MEKANISME SURVIVAL IBU RUMAH TANGGA DARI KELUARGA MISKIN PINGGIRAN KOTA DALAM MENGHADAPI KENAIKAN BBM 2005 (Studi tentang Perubahan Pekerjaan Ibu RT menjadi Buruh Cuci dan Pengasuh Anak ―Tetangga‖ di Sidoarjo dan sekitarnya) Sri Mastuti P.* Anik Andajani* M. Legowo* Abstract When Indonesian government raised fuel price in 2005, it was considered an unpopular policy. The policy was taken with an intention to reduce fuel subsidy, following the price raise of fuel in the world market. As a consequence, the life sustainability of poor households was disturbed, particularly those living in the suburban areas. However, it turned out that those poor families were able to carry out a survival mechanism. By using a case-study approach, this study was done to reveal the survival mechanism of poor households, the decision-making process they took to apply an adaptive strategy, and to build a social network among poor households. The subjects were the wives in the poor households living in districts in Surabaya’s suburban areas. It was revealed that housemaids and baby sitters, who are the comodification of the domestic sector became an instrument of survival mechanism. The decision-making process was done within the family, and was the wife’s initiative. Through a social network which involves housewives and other family members, the housewives gained information about needy families and the easy access to help. Key words: housewife’s initiative, social network, decision-making process A.
Pendahuluan Suatu kebijakan yang sebenarnya tidak populis, ketika pemerintah baru hasil pemilu 2004 menaikkan harga BBM pada tahun 2005. Alih-alih untuk mengurangi subsidi BBM yang semakin meningkat akibat kenaikan harga BBM di pasar internasional, kebijakan tersebut diambil. Bila tidak dilakukan, maka subsidi semakin meningkat, beban APBN semakin berat. Di pihak lain, subsidi BBM dianggap tidak mencapai sasaran yang tepat, tingkat konsumsi terhadap BBM lebih tinggi dan dinikmati oleh kelompok kelas
menengah atas yang menggunakan mobil sebagai sarana transportasinya (Said, 2001). Sementara itu, Pemerintah pada waktu itu tetap berkeyakinan bahwa kenaikan itu tidak memberikan pengaruh yang besar pada kenaikan barang, terutama kebutuhan pokok. Pada kenyataannya, dari hasil penelitian FX Sri Sadewo, dkk (2005: 46) menunjukkan bahwa kenaikan BBM diiringi oleh harga-harga kebutuhan pokok, termasuk di antaranya adalah beras Bila besaran kenaikan harga kebutuhan pokok diakumulasikan secara keseluruhan, maka terjadi peningkatan biaya kebutuhan dasar (layak) secara signifikan. Sementara itu, pendapatan yang diperoleh tidak mengalami peningkatan yang signifikan. UMR dan UMK pada awal tahun 2005 hanya naik kurang lebih 5% (lihat tabel 1). Lebih berat lagi, kenaikan BBM pada pertengahan tahun 2005 dengan harga meningkat menjadi 100%, bahkan untuk minyak tanah di atas 100%, tidak diiringi oleh kenaikan pendapatan. Kenaikan pendapatan PNS sebesar 15% dari gaji pokok baru bisa direalisasi pada bulan Februari 2006, sementara itu kenaikan UMR/UMK pada semua kota/propinsi tidak bisa direalisasikan pada awal tahun 2006 karena (1) penentuan UMR/UMK baru biasanya diputuskan menjelang akhir tahun 2005, dan (2) keputusan itu tidak bisa langsung disetujui oleh pihak buruh karena biasanya tidak sesuai dengan KHL
1
(Kebutuhan Hidup Layak) yang meningkat akibat kenaikan harga BBM, dan (3) ketika telah diputuskan, pihak manajemen perusahaan sering menunda karena ketidakmampuannya. Pada kasus terakhir, pemerintah, pihak Disnaker, biasanya ―terpaksa‖ menerima daripada terjadi PHK terhadap buruh. Bila mencermati pengambilan keputusan kenaikan BBM, terlepas dari kesengajaan pemerintah mengumumkan sehari menjelang bulan Ramadhan. Pada masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, bulan tersebut adalah bulan puasa, sehingga mengurangi reaksi yang berlebihan terhadap kebijakan tersebut. Perhatian publik juga tanpa sengaja teralihkan dengan kasus Bom Bali ke II. Lebih dari itu, pemerintah memperluas kerangka jaminan pengaman sosial dengan cara (1) bantuan langsung tunai bagi keluarga miskin, dan (2) pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) untuk tingkat pendidikan dasar. Pemberian BOS mulai tahun ajaran 2005/2006 telah menurunkan, bahkan membebaskan orang tua dari biaya SPP sekolah. Sementara itu, menghadapi kenaikan harga BBM yang berimbas pada kenaikan harga-harga kebutuhan dasar, keluarga miskin (dan baru miskin) sebenarnya tidak bertindak pasif. Bila mengikuti pemikiran James C. Scott (1985), kenaikan harga itu sama seperti menenggelamkan keluarga miskin, tindakan yang pertama dilakukan adalah safety first (dahulukan selamat). Pada sejumlah kasus, seperti yang digambarkan oleh Oscar Lewis (1988) di Meksiko, dan penelitian PLPIIS di Jakarta (Sumardi dan Evers, 1988), keluarga miskin (dan baru miskin) akan mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki. Pola-pola yang demikian ini digambarkan dalam konsep mechanism of survival dari keluarga miskin. Secara teoritik, dengan kondisi lingkungan yang berbeda, demikian dengan kondisi sosio-kulturalnya, pola mechanism of survival ini berbeda antara di wilayah perkotaan, pinggiran dan desa. Pada wilayah perkotaan, terutama pada wilayah kampung, keluargakeluarga miskin lebih tergantung pada kebijakan jaring pengaman sosial pemerintah, dan pekerjaan sektor informal, seperti menjadi pedagang kaki lima, dan lebih tragis lagi tidak jarang ditemui melakukan tindakan yang ―dinilai kriminal.‖ Hal ini terjadi karena ikatan kekerabatan mereka melonggar dan solidaritas (dalam hal-hal tertentu) tinggi hanya terjadi se-lingkungan tempat tinggal, namun pada hal-hal pemenuhan kebutuhan keluarga menjadi sangat individualistik. Di wilayah pedesaan, karena berbasis pada pertanian, selain mengembangkan ekonomi subsistennya, keluarga miskin ini juga tetap mengembangkan hubungan patron-klien dan kekerabatan sebagai social capital (Grootaert,et.al, 2004) dan social security (Benda-Beckmann, dan Marks, 2000). Persoalannya, kini bagaimana pada wilayah pinggiran kota (suburban) yang secara sosiologis memiliki karakteristik gabungan antara pedesaan dan perkotaan. Dari sisi mata pencaharian, masyarakat pinggiran kota telah bergeser dari pertanian ke industri. Hal ini terjadi karena perkembangan industri telah bergeser ke arah pinggiran, sedangkan wilayah pusat kota telah diisi oleh pusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran. Di wilayah Pesisir Utara Jawa, termasuk di antaranya Surabaya dan sekitarnya, hal itu ditandai dengan konversi lahan pertanian ke industri, pemukiman, dan tambak (lihat Kompas, 14 Februari 2006, ―Pantura, Ribuan Hektar Sawah Dikonversi‖). Sementara itu, meskipun telah bergeser, hubungan sosial masyarakat pinggiran masih bercirikan pedesaan (rural/peasant community) (Redfield, 1960) atau paguyuban, terutama di antara penduduk asli yang seringkali masih memiliki pertalian darah. Pergeseran hubungan sosial masyarakat pinggiran ini sebenarnya terjadi tidak semata-mata karena perubahan mata pencaharian. Namun, pergeseran ini seiring dengan kehadiran pendatang baru, baik yang berasal dari wilayah pusat kota yang tersingkir ke pinggiran, maupun dari wilayah di luar kota yang hanya mampu menempati (dan membeli) rumah di perumahan baru. Mulai dekade 1990-an, ada kecenderungan perumahan baru didirikan di wilayah pinggiran karena harga tanah yang masih murah. Meskipun dengan model pembangunan pemukiman yang eksklusif, tidak tertutup kemungkinan tetap terjadi hubungan antara penduduk asli (―wong kampung‖) dan
2
pendatang (―wong perumahan‖). Dari data awal, telah menunjukkan bawha di dalam kondisi krisis ekonomi akibat kenaikan harga BBM, ibu-ibu rumah tangga keluarga miskin pinggiran kemudian menawarkan tenaganya menjadi tukang resik-resik omah (buruh cuci dan membersihkan rumah dengan paruh waktu) dan pengasuh anak. Mekanisme ini merupakan salah satu cara untuk memperoleh pendapatan tambahan dalam kerangka mencukupi kebutuhan keluarga, oleh karena itu menjadi pertanyaan dalam penelitian ini, (1) bagaimana cara atau strategi bertahan hidup (mechanism of survival) keluarga miskin pinggiran kota, terutama setelah terjadi kenaikan harga BBM 2005; (2) bagaimana proses pengambilan keputusan hingga menjadi buruh cuci dan pengasuh? Apakah hal ini merupakan strategi ibu rumah tangga untuk memperoleh pendapatan tambahan; dan (3) bagaimana mengembangkan jaringan ekonomi dan kepercayaan hingga memperoleh keluarga yang bersedia menerimanya untuk bekerja dengan paruh waktu, terutama di lingkungan perumahan. B.
