengelolaan PKLN (yang diketuai oleh Menko Perekonomian dan beranggotakan beberapa Menteri di antaranya Menteri Keuangan) untuk memperoleh persetujuan mencari pinjaman komersial luar negeri disertai bahan keterangan lengkap mengenai rencana penggunaannya, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN). Melalui mekanisme PKLN ini, pihak BUMN merupakan pihak peminjam (lender) yang mencari sendiri sumber dana pinjaman luar negeri tersebut.
Box-04. Peraturan Terkait Pinjaman Luar Negeri oleh BUMN
Keppres Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri. Keppres ini menjelaskan larangan bagi departemen, lembaga Pemerintah non departemen dan Pemerintah Daerah untuk penerimaan PLN. Sedangkan, Badan Usaha Negara dan Badan Usaha Daerah dapat menerima PLN dengan mengajukan izin terlebih dahulu kepada Menteri Keuangan. Adapun PLN yang dilakukan oleh perusahaan swasta tidak diatur.
Keppres Nomor 39 Tahun 1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN). Keppres dimaksud pada dasarnya hanya mengatur BUMN dan BUMS bukan bank yang terkait dengan proyek Pemerintah. Secara eksplisit dinyatakan bahwa sebelum melakukan PKLN, badan usaha tersebut wajib memperoleh persetujuan dahulu dari Tim PKLN yang anggotanya antara lain terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Gubernur Bank Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia No.2/22/2000 Tahun 2002 tanggal 2 Oktober 2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri. Peraturan ini mewajibkan kepada pelapor yang terdiri dari bank, badan usaha bukan bank, perorangan untuk menyampaikan laporan PLN kepada Bank Indonesia. Adapun laporan yang disampaikan terdiri dari data pokok utang luar negeri dan atau perubahannya serta data realisasi utang luar negeri.
Undang Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha MIlik Negara (BUMN). Pada dasarnya, UU ini tidak secara tegas mengatur PLN yang dilakukan oleh BUMN. Namun secara tersirat dapat disimpulkan bahwa seluruh keputusan pembiayaan jangka panjang dan termasuk di dalamnya PLN merupakan kewenangan dalam RUPS setelah memperoleh persetujuan dari Menteri yang membidangi.
Gambar 2. Utang Luar Negeri Swasta
Sumber: Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Vol.III Juni 2012, Bank Indonesia
Mekanisme Pinjaman Luar Negeri bagi BUMN Untuk mengembangkan usahanya BUMN memerlukan modal yang cukup besar, yang salah satu sumbernya dapat berasal dari pinjaman luar negeri. Pemerintah memungkinkan BUMN sebagai perusahaan milik negara untuk melakukan transaksi pinjaman luar negeri, namun tetap dikendalikan dengan persyaratan tertentu (peraturan terkait pinjaman luar negeri dapat dilihat pada Box-04) Peraturan-peraturan tersebut telah sedemikan rupa menjalankan prinsip kehati-hatian dimana penarikan
3
Bank Indonesia mendefinisikan utang luar negeri sebagai posisi utang yang menimbulkan kewajiban membayar kembali pokok dan/atau bunga utang kepada pihak luar negeri atau bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, dan tidak termasuk kontinjen. Termasuk dalam pengertian utang luar negeri adalah surat berharga yang diterbitkan di dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali kepada pihak luar negeri atau bukan penduduk.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 29
UTAMA Box-04. Peraturan Terkait Pinjaman Luar Negeri oleh BUMN
Peraturan Bank Indonesia No.7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank. Peraturan ini hanya mengatur PLN yang dilakukan oleh bank-bank di Indonesia. Komposisi PLN Bank ini jauh lebih kecil dibandingkan PLN bukan bank, tetapi telah memiliki pengaturan cukup ketat, yaitu pembatasan saldo harian PLN jangka pendek dan kewajiban memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia terhadap rencana PLN jangka panjang.
Undang Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam UU ini tidak secara jelas diatur mengenai PLN yang dilakukan oleh suatu perseroan. Namun demikian dinyatakan bahwa RUPS adalah organisasi perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi, sehingga dapat diartikan bahwa kegiatan PLN juga diputuskan dalam RUPS.
Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
Mekanisme pinjaman luar negeri lainnya bagi BUMN adalah melalui penerusan pinjaman pemerintah (Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman adalah pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah Pusat yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah (Pemda) atau BUMN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. Penerusan pinjaman tersebut merupakan fasilitas yang diberikan Pemerintah BUMN (dan juga Pemda) untuk memperoleh pinjaman, khususnya pinjaman dalam bentuk pembiayaan bagi kegiatan tertentu. Berbeda dengan mekanisme PKLN, pihak peminjam dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat, dan BUMN akan melakukan pembayaran kembali penerusan pinjaman luar negeri tersebut melalui Pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan). Penerusan pinjaman ini sebagian besar ditujukan kepada BUMN, dan sebagian kecil merupakan bagian Pemda. Pinjaman terbesar BUMN dilakukan oleh PT PLN (Persero), yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas pembangkit melalui pembangunan infrastruktur listrik (pembangunan pembangkit listrik baru, rehabilitasi dan pemeliharaan pembangkit listrik, pengadaan travo, pembangunan jaringan transmisi, dan lain sebagainya). Beberapa BUMN yang juga memanfaatkan penerusan pinjaman ini antara lain adalah PT Perusahaan Gas Negara, PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Pelindo II, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, dan PT Pertamina.
Permasalahan terkait Penarikan Pinjaman Luar Negeri oleh BUMN Seperti telah dikemukakan sebelumnya, untuk masalah pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh BUMN, isu yang berkembang ada di seputar mekanisme pencairan pinjaman tersebut yang disinyalir cukup berbelit sehingga belum optimal pemanfaatannya, terutama yang diperoleh melalui mekanisme penerusan pinjaman/SLA. Dalam Nota 30 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013 dinyatakan bahwa dalam tahun 2009–2011, realisasi penerusan pinjaman rata-rata hanya sebesar 45,2 persen terhadap pagu APBN-P. Selanjutnya, dalam tahun 2012 realisasi penerusan pinjaman sampai dengan semester I mencapai 9,2 persen dari pagu APBNP 2012 sebesar 8,4 triliun. Perkembangan realisasi penerusan pinjaman dalam periode 2007-2012 disajikan dalam Gambar-03. Rendahnya realisasi penyerapan penerusan pinjaman disebabkan antara lain; (1) lambatnya pembebasan tanah untuk lokasi proyek; (2) mundurnya pelaksanaan kegiatan dari rencana semula; (3) lambatnya persetujuan lender berupa penerbitan NOL (No Objection Letter) atas pelaksanaan lelang; serta (4) belum selesainya proses pembahasan penerusan pinjaman di Komisi terkait di DPR RI. Gambar-03. Perkembangan Penarikan Penerusan Pinjaman, Tahun 2009-2012 (triliun rupiah) 18,0
60,0%
16,0
52,0%
47,6%
50,0%
14,0
16,8
12,0 10,0
36,0% 30,0%
11,7
8,7
8,0 6,0
40,0%
13,0
8,4
20,0%
6,2
4,0
4,2
9,2% 0,8
2,0
10,0% 0,0%
2009 *) Realisasi Semester I Sumber Kementerian Keuangan
2010
APBNP
2011
Realisasi
2012*)
% Realisasi
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013, Kementerian Keuangan
Konsekuensi dari rendahnya realisasi penyerapan penerusan pinjaman ini, selain terhambatnya pelaksanaan proyek yang sudah direncanakan, juga meningkatnya jumlah commitment fee yang harus dibayarkan oleh Pemerintah. Jenis fee ini diberlakukan oleh World Bank dan Asian Development Bank (ADB) serta kreditor lain bilateral dan fasilitas kredit ekspor sebagai suatu bentuk biaya terhadap pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan). World Bank mengenakan commitment fee sebesar 0,75% atas total undisbursed loan. ADB mengenakan fee ini sebesar 0,75% atas selisih antara target disbursement dengan realisasi penarikan. Menyikapi berbagai kendala terkait mekanisme penerusan pinjaman kepada BUMN terutama bagi proyek-proyek pembangunan infrastruktur, Bank Dunia mengajukan inisiatif mekanisme baru dimana BUMN dapat meminjam langsung kepada Bank Dunia tanpa melalui skema penerusan pinjaman/SLA. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (cq. Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal) sedang mempelajari mekanisme yang diusulkan oleh Bank Dunia ini, terutama dampaknya dari segi kewajiban kontinjen Pemerintah terkait kemungkinan adanya keperluan pemberian jaminan
UTAMA pemerintah. Menurut hemat penulis, mekanisme pinjaman langsung kepada BUMN ini tidak mudah untuk diterapkan mengingat perlunya payung hukum yang juga akan melibatkan pertimbangan dan persetujuan legislatif, yang selama ini justru merupakan salah satu kendala lambatnya proses pencairan penerusan pinjaman. Yang diperlukan saat ini adalah evaluasi dari mekanisme yang sudah ada, dan komitmen berbagai pihak untuk memanfaatkan komitmen penerusan pinjaman luar negeri tersebut untuk sektor-sektpr produktif terutama pembangunan infrastruktur. Selain itu perlu dilihat kembali juga mekanisme perolehan pinjaman luar negeri melalui PKLN. Walaupun aturan yang ada memungkinkan BUMN secara langsung mencari pinjaman dari luar negeri untuk kemudian diajukan permohonan persetujuannya kepada Pemerintah (cq. Tim Koordinasi Pengelolaan PKLN), peraturan yang ada harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian dan bisnis terkini (peraturan terakhir adalah Keppres Nomor 59 Tahun 1972 dan Keppres Nomor 39 Tahun 1991). Secara bisnis, pinjaman komersial yang dilakukan oleh anak perusahaan BUMN, terutama BUMN Tbk tentunya sudah melalui proses
