Hadirkan Cinta dalam Rumah Tangga
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 01 | September 2016
Highlight Isi
Belajar Tangguh dari Keluarga Nabi ... 3 Sebagai seorang ayah, beliau mampu memainkan setidaknya dua peranan penting, yaitu menjadi pembimbing dan sahabat terbaik.
Makna Bersuci ... 4 Di dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman, “... Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertobat dan menyucikan dirinya.” (QS Al-Baqarah, 2:222).
Membangun Ketangguhan di Keluarga Oleh: Teh Ninih Muthmainnah “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisâ’, 4:9)
M
iris rasanya kalau melihat pemberitaan media massa saat sekarang, entah televisi, koran, radio, atau dunia maya (internet). Tidak terhitung kejadian memilukan yang menimpa anakanak kita, mulai dari tawuran, kekerasan seksual, pergaulan bebas yang berakhir dengan pembunuhan, aborsi, dan permusuhan. Kerap pula kita mendengar ada anak yang tega membunuh orangtuanya hanya karena tidak dibelikan motor. Atau, ada anak yang membunuh temannya hanya
karena ingin mengambil hapenya. Tidak sedikit pula anak yang bunuh diri karena malu tidak bisa membayar SPP, putus cinta, atau dimarahi orangtua. Terang saja, apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan berat, bahkan sudah termasuk tindak kriminal. Atau, dalam bahasa agama, mereka sudah melakukan dosa besar dan kefasikan. Akan tetapi, kita tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya. Mereka hanyalah korban dari permasalahan yang mendera orang-orang dewasa di sekitarnya. Persoalan pun tidak akan pernah selesai apabila orangtua, atau pihak-pihak berwenang, hanya fokus pada kesalahan si anak. Sesungguhnya, fenomena ini bagaikan gunung es. Yang muncul kepermukaan hanya sedikit saja dari gunungan masalah yang tertutupi pekatnya lautan. Artinya, ada sebuah proses yang telah berlangsung dalam waktu yang lama.Hal yang paling kentara adalah buruknya proses pendidikan yang diterima si anak. Ini kemudian diperparah dengan ketidakpedulian yang dia terima di rumah, dan lingkungan luar rumah yang jauh dari kata ramah. Maka, kita layak merenung dan terus berpikir tentang solusi apa yang bisa kita lakukan. Minimal untuk membentengi anak di dalam rumah kita sendiri.Satu yang terpikirkan adalah betapa pentingnya memiliki jiwa tangguh. Ya, kondisi jiwa yang tahan menghadapi kesulitan dan terpaan badai kehidupan. *** Ketangguhan ini sesungguhnya berbanding lurus dengan kekuatan iman. Tidak ada yang bisa membuat seseorang memiliki ketangguhan sej ati kecuali keimanan. Ciri orang yang kuat imannya adalah bersyukur saat diberi nikmat dan bersabar ketika diberi ujian. Keduanya lahir dari kekuatan iman yang didukung ilmu serta latihan tiada henti, plus dukungan lingkungan, terkhusus ayah dan ibu. Kita kerap melihat seorang ibu menangis saat anaknya terluka. Atau, seorang ibu menangis saat melihat anak gadisnya menangis karena putus cinta. Sikap seperti itu akan menjadikan anak kehilangan sosok tegar yang dia butuhkan. Ini tentu saja berbeda dengan ibu yang tegar menghadapi kecelakaan anaknya sambil tetap diobati. Atau, ibu yang mampu berampati dengan perasaan anak tanpa ikut larut dalam kesedihan, yaitu dengan tetap membantu mencari solusi terbaik bagi masalah yang
Perum Sarimukti, Jl. H. Mukti No. 19A Cibaligo Cihanjuang Parongpong Bandung Barat 40559 | Telefax: +62286615556 Mobile: 081223679144 | PIN: 2B4E2B86 email:
[email protected] Web: www.tasdiqulquran.or.id
2