Kajian Pustaka Sekecil apapun perubahan kondisi ekonomi makro, baik disebabkan oleh kebijakan pemerintah maupun mekanisme pasar, sangat berpengaruh terhadap kelompok miskin. Pada kasus keluarga petani, James C Scott (1985) menggambarkan dengan baik bahwa orang-orang miskin sama seperti orang yang berada di air yang telah mencapai sebatas hidung. Perubahan diibaratkan gelombang air, dan seberapa besar apapun gelombang itu akan menenggelamkan orang-orang miskin. Dengan prinsip dahulukan selamat (safety first), keluarga miskin menyiasati dengan mengembangkan pola ekonomi yang subsisten. Produk yang dihasilkan semata-mata dikonsumsi oleh keluarga terlebih dahulu. Kelebihannya dijual untuk tabungan pada situasi krisis, demikian pula ketika membeli barang-barang pun dilakukan dalam rangka tabungan (perhatikan juga Sajogyo, 1985: 188), sedangkan menurut Jeni Klugman (2002b: 62-63), kaum miskin akan beradaptasi bergantung pada konteksnya, ada perbedaan antara di wilayah pedesaan dan perkotaan (lihat tabel 2). Selain itu, ada kecenderungan yang kuat dari keluarga miskin untuk mengembangkan diversifikasi pekerjaan. Diversifikasi pekerjaan ini lebih diarahkan tidak untuk memperkuat modal, namun kenyataannya lebih dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidup, seperti yang disaksikan oleh Wiradi (1985: 48) pada pedesaan Jawa. Dalam seluruh persoalan kehidupan keluarga tersebut, mulai dari pendapatan hingga persoalan domestik, seperti pengasuhan anak, Pudjiwati Sajogyo (1985: 122-130; 221260) menunjukkan bahwa wanita sebagai istri tidak tinggal diam, tidak saja memberikan saran, namun juga dengan sukarela bekerja untuk menambah pendapatan, seperti yang terjadi di pedesaan Jawa Barat. Mereka bekerja tanpa harus meninggalkan kewajiban domestiknya. Di Sulawesi Selatan Di dalam kondisi yang kurang menguntungkan, dengan alih-alih membantu suami untuk memperoleh tambahan pendapatan, tidak saja di perkotaan, tetapi terjadi di pedesaan, wanita (istri) bekerja di sektor non-farm, yaitu pada pengeringan ikan (Suratiyah, Haerani dan Nurleni, 1994). Pekerjaan tersebut sering masih bisa dilakukan di rumah sambil mengasuh anaknya, atau berada di sekitar lingkungan rumah, sehingga masih bisa membawa anaknya dan mengasuhnya. Artinya, meskipun curahan waktu kerja yang kurang lebih sama dengan suaminya, mereka masih bisa mengasuh anaknya. Atau, pola lain, seperti pada bakul, meski curahan waktu kerjanya lama, yaitu mulai dari jam 03.00 atau 04.00 dan kembali pada jam 15.00 atau jam 16.00, wanita di pedesaan Jawa hanya menggunakan dua hari dalam seminggu saja, selebihnya tinggal dan bekerja di rumah atau lingkungan sekitarnya (Abdullah, 1991: 16-19). Peran yang demikian ini dikenal dengan peran ganda wanita, yaitu bekerja di sektor domestik dan publik demi meningkatkan kesejahteraan keluarga. Tidak saja di Indonesia, penelitian Karin Schwitter (2005) di Swiss menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan tahun 1970, maka telah terjadi perubahan struktur pekerjaan, istri telah mengambil peran dalam menambah pendapatan keluarga dengan
3
bekerja paruh waktu yang dikenal dengan model breadwinner-housewife. Demikian pula penelitian Saniye Dedeoglu (2004) di Turki, ketika proses industrialisasi menyebar hingga ke wilayah-wilayah pinggiran kota, ibu rumah tangga rela meninggalkan sementara waktu pekerjaan rumah dan bekerja di industri kecil rumah tangga (informal sector) sebagai penjahit. Keputusan mereka bekerja untuk menambah pendapatan pada keluarga miskin atau mengurangi pengeluaran untuk membayar tenaga kerja atas keputusan di luar dirinya, seperti pengaruh kerabat dan ibu mertua. Hal itu tidak terlepas dari budaya patriakhi. Kejadian di Turki ini bisa dipahami dalam kerangka industrialisasi. Mengutip dari Gailey (1987), Bagong Suyanto dan Sudarso (1996: 164-165) melihat bahwa proses indutrialisasi sangat kapitalistik dan gender hierarchies, maka pada saat yang bersamaan sesungguhnya juga terjadi proses eksploitasi, subordinasi, dan marginalisasi posisi kaum perempuan. Di dalam sistem yang kapitalistik, secara rinci kaum perempuan umumnya akan berada di dalam posisi sebagai obyek sistem eksploitasi tiga lapis. Pertama, pada tingkat global sebagai mayoritas warga masyarakat negara pinggiran (periphery), kaum perempuan akan menjadi korban kesenjangan dan ketidakadilan sistem internasional. Kedua, pada tingkat produksi, sebagai bagian terbesar lapisan bawah dari sistem stratifikasi kerja industrial, kaum perempuan menjadi korban pertama dari kesenjangan hubungan-hubungan industri kapitalis. Ketiga, pada tingkat societal, kaum perempuan juga harus mengalami perlakuan yang tidak adil dari struktur dan ideologi gender yang telah berabad lamanya. Disadari atau tidak sebagai bagian dari proses industrialisasi yang eksploitatif, ketika ibu rumah tangga mengambil keputusan untuk bekerja, maka pekerjaan domestik yang menjadi tanggung jawabnya dengan diambil alih oleh kaum perempuan lainnya, seperti pada kasus pengasuhan anak yang dilakukan oleh ibu mertua, kakak dan ibu-ibu tetangga di kampung Jakarta (Habsjah 1995: 463-481). Kasus di Jakarta ini sama seperti di Inggris, tetapi berbeda dengan di Perancis, sebagaimana diteliti oleh Jan Windebank (1999: 1113). Di Inggris, bila pada usia pra-sekolah, anak diserahkan kepada kakek-neneknya (grandparents), sedangkan di Perancis pada pengasuh atau pada penitipan anak (lihat juga Wheelock, Oughton, dan Baines, 2003: 29-30). Tabel 1. Karakteristik dan Tantangan bagi Kaum Miskin di Desa dan Kota Wilayah Pedesaan Karakteristik Masyarakat Aktivitas Ekonomi Berpusat pada produksi, pada tanah dan sumber-sumber alam Demografi
Populasi tinggal dalam kelompok kecil Akses Fisik Kualitas transportasi, infrastruktur dan pelayanan yang rendah, biaya waktu dan perjalanan tinggi. Resiko Lingkungan Sangat berpengaruh pada proses produksi dan kerusakan alam Tantangan bagi Kaum Miskin Kesempatan Hidup Mengurangi resiko pendapatan, Layak menganekaragamkan sumber pendapatan, mencari pendapatan non-farm, melakukan migrasi periodik, bergantung pada self-provisioning
Wilayah Perkotaan Lokasi aktivitas ekonomi terkonsentrasi pada industri, perdagangan dan sektor jasa. Populasi terkonsentrasi dan tumbuh dengan cepat Transportasi infrastruktur baik, tetapi pelayanan bervariasi.