screening oleh pihak kreditor terkait kelayakan usaha dan tingkat solvabilitasnya. Selain itu proses pengajuan PKLN itu sendiri sudah melalui persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham, dimana terdapat Pemerintah didalamnya. Perlunya persetujuan Tim Koordinasi Pengelolaan PKLN pada setiap transaksi pinjaman luar negeri business to business seperti ini tentunya akan memakan waktu dan menghalangi fleksibilitas BUMN itu sendiri dalam mengembangkan usahanya. Yang tetap perlu diatur adalah prasyarat bahwa BUMN/BUMD/Swasta dapat dibenarkan untuk menerima tawaran kredit luar negeri apabila tidak disertai adanya keharusan jaminan dari Pemerintah Republik Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan bank-bank lainnya milik Negara, untuk pembayarannya kembali dan atau tidak menimbulkan kewajiban suatu apapun bagi Pemerintah Republik Indonesia sebagai akibat dari penerimaan kredit luar negeri yang bersangkutan (sebagaimana diatur pada pasal 3 ayat (1) Keppres Nomor 59 Tahun 1972). Dengan kebijakan pinjaman luar negeri bagi BUMN yang efektif dan efisien, diharapkan dapat mendorong peningkatan kapasitas BUMN sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimal bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Referensi Perkembangan Utang Negara Edisi Agustus 2012, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013. Kementerian Keuangan. Dahlan Iskan. “Tekad Baru: Hidup yang Polos-Polos Saja”. http://dahlaniskan.wordpress.com/2012/06/04/tekad-baru-hidup-yang-polos-polos-saja/ diakses 16 Agustus 2012) Utang Luar Negeri Meningkat Tajam. (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/20/11464085/Utang.Luar.Negeri.Meningkat.Tajam diakses 16 Agustus 2012) Peter Jacobs,Sjamsul Arifin,Dian Ediana Rae. “Manajemen Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia, Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Indonesia”. Jakarta Juni 2008. (http://books.google.co.id/books? diakses 16 Agustus 2012) Siko Wiyanto. “Permasalahan Penarikan Pinjaman dan Hibah Pemerintah”. (http://laskarstan.wordpress.com/2011/03/ diakses 16 Agustus 2012)
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 31
INSPIRING
Service Level Agreement (SLA) Antara Pemerintah dan PT PLN (Persero): Solusi untuk Membentuk Industri Kelistrikan yang Mandiri dan APBN yang Sehat 1
Oleh : Insyafiah dan Tony Prianto
Hubungan Pemerintah dan PT PLN dalam Permasalahan Sektor Ketenagalistrikan
Gambaran umum strategis sektor kelistrikan Tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi sebuah negara sangat tergantung kepada kemapanan sektor ketenagalistrikan. Dapat dibayangkan sebuah daerah yang belum memiliki pasokan listrik yang mumpuni tidak akan mampu menarik investor untuk masuk ke daerah tersebut. Industri, baik skala besar maupun menengah akan berpikir berkali-kali untuk menggunakan generator sendiri karena akan sangat memberatkan struktur biaya produksi mereka. Meskipun pasokan listrik telah tersedia, tetapi bila tidak handal, juga akan membuat biaya perawatan mesin bertambah dengan munculnya kerusakan akibat matinya pasokan listrik dengan tiba-tiba, maupun tambahan investasi untuk mempersiapkan generator sebagai cadangan pasokan listrik. Kesejahteraan masyarakat yang merupakan tanggung jawab Pemerintah salah satunya tercermin dengan adanya akses terhadap listrik. Hingga saat ini, rasio elektrifikasi Indonesia masih berada di kisaran 72% dan tertinggal jauh dengan negara tetangga antara lain, Singapura 100%, Malaysia 99,4%, Vietnam 97,6%, dan Filipina 89,7%. Penduduk yang belum terlistriki tersebut bukan hanya di daerah Indonesia Timur, tetapi juga di sistem Jawa-Bali sendiri yang notabene memiliki pasokan listrik terbesar, ternyata baru mencapai 77%. Lambatnya pertumbuhan listrik nasional tersebut merupakan trigger bagi Pemerintah untuk ikut mendorong PLN melakukan percepatan investasi kelistrikan baik melalui penugasan langsung (Penugasan Fast Track Project Phase I and II) maupun melalui fasilitas-fasilitas kemudahan melalui peraturan yang diterbitkan Pemerintah, baik bagi PLN maupun investor untuk ikut serta dalam meningkatkan industri kelistrikan nasional. Hal tersebut menunjuk pada hasil studi yang dilakukan PLN, bahwa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sesuai target yang dicanangkan dalam APBN yaitu perekonomian nasional akan tumbuh dalam kisaran 6% tiap tahunnya, maka dalam rentang waktu 2012-2016, diperlukan investasi sebesar Rp560triliunpada sektor kelistrikan nasional. 1 2
Penulis adalah Kepala Bidang Analisis Risiko BUMN. Penulis adalah Kepala Subbidang BUMN Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbita, PPRF – BKF.
32 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
2
Berbicara mengenai sektor tenaga listrik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran serta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai satu-satunya BUMN yang ditugaskan pemerintah untuk Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum. PT PLN sebagai agen pemerintah dalam skema penyediaan listrik nasional idealnya merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap rencana investasi infrastruktur kelistrikan nasional tentunya dengan dukungan pemerintah. Hingga saat ini, PT PLN ternyata belum mampu untuk melakukan investasi yang masif guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.Kondisi tersebut bukan hanya merupakan kesalahan PT PLN semata.Hubungan antara Pemerintah dan PT PLN selama ini sangat rumit sehingga tidak dapat berjalan dengan baik dalam rangka mendorong investasi kelistrikan. Terdapat beberapa titik permasalahan utama yang mengganjal sinergi yang positif antara Pemerintah dan PT PLN, yaitu (i) skema subsidi listrik yang tidak sustainable, (ii) tidak jelasnya sinergi dari fungsifungsi Kementerian dan Lembaga yang terkait dengan PT PLN, dan (iii) tarif listrik ditetapkan vs harga energi primer tidak ditetapkan. Tiga poin utama tersebut di atas merupakan permasalahan yang telah terjadi bertahun-tahun sehingga terakumulasi pada saat ini dimana besaran subsidi energi listrik yang demikian besar per tahunnya sangat membebani APBN. PT PLN kesulitan untuk melakukan investasi karena minimnya ekuitas korporasi, serta adanya ego sektoral dari Kementerian/Lembaga terkait dengan PT PLN. Berikut ini akan dibahas secara lebih mendetail mengenai tiga permasalahan tersebut di atas. a.
Skema subsidi listrik yang tidak sustainable
Skema subsidi yang berlaku saat ini dapat dikatakan tidak mendorong efisiensi PT PLN sebagai sebuah korporasi. Secara jelas dinyatakan bahwa Pemerintah akan membayar selisih antara Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PT PLN dengan harga jual listrik yang ditetapkan
INSPIRING Pemerintah (Tarif Tenaga Listrik / TTL), Pemerintah juga akan memberikan 'marjin' usaha kepada PT PLN sebagai komponen pendapatankorporasi. Permasalahannya, marjin tersebut diberikan atas basis persentase dari BPP sehingga semakin besar BPP PT PLN, maka akan semakin besar pula marjin/keuntungan bagi PT PLN. Di lain sisi, dengan BPP yang semakin tinggi, maka akan menambah gap dengan TTL yang ditetapkan Pemerintah, yang pada akhirnya akan meningkatkan beban subsidi pada APBN. Gambar 1. Hubungan BPP, Margin dan Subsidi listrik PT PLN Tarif tidak mencerminkan biaya operasi aktual
....Subsidi sebsear Rp 385 triliun dibutuhkan untuk menutup 1 defisit operasional dan marjin PSO
Rp/KWh Margin (8%) Bunga Depresiasi
Rp triliun 1.359 101
BPP = 1,258
385
81
89
Operasi Lain Pembelian tenaga listrik/ ( non bahan bakar)
211
Bahan Bakar
824
92
96
93
42
-514
80 60
68
70
2
744
Biaya
Tarif 2011
2011
12
15
16
BPP Rp/kWh
1,257
1,150
1,010
1,025
1,050
1,090
BPP + PSO Rp/kWh
1,359
1,230
1,080
1,095
1,125
1,170
615
470
310
320
345
390
Subsidi pada tarif konstan Rp/kWh
13
14
Sumber: Hasil Kajian Kemenkeu, PT PLN dan McKinsey tahun 2012
TTL yang ditetapkan Pemerintah sendiri hingga saat ini masih jauh di bawah BPP listrik PT PLN. Untuk itu, opsi untuk mengurangi beban subsidi dalam APBN sehingga APBN menjadi lebih sehat sebenarnya sangat mudah, cukup melalui tiga solusi besar: menurunkan BPP listrik, menaikkan TTL, atau melakukan keduanya secara bersamaan. Dalam hal menurunkanBPP listrik maupun menaikkan TTLtetapi tidak membuat BPP listrik berada di bawah TTL, maka hal tersebut hanya akan mengurangi beban subsidi di APBN, tetapi tidak ada insentifnya bagi PT PLN. Penurunan BPP/kenaikan TTL tersebut tidak mampu menambah pendapatan PT PLN secara korporasi.Secara otomatis juga tidak memperbaiki kemampuan PT PLN dalam berinvestasi dan memupuk ekuitas. Formula subsidi saat ini juga memiliki masalah terkait penetapan besaran marjin yang ditentukan oleh Pemerintah.Selain itu, PT PLN juga dibebani untuk menyetorkan dividen kepada Pemerintah sehingga tidak saja tidak mampu untuk meningkatkan ekuitas mereka, tetapi cenderung untuk terus tergerus. Terkait dengan posisi PT PLN sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi Indnonesia yang sedang berkembang saat ini, maka kemampuan PT PLN untuk mencari financing untuk proyekproyek infrastruktur kelistrikan juga terganggu. Dengan debt to equity PT PLN saat ini yang melebihi 200%, maka ke depannya apabila formula subsidi ini dipertahankan, akan sulit bagi PT PLN untuk mengakses pendanaan bagi proyek-proyeknya. Skema subsidi yang ada saat ini dan besarnya nilai investasi untuk industri kelistrikan yang dilakukan oleh PT PLN menyebabkan nilai subsidi listrik telah meningkat 24 kali lipat dalam 11 tahun terakhir. Oleh karenanya, skema
subsidi yang baru dan lebih baik adalah sebuah keharusan untuk menjaga sustainability dari APBN maupun PT PLN. Tanpa adanya perubahan skema subsidi yang mendasar, beban subsidi diproyeksikan akan membengkak hingga Rp590 triliun dalam 5 tahun ke depan sehingga akan sangat membebani kemampuan fiskal Pemerintah. b.
