CORPORATE ENTREPRENEURSHIP BUMN di Indonesia Fakultas Ekonomi Universitas Semarang
Kesi Widjajanti
[email protected] ABSTRACT This study aimed to examine empirically the best relation between variable of organizational transformation, organizational learning, and corporate entrepreneurship. Methodology of this research use descriptif analysis and hypothesis examine to explain fenomena and to investigation empirical the best relationship between variable of organizational transformation, learning and corporate entrepreneurship. The research object is the state owned enterprise (SOE’s) privatization in Indonesian. The analysis unit related to the research method, involves a company while the respondents occupied by the primary manager.The method used for testing the empirical model is the Structural Equation Model on Partial Least Square. The strategic founding taken from this research,implies in ways of achieving corporate entrepreneurship. This reserch give theory implication on concept Resource Based View will be meaningfull by completing the Organizational Learning theory. Besides,the result gives managerial implications that to improve corporate entrepreneurship need organiza tional learning. Creating corporate entrepreneurship can achive through direct role of organizational transformation and direct through organizational learning. Developing corporate entrepreneurship need support organizational learning. Related to the government policy, the government should apply “the gradual step ways,” by emphasize learning process ability as mediating for successful transformation. The future research should used method AMOS/LISREL to play important role on supporting this study. Keyword : Transformation, Organizational ,Learning, Entrepreneurship
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah
Konsep corporate entrepreneurship walaupun sudah dikembangkan dengan baik oleh Antoncic (2004) dan Zahra (2000), tetapi secara spesifik anteseden corporate entrepreneurship belum dikaji secara dalam. Penekanan pada proses corporate entrepreneurship dipandang sebagai kunci keberhasilan perusahaan dalam peningkatan
1
kapabilitas agar memiliki nilai kompetitif (Fitzgerald E M, 2002) yang dijadikan sebagai strategi keunggulan daya saing (Porter, 1985). Goodman dan Lovemen (1991) yang menyatakan bahwa kesuksesan privatisasi ditentukan oleh transformasi organisasional, alokasi sumber daya yang produktif dan pembelajaran organisasional sebagai proses untuk mendorong terciptanya inovasi. Sebagaimana juga dinyatakan oleh Fahy, Hooley, Beracs Fontara dan Gabrijan, (2003), bahwa privatisasi dapat memainkan peranan dalam mengubah sumber daya perusahaan dan dapat memperbaiki posisi kompetitif perusahaan. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perubahan fundamental organisasional dan perbaikan sumber daya organisasional akan menjadikan perusahaan privatisasi dapat bersaing secara efektif dalam menghadapi kondisi baru yang persaingannya lebih ketat. Lebih lanjut Jonathan Doh (2000) mengemukakan bahwa faktor penentu yang penting dalam orientasi stratejik ke arah corporate entrepreneurship adalah peningkatan kapabilitas sumber daya. Beberapa peneliti telah menunjukkan alasan bahwa sumber perbedaan keberhasilan perusahaan privatisasi di negara maju dan negara berkembang disebabkan oleh berbagai faktor baik secara internal maupun eksternal (Hoskisson dan Wright, 2000). Hasan Kabir H (2003) menunjukkan bahwa setelah privatisasi profitabilitas perusahaan tidak berubah secara signifikan. Sementara argumentasi yang berbasis sumber daya oleh Uhlenbruck, Meyer, dan Hitt (2000) yang menjelaskan bahwa kegagalan perusahaan privatisasi dapat dijustifikasi bahwa ”keterbatasan sumber daya” akan berdampak pada kesulitan organisasi untuk melakukan proses transformasi organisasional dalam mengembangkan corporate entrepreneurship, Argumentasi yang dapat menjelaskan bahwa peningkatan aktivitas yang bersifat entrepreneurial (Wright, Hoskisson, Busenitz, 2000), tersebut didukung oleh beberapa penelitian empirik tentang perusahaan privatisasi dengan cara pandang yang berbeda, misalnya peningkatan corporate control dan competitivenes, (Uhlenbruck dan De Castro,1998), pengembangan sumber daya (Fahy, 2000), serta corporate entrepreneurship (Antonic Bostjan, 2003). Zahra (2000) menekankan pentingnya transformasi organisasional dalam peningkatan aktivitas entreprneurial adalah faktor yang dapat mensukseskan privatisasi. Sementara Antoncic Bostjan (2003) menyatakan bahwa proses pembelajaran berperan meningkatkan corporate entrepreneurship Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan corporate entrepreneurship pada perusahaan privatisasi hanya akan tercapai melalui proses pembelajaran. Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa pengembangan corporate entrepreneurship dapat ditingkatkan melalui proses yang disebut dengan intermediate outcome. Penekanan pada intermediate outcome merupakan ukuran kinerja proses sebagai konsekuensi transformasi pada perusahaan privatisasi (Zahra 2000; Antoncic 2003; Lumpkin 1996 ). Sedangkan Antoncic dan Hisric (2000) menunjukkan bahwa penekanan pada intermediate outcome berhubungan erat dengan pengembangan pembelajaran organisasional. Keberhasilan dari aktivitas entrepreneurial yang dinamis dalam organisasi, dapat dipertimbangkan dalam memainkan peranannya mengembangkan competitiveness, di negara berkembang (Fitzgerald E M, 2002). Namun demikian, penelitian yang memposisikan pembelajaran organisasional sebagai intermediate outcome perusahaan privatisasi pada negara berkembang belum banyak dilakukan
2
(Johnson dan Loveman, 1995; Luthans, Stajkovic dan Ibrayeva, 2000; Peng and Heath, 1996). Pendapat ini didukung oleh Doh (2000) yang mengemukakan bahwa studi tentang respon privatisasi pada tingkatan perusahaan belum diperluas, dan peranan corporate entrepreneurship masih diabaikan (George,G.,G.Prabhu 2000). Perusahaan negara BUMN yang bersifat public service obligation (PSO) sebagai agen sosial dan yang bersifat business oriented mempunyai cara pengelolaan yang berbeda dengan BUMN yang berorientasi komersial . Persaingan yang kompetitif mendorong perusahaan berkecenderungan kearah pola pikir entrepreneur. Kondisi pasar bebas, mendorong semangat entrepreneur dimana perusahaan harus dapat mengatur strategi, untuk ekspansi dan promosi agar dapat siap dan survive menghadapi kompetisi.Sebagaimana dikemukakan oleh Marwah (2003) bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pengelolaan sebagian besar BUMN menjadi tidak efisien, salah satunya adalah sebagian besar BUMN tidak memiliki budaya perusahaan (corporate culture), visi, dan misi perusahaan. Selain itu, juga terdapat kelemahan yaitu berupa kurangnya jiwa entrepreneurship dan kemampuan profesional sumber daya manusia (SDM) yang mengelola BUMN, sehingga kinerja dan produktivitas BUMN rendah . Kekuatan ekonomi global menyebabkan dunia usaha, termasuk BUMN, perlu melakukan reorientasi terhadap struktur dan strategi usaha dengan melandaskan strategi manajemen pada basis entrepreneurship dan cost efficiency. Jika kepemilikan BUMN secara penuh berada di tangan pemerintah, efektifitas perusahaan disangsikan, karena pemerintah secara natural kurang berperilaku entrepreneur (Ruru Bacelius, 2005). Sementara menurut Sugiharto (2006) bahwa tantangan bagi BUMN, adalah bagaimana mengubah corporate culture, mainset, dan business direction dari tradisional primitif menjadi profesional. Sebagian perusahaan setelah di privatisasi dapat memperoleh laba, tetapi disisi lain ada juga perusahaan setelah melakukan privatisasi mengalami kerugian. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada perusahaan setelah diprivatisasi belum tentu menguntungkan, sehingga perlu dikaji faktor faktor yang mempengaruhinya. Selain itu perlu adanya penjelasan untuk menjawab pertanyaan kritikal apakah setelah melakukan privatisasi perusahaan dapat berorientasi kearah corporate entrepreneurship? Sebagaimana dikemukakan oleh Zahra (2000) bahwa alasan perusahaan melakukan privatisasi adalah tidak hanya mengejar laba, tetapi lebih menekankan pada proses untuk mempercepat transformasi yang berhubungan dengan pembelajaran dan pengembangan inovasi perusahaan. Fenomena ini menjadikan kajian yang menarik untuk diteliti berkaitan dengan transformasi yang mendorong proses pembelajaran yang menstimulasi corporate entrepreneurship perusahaan privatisasi BUMN. Penelitian pengembangan corporate entrepreneurship pada perusahaan privatisasi milik pemerintah di negara berkembang selama ini masih sedikit perhatiannya (Antoncic Hisric, 2003). Disamping itu, masih belum banyak dikaji pengaruh transformasi organisasional terhadap corporate enterpreneurship pada perusahaan privatisasi milik pemerintah. Pengaruh implementasi corporate entrepreneurship pada perusahaan negara yang diprivatisasi masih belum jelas hasilnya. Jeneja (1990) mengemukakan bahwa perusahaan publik tidak kondusif untuk pengembangan entrepreneurship. Sementara, Drucker (1969) mengemukakan bahwa perusahaan BUMN setelah privatisasi mempunyai keuntungan dalam bidang inovasi, investasi, risk taking, dan kinerja dibandingkan
3
sebelum diprivatisasi. Sedangkan O’Neill, Rondinelli dan Wattanakul (2000) melakukan penelitian karakteristik perusahaan dalam memotivasi spirit entrepreneurship dengan membandingkan tiga bentuk organisasi, yaitu perusahaan campuran milik pemerintah dan swasta, BUMN, dan perusahaan swasta. Peneliti terdahulu, Erlich (1994), mengemukakan bahwa pertumbuhan produktivitas BUMN lebih lamban dalam jangka panjang. Penelitian Antoncic tahun 2000 yang meneliti perusahaan privitasisasi di Slovenia dengan menggunakan model secara normatif menemukan bahwa corporate entrepreneurship dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Namun, belum menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh dalam mendorong pengembangan corporate entrepreneurship. Belum banyak penelitian yang memperluas bahasan faktor-faktor internal yang menstimulasi corporate entrepreneurship dalam perusahaan privatisasi BUMN. Sebagaimana dikemukakan oleh Hornsby et al, (2002) bahwa penelitian tentang faktor organisasional sebagai pendukung untuk menuju corporate entrepreneurship belum banyak dieksplor. Disamping itu, penelitian yang berkaitan dengan proses transformasi organisasional dalam pengembangan pembelajaran organisasional yang mengarah pada keunggulan daya saing kaitannya dengan ”organisasional” yang berperilaku entrepreneurship masih jarang dibahas (Mc Donald Robert Edwad, 2000). Sementara menurut peneliti sebelumnya, yaitu Kogut dan Zander, (1992), lebih memfokuskan pada proses organisasional yang dapat mendukung pembelajaran organisasional dalam menambah ”new knowledge” pada perusahaan privatisasi perlu dilakukan Demikian pula dengan pendapat yang dikemukakan Zahra (2000), masih sedikit penelitian yang membahas mengenai aspek transformasi organisasional dan pembelajaran organisasional dalam mendorong aktivitas akivitas entrepreneurial dalam organisasi. Beberapa penelitian terdahulu hanya memfokuskan pada pentingnya inovasi yang merupakan salah satu indikator corporate entrepreneurship sebagai mediasi hubungan antara transformasi organisasional dan peningkatan kinerja perusahaan (Cohen dan Levinthal 1990; Damanpour 1991; Fiol dan Lyles 1985; han, Kim, dan Srivastava, 1998; Hurley dan Hult 1998). Penelitian yang berkaitan dengan pengaruh ”knowledge” sebagai anteseden dan menempatkan inovasi sebagai outcome telah banyak dilakukan (Ahuja, 2000; Douherty, 1992; Subramaniam dan Venkataraman, 2001; Tsai dan Ghoshal, 1998). Sebagian besar penelitian terdahulu hanya menjelaskan secara terpisah hubungan antara pembelajaran dan inovasi tanpa mengkaitkan risk taking sebagai tindakan yang menyertainya. Penelitian Lopez, Peon, dan Ordas (2005) hanya menjelaskan variabel pembelajaran organisasional sebagai faktor determinan kinerja dan masih mengabaikan kaitan pengaruh perubahan struktur organisasional sebagai bagian transformasi organisasional terhadap peningkatan proses pembelajaran dan penciptaan inovasi. Pada sisi yang lain Uhlenbruck (2000) menempatkan modal intelektual yang berkaitan pada kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya pengetahuan sebagai faktor penting dalam meningkatkan kapabiltas organisasi untuk melakukan inovasi. Gap ini memberi pengertian bahwa untuk mengoptimalkan corporate entrepreneurship disyaratkan adanya rancangan organisasional yang dapat meningkatan kapasitas penyerapan pengetahuan. Penelitian terdahulu yang membahas tentang isu tersebut diantaranya Pandangan Nonaka dan Takeuchi (1995) mengemukakan bahwa karakteristik perusahaan inovatif adalah perusahaan sebagai pencipta pengetahuan. Konsep Zahra, Hitt, (2000)
4
menunjukkan bahwa faktor-faktor organisasional seperti struktur, culture, dan strategy berpengaruh dalam mengembangkan corporate entrepreneurship. Perubahan-perubahan internal organisasional merupakan variabel penting sebagai penentu pengembangan corporate entrepreneurship dalam meningkatkan kinerja perusahaan (Burgelman, 1983; 1984). Walaupun banyak penelitian terdahulu telah meneliti hubungan faktor faktor organisasional dan pembelajaran sebagai pendukung penciptaan inovasi, tapi penelitian penelitian tersebut masih meletakkan inovasi dalam konstruk yang terpisah. Upaya untuk melihat keterkaitan dan hubungan antara trasnsformasi, pembelajaran dan corporate entrepreneurship masih relatif sedikit. Walaupun konsep Zahra (2000) secara eksplisit menjelaskan tentang outcome entrepreneurial di perusahaan privatisasi, namun belum dilakukan secara empirik dalam menjelaskan pengembangan corporate entrepreneurship yang terjadi, khususnya dalam memfokuskan pada “organisasional “ atau “entrepreneurship melalui organisasi”. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian yang memperluas bahasan corporate entrepreneurship Studi ini bertitik tolak dari research gap yang telah disampaikan di muka yang merupakan permasalahan menarik untuk diteliti yaitu masih relatif sedikit penelitian yang berkaitan dengan peran transformasi organisasional dalam menciptakan corporate entrepreneurship yang mempertimbangkan aspek pembelajaran pada perusahaan privatisasi BUMN.Berdasarkan uraian di atas permasalahan penelitian yang diajukan adalah:Bagaimana proses meningkatkan corporate entrepreneurship diwujudkan dari transformasi organisasional dan pembelajaran organisasional? Untuk menjelaskan masalah tersebut , studi ini mengajukan beberapa pertanyaan penelitian :Apakah proses menuju corporate entrepreneurship dapat dicapai oleh peran tramsformasi organisasional secara langsung atau secara tidak langsung melalui pembelajaran organisasional? Tujuan penelitian utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menciptakan tahapan proses transformasi organisasional menuju corporate entrepreneurship. Di samping itu, penelitian ini mempunyai tujuan untuk : (1)Mendeskripsikan fenomena transformasi organisasional menuju corporate entrepreneurship di perusahaan privatisasi BUMN di Indonesia, (2) Menguji secara empirik hubungan terbaik antara variabel transformasi organisasional dan pembelajaran organisasional terhadap corporate entrepreneurship Lingkup penulisan ini diorganisasikan menjadi 5(enam) bab, yang terdiri atas (1) Pendahuluan, (2) Kerangka Teoritis dan Hipotesis (3) Metodologi Penelitian,(4) Analisis Data dan Pembahasan dan (5) Kesimpulan, Implikasi, dan Keterbatasan Kerangka Teoritis dan Hipotesis Kajian literatur untuk mendukung pengembangan model konseptual teoritik yang membahas konsep transformasi organisasional, pembelajaran organisasional, dan corporate entrepreneurship berdasarkan konstruksi proposisi. Proposisi membahas hubungan antara transformasi organisasional, pembelajaran organisasional dan corporate entrepreneurship. Pengujian hipotesis yang berasal dari proposisi tersebut menghasilkan Emperical Research Model penelitian.