Saling bergantung antara produksi dan kepadatan penduduk. Pasar kerja sering bersifat dualistik; pendapatan terutama dari upah kerja semi permanen, sektor informal, pedagang kecil; tergantung pada uang cash.
4
Keamanan Makanan
Infrastruktur fisik dan sosial Perumahan dan tanah
Institusi/Pemerintah
Pengaruh Lingkungan
Perubahan kondisi iklim bisa kekurangan pangan dan kelaparan Fasilitas sering remote dan tidak berhubungan, kualitas jasa dan O&M sering buruk. Struktur pemilikan tanah dan rumah sering tidak aman
Tidak terlalu dipengaruhi oleh struktur kekuasan formal, struktur tradisional lebih mengambil peranan. Kondisi iklim sangat berpengaruh pada kelayakan hidup
Perolehan makanan tergantung pada pemilikan uang cash Jasa yang berkualitas dan formal mahal dan terlarang, regulasi membuat alternatif rendah biaya Pemilihan terbatas dan resiko lingkungan tinggi, bisa mengarah pada tempat yang tidak sah dan tidak aman Memiliki keterbatasan akses pada kekuasan politik, dan mengarah pada korupsi, jaringan komunitas dan sosial lebih penting Kepadatan dan manajemen orang miskin kota yang buruk mempengaruhi kerusakan lingkungan dan resikonya.
Kehadiran pengasuh dan pembantu rumah tangga di lingkungan keluarga merupakan suatu konsekuensi dari waktu yang tersita untuk pekerjaan isteri. Menjadi menarik, penelitian Aan Oakley (1974), sebagaimana dikutip oleh Sara Delamont (1985: 103-104) menunjukkan bahwa pada kelas menengah di Amerika Serikat isteri memandang rendah pekerjaan rumah tangga (homework), tetapi menyukai berposisi ibu rumah daripada harus bekerja. Tidak demikian pada keluarga kelas bawah, mereka memilih bekerja. Hal itu berbeda dengan kelas menengah ke bawah, ketika kedua orang tua bekerja, maka mereka melakukan rekonstruksi terhadap peran di dalam rumah tangga, berbagai pekerjaan rumah tangga sebagai konsekuensi dari keterlibatan ibu dalam mencari nafkah, sebagaimana diteliti oleh Gudmundsson (2003).. Masuknya pembantu rumah tangga, tukang cuci pakaian, hingga ke pengasuh anak dinilai oleh Ester Boserup (1984: 92-93) sebagai bentuk adaptasi untuk memperoleh pekerjaan dengan cara ―mengkomersialisasikan‖ jasa-jasa pekerjaan rumah tangga. C.
Metode Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kab. Sidoarjo dan sekitarnya. Pemilihan kabupaten didasari atas struktur masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran dari struktur mata pencaharian dari pertanian menjadi industri. Perubahan ini tidak lain disebabkan kabupaten tersebut sebagai daerah hinterland (pinggiran) dari kota Surabaya. Pergeseran ini sebenarnya telah terjadi pada awal abad ke-20 dengan perubahan struktur pertanian padi menjadi struktur perkebunan, antara lain: penanaman tebu, sehingga berdiri sejumlah pabrik gula untuk mengolahnya. Oleh karenanya, kabupaten dan kota lain di Jawa Timur, kabupaten ini memiliki jumlah pabrik gula terbesar. Pabrik-pabrik tersebut tersebar di sejumlah kecamatannya. Dari industri gula, kemudian tumbuh industri lain, mulai dari industri rumah tangga hingga industri logam (seperti: industri baja PT. Ispat Indo, di kec. Taman, Sepanjang). Dari alasan kondisi obyektif masyarakat Sidoarjo sebagai pemilihan lokasi, selanjutnya subyek penelitian adalah keluarga miskin dengan status ibu bekerja sebagai tukang cuci/pengurus rumah (helper/housemaid, lihat Arnando, 2002) dan pengasuh anak ―tetangga.‖. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai teknik. Pertama, untuk mengetahui keluarga miskin dapat diketahui dari data Petugas PLKB (BKKBN) tentang keluarga prasejahtera. Namun demikian, data ini harus ditunjang juga dari pengamatan tentang keluarga-keluarga miskin yang tidak selalu dikategorikan keluarga miskin. Keluarga itu sebagai keluarga miskin baru, sebelum pendataan keluarga BKKBN, atau keluarga miskin karena alasan kependudukan tidak terdaftar sebagai keluarga miskin. Teknik
5
pengumpulan data berikut pengamatan dan wawancara mendalam. Kedua teknik dilakukan pada sejumlah keluarga miskin yang istrinya bekerja dalam sektor jasa rumah tangga paruh waktu. Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif etnografis. Dari wawancara mendalam, peneliti membuat life history dari masing-masing keluarga miskin dengan status ibu bekerja sebagai tukang cuci atau pengurus rumah (housemaid) dan/atau pengasuh anak ―tetangga.‖ Di dalam life history, diperoleh sejumlah keyword tentang pola-pola migrasi, mata pencaharian, pengambilan keputusan dan keluarga dan pola pengasuhan anaknya, hingga proses pengambilan keputusan untuk bekerja dan jaringan ekonominya. Dari life history keluarga-keluarga miskin tersebut, pengolahan data dan analisis dilakukan. Teknik analisis diawali dari analisis domain, yaitu pengelompokan dari proses unityzing berdasarkan keyword yang ditemukan dari life history. Langkah berikutnya adalah analisis kategorial yang menjabarkan ciri-ciri masing-masing domain dan taksonomi yang menjelaskan hubungan antar domain, sehingga pada akhirnya dapat memaparkan (perhatikan Spardley, 1979). D. 1.