Kurangnya sinergi atas fungsi-fungsi Kementerian dan Lembaga sektor kelistrikan
PT PLN saat ini dapat diibaratkan seorang anak dengan 3 orang bapak yang memiliki tujuan masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal ini, ketiga orang bapak tersebut adalah Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (KESDM), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (KBUMN). Proses bisnis PT PLN saat ini sangat dipengaruhi oleh ketiga Kementerian tersebut diatas, baik dari segi operasional, pendapatan, investasi, maupun pendanaan. KESDM sebagai policy maker dan juga regulator dari sektor kelistrikan sangat menekankan pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan dimana salah satu tujuan dari KESDM adalah target terlistrikinya seluruh masyarakat Indonesia, atau rasio elektrifikasi sebesar 100%. Di sisi hilir listrik, KESDM sangat berkepentingan agar PLN dapat meningkatkan produksi listrik dengan biaya/BPP se-efisien mungkin. Namun, di sisi hulu listrik, KESDM tersebut sangat bertolak belakang. Di sisi hulu, KESDM berkepentingan untuk dapat berkontribusi sebesarbesarnya kepada pendapatan negara melalui royalti dan pajak hasil penambangan dan penjualan bahan bakar sumber energi primer bagi sektor hilir listrik seperti batubara, gas, minyak bumi, dan panas bumi. Dalam rangka mengamankan kebijakannya di sektor energi primer, seringkali KESDM mengeluarkan kebijakan penentuan harga acuan bagi energi primer yang menyebabkan BPP listrik PLN meningkat. Tidak berbeda dengan bapak yang kedua yaitu Kemenkeu. Baik sebagai bendahara negara maupun sebagai regulator perhitungan dan penetapan nominal subsidi listrik, Kemenkeu sebenarnya juga memiliki kepentingan yang saling kontradiktif. Namun, mengingat dampak besaran subsidi listrik secara langsung memengaruhi pengelolaan APBN, maka kepentingan Kemenkeu yang dominan adalah bagaimana menjadikan penetapan subsidi listrik menjadi lebih terukur dan akuntabel. KBUMN merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah sebagai pemilik tunggal PT PLN dan berfungsi sebagai pembina PT PLN untuk berkembang dan menjadi agen pembangunan serta mendukung program Pemerintah. PT PLN sendiri secara rutin mengirimkan laporan keuangan kepada KBUMN, serta merumuskan rencana jangka pendek dan panjang perusahaan dengan KBUMN. Salah INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 33
INSPIRING satu indikator kinerja dari KBUMN sendiri adalah adanya dividen dari BUMN, dalam hal ini PT PLN kepada Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dalam APBN. Dalam pelaksanaan operasionalnya sehari-hari, PLN seringkali harus menghadapi munculnya irisan maupun bentrok kepentingan dari ketiga pemangku keputusan tersebut. Sebagai contoh, KESDM dengan kepentingan untuk mempercepat terpenuhinya rasio elektrifikasi akan terus mendorong pertumbuhan penjualan listrik meskipun harus menggunakan bahan bakar minyak. KESDM juga terus mendorong pembangunan infrastruktur kelistrikan nasional dan mendukung PT PLN untuk menambah investasinya. Selain itu, untuk meningkatkan pendapatan negara melalui sektor pertambangan, KESDM mendukung peningkatan ekspor barang tambang termasuk batubara dan gas ke luar negeri guna mendapatkan harga yang lebih kompetitif. Kebijakan dimaksud, baik disadari maupun berdampak secara langsung terhadap kenaikan biaya bahan bakar PT PLN, dimana pada akhirnya meningkatkan BPP listrik dan besaran subsidi. Kemenkeu sebenarnya tidak bisa begitu saja kontra terhadap kebijakan KESDM. Namun, yang menjadi keberatan utama adalah ketidakmampuan sinergi dan koordinasi kebijakan di sektor hulu dan hilir listrik akan berdampak langsung pada ketidakmampuan Kemenkeu dalam merencanakan besaran subsidi listrik. Hal ini mengakibatkan setiap tahunnya, terjadi kerepotan di sisi Kemenkeu dalam mengantisipasi perubahan nilai subsidi listrik yang nilainya sangat signifikan. Belum lagi kebutuhan penjaminan pemerintah guna meningkatkan kapasitas dan kredibilitas PLN di mata investor dan financier yang akan menanamkan modalnya bagi pembangunan infrastruktur listrik nasional. Sebenarnya, munculnya kebijakan penjaminan Pemerintah, juga disebabkan tidak sinkronnya kebijakan Pemerintah, dimana dorongan kepada PLN untuk meningkatkan kapasitas keuangan perusahaan. Akibatnya kinerja keuangan PLN melekat erat dengan kinerja APBN, dimana hal ini sangat tidak sehat dan berisiko.
Kontradiksi kepentingan dengan KBUMN juga terjadi. Sebagai contoh, KBUMN memberikan target kontribusi deviden dari PT PLN, dimana kebijakan ini akan mengurangi kemampuan PT PLN untuk berinvestasi dan mengembangkan infrastruktur listrik. Tentunya hal ini mengganggu kepentingan KESDM. Di sisi Kemenkeu kontribusi dividen dan pembayaran subsidi listrik sepertinya hanya masalah masuk kantong kiri dan keluar kantong kanan. Namun, ternyata net kontribusi selama ini menunjukkan angka negatif yang cukup signifikan. Kondisi di atas, baru menggambarkan gesekan dari tiga Kementerian sebagai Bapaknya PLN, belum memperhitungkan gesekan kepentingan yang lebih luas lagi. Secara umum, pembangunan infrastruktur di Indonesia masih terkendala dengan pengaturan terkait perizinan baik di tingkat Pemda maupun perizinan terkait Kehutanan dan Perhubungan darat dan laut. PLN dalam melaksanakan tugasnya untuk membangun infrastruktur listrik, juga tidak lepas dari permasalahan ini. Gambar 3. Kontribusi Bersih PT PLN (Proyeksi 2013) (dalam miliar Rp) 37.901
5.000
80.937
42.395 1.784 Pajak
Dividen
Subsidi
PMN
2.575 Sub Loan
Sumber: APBN 2013 dan Macro stress test model
Lalu, siapa yang seharusnya menyelesaikan permasalahan carut marut gesekan kepentingan antar Kementerian, sektor, maupun pemerintah daerah?
Gambar 2. Perbandingan dan Perkembangan Subsidi Listrik
KEMENKEU
Perbandingan subsidi dan aktual dari Kementerian Keuangan
KESDM Rp Triliun, 2005-2011
APBN APBNP
+129% 90.8 93.0
Hasil Audit
80.9
+164% 78.6 65.0
+52% 55.1 57.6
60.3
47.5 53.7 46.0 32.4 31.2 33.9 25.8
37.8
37.5
45.0
40.7
29.8
17.0
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Kemenkeu
34 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
2011
2012
2013
Kontribusi bersih 2013
KBUMN
INSPIRING
c.