5
Studi ini merupakan studi yang lebih menjelaskan bagaimana transformasi organisasional dapat meningkatkan corporate entrepreneurship yang mengkaitkan peran pembelajaran melalui pengujian empirik dengan menggunakan pendekatan Resource Based View dan teori Organizational Learning. Teori pandangan Resource-based biasanya dinyatakan sebagai pendekatan strategi dengan dua pandangan yang berbeda, yaitu kecenderungan pandangan yang mengarah bahwa kapabilitas yang merupakan inti posisi competitive tetapi tetap dipengaruhi oleh kekuatan pasar (Prahalad&Hamel,1990). Pandangan resources-based secara tidak langsung menyarankan pada perusahaan untuk memfokuskan pemanfaatan sumber daya yang lebih efisien . Unsur dasar resource base view khususnya mengidentifikasi sumber daya yang ada di perusahaan yang tidak dapat ditiru yang akan mengalami erosi oleh persaingan yang terlalu banyak (Schumpeter,1934). Sumber daya harus dikembangkan terus menerus (Grant, 1991) untuk menyusun organisasi yang berparadigma ke perubahan pasar (Cyert dan March 1963,Moorman dan Miner 1997). Proses dinamik dari pengembangan sumber daya yang memberikan hasil secara terus menerus digambarkan memerlukan inovasi (Hunt,1997). Walaupun penelitian terdahulu telah banyak memfokuskan pada isu sumber daya, namun perspektif resource base view belum cukup banyak digunakan pada transformasi menuju penciptaan corporate entrepreneurship. Sebagaian besar penelitian tampaknya berkonsentrasi pada peningkatan keunggulan daya saing berbasis sumber daya yang ada pada perusahaan ( Wiklund, 1999; Zajac et al, 1991). Sumber daya perusahaan lebih memungkinkan menjadi sumber kompetitif atau mempunyai keunggulan secara entrepreneurial jika perusahaan dapat mengerjakan dengan eksploitasi sumberdaya melalui proses bisnis dan manajemen praktis (BadenFuller, 1995; Ray et al,2004). Manajemen dari berbagai sumber daya sebagai posisi yang mengangkat suatu motif inti dari proses penciptaan corporate entrepreneurship. Penciptaan proses corporate entrepreneurship memerlukan beberapa langkah yang harus dilakukan, seperti peluang invention dan innovation pencarian informasi, akusisi, dan akumulasi sumber daya (Shane & Venkataraman,2000; Ucbasaran et al, 2001). Dengan berbasis sumber daya, penelitian ini memfokuskan pada proses penciptaan nilai baru perusahaan melalui akusisi dan akumulasi berbagai macam sumber daya yang pada hakekatnya dihubungkan dengan pandangan resource base perusahaan. Pandangan ini menekankan bahwa sumber daya dan kapabilitas perusahaan adalah sebagai asas fundamental yang menentukan perbedaan dalam penciptaan kekayaaan perusahaan (Galunic & Rodan, 1998; Teece et al,1997). Walaupun gagasan tersebut berasal dari stratejik manajemen, Resource Based View juga akan menjadi makin bertambah digunakan pada penelitian entrepreneurship untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kemampuan entrepreneurial dalam organisasi (Barnett et al, 1994; Ireland et al, 2003). Dengan merancang organisasional yang berdasar pandangan Resource Based View, diharapkan dapat menstimulasi inovasi perusahaan setelah privatisasi. Karakteristik perusahaan BUMN, secara umum mempunyai keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan mobilitas organisasi, lack of property right, serta perencanaan dibuat secara sentralistik dengan tingkat prosedural yang tinggi dan dispesialiskan secara fungsional (Makhija,2002).
6
Perusahaan yang menerapkan perencanaan sentralistik akan menerapkan pengambilan keputusan secara sentralistik pula, yang berarti bahwa perencanaan yang dibuat tidak berorientasi pada pasar dan tidak memperhatikan permintaan pasar. Oleh karena itu, perencanaannya menjadi kurang kompetitif (Porter, 1995). Perusahaan BUMN yang diprivatisasi memungkinkan untuk meningkatkan posisi kompetitif melalui perencanaan perencanaan secara desentralistik yang berorientasi pada pasar . Oleh karena itu, perilaku manajer di perusahaan BUMN akan berbeda pada perusahaan BUMN privatisasi. Sebagaimana dikemukakan Makhija bahwa secara umum di perusahaan BUMN peranan manajer secara individual dibatasi, tidak mempunyai keputusan secara indipenden sehingga akan mempengaruhi perilaku dalam menciptakan ”inovasi”. Perilaku manajerial yang kurang kreatif dan inovatif, terutama dalam hal kurang proaktif, tidak menyukai risiko, dan kurang entrepreneurial, menyebabkan mereka tidak mempunyai sifat sifat seperti rare, valuable , inimitable atau non sustitutabel, yang penting untuk daya saing perusahaan ( Barney, 2002 ). Dalam meningkatkan corporate entrepreneurship, perusahaan memungkinkan untuk berupaya lebih menuju perubahan, dari perilaku yang bersifat birokratis ke arah perilaku yang lebih bersifat entrepreneurial dengan tetap memperhatikan kemampuan sumber daya-nya. Peningkatan produktifitas untuk mencapai efisiensi dapat dicapai melalui transfer sumber daya pengetahuan baru dan transfer keahlian baru yang berasal dari perusahaan swasta. Untuk menjustifikasi peranan transformasi organisasional pada perusahaan privatisasi yang terkait dengan merubah perilaku BUMN dalam mentransformasi sumber daya-nya menjadi sumber daya yang mempunyai keunggulan entrepreneurial yang dapat menciptakan corporate entrepreneurship, pendekatan Resource-based View relevan digunakan untuk mendasari penelitian ini. Teori organizational learning memberikan suatu dasar yang kuat untuk memprediksi peranan pembelajaran dalam menghasilkan inovasi organisasi. Teori ini juga memberikan penjelasan tentang proses proses yang terjadi sebelum pengembangan inovasi organisasi. Sebagaimana dijelaskan pada penelitian terdahulu yang berkaitan dengan strategic management pada level perusahaan, menunjukkan bahwa pembelajaran merupakan suatu kekuatan dalam memotivasi pencapaian keuntungan bersaing. Beberapa peneliti berpendapat bahwa pembelajaran dapat menjadi penentu yang penting dalam memotivasi keberhasilan international joint ventures (Hamel, 1991;Inkpen,1995,1996). Pendapat ini didukung oleh Harper (1996) dan Cooke (1996) bahwa kapabilitas pembelajaran perusahaan mempunyai peranan yang penting dalam penciptaan inovasi perusahaan. Motif perusahaan diprivatisasi dapat dijelaskan dengan Resource-based dan teori organizational learning, yang menggambarkan bagaimana hubungan transformasi organisasional dalam menciptakan corporate entrepreneurship dapat dikembangkan secara lebih baik. Setelah perusahaan melakukan privatisasi, akan tercipta kondisi yang dapat memberi stimulus terjadinya pembelajaran organisasional. Kesuksesan transformasi diindikasikan bahwa perusahaan privatisasi BUMN dapat membuat strategic choices dalam membuat keputusan manajemen tentang kebijaksanan aktivitas aktivitas entrepreneurial. Menurut Cragg (1999) bahwa manajer perusahaan BUMN mempunyai keterbatasan keterbatasan dalam hal yang berkaitan dengan inisiatif, implementasi perubahan perubahan strategic, dan adanya
7
ketidakleluasaan dalam birokrasi dan pengawasan keuangan. Setelah dilakukan privatisasi, perusahaan akan lebih banyak mengarah pada perencanaan dan pengembangan strategi yang berdasarkan analisis pasar dan analisis industri, kebijaksanaan kebijaksanaan yang lebih mengarah kepada tujuan, struktur, dan proses organisasional, serta peningkatan incentive yang lebih tinggi untuk aktivitas-aktivitas dalam meningkatkan nilai pemegang saham (Zahra,2000). Perusahaan BUMN umumnya perusahaan dengan karakteristik struktur organisasi hierarkis dengan kewenangan sentralistik. Kewenangan sentralistik memberikan derajat otonomi yang rendah sehingga tidak menstimulus timbulnya kreativitas, dan inovasi. Kurangnya inovasi, terutama dalam menghadapi perubahan perubahan pasar, menyebabkan perusahaan tidak kompetitif (Barney, 2002). Perusahaan yang diprivatisasi akan meningkatkan posisi kompetitifnya dengan membangun inovasi melalui peningkatan knowledge yang berhubungan dengan produk dan pasar. Strategi transformasi yang mengiringi perusahaan privatisasi dilakukan melalui management of change baik pada sisi pemerintah sebagai pemilik maupun BUMN sebagai pengelola usaha. Perubahan pada sisi pemerintah terutama menyangkut sikap dan perilaku pembina untuk memperlakukan BUMN sebagai layaknya suatu korporasi, daripada sebagai lembaga pemerintah atau perpanjangan tangan pemerintah. Sedangkan perubahan pada sisi manajemen BUMN ditujukan pada sikap dan perilaku manajemen sebagai wirausaha, bersaing menghadapi pasar untuk membangun budaya usaha (corporate culture) yang kompetitif serta bersikap inovatif dan kreatif dengan memperhatikan peningkatan kompetensi organisasional. Perubahan manajemen tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kesamaan visi, misi, dan persepsi antara prinsipal dan agen. Adanya persamaan persepsi atas kegiatan dan sasaran usaha BUMN akan berpengaruh positif terhadap keunggulan daya saing perusahaan. Daya saing akan terwujud dengan memperhatian aktivitas dan orientasi yang bersifat entrepreneurial dalam organisasi ke arah corporate entrepreneurship yang didukung oleh proses pembelajaran organisasional (Jacobs, 1991; Zahra, 2000). Proposisi Transformasi organisasional dilakukan berawal dari tahap transformasi operasional dengan tujuan utama untuk mencapai peningkatan efisiensi secara signifikan melalui :penurunan biaya peningkatan kualitas, pemotongan waktu proses, dan penyederhanaan proses. Transformasi operasional berfokus pada input dan proses internal pada sistem organisasional. Pengembangan transformasi organisasional akan terjadi ketika organisasi dapat mengidentifikasi input yang berbeda dengan perusahaan lain. Dengan dilakukannya tahap awal transformasi operasional, perusahaan akan melakukan tahap berikutnya adalah proses transformasi corporate self-renewal yang memfokuskan pada proses kerja dan mekanisme umpan balik internal. Tahap kedua ini berhubungan dengan perubahan kondisi organisasional yang disertai proses budaya organisasi untuk dapat beradaptasi. Selanjutnya untuk menentukan keuntungan bersaing dengan cara penciptaan ulang produksi yang sesuai antara kompetensi inti perusahaan dan peluang kesempatan pasar, perusahaan melakukan tahapan ”transformasi strategic” dimana perusahaan melakukan transformasi yang memokuskan pada seluruh sistem.