Pembahasan Keluarga Miskin di pinggiran Kota Sidoarjo Di pinggiran lingkaran kota terdapat orang yang tidak bisa menikmati fasilitas yang ditawarkan kota. Pendidikan tinggi adalah ―barang mewah‖ yang menjadi impian dan harus ber-jibaku untuk masuk dan menyentuh tembok-tembok kampus. Bagi mereka, hidup ―sehat‖ dan dapat mencari makan adalah anugerah. Mereka adalah kelompok masyarakat rentan kota, atau dalam istilah Sosiologi (Kemiskinan) lebih dikenal sebagai masyarakat marjinal (marginal community) ini adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses yang memadai dalam kehidupan perkotaan. Tabel 3. Jumlah Keluarga Miskin Menurut Kecamatan Di Kabupaten Sidoarjo tahun 2005
6
Bila di Surabaya, ada dua kelompok, yaitu: penduduk asli atau dikenal dengan orang kampung yang tidak memiliki akses karena kondisi obyektifnya, seperti: tingkat pendidikan dan modal. Kelompok kedua adalah kaum urban yang memiliki akses terbatas di Surabaya, kemudian sering ditemui memilih tinggal bersama di lingkungan kampung tersebut karena dengan alasan mendekati tempat kerja. Hal itu nampaknya juga terjadi di wilayah pinggiran kota Surabaya, seperti di Sidoarjo dan sekitarnya. Pada kecamatankecamatan yang berbatasan langsung dengan kota Surabaya telah mengalami proses industrialisasi yang merembet dengan cepat hingga memasuki pinggiran (kecamatan) kota Sidoarjo, mulai dari Kec. Taman, Waru, Gedangan terus hingga Buduran. Sawah-sawah diganti dengan bangunan-bangunan pabrik. Warga penduduk asli menjual sawahnya demi ―perluasan‖ wilayah industri. Mereka beralih ke sektor industri, baik sebagai buruh pabrik atau membuka industri kecil, seperti sepatu di Brebek (Waru), topi dan pakaian di Sruni (Gedangan), dan bakpia di Geluran (Taman, Sepanjang). Peralihan fungsi lahan ke sektor industri ini berakibat pada pengurangan daya tampung tenaga kerja. Akibatnya, jumlah penggangguran semakin besar. Kalau mencermati tabel 5.1. terlihat nampak jelas bahwa penggangguran dan kemiskinan dihasilkan oleh daerah-daerah yang telah bergerser ke industri, seperti kecamatan Sidoarjo, Krian, Candi dan Porong. Pendirian pabrik ini tidak selalu diiringi dengan penyerapan tenaga kerja. Seringkali dengan alasan tidak sesuai dengan kualifikasi, pabrik tidak menerima atau memperkerjakan penduduk setempat. Salah satu kasus respon masyarakat terhadap kondisi ini terlihat pada peristiwa pemblokiran jalan oleh penduduk Desa Sidomulyo, Kec. Buduran tanggal 25 Oktober 2007 (Surya, 26 Oktober 2007, ―Blokir Jalan Tuntut Pekerjaan‖). 2. Analisis tentang Peranan Istri/Ibu Rumah Tangga dalam Ekonomi Keluarga Pemilihan tempat tinggal di daerah suburb seperti pinggiran kota Surabaya atau perumahan di sekitar kota Sidoarjo oleh para keluarga kelas menengah membuka kesempatan pada para keluarga miskin sebagai lahan untuk diversivikasi pekerjaan, disamping pekerjaan sebagai buruh pabrik. Sebagian dari isteri kelompok menengah ini adalah pekerja di luar rumah, sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga secara penuh. Kondisi ini memberikan kesempatan pada ibu rumah tangga dari keluarga miskin untuk melakukan divesifikasi pekerjaan selain pilihan sebagai buruh pabrik. Pekerjaan yang ditawarkan di sektor domestik ini adalah pekerjaan yang sehari-hari biasa dilakukan oleh mereka di rumah sebagai seorang ibu rumah tangga. Pekerjaan itu adalah membersihkan rumah, mencuci, menyetrika, mengepel atau mengasuh anak. Pekerjaan tersebut pun tidak menuntut suatu target tertentu, pendidikan tertentu, terikat pada jam kerja tertentu maupun kondisi fisik tertentu pula, seperti bila bekerja sebagai buruh pabrik. Sehingga bagi seorang ibu rumah tangga yang terikat oleh kondisi rumah tangganya dan tidak mungkin memenuhi persyaratan yang diminta sebagai seorang pekerja industry, sector domestic adalah suatu pilihan yang terbaik. Penghasilan suami yang hanya berkisar antara Rp 100.000,00 - Rp 150.000,00 seperti yang dialami oleh Mbak Mus, yang suaminya bekerja sebagai pemulung merangkap tukang becak dan Ibu Tatik yang suaminya bekerja sebagai kuli bangunan. Ada juga yang suaminya bekerja dengan penghasilan sekitar Rp 500.000,00 atau sesuai UMR seperti suami Ibu Sumirah dan Ibu Rahayu yang bekerja sebagai satpam pada pabrik yang ada disekitar daerah tempat tinggalnya. Mbak Darmi yang suaminya bekerja sebagai buruh pabrik Ispatindo. Namun demikian ada juga yang suaminya tidak bekerja sehingga ibu rumah tangga tersebut bukan lagi sekedar pelengkap dalam menghasilkan pendapatan untuk keluarga melainkan sumber bagi keluarganya sendiri, seperti yang terjadi pada Parti. Suami Parti hanya seorang pengangguran yang membebani keluarga orang tua Parti. Hal tersebut yang mendorong Parti mengusir suaminya kembali ke kampong halamannya. Sekali waktu suaminya menjenguk sambil memberi sedikit uang.
7
Alasan bekerja bagi para ibu rumah tangga dari keluarga miskin ini beragam. Pertama, ibu rumah tangga yang bekerja karena ingin menambah penghasilan keluarga. Ibu rumah tangga yang bekerja untuk menambah penghasilan keluarga ini biasanya mempunyai suami yang bekerja namun penghasilannya tidak memadai dengan kebutuhan keluarga, sperti Mbak Mus, Ibu Sumirah, Ibu Tatik, juga Ibu Rahayu. Selain itu keluarga tersebut ada juga yang mempunyai anak yang sudah bekerja seperti Mbak Darmi dan Ibu Sumirah. Mbak Darmi mempunyai satu orang anak yang bekerja sebagai petugas cleaning service di salah satu mall di Surabaya, anak Mbak Darmi ini menerima gaji sesuai dengan UMR. Sedangkan Ibu Sumirah mempunyai dua anak yang bekerja sebagai penjaga toko dan penjaga wartel di sekitar tempat tinggalnya. Total penghasilan kedua anak Ibu Sumirah tersebut sekitar Rp 400.000,00/ bulan. Kedua, Ibu rumah tangga yang bekerja karena sebagai tulang punggung keluarga. Figur ini bekerja karena suami yang seharusnya berperan sebagai tulang punggung keluarga tidak mempunyai penghasilan atau mereka memang tidak mempunyai suami atau anak yang sudah bekerja mandiri. Seperti yang terjadi pada Parti, yang terpaksa bekerja karena suaminya seorang pengangguran. Parti harus bekerja karena harus mulai membiayai pendidikan anaknya yang mulai sekolah taman kanak-kanak. Meskipun Parti menumpang pada Ibunya yang berjualan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun Parti menilai bahwa untuk pendidikan anaknya adalah tanggung jawab Parti sebagai Ibu. Sedangkan Bibi (Bu Yati) dan Ibu Tin adalah seorang janda. Bibi harus bekerja karena dia tidak bisa mengandalkan bantuan anaknya yang juga hidup dengan kondisi pas-pasan serta masih harus menanggung biaya pendidikan bagi cucunya. Ibu Tin juga harus bekerja karena dia adalah seorang perantau yang masih menanggung biaya hidup sehari-hari dan untuk menyewa kamar kos. Untuk kebutuhan pendidikan dan jajan anaknya, Ibu Tin dibantu oleh majikannya. Bagi para Ibu rumah tangga keluarga miskin yang bekerja ini kepentingan untuk menutup keperluan sehari-hari keluarga adalah hal yang utama. Bagi mereka kebutuhan untuk belanja sehari-hari pun sudah memerlukan pengeluaran biaya yang tidak sedikit, berkisar antara Rp 10.000,00 hingga Rp 35.000,00. Bu Sumirah menanggung lebih berat lagi. ―kebutuhan sehari- hari sebesar dua puluh lima ribu rupiah, selain itu juga masih menanggung kriditan sepeda motor dan Lemari es. Mas gaji suami dan anak cukup untuk biaya kriditan sepeda dan kulkas, sedangkan untuk makan ya saya bantu dengan gaji saya,kalau saya tidak bekerja seperti ini gijmana nanti makannya ― Selain untuk keperluan belanja juga untuk membiayai pendidikan anak. Biaya pendidikan anak ini berkisar antara Rp 100.000,00 hingga Rp 200.000,00. Biaya pendidikan yang tidak terlalu besar biasanya karena anak yang bersekolah hanya satu orang. Namun bila anak yang bersekolah lebih dari satu atau anak tersebut sudah duduk di bangku pendidikan yang lebih tinggi, kebutuhan biaya untuk pendidikan itu dirasakan cukup besar juga. Seperti yang terjadi pada Ibu Tatik, dia mendapatkan bayaran bulanan sebesar Rp. 250.000,00. Dengan gaji tersebut ibu Tatik masih tidak bisa memenuhi kebutuhannya, karena anak-anaknya yang sekolah sudah masuk SMU yang tentu saja biayanya sangat mahal. Ditambah lagi dengan naiknya harga barang-barang yang gilagilaan akibat kenaikan BBM itu menambah puyengnya ibu Tatik. Dia berusaha keras mencari tambahan lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan kadang untuk keperluan pendidikan anak, keluarga miskin ini masih harus berhutang. Seperti yang dialami oleh Ibu Rahayu, untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya (daftar ulang, bayar uang gedung dll) biasanya ibu Rahayu memanfaatkan pinjaman dari koperasi yang bisa dicicil setiap bulan dengan bunga yang cukup rendah sehingga tidak memberatkannya.