Tarif listrik ditetapkan vs harga energi primer tidak ditetapkan
PT PLN mendapat penugasan PSO untuk menyediakan tenaga listrik kepada masyarakat, dimana PLN harus menjual listrik dengan tarif tenaga listrik (TTL) yang ditetapkan berdasarkan keputusan Pemerintah. Saat ini, TTL kepada masyarakat seluruhnya berada di bawah BPP listrik PT PLN. Selanjutnya perbedaan antara BPP listrik dan TTL tersebut ditutup oleh Pemerintah dalam bentuk subsidi. Komponen subsidi sendiri, dalam hal ini BPP listrik, sebagian besar (lebih dari 60%) terdiri dari biaya bahan bakar. Membengkaknya subsidi listrik dalam kurun lima tahun terakhir selain dipengaruhi oleh pertumbuhan penjualan, juga disebabkan oleh naiknya biaya energi primer, dalam hal ini harga solar. Hal ini disebabkan tidak adanya hubungan antara harga input energi dengan penentuan TTL oleh Pemerintah dan DPR. Dengan kecenderungan terus meningkatnya harga energi primer di pasar global, Pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu,setiap tahun dihadapkan pada potensi risiko kenaikan subsidi listrik. Selain itu, terdapat beberapa komoditas energi yang harganya dikontrol oleh
Pemerintah, seperti batubara, geothermal, mikrohidro, dan tenaga surya, di mana penetapan harga komoditaskomoditas tersebut tidak mempertimbangkan risiko fiskal kenaikan subsidi tetapi hanya mempertimbangkan besaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang nilainya terkadang lebih rendah dari kenaikan subsidi listrik (net negatif impact). Bahkan, kebijakan Pemerintah di sektor harga energi primer dapat dikatakan cenderung melepas ke mekanisme pasar sehingga seluruh risiko fluktuasi harga energi primer ditanggung oleh APBN melalui subsidi listrik. Untuk itu, seharusnya Pemerintah dapat melakukan assessment ulang mengenai net impact dari kebijakan terkait energi primer tersebut, dengan mempertimbangkan tidak hanya besaran penerimaan negara, tetapi juga dampak kenaikan subsidi yang dapat lebih besar nilainya. Selain itu, perlu adanya perbaikan penentuan TTL yang lebih mencerminkan fungsi biaya energi input dan risiko fluktuasi harga energi primer tidak sepenuhnya ditanggung oleh APBN, melainkan sebagian dapat ditanggung oleh masyarakat berpenghasilan tinggi sebagaimana mereka juga merupakan konsumen energi yang konsumtif.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 35
INSPIRING Upaya untuk Mengatasi Masalah Identifikasi Permasalahan dan Usulan Tindakan Prioritas untuk Manajemen Subsidi Melihat kompleksitas dan besarnya risiko fiskal terkait subsidi listrik seperti tergambar dalam paparan di atas, Kemenkeu telah menginisiasi penyusunan kajian yang mempelajari secara menyeluruh permasalah-permasalahan di sektor kelistrikan. Kajian ini dibantu oleh konsultan independen, yaitu McKinsey & Company. Kajian tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan potret komprehensif dari industri kelistrikan nasional dan kondisi keuangan baik dari sisi fiskal Pemerintah maupun dari keuangan korporasi PT PLN yang saling terkait erat. Dengan adanya gambaran yang lengkap tersebut, maka akan dapat diidentifikasi permasalahan yang ada saat ini dan juga usulan solusi yang workable bagi upaya mengendalikan risiko volatilitas beban subsidi. Setelah melalui diskusi dengan para pemangku kepentingan terkait, didapatkan kesimpulan mengenai beberapa bottleneck dalam industri kelistrikan dan penugasan penyaluran subsidi listrik oleh PT PLN, baik berupa kurang baiknya internal manajemen PT PLN dalam proyeksi investasi dan manajemen pembangunan proyek, maupun kebijakan Pemerintah sendiri yang kurang integrated antarkementerian. Permasalahan yang terindikasi dalam studi tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Penambahan kapasitas baru PT PLN mengalami penundaan (FTP-I, FTP-II, dan regular);
b.
Pembangunan kapasitas melalui IPP mengalami tantangan eksekusi;
c.
Kontinjensi dalam rencana pembangunan kapasitas terlalu besar;
d.
Operasional PT PLN yang terus meningkat (kurangnya efisiensi);
e.
Kendala pasokan gas;
f.
Volatilitas harga bahan bakar (energi primer: BBM, gas dan batubara);
g.
Porsi energi terbarukan yang masih kecil;
h.
Sumber pendanaan investasi yang semakin terbatas;
i.
Paradoks model perhitungan kompensasi PSO;
j.
Pengalokasian risiko yang tidak tepat;
k.
Return PT PLN sangat rendah; dan
l.
Pengenaan tarif yang tidak mencerminkan biaya energi input dan tarif subsidi yang terbuka untuk seluruh pelanggan.
Berkaca pada permasalahan-permasalahan tersebut di atas yang tidak hanya semata-mata permasalahan internal PT PLN, maka upaya untuk mengatasinya memerlukan itikad baik dari Pemerintah maupun PT PLN untuk melakukan “aksi prioritas” yang meliputi peningkatan kinerja 36 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
PLN, dukungan kebijakan industri listrik dan industri energi terkait, dan peninjauan tarif (TTL). Dengan penerapan aksi prioritas tersebut maka PT PLN diharapkan akan dapat lebih mandiri dan mampu mengelola efisiensi operasional mereka. Diisi lain, Pemerintah akan dapat mendapatkan manfaat dengan maksimalnya net impact ke APBN dan juga beban subsidi akan dapat diminimalkan baik dari segi jumlah beban subsidi maupun risiko volatilitasnya. Penyusunan Service Level Agreement (SLA) sebagai Alat Penerapan “Aksi Prioritas”Memerlukan Dukungan Pimpinan Tertinggi Pemerintahan Seperti telah disinggung sebelumnya, permasalahan kelistrikan juga disebabkan adanya ego sektoral yang tidak mengagregasi kepentingan sektor lain. Kementerian yang terkait langsung dalam kegiatan operasional adalah KBUMN, KESDM, dan Kemenkeu. Apabila dipandang dalam skala yang lebih luas, yang melibatkan aktivitas investasi dan kegiatan jual beli yang dilakukan PT PLN, jumlah instansi berupa kementerian atau badan yang terlibat akan semakin banyak, diantaranya adalah Kemnterian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Dalam negeri (agregasi kepentingan Pemerintah Daerah). Budaya rekonsiliasi dan koordinasi antarkementerian memang belum sering terlihat di negeri ini. Masing-masing berjalan di atas kepentingan sendiridan demikian juga dengan kebijakan-kebijakan sektoral pada industri kelistrikan nasional. Menjembatani hal tersebut apabila dilakukan oleh Kemenkeu sendiri tentunya akan sulit. Oleh karena itu, diperlukan level yang lebih tinggi dalam struktur pemerintahan untuk dapat mengkoordinasi Kementerian terkait. Menyikapi hal tersebut, Kemenkeu telah bekerja sama dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Diharapkan dengan status UKP4 sebagi unit khusus pembantu Presiden akan mampu memudahkan koordinasi dengan Kementerian terkait dan juga memudahkan akses dan feeding informasi kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden terkait pentingnya aksi prioritas ini untuk dilaksanakan dalam rangka menjaga dan meningkatkan akuntabilitas penyaluran subsidi listrik, menjaga kesinambungan fiskal, serta menjadikan PT PLN perusahaan yang sehat dan mandiri. Banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam skema penyaluran subsidi listrik oleh PT PLN menambah tingkat kerumitan pelaksanaan aksi prioritas. Pemerintah dalam hal ini berisi lebih dari 5 Kementerian dan/atau Lembaga Negara, untuk itu diperlukan sebuah formal perjanjian untuk disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan terkait untuk menjamin terlaksananya aksi prioritas tersebut dapat terlaksana dan dapat menurunkan risiko fiskal yang berasal dari penugasan penyaluran listrik
INSPIRING bersubsidi oleh PT PLN. Untuk itu diperlukan sebuah Service Level Agreement (SLA) yang komprehensif antara Pemerintah, dalam hal ini seluruh Kementerian dan Lembaga terkait, dengan PT PLN.
adanya kesepakatan diantara seluruh pemangku kepentingan. Skema dukungan dari pimpinan tinggi Negara juga diejawantahkan dalam struktur SLA yang membentuk steering committee yang beranggotakan perwakilan lintas kementerian, dan menambah level teratas, di atas steering committee, dengan arahan dan mandat Presiden atau Wakil Presiden melalui rapat kabinet terbatas kelistrikan atau rapat wakil presiden untuk sektor kelistrikan. Hingga saat artikel ini ditulis, posisi usulan pembentukan struktur SLA dan format SLA tersebut telah disampaikan kepada Wakil Presiden, akan tetapi belum mendapatkan arahan lebih lanjut.
Rencana aksi merupakan daftar kegiatan yang harus dilaksanakan dalam rangka pencapaian target yang dicanangkan oleh masing-masing stakeholder. Permasalahan utama dengan penerapan SLA ini adalah bahwa seluruh target dan rencana aksi yang tercakup di dalam SLA harus disetujui oleh seluruh pemangku kepentingan. Sementara itu, banyak sekali target dari masing- masing Kementerian/Lembaga yang bertubrukan. Di sinilah pentingnya high level support untuk memastikan
In the Mean Time, What Should We Do? Selama kurun waktu menunggu arahan Wakil Presiden tersebut, Kemenkeu tidak hanya berpangku tangan dan menunggu. Kemenkeu dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal (BKF) telah mengadakan konsolidasi dengan KBUMN dan KESDM terkait penerapan SLA ke depan. Mengingat salah satu langkah awal dalam aksi prioritas adalah peningkatan kinerja PT PLN, dan salah satu rencana aksi untuk
meningkatkan kinerjanya adalah melalui penerapan PT PLN sebagai regulated utility, maka saat ini mengembangkan implementasi Performance Based Rating (PBR) pada PT PLN. PBR merupakan suatu skema penilaian kinerja untuk sebuah perusahaan listrik baik yang bersifat monopoli maupun non-monopoli dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi serta tingkat pelayanan kepada pelanggan.
Gambar 4. Model PBR untuk Mempercepat Proses Efisiensi Menetapkan tarif awal untuk tahun ke-1
Evolusi tarif: RPI1-X Contoh penerpan “X-factors”
RPI-X RPI-X RPI-X
2,6-5,8
2.9
Italy
2.5
UK Opex
Depresiasi Return Total Tarif on Capital Invested
1
2
3
4
Tahun
Nether lands
Sumber: McKinsey
yang mengawasi pelaksanaan target-target yang dimiliki PT PLN.Badan regulator itu sendiri akan terpisah fungsinya dengan policy maker, dimana saat ini kedua fungsi tersebut masih melekat pada KESDM. Saat ini sedang dikoordinasikan kemungkinan pembentukan “shadow
1.3
Dalam implementasi PBR, penetapan target efisiensi dan evaluasi dilakukan dalam periode 4-5 tahun, untuk itu pola pikir bahwa evaluasi atas target efisiensi perusahaan listrik dapat dilakukan dalam periode tahunan harus diubah. Penetapan metode ini memerlukan koordinasi setidaknya dari tiga Kementerian sehingga dapat menyelesaikan isu terkait efisiensi operasional PLN, paradoks model perhitungan subsidi, return PLN, dan tarif versus energi primer. Selain itu, best practice penerapan PBR memerlukan adanya suatu badan regulator
regulator” dimana hanya akan berisi setidaknya perwakilan dari Kemenkeu, KESDM, dan KBUMN. “Shadow regulator” ini nantinya merupakan embrio pembentukan regulator independent untuk mengawasi penugasan penyaluran listrik bersubsidi oleh PT PLN.