8
Elemen transformasi organisasional sesuai yang dikemukakan Parker (2001) meliputi transformasi yang berkaitan dengan misi, strategi, budaya dan struktur. Dikemukakan bahwa untuk kesusksesan organisasi ditentukan oleh elemen transformasi organisasional. Pengertian Parker tersebut mengacu pada model yang digunakan Burke dan Litwin , (1998) bahwa elemen transformasi organisasional mempunyai dampak untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Menurut Tushman dan O’Reilly, (1996) bahwa kesuksesan transformasi organisasi akan tercapai setelah beberapa tahun. Perubahan yang berkaitan dengan strategi, struktur, budaya dan skill kepemimpinan memerlukan waktu relatif lama. dengan melalui berbagai tahapan. Menurut Zahra (2000), perusahaan privatisasi berpotensi mempengaruhi transformasi organisasional. Transformasi organisasional yang meliputi perubahan dalam hal nilai, budaya, sistem dan strategi organisasional memungkinkan mendukung peningkatan aktivitas entreprenurial, yang dicerminkan oleh adanya risk taking dan inovasi. Goodman & Loveman (1991) memandang bahwa peralihan bentuk organisasi dari perusahaan milik Negara ke perusahaan milik swasta akan mengalami perubahan radikal yang dramatis dan memerlukan suatu katalisator visi dan misi untuk membawa transformasi ke arah penyesuaian pasar. Transformasi diperlukan oleh sebagian besar perusahaan karena berhubungan dengan sumberdaya dan kapabilitas yang diperlukan perusahaan sebagai fungsi keefektifan perubahan dari perencanaan pusat ke arah perencanaan yang berorientasi pasar. Privatisasi dapat digunakan sebagai sumber inisiatif entrepreneurial untuk merencanakan transformasi ekonomi karena perusahaan privatisasi tentunya akan berorentasi ke arah pasar, yang ditunjukkan oleh keinginannya pada aktivitas yang lebih berisiko, lebih inovatif, dan lebih berkeinginan masuk ke bisnis baru. Menurut Meyer (1993) bahwa perubahan organisasi dapat terjadi melalui dua orde. Pertama, orde yang berhubungan dengan perubahan yang tidak terkait dengan perubahan dasar strategi dan nilai inti korporat. Dotto & Dukerich (1991) menyebutkan pada orde pertama ini sebagai orde perubahan incremental & convergent yang membantu perusahaan mempertahankan realibilitas internal yang terkait sistem, proses, dan struktur. Sementara orde perubahan kedua yang sering disebut transformasi organisasional, sebagai dasar merubah inti organisasi merupakan orde yang berkaitan dengan orientasi strategic (Meyer,1982;Meyer,1993, Tushman & Romaneeli,1985), dan Meyer (1993) menyebutkan sebagai metamorfosis organisasional, sedangkan Greewood & Hinings (1988,1996) menyebutnya sebagai perubahan template or archetypes. Penelitian yang dilakukan Haveman (1992) menemukan bahwa perubahan perubahan strategic yang jauh menyimpang dari inti kapabilitas perusahaan akan ”lebih berisiko ” dibandingkan perubahan perubahan yang terkait pada kapabilitas yang ada di perusahaan. Penelitian terdahulu banyak yang membahas anteseden perubahan organisasi pada orde kedua, tetapi konsekuensi perubahan organisasi orde kedua tersebut belum banyak diteiliti. Greenwood dan Hining mengemukakan bahwa hasil perubahan organisasi orde dua adalah perubahan yang mengarah pada perubahan organisasi yang berkaitan dengan kapabilitas manajerial.Sebelum privatisasi, keberadaan organisasi BUMN sebagai unit produsen dengan sistem perencanaan yang pada umumnya dilakukan secara terpusat (sentralistik), tetapi setelah privatisasi akan terjadi transformasi organisasional, dimana
9
perusahaan dapat menjadi agen ekonomi baik sebagai pembeli maupun sebagai penjual (Meyer, 1988). Perusahaan harus dapat menyesuaikan kondisi pasar yang baru, dimana perusahaan dipaksa untuk merubah dan memahami dampak dari perubahan yang terjadi di perusahaan (Andrew 1980; Keats dan Hitt1988). Perubahan lingkungan memunculkan suatu kondisi baru yang harus direaksi dengan cara yang berbeda, sehingga diperlukan ”pembelajaran”. Secara umum pembelajaran organisasional memfokuskan pada pentingnya “acquiring, improving dan transferring knowledge, collective learning, integrasi, modifikasi perilaku dan praktek praktek organisasi beserta anggotanya sebagai hasil pembelajaran (Appelbaum dan Reichart,1998; Burgoyne dan Blantern,1996). Pembelajaran organisasional secara umum menggambarkan orientasi pasar yang memiliki budaya entrepreneurial seperti flexible, organic structure, dan mempunyai facilitative leadership (Lundberg,1995;Luthans, Rubach, & Marsnik,1995). Menurut Shrivastava (1983) pembelajaran terdiri atas beberapa kategori yang meliputi: pembelajaran tingkat organisasional, tingkat kelompok dan tingkat individual. Shrivastava membedakan empat tipe pembelajaran : (1) sebagai adaptation, (2) sebagai developing knowledge hubungan action-outcome, (3) sebagai institutionalized experience (learning curve effect), dan (4) sebagai assumption sharing. Pendukung konsep pembelajaran organisasional mengemukakan bahwa adopsi strategi pembelajaran organisasional seharusnya meningkatkan pembelajaran secara individu, kelompok,dan organisasional (Baker dan Sinkula,1999; Day,1994). Pembelajaran yang terjadi pada perusahaan privatisasi di negara berkembang dan negara maju dipacu oleh adanya peluang dan tantangan perusahaan. Faktor faktor yang memacu pembelajaran diantaranya: pertama, hilangnya produk tradisional, faktor ini akan membuat perusahaan dipaksa untuk dapat melakukan identifikasi peluang peluang baru yang diminati konsumen. Kedua, adalah keterbatasan faktor pasar yang sulit diidentifikasi sebagai sumber sumber eksternal yang dibutuhkan untuk melengkapi sumberdaya yang ada di perusahaan (Peng dan Heath,1996). Berdasarkan pengalaman pada negara sosial menunjukkan bahwa terbatasnya pengetahuan mengharuskan perusahaan untuk melakukan identifikasi peluang yang ada secara optimal untuk mengejar dan mendapatkan sumberdaya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut (Swaan, 1997). Sebelum privatisasi, sumber informasi utama perusahaan BUMN adalah state agencies, dengan demikian proses pengamatan lingkungan yang khas jarang sekali dilakukan. Namun, setelah privatisasi perusahaan secara aktif mulai mengejar pengetahuan di lingkungan pasar (Djankov dan Pohl,1998; May et al, 2000). Perubahan kondisi pasar akan meningkatkan kebutuhan akuisisi pengetahuan. Untuk dapat mengambil manfaat peluang-peluang pasar, perusahaan setelah privatisasi harus sadar dari statusnya sekarang dan berkecenderungan melakukan transformasi produk dan faktor pasar berdasarkan interpretasi proses informasi yang diperoleh dari kapasitas pembelajaran dan akuisisi pengetahuaan. Pembelajaran perusahaan diinterpretasikan sebagai proses informasi dengan adanya penyebaran dan penyimpanan informasi baru dalam perusahaan. Sumberdaya dalam bentuk manajer, karyawan, pengetahuan, kapabilitas perusahaan, serta aset spesifik perusahaan memberikan dasar untuk peningkatan kinerja dan kelanjutan perusahaan (Peteraf, 1993). Pembelajaran
10
diperlukan untuk kapabilitas dinamik. Oleh karena itu, terdapat hubungan ketergantungan antara sumberdaya yang ada dan sumberdaya yang baru (Prahalad dan Hamel, 1990) Setelah privatisasi akan tercipta perubahan secara makro (nasional ) dan secara mikro (organisasional). Perubahan perubahan ini akan menjadi stimulasi pembelajaran organisasional untuk akuisisi skil baru (Doh, Newman, 2000). Kapabilitas pembelajaran dan tambahan skil tersebut akan memberikan pondasi perusahaan untuk meningkatan peluang peluang teknologi misalnya kapabilitas yang dibutuhkan untuk mendapatkan akses jaringan domestik dan jaringan internasional yang berbeda . Menurut Zahra (2000), privatisasi akan berdampak pada learning, opportunities dan networks, yang merefleksikan kombinasi pengaruh dari perubahan variabel secara internal di organisasi dan secara eksternal di lingkungan makro. Teori Organizational learning dapat dibedakan antara pembelajaran yang bersifat observational dan experimental (Bandura, 1977; Weiss,1990). Akuisisi pengetahuan dari partner aliansi mengarah ke pembelajaran observational, yang mendorong pada proses peniruan (Huber,1991). Proses meniru merupakan hal yang penting dalam tahap awal pembelajaran. Hal ini akan dapat meningkatkan kemampuan perusahaan (Zahra et al, 2000). Selanjutnya, pembelajaran observasional ini sering lebih efisien dibandingkan pembelajaran experimental karena pembelajaran observasional dapat mengurangi jenis kesalahan kesalahan percobaan (Bandura,1977). Namun demikian, pembelajaran observasional sering gagal di lingkungan yang bersifat ”turbulent” seperti yang terjadi pada negara sedang berkembang, karena dibutuhkan ”penyesuaian ”pada kondisi yang baru (Huber,1991; Van de Ven and Polley,1992). Sedangkan menurut (Kogut dan Zander, (1996) serta Kogut (1996) bahwa untuk dapat menerapkan suatu kebiasaan perusahaan yang dilakukan sehari-hari dengan cultural, values, resources dan routines yang ada, cara pembelajaran dengan eksperimen dipandang ”lebih berguna” dalam mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baru yang ”sesuai” dengan nilai budaya dan sumberdaya yang ada di perusahaan. Kim (1997) dan Zahra et al (2000) mengungkapkan bahwa untuk menghasilkan inovasi internal pada perusahaan privatisasi, cara pembelajaran yang diterapkan tidak hanya tergantung pada proses meniru , tetapi juga harus melakukan investasi pembelajaran secara experimental. Oleh karena itu untuk memperoleh keunggulan daya saing perusahaan harus menerapkan kedua bentuk pembelajaran yaitu pembelajaran observational dan experimental . Transformasi organisasional perusahaan privatisasi akan merubah mainset organisasi secara radikal yang dibutuhkan untuk memahami dan mengkapitalisasi cara cara baru yang lebih kompetitif (Smith et al 1999). Konsekuensi transformasi organisasional akan menciptakan kondisi internal yang mendorong manajer untuk melakukan ”percobaan” dalam mengeksplorasi alternatif strategi baru. Perubahan kepemilikan pada perusahaan privatisasi dapat mempercepat perubahan yang mendorong manajer untuk melakukan evaluasi pada industri, dan lingkungan kompetisi mereka dengan perspektif yang berbeda (Dean et al,1999). Perubahan tersebut biasanya mendatangkan ”percobaan percobaan inovatif ” yang pada gilirannya akan meningkatkan pembelajaran secara organisasional (Newman, 2000). Dengan melakukan privatisasi akan tercipta lingkungan bisnis yang ramah terhadap investasi luar negeri, termasuk transfer teknologi, inovasi, manajemen modern, teknik produksi, dan strategi pemasaran. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan privatisasi
11
mempunyai kesempatan untuk belajar keahlian dan kapabilitas baru dari sumberdaya yang lebih mumpuni. Hitt et al, (2000) menyatakan bahwa partner investor dari luar negeri yang berbentuk strategic aliansi seperti joint ventures akan memberikan peluang pada perusahaan privatisasi untuk dapat belajar skill dan kapabilitas baru dari sumberdaya partner asing yang lebih kaya dan biasanya partnership ini berasal dari negara maju. Kemampuan BUMN privatisasi dapat mengkapitalisasi peluang peluang pasar dengan mudah melalui kapabilitas pembelajaran yang baru. Perusahaan selain dapat meningkatkan kebebasan dalam beraktivitas secara independen juga mendorong inovasi yang akan meningkatkan peluang peluang teknologi, misalnya perusahaan dapat memperkenalkan produk dan jasa baru ke pasar. Menurut Nelson dan Winter (1982 ) ”kekakuan” organisasional dapat menjadi kendala kemampuan perusahaan untuk mengembangkan kapabilitas baru pada lingkungan aktivitas bisnis yang berbeda secara signifikan dari aktivitas yang ada. Oleh karena itu, privatisasi perusahaan diharapkan dapat membangun sumberdaya menjadi lebih unggul dengan diiringi proses pembelajaran, sehingga dapat memberikan kreativitas dalam mengembangkan corporate entrepreneurship. Corporate entrepreneurship merupakan suatu konsep yang penting dalam keputusan manajemen stratejik untuk penciptaan kekayaan perusahaan (Rumelt,1994). Pendapat ini didukung oleh Hisric dan Peters (1998) yang mengemukakan bahwa corporate entrepreneurship sebagai salah satu unsur yang penting dan merupakan peranan stratejik untuk membangkitkan nilai baru perusahaan. Menurut Antoncic (2000) dan Lumpkin (1995) bahwa Corporate entrepreneurship sebagai sifat kewirausahaan yang berada di dalam organisasi yang mempengaruhi perilaku suatu organisasi yang menyimpang dari cara cara kebiasaan rutin dalam mengerjakan bisnis. Pengembangan Corporate entrepreneurship berkaitan pada proses inside dan existing firm, yang berhubungan tidak hanya fokus dalam penciptaan bisnis ventura baru, tetapi juga fokus dalam aktivitas aktivitas inovasi lainnya seperti pengembangan produk, jasa, teknologi, teknik administrasi, strategi dan bentuk kompetitif yang baru. Karakteristik corporate entrepreneurship meliputi : new bisnis venturing, inovasi produk/ jasa, inovasi proses, self renewal, risk taking, proactiveness, dan competitive aggressiveness. Pendekatan yang dikenal sebagai the firm level orientation of entrepreneurship, menekankan proses entrepreneurial dan peran filosofi manajemen puncak mengenai kewirausahaan . Para peneliti terdahulu dan para praktisi mengemukakan bahwa corporate entrepreneurship merupakan tantangan dari pengejaran entrepreneurship dalam korporasi. Corporate entrepreneurship merupakan hasil aktivitas bersama-sama para anggota dalam organisasi, sebagai aktivitas untuk mengejar tujuan stratejik. Menurut (Covin & Slevin,1991 ; Miller, 1983) elemen penting dari Corporate entrepreneurship adalah meliputi innovation, risk taking, dan proactiveness . Pendapat ini didukung oleh Ireland, Kuratko dan Morris (2006) yang menyebutkan bahwa corporate entrepreneurship merupakan proses yang digunakan dalam membentuk perusahaan dengan menggunakan inovasi sebagai maksud mengejar entrepreneurial opportunities. Dikemukkan bahwa corporate entrepreneurship membantu perusahaan menciptakan bisnis baru melalui inovasi produk dan inovasi proses dan pengembangan pasar, serta membantu perkembangan strategic renewal operasi perusahaan. Corporate 12