8
Ketiga, bekerja pada sector domestic sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak atau buruh cuci, dikarenakan para ibu rumah tangga itu tidak mempunyai pilihan lain, misalnya bekerja sebagai buruh pabrik atau usaha sendiri seperti membuka warung. Pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak atau buruh cuci tidak menuntut pemenuhan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Persyaratan seperti tingkat pendidikan tertentu, usia, atau ikatan masa kerja (kontrak) yang ada pada pekerjaan sebagai buruh pabrik, tidak ada dalam pekerjaan di sector domestic ini. Pekerjaan ini tidak menuntut modal financial sebagai jaminan seperti bila haarus membuka usaha sendiri. Darmi sebelum bekerja sebagai buruh cuci adalah buruh kontrak pada salah satu pabrik. Setelah mengalami PHK, Darmi merasa tidak mungkin lagi bekerja di pabrik karena usianya sudah diatas 40 tahun. Kondisi yang sama dirasakan juga oleh Bibi dan Bu Tin. Dengan usia yang sudah diatas 50 tahun pilihan untuk bekerja jelas sangat terbatas, sedangkan Sumirah sebelum bekerja menjadi pembantu, dia berjualan gorengan. Ketika masa krisis karena kenaikan BBM, penghasilan yang diperoleh tidak sebanding lagi dengan modal yang harus dikeluarkan setiap harinya. Para ibu ini juga terbatas dari latar belakang pendidikan. Seperti Bibi dan Ibu Tin yang hanya berpendidikan SD. Sedangkan Darmi, Ibu Sumirah, Ibu Rahayu, Ibu Tatik, dan Mbak Mus berpendidikan SMP. Satu-satunya yang berpendidikan setingkat SMA adalah Parti. Keempat, alasan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak, atau buruh cuci karena penggunaan waktu kerja yang longgar. Tidak ada aturan jam kerja yang mengikat dan menentukan jumlah penghasilan yang akan diterima. Jam kerja yang dipolakan oleh para pembantu rumah tangga, pengasuh anak, ataupun buruh cuci adalah berdasarkan kesepakatan dengan majikan. Biasanya jam kerja itu disesuaikan dengan kapan majikan itu meninggalkan rumah untuk bekerja atau merasa repot. Hal ini biasanya berlaku pada pembantu rumah tangga yang tidak bekerja penuh waktu atau menginap,. seperti ungkapan dari Parti Ibu Rahayu dan Ibu Tin mempunyai pola yang sedikit berbeda. Ibu Rahayu bekerja dari pukul 08.00 pagi dan pulang setelah pekerjaannya selesai. Kemudian sekitar pukul 15.00 kembali lagi untuk bersih-bersih rumah dan lain-lain sampai pukul 17.00. Ibu Tin, karena kondisi usia yang sudah mulai menua, dia tidak bisa bekerja dengaan cepat. Bila disuruh untuk cepat, dia akan merasa bingung dan pekerjaan akan semakin lambat untuk selesai. Dengan tidak terikatnya waktu, ibu–ibu itu bisa mengurus anaknya atau melakukan tugas rumah tangganya sendiri. Seperti Parti yang mengurus keperluan anaknya baru dia bekerja di tempat majikannya. Sedangkan Ibu Rahayu tidak bekerja secara terus menerus selama jam tertentu. Setelah pekerjaan untuk yang pagi selesai maka dia pulang lebih dulu, sore harinya dia kembali untuk melakukan tugas di rumah majikannya kembali. Atau seperti yang terjadi pada Ibu Tatik, dengan waktu yang tidak mengikat, Ibu Tatik bisa mencari sambilan pekerjaan lain seperti membantu masak di tempat usaha tetangganya atau bekerja sebagai tukang pijat keliling. Pada ibu-ibu yang lain waktu yang tidak mengikat itu berarti adanya kesempatan untuk beristirahat disela-sela jam kerjanya seperti yang terjadi pada Bibi, Mbak Mus atau Bu Tin. Dari besaran penghasilan atau gaji yang diperoleh sebenarnya tidak nampak pola yang jelas misalnya didasarkan pada jumlah sedikit banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, latar belakang pengalaman atau panjang pendeknya jam kerja. Pada penentuan besaran gaji, para pemabtu rumah tangga, pengasuh anak atau pun buruh cuci ini sepenuhnya tidak memiliki bargaining power untuk tenaga yang diberikannya, sehingga besaran pendapatan seorang pembantu rumah tangga yang sudah bekerja berahun-tahun bisa jadi sama dengan seorang yang menjadi pembantu beberapa tahun terakhir. Atau pembantu rumah tangga yang bekerja sepuluh jam sehari pendapatannya tidak jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pekerja yang tidak penuh waktu dalam sehari. Atau, seorang pembantu yang harus menangani beragam pekerjaan rumah tangga mulai
9
menyapu, mengepel, mengasuh anak pendapatannya sebenarnya lebih kecil dibandingkan dengan seorang yang hanya bertugas mencuci dan menyetrika pakaian. Ibu Tin sudah mulai bekerja pada Ibu Ana sejak 5 tahun yang lalu. Sekarang dia diberi gaji sebesar Rp 200.000,00 ditambah untuk keperluan anaknya sebesar Rp10.000,00/hari. Total pendapatan yang diterima oleh Ibu Rp 500.000,00/ bulan, untuk semua pekerjaan rumah tangga yang dikerjakannya mulai pukul 8.00 hingga pukul 12.00/14.00. Namun Bibi yang baru bekerja sebagai pengasuh anak dan membantu pekerjaan yang tidak terlalu berat seperti menyetrika dan mencuci piring selama 1,5 tahun terakhir digaji sebesar Rp 500.000,00/bulan. Tetapi Bibi bekerja untuk waktu penuh karena bibi menginap di tempat majikannya. Sebenarnya bila dibandingkan tetap saja Bibi memperoleh jumlah gaji total yang lebih besar karena bibi tidak mengeluarkan uang untuk keperluan sehari-hari seperti belanja dan biaya tempat tinggal, sebagaimana yang ditanggung oleh Bu Tin. Ibu Tatik mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga termasuk mengasuh anak majikannya. Dia mulai bekerja sejak pukul 6.00 hingga pk. 17.00. Dia memperoleh gaji sebesar Rp 250.000,00 sementara Parti yang bekerja sebagai buruh cuci mulai pukul 8.00/9.00 sampai dengan pukul 11.00/12.00 memperoleh gaji sebesar Rp 200.000,00. Kejadian yang hampir sama terjadi juga pada Darmi dan Mbak Mus. Darmi bekerja sebagai buruh cuci namun dengan jam kerja yang lebih panjang daripada Parti, karena dia harus menunggu hingga cuciannya kering kemudian dia harus menyetrika hari itu juga. Darmi bekerja mulai pukul 7.00 hingga pukul 15.00. Dia menerima gaji sebesar Rp 300.000,00 sementara Mbak Mus sebagai pembantu rumah tangga yang bekerja dari pukul 7.00 s/d 17.00, berpenghasilan Rp 350.000,00/bulan. Meski hasilnya belum tentu dapat mencukupi kebutuhan kelaurga, tetapi keberadaan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, buruh cuci, atau pengasuh anak itu jelas menambah pendapatan bagi keluarga miskin tersebut. Oleh karena itu para ibu rumah tangga yang bekerja di sector tersebut berusaha untuk mempertahankan pekerjaan yang dimilikinya. Sebagian dari mereka bertahan dengan gaji yang kecil karena ketiadaan pilihan lain atau karena majikan tempat bekerja adalah orang-orang yang memiliki perhatian terhadap kebutuhan mereka termasuk memberi pinjaman disaat diperlukan..Ada beberapa bentuk model perhatian menurut para ibu tersebut. Model perhatian pertama diartikan seperti tambahan bonus pada saat hari raya, atau ketika majikan memperoleh rejeki lebih. Seperti tuturan Darmi, saat hari raya kemarin majikannya memberikan sedikit tambahan upah dan kue kepada Darmi, walaupun majikannya beragama Hindu. Selain itu majikannya sungguh sabar. Darmi pernah meminjam uang kepada majikannya saat itu anaknya sakit dengan senang hati majikannya memberikan pinjaman, setelah mendapatkan gaji Darmi baru membayar hutangnya. Lain lagi menurut bu Sumirah, keluarga pak Yohanes sangat baik, hal itu terlihat ketika lebaran ataupun ada rejeki tambahan bu Sumirah selalu diberi uang lebih. Bibi juga mengatakan bahwa kerja jadi pembantu ditempatnya sekarang sangat enak, karena setiap Lebaran majikan perempuannya selalu memberikan bonus, seperti lebaran tahun 2005 ia dibelikan perhiasan mulai dari kalung dan liontin yang menurut dia beratnya sekitar 5 graman. Tabel 4. Matrik Mekanisme Survival Ibu Rumah Tangga Keluarga Miskin Strategi Adaptasi Maksimalisasi Fungsi Ekonomi Anggota Keluarga
Mekanisme Survival 1. Ibu Rumah Tangga Bekerja 2. Anggota Keluarga Lain Bekerja
Rasionalitas 1. Bekerja sebagai Pilihan utama 2. Pada Keluarga Yang Suami/Anak Bekerja, Ibu
10
Diversifikasi Usaha
1. 2. 3.