PENUTUP
D
engan melihat kompleksitas industri kelistrikan nasional serta kurang koordinasinya kebijakan-kebijakan sektoral Pemerintah, kami mempercayai bahwa untuk menjadikan subsidi listrik lebih rasional, diperlukan peningkatan akuntabilitas dan transparansi. Penerapan SLA merupakan salah satu cara yang akan mampu menciptakan kesinambunganfiskal dan menjadikan PT PLN sebagai sebuah perusahaan yang sehat dan mandiri. Kita juga harus percaya bahwa Indonesia akan mampu mencapai cita-cita mewujudkan masyarakat adil makmur dan sejahtera. Hal ini berarti seluruh masyarakat Indonesia harus dapat memperoleh akses listrik (100% rasio elektrifikasi), akses pendidikan, akses kesehatan, dan akses ekonomi sehingga pada saat itu masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mandiri dan berdaulat. INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 37
fiskal
EDUKASI
TANGAN KANAN PEMERINTAH (APBN) DAN TANGAN KIRI PEMERINTAH (BUMN) Oleh : Syahrir Ika1 Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan, dalam kolom “Manufacturing Hope 47” pada harian Rakyat Merdeka, 15 Oktober 2012, mengatakan bahwa ada beberapa pertanyaan yang harus ia jawab setelah diminta Presiden menjadi Menteri Negara BUMN. Salah satu diantaranya adalah, “Mengapa Negara Memiliki BUMN?”. Mengapa ia mengajukan pertanyaan tersebut? Apakah karena banyak orang tidak memahami peran BUMN, ataukah para Direksi BUMN tidak mengerti peranan mereka sebagai agent, atau kah BUMN tidak bisa hadir ketika negara membutuhkan perannya dalam mendorong dan mempercepat pembangunan saat anggaran pemerintah (APBN) terbatas?
3
alasan
Menurut Dahlan Iskan, ada tiga alasan mengapa negara memiliki BUMN. Pertama, BUMN harus bisa dipakai sebagai alat ketahanan nasional, dimana industri strategis dan industri pangan, masuk di kelompok ini. Suatu industri disebut strategis berarti industri itu perlu ditangani secara serius. BUMN yang berada dalam industri tersebut harus diperkuat dan dibesarkan. Kedua, BUMN harus bisa berfungsi sebagai 'engine of growth' atau mesin pertumbuhan ekonomi. Ini berarti proyek-proyek penting yang akan bisa menggerakan ekonomi secara nyata, harus dimasuki BUMN. Sebuah proyek yang sangat penting buat negara, tetapi tidak memiliki prospek dalam menghasilkan laba, dan karenanya tidak diminati swasta, maka BUMN harus mengerjakannya. Contohnya antara lain BUMN yang menangani pelabuhan, jalan tol, bandara, dan industri hulu solar cell. Ketiga, BUMN harus bisa dipergunakan untuk menumbuhkan kebanggaan nasional, tidak boleh hanya jago kandang. Bank, penerbangan, semen, telekomunikasi, kedokteran, dan nuklir adalah beberapa contoh yang akan bisa menjadi kebanggaan bangsa di dunia internasional. Ketiga tujuan BUMN tersebut bila dirangkum, maka pada intinya BUMN harus bisa menjadi 'tangan kedua' Pemerintah, sebagaimana disampaikan Presiden SBY ketika memberikan arahan kepada para Direksi dan Komisaris BUMN di Yogyakarta, 10 Oktober 2012 lalu. Sedangkan 'tangan pertama' Pemerintah adalah APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Menurut Presiden SBY, Pembangunan akan bisa lebih maju dan lebih cepat kalau memiliki 'tangan kedua', yaitu BUMN. Tangan kedua juga bermakna bahwa banyak hal yang tidak bisa dikerjakan melalui APBN, harus bisa dikerjakan oleh BUMN. BUMN harus mengisi bagian-bagian yang memerlukan percepatan pembangunan. Kemampuan investasi tangan kedua (kiri) pemerintah (BUMN) bisa mencapai Rp250 triliun per tahun, kurang lebih sama dengan tangan pertama (kanan) pemerintah (APBN).
1
Peneliti Utama pada PPRF, Badan Kebijakan Fiskal-Kementerian Keuangan RI/Direktur PT Antam Tbk (2003-2008).
38 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
fiskal
EDUKASI Tipe ketiga, BUMN yang menjadi katalisator pembangunan infrastruktur. Contohnya SMI dan PII yang kedudukannya masih berada di bawah koordinasi Kementerian Keuangan, dan belum dilimpahkan ke Kementerian BUMN. BUMN tipe ini, ruang geraknya memang terbatas, karena bekerja berdasarkan proses bisnis terkait dukungan dan penjaminan pemerintah atas risiko yang timbul dari suatu proyek pemerintah yang didanai APBN.
Pemerintah bertekad mengajak BUMN dan swasta untuk secara bersama-sama mengincar anggaran Rp250 triliun per tahun yang ada di BP Migas yang selama ini lebih banyak dikerjakan perusahaan asing. Pemerintah menyadari bahwa hanya BUMN saja tidak akan kuat, begitu juga hanya swasta nasional saja tidak akan mampu. Bila keduanya bergabung, akan menjadi lebih kuat. Pemerintah tidak memberikan perlakukan khusus hanya kepada BUMN dan swasta nasional tertentu untuk mengerjakan proyekproyek pemerintah. Persaingan harus berlangsung sehat, termasuk dengan perusahaan asing. Sebagai Menteri, Dahlan Iskan meminta para Direksi BUMN agar tidak ikut rebutan proyek-proyek kecil di APBN. Kemampuan BUMN harus naik kelas, bukan turun kelas ke proyek-proyek kecil yang sebenarnya sudah bisa ditangani swasta. Pertanyaannya, apakah tangan kiri pemerintah (BUMN) bisa digerakan secara maksimal untuk mengimbangi gerak tangan kanannya (APBN)?
Berdasarkan pemataan tipe BUMN ini, maka peran setiap BUMN untuk menjadi tangan kedua (kiri) pemerintah juga berbeda-beda, tergantung kapasitas permodalan, intensitas penugasan pemerintah, struktur kepemilikan saham, dan mungkin juga regulasi, yang membolehkan atau tidak membolehkan sebuah BUMN masuk kedalam proses bisnis tertentu. Selain itu, kualitas Direksi juga menjadi salah satu Faktor yang bisa memperkuat BUMN sebagai tangan kedua Pemerintah.
Tipe-Tipe BUMN
3 Krisis yang harus di Tangani BUMN
Bila kita petakan pola bisnis BUMN dan posisinya terhadap proyek-proyek pemerintah (APBN), maka BUMN bisa dikelompokkan ke dalam beberapa tipe sebagai berikut. Tipe pertama adalah BUMN yang aktivitasnya berhubungan langsung bahkan tergantung pada proyek-proyek pemerintah. BUMN tipe ini antara lain (i) BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur seperti Jasa Marga, BUMNBUMN Karya (Wijaya Karya, Adhi Karya, dll); (ii) BUMN di bidang perhubungan seperti Telkom, Kereta Api, dan PELNI); (iii) BUMN di bidang energi (Pertamina, PLN, dan PGN); (iv) BUMN Pangan (Bulog, Sang Hyang Seri, dll), (v) BUMN pembiayaan (Jamkrindo), dan (vi) BUMN Pupuk (PUSRI, Pupuk Kaltim, dll). BUMN-BUMN ini banyak mendapat tugas dari pemerintah untuk menjalankan misi PSO (Public Service Obligation). Karena spesialisasinya, BUMN-BUMN ini memiliki peluang untuk memenangkan tender pada proyek-proyek pemerintah. Bisa jadi, karena tergantung pada Pemerintah, maka sebagian BUMN tipe ini miskin terobosan. Akibatnya nilai tambah ke negara (pajak dan dividen) menjadi kurang signifikan.