entrepreneurship dapat menggunakan tempat pada corporate, unit bisnis, level fungsional atau level proyek dengan tujuan memperbaiki posisi kompetitif dan kinerja perusahaan. Derajat corporate entrepreneurship diindikasikan seberapa luas upaya organisasi dalam innovative, risky, dan proactive. Sementara penelitian sebelumnya pada tahun 1989 yang dilakukan oleh Covin dan Slevin mengemukakan bahwa entrepreneurial perusahaan adalah proactive, risk tolerant, and innovative. Menurut (Barringer & Bluedorn, 1999) bahwa tingkat flexibility dan adaptability perusahaan penting untuk mengatasi perubahan kondisi lingkungan. Covin & Slevin (1989) mengemukakan bahwa proactive meliputi pengembangan pikiran suatu orientasi kompetitif yang agresif dan kemampuan untuk mengidentifikasi besarnya peluang pesaing. Elemen suatu orientasi yang bersifat entrepreneurial meliputi suatu kecenderungan bertindak secara otonomi untuk menciptakan inovasi dan mengambil risiko, dan suatu kecenderungan menjadi lebih agresif terhadap pesaing dan relative proaktif terhadap peluang peluang pasar. Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa dimensi orientasi yang bersifat entrepreneurial tidak selalu membawa akibat sama, tetapi sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya (Cahill, 1995,1996). Perusaahaan dengan orientasi entrepreneurial sering diindikasikan dengan perilaku risk-taking, seperti heavy debt atau membuat large source commitments, dalam perhatiannya untuk memperoleh ”high return” dari peluang peluang pasar. Terdapat beberapa arti dari entrepreneurship namun yang penting dari entrepreneurship adalah suatu gagasan gagasan baru yang masuk pada perusahaan (Lumpkin and Dess 1996). Dengan dasar tersebut, entrepreneurship pada perusahaan pivatisasi dapat digambarkan pada gagasan gagasan baru yamg masuk untuk membuat suatu bisnis baru dengan derajat komitmen yang tinggi serta meningkatkan toleransi dan fleksibilitas sebagai the creation of new enterprise . Sementara perubahan atas nilai, kebiasaan, tradisi dan kreativitas yang terjadi di BUMN setelah di privatisasi merupakan hasil gabungan antara apa yang terjadi di lingkungan eksternal dan lingkungan internal (Oliver, 1992). Setelah privatisasi akan terjadi perubahan perubahan seperti penggantian top manajer lama yang kemudian memasukkan manajer baru yang lebih berorientasi ke pasar (Cunha & Cooper, 1998). Dengan dimasukkannya manajer baru diharapkan akan membawa perubahan organisasi dengan ditandai adanya peningkatan heterogenitas komposisi manajer. Menurut peneliti (Greiner & Barnes, 1970 ; Lawrence, 1973) bahwa tingkat heterogenitas komposisi manajer yang semakin tinggi akan membawa dampak positif terhadap perubahan perilaku karyawan untuk berubah dalam mewujudkan suatu keinginan yang bertanggung jawab, mempunyai pilihan resiko moderate, mempunyai keinginan untuk immediate feedback dan mempunyai orientasi masa depan menuju pasar kompetitif. Meskipun peranan stratejik telah diteliti oleh Antoncic (2000), dan menemukan bahwa corporate entrepreneurship dapat meningkatkan profitabilitas dan pertumbuhan perusahaan , namun Zahra (2000) berpendapat bahwa yang memperlemah corporate entrepreneurship adalah sistem sentralisasi, dan sistem birokratis perusahaan. Sebagaimana penelitian Ireland, Hitt , Camp dan Sexton, (2001) yang mengemukakan bahwa faktor faktor organisasional dapat memperkuat dan memperlemah corporate entrepreneurship, sedangkan menurut Covin & Slevin, (1989) bahwa ukuran besar kecilnya perusahaan akan mempengaruhi corporate entrepreneurship. Sementara Hisric
13
(2000) mengemukakan bahwa hubungan corporate entrepreneurship dengan kinerja perusahaan dipengaruhi oleh kondisi negara apakah dilakukan pada negara maju atau negara sedang berkembang. Sementara peneliti Zahra,(1991) mengemukakan bahwa yang memperkuat corporate entrepreneurship adalah teknologi. Perusahaan privatisasi akan mengakuisisi pengetahuan dengan transfer teknologi dari partnership. Manajer BUMN sebagian besar mempunyai skill teknikal yang kuat, standard pendidikan dan profesi teknikal yang tinggi, tetapi manajer tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola perusahaan di lingkungan yang berorientasi pasar (Fey dan Bjorkman,2001;Lawrence dan Vlachoutsicos;1990;Pearce,1991;Puffer et al,1994). Untuk keberhasilan perusahaan pada kondisi yang baru, perusahaan harus melakukan rekonfigurasi sumberdaya mereka secara dramatikal. Reconfigurasi sumber daya diperlukan untuk mengambil keuntungan dari peluang peluang baru karena mungkin perusahaan tidak mempunyai sumberdaya yang cocok dalam memenuhi kebutuhan sumber daya yang diperlukan pada kondisi yang baru.Menurut Barringer & Bluedorn (1999) tingkat competitive suatu perusahaan dipengaruhi oleh orientasi ke arah aktivitas yang bersifat entrepreneurial. Misalnya, ditemukan hubungan positif antara intensitas corporate entrepreneurship dan strategic management practice yang spesifik, seperti scanning intensity, planning flexibility, locus of planning, dan strategic control. Khususnya manfaat sebagai pionir dapat dipandang sebagai salah satu elemen orientasi entrepreneurial dari tingkat perusahaan (Cooper & Dunkelberg, 1986). Transformasi organisasional berpengaruh memacu entrepreneurial outcome seperti innovation dan aktivitas aktivitas venturing. Organisasi dapat dipandang pada suatu continuum yang mempunyai jangkauan dari perusahaan yang bersifat kurang entrepreneurial ke arah perusahaan yang bersifat lebih entrepreneurial. Pandangan entrepreneurship sebagai suatu continuum dikemukakan oleh Slevin’s (1989) yang membedakan antara konservatif (risk averse, non inovative, dan non reactive) dan perusahaan yang bersifat lebih entrepreneurial (risk taking, innovative, dan proactive). Menurut Brazeal dan Herbert’s (1999) organisasional yang bersifat entrepreneurship ditunjukkan dengan tingkatan perusahaan yang termotivasi untuk bersifat entrepreneurial, ditandai dengan ”adanya komitmen yang penuh” terhadap aktivitas entrepreneurial, dimana (Zahra,1991, 1993; Knight,1997; Lumpkin & Dess,1997; Lumkin,1998) menyebutnya corporate entrepreneurship. Menurut Ireland, Kuratko dan Morris (2006) bahwa strategi corporate entrepreneurship memerlukan empat element penting yaitu structure, control, human resource manajemen system, dan culture. Perusahaan lebih memungkinkan dapat mengembangkan corporate entrepreneurship secara berkelanjutan jika perusahaan mempunyai organizational knowledge entrepreneurial yang berpotensi dapat di sharing-kan secara luas ke seluruh individual. Berdasarkan uraian di atas dapat disusun proposisi berikut: Proposisi : Transformasi Entrepreneurship Transformasi organisasional merupakan proses transformasi yang terkait dengan perubahan inti organisasi yang meliputi strategi, sistem, budaya dan struktur. Transformasi organisasional mempengaruhi corporate entrepreneurship secara langsung atau secara tidak langsung dengan mediasi pembelajaran organisasional .
14
Untuk menjawab permasalahan penelitian diajukan hipotesis yang terangkum dalam Model Empirik, yang disajikan pada gambar 2.
Gambar 2. Model Penelitian Corporate Entrepreneurship
Transformasi Organisasional H2
H1
Corporate Entrepreneurshi p
H3 Pembelajaran Organisasional
Sumber : Dikembangkan untuk studi ini
Hipotesis hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah seperti yang disajikan dalam tabel beikut ini . TABEL : 2.3. HIPOTESIS Hipotesis
HIPOTESIS H1
Transformasi organisasional berpengaruh positif terhadap pembelajaran organisasional
H2
Transformasi organisasional berpengaruh positif terhadap Corporate Entrepreneurship Pembelajaran organisasional berpengaruh positif terhadap corporate entrepreneurship
H3
15
3. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Rancangan penelitian ini bersifat penelitian prediksi dan deskriptif yang melibatkan beberapa konsep. Penelitian ini mengukur hubungan antara variabel eksogen dan endogen. Konsep-konsep yang berperan sebagai variabel endogen meliputi pembelajaran organisasional dan corporate entrepreneurship. Sedangkan konsep yang berperan sebagai variabel eksogen adalah transformasi organisasional. Masing-masing konstruk akan diukur dengan beberapa indikator pertanyaan penelitian yang disesuaikan dengan kondisi lapangan dan referensi beberapa studi jurnal. Penelitian ini juga bersifat deskriptif, yaitu untuk memberikan penjelasan fenomena transformasi entrepreneurship perusahaan BUMN yang telah diprivatisasi di Indonesia, yang menggambarkan profil dan karakteristik perusahaan. Penelitian deskriptif penting dilakukan untuk mengarahkan berbagai kebijakan manajemen yang berkaitan dengan aspek perilaku manajerial dan aspek entrepreneurship perusahaan. Penelitian ini memfokuskan pada integrasi dan identifikasi variabel yang diperlukan sebagai alat untuk mempercepat proses transformasi perusahaan privatisasi BUMN menuju pengembangan corporate entrepreneurship. Variabel yang diidentifikasi meliputi transformasi organisasional, pembelajaran organisasional dan corporate entrepreneurship, yang mengacu pada konsep dan penelitian terdahulu yakni Zahra, Ireland, Gutierrez dan Hitt (2002) dan Antoncic dan Hisrich(2003). Penelitian ini menguji pengaruh transformasi organisasional terhadap pembelajaran organisasional dan corporate entrepreneurship . Sebagaimana pendapat (Bharadwaj, Varadarajan dan Fahy 1993; Day 1994; Teece, Pisano, dan Schuen, 1997) yang menyatakan bahwa kapabilitas organisasional yann ditandai adanya kebebasan pengembangan kreatifitas, dan pembelajaran adalah syarat yang diperlukan perusahaan untuk menuju corporate entrepreneurship . Untuk mengembangkan model empirik yang membuktikan hubungan positif antara transformasi organisasional, pembelajaran organisasional, dan corporate entrepreneurship studi ini menekankan kontribusi dari peranan startejik manajer level atas. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Keseluruhan indikator yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian ini terdiri atas 16 indikator yang mengacu pada konsep Zahra (2000) dan Uhlenbruck (2000), ( Lumpkin & Dess ,1996; Antoncic & Hisrich , 2003 : dan Slevin & Covin,1990).
16
Secara sistematis definisi operasional dan pengukuran variabel disajikan pada tabel 3.1: TABEL 3.1 D1FINISI OPERASIONAL DAN PENGUKURAN VARIABEL Nama Variabel Difinisi Operasonal Indikator dan Cara Pengukuran Laten Transformasi Organisasional
Suatu proses transformasi yang terkait dengan perubahan inti organisasi yang meliputi strategi, sistem, budaya dan struktur.
Diukur dengan menggunakan 7 pertanyaan dengan menggunakan pengukuran interval scale 1 sampai 10 dengan indikator: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pembelajaran Organisasional
Suatu proses untuk memperbaiki tindakan melalui knowledge dan pemahaman yang lebih baik.
Diukur dengan menggunakan 5 pertanyaan dengan menggunakan pengukuran interval scale 1 sampai 10 1. 2. 3. 4. 5.
Corporate Entrepreneurshi p
Pengembangan perilaku entrepreneurial dalam organisasi yang berkaitan dengan penggunaan inovasi, proactive, upaya-upaya berisiko dan pembaruan bisnis untuk menciptakan nilai.
Struktur Otonomi Partisipatif Pengendalian Komunikasi Insentif Informasi
Pelatihan Umpan Balik Pengembangan R&D Eksperimen Sharing pengetahuan
Diukur dengan menggunakan 4 pertanyaan dengan menggunakan pengukuran interval scale 1 sampai 10: 1. 2. 3. 4.