Pembantu Rumah Tangga Pengasuh Anak Buruh Cuci
Jaringan Sosial
1. 2. 3. 4.
Saudara/Keluarga Majikan Tetangga Institusi Resmi (Koperasi)
Bekerja untuk Pendapatan Tambahan 1. Keterbatasan Pemilikan Aset seperti Modal, Pendidikan, Ketrampilan Khusus 2. Pekerjaan Yang Tidak Menuntut Persyaratan Khusus 3. Ada Anggota Keluarga Yang Mendukung Kemudahan Akses Tanpa Jaminan dan Tanpa Bunga kecuali Pinjaman ke Institusi Resmi
Model perhatian yang kedua adalah pemberian jam kerja yang longgar, seperti yang dialami oleh Parti. Ibu Parti mendapatkan majikan yang mau mengerti keadaannya karena ia punya anak kecil sehingga di bisa mulai bekerja kalau pekerjaannya di rumah sudah selesai. Dia berangkat sekitar pukul 08.00-09.00 dan pulang sekitar pukul 11.00-12.00. Ibu Parti juga bisa mengajak anaknya kalau bekerja. Model perhatian yang ketiga adalah penerimaan hasil kerja tanpa tuntutan berlebih. Seperti dialami Ibu Tin, beliau orangnya tidak bisa bekerja dengan cepat, dia bilang kalau disuruh cepat-cepat dia malah bingung, sehingga ibu Ana membebaskan ibu Tin bekerja semampunya yang penting pekerjaannya beres dan dia memakluminya. Karena kondisi ibu Tin yang sudah tua dan tenaganya yang lambat. Mungkin ibu Ana menerimanya bekerja karena rasa kemanusiaan. Tindakan seorang Ibu rumah tangga yang terbatas dari segi pendidikan, ketrampilan, maupun kondisi fisik membuat pilihan untuk bekerja di luar rumah adalah suatu perubahan perilaku dan psikologis yang memerlukan dukungan dari anggota keluarga yang lain. Kebiasaan-kebiasaan melakukan tugas rumah tangganya harus dibagi waktu dan tenaganya dengan melakukan tugas sector domestic untuk keluarga lain. Untuk tetap menyeimbangkan dengan tugas yang harus dikerjakan di rumah, ibu dari keluarga miskin ini melakukan strategi-strategi yang dapat didukung dan dilaksanakan oleh anggota kelaurga yang lain. Sebenarnya terbukanya kesempatan para ibu rumah tangga keluarga miskin untuk bekerja sebagai pembantu atau buruh pada rumah tangga yang lain adalah karena sebagian besar dari majikan perempuan adalah wanita bekerja di luar rumah pula atau ibu rumah tangga yang merasa bahwa untuk tugas-tugas domestic tertentu dia tidak mampu mengerjkan sendiri, misalnya mencuci atau membersihkan rumah. Peran ganda yang dijalankan oleh para ibu rumah tangga ini dan dukungan dari keluarga atau pihak perempuan lain seperti pembantu atau pengasuh ini seperti pendapat Habsjah (1995: 463-481) bahwa disadari atau tidak sebagai bagian dari proses industrialisasi yang eksploitatif, ketika ibu rumah tangga mengambil keputusan untuk bekerja maka pekerjaan domestik yang menjadi tanggung jawabnya dengan segera dapat diambil alih oleh kaum perempuan lainnya, seperti pada kasus pengasuhan anak yang dilakukan oleh ibu mertua, kakak dan ibu-ibu tetangga. Proses pengambilan keputusan dari para ibu rumah tangga untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh cuci atau pengasuh anak dapat dipandang sebagai suatu starategi adaptasi terhadap himpitan ekonomi dan minimnya pendapatan keluarga yang dirasakan oleh keluarga miskin. Menurut Smith dalam Kusumah (1999; 14) konsep strategi adaptasi dipandang mengacu pada tindakan yang ditempuh sekelompok orang atau individu manusia secara agregat sehingga dapat menyesuaikan atau mengambil alih tekanantekanan dari luar maupun dari dalam. Dalam proses adaptasi, tindakan individu sangat berperan. Seorang individu melakukan adaptasi melalui perubahan-perubahan psikologis dan perilaku.
11
Menurut Fisher et all (1984), adaptasi mengandung pengertian proses yang secara kontinu dan bertahap dilakukan orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Vayda dan Rapaport dalam Kusumah (1999: 16) adaptasi merupakan proses pemilihan tindakan yang berlangsung dalam menghadapi lingkungan yang merupakan akibat dari seleksi alam. Selama adaptasi berlangsung, individu atau populasi melakukan tindakantindakan yang berbeda dan terpolakan. Fenomena adaptasi yang memunculkan mekanisme survival pada para Ibu rumah tangga dari keluarga miskin diatas sebenarnya merupakan suatu proses panjang, yang mana terkait antara kegiatan, dampak dan perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang ditampilkan sebagai adaptasi pada para ibu rumah tangga keluarga miskin dengan bekerja di sektor domestik pada keluarga lain bukanlah suatu kejadian yang berlangsung tiba-tiba, tetapi melalui latar belakang historis dalam masyarakat yang turut dipengaruhi oleh faktorfaktor dari luar. Kebijakan pemerintah yang carut marut di bidang ekonomi dengan fakta empiris kenaikan harga BBM memunculkan gejolak kenaikan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat. Kondisi ini tidak disertai dengan kenaikan pendapatan yang signifikan terutama pada masyarakat bawah, sehingga memunculkan penurunan daya beli yang terutama dirasakan oleh golongan masyarakat kelas bawah. Tanpa disadari yang paling merasakan penurunan daya beli dan ketidaksignifikannya pendapatan keluarga adalah para Ibu rumah tangga yang sehari-hari berhubungan secara langsung dengan pasar. Inilah yang kemudian dipahami sebagai masa krisis. Di samping itu, masa krisis juga dipahami sebagai suatu kondisi yang mana pendapatan keluarga tidak mampu mencukupi kebutuhan atau situasi yang sedang terjadi. Misalnya masa-masa pembiayaan pendidikan anak, baik bulanan, semester atau tahunan. Pada masamasa tersebut, meskipun kadang-kadang sudah bisa diperkirakan waktunya seperti masa bayar SPP atau tahun ajaran baru, karena ketiadaan pendapatan yang ditabung dan untuk membiayai adalah pendapatan tetap yang diperoleh setiap bulannya, maka akan terasa beratnya keadaan tersebut. Bentuk masa krisis yang lain adalah ketika ada anggota keluarga yang mengalami kemalangan misalnya kecelakaan, sakit atau kematian. Biaya perawatan untuk situasi tersebut diambil dari penghasilan tetap keluarga tersebut. Yang kemudian dirasakan berat adalah ketika keuangan atau pendapatan tetap keluarga itu tidak mencukupi untuk digunakan membiayai situasi tersebut. Ada beberapa bentuk adaptasi sebagai mekanisme survival yang dikembangkan oleh para keluarga miskin dalam menghadapi masa krisis. Selain para ibu rumah tangga yang kemudian memilih bekerja diluar rumah untuk menambah pendapatan keluarga, mereka juga menmpuh langkah-langkah yang memungkinkan mereka untuk tetap dapat bertahan dalam masa krisis tersebut. Menurut Bibi, ia merasakan masa krisis justru ketika dia masih bersuami. Selain itu Bibi dan keluarga juga menganut sikap nriman yang artinya mau menerima apa adanya. Disaat krisis pun Bibi tidak segan untuk menjual benda berharga milik keluarga, misalnya perhiasannya atau televisi. Lain lagi dengan yang dilakukan Sumirah ketika masa krisis, ia masih berjualan gorengan Selain itu Bu Sumirah juga pernah berhutang kepada tetangga dan saudara untuk memepertahankan hidup keluarga. Namun hutang tersebut kini telah lunas. Atau hanya dengan berusaha hidup hemat seperti Darmi, untuk menghadapi krisis ekonomi Darmi hanya menggantungkan kepada pekerjaanya sebagai buruh cuci di rumah majikannya. Walaupun dengan penghasilan pas-pasan Darmi berusaha menjalani kehidupan dan menghidupi keluarga. Pada bentuk kondisi krisis yang berbeda, mekanisme survival yang muncul ada yang berhutang pada keluarga, pada majikan atau pada suatu institusi seperti koperasi. Mbak Mus menuturkan, pada saat kepepet membutuhkan uang, ia akan berhutang pada ibu atau saudaranya, biasanya uang yang dipinjam menurut keterangannya untuk bayar uang
12
SPP yang nunggak. Lain halnya dengan ibu Tatik yang sedang tertimpa musibah (anaknya kecelakaan) sehingga dia harus berhutang untuk membiayai pengobatan anaknya dan dia harus membayar hutang-hutangnya setiap bulan. Strategi adaptasi merupakan pola-pola tindakan sosial yang dibentuk oleh berbagai usaha yang direncanakan untuk dapat memenuhi syarat minimal yang mereka hadapi (Ahimsa-Putra dalam Kusumah: 1999: 15). Adaptasi sebagai pola tindakan ternyata tidak jauh berbeda dengan strategi untuk survive, seperti dinyatakan oleh Carner dalam Kusumah: (1999: 18) yang mengatakan –berdasarkan hasil penelitian di India—bahwa setiap keluarga miskin memiliki cara untuk mengeliminasi atau setidaknya menghindarkan diri dari tekanantekanan ekonomi yang mereka hadapi. Pada keadaan ini Carner (1988) menandaskan terdapat 3 pola tindakan yang kemudian diinstitusionalisasikan, pertama maksimalisasi fungsi ekonomi anggota keluarga pada semua aktifitas ekonomi, pada keluarga miskin setiap anggota keluarga yang telah dewasa atau telah menyelesaikan pendidikan selalu mempunyai arti potensi ekonomi. Aartinya setiap anggota keluarga yang bekerja menyumbangkan sebagian/seluruh pendapatannya untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Seorang suami, anak, atau isteri yang bekerja sudah selayaknya ikut memberikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bila kebutuhan sehari-hari sudah tercukupi maka, sebagian pendapatan itu dapat digunakan untuk kebutuhan yang lain, misalnya membeli benda-benda tersier atau ditabung. Seperti yang terjadi pada Bibi, dari hasil bekerja sebagai pengasuh anak Bibi dapat menabung hampir 1 jutaan, sedangkan Mbak Sumirah, membeli secara angsuran Kulkas dan sepeda motor. Kedua, diversifikasi usaha. Ketika Mbak Sumirah merasa bahwa hasil berjualan gorengannya sudah tidak memadai dengan modal yang harus dikeluarkannya, dia memutuskan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Hal ini juga disebabkan karena dia merasa usianya tidak memungkinkan dia bekerja di tempat lain. Lain lagi dengan Bu Tatik untuk menutup kekurangan penghasilannya sebagai pembantu rumah tangga, dia bekerja pada tetangganya sebagai tukang masak kambing aqiqah atau bekerja sebagai tukang pijat lulur. Ketiga, penciptaan jaringan sosial yang lugas. Setiap pembantu rumah tangga, buruh cuci, atau pengasuh anak berusaha untuk bekerja dengan baik dan jujur seperti yang diharapkan oleh majikannya. Mereka tak segan untuk mengorbankan sebagian waktu kerja efektifnya untuk menyelesaikan tugas domestik di tempat kerjanya daripada di rumah sendiri. Tanpa kemampuan ketrampilan yang khusus, maka jalinan kepercayaan dan kepuasan majikan adalah jaringan social yang harus dijaga kelangsungannya. Secara lebih lugas Beck (1989:21-23) merumuskan bahwa adaptasi merupakan bentuk strategi kelangsungan hidup keluarga yang efektif dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk menghadapi perubahan-perubahan sosial ekonomi. Pertama, adalah keputusan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak atau buruh cuci yang dilakukan oleh Ibu rumah tangga dari keluarga miskin. Ini merupakan bentuk adaptasi pertama. Pilihan menjadi pembantu rumah tangga, buruh cuci atau pengasuh anak adalah karena keterbatasan asset yang dimiliki oleh Para Ibu dari keluarga miskin trsebut. Satu-satunya aset yang dimiliki adalah fisik dan ketrampilan mengerjakan tugas di sektor domestic. Kondisi ini sebagaimana yang terjadi pada Mbak Mus, Ibu Tatik, Bibi, Mbak Parti, atau Bu Tin. Mereka merasa bahwa mereka adalah sandaran utama bagi kelangsungan hidup perekonomian keluarga karena suami yang menjadi sandaran utma tak bisa lagi diharapkan. Pada kasus Bibi dan Bu Tin, ketiadaan suami atau anak yang dapat dijadikan sandaran lagi membuat mereka memutuskan untuk bekerja semampu mereka padahal usia mereka sudah lanjut. Bentuk adaptasi kedua ialah dukungan dari anggota keluarga terdekat lain sebagai sumber daya terbatas yang dimilikinya Agar bisa menjalankan komitmen bekerja dengan baik dan sesuai yang diharapkan oleh majikan, para ibu dari keluarga miskin ini lebih dulu menyelesaikan sebagian tugas-tugas yang ada di rumah atau menyerahkan
13
penyelesaian tugas itu pada anggota keluarga yang lain. Dengan kata lain para Ibu yang bekerja di luar rumah ini memerlukan dukungan dari anggota keluarga terdekat lain sebagai sumber daya terbatas yang dimilikinya, yang dapat membantu tugasnya di rumah sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Darmi, setiap hari bangun pukul 03.30 pagi untuk mempersiapkan makanan bagi keluarganya. Setelah itu pukul 06.30, Darmi berangkat bekerja dengan menggunakan sepeda pancal. Untuk menyelesaikan tugas di rumah, Darmi dibantu oleh anaknya yang SMP, sedangkan Parti menitipkan perawatan anaknya yang masih bayi kepada Ibunya yang kebetulan membuka usaha warung lontong di rumah. Parti pun bekerja setelah urusan merawat anak-anaknya beres. E.
Penutup Fenomena mekanisme survival dari para ibu rumah tangga keluarga miskin di pinggiran kota besar adalah suatu hasil proses adaptasi yang dimunculkan guma menghadapi krisis karena pendapatan keluarga yang masih kurang. Strategi adaptasi dari kelurga miskin menempuh tiga cara yang masing-masing memunculkan mekanisme survival yang beragam namun saling terkait sehingga memunculkan suatu perubahan perilaku pada keluarga miskin tersebut. Strategi tersebut adalah maksimalisasi fungsi ekonomi anggota keluarga, diversifikasi usaha, ikatan jaringan social. Dari strategi adaptasi maksimalisasi fungsi ekonomi anggota keluarga ini memunculkan mekanisme survival dari para ibu rumaha tangga keluarga mniskin untuk bekerja di luar rumah. Meskipun sebagian dari para ibu rumah tangga tersebut bukanlah sebagai penyandang penghasilan utama, karena ibu-ibu itu masih mempunyai suami dan/anak yang sudah bekerja yang penghasilannya sebagai pendapatan utama keluarga, namun tak dapat dipungkiri bahwa hasil pendapatan ibu itu sangat menunjang perekonomian keluarga itu sendiri. Bagi ibu rumah tangga yang bekerja karena tak ada pilihan lain selain dia harus bekerja karena fungsi sebagai tulang punggung keluarga, maka penghasilan dari bekerja di sector domestic itu adalah penghasilan utama dalam keluarganya. Tetapi hal ini tidak dapat dimaknai bahwa ibu tersebut hanya bekerja pada satu tempat atau hanya pada sector domestic suatu keluarga saja. Pada beberapa ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pendapatan utama keluarga, bisa saja bekerja tidak pada satu tempat dengan jenis pekerjaan sebagaimana tempat dengan tempat bekerja utama. Ibu rumah tangga tersebut bisa hanya memilih satu jenis pekerjaan dalam sector domestic atau pekerjaan yang tidak berhubungan dengan sector domestic, misalnya tukang pijat. Diversifikasi usaha yang dikembangkan oleh para ibu rumah tangga dari keluarga miskin ini memunculkan mekanisme survival untuk bekerja pada sector domestic seperti sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak atau buruh cuci pada keluarga kelas menengah yang berada tidak terlalu jauh dengan tempat tinggalnya. Dipilihnya pekerjaan di sector domestic ini bukan tanpa alasan. Pertama karena para ibu rumah tangga ini memiliki keterbatasan asset social yang dimiliki. Aset tersebut misalnya tingkat pendidikan yang terbatas (biasanya hanya mengenyam pendidikan dasar), modal dalam arti financial, dan ketrampilan khusus yang tidak dimiliki. Kedua, pekerjaan disektor domestic tidak menuntut beragam persyaratan tertentu misalnya, usia, kondisi fisik atau pun kepemilikan asset sebagaimana tersebut diatas. Ketiga, adanya anggota keluarga yang mendukung. Dukungan ini bisa berupa keterlibatan aktif disektor domestic ibu yang bekerja tersebut, misalnya mengasuh anak, melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan lainnya. Strategi adaptasi yang ketiga adalah jaringan social yang dapat diandalkan saat menghadapi masa krisis. Jaringan social ini mempunyai arti secara ekonomis maupun kepercayaan. Mekanisme survival yang dikembangkan oleh para ibu rumah tangga keluarga miskin ini adalah melibatkan keluarga, majikan, tetangga atau institusi resmi seperti koperasi. Dipilihnya jaringan social ini karena kemudahan akses yang tanpa jaminan. Ada tiga pemahaman terhadap masa krisis oleh para keluarga miskin. Pertama,
14
masa krisis itu sendiri dimaknai sebagai masa sulit dalam pekonomian yang terjadi dalam skala makro membawa dampak pada skala mikro (keluarga). Kedua. sebagai suatu kondisi yang mana pendapatan keluarga tidak mampu mencukupi kebutuhan atau situasi yang sedang terjadi, biasanya terkait dengan biaya pendidikan anak. Ketiga, ketika ada anggota keluarga yang mengalami kemalangan misalnya kecelakaan, sakit atau kematian. Pada tiga kondisi tersebut, dianggap memerlukan dana lebih dari penghasilan tetap keluarga, karena tidak adanya pola saving/ menabung pada kelaurga miskin.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 1991. Wanita Bakul di Pedesaan Jawa. Yogyakarta: PPK-UGM. Allen, Susan M., dan Pamela S. Webster. 2001. When Wives Get Sick. Gender Role, Attitudes, Marital Happines, and Husband’s Contribution to Household Labor. Gender & Society. Vol. 15. No. 1. Arnando, Mary Janet M. 2002. Class Inequality among Third World Women Wage Earners: Mistresses and Maids in the Philippines. Dissertation. Blacksbur, Virginia: Virginia Polytechnic Institute. Dapat diakses di www.lib.vt.edu Benda-Beckman, Franz von., Keebet von Benda-Beckman, dan Hands Marks. 2000. Coping with Insecurity. An “Underall” Perspective on Social Security in the Third World. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Focaal Foundation. Boserup, Ester. 1984. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Diterjemahkan oleh Mien Joebhaardan Sunarto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Diterjemahkan oleh Hasan Basari. Jakarta: LP3ES. Dadeoglu, Saniye.2004. Working for Family: The Role of Women’s Informal Labor in the survival of Family-Owned Garment Ateliers in Istanbul, Turkey. Workingpaper. Women International Development. East Leasing,MI: Michigan State University. Dapat diakses di http://www.isp.msu.edu/wid/papers/pdf/ wp281. pdf. Delamont, Sara. 1985. Allen& Unwin.
The Sociology of Women. An Introduction. London: George
Groostaert,et.al, Christian. 2004. Measuring Social Capital. An Integrated Questionare. Working Paper No. 18., Washington: The International Bank for Reconstruction and Development /The World Bank. Dapat diakses di www.worldbank.org/soccap/wp/1198 _wp-wb.pdf. Galbraith, John Kenneth. 1983. Hakikat Kemiskinan Massa. Diterjemahkan oleh Tom Anwar. Jakarta: Sinar Harapan. Gudmundsson, Amanda Jayne. 2003. Balancing Work and Family: Perpectives of Australian Dual-Earner Parents. Dissertation. Griffith University.
15
Habsjah, Atashendartini. 1995. Sekelumit Kehidupan Kaum Perempuan Beserta Anaknya di Beberapa RT Kumuh Jakarta. Dalam T.O. Ihromi. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: YOI. Klugman, Jeni. 2002a. Overview. Dalam Jeni Klugman. A Sourcebook for Poverty Reduction Strategies. Volume 1 Core Techniques and Cross Cutting Issues. Washington: The International Bank for Reconstruction and Development. The World Bank. ------ 2002b. Rural and Urban Poverty: Overview. Dalam Jeni Klugman. A Sourcebook for Poverty Reduction Strategies. Volume 2 Macroeconomic and Sectoral Approaches. Washington: The International Bank for Reconstruction and Development. The World Bank. Kusumah, Maulana Surya. 1999. Strategi Adaptasi PetaniMenghadapi Penyusutan Lahan Pertanian. Studi Kasus di kawasan Industri Driyorejo Desa Krikilan Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik. Tesis Kustiwan, Iwan. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa. Prisma. No. 1 Tahun XXVI. Lewis, Oscar. 1981. Kebudayaan Kemiskinan. Dalam Andre Bayo Ala. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty. ---------1988. Kisah Lima Keluarga. Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Diterjemahkan oleh Rohmulyati Hamzah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lloyd, Justine., dan Lesley Johnson. 2003. The Three Faces of Eve: The Post-war Housewife, Melodrama, and Home. Feminist Media Studies. Vol. 3. No.1. Ng, Catherine W., dan Patricia Fosh. 2004. The Effect of Career Ambition and Satistaction on Attitudes towards Equal Opportunity and Family-Friendly Policies for Women. A Case Study in Hongkong. Community, Work & Family. Vol 7. No. 1. Sadewo, FX Sri., MC Oenfiati, dan Artono. 2005. Peranan Aktivis Teater Kampus dalam Mereformulasikan Isu-isu Ketimpangan Sosial Politik dalam Demonstrasi. Studi tentang Perubahan Bentuk Demonstrasi dari Berbagai Kelompok Masyarakat Rentan Kota akibat Pemberdayaan/ Advokasi oleh Mahasiswa di Surabaya tahun 1990 hingga sekarang. Laporan Penelitian Dasar. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Sayogyo, Pudjiwati. 1985. Desa. Jakarta: Rajawali.
Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat
Schwiter, Karin. 2005. Persistency of the Breadwinner-Housewife Pattern: Understanding gendered Divisions of Labour in Switzerland. Paper. Zurich:Department of Geography, University of Zurich. Suratiyah, Ken., Siti Haerani dan Nurleni. 1994. Marginalisasi Pekerja Wanita di Pedesaan. Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga Pangan di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: PPK-UGM.
16
Suyanto, Bagong., dan Suharso. 1995. Ketimpangan Gender dan Pemberdayaan Wanita. Dalam Bagong Suyanto dan Emy Susanti (penyunting). Wanita. Dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan. Surabaya: Airlangga University Press. Wheelock, Jane., Elizabeth Oughton, dan Susan Baines. 2003. Getting by With A Little Help From Your Family: Toward a Policy-Relevant Model of The Household. Feminist Economics. Vol. 9. No. 1. Windebank, Jan. 1999. Political motherhood and the social construction of mothering: A comparison of the child care strategis of French and British working mothers. Journal of Social Policy. Vol. 28, Part 1. Wiradi, Gunawan.1985. Ketenagakerjaan dalam Struktur Agraris di Pedesaan Jawa. Dalam Peter Hagul. Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Jakarta: Rajawali.
17