M
Tipe kedua, BUMN yang tidak mendapatkan penugasan PSO. Karenanya, BUMN ini harus bekerja keras mengembangkan dirinya tanpa bantuan atau proyek pemerintah. Kalaupun memerlukan bantuan pemerintah, frekuensinya sangat minimal. Contohnya, BUMN bidang pertambangan (Antam, Timah, Bukit Asam), BUMN bidang penerbangan (Garuda Indonesia, Merpati Nusantara Indonesia), BUMN bidang asuransi dan penjaminan (Jasindo, Askrindo), BUMN bidang perbankan (Mandiri, BRI, BNI, BTN) serta BUMN bidang pembiayaan (Pegadaian). BUMN-BUMN ini memasuki pasar yang kompetitif sehingga para direksi harus memiliki kepiawaian dalam memenangkan persaingan bisnis dengan swasta, baik domestik maupun asing.
enurut penulis, ada tiga jenis krisis yang harus ditangani Pemerintah (APBN) dan BUMN, yaitu Pangan, Infrastruktur, dan Energi. Persoalan pangan, Indonesia berhadapan dengan krisis pangan, sementara persoalan energi, Indonesia berhadapan dengan krisis energi. Sedangkan persoalan infrastruktur, Indonesia berhadapan dengan krisis daya saing. Bila BUMN diposisikan sebagai tangan kedua (kiri) pemerintah yang harus seimbang atau melengkapi tangan kanan Pemerintah (APBN), maka konsentrasi, konsistensi, dan keseriusan BUMN dan Pemerintah dalam mengatasi risiko pangan, energi, dan daya saing, bisa menjadi solusinya. BUMN-BUMN yang terkait dengan 'tiga krisis' ini adalah BULOG dan BUMN Pangan lainnya, BUMN-BUMN Infrastruktur, dan BUMN-BUMN Strategis. Bila pemerintah bisa membuat aligment pada masing-masing Kelompok BUMN berbasis risiko tersebut, maka pemerintah akan memiliki fokus untuk mengatasi setiap krisis dengan baik. Kementerian BUMN bisa membentuk Kelompok Kerja BUMN berdarkan tipe risiko tersebut, dan meminta tiga Deputi menjadi pengarah kelompok untuk membuat program-program strategik mengatasi krisis. Bila tidak demikian, cara menangani krisis akan bersifat ad hoc dan tidak sistemik. Hal ini terlihat dari kasus kedelai yang mendorong pemerintah merevitalisasi BULOG. Mungkin langkah ini bukan merupakan solusi yang tepat bila cara mengelola krisis pangan dilakukan secara lebih komprehensif dan matang. Begitu juga dengan krisis energi, dimana in efisiensi pembangkit PLN terkait dengan kurangnya suplai gas, yang mestinya tidak perlu terjadi karena kedua BUMN itu mesti berada dalam satu group mengatasi krisis energi. INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 39
fiskal
EDUKASI Sementara dalam aspek infrastruktur, persoalannya pada koordinasi antar Kementerian/Lembaga yang belum baik. Kita mengetahui faktor yang membuat daya saing infrastruktur kita rendah dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya, tetapi mengapa kita sulit memperbaikinya? Bila soalnya pada anggaran, maka kebijakan anggaran (fiskal) yang diperbaiki. Bila soalnya pada teknologi, maka kebijakan reserah and developmentnya yang diperbaiki berikut kalitas SDM. Mungkin kita akan sulit menjawab pertanyaan, mengapa anggaran pendidikan di APBN yang cukup besar (20% dari total belanja Negara) tetapi daya saing Indonesia dalam banyak aspek masih kalah jauh dibandingkan dengan negara lain. Mungkin diperlukan semacam 'perenungan nasional' untuk mencari jawabannya dan aksi yang terprogram baik dan sistematis. Atau, sebenarnya kita mengerti jawaban atau solusinya, tetapi kita sulit melaksanakannya, karena ada
40 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
sesuatu rintangan yang menyebab hal yang mudah tetapi sulit dilaksanakan. Dari cara pikir di atas, maka menyeimbangkan tangan pertama (kanan) dan tangan kedua (kiri) APBN dan BUMN kuncinya ada pada kekuatan leadership dan efektifitas dalam melakukan koordinasi dan sinergi antara kedua tangan itu. Tangan kanan akan tahu kemana gerakan tangan kiri, begitu pula sebaliknya tangan kiri juga tahu kemana tangan kanan bergerak. Tangan kiri menyadari kapan dia harus membantu tangan kanan karena sebuah beban yang berat, begitu juga sebaliknya. Suatu saat, tangan kanan akan santai melihat tangan kiri bisa memikul sesuatu tanpa beban yang menurut penilaiannya ringan sehingga tidak perlu dibantu. Inilah kiat-kiat saling pengerian diantara kedua tangan itu, APBN dan BUMN.
OPINI
MENCARI KESETIMBANGAN BARU FORMULASI SUBSIDI LISTRIK Oleh : Hidayat Amir1
P
emerintah telah mendapatkan persetujuan DPR untuk menaikkan Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebesar rata-rata 15% untuk pelanggan pengguna listrik di atas 900VA mulai tahun 2013. Kebijakan ini diambil untuk menyehatkan hubungan PLN dan APBN. Dalam sepuluh tahun terakhir, angka subsidi listrik di APBN terus meningkat, dari hanya sebesar Rp3,4 triliun pada 2004 diproyeksikan menjadi Rp93 triliun pada 2011. Pada tahun 2012 ini diproyeksikan sebesar Rp93 triliun (angka APBN-P, termasuk cadangan risiko energi Rp23 triliun) dan dalam RAPBN 2013 dianggarkan sebesar Rp81 triliun dengan skema kenaikan TTL. Grafik 1 menggambarkan secara detail perkembangan nilai subsidi ini dalam satu dekade terakhir. Apabila tendensi ini berlanjut tentu akan menimbulkan permasalahan yang makin serius. Tidak hanya sebagai beban APBN tetapi juga menunjukkan ada hal yang tidak tepat dalam pola subsidi listrik. Hal ini mengindikasikan ada pola hubungan antara APBN dan PLN yang tidak seimbang. Grafik 1. Gambaran Perkembangan Subsidi Listrik2 Selisih tarif dan biaya untuk kategori tertentu
Rata-rata selisih tarif dan biaya untuk semua kategori
Cost plus margin +6% p.a.
+110% p.a.
93.0
78.6 +123% p.a. -4% p.a 3.9 % penge luaran pemerin tah
33.9
37.5
53.7
57.6
65.0
12.5
4.9
4.1
4.5
3.4
2000
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
2012
2
1.5
1
1
1
2.5
5
5
8.5
6
6
7
3
Faktor Subsidi terbatas pada kategori Pendorong tertentu: S-1, S-2, R-1, I-1 dan B-1 Utama dengan kapasitas <450 VA TDL konstan
2005: subsidi diperluas ke seluruh kategori
2006: biaya HSD meningkat hingga 100%
2008: Menggunakan model BPP plus margin biaya bahan bakar meningkat -65%
2009: TDL meningkat, biaya bahan bakar menurun hingga 35%
2011: Harga bahan bakar meningkat -35% Dampak
1 2
Subsidi tetap rendah dan konstan
Kenaikan yang signifikan antara ‘05/06 dari 2% to 5% dari total pengeluaran pemerintah
Subsidi mencapai Rp 84 tn dan Rp 93 tn pada tahun 2008 dan 2011-8.5% dan 7% dari total pengeluaran pemerintah
Peneliti BKF, email:
[email protected] Dikutip dari Presentasi Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal dalam Seminar “Menggagas Kebijakan Subsidi Listrik Yang Sehat dan Berekeadilan melalui Service Level Agreement (SLA)” di Jakarta pada 18 Juli 2012
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 41
OPINI Tulisan ini mencoba mengulas seputar permasalahan ini, utamanya terkait latar belakang munculnya kenaikan subsidi listrik, potensi permasalahan yang ditimbulkan, kemudian mencoba mencari alternatif solusinya.
Mengapa Subsidi Listrik Meningkat Tajam? Untuk melihat fenomena kenaikan subsidi listrik dalam satu dekade terakhir secara lebih komprehensif perlu ditelaah latar belakang kebijakan yang terkait dengan hal ini. Pasal 66 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa Pemerintah memberi penugasan khusus kepada PT PLN untuk menyediakan dan menyalurkan listrik kepada masyarakat. Konsekuensi penugasan ini, Pemerintah memberikan kompensasi berupa subsidi listrik atas semua biaya yang telah dikeluarkan termasuk margin yang diharapkan.
menyetujui kenaikan TTL rata-rata 10% mulai Juli 2010 sehingga subsidi listrik meningkat menjadi Rp55,1 triliun dalam APBNP dan realisasinya mencapai Rp57,6 triliun. Sejak tahun 2009 Pemerintah memberikan kebijakan margin yang ditujukan untuk: (1) menyehatkan keuangan PT PLN; (2) meningkatkan financing leverage PT PLN dalam mencari sumber pendanaan baik dari perbankan maupun penerbitan obligasi; dan (3) menjaga debt covenant PT PLN dalam kondisi yang aman. Awalnya dalam APBN 2009 ditetapkan margin sebesar 2%, namun dalam APBNP dinaikkan menjadi 5%. Setahun berikutnya, dalam APBNP 2010 besaran margin ini kembali dinaikkan menjadi 8%. Kebijakan ini dipertahankan untuk tahun 20113. Sedangkan untuk tahun 2012 dan 2013 besaran margin ditetapkan sebesar 7%. Kebijakan ini memberi dampak positif terhadap keuangan PLN sebagaimana terlihat dalam Grafik 2 yaitu sejak tahun 2009 PT PLN berhasil membukukan laba. Grafik 2. Laba PLN dan Biaya BBM4
Pada tahun 2005 Pemerintah memperluas pola subsidi kelistrikannya, dari kebijakan subsidi terarah yaitu hanya untuk pelanggan dengan daya 450VA, menjadi diperluas kepada semua pelanggan yang Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listriknya lebih besar disbanding dengan Harga Jual Tenaga Listrik (HJTL)–nya. Pada tahun 2007 Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 111/PMK.02/2007 untuk mengatur tatacara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran dan pertanggungjawaban subsidi listrik. Dalam PMK ini diatur formulasi subsidi listrik sebagai berikut: Subsidi = -[HJTL – BPP(1 + margin)] x Volume Dengan formulasi ini maka pemerintah telah memberlakukan bentuk subsidi terbuka yang mirip dengan formualsi pada subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Setiap selisih biaya penyediaan (BPP) dengan harga jual (HJTL) akan ditransfer kepada Pemerintah sebagai beban subsidi. Besaran subsidi listrik sangat dipengaruhi oleh kebijakan tarif tenaga listrik dan besaran margin yang ditetapkan oleh pemerintah, serta efisiensi atas biaya pokok penyediaan yang dilakukan oleh PLN. Pasal 34 UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengatur bahwa setiap perubahan TTL harus dengan persetujuan DPR. Kebijakan tersebut mengakibatkan kebijakan TTL tidak fleksibel. Efeknya ketika terjadi lonjakan BPP sebagai akibat lonjakan harga minyak maka langsung membawa konsekuensi lonjakan pada beban subsidi pemerintah. Sebagai contohnya, dalam APBN 2010 Pemerintah dan Badan Anggaran DPR menyetujui subsidi listrik Rp37,8 triliun dengan asumsi kenaikan TTL rata-rata 20% mulai Januari 2010. Namun Komisi VII DPR hanya 42 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Tujuan kebijakan dan efek samping Perubahan dalam pola pemberian subsidi BBM sejak tahun 2003 sebagaimana diuraikan di atas sebetulnya garis merahnya ialah untuk lebih memberdayakan PT PLN dalam kinerjanya untuk penyediaan energi listrik nasional dan peningkatan rasio elektrifikasi. Namun demikian, sepertinya proses pencarian pola hubungan pemerintah dan PLN belum memberikan bentuk kesetimbangan yang optimal. Hal ini terlihat dari peningkatan beban subsidi yang ditanggung APBN. Apabila kondisi seperti ini dipertahankan 3
4
Buku Kondisi Industri Kelistrikan di Indonesia dan Hubungan Keuangan APBN dengan PT PLN hal. 25-27 Data Laba PLN dikutip dari Buku Kondisi Industri Kelistrikan di Indonesia dan Hubungan Keuangan APBN dengan PT PLN hal. 16. Data fuel cost share dikutip dari Nasri Sebayang dan Buku Kondisi Industri Kelistrikan di Indonesia dan Hubungan Keuangan APBN dengan PT PLN hal. 42. Data fuel mix dikutip dari Presentasi Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal dalam Seminar “Menggagas Kebijakan Subsidi Listrik Yang Sehat dan Berekeadilan melalui Service Level Agreement (SLA)” di Jakarta pada 18 Juli 2012
OPINI maka bukanlah tidak mungkin bahwa suatu saat besaran beban subsidi listrik akan terus membengkak. Dengan system subsidi terbuka dan diperluas kepada semua segmen pelanggan maka risiko peningkatan beban semuanya menjadi tanggungan pemerintah.