Inovasi Proaktif Pengambilan Risiko Bisnis baru
17
Populasi dan Sampel Obyek penelitian ini terdiri atas perusahaan negara (BUMN) yang telah diprivatisasi di Indonesia. Unit analisis penelitian ini adalah perusahaan yang dapat diwakili oleh direksi. Direksi yang terdiri atas manajer level puncak dapat mewakili pandangan, sikap, perilaku perusahaan dalam melakukan trasformasi entrepreneurship untuk memperoleh keunggulan kompetitif yang meningkatkan kinerja secara berkelanjutan (Fahy, 2000). Populasi pada penelitian ini meliputi perusahaan BUMN privatisasi dan anak perusahaannya di Indonesia. Populasi penelitian sebanyak 66 perusahaan (Kementrian BUMN, 2005). Perusahaan BUMN yang di privatisasi adalah pada industri yang sektor usahanya kompetitif dan sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. Teknik pengambilan sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah non probabilitas. Sampling non probabilitas adalah sampling dimana semua unsur atau unit dalam populasi tidak mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sampel. Metode pemilihan sampel yang digunakan adalah Axidental sampling, dimana sampling dengan cara menentukan siapa saja yang ditemukan peneliti saat melakukan pengumpulan data (Samanu, 2004). Jumlah sampel dalam penelitian ini bejumlah 57 perusahaan, yakni perusahaan yang menjadi responden, dimana masing masing perusahaan diwakili oleh satu manajer sebagai responden. Teknik Analisis Data Analisis Deskriptif Untuk memberikan gambaran atau deskripsi empiris atas data yang dikumpulkan dalam penelitian, digunakan ”angka indeks” yang dikembangkan untuk mengetahui persepsi umum responden mengenai sebuah variabel yang diteliti (Ferdinand, 2006). Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan persamaan model struktural. Software statistik Structural Equation Modelling (SEM) yang digunakan menguji model persamaan struktural. Menurut (Hair et al, 1995) SEM dipilih sebagai metode yang paling sesuai karena dapat mengestimasi secara simultan dari hubungan dan interrelated multiple dependen yang mampu untuk merepresent unobservable (latent ) concept, dan dapat menghitung ukuran eror dalam proses. Pengujian hipotesis dengan menggunakan Partial Least Square meliputi beberapa langkah yaitu langkah. Pertama, menguji uni dimensional dari masing-masing konstruk. Uni dimensional diuji dengan memperhatikan convergen validity dari masing-masing indikator konstruk. Langkah kedua, melakukan estimasi kembali model, setelah beberapa indikator yang loading factor kurang dari 0.60 dikeluarkan dari analisis. Langkah ketiga, adalah membaca hasil outer model. Sebelum dilakukan analisis inner model, dilakukan evaluasi model dengan analisis outer model (measurement model). Analisis yang digunakan untuk menilai outer model yaitu, convergent validity, discriminat validity, dan composite reliability. Sedangkan langkah keempat adalah membaca inner model. Untuk mengevaluasi inner model dengan melihat presentase variance yang dijelaskan yaitu dengan melihat nilai R-square untuk konstruk laten
18
dependen dengan menggunakan ukuran Stone-Geisser Q squares test (Stone, 1974; Geisser, 1975). Selain itu untuk mengevaluasi inner model dapat juga dilihat dari besarnya koefisien jalur struktural. Stabilitas dari estimasi ini dievaluasi dengan menggunakan uji t-statistik yang didapat lewat prosedur bootsraping. Dalam menilai model dengan Partial Least Square kita mulai dengan melihat R-square untuk setiap variabel laten dependen. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada regresi. Pengujian hipotesis dilakukan dengan memperhatikan nilai signifikansi dari estimasi jalur struktural. Pada penelitian ini pengujian hipotesis dapat diuraikan dalam bentuk persamaan matematis dengan struktur persamaan yang terdiri atas duapersamaan regresi berjenjang sebagai berikut: Pembelajaran
= β1 Transform + ℓ1
Corporate Entrepreneurship = β1 Transform + β2 Pembelajran + ℓ2
Penerimaan hipotesis dilakukan jika probabilitas nilai critical ratio lebih kecil dari 5%. Sedangkan penolakan hipotesis jika probabilitas nilai critical ratio lebih besar dari 5%. Diagram alur pada penelitian ini dapat dilihat pada model struktural pada gambar 3.2:
19
Gambar 3.7 Model Corporate Entrepreneurship
Innovativenees
Proactiveneess
Risk Taking
New Ventura Busineess
CORPORATE ENTREPRENEURSHIP TRANSFORMASI ORGANISASIONAL
PEMBELAJARAN ORGANISASIONAL
Training
Struktur
Otonomi
Pengambilan keputusan partisipatif
Control
Komunikasi
Feed back
Sistem Insentif
R&D
Experimentation
Knowledge sharing
Informasi
Sumber : Dikembangkan untuk disertasi ini
ANALISIS DATA Analisis Pengujian Hipotesis meliputi Pengujian Outer Model dan Pengujian Inner Model. Selanjutnya, secara rinci variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
20
Transformasi Organisasional Tujuh indikator digunakan dalam kajian terhadap transformasi organisasional, yaitu masing-masing mengenai transformasi tingkat fleksibilitas struktur organisasional, transformasi tingkat otonomi perusahaan, transformasi tingkat partisipatif pengambilan keputusan, transformasi tingkat kesesuaian mekanisme sistem pengendalian, transformasi tingkat efektifitas komunikasi antara manajemen dan karyawan, transformasi tingkat insentif, dan transformasi untuk upaya pengumpulan informasi. Semua indikator tersebut sebagai cerminan transformasi organisasional yang mengiringi perusahaan BUMN yang diprivatisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa transformasi organisasional yang terjadi di perusahaan privatisasi BUMN umumnya adalah sedang. Hal ini menunjukkan bahwa dari rentang nilai indeks sebesar 10-100, perusahaan privatisasi BUMN rata-rata memiliki indeks transformasi organisasional sebesar 67.83, yang berarti tingkat transformasinya sedang mendekati tinggi. Transformasi tingkat otonomi organisasional menduduki tempat utama yang tergolong tinggi, diikuti oleh transformasi tingkat partisipatif pengambilan keputusan. Pembelajaran Organisasional Konstruk pembelajaran organisasional menggunakan lima indikator, yaitu kemampuan perusahaan melakukan pelatihan, kemampuan perusahaan memperoleh umpan balik, kemampuan perusahaan melakukan R&D, kemampuan perusahaan melakukan eksperimen, dan kemampuan melakukan knowledge sharing. Hasil statistik deskriptif dengan menggunakan teknik pengukuran angka indeks menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan melakukan pembelajaran organisasional ini relatif berada pada tingkat yang dapat disebut sedang sedang saja, dengan kemampuan tertinggi adalah pada kemampuan melakukan R&D (72.31), diikuti dengan kemampuan melakukan eksperimen 67.46, serta kamampuan melakukan knowledge sharing 65.58. Corporate Entrepreneurship Untuk corporate entrepreneurship yang dikembangkan perusahaan, penelitian ini mengkaji empat indikator, meliputi innovativeness yaitu upaya menciptakan nilai perusahaan dengan menggunakan inovasi, proactiveness yaitu upaya untuk dapat menciptakan demand baru dengan memanfaatkan peluang baru, risk taking yaitu upaya penciptaan nilai dengan melibatkan preferensi pengambilan risiko dan new ventura business yaitu upaya untuk menciptakan bisnis baru. Hasil perhitungan angka indeks adalah menunjukkan bahwa tingkat penciptaan bisnis baru (73.26) dan tingkat inovasi (72.15) berada pada posisi yang tinggi dimana hal ini berarti bahwa entrepreneurship yang dikembangkan dalam organisasi perusahaan menggunakan inovasi yang tinggi dalam memanfaatkan peluang baru untuk menciptakan nilai perusahaan. Penelitian ini menemukan bahwa indeks total corporate entrepreneurship sebesar 69.37 yang relatif sedang-tinggi, dimana penciptaan bisnis baru adalah tertinggi (73.26) diikuti dengan penggunaan inovasi (72.15), keberanian mengambil risiko (68.93), serta proaktif (63.15).
21
Pengujian Hipotesis Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan Partial Least Square (PLS), karena PLS dapat mengestimasi model kompleks dengan sampel kecil tidak mengasumsikan data harus terdistribusi secara normal dan lebih berorientasi pada prediksi. Jika model konseptual dan pengukurannya belum dikembangkan secara baik atau sifatnya masih dalam tahap eksploratori pengembangan teori, PLS lebih cocok digunakan (Imam Ghozali, 2006). Model struktural dalam penelitian ini dianalisis dengan software Smart PLS melalui tahap sebagai berikut: Pengukuran (Outer) Model engan menggunakan convergent dan discriminant validity. Convergent validity dapat dinilai dengan melihat reliabilitas indikator, composite reliability, dan average variance extracted. Pengujian validitas dan reliabilitas data dilakukan dengan menggunakan software Partial Least Square. Jumlah indikator atau item pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner sebanyak 16 pertanyaan. Berdasarkan pengujian validitas dan reliabilitas pertanyaan, maka indikator yang dapat dinyatakan valid dan reliabel sebanyak 12 item pertanyaan. Penjelasan secara rinci ditunjukkan sebagai berikut Pengujian Convergent Validity Convergent validity digunakan untuk menguji unidimensionalitas dari masingmasing konstruk. Menurut Chin (1998) suatu indikator dikatakan mempunyai reliabilitas yang baik jika nilainya lebih besar dari 0.70. Sedangkan loading factor 0,50 sampai 0,60 masih dapat dipertahankan untuk model yang masih dalam tahap pengembangan. Pada penelitian ini menggunakan criteria Chin dengan nilai batas loading factor yang digunakan 0,60. Pertimbangan menggunakan batas loading factor diatas 0.60 dengan harapan dengan pengujian hipotesis analisis SEM dengan PLS akan dapat menghasilkan model yang lebih fit. Sehubungan dengan itu, indikator-indikator yang mempunyai loading factor lebih kecil dari 0,60 dan tidak signifikan dikeluarkan dari analisis. Jumlah item pertanyaan Transformasi Organisasional yang diajukan dalam kuesioner sebanyak tujuh item pertanyaan. Item pertanyaan tersebut adalah: struktur organisasi yang tidak berlapis lapis (TOA), dengan memberi otoritas dalam pembuatan sistem perencanaan dengan kewenangan dan pendelegasian tanpa intervensi (TOB), untuk memudahkan dalam sistem pengambilan keputusan secara partisipatif (TOC), dan akan memperbaiki sistem pengendalian perusahaan (TOD), serta memperbaiki sistem komunikasi dalam perusahaan (TOE), dengan menerapkan sistem insentif secara jelas (TOF), dan perusahaan memperhatikan pentingnya pengumpulan informasi (TOG). seluruh nilai t statistik untuk indikator TOA, TOB, TOC, TOD, TOE, TOF, dan TOG lebih besar dari 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh indikator adalah signifikan pada p<0.05. Item pertanyaan yang mempunyai loading factor yang nilainya lebih kecil dari 0,60 ada 1 item pertanyaan, yaitu sistem komunikasi (TOE). Oleh karena itu, pertanyaan sistem komunikasi tidak digunakan dalam analisis (Chin,1998). Jumlah item pertanyaan Pembelajaran Organisasional yang diajukan kepada responden sebanyak lima item pertanyaan. Kelima item pertanyaan tersebut adalah : kemampuan perusahaan melakukan pelatihan (POA), kemampuan melakukan umpan balik (POB), kemampuan perusahaan melakukan R&D (POC), kemampuan perusahaan untuk melakukan eksperimen (POD), dan kemampuan sharing pengetahuan (POE).
22
Hasil 4.12 menunjukkan bahwa seluruh nilai t statistik untuk indikator lebih besar dari 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh indikator adalah signifikan pada p<0.05. Sedangkan original sample estimate indikator POB untuk konstruk pembelajaran organisasional lebih kecil dari 0,60 (0,566). Oleh karena itu, indikator POB dikeluarkan dari analisis. Jumlah item pertanyaan Entrepreneurship yang diajukan kepada responden sebanyak empat item pertanyaan, yaitu inovasi (CEA), proaktif (CEB), pengambilan risiko (CEC), dan bisnis baru (CED). Namun, hanya ada dua item pertanyaan yang mempunyai loading factor lebih besar 0.60, yaitu inovasi (CEA) dan pengambilan risiko (CEC), sehingga ada dua item pertanyaan, yakni proaktif (CEB) dan bisnis baru (CED), dikeluarkan dari analilis. Berdasarkan besaran loading factor menunjukkan bahwa seluruh nilai t statistik untuk indikator CEA, CEB, CEC, dan CED lebih besar dari 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh indikator adalah signifikan pada p<0.05. Sedangkan indikator CEB dan CED mempunyai nilai loading factor 0.544 dan 0.536, yang artinya nilai ini lebih kecil dari 0.60. Oleh karena itu, item pertanyaan proaktif dan bisnis baru tidak dipakai sebagai indikator corporate entrepreneurship. Setelah semua indikator yang mempunyai loading factor lebih kecil dar 0,6 dikeluarkan dari analisis, maka didapat hasil loading factor yang baru, seperti pada pengujian convergent validity Tahap Kedua berikut ini: Setelah pengujian convergent validity dilakukan, hasil pengujian masih menunjukkan adanya nilai loading factor yang lebih kecil dari 0,60, maka perlu dilakukan analisis tahap berikutnya, yaitu pengujian convergent validity yang sudah menghilangkan indikator-indikator yang tidak valid. Indikator untuk konstruk transformasi organisasional yang mempunyai nilai nilai t statistik lebih besar 1.96 dan loading faktor di atas 0.60 adalah indikator struktur (TOA ), otonomi (TOB), partisipatif (TOC), insentif (TOF), dan informasi (TOG). Indikator untuk konstruk transformasi organisasional secara rinci dapat dilihat dari tabel 4.21 dibawah ini: Tabel 4.21 Convergent Validity untuk Konstruk Transformasi Organisasional Nama Indikator
Original sample estimate
Mean of subsamples
Standard deviation
TStatistic
TOA Struktur
0.862
0.863
0.028
31.151
0.751
0.746
0.088
8.530
TOC Partisipatif
0.687
0.682
0.107
6.405
TOF Insentif
0.787
0.786
0.049
16.013
TOG
0.883
0.884
0.033
26.501
TOB Otonomi
23
Informasi
Untuk konstruk pembelajaran organisasional indikator R&D (POC), eksperimen (POD), dan sharing pengetahuan (POE) mempunyai validitas yang baik. Karena semua mempunyai nilai t statistik lebih besar 1.96 dan loading factor nilainya di atas 0.60. Masing-masing indikator mempunyai nilai sebesar POC= 0.709, POD= 0,733 dan POE=0,837 dapat dilihat pada tabel 4.22: Tabel 4.22 Convergent Validity 2untuk Konstruk Pembelajaran Organisasi
Nama Indikator
Original sample estimate
Mean of subsamples
Standard deviation
TStatistic
POC R&D
0.709
0.709
0.093
7.622
POD Eksperimen
0.733
0.731
0.110
6.690
POE Sharing pengetahuan
0.837
0.828
0.053
15.706
Hasil pengujian convergent validity 2 menunjukkan bahwa kedua indikator untuk konstruk corporate entrepreneurship semua signifikan karena mempunyai nilai t statistik lebih besar 1.96 dengan loading factor semua di atas 0.60, yaitu inovasi (CEA) adalah 0.678, proaktif (CEB) adalah 0.733 dan pengambilan risiko (CEC) adalah 0.759. Oleh karena itu, kedua indikator ini dipakai sebagai indikator konstruk corporate entrepreneurship (tabel 4.23). Tabel 4.23 Convergent Validity untuk Konstruk Corporate Entrepreneurship Nama Indikator
Original sample estimate
Mean of subsamples
Standard deviation
TStatistic
CEA Inovasi
0.678
0.671
0.113
5.983
CEB Proaktif
0.733
0.731
0.089
8.249
CEC Pengambilan risiko
0.759
0.754
0.134
5.668
24
Dari pengujian convergent validity 1 sampai dengan 2, dapat disimpulkan bahwa pada intinya indikator untuk masing-masing konstruk pada convergent validity yang ketiga semua signifikan, karena mempunyai nilai t statistik lebih besar 1.96 dan loading fator lebih besar dari 0,60. Hal ini menunjukkan bahwa konstruk transformasi organisasional, pembelajaran organisasional, dan corporate entrepreneurship adalah valid. Jumlah indikator awal yang diajukan dalam penelitian ini sebanyak 16 indikator, semua mempunyai nilai t statistik yang signifikan pada p<0.05. Namun, setelah dilakukan pengujian convergent validity I, terdapat 12 indikator yang representatif dan 4 indikator yang tidak representatif. Selanjutnya, model di re-estimasi kembali dengan mengeluarkan tujuh indikator yang tidak representatif, hasil pengujian convergent validity II menunjukkan bahwa masih ada 1 indikator yang laoding-nya di bawah 0.60 dan terdapat 11 indikator yang di atas 0.60 . Dengan menggunakan 11 indikator yang representatif pada pengujian convergent validity II dilakukan re-estimasi kembali, didapat hasil convergent validity III yang menunjukkan bahwa kedua puluh indikator tersebut valid, karena semua mempunyai nilai t statistik yang signifikan pada p<0.05 dengan laoding factor di atas 0.60. Pengujian Discriminant Validity Discriminant validity dalam penelitian ini diuji dengan cara membandingkan nilai akar dari Average Variance Extracted (AVE) setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dan konstruk lainnya. Konstruk dinyatakan valid jika nilai akar dari average variance extract lebih besar dari korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya. Tabel 4.26 menunjukkan average variance extract dan akar dari average variance extract. Sedangkan tabel 4.27 menunjukkan tentang korelasi antara konstruk dan konstruk lainnya. Tabel 4.26 Average Variance Extracted (AVE) dan Akar Average Variance Extracted (AVE) Nama Variabel
Average variance extracted (AVE)
Transformasi Organisasional
0.636
Akar Average variance extracted (AVE) 0.7975
Pembelajaran Orgaisasional
0.580
0.7616
Corporate Entrepreneurship
0.524
0.7239
Tabel 4.27
25
Korelasi antar Konstruk Transforma si Organisa Sional
Pembela jaran Organisa sional
Transformasi Organisasional
0.798
Pembelajaran Organisasional
0.597
0.762
Corporate Entrepreneurship
0.551
0.632
Corporate Entrepre neurship
0.724
Tabel 4.26 menunjukkan nilai akar average variance extracted (AVE) untuk konstruk transformasi organisasional sebesar 0,798. Sedangkan, korelasi antara konstruk “transformasi organisasional” dan “konstruk lainnya” ditunjukkan pada tabel 4.27 adalah sebagai berikut: korelasi antara transformasi organisasional dan pembelajaran organisasional sebesar 0.597, dengan corporate entrepreneurship sebesar 0,551. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai akar AVE lebih besar dari korelasi antar konstruk (0.798 > 0.597; 0.551). Oleh karena itu, konstruk transformasi organisasional dapat dikatakan valid (Imam Ghozali, 2006). Konstruk pembelajaran organisasional pada tabel 4.26 menunjukkan nilai akar AVE sebesar 0,7616. Sedangkan korelasi antara pembelajaran organisasional dengan corporate entrepreneurship sebesar 0.632. Pembelajaran organisasional dengan transformasi orgamisasional sebesar 0.597. Oleh karena nilai akar AVE lebih besar dari korelasi antar konstruk, maka konstruk pembelajaran organisasional valid (0.7616> 0.632 dan 0.597 ). Nilai akar AVE untuk konstruk corporate entrepreneurship sebesar 0.7239. Sementara itu, korelasi antara konstruk corporate entrepreneurship dengan transformasi organisasional sebesar 0.551 dan dengan pembelajaran organisasional sebesar 0.632. Dari hasil tersebut, jelas bahwa akar AVE lebih besar dari korelasi masing-masing konstruk (0.724> 0.551 dan 0.632), maka konstruk corporate entrepreneurship dapat dinyatakan valid. Berdasarkan tabel 4.26 dan 4.27 dapat disimpulkan bahwa semua konstruk dalam penelitian ini yaitu transformasi organisasional, pembelajaran organisasional, dan corporate entrepreneurship, mempunyai nilai akar AVE lebih besar dari korelasi antar konstruk, yang berarti bahwa semua konstruk dalam model yang diestimasi memenuhi kriteria discriminant validity. Pengujian Composite Reliability 26
Evaluasi mesuarement (Outer) model juga dapat dilihat dari uji lainnya yaitu composite reliability dari blok indikator yang mengukur konstruk. Hasil composite reliability untuk masing-masing konstruk terlihat pada table 4.28 di bawah ini: Tabel 4.28 Composite Reliability Nama Variabel
Composite Reliability
Transformasi Organisasional
0.896
Pembelajaran Organisasional
0.805
Corporate Entrepreneurship
0.767
Tabel 4.28 menunjukkan bahwa seluruh konstruk reliable. Hal ini ditunjukkan oleh nilai composite reliability menunjukkan nilai yang memuaskan yang lebih besar dari 0,80, yaitu 0.896 untuk konstruk transformasi organisasional, 0.805 untuk konstruk pembelajaran organisasional, 0.767 untuk konstruk corporate entrepreneurship. Selain itu, reliabilitas konstruk juga didukung oleh nilai t statistik hitung lebih besar dari t tabel. Hasil ini dapat dijelaskan pada tabel 4.21 sampai dengan tabel 4.25. Dari hasil t tersebut dapat ditunjukkan bahwa semua indikator mempunyai t statistik lebih tinggi dari 1.96 (nilai t > 1.96). Pengujian Struktural (Inner) Model Menilai inner model adalah mengevaluasi hubungan antar konstruk laten yang telah dihipotesiskan dalam penelitian ini. Model struktural dievaluasi menggunakan Rsquare untuk konstruk dependen, dengan hasil seperti pada tabel 4.29 berikut ini: Tabel 4.29. Nilai R- Square Variabel Transformasi Organisasional Pembelajaran Organisasional Corporate Entrepreneurship
R-square 0.357 0.446
Berdasarkan hasil uji struktural model yang diolah dengan menggunakan program Partial Least Square dapat diperoleh hasil seperti pada gambar 4.4 yang menunjukkan bahwa indikator masing-masing konstruk dalam penelitian ini adalah valid karena nilai t statistik signifikan pada p<0.05 dan loading factor-nya diatas 0.60. Hasil model struktural dari analisis Partial Least Square dapat dilihat pada tabel 4.30 berikut ini:
27
Tabel 4.30 Hasil Inner Model dan T Statistik Estimate sample estimate
Mean of subsamples
Standard deviation
T-Statistic
TO => PO
0.597
0.618
0.077
7.798
TO => CE
0.270
0.266
0.145
1.860
PO => CE
0.470
0.498
0.126
3.732
Secara lebih rinci untuk masing-masing konstruk dalam melihat validitas indikator dijabarkan pada tabel 4.21 untuk konstruk transformasi organisasional, tabel 4.22 untuk pembelajaran organisasional, tabel 4.23 untuk konstruk corporate entrepreneurship . Untuk konstruk transformasi organisasional yang representatif ada lima indikator, yaitu TOA (struktur organisasional), TOB (derajat otonomi), TOC (derajat partisipatif), TOF (insentif), dan TOF (informasi). Konstruk pembelajaran organisasional yang valid ada tiga indikator, yaitu POC (R&D), POD (eksperimen), dan POE ( sharing pengetahuan). Untuk konstruk corporate entrepreneurship yang valid ada tiga indikator, yaitu CEA (inovasi), CEB (proaktif) dan CEC (pengambilan risiko). Setelah model dianalisis melalui evaluasi pengukuran outer model dan inner model, hasil pengolahannya dapat dilihat pada gambar 4.4
28
Gambar 4.4 Model Corporate Entrepreneurship
Fleks Struktur
Part kptusan
Otonomi
0.862
0.751
0.687
Sist Insentif
0.787
Informasi
0.883
Transformasi Organisasional
0.270
0.597
Corporate Entrepreneurship
0.759
0.470 Pembelajaran Organisasional
0.709
R&D
0.733
0.678 Cost reduct
0.733 Akses finans
N`etwork
0.837
Experimen
Knwlge Sharing
Sumber: Dikembangkan untuk Disertasi ini
Analisis Pengujian Hasil pengujian hipotesis yang diuji dengan tingkat kesalahan Alpha 0.05, menunjukkan terdapat 2 hipotesis yang diterima dan 1 hipotesis yang tidak diterima. Secara ringkas dapat dilihat pada tabel 4.31
29
Tabel 4.31 Kesimpulan Hipotesis HIPOTESIS
HIPOTESIS
HASIL UJI
Hipotesis 1
Semakin tinggi derajat transformasi organisasional, semakin meningkat proses pembelajaran organisasional.
Diterima
Hipotesis 2
Semakin tinggi derajat transformasi organisasional, semakin tinggi pengembangan corporate entrepreneurship.
Tidak Diterima
Hipotesis 3
Semakin meningkat proses pembelajaran organisasional, semakin tinggi pengembangan corporate entrepreneurship.
Diterima
5. Pembahasan
Pembahasan temuan hasil penelitian didasarkan pada pengujian Structural Equation Model. Pembahasan yang dilakukan meliputi: pertama, pembahasan permodelan penelitian, kedua pembahasan hasil pengujian atas indikator dari masing masing variabel penelitian yang terdiri atas transformasi organisasional, pembelajaran organisasional, corporate entrepreneurship. Ketiga, pembahasan hasil pengujian hipotesis; dan keempat, pembahasan hasil secara keseluruhan. Penelitian ini mengusulkan model pengembangan corporate entrepreneurship yang didukung oleh pembelajaran organisasional. Variabel pembelajaran organisasional sebagai variabel mediasi dalam hubungan antara transformasi organisasional dan corporate entrepreneurship. Hal ini bermakna bahwa transformasi organisasional berperan mengoptimalkan corporate entrepreneurship perusahaan. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan privatisasi BUMN dengan memfokuskan pada transformasi organisasional yang dilakukan untuk mengembangkan corporate entrepreneurship berbasis sumber daya . Salah satu alasan yang mendorong penelitian ini dilakukan karena adanya research gap secara teoritis dan empirik pada penelitian terdahulu. Research gap tersebut antara lain berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat pengembangan corporate entrepreneurship. Sebagaimana dikemukakan oleh Hitt, Nixon, Hoskisson, dan Kochhar (1999) bahwa transformasi organisasional yang terjadi pada perusahaan privatisasi akan menghasilkan outcome entrepreneurial. Peneliti terdahulu yang juga mendukung penemuan ini adalah Zahra (2000), mengemukakan bahwa outcome entrepreneurial perusahaan privatisasi dapat
30
diciptakan dengan adanya transformasi organisasional yang dapat menstimulasi pembelajaran organisasional. Selain itu penelitian Zahra sebelumnya yaitu pada tahun 1992 menyatakan bahwa privatisasi dapat sebagai katalisator terbentuknya perusahaan baru yang mempunyai orientasi ke arah orientasi corporate entrepreneurship. Peneliti terdahulu lainnya yang juga mendukung penemuan ini adalah Sambrok (2001) mengemukakan bahwa pengembangan corporate entrepreneurship akan meningkat jika didukung oleh proses pembelajaran organisasional. Peneliti sebelumnya yang telah banyak meneliti dan mengemukakan konsep corporate entrepreneurship sebelum peneliti tersebut diatas diantaranya adalah Des dan Lumpkin (1995) menegaskan bahwa aktivitas-aktivitas yang bersifat entrepreneurial yang dilakukan di dalam organisasi yang sering disebut sebagai istilah corporate entrepreneurship. Dikemukakan bahwa dimensi penting yang menentukan corporate entrepreneurship adalah proses inovasi, venturing, renewal, competititive agresifness, proactive dan risk taking. Pandangan yang dikemukakan oleh Des dan Lumpkin ini banyak digunakan oleh peneliti terdahulu, demikian juga pada penelitian ini menggunakan dasar pemikiran yang dikemukakaan oleh Des dan Lumpkin. Jumlah seluruh indikator yang diajukan dalam penelitian ini semula sebanyak 16 indikator. Setelah dilakukan analisis, terdapat 11 indikator yang representatif sebagai indikator karena mempunyai loading factor lebih besar 0.6 dan signifikan. Berdasarkan hasil pengujian indikator ditunjukkan bahwa transformasi mekanisme pengendalian (TOD) dan efektifitas komunikasi (TOE) tidak digunakan sebagai indikator transformasi organisasional. Hal ini dapat dijelaskan karena pengendalian secara internal belum sepenuhnya dapat memotivasi karyawan agar bekerja lebih produktif sesuai dengan pencapaian tujuan perusahaan. Mekanisme pengendalian internal dengan memberikan hak kontrol yang lebih luas kepada lembaga dalam hal anggaran, manajerial, personalia, dan manajemen belum dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Walaupun pengendalian secara ekternal kuat, tetapi implementasi sistem pengendalian secara internal kadang masih lemah dan relatif kaku. Sementara komunikasi tidak representatif sebagai indikator transformasi organisasional karena perusahaan hanya melakukan komunikasi berbasis pada struktur formal, sedangkan komunikasi berbasis struktur informal kurang banyak dilakukan. Komunikasi antara manajemen dan para karyawan belum sepenuhnya dapat mendorong komitmen karyawan pada organisasi untuk lebih produktif dan inovatif Indikator kemampuan perusahaan melakukan riset dan pengembangan (R&D), menyebarkan pengetahuan dan melakukan eksperimen merupakan pengukur yang valid untuk proses pembelajaran organisasional. Variabel indikator yang mempunyai kontribusi terbesar dalam menjelaskan pembelajaran organisasional adalah kemampuan sharing pengetahuan (POE=0.837). Variabel indikator kemampuan untuk melakukan eksperimen (POD=0.733) merupakan indikator kedua dalam menjelaskan pembelajaran organisasional. Sedangkan variabel indikator yang mempunyai kontribusi dalam menjelaskan Pembelajaran Organisasional yang terakhir adalah variabel indikator kemampuan perusahaan melakukan riset dan pengembangan (POC=0.709). Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan memandang penting upaya upaya dalam melaksanakan
31
penelitian dan pengembangan (R&D) yang menghasilkan informasi dan knowledge yang dapat disebarkan keseluruh bagian perusahaan dalam mendukung eksperimen yang akan dikembangkan. Hasil pengujian indikator ini mendukung pendapat De Long & Fahey (2000) yang menyatakan bahwa proses pembelajaran organisasional dapat diperoleh melalui penyebaran informasi dan share interpretasi. Sebagaimana pendapat Huber (1991) dan March dan Levit (1999) bahwa pembelajaran organisasional dapat diperoleh dengan melakukan privatisasi untuk mendapatkan sharing pengetahuan dengan melakukan eksperimen untuk menghasilkan inovasi internal. Hasil pengujian confirmatory analisis menunjukkan indikator pelatihan tidak representatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kecenderungan pelatihan yang dilakukan perusahaan tidak sesuai dengan kebutuhan pelatihan pegawai yang membutuhkan untuk penyelesaian tugas tugasnya dan pelatihan tersebut tanpa melihat urgensi kebutuhan dari bagian bagian di dalam perusahaan. Selain itu, pelatihan dan pendidikan yang dilaksanakan perusahaan belum sepenuhnya melibatkan semua karyawan dan tidak dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan. Sementara indikator umpan balik tidak representatif, dapat dijelaskan karena perusahaan tidak selalu merespon dengan cepat umpan balik yang diterima. Selain itu, umpan balik yang diterima perusahaan sebagian besar berasal dari internal yang cenderung mengenai masalah kepentingan karyawan, dibandingkan umpan balik yang berasal secara eksternal dari stakeholder yang berkaitan dengan kepentingan kebutuhan pelanggan perusahaan. Pengujian analisis faktor confirmatory semua indikator signifikan pada p<0.005 dan menunjukkan ada 1 indikator yang mempunyai loading factor kurang dari 0.60 yaitu indikator penciptaan bisnis baru (CED). Sedangkan yang mempunyai loading factor diatas 0.60 ada 3 indikator yaitu inovasi (CEA), proaktif (CEB) dan risk taking (CEC). Variabel indikator yang sumbangannya terbesar dalam mengukur corporate entrepreneurship yaitu kemampuan perusahaan menghasilkan inovasi. Keberanian perusahaan dalam pengambilan risiko merupakan variabel indikator yang menempati urutan kedua dalam menjelaskan corporate entrepreneurship. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan setelah privatisasi di dalam organisasinya sudah mengembangkan aktivitas aktifitas entrepreneurial yang tergolong tinggi untuk penciptaan inovasi. Ketika skill entrepreneurial ada dalam perusahaan memungkinkan memperkuat budaya dalam meningkatkan keinginan untuk mengambil resiko yang mengarah pada inovasi produk/jasa, proses, dan inovasi pasar . Confirmatory analysis konstruk corporate entrepreneurship menyatakan bahwa inovasi, proaktif dan risk taking merupakan indikator-indikator yang representatif untuk mengukur proses corporate entrepreneurship. Hal ini mendukung konsep Drucker (1985) yang menyatakan bahwa entrepreneurship berkaitan dengan inovasi dan risk taking, dan dikemukakan bahwa innovative sometime mean risk assumption. Peneliti lain yang mendukung adalah Zahra (2000) yang menyatakan bahwa aktivitas aktivitas entrepreneurial seperti inovasi, proaktif dan risk taking yang menekanan pada persaingan pasar dapat dilihat sebagai dua kunci outcome entrepreneurial dari privatisasi yang digerakkan oleh transformasi organisasional. Entrepreneurial merupakan isu yang
32
penting yang berkaitan dengan transformasi entrepreneurship perusahaan yang baru diprivatisasi (Uhlenbruck, 2000). Sebagaimana pendapat Antoncic B dan Hisrich R (2003) bahwa privatisasi dapat menstimulasi aktivitas pengembangan inovasi . Sementara penciptaan bisnis baru tidak representatif sebagai pengukur corporate entrepreneurship, karena perusahaan privatisasi BUMN dalam menggembangkan corporate entrepreneurship dimulai dari perilaku entrepreneurship di dalam organisasi yang didasarkan pada skill base sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki perusahaan. Pembahasan Hipotesis Penelitian Hipotesis 1 digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian , yaitu apakah transformasi organisasional secara langsung mampu mendukung proses pembelajaran organisasional? Selanjutnya apakah proses pengembangan corporate entrepreneurship dicapai oleh peran transformasi organisasional secara langsung atau tidak langsung melalui pembelajaran organisasional dijawab dengan hipotesis 2 dan 3. Hasil pengujian empirik untuk hipotesis 1, menunjukkan bahwa hipotesis 1 diterima. Hasil ini memberi makna bahwa transformasi organisasional berpengaruh positif terhadap pembelajaran organisasional. Dengan arti lain dapat dinyatakan semakin tinggi derajat transformasi organisasional semakin tinggi proses pembelajaran organisasional Bukti empiris ini mendukung konsep yang dikemukakan Zahra (2000) tentang hubungan transformasi organisasional dan pembelajaran organisasional pada perusahaan privatisasi. Selain itu, hasil ini juga mendukung penelitian Uhlenbruck, (2000) tentang hubungan transformasi organisasional dan kapasitas pembelajaran pada perusahaan privatisasi milik pemerintah di negara transisi ekonomi di Eropa Tengah dan Timur. Penelitian ini juga menambah penjelasan Wright, Hoskisson, Busenitz; Craggg & Dyck (2000) dan Lyles & Salk (1996) mengenai sistem insentif perusahaan sebagai pendorong untuk menstimulasi proses pembelajaran organisasional. Bila sistem insentif perusahaan diperbaiki dengan menerapkan reward dan punishment secara jelas, maka akan memperbaiki dorongan keinginan manajer untuk mau belajar pengetahuan pasar, produk atau jasa, dan metode baru. Sebagaimana ditemukan oleh Wright, Hoskisson, Busenitz, dan Dial (2000) yang telah meneliti 189 perusahaan privatisasi di Eropa Tengah dan Timur bahwa transformasi system insentif para manajer yang dilakukan pada perusahaan privatisasi mempengaruhi secara positif terhadap pembelajaran organisasional. Penelitian ini juga konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lyles dan Salk (1996) pada perusahaan privatisasi di Hungaria, bahwa peningkatan insentif manajer akan meningkatkan pembelajaran organisasional. Hasil pengujian empirik untuk hipotesis 2 tidak diterima. Hasil ini memberi arti bahwa transformasi organisasional tidak berpengaruh pada corporate entrepreneurship. Hal ini membuktikan bahwa belum dapat disimpulkan hubungan secara langsung antara ”transformasi organisasional” dan corporate entrepreneurship sesuai dengan konsep Zahra (2000) dan Hit, Ireland, Camp & Sexton (2001) yang mengemukakan adanya
33
dampak secara langsung dari transformasi organisasional terhadap entrepreneurship.
corporate
Belum dapat disimpulkannya hubungan secara langsung antara transformasi organisasional dan corporate entrepreneurship sesuai dengan temuan sebelumnya, bahwa transformasi organisasional dalam menciptakan corporate entrepreneurship harus didukung oleh proses pembelajaran organisasional. Temuan ini mendukung konsep Gedajlovic (2004), Argyris (1977), Day (1994), Huber (1991), dan Garvin (1993) tentang adanya hubungan keberlanjutan “proses simultan” antara transformasi organisasional, pembelajaran organisasional, dan derajat corporate entrepreneurship. Gedajlovic beragumentasi bahwa proses secara simultan dari tahap transformasi organisasional yang akan meningkatkan pembelajaran, diikuti tahap pembelajaran organisasional yang akan mendukung corporate entrepreneurship. Hal ini membuktikan bahwa outcome transformasi organisasional tidak dapat dihasilkan secara langsung dalam menciptakan pengembangan inovasi, tetapi terlebih dahulu diperlukan proses panjang secara simultan untuk terlebih dahulu dapat mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan produk dan pasar. Temuan ini juga mendukung Delacroix & Swaminathan (1991) dan Haveman (1992), yang membuktikan transformaasi organisasional tidak akan memberikan kontribusi yang optimal pada pengembangan inovasi tanpa dukungan proses pembelajaran organisasional. Perubahan bentuk struktur akan mempengaruhi kapabilitas pengetahuan dalam melakukan eksperimen penciptaan inovasi. Peneliti lain yang konsisten dengan penelitian ini adalah Sinkula, Baker, dan Noodewier (1977) yang menunjukkan bahwa keberhasilan transformasi organisasional dalam mengubah aktivitas perusahaan menjadi bentuk yang lebih inovatif ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam memproses informasi pengetahuan tentang produk dan faktor pasar . Hasil pengujian empirik penelitian ini ternyata tidak dapat membuktikan hipotesis penelitian. Kesimpulannya adalah proses transformasi organisasional belum mampu mendorong corporate entrepreneurship. Hal ini karena berdasarkan hasil deskripsi, angka indeks transformasi organisasional yang tergolong “sedang”. Dari seluruh indikator transformasi yang mempunyai indeks tinggi hanyalah transformasi otonomi. Sementara angka indeks transformasi struktur, partisipatif, komunikasi, kontrol, insentif dan informasi masih tergolong sedang. Sebaliknya angka indek indikator sistim insentif menduduki tempat paling rendah. Hasil ini mengilustrasikan bahwa perusahaan belum dapat mentransformasi sistem insentif sebanding dengan transformasi struktur, otonomi, partisipatif, dan informasi . Hasil pengujian empirik untuk hipotesis 3 diterima. Hasil signifikansi ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi proses pembelajaran organisasional semakin tinggi derajat corporate entrepreneurship. Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mampu melakukan riset dan pengembangan untuk melakukan eksperimen serta penyebaran pengetahuan, dapat mendorong keinginan yang lebih besar dalam melakukan inovasi dan pengambilan risiko.
34
Hasil pengujian hipotesis ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Laughin (2002), Coleman (1988), Lengnick-Hall (1992), Snell & Dean (1992), Youndt et al (1996), Laursen (2002), Kim (1997), dan Zahra et al (1996) yang menemukan bahwa kemampuan perusahaan untuk mengembangkan inovasi berhubungan dengan pembelajaran organisasional. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa aktivitas yang bersifat entrepreneurial seperti inovasi pasar, inovasi produk atau jasa dan, inovasi proses dapat ditingkatkan melalui proses akuisisi pengetahuan dari partnership perusahaan privatisasi. Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan bahwa pada perusahaan privatisasi untuk menghasilkan inovasi, dibutuhkan pembelajaran organisasional dengan melakukan riset dan pengembangan (R&D) dalam melakukan eksperimen. Sesuai penemuan Hitt et al (2000) bahwa privatisasi akan memberikan peluang pada perusahaan untuk belajar skil dan kapabilitas baru dari sumber daya partnership. Penelitian ini melengkapi penelitian yang dilakukan oleh Schmookler (1962,1966) dan Sundbo (1999) yang telah menguji kemampuan riset dan pengembangan (R&D) sebagai indikator pembelajaran organisasional merupakan salah satu jalur menuju inovasi. Ditemukan pada penelitian mereka bahwa tingkat kreatifitas dan gagasan karyawan di perusahaan berasal dari departemen penelitian dan pengembangan (R&D). Penelitian ini menambah penjelasan temuan mereka bahwa selain kemampuan melakukan riset dan pengembangan yang dapat mengembangkan inovasi, perusahaan juga perlu melakukan eksperimen dan penyebaran pengetahuan. Disamping itu, penelitian terdahulu hanya menjelaskan hubungan antara pembelajaran organisasional dengan pengembangan inovasi. Pada penelitian ini tidak hanya menjelaskan hubungan prediksi pembelajaran organisasional terhadap inovasi, tetapi juga menjelaskan hubungan pembelajaran organisasional terhadap proses pengambilan risiko sebagai indikator corporate entrepreneurship. Penerimaan risiko pada perusahaan akan terkait dengan pengembangan inovasi yang dilakukan perusahaan. Dengan demikian, hasil ini menjelaskan bahwa corporate entrepreneurship akan berhasil jika sebelumnya perusahaan melakukan peningkatan kompetensi dalam proses meningkatkan kapabilitas melalui penyebaran pengetahuan untuk melakukan percobaan dalam rangka mendukung menciptakan inovasi beserta risikonya. Hasil pengujian dengan Partial Least Square yang ditunjukkan dalam gambar 4.4 untuk menguji kualitas konstruk, pertama dilakukan pengujian signifikansi dari nilai t statistik dan loading factor tiap indikator. Hasil pengujian untuk loading factor sama dengan korelasi sederhana koefisien antara indikator dan variabel laten yang secara teoritikal dapat mencerminkan arti yang mendasari variabel. Semua jalur dapat dilihat signifikansinya dengan menggunakan estimasi untuk menghitung mean dan standar deviasi (seperti pada gambar 4.4). Model penelitian tersebut merupakan model persamaan regresi berjenjang dengan pengujian hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 3 dapat dijelaskan pada tabel 5.1.
35
Tabel. 5.1 Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian Pembelajaran Organisasional Transformasi Organisasional Corporate Entrepreneurship Transformasi Organisasional Pembelajaran Organisasional
Path Cooef
t-value
Keterangan
0,597
7.798
*Diterima
0.270 0.470
1.860 3.732
Tidak Diterima *Diterima
Secara keseluruhan hasil penelitian ini menemukan proses:Transformasi-Pembelajaran-Corporate Entrepreneurship
jalur
Pola ini, memberikan ilustrasi bahwa peningkatan kompetensi yang berhubungan dengan proses informasi, transfer knowledge, penciptaan knowledge, dan inovasi merupakan sesuatu yang penting. Perusahaan memandang peningkatan kompetensi yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia BUMN maupun yang berkaitan dengan organisasi merupakan prasyarat dalam pengembangan corporate entrepreneurship. Oleh kerena itu, perusahaan harus memperhatikan kegiatan pembelajaran agar memiliki kemampuan entrepreneurial. Hasil temuan ini mendukung penelitian Uhlenbruck (2000) tentang pembelajaran yang dipengaruhi transformasi organisasional dan Zahra (2000) mengenai corporate entrepreneurship yang dipengaruhi transformasi organisasional. Perubahan struktur akan mengubah misi ke arah penekanan pasar. Transformasi organisasional yang berkaitan dengan kapabilitas proses informasi, dimana perusahaan aktif dalam pengumpulan informasi akan mengarah pada keterbukaan perubahaan. Perubahan struktur yang dapat memfasilitasi kolaborasi dengan partner stratejik akan berpengaruh pada knowledge sharing routines yang bermanfaat untuk melakukan eksperimen dalam menciptakan inovasi dan gagasan baru. Penciptaan inovasi secara terus-menerus yang didukung fleksibilitas organisasional yang sesuai dalam menstimulasi proses pembelajaran . Hasil pengujian menunjukkan bahwa koeefisien jalur transformasi organisasional - pembelajaran organisasional - corporate entrepreneurship memberikan dukungan pada hipotesis 1, dan hipotesis 3. Temuan ini mendukung Hamel (1991), Inkpen (1995;1996) yang mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan determinan penting sebagai langkah awal untuk memotivasi inovasi. Barkema dan Vermeulen (1998) telah melakukan penelitian perspektif pembelajaran untuk determinan perusahaan yang akan melakukan ekspansi secara internasional, dan penemuannya adalah bahwa ”knowledge” tentang pasar, struktur industri, dan kompetitif dinamis akan memberikan kompetitif yang lebih besar. Dapat dikatakan bahwa perusahaan dengan keterbatasan sumberdaya lack entrepreneurial, untuk dapat bersaing seharusnya meningkatkan kapabilitas kompetitifnya melalui tahapan proses transformasi organisasional dan proses
36
pembelajaran yang berkaitan dengan kompetensi yang dapat membangkitkan semangat entrepreneurship. Temuan strategis penelitian menandaskan bahwa”pola jalur” (transformasipembelajaran-corporate entrepreneurship) yang diterapkan perusahaan mengharuskan untuk belajar terlebih dahulu sebelum mengembangkan spirit entrepreneurship. Oleh karena itu, dengan berdasarkan pola tersebut, dapat disimpulkan bahwa persoalan kapabilitas perusahaan privatisasi sangat menentukan terhadap berhasil tidaknya transformasi organisasional perusahaan privatisasi BUMN. 6.1. Kesimpulan Penelitian ini memberi kesimpulan terhadap masalah penelitian yang telah diajukan sebelumnya, yaitu: bagaimana proses mengembangkan corporate entrepreneurship yang diwujudkan dari transformasi organisasional melalui pembelajaran organisasional Temuan penelitian ini dapat membantu menjelaskan permasalahan berdasarkan gap yang ada, bahwa masih terdapat kekaburan peran transformasi organisasional dalam menciptakan corporate entrepreneurship pada perusahaan privatisasi. Penelitian ini memberi penjelasan bahwa untuk dapat mengembangkan corporate entrepreneurship, selain dituntut melakukan transformasi organisasional, juga harus memperhatikan pembelajaran organisasional..Permasalahan yang didasarkan gap bahwa masih belum dapat disimpulkan dengan baik hubungan yang saling berkaitan antara pengaruh transformasi organisasional, pembelajaran organisasional, dan corporate entrepreneurship dapat dijelaskan dengan hasil penelitian ini. Temuan ini memberikan solusi yang lebih baik karena dapat menambah penjelasan bahwa pengembangan corporate entrepreneurship tidak dapat diwujudkan langsung dari transformasi organisasional. Corporate entrepreneurship dapat berkembang jika didahului adanya pembelajaran organisasional. ”Pola jalur” yang ditemukan untuk memberikan solusi yang lebih baik tentang permasalahan bagaimana transformasi organisasional dapat meningkatkan corporate entrepreneurship, yaitu sebagai berikut:Temuan ini memberikan solusi bahwa transformasi organisasional tidak secara otomatis mengembangkan corporate entrepreneurship bagi suatu perusahaan, tetapi hanya sebagai langkah awal bagi perusahaaan untuk mendukung pembelajaran organisasional. Pengembangan pembelajaran organisasional akan menstimulasi corporate entrepreneurship seperti pada gambar 6.3 Gambar 6.3 Cara Mengembangkan Corporate Entrepreneurship
TRANSFORMASI ORGANISASIONAL
PEMBELAJARAN ORGANISASIONAL
CORPORATE ENTREPRENEURSHIP
37
Untuk dapat mengembangkan corporate entrepreneurship, perusahaan tidak hanya cukup melakukan transformasi organisasional, tetapi juga harus meningkatkan kompetensi sebagai syarat kesuksesan dalam melakukan inovasi. Penelitian ini membuktikan bahwa corporate entrepreneurship perusahaan privatisasi BUMN akan berkembang jika ada dukungan pembelajaran. Corporate entrepreneurship yang tergolong mendekati tinggi ditandai adanya spirit entrepreneurship yang diperoleh dari dukungan pembelajaran organisasional dengan proses riset dan pengembangan (R&D) yang tergolong tinggi, sehingga dapat mengembangkan inovasi yang tinggi. Transformasi untuk membawa perusahaan yang memiliki tingkat otonomi tinggi akan menciptakan suatu iklim internal yang dapat membangkitkan manajer untuk berinisiatif mengadakan eksperimen dan mengeksplorasi alternatif-alternatif baru yang stratejik dalam menggiring inovasi untuk mengeksploitasi peluang dan menciptakan nilai baru. Demikian juga untuk transformasi sistem insentif yang masih tergolong sedang, sehingga kurang dapat memperbaiki kerelaan manajer menerima resiko yang berkaitan dengan inovasi, perlu di desain kembali agar sesuai dan dapat meningkatkan semangat entrepreneurship.
6.2. Implikasi Teori Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini membawa beberapa implikasi teoritis terhadap studi manajemen stratejik dalam beberapa aspek, yaitu sebagai berikut: Resource base view: temuan pertama penelitian ini menunjukkan bahwa corporate entrepreneurship ditentukan oleh pembelajaran yang diwujudkan dari transformasi organisasional.. Konsep resource base view yang mendasari penelitian ini terlihat pada hubungan antara ”transformasi organisasional ke pembelajaran organisasional. Kontribusi yang besar dari resource base view dalam penelitian ini dapat dibuktikan pada besarnya nilai pengaruh langsung dari transformasi organisasional dalam memainkan peranannya untuk mendukung pembelajaran organisasional. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan resource base view dalam penelitian ini berkontribusi besar dalam melakukan orientasi stratejik yang berbasis entrepreneurship. Hasil ini mendukung teori yang dikembangkan oleh Fischer dan Sahay (2000) tentang hubungan transformasi yang melibatkan aktivitas entrepreneurial berdasar pada sumber daya yang ada di perusahaan.Penelitian ini menandaskan bahwa perusahaan untuk dapat menyesuaikan tuntutan pasar, harus lebih kompetitif dengan melakukan transformasi dan pembelajaran . Perusahaan privatisasi memungkinkan terjadinya
38
acquisition resource yang berperan untuk meningkatkan posisi kompetitif sumber daya yang ada di perusahaan. Teori organizational learning sebagai pelengkap yang diperlukan untuk mengefektifkan pengembangan sumber daya perusahaan privatisasi dapat ditunjukkan pada pengaruh pembelajaran organisasional terhadap corporate entrepreneurship. Peran pembelajaran organisasional dapat memediasi hubungan dari transformasi organisasional menuju orientasi corporate entreprneurship. Pembelajaran organisasional merupakan sarana yang ampuh untuk memotivasi awal keinginan untuk melakukan inovasi. Penciptaan inovasi yang ada di perusahaan privatisasi BUMN tidak akan bermanfaat jika sebelumnya tidak melakukan pembelajaran. Pengembangan berbasis sumber daya akan lebih bermakna jika sebelumnya memperhatikan peningkatan kompetensi. Pendekatan resource base view dan teori organizational learning yang saling berhubungan dapat ditunjukkan secara empirik, bahwa transformasi organisasional tidak dapat secara langsung mempengaruhi corporate entrepreneurship tetapi secara tidak langsung bahwa transformasi yang mendukung proses pembelajaran dapat menstimulasi corporate entrepreneurship. Hal ini sebagai bukti bahwa konsep resource base view akan lebih bermakna jika dilengkapi dengan teori organizational learning. Pendekatan teori Organizational learning merupakan komplemen resource based view. Oleh karena itu organizational learning dapat dipertimbangkan sebagai persyaratan untuk pengembangan secara efektif sumber daya perusahaan Pendekatan dari resource based view dan teori organizational learning akan meningkatkan corporate entrepreneurship dari proses transformasi organisasional karena dukungan pembelajaran organisasional baik dari luar maupun dari dalam. Hasil ini merupakan kontribusi terhadap aplikasi empirik dari konsep yang dikembangkan oleh Hurley dan Hult (1998) tentang hubungan innovativeness dan pembelajaran organisasional. Dan juga mendukung penelitian Ireland, Kuratko, dan Morris, (2006) bahwa pembelajaran organisasional merupakan sumber penting strategi coporate entrepreneurship Implikasi Manajerial Beberapa hasil temuan pengujian empirik penelitian ini memberikan implikasi secara manajerial. Terdapat langkah-langkah utama yang dapat dilakukan manajer dalam rangka mengembangkan corporate entrepreneurship: Pertama adalah transformasi organisasional. Untuk dapat meningkatkan corporate entrepreneurship, transformasi organisasional harus dilakukan. Peran transformasi organisasional diharapkan bisa mengubah struktur ke arah budaya yang cenderung lebih otonomi dan partisipatif.
39
Kedua adalah pengembangan pembelajaran organisasional. Peran pembelajaran menjadi landasan mengembangkan inovasi dan menjadi mediasi peningkatkan corporate entrepreneurship dari transformasi organisasional. Oleh karena itu, sharing pengetahuan merupakan syarat untuk dapat meningkatkan kreativitas dan inovasi. Perusahaan akan lebih optimal dalam pengembangan corporate entrepreneurship apabila didukung proses pembelajaran organisasional. Peran pembelajaran organisasional akan meningkatkan kompetensi yang susah ditiru dan ditransfer untuk dapat menjadi penentu pelaksanaan kegiatan dalam menciptakan inovasi yang berdaya saing.
Implikasi Bagi Pemerintah Kebijakan berbasis sumberdaya dapat menjadi solusi untuk mengelola perusahaan diselaraskan dengan kapabilitas kompetitif yang berhubungan dengan entrepreneurial ability. Semangat entrepreneurship diperlukan karena perusahaan mempunyai historical sumberdaya dan kapabiliats yang terbatas.
Keterbatasan Penelitian Model penelitian ini walaupun mempunyai implikasi teori dan manajerial, namun masih mempunyai beberapa keterbatasan. Salah satu keterbatasan dari penelitian ini karena pengujian hipotesis analisis Structural Equation Model menggunakan software Partial Least Square (PLS) . Penggunaan metode PLS dalam penelitian ini dilakukan karena tidak dapat menggunakan software AMOS / LISREL karena sampel dalam penelitian ini hanya terbatas 57 perusahaan. Sementara untuk dapat menganalisis dengan sofware AMOS/LISREL mensyaratkan ukuran sampel yang lebih besar. Penelitian in sudah mengembangkan teoritikal dasar transformasi entrepreneurship, namun hanya dapat menguji hubungan terbaik antar variabel, yang lebih bersifat prediksi. Penelitian yang akan datang sebaiknya melakukan analisis dengan menggunakan AMOS atau LISREL, yang diharapkan dapat memperbaiki penelitian ini. Penelitian ini sudah memasukkan elemen budaya ke dalam transformasi organisasional namun belum dijelaskan secara detail. Untuk dapat meningkatkan R square, penelitian yang akan datang hendaknya mempertimbangkan variabel budaya organisasi sebagai faktor penentu keberhasilan transformasi.
40