mereka hadapi. Sesungguhnya, empati berlebihan akan membawa kerugian bagi orangtua dan anak. Minimal, mereka kehilangan momen untuk berlatih menjadi pribadi tangguh. Idealnya, sebuah keluarga sudah harus dipersiapkan sejak awal. Setiap orang yang ada di dalamnya sudah harus disadarkan bahwa hidup adalah perpindahan dari satu masalah ke masalah lain. Hidup adalah rangkaian ujian. Anak harus disiapkan untuk menghadapi kenyataan adanya orang yang suka dan tidak suka. Mereka harus siap dipuji dan dicaci; siap dengan kemudahan dan kesempitan; siap dengan suasana nyaman dan tidak nyaman. *** Lalu, bagaimana cara membangun kekuatan mental anak sehingga dia tahan banting menghadapi deraan kesulitan dan aneka ketidaknyamanan? Setidaknya ada tiga poin penting yang dapat kita lakukan untuk menyiapkan anak menjadi pribadi yang tangguh. Pertama, mulai dari diri sendiri. Orangtua tidak bisa menuntut anak menjadi tangguh, sebelum dia menuntut diri menjadi pribadi tangguh. Maka, ketika menghadapai masalah, bertekadlah, ”Saya harus menjadi ibu yang tangguh menghadapi masalah apapun, sehingga bisa menjadi teladan bagi anak!” Demikian pula dengan ayah, jangan menjadi ayah yang cengeng, mudah mengeluh, gemar menyalahkan, atau mudah marah saat sedang ada masalah. Kedua, ketika anak-anak menghadapi masalah dan ujian, jadikan itu sebagai sarana melatih diri. Hal minimal adalah memberi nasihat dan memberi bimbingan secara langsung kepada anak. Jangan panik ketika menghadapi masalah. Tunjukkan ketegaran di depan anak. Kepanikan tidak akan menyelesaikan masalah, justru hanya akan menambah masalah. Ketiga, iringi pendidikan anak dengan doa. Mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala agar anak kita menjadi anak yang kuat iman dan tangguh mentalnya. Ada sebuah ayat Al-Quran yang layak kita renungkan, kita gali kedalaman maknanya, untuk kemudian kita jadikan panduan. “Dan hendaklah takut kepada Allah orangorang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(QS An-Nisâ’, 4:9) ***
Penanggung Jawab: H. Dudung Abdulghani. Dewan Redaksi: Teh Ninih Muthmainnah, H. Dudung Abdulghani, Dr. Tauhid Nur Azhar, Yudi Firdaus. Pemimpin Redaksi: Emsoe Abdurrahman. Redaktur/ Reporter: Inayati Ashriyah, Abie Tsuraya. Layouter/Desainer: Mang Ule. Publikasi/Dokumentasi: Fajar Fakih, Yana Saputra. Sekretaris: Nita Yuliawati. Keuangan: Restu Ganggaswati. Marketing/Sirkulasi: Dadi Suryadi. email:
[email protected].
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 01 | September 2016
SHIRAH NABI
Belajar Tangguh dari Keluarga Nabi “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut (mengingat) Allah.” (QS Al-Ahzab, 33:21)
S
uatu hari, Ali bin Abi Thalib ra. berkata kepada istrinya Fatimah ra. “Demi Allah, aku selalu mengambil air dari sumur hingga dadaku sakit. Ayahmu telah datang membawa seorang budak, pergilah dan mintalah budak itu sebagai pelayan kita.” Fatimah berkata, “Demi Allah, aku juga selalu menumbuk gandum hingga tanganku bengkak.” Keduanya pun datang menghadap Rasulullah saw. meminta agar Rasulullah memberikan mereka budak sebagai pelayan. Akan tetapi, Rasulullah menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan memberi budak tersebut. Aku ingin memenuhi kebutuhan perut ahli shuffah (sahabat Rasulullah sejumlah kurang lebih 70 orang yang tinggal di bagian belakang Masjid Nabawi karena tidak memiliki punya harta dan tempat tinggal), tetapi aku tidak punya apa-apa untuk mereka. Jadi, aku akan menjual budak itu pada kalian agar uangnya bisa kuberikan pada ahli shuffah.” Ali dan Fatimahpun pulang. Mereka kembali ke rumahnya dengan tangan hampa. Sesampainya di rumah, mereka menuju pembaringan lalu merebahkan diri di pembaringan, berselimutkan kain kasar. Rasulullah saw. kemudian mendatangi mereka berdua di rumahnya. Mereka berdua kalang kabut ketika didatangi Rasulullah. Beliau bersabda, “Tetaplah di tempat kalian. Maukah kalian kuberitahu tentang apa yang lebih baik dari permintaan kalian tadi?” Keduanya menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Jika kalian hendak merebahkan diri di pembaringan kalian, bertasbihlah 33 kali, bertahmidlah 33 kali, dan bertakbirlah 34 kali. Ini semua lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pelayan.” Kisah ini shahih, terdapat dalam beberapa riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, di antaranya HR Al-Bukhari No. 5843 dan No. 4942, juga HR Muslim No. 4906. Di dalam riwayat Muslim, ada tambahan bahwa Ali ra. berkata, “Saya tidak pernah meninggalkan bacaan tersebut semenjak saya mendengarnya dari Rasulullah.” ***
Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw. adalah sosok suami sekaligus ayah ideal dalam keluarga. Anas bin Malik mengatakan, “Aku tidak melihat ada seorang ayah yang lebih penyayang kepada keluarganya dari Rasulullah saw.” (HR Muslim) Sebagai seorang ayah, beliau mampu memainkan setidaknya dua peranan penting, yaitu menjadi pembimbing dan sahabat terbaik. Sebagai pembimbing, Rasulullah saw. mampu mendidik dan mengarahkan anak-anaknya menjadi sosok tangguh, cerdas, lagi berakhlak mulia. Beliau mampu mengeluarkan semua potensi terbaik yang dimiliki oleh keluarganya. Hal yang sangat kentara adalah beliau tidak menyuruh orang lain sebelum beliau sendiri melakukannya. Setiap gerak-geriknya benarbenar pas untuk ditiru buah hatinya. Perannya sebagai figur ayah ideal mampu dijalankan dengan sangat sempurna. Dalam kisah ini, Rasulullah saw. mengajarkan Fatimah untuk hidup zuhud, sederhana, tidak mengeluh, apalagi sampai berputus asa. Beliau justru mengarahkan sang putri untuk membasahkan lisannya dengan zikrullah. Tentu saja, sebelum mengajarkannya pada Fatimah, beliau mengamalkannya terlebih dulu. Ketika menginginkan anak bersikap A, beliau telah menjadikan sikap A tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya. Maka, Allah Ta’ala pun langsung menurunkan pujian kepada beliau, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut (mengingat) Allah.” (QS Al-Ahzab, 33:21) Kedua, sebagai sahabat. Keteladanan yang bersumber dari akhlak mulia melahirkan “rasa aman” Fatimah. Apa hasilnya?Rasa aman inilah yang mendorong Fatimah“curhat” kepada ayahandanya tercinta. Sesungguhnya, orangtua yang baik tidak hanya menuntut anaknya mendengarkan apa yang dikatakannya, tetapi juga mampu mendengarkan apa yang dikatakan anaknya dengan empatif. Yang terlibat bukan hanya telinga, tetapi juga hati, pikiran dan mata. Inilah salah satu kunci penting dalam menjalin komunikasi efektif. Dengan mendengarkan seseorang akan lebih memahami. Adapun dengan memahami,dia akan mampu merespons lawan bicara dengan baik. Itulah yang dilakukan Rasulullah saw. (Abie Tsuraya/TasQ)***
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 01 | September 2016
3
FIKIH IBADAH
Makna Bersuci (Thaharah)
I
bertobat dan menyucikan dirinya.” (QS Al-Baqarah, 2:222). Rasulullah saw. pun bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” (HR Muslim)
Pada kenyataannya, Islam mengatur semua hal ini dengan sangat detail. Maka, dalam konteks kebersihan fisik, kita pun mengenal ada yang namanya konsep thaharah atau bersuci dengan beragam aplikasinya. Hal ini dilakukan untuk memastikan terwujudnya kebersihan diri, lingkungan, dan tata pergaulan sosial, serta harmoni dengan Zat Yang Mahasuci.
Untuk memahami apa dan bagaimana konsep bersuci dalam Islam, pada edisi-edisi berikutnya akan dibahas sejumlah hal yang berkaitan erat dengannya, yaitu: (1) alat-alat atau sarana bersuci, (2) konsep najis, dan (3) tatacara bersuci dari najis. Insya Allah, pembahasan selanjutnya akan bersambung kepada bab shalat, zakat, shaum, haji, dan lainnya.(Abie Tsuraya/TasQ) ***
slam adalah agama yang indah, penuh rahmat, kasih sayang, dan sangat menjunjung tinggi fitrah kesucian manusia. Maka, tidak heran apabila Islam sangat perhatian terhadap nilai-nilai kebersihan, baik kebersihan lahir maupun batin.
Apa Itu Bersuci? Kata thaharah (bersuci) berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa bermakna “kebersihan” atau “bersuci”. Adapun menurut syariat Islam, thaharah ialah suatu kegiatan bersuci dari hadas maupun najis sehingga seorang diperbolehkan untuk mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci, misalnya shalat. Kegiatan bersuci dari najis meliputi bersuci pakaian dan tempat. Adapun pada pelaksanaannya, bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan cara berwudhu, tayammum, dan mandi (ghusl). Dasar hukum dari kewajiban bersuci itu sendiri berasal dari Al-Quran dan hadis Rasulullah saw. Di dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman, “... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
4
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 01 | September 2016
Cakrawala Hati
I Love You, Mom! (Inayati Ashriyah) Cintailah anak-anak dan kasihilah mereka. Jika menjanjikan sesuatu kepada mereka, tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanyalah kamu yang memberi mereka rezeki. (Al-Hadits)
A
nak-anak adalah napas bagi kehidupan kita. Mereka bagaikan udara yang dibutuhkan seumur hidup kita. Seandainya mereka pergi meninggalkan kita, pasokan udara ke dalam tubuh ini menjadi terhenti. Sungguh sangat menyakitkan. Beruntungnya, mereka masih meninggalkan satu hal yang akan terus ada dalam hati dan ingatan kita. Mereka tetap menitipkan rasa cinta dan sayang mereka dalam hati kita. Dengan begitu, kita akan terus hidup selama cinta itu ada Betapa bahagianya seorang ibu saat buah hatinya mendekat dan membisikkan kalimat ajaib di telinganya. “I love you, Mom!” Atau dalam versi Indonesianya seperti ini, “Ibu, aku sayang Ibu!” Atau mungkin anak Anda punya kalimat ajaib sendiri yang dapat membuat Anda bahagia serasa berada di atas awan. Wahai wanita, engkau sungguh beruntung. Anakanak sangat mencintaimu dan mengekspresikannya dengan caranya sendiri. Kala mendengar kata-kata itu, rasa lelahmu enyah begitu saja. Engkau tidak akan merasakan penyesalan karena telah melahirkan mereka. Rasa syukur pun terus terucap tanpa henti. Seandainya ekspresi cinta yang demikian tidak pernah engkau dapatkan, bukan berarti tidak ada cinta antara engkau sebagai ibu dan anak-anakmu. Engkau dan anak-anak memiliki gaya tersendiri untuk mengekspresikannya. Pelukan, catatan-catatan kecil, atau senyuman dapat mewakilinya. Engkau boleh berharap akan menemukan catatan singkat yang ditulis ananda di atas kertas dan ditempelkan di pintu kulkas. “Ibu, terima kasih, sarapan pagi ini sungguh enak.” Saya yakin, engkau akan mengawali hari ini dengan senyuman. Anak-anak yang kita cintai berbuat demikian karena kita. Mereka menyayangi kita karena kita
menumpahkan segenap kasih sayang kepada mereka. Bahkan, kita sering lupa pada diri kita sendiri karena anak adalah prioritas utama. Coba saja buktikan, siapa yang engkau pikirkan saat berjalan-jalan di mal melihat baju, sepatu, buku, makanan, dan lain sebagainya. Mungkin saja engkau akan berkata, “Ini untuk anak saya,” Bukankah begitu, Bu? Semua itu engkau lakukan karena rasa sayang yang ada dalam hatimu. Engkau akan mempersembahkan yang terbaik yang bisa dilakukan untuk buah hati dalam beragam bentuk. Sisanya, biarkanlah anakanak menafsirkan sendiri rasa sayang yang mereka dapatkan darimu. Seandainya rasa sayang itu hilang, niscaya engkau tidak akan sabar mengurus dan mendidik anak-anak. Berharaplah terus agar rasa sayang itu tetap ada. Saya sungguh tak mampu membayangkan apa jadinya jika Allah mencabutnya dari hati manusia. Jangankan dicabut, sedikit saja jauh dari sifat kasih sayang, kita akan dijauhkan dari kebaikan. Ya Allah, tanpa kasih sayang-Mu, sungguh manusia akan selalu berputus asa selama hidupnya. Oleh karena itu, golongkan kami menjadi orang yang Engkau pilih untuk mendapatkan cinta-Mu. ***
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 01 | September 2016
5
Advetorial
6
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 01 | September 2016