Grafik 3 Proyeksi Fuel Mix Sektor Ketenagalistrikan [RUPTL PLN 2006-2016]
Peningkatan besaran subsidi listrik yang sangat pesat dalam dekade terakhir disebabkan oleh terjadinya kombinasi atas dua faktor utama: (1) kenaikan harga minyak dunia yang sangat signifikan semenjak tahun 2002; dan (2) ketidakberhasilan PLN melakukan transformasi bauran bahan bakar pembangkitannya dari BBM ke non-BBM. Harga minyak Indonesia Crude Oil Price (ICP) meningkat dari USD24,6 per barel pada 2002 menjadi USD111,6 per barel pada 2011. Sepertinya era harga minyak murah telah berakhir. Oleh karenanya Pemerintah berupaya keras untuk mengurangi proporsi BBM dan menggantinya dengan sumber energi alternatif lainnya. Tidak terkecuali PT PLN. Sebetulnya ketika harga BBM telah mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2005, PT PLN telah memiliki proyeksi fuel mix sektor ketenagalistrikan yang dituangkan dalam RUPTL PLN 2006-2016 (Grafik 3). Dalam dokumen itu PT PLN mentargetkan bahwa proporsi BBM (oil fuel) akan dikurangi dari sekitar 30% di tahun 2006 menjadi hanya 5% di tahun 2009 atau 3% di tahun 2010.
Namun rencana PT PLN ini belum berhasil. PT PLN hanya berhasil menekan sedikit proporsi penggunaan BBM sebagai sumber energinya, yaitu dari 34% (HSD + MFO) pada tahun 2005 menjadi 23% pada tahun 2010 dan kembali mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2011 menjadi 26%. Pencapaian ini tentu masih sangat jauh jika dibandingkan dengan dokumen RUPTL tersebut. Bauran BBM yang masih tinggi ini mengakibatkan biaya bahan bakar BBM masih mendominasi komposisi biaya bahan bakar (Lihat kembali Grafik 2). PT PLN tidak mampu menekan BPP-nya. Hasilnya secara formulasi akan menjadi beban subsidi dalam APBN. Kedua kondisi inilah yang mengakibatkan mengapa besaran subsidi listrik dalam dekade terakhir ini mengalami pembengkakan.
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 43
OPINI
ALTERNATIF SOLUSI Upaya mencari solusi terbaik dari permasalahan ini tentu telah banyak dilakukan, yaitu untuk tetap menjaga kesehatan PT PLN sebagai ujung tombak penyediaan energi kelistrikan nasional namun juga kebijakan subsidi kelistrikan yang rasional. Beberapa upaya yang telah dilakukan misalnya dengan menetapkan biaya-biaya yang tidak boleh dimasukkan dalam komponen BPP (nonallowable costs) dan penyesuaian TTL pada tahun 2013. Selain Pemerintah juga memberikan berbagai fasilitas kebijakan fiskal untuk mendorong pembangunan ketenagalistrikan, baik berupa insentif perpajakan maupun jaminan/dukungan pembiayaan proyek. Hal ini juga dilakukan untuk mempercepat proses transformasi bauran sumber energi nasional. Saat ini Pemerintah dan PT PLN juga sedang mempersiapkan pola kerja sama dalam format Service Level Agreement (SLA). Semacam kontrak kinerja yang mengatur hubungan antara Pemerintah (principal) dan PT PLN (agency). SLA ini akan mengatur secara lebih detail hak dan kewajiban kontraktual antara Pemerintah dan PT PLN. Dengan SLA ini harapannya Pemerintah dan PT PLN dapat bekerja sama secara lebih baik, lebih transparan dan akuntabel untuk bersama-sama membangun ketenagalistrikan nasional. Dalam jangka pendek, penulis mengusulkan untuk merevisi formulasi subsidi listrik yang ada. Dalam formula subsidi tersebut di atas, penulis berpendapat dari komponen margin ada potensi risiko. Secara sekilas sepertinya sudah tepat bahwa margin merupakan proporsi atas BPP. Secara akuntansi hal ini memang biasa. Namun mari coba kita lihat secara lebih seksama karena ini bukan formulasi bisnis biasa tetapi merupakan formulasi pembagian beban antara pemerintah dan PT PLN. Idealnya formulasi ini tidak hanya mampu mengalokasikan beban secara adil tetapi juga mampu memberikan insentif untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
44 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Oleh karena margin merupakan angka pengali BPP, ketika BPP mengalami kenaikan maka akan menghasilkan laba yang lebih besar bagi PT PLN. Perolehan laba yang baik merupakan suatu ukuran suatu kinerja korporasi, tanpa terkecuali PT PLN sebagai BUMN. Namun di sisi lain, ketika BPP mengalami kenaikan maka yang terjadi adalah kenaikan beban subsidi. Ketika PT PLN diminta melakukan efisiensi dengan cara menekan besaran BPP maka PT PLN juga berhadapan dengan situasi untuk mengurangi besaran labanya. Rumusan margin sebagaimana uraian di atas berpotensi menimbulkan dysfunctional behaviour dalam diri PT PLN, yaitu respon perilaku yang tidak sesuai dengan keinginan pembuat kebijakan/principal (Pemerintah). PT PLN akan bersikap mendua. Penulis tidak berani berargumen bahwa ketidaksukesan PT PLN menurunkan proporsi BBM dalam fuel mix-nya yang pada gilirannya mampu menekan BPP dan beban subsidi sebagai efek dari formulasi ini. Namun penulis berkeyakinan ketika formulasi ini diperbaiki akan memberikan efek yang lebih baik. Sementara yang mampu penulis pikirkan saat ini ialah margin bisa diberikan dalam dua jenis, yaitu margin dasar dan margin prestasi. Margin dasar sebagi pengali BPP diberikan dengan besaran yang relative rendah, misalnya 2% sebagai kompensasi atas non-allowable costs. Margin prestasi besarannya fleksibel dikaitkan dengan indikator pencapaian prestasi, misalnya dikaitkan dengan pencapaian target fuel mix, tingkat elektrifikasi dan ukuran efisiensi lainnya. Tentu untuk mendapatkan formulasi yang tepat perlu simulasi penghitungan yang detail dan seksama. Namun intinya perlu dicarikan formulasi baru yang lebih menjamin terjadinya goal congruence antara Pemerintah dan PT PLN.
OPINI
Bolehkah KRL Commuter Line Disubsidi? Oleh : Agunan Paulus Akhirnya, kenaikan tarif KRL Commuter Line Jabodetabek sebesar Rp2.000 untuk semua relasi telah diberlakukan sejak 1 Oktober 2012 (lihat Tabel 1). Rencana kenaikan tersebut telah disosialisasikan oleh PT KAI kepada penumpang dalam beberapa bulan terakhir. Sementara itu, KRL ekonomi tidak mengalami kenaikan karena tarifnya disubsidi oleh Pemerintah. Tabel 1. Kenaikan Tarif KRL Commuter Line No
Relasi
1. 2. 3. 4.
Bogor-Jakarta/Jatinegara Depok-Bogor Depok-Jakarta/Jatinegara Bekasi-Jakarta/Stasiun Transit Parung Panjang/SerpongTanah Abang/Stasiun Transit Tangerang-Duri/Stasiun Transit
5.
6.
Tarif s. d. September 2012
Tarif mulai 1 Oktober 2012
Rp7.000 Rp6.000 Rp6.000 Rp6.500
Rp9.000 Rp8.000 Rp8.000 Rp8.500
Rp6.000
Rp8.000
Rp5.500
Rp7.500
Kenaikan tarif ini menuai banyak kritik. Penumpang yang mendukung kenaikan berharap peningkatan layanan PT KAI semakin baik sedangkan yang menolak berargumentasi bahwa penyesuaian tarif bukan berarti pelayanan membaik. Selain itu, tarif yang berlaku saat ini dianggap sudah mahal. Pro dan kontra tersebut boleh-boleh saja dilayangkan kepada PT KAI. Namun, yang perlu dicatat adalah kewenangan untuk menyesuaikan tarif KRL Commuter Line ada ditangan PT KAI. Pemerintah tidak dapat mengintervensi naik-turunnya tarif KRL Commuter Line bila tidak disubsidi.
1
kedua, penumpang secara perlahan-lahan keberatan dengan kenaikan tersebut. Selain itu, adanya kenaikan tarif ternyata tidak diikuti dengan peningkatan layanan kepada penumpang oleh PT KAI. Justru PT KAI menambah kereta khusus wanita untuk relasi dan waktu tertentu seperti Bogor/Depok – Jakarta. Harapan untuk naik kereta yang nyaman dan longgar belum pernah terjadi pada peak hour yaitu saat berangkat dan pulang kerja. Fakta lapangan menunjukkan penumpang mulai beralih ke transportasi yang lebih murah yaitu (i) naik KRL ekonomi dengan tarif Rp2.000 sekali jalan dan (ii) menggunakan sepeda motor. Saat ini, penumpang KRL Commuter Line menyiasati kenaikan tarif dengan membeli tiket KRL ekonomi. Hal ini dapat dilakukan karena lemahnya pengawasan KAI/KCJ terhadap karcis yang dibeli penumpang. Pengecekan tiket di dalam KRL Commuter Line saat berjalan merupakan hal yang sulit dilakukan KAI/KCJ karena sesaknya jumlah penumpang di KRL Commuter Line pada saat jam dan pulang kerja. Petugas outsourcing yang digunakan KAI/KCJ tidak maksimal dalam mencocokkan karcis yang sesuai dengan KRL yang digunakan. Penjagaan yang ketat hanya dilakukan pada saat masuk dan keluar peron atau stasiun. Namun, hal itu hanya berlaku pada stasiun-stasiun yang infrastrukturnya baik. Sampai saat ini, stasiun dan peron masih bebas dimasuki pedagang keliling dan penumpang tidak bertiket.
Dengan demikian, PT KAI punya hak untuk menaikkan tarif KRL. Alasan klasik yang selama ini disampaikan ke publik adalah untuk meningkatkan pelayanan melalui perbaikan fasilitas kereta, ruang tunggu stasiun, perpanjangan peron, dan peninggian peron. Hal ini lah yang belum bisa diterima oleh penumpang, kenapa harus menaikkan tarif baru meningkatkan pelayanan. Kenapa tidak sebaliknya?
Beralihnya sebagian penumpang KRL Commuter Line menggunakan kendaraan roda dua juga menyebabkan bertambahnya kemacetan di w il ayah Jakarta. Bertambahnya jumlah motor juga akhirnya menyedot BBM bersubsidi. Bila hal ini terus dibiarkan, kenaikan tarif KRL Commuter Line menjadi kontradiktif untuk mendorong masyarakat beralih ke transportasi massal. Bila hal ini dibiarkan, maka program Pemerintah untuk mengurangi penggunaan BBM bersubsidi berjalan ditempat.
Kenaikan Tarif KRL AC
Dukungan Pemerintah
Kenaikan tarif sebesar Rp2.000 sekali jalan akan menyebabkan kenaikan biaya transportasi kira-kira sebesar Rp80.000 untuk sebulan per orang. Adanya kenaikan tarif tersebut, pada awalnya penumpang mampu menyesuaikan pengeluaran bulanannya. Namun, memasuki bulan
Kesenjangan harga karcis KRL Commuter Line dengan KRL ekonomi sangat besar yaitu Rp6.000-Rp7.000. Perbedaan layanan tidak signifikan, selain itu sarana KRL ekonomi jauh 1
Peneliti Madya Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012 45
OPINI dari keselamatan dan kenyamanan. Usia KRL ekonomi banyak yang memasuki usia senja dan tidak layak untuk dioperasikan. Kelebihan KRL ekonomi adalah tarif yang murah yaitu Rp2.000 untuk jarak terjauh 55 km dari BogorJakarta. Sarana KRL Commuter Line banyak yang baru, tetapi kebanyakan kereta bekas dari Jepang dan usianya lebih dari 10 tahun. Waktu tertentu, KRL Commuter Line ternyata seringkali tidak ber-AC saat dioperasikan. Hal inilah yang menyebabkan penumpang kecewa dan marah atas pelayanan yang minimal tetapi harga tiket maksimal. Seharusnya dengan kenyamanan dan keselamatan penumpang KRL Commuter Line semakin baik, secara otomatis akan semakin banyak pengguna dan pemilik kendaraan roda dua dan roda empat beralih ke moda KRL. Saat ini jumlah penumpang KRL sekitar 401.122 orang per hari. Sementara rata-rata penumpang tahun 2009-2010 adalah 357.895 orang per hari. Agar penumpang tidak beralih ke kendaraan roda dua atau moda lainnya, perlu ada dukungan dari Pemerintah terhadap peningkatan penggunaan KRL Commuter Line. Salah satu alternatifnya adalah memberikan subsidi terhadap penumpang KRL Commuter Line. Pertanyaannya adalah apakah boleh KRL AC diberikan subsidi? Selama ini pemberian subsidi untuk transportasi kereta api dan angkutan laut untuk kelas ekonomi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dalam Pasal 152 menyebutkan bahwa tarif angkutan orang dapat ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk angkutan pelayanan kelas ekonomi. Selanjutnya pada Pasal 153 bahwa untuk pelayanan kelas ekonomi, dalam hal tarif angkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 lebih rendah daripada tarif yang dihitung oleh KAI berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam bentuk kewajiban pelayanan publik. Selisih tersebut dikenal dengan subsidi. Bila undang-undang tersebut hanya diartikan dalam arti sempit, maka program transportasi massal dengan angkutan kereta api atau KRL kemungkinan berjalan ditempat. Upaya terobosan yang perlu dilakukan Pemerintah untuk menggalakkan penggunaan angkutan kereta api bukanlah pekerjaan yang sulit. Faktor keselamatan dan kenyamanan merupakan hal yang terutama bagi penumpang KRL Commuter Line. Dukungan Pemerintah yang dapat diberikan adalah memberikan subsidi bagi penumpang KRL Commuter Line. Subsidi yang diberikan adalah rata-rata Rp3.000 per tiket. Total subsidi yang diberikan pada tahun 2013 dengan asumsi jumlah penumpang adalah 401.122 orang per hari adalah Rp433,21 miliar. Subsidi KRL Commuter Line hanya 0,3 persen dari subsidi BBM 2013. Penamaan KRL Commuter Line perlu dirubah menjadi KRL AC ekonomi untuk menghindari pelanggaran UU No. 23 46 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2012
Tahun 2007. Dengan demikian, Pemerintah tetap diperkenankan memberikan subsidi sepanjang KRL AC menggunakan nomenklatur ekonomi. Cara lain agar KRL AC ekonomi dapat diberikan subsidi adalah mengamandemen UU 23 tahun 2007 terutama pasal 153 bahwa angkutan perkeretaapian komuter atau dalam kota dengan menggunakan KRL berhak memperoleh subsidi. Tujuan pemberian subsidi KRL AC ekonomi adalah untuk meningkatkan jumlah penumpang KRL dan mengalihkan pengguna kendaraan bermotor ke angkutan kereta api. Sesuai dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat komuter Jabodetabek. Sudah saatnya pemberian subsidi transportasi massal diberikan sebesarbesarnya kepada masyarakat yang menggunakan angkutan KRL. Tidak jamannya lagi bahwa subsidi hanya dapat diberikan kepada masyarakat tidak mampu. Semakin besar pengguna kendaraan bermotor yang beralih ke angkutan KRL, maka semakin besar pula manfaat yang diperoleh semua pihak. Pemberian subsidi kepada angkutan massal jelas lebih tepat sasaran dibandingkan subsidi BBM. Kemacetan akan terurai dan berkurang di kawasan Jabodetabek. Subsidi BBM terjadi penghematan karena semakin banyak yang menggunakan angkutan KRL. Bank Dunia (2010), rata-rata konsumsi BBM bersubsidi roda empat adalah 113 liter per bulan dan roda dua sebanyak 19 liter per bulan. Bila pengguna kendaraan bermotor roda empat yang beralih ke angkutan KRL sebanyak 50.000 dan roda dua sebanyak 100.000 kendaraan, subsidi BBM yang dapat dihemat pada tahun 2013 adalah Rp453 miliar. Manfaat lain yang terasa adalah pencemaran udara semakin berkurang dari hari ke hari. Kualitas kesehatan masyarakat lebih baik dibandingkan menggunakan kendaraan bermotor. Harga tiket murah yang disubsidi Pemerintah tidak menjadi jaminan masyarakat mau beralih ke angkutan KRL AC ekonomi. Faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah kenyamanan dan keselamatan. Oleh karena itu, pengoperasian KRL AC ekonomi yang tepat waktu, tiket elektronik, pendingin kereta yang stabil, stasiun yang steril dari pengamen dan pedagang menjadi kunci keberhasilan angkutan KRL AC ekonomi. Bila ketiga faktor tersebut dapat dipenuhi oleh Pemerintah dan KAI, kemungkinan besar jumlah penumpang KRL AC ekonomi pada tahun 2013 lebih dari 450.000 orang. Nah, apalagi yang perlu dikhawatirkan Pemerintah? Inilah saatnya memajukan angkutan